• Tidak ada hasil yang ditemukan

ANALISIS PREFERENSI KONSUMEN TERHADAP MULTIATRIBUT PRODUK FILM (STUDI KASUS: KONSUMEN PENGUNJUNG BIOSKOP CINEMA XXI)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "ANALISIS PREFERENSI KONSUMEN TERHADAP MULTIATRIBUT PRODUK FILM (STUDI KASUS: KONSUMEN PENGUNJUNG BIOSKOP CINEMA XXI)"

Copied!
19
0
0

Teks penuh

(1)

ANALISIS PREFERENSI KONSUMEN

TERHADAP MULTIATRIBUT PRODUK FILM

(STUDI KASUS: KONSUMEN PENGUNJUNG BIOSKOP CINEMA XXI)

Ryandra Arya Kharisma Program Studi Manajemen

Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia

Abstrak

Tujuan penelitian ini adalah untuk memahami bagaimana konsumen menggunakan atribut-atribut yang berbeda ketika mengevaluasi alternatif film yang akan ditonton di bioskop. Analisis konjoin digunakan untuk mengetahui tingkat kepentingan relatif atribut film dan utilitas level-level atribut film. Individu-individu yang memiliki struktur preferensi yang mirip kemudian dikelompokkan ke dalam beberapa segmen dengan menggunakan analisis kluster. Atribut-atribut yang digunakan dalam penelitian ini adalah genre, symbolism, country of origin, actor, director, information sources dan pricing strategy. Hasil analisis konjoin secara agregat menunjukkan bahwa genre

merupakan atribut terpenting. Atribut terpenting berikutnya setelah genre adalah country of origin

dan pricing strategy. Hasil analisis kluster menunjukkan bahwa individu-individu dapat dikelompokkan ke dalam tiga segmen yang berbeda berdasarkan tingkat kepentingan relatif atribut. Setiap segmen paling tidak memiliki satu hingga dua atribut yang membedakannya dengan segmen lain. Interpretasi, implikasi manajerial, dan keterbatasan akan dijelaskan lebih jauh.

Kata kunci: preferensi konsumen, pemasaran film, bioskop, konjoin, segmentasi Abstract

The purpose of this study is to understand how consumers use different attributes when evaluating movie alternatives at the cinema. The study uses conjoint analysis to identify the relative importance of movie attributes and the utilities of the levels of movie attributes. Individuals with similar preference structures are then grouped into some segments using cluster analysis. The attributes selected in this study are genre, symbolism, country of origin, actor, director, information sources, and pricing strategy. The results of aggregate conjoint analysis show that genre is the most important attribute. Second most important is country of origin, followed closely by pricing strategy. The results of cluster analysis show that individuals can be grouped into three different segments based on their relative importances. Each segment has at least one or two attributes that distinguish it from other segments. Interpretations, managerial implications, and limitations are discussed further.

Keywords: Consumer preference, motion picture marketing, cinema, conjoint, segmentation 1. Pendahuluan

Film tidak hanya dilihat sebagai karya seni melainkan juga sebagai salah satu produk kreatif yang berpotensi mendatangkan keuntungan ekonomi. Produksi dan distibusi film menyumbang Rp 1,9 triliun atau 3% dari total PDB ekonomi kreatif (Oxford Economics, 2011). Meskipun kontribusinya relatif kecil, peluang untuk tumbuh masih terbuka lebar. Hal ini dapat dilihat dari peningkatan penonton film nasional dari tahun ke tahun. Tahun 2010, penonton film nasional

(2)

2

mencapai 46 juta, kemudian meningkat menjadi 62 juta di tahun 2011 (Kemenparekraf, 2012a). Peningkatan ini juga diikuti dengan peningkatan produksi film nasional. Tahun 2010, produksi film nasional mencapai 77 film, kemudian meningkat menjadi 82 film di tahun 2011 (Kemenparekraf, 2012b).

Bioskop adalah saluran distribusi film yang menghasilkan pendapatan per satuan waktu paling tinggi dan sumber pendapatan film dalam jangka pendek (Eliashberg et al., 2006). Pendapatan box-office dalam jangka pendek berpengaruh positif terhadap pendapatan box-office

dalam jangka panjang (Hennig-Thurau et al., 2007) Dengan kata lain, kesuksesan pemutaran film di bioskop merupakan syarat utama untuk mencapai kesuksesan di semua saluran distribusi (Eliashberg et al., 2006). Akan tetapi, product life cycle film di bioskop relatif pendek dan tidak mudah bagi sebuah film untuk bersaing dengan film-film lain yang diputar secara bersamaan di bioskop (Hennig-Thurau et al., 2001). Pemutaran film yang gagal akan kehilangan perhatian media, penonton, dan bioskop (Eliashberg et al., 2006). Itulah sebabnya diperlukan strategi pemasaran yang efektif agar film-film yang diputar di bioskop dapat mendatangkan banyak penonton.

Strategi pemasaran yang efektif tercipta jika pemasar telah sepenuhnya memahami konsumen dan pasar tempatnya beroperasi, kemudian menentukan konsumen mana yang akan disasar dan bagaimana menciptakan value proposition (Kotler dan Armstrong, 2010). Pemasaran film harus dilakukan tidak hanya sebatas promosi pada saat pemutaran perdana melainkan jauh sebelum film itu dibuat. Proses pemasaran film dapat dimulai dengan mengidentifikasikan apa saja kriteria evaluatif yang digunakan konsumen dalam mengevaluasi alternatif film di bioskop.

Konsumen mungkin menggunakan kriteria evaluatif yang sama dalam mengevaluasi alternatif produk, namun tidak akan membeli produk yang sama jika tingkat kepentingan yang diberikan konsumen terhadap setiap atribut berbeda (Hawkins et al., 2004). Permasalahan yang ingin dijawab dalam penelitian ini adalah mengetahui bagaimana konsumen menilai tingkat kepentingan atribut-atribut produk film, kemudian mengelompokkan konsumen ke dalam beberapa segmen berdasarkan kemiripan struktur preferensi mereka. Pemahaman tentang preferensi konsumen ini diharapkan dapat membantu pemasar film dalam mengembangkan strategi pemasaran yang efektif.

Cinema XXI dipilih sebagai studi kasus penelitian ini atas dasar pertimbangan berikut. Pertama, persebaran layar bioskop di Indonesia terkonsentrasi di wilayah Jabodetabek dan perkembangannya didominasi oleh Grup 21 sebagai pemimpin pasar (Oxford Economics, 2011; Noven dan Aji 2013). Kedua, Cinema XXI adalah jaringan bioskop yang berada di bawah naungan Grup 21 dan sebagian besar gerainya tersebar di wilayah Jabodetabek (Theatres, 2012). Terakhir,

(3)

3

target pasar yang dibidik Cinema XXI berbeda dengan Cinema 21 yang masih satu grup. Hal ini dapat dilihat dari harga tiket, lokasi, dan fasilitas yang ditawarkan (Theatres, 2012).

2. Tinjauan Pustaka

Keputusan konsumen melibatkan evaluasi terhadap kinerja suatu produk pada satu atau lebih dimensi (Hawkins et al., 2004). Menurut Hennig-Thurau et al. (2001), ada dua jenis karakteristik produk, yakni search quality dan experience quality. Perbedaan keduanya didasarkan pada kemampuan konsumen dalam menilai kinerja suatu produk. Search quality adalah atribut-atribut yang dapat dievaluasi konsumen tanpa perlu mengonsumsi sendiri suatu penawaran pasar. Sementara itu, experience quality adalah atribut-atribut produk yang harus dirasakan sendiri oleh konsumen sebelum ia mampu memberikan penilaian. Produk jasa pada umumnya didominasi

experience quality sehingga membatasi kemampuan konsumen dalam mengevaluasi alternatif penawaran sebelum pembelian.

Salah satu produk yang sangat sulit dievaluasi sebelum dibeli konsumen adalah pemutaran film di bioskop (Liu, 2006). Menurut Hennig-Thurau et al. (2001), ada dua cara yang dapat digunakan konsumen untuk mengatasi permasalahan ini. Pertama, konsumen dapat bersandar pada sumber informasi netral dari orang-orang yang pernah menonton sendiri film tersebut. Kedua, konsumen dapat memanfaatkan atribut-atribut film yang dapat dievaluasi di awal, atau disebut juga sebagai atribut quasi-search. Disebut demikian karena atribut ini mengubah experience quality

menjadi search quality.

Faktor-faktor yang digunakan sebagai atribut dan level atribut penelitian ini dibangun berdasarkan model penelitian Gazley et al. (2011). Tema cerita film (genre), simbolisme (symbolism), negara asal, (country of origin), aktor (actor), sutradara (director), harga tiket (pricing strategy) adalah beberapa faktor yang digunakan konsumen dalam mengevaluasi alternatif film yang akan ditonton di bioskop (Gazley et al., 2011).

2.1. Genre

Genre adalah rangkuman jalan cerita film secara umum (Gazley et al., 2011). Ekspektasi konsumen terhadap suatu film salah satunya didasarkan pada pengalaman yang pernah mereka rasakan saat menonton film bergenre sejenis (Desai dan Basuroi, 2005). Austin dan Gordon (1987) dalam Desai dan Basuroy (2005) menyatakan bahwa genre adalah faktor yang dipertimbangkan pertama kali dan dianggap paling penting oleh konsumen saat mengevaluasi alternatif film.

(4)

4

atau dimasukkan dalam prosesnya, tergantung aspek mana yang ingin diberikan penekanan. Walaupun begitu, konsumen menggunakan pola estetis dan alur emosi dalam sebuah cerita untuk mengklasifikasikan film-film secara kasar (Hennig-Thurau et al., 2001). Rasheed dan Shah (2002) membagi genre film menjadi horor, komedi, action, dan drama.

2.2. Symbolism

Symbolism adalah potensi suatu film untuk dikategorikan ke dalam kategori kognitif di mana konsumen sudah memiliki asosiasi positif (Hennig-Thurau et al., 2001). Symbolism juga dapat didefinisikan sebagai film-film yang diangkat berdasarkan kekayaan intelektual yang ada (Eliashberg et al., 2006; Skilton, 2009). Menurut Hennig-Thurau et al. (2001), elemen utama

symbolism film adalah hubungannya dengan karya-karya sebelumnya. Misalnya, novel, pertunjukan drama, serial televisi, sekuel, atau permainan komputer. Film-film adapated screenplay memiliki kepastian yang lebih besar di pasar daripada film-film original screenplay karena konsumen sudah memiliki pre-existing awareness (Gazley et al., 2011).

2.3. Country of Origin

Konsumen cenderung menggunakan country of origin (COO) sebagai petunjuk ekstrinsik ketika petunjuk-petunjuk intrinsik suatu produk sangat sulit dievaluasi sebelum dibeli (Cattin et al., 1982, dikutip dari Elliot dan Cameron, 1994, p. 51). COO yang dimaksud dalam penelitian ini adalah negara yang dijadikan lokasi produksi film (Gazley et al., 2011). Film dari beberapa negara diasosiasikan memiliki gaya atau narasi yang khas sehingga menjadi lebih atau kurang atraktif bagi konsumen (Hennig-Thurau et al., 2001),. Hasil penelitian Gazley et al. (2011) menunjukkan bahwa konsumen lebih menyukai film Hollywood daripada film dari negara lain (Gazley et al., 2011) 2.4. Actor

Menurut Hennig-Thurau et al. (2001), sebagian ekspektasi konsumen terhadap suatu film didasarkan pada nama-nama individu yang terlibat di dalamnya. Informasi kehadiran seorang bintang berfungsi sebagai pencitraan merek (branding) yang membantu mengurangi ketidakpastian konsumen. Film yang melibatkan aktor yang pernah membintangi beberapa film berpendapatan tertinggi memperoleh pendapatan box-office lebih besar (Basuroy et al. 2003; Karniouchina, 2008). 2.5. Director

Menurut Hennig-Thurau et al. (2001), proses pembuatan film juga melibatkan orang-orang yang bekerja di balik layar atau tidak kasat mata sehingga cukup beralasan apabila ekspektasi konsumen tidak hanya didasarkan pada nama-nama aktor yang kasat mata. Salah satu orang di balik layar yang dianggap memiliki daya tarik tersendiri bagi konsumen adalah sutradara. Sutradara

(5)

5

adalah orang di balik layar yang cenderung lebih mudah disalahkan atau diberikan penghargaan oleh konsumen atas kegagalan atau keberhasilan suatu film (Skilton, 2009).

2.6. Information Sources

Sumber informasi netral dapat berasal dari teman dekat dan kritikus film (Gazley et al, 2011).Sumber informasi netral dipersepsikan lebih dapat dipercaya oleh konsumen karena orang-orang yang menyampaikan informasi tidak diuntungkan secara finansial dengan menyampaikan informasi tersebut kepada orang lain (Mohr, 2007). Pendekatan keduanya dalam menilai kualitas film juga bisa dibilang berbeda. Menurut Schindler et al. (1989) dalam Hennig-Thurau et al. (2001), ada dua pendekatan dalam menilai kualitas estetis, yakni subjektif dan objektif. Pendekatan subjektif menganggap selera setiap orang berbeda. Sementara itu, pendekatan objektif menganggap terdapat kriteria absolut atau universal yang membuat beberapa karya seni secara inheren lebih indah atau berkualitas. Kritikus film menggunakan pendekatan yang terakhir (Holbrook, 1999). 2.7. Pricing Strategy

Harga tiket adalah salah satu faktor yang mempengaruhi preferensi konsumen untuk menonton film di bioskop (Gazley et al., 2011). Konsumen lebih menyukai harga tiket yang lebih murah daripada harga tiket yang lebih mahal (Gazley et al., 2011). Hal ini boleh jadi juga berlaku di Indonesia karena harga tiket bioskop tidak dibedakan berdasarkan biaya produksi sebuah film atau siapa nama besar aktor yang terlibat (event price), sebagaimana dijelaskan Eliashberg et al. (2006). Hair et al. (2006) menyarankan agar level atribut harga yang digunakan memiliki rentang yang agak lebih besar dari rentang harga di pasar, namun tidak terlalu besar. Penggunaan level atribut ini mungkin dapat menurunkan kepercayaan responden terhadap tugas evaluasi, namun penggunaannya dapat meningkatkan kekuatan parameter yang diestimasikan (Hair et al., 2006).

Berdasarkan tinjauan pustaka di atas, maka atribut dan level atribut penelitian ini adalah sebagai berikut.

Tabel 2.1 Atribut dan Level Atribut Penelitian

Atribut Level Atribut

Genre Komedi / Horor/ Action / Drama

Symbolism Adapted screenplay / Original screenplay

Country of origin Amerika / Indonesia / Asing (selain AS dan Indonesia)

Actor Box-office hit/ Non Box-office hit Director Box-office hit / Non Box-office hit

Information sources Direkomendasikan teman / Direkomendasikan kritikus

Pricing strategy Rp 35.000,00 / Rp 70.000,00

(6)

6

3. Metode Penelitian 3.1. Desain Penelitian

Desain penelitian ini dapat disebut sebagai kombinasi desain penelitian deskriptif dan eksperimental. Disebut deskriptif karena penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan suatu objek atau fenomena, biasanya karakteristik atau fungsi pemasaran (Malhotra, 2010). Disebut eksperimental karena metode analisis data yang digunakan adalah analisis konjoin, di mana objek yang diamati diberikan sejumlah stimuli yang terdiri dari kombinasi faktor (variabel independen) yang nilai-nilainya (level) telah ditetapkan oleh peneliti (Hair et al., 2006).

3.2. Pengumpulan Data dan Sampling

Pengumpulan data primer dilakukan melalui penelitian lapangan (survey) dengan menggunakan kuisioner yang diisi sendiri oleh responden. Responden diberikan sejumlah profil film yang terdiri dari kombinasi level atribut film ysng berbeda kemudian responden diminta untuk menyatakan seberapa besar minat mereka untuk menonton masing-masing profil film di bioskop. Data yang terkumpul selanjutnya diolah dengan menggunakan analisis statistik.

Responden penelitian ini adalah mahasiswa aktif S1 FEUI yang pernah menonton film di bioskop Cinema XXI dalam tiga bulan terakhir. Teknik pengambilan sampel yang digunakan adalah

convenience sampling, di mana elemen populasi dipilih karena mereka berada di waktu dan tempat yang tepat (Malhotra, 2010). Penyebaran kuisioner dilakukan di beberapa titik yang biasa dijadikan tempat berkumpul mahasiswa di kampus FEUI.

3.3. Analisis Data 3.3.1. Analisis Konjoin

Analisis konjoin digunakan untuk mengetahui tingkat kepentingan relatif atribut produk dan utilitas level-level atribut produk (Malhotra, 2010). Teknik analisis konjoin dipilih karena teknik ini memiliki beberapa keunggulan dibandingkan teknik self-explicated biasa dalam memahami struktur preferensi konsumen. Salah satunya dapat mengatasi bias yang disebabkan oleh pertanyaan yang ambigu, double counting, dan redundancy antar atribut (Green dan Krieger, 1991). Teknik analisis konjoin tradisional dipilh dalam penelitian ini karena jumlah atribut yang teridentifikasi tidak lebih dari 9 atribut (Hair et al., 2006).

Stimuli disajikan kepada responden dalam bentuk full-profile. Pendekatan ini dipilih karena lebih realistis sehingga responden memperoleh gambaran yang lebih lengkap tentang suatu produk (Hair et al., 2006). Fractional factorial design digunakan agar jumlah stimuli yang dihasilkan lebih

(7)

7

sedikit, namun orthogonality antar level dan estimasi part-worth tetap terjaga (Hair et al., 2006). Stimuli dihasilkan secara otomatis melalui peranti lunak SPSS 17. Stimuli ini terdiri 16 estimation set dan 4 holdout set. Total stimuli adalah dua kali lipat dari jumlah parameter yang diestimasikan, sebagaimana disarankan Hair et al. (2006) untuk mendapatkan estimasi part-worth yang stabil. Data input rating dipilih karena responden akan terbebani jika harus mengurutkan 20 stimuli, yang masing-masing terdiri dari 7 atribut. Skala 1-11 digunakan untuk mengukur seberapa besar minat responden untuk menonton masing-masing profil film di bioskop.

Pengujian reliabilitas dan validitas dilakukan dengan melihat nilai korelasi Pearsons R,

Kendall’s tau, dan Kendall’s tau for 4 holdouts. Pearsons R digunakan untuk menilai seberapa baik goodness of fit model konjoin dan Kendalls tau digunakan untuk menilai validitas internal (Malhotra, 2010). Angka signifikansi korelasi Pearsons R dan Kendalls tau yang kurang dari 5% mengindikasikan bahwa model konjoin memiliki goodness of fit yang baik dan validitas internal tinggi (Shepherd et al., 2002, dikutip dari Hamin dan Elliot, 2006, p. 83). Sebagai tambahan,

Kendall’s tau for 4 holdouts digunakan untuk menilai validitas eksternal (Hair et al., 2006). 3.3.2. Analisis Kluster

Analisis kluster dilakukan berdasarkan tingkat kepentingan relatif yang diberikan responden terhadap setiap atribut. Standardisasi data tidak dilakukan karena skala data sama. Prosedur analisis kluster yang digunakan adalah Hierarchical dan K-means. Alasannya karena Malhotra (2010) menyarankan penggunaan kedua prosedur tersebut secara tandem. Peneliti terlebih dahulu menggunakan prosedur Hierarchical untuk menentukan jumlah kluster yang ideal. Dalam penelitian ini, teknik ward’s method dan ukuran squared euclidean distance digunakan untuk mengelompokan objek. Dari Agglomeration Schedule yang ditampilkan SPSS 17 dapat diketahui pada tahapan ke berapa distance coefficient mengalami lompatan besar. Selisihnya dengan jumlah responden kemudian ditetapkan sebagai jumlah kluster yang akan dibentuk oleh prosedur K-Means. 4. Hasil Penelitian dan Diskusi

Peneliti terlebih dahulu melakukan pretest terhadap 10 orang responden. Setelah hasilnya dinyatakan valid dan reliable dan tidak ada lagi bagian kuisioner yang tidak dimengerti responden, kuisioner segera diperbanyak dan disebarkan secara masal. Penyebaran kuisioner dilakukan selama satu minggu yang dimulai sejak minggu pertama bulan Desember 2012. Total terkumpul 117 kuisioner dari 120 kuisioner yang disebarkan. Tiga kuisioner sisanya tidak dikembalikan setelah melewati batas waktu yang ditentukan. Tidak semua data yang terkumpul diproses lebih lanjut. Sembilan kuisioner dieliminasi dari analisis karena tidak memenuhi syarat.

(8)

8

Hasil pengujian reliabilitas dan validitas analisis konjoin secara agregat menunjukkan bahwa terdapat korelasi kuat antara hasil estimasi dan hasil aktual. Hal ini berarti model konjoin memiliki ketepatan prediksi tinggi dalam memprediksikan preferensi aktual responden terhadap 16 estimation set dan preferensi aktual responden terhadap 4 holdout set. Berikut ini adalah hasil analisis konjoin 108 orang responden yang kuisionernya diproses lebih lanjut.

Tabel 4.1 Tingkat Kepentingan Relatif dan Utilitas Level-Level Atribut secara Agregat

Atribut Level Atribut

Tingkat Kepentingan (%) Utilitas Genre Action 30,31 ,756 Komedi ,270 Drama ,001 Horor -1,027 Country of origin Amerika 19,26 ,711 Asing ,012 Indonesia -,724 Pricing Rp35.000 16,44 ,714 Rp70.000 -,714

Actor Box-office hit 11,53 ,554

Non Box-office hit -,554

Director Box-office hit 9,79 ,399

Non Box-office hit -,399

Information sources Kritikus 6,89 ,198 Teman -,198 Symbolism Adapted 5,78 ,126 Original -,126 Pearson’s R = 0,989* Kendall’s Tau =0,917*

Kendall’s Tau for 4 Holdouts = 0,667** *Signifikan pada angka 0,05

**Signifikan pada angka 0,1

Sumber: Hasil olahan peneliti

Genre adalah atribut terpenting pertama yang memiliki tingkat kepentingan 31%. Austin dan Gordon (1987) dalam Desai dan Basuroy (2005) menyatakan bahwa genre adalah faktor yang dipertimbangkan pertama kali dan dianggap paling penting oleh konsumen saat mengevaluasi alternatif film. Responden secara berurutan lebih menyukai film bergenre action, komedi, drama, dan horor. Hasil penelitian terdahulu juga menunjukkan bahwa konsumen cenderung lebih menyukai film-film bergenre tertentu (Gazley et al., 2011).

Country of origin (COO) adalah atribut terpenting kedua yang memiliki tingkat kepentingan relatif 19,26%. Tingginya tingkat kepentingan atribut ini boleh jadi disebabkan karakteristik produk

(9)

9

film itu sendiri yang bersifat intangible dan experiential. Cattin et al. (1982) dalam Elliot dan Cameron (1994) menyatakan bahwa konsumen cenderung menggunakan COO sebagai petunjuk ekstrinsik dalam mengevaluasi suatu produk ketika petunjuk-petunjuk intrinsik produk tersebut sangat sulit dievaluasi sebelum dibeli. Responden secara berurutan lebih menyukai film yang berasal dari negara Amerika Serikat, Asing (selain AS), dan Indonesia. Gazley et al. (2011) berpendapat film-film Hollywood lebih disukai karena mendapat penerimaan luas dan konsumen lebih aware dengan bentuk pengalaman yang akan diterima.

Pricing strategy adalah atribut terpenting ketiga yang memiliki tingkat kepentingan 16,44%. Relatif tingginya tingat kepentingan atribut ini mengindikasikan bahwa intensi responden untuk menonton film di bioskop juga dipengaruhi oleh atribut eksternal yang tidak terkait langsung dengan konten film. Bagaimanapun, responden lebih menyukai harga tiket bioskop Rp 35.000,00 yang lebih murah daripada harga tiket bioskop Rp 70.000,00 yang lebih mahal. Teori penetapan harga menyatakan bahwa, apabila semua hal tetap sama, konsumen lebih menyukai harga tiket bioskop yang lebih murah daripada harga tiket bioskop yang lebih mahal (Schotte, 2001; Begg et al., 2003, dikutip dari Gazley et al., 2011, p. 856). Itulah sebabnya harga yang lebih mahal memiliki efek negatif terhadap utilitas responden secara keseluruhan.

Responden lebih menyukai film yang melibatkan aktor yang pernah membintangi film box

-office terlaris. Seperti judul film, informasi kehadiran seorang bintang berfungsi sebagai pencitraan merek (branding) yang membantu mengurangi ketidakpastian konsumen (Hennig-Thurau et al., 2001). Walaupun begitu, aktor bukan merupakan atribut terpenting bagi responden. Tingkat kepentingan atribut ini adalah 11,53% atau lebih rendah dari dua atribut eksternal yang tidak terkait langsung dengan konten film (country of origin dan pricing strategy). Padahal, siapa nama bintang yang akan terlibat sering dijadikan sebagai salah satu dasar untuk meloloskan suatu film ke tahap produksi aktual (Eliashberg et al., 2006).

Director adalah atribut terpenting kelima yang memiliki tingkat kepentingan 9,79 % atau lebih rendah dari atribut actor. Rendahnya tingkat kepentingan atribut ini boleh jadi disebabkan keberadaan sutradara yang tidak kasat mata sebagaimana aktor di depan layar. Menurut Hennig-Thurau et al. (2001), kinerja sutradara lebih sulit dievaluasi oleh khalayak dibandingkan kinerja aktor yang kasat mata. Walaupun begitu, responden lebih menyukai film yang melibatkan sutradara yang pernah menyutradarai film box-office terlaris. Seperti nama aktor, informasi nama sutradara berfungsi sebagai pencitraan merek (branding) yang membantu mengurangi ketidakpastian konsumen. Kinerja sutradara di film sebelumnya dapat dijadikan sebagai indikator untuk menilai kualitas film berikutnya (Hennig-Thurau et al., 2001).

(10)

10

Responden lebih menyukai film yang direkomendasikan kritikus daripada film yang direkomendasikan teman. Rekomendasi kritikus lebih disukai boleh jadi disebabkan status profesional dan akses yang dimiliki kritikus untuk memperoleh informasi film terbaru sehingga menjadikan mereka sebagai mata rantai utama dalam proses difusi (West dan Broniarczyk, 1998). Walaupun begitu, tingkat kepentingan atribut information sources hanya 6,89%. Hal ini mengindikasikan responden tidak begitu mementingkan pendapat orang lain dalam mengevaluasi alternatif film.

Responden lebih menyukai film adapted screenplay daripada film original screenplay. Hal ini membenarkan pendapat Gazley et al. (2011) yang menyatakan bahwa film adapted screenplay

memiliki kepastian lebih besar di pasar daripada film original screenplay. Favoritisme sebagian produsen film untuk memproduksi film adapted screenplay, sebagaimana dijelaskan Eliashberg et al. (2006), tampaknya cukup beralasan. Walaupun begitu, keputusan produsen untuk memberikan “lampu hijau” produksi sebuah film sebaiknya tidak hanya didasarkan pada adapted screenplay atau

original screenplay saja. Hal ini disebabkan atribut symbolism adalah atribut yang dianggap paling tidak penting oleh responden.

Langkah selanjutnya adalah mengelompokan responden ke dalam beberapa segmen dengan menggunakan analisis kluster. Analisis kluster ini dilakukan berdasarkan tingkat kepentingan relatif yang diberikan responden kepada setiap atribut. Berikut ini adalah tingkat kepentingan relatif atribut pada ketiga final cluster yang terbentuk.

Tabel 4.2 Final Cluster (Importance)

Atribut Kluster 1 2 3 Genre 22,586 52,581 20,821 Symbolism 6,366 4,774 5,960 Country of origin 22,979 13,886 19,491 Actor 15,159 8,587 9,908 Director 14,007 7,321 7,109 Information sources 11,192 3,883 4,549 Pricing 7,711 8,969 32,163

Jumlah responden 41 orang 30 orang 37 orang

Sumber: Hasil olahan peneliti

Responden terbanyak berada di kluster pertama namun jumlahnya hanya sedikit lebih banyak dari dua kluster lainnya. Setiap kluster paling tidak memiliki satu hingga dua preferensi atribut yang membedakannya dengan kluster lain. Hal ini dapat dilihat dari seberapa besar atau

(11)

11

rendah tingkat kepentingan yang diberikan setiap kluster terhadap suatu atribut. Satu-satunya atribut yang tidak dapat dijadikan sebagai pembeda antar kluster adalah symbolism karena angka signifikansinya lebih dari 0,05, sebagaimana ditunjukkan tabel ANOVA di bawah ini.

Tabel 4.3 ANOVA Satu Arah Final Cluster

Atribut F Sig. Genre 123,072 ,000 Symbolism 1,008 ,369 Country of origin 8,262 ,000 Actor 8,728 ,000 Director 7,346 ,001 Information sources 16,018 ,000 Pricing strategy 100,720 ,000

Sumber: Hasil olahan peneliti

Hasil olahan data SPSS memungkinkan peneliti untuk mengetahui siapa saja responden yang menjadi anggota kluster tertentu. Data kluster ini kemudian diolah kembali menggunakan analisis konjoin untuk mengetahui nilai utilitas level-level atribut setiap segmen.

Tabel 4.4 Utilitas Level-Level Atribut secara Segmen

Atribut Level Atribut Segmen 1 Segmen 2 Segmen 3

Genre Komedi ,104 ,575 ,206 Horor -,567 -2,167 -,611 Action ,512 1,800 ,179 Drama -,049 -,208 ,226 Symbolism Adapted ,171 ,067 ,125 Original -,171 -,067 -,125 Country of origin Amerika ,984 ,539 ,550 Indonesia -,907 -,415 -,771 Asing -,077 -,124 ,222

Actor Box-office hit ,726 ,429 ,466

Non Box-office hit -,726 -,429 -,466

Director Box-office hit ,616 ,342 ,206

Non Box-office hit -,616 -,342 -,206

Information sources Teman -,384 -,088 -,081 Kritikus ,384 ,088 ,081 Pricing Rp35.000 ,284 ,346 1,490 Rp70.000 -,284 -,346 -1,490 Constant. 5,681 5,440 5,089

(12)

12

Berdasarkan tingkat kepentingan relatif dan nilai utilitas, maka karakteristik segmen yang terbentuk dalam penelitian ini adalah sebagai berikut.

Segmen 1 – Highly-Involved Moviegoers

Segmen ini diberi nama Highly-Involved Moviegoers karena menggunakan lebih banyak atribut dalam mengevaluasi alternatif film di bioskop. Hal ini dapat dilihat dari relatif meratanya tingkat kepentingan atribut country of origin, genre, actor, director, dan information sources

segmen ini dibandingkan dua segmen lainnya yang cenderung mementingkan salah satu atribut saja. Salah satu ciri lainnya dari segmen ini adalah tidak begitu sensitif terhadap perubahan harga tiket bioskop. Hal ini dapat dilihat dari relatif rendahnya tingkat kepentingan atribut pricing strategy.

Country of origin dan genre merupakan dua atribut terpenting yang memiliki tingkat kepentingan yang relatif hampir sama, di mana level atribut Indonesia dan horor berdampak besar terhadap penurunan utilitas segmen ini. Hal ini bukan berarti produsen film Indonesia tidak dapat sepenuhnya menjangkau segmen ini. Relatif meratanya tingkat kepentingan atribut segmen ini memungkinkan produsen film untuk mengimbangi penurunan utilitas yang disebabkan level atribut Indonesia dengan peningkatan utilitas dari level-level atribut lain. Sebagai contoh, melibatkan aktor/sutradara ternama atau memperoleh kritik positif.

Segmen 2 – Genre-Enthusiast Moviegoers

Segmen ini diberi nama Genre-Enthusiast Moviegoers karena genre adalah atribut yang dianggap paling penting oleh segmen ini dalam mengevaluasi alternatif film. Bahkan, tingkat kepentingannya jauh melebihi tingkat kepentingan enam atribut lainnya sehingga harga tiket bioskop yang lebih murah atau partisipasi aktor dan sutradara ternama belum tentu menarik minat anggota segmen ini untuk menonton film-film yang tidak sesuai dengan preferensi genre mereka. Upaya untuk memperoleh kritik positif juga kontra produktif karena tingkat kepentingan atribut

information sources relatif sangat rendah dan tidak sebanding dengan penurunan utilitas yang diakibatkan perubahan level atribut genre.

Atribut terpenting setelah genre adalah country of origin. Meskipun segmen ini lebih menyukai film Hollywood, nilai utilitas level atribut Indonesia segmen ini relatif lebih tinggi dari dua segmen lainnya. Tingkat kepentingan atribut country of origin yang berada jauh di bawah atribut genre memungkinkan produsen film untuk mengimbangi penurunan utilitas yang disebabkan level atribut Indonesia dengan menghasilkan film yang sesuai dengan preferensi genre segmen ini.

(13)

13

Segmen 3 – Price-Sensitive Moviegoers

Segmen ini diberi nama Price-Sensitive Moviegoers karena sangat sensitif terhadap perubahan harga tiket bioskop. Hal ini dapat dilihat dari tingginya tingkat kepentingan atribut

pricing strategy. Segmen ini juga tidak begitu memedulikan penilaian yang diberikan orang lain dalam mengevaluasi alternatif film. Hal ini dapat dilihat dari relatif rendahnya tingkat kepentingan atribut information sources. Berbeda dengan segmen sebelumnya, peningkatan utilitas yang disebabkan partisipasi aktor ternama di segmen ini relatif lebih tinggi. Sebaliknya, peningkatan utilitas yang disebabkan partisipasi sutradara ternama di segmen ini relatif lebih rendah.

Atribut terpenting berikutnya setelah pricing strategy adalah genre dan country of origin. Preferensi genre segmen ini berbeda dari dua segmen lainnya. Segmen ini lebih menyukai film bergenre drama atau komedi dibandingkan film bergenre action. Selain itu, segmen ini memiliki nilai utilitas level atribut negara Asing yang positif meskipun nilainya masih lebih rendah dari film Hollywood. Walaupun lebih menyukai film Hollywood, harga tiket bioskop yang lebih murah dapat menarik minat anggota segmen ini untuk menonton film-film selain produksi Hollywood.

Profil responden di setiap segmen pada dasarnya tidak banyak berbeda. Perbedaan paling mencolok hanya terlihat di segmen 3 yang didominasi responden berjenis kelamin perempuan. Hal ini berbeda dengan dua segmen lainnya yang memiliki komposisi jenis kelamin relatif hampir sama, di mana responden laki-laki hanya sedikit lebih banyak daripada responden perempuan.

Tabel 4.5 Profil Responden di Setiap Segmen

Segmen 1 Segmen 2 Segmen 3

41 responden 30 responden 37 responden

Jenis Kelamin Laki-laki 56,1% 53,3% 35,1%

Perempuan 43,9% 46,7% 64,9% Pengeluaran untuk aktivitas hiburan di bawah 200.000 19,5% 16,7% 21,6% 200.001 - 400.000 43,9% 40% 45,9% 400.001 - 600.000 19,5% 16,7% 18,9% 600.001 - 800.000 2,4% 6,7% 2,7% di atas 800.000 14,6% 20% 10,8% Frekuensi kunjungan bioskop 1 - 3 kali 68,3% 70% 73% 4 - 6 kali 22% 23,3% 24,3% 7 - 9 kali 7,3% 3,3% 2,7% di atas 9 kali 2,4% 3,3% 0% Waktu yang dihabiskan untuk menonton film

kurang dari 5 jam 31,7% 30% 24,3%

6 - 10 jam 41,5% 40% 54,1%

11 - 15 jam 12,2% 16,7% 5,4%

16 - 20 jam 12,2% 6,7% 5,4%

(14)

14

Film yang paling banyak ditonton semua segmen adalah film Hollywood. Namun film yang paling banyak ditonton berikutnya di segmen 3 adalah film Korea, bukan film Indonesia dan film Inggris sebagaimana segmen 1 dan segmen 2. Hal ini sangat beralasan mengingat anggota segmen ini didominasi responden berjenis kelamin perempuan dan lebih menyukai film-film bergenre drama. Dibandingkan dua segmen lainnya, anggota segmen 3 juga lebih banyak menonton film yang berasal dari Korea, Jepang, Thailand, dan India. Di sisi lain, film-film Eropa lebih banyak ditonton oleh anggota segmen 1.

Tabel 4.5 Profil Responden di Setiap Segmen (lanjutan)

Segmen 1 Segmen 2 Segmen 3

41 responden 30 responden 37 responden

Film yang ditonton dalam 3 bulan terakhir Amerika 100% 100% 97,3% Cina 12,2% 10% 8,1% India 7,3% 6,7% 10,8% Indonesia 48,8% 46,7% 32,4% Inggris 48,8% 43,3% 27% Italia 4,9% 3,3% 0% Jepang 19,5% 16,7% 21,6% Jerman 4,9% 10% 2,7% Korea 31,7% 23,3% 40,5% Perancis 19,5% 10% 10,8% Thailand 7,3% 6,7% 18,9% Lainnya 2,4% 0% 2,7% Informasi film terbaru Cetak 51,2% 36,7% 27% Televisi 39% 26,7% 32,4% Radio 12,2% 6,7% 0% Outdoor 14,6% 10% 8,1% Internet 85,4% 80% 89,2% Teman 26,8% 53,3% 45,9%

Sumber: Hasil olahan peneliti

Semua responden di setiap segmen paling banyak mendapatkan informasi film terbaru dari media Internet. Hal ini berarti pemasar tidak perlu repot mencari media khusus untuk menyasar segmen tertentu. Namun sumber informasi film terbaru terbanyak berikutnya di segmen 1 bukan teman, melainkan media cetak. Hal ini sangat beralasan mengingat anggota segmen ini menaruh perhatian yang lebih besar terhadap komentar kritikus. Di sisi lain, media radio dan media outdoor

(15)

15

5. Kesimpulan

Faktor-faktor yang digunakan sebagai atribut penelitian ini dibangun berdasarkan model penelitian Gazley et al. (2011), antara lain tema cerita film (genre), simbolisme (symbolism), negara asal, (country of origin), aktor (actor), sutradara (director), dan harga tiket (pricing strategy). Tingkat kepentingan relatif yang diberikan responden terhadap setiap atribut mulai dari yang paling tinggi sampai dengan yang paling rendah, antara lain genre (30,31%), country of origin (19,26%),

pricing strategy (16,44%), actor (11,53%), director (9,79%), information sources (6,89%) dan

symbolism (5,78%). Responden secara agregat lebih menyukai film yang bergenre action, diadaptasi dari karya yang pernah dipublikasikan sebelumnya, diproduksi studio film Amerika, melibatkan aktor/aktris dan sutradara yang pernah berpartisipasi dalam film-film box-office terlaris, direkomendasikan kritikus film, dan harga tiket bioskop Rp 35.000,00. Responden dapat dikelompokkan ke dalam tiga segmen berdasarkan tingkat kepentingan relatif atribut. Setiap segmen paling tidak memiliki karakteristik yang terlihat lebih menonjol dari segmen lainnya. Segmen 1 diberi nama Highly-Involved Moviegoers karena menggunakan lebih banyak atribut dalam mengevaluasi alternatif film. Segmen 2 diberi nama Genre-Enthusiast Moviegoers karena tingkat kepentingan atribut genre jauh melebihi tingkat kepentingan enam atribut lainnya. Segmen 3 diberi nama Price-Sensitive Moviegoers karena sangat senstif terhadap perubahan harga tiket. 6. Implikasi Manajerial

Pelaku industri perfilman Indonesia yang ingin menyasar segmen Highly-Involved Moviegoers dapat mengembangkan lebih jauh strategi pemasaran berikut. Produsen film perlu menciptakan diferensiasi dan positioning yang dapat meyakinkan anggota segmen ini bahwa filmnya tidak kalah bersaing dengan film-film Hollywood. Namun untuk mencapai itu, produsen film tidak selalu harus mengeluarkan biaya produksi besar sebagaimana film blockbuster Hollywood. Hal ini dapat dilakukan produsen film dengan melakukan pemutaran di festival-festival film luar negeri sebelum merilis filmnya secara luas di bioskop tanah air. Setiap komentar positif yang diberikan kritikus film luar negeri harus ditonjolkan di setiap iklan dan publisitas. Selain itu, keterlibatan aktor dan sutradara ternama dapat menjadi nilai lebih tersendiri. Importir film dapat memanfaatkan indeks popularitas atau indeks terkait lainnya yang dipublikasikan media internasional untuk mengidentifikasikan siapa saja nama aktor/aktris dan sutradara yang memiliki

star power tinggi. Film-film terbaru yang melibatkan nama-nama besar ini dapat dijadikan alternatif untuk ditawarkan kepada bioskop. Bioskop dapat membebankan harga tiket yang lebih tinggi. Namun, diskriminasi harga harus didesain sedemikian rupa agar persepsi nilai konsumen tetap

(16)

16

positif. Hal ini dapat dilakukan dengan menawarkan program-program khusus yang memberikan perlakuan istimewa kepada konsumen

Pelaku industri perfilman Indonesia yang ingin menyasar segmen Genre-Enthusiast Moviegoers dapat mengembangkan lebih jauh strategi pemasaran berikut. Produsen film dapat meniru strategi beberapa produsen film Hollywood yang mengembangkan manajemen portofolio berdasarkan spesialisasi genre. Upaya produsen film untuk memperoleh kritik positif adalah tidak produktif. Produsen film sebaiknya berfokus pada aktifitas publisitas seperti wawancara pemain yang disiarkan stasiun televsi atau ulasan film yang dipublikasikan situs berita online. Konten yang ditonjolkan dalam ulasan ini nantinya bukan berupa penilaian baik atau buruk melainkan jalan cerita film secara umum. Produsen film dapat melibatkan aktor pendatang baru. Importir film dapat mengembangkan manajemen portofolio berdasarkan genre sebagaimana produsen film. Bioskop dapat sesekali mengadakan event khusus pemutaran film bergenre tertentu. Data pengunjung yang terkumpul dapat dijadikan sebagai dasar untuk mengukur seberapa besar potensi keuntungan setiap

genre. Genre yang paling banyak mendatangkan penonton berarti harus diberikan prioritas.

Pelaku industri perfilman Indonesia yang ingin menyasar segmen Price-Sensitive Moviegoers dapat mengembangkan lebih jauh strategi pemasaran berikut. Bioskop sebaiknya menawarkan harga tiket yang lebih murah khusus pemutaran film-film asing non Hollywood. Hal ini berarti sinyal positif bagi importir film untuk memasok film-film asing non Hollywood ke bioskop. Berdasarkan profil responden, film-film Korea atau Jepang dan bergenre drama atau komedi adalah yang paling potensial. Produsen film yang ingin menyasar segmen ini sebaiknya memproduksi film-film bergenre drama yang dibintangi aktor yang pernah berpartisipasi dalam beberapa film terlaris. Selain itu, upaya produsen film untuk memperoleh kritik positif adalah tidak produktif, sama seperti produsen film yang ingin menyasar segmen Genre-Enthusiast Moviegoers. 7. Keterbatasan

Penelitian ini tidak mengantisipasi kejenuhan responden selama mengevaluasi 20 profil film. Penelitian berikutnya sebaiknya memikirkan bagaimana caranya agar responden menjadi tidak jenuh. Hal ini dapat dilakukan dengan mengurangi jumlah stimuli yang harus dievaluasi responden atau menyisipkan pertanyaan-pertanyaan yang tidak membebani responden secara kognitif setiap kali responden telah mengevaluasi 5 atau 10 profil film.

Penelitian ini tidak mengakomodasi film-film luar negeri yang telah lama dirilis di negara asalnya namun baru diputar di bioskop tanah air sesaat setelah mendapatkan penghargaan bergengsi. Penelitian berikutnya sebaiknya menambahkan faktor awards sebagai atribut penelitian.

(17)

17

Penelitian ini tidak mengakomodasi konvergensi atribut sumber informasi, di mana suatu film mungkin saja direkomendasikan teman namun tidak direkomendasikan kritikus atau sebaliknya. Akan tetapi, peneliti berikutnya harus berhati-hati jika ingin membuat atribut teman dan kritikus secara terpisah. Hal ini disebabkan ketidaksimetrisan fungsi utilitas, di mana kerugian $1 menghasilkan ketidakpuasan yang lebih besar daripada kepuasan yang dihasilkan dari keuntungan $1 (Kahneman dan Tversky, 1979, dikutip dari Basuroy et al., 2003, p. 106). Salah satu cara yang dapat dipertimbangkan kembali oleh peneliti berikutnya adalah membuat superattributes, sebagaimana disarankan Hair et al. (2006).

Penelitian ini tidak mempertimbangkan model interaksi. Penelitian berikutnya sebaiknya menambahkan juga model interaksi untuk melihat apakah ada efek interaksi antar variabel. Tingkat kepentingan atribut genre dan country of origin yang selalu tinggi di setiap segmen memunculkan dugaan bahwa kedua variabel ini saling berinteraksi. Namun, dugaan ini masih perlu diuji kebenarannya.

Karakteristik segmen yang terbentuk masih kurang tereksplorasi baik urutan maupun komposisinya secara demografis. Penelitian berikutnya dapat menambahkan aplikasi VALS dan analisis diskriminan untuk mengeksplorasi karakteristik segmen secara psikografis, sebagaimana dilakukan Astuti (2002) terhadap pengguna telepon genggam.

Daftar Pustaka

Astuti, R.D. (2002). Aplikasi VALS 2 untuk Segmentasi Mahasiswa Pengguna Telepon Selular di Jakarta. Skripsi Sarjana. Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia.

Basuroy, S., Chatterjee, S., & Ravid, S.A. (2003). How Critical Are Critical Reviews? The Box Office Effects of Film Critics, Star Power, and Budgets. Journal of Marketing, 67 (4), 103-117.

Desai, K.K. & Basuroy, S. (2005). Interactive Influence of Genre Familiarity, Star Power, and Critics’ Reviews in the Cultural Goods Industry: The Case of Motion Pictures. Psychology & Marketing, 22 (3), 203-223.

Eliashberg, J., Elberse, A., & Leenders, M.A.A.M. (2006). The Motion Picture Industry: Critical Issues in Practice, Current Research, and New Research Directions. Marketing Science, 25 (6), 638-661.

Elliott, G.R. and Cameron, R.S. (1994). Consumer Perception of Product Quality and the Country-of-Origin Effect. Journal of International Marketing, 2 (2), 49-62.

Furstenau, M. (1995). Film Genre: The Pragmatics of Classification. Department of Comparative Literature and Film Studies. University of Alberta.

(18)

18

Green, P.E. & Krieger, A.M. (1991). Segmenting Markets with Conjoint Analysis. Journal of Marketing, 55 (4), 20-31.

Hair, J.F. Jr., Rolph E. Anderson, Robert L. Tatham and William C. Black (2006). Multivariate Data Analysis. 6th ed. New Jersey: Pearson Prentice Hall.

Hamin & Elliott, G. (2006). A less-developed country perspective of consumer ethnocentrism and “country of origin” effects: Indonesian evidence. Asia Pasific Journal of Marketing and Logistics, 18 (2), 79-91.

Hawkins, D.I., Best, R.J., Coney, K.A. (2004). Consumer Behavior: Building Marketing Strategy. 9th ed. New York: McGraw-Hill.

Hennig-Thurau, T., Walsh, G., Wruck, O. (2001). An Investigation into the Factors Determining the Success of Service Innovations: The Case of Motion Pictures. Academy of Marketing Science Review, 6, 1-23.

Hennig-Thurau, T, Houston, M.B., & Walsh, G. (2007) Determinants of motion picture box office and profitability: an interrelationship approach. Department of Media Research. Buhaus-University of Weimar Germany.

Holbrook, M.B. (1999). Popular Appeal versus Expert Judgements of Motion Pictures. Journal of Consumer Research, 26, 144-155

Karniouchina, E.V. (2008). Empirical Essays on Marketing Issues in Motion Pictures. David Eccles School of Business. The University of Utah.

Kemenparekraf (2012a, March 30). Kemdikbud dan Kemenparekraf Akan Bersinergi Untuk Merealisasikan Potensi Perfilman di Indonesia. Diakses 3 September 2012 di http://www.budpar.go.id/budpar/asp/

Kemenparekraf (2012b, August 13). Laporan Akuntabilitas Kinerja Tahun 2011 Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif. Diunduh 1 September 2012 di http://www.budpar.go.id/budpar/asp/

Kotler, P. & Armstrong, G. (2010). Principles of Marketing. 13th ed. Pearson Education. New Jersey.

Liu, Y. (2006). Word of Mouth for Movies: Its Dynamics and Impact on Box Office Revenue.

Journal of Marketing, 70 (3), 74-89.

Malhotra, N. (2010). Marketing Research An Applied Orientation. 6th ed. New Jersey: Pearson Prentice Hall..

Mohr, I. (2007). Buzz marketing for movies. Business Horizons, 50, 395-403.

Oxford Economics. (2011). The Economic Contribution of the Film and Television Industries in Indonesia. Diunduh 1 September 2012 dari MPA Asia Pasific dari: http://mpa-i.org/index.php/research_statistics

Noven, L.M. & Aji, R.S. (2013, January 6). Merajut Rantai Industri Film Indonesia. Fortune Indonesia, 53, 50.

(19)

19

Rasheed, Z. & Shah, M. (2002). Movie Genre Classification by Exploiting Audio-Visual Features of Previews. Computer Vision Lab. University of Central Florida.

Skilton, P.F. (2009). Knowledge based resources, property based resources and supplier bargaining power in Hollywood motionn picture projects. Journal of Business Research, 62, 834-840. Theatres. Diakses 3 September 2012 di http://www.21cineplex.com/theaters

West, M. & Broniarczyk, S.M. (1998). Integrating Multiple Opinions: The Role of Aspiration Level on Consumer Response to Critic Consensus. Journal of Consumer Research, 25 (1), 38-51.

Gambar

Tabel 4.1 Tingkat Kepentingan Relatif dan Utilitas Level-Level Atribut secara Agregat
Tabel 4.2 Final Cluster (Importance)     Atribut  Kluster  1  2  3  Genre  22,586  52,581  20,821  Symbolism  6,366  4,774  5,960  Country of origin  22,979  13,886  19,491  Actor  15,159  8,587  9,908  Director  14,007  7,321  7,109  Information sources  11,192  3,883  4,549  Pricing  7,711  8,969  32,163
Tabel 4.3 ANOVA Satu Arah Final Cluster
Tabel 4.5 Profil Responden di Setiap Segmen
+2

Referensi

Dokumen terkait

Alternatif strategi penanggulangan erosi tanah akibat kegiatan pemanenan hutan yang bisa dilakukan antara lain melakukan konservasi tanah sedini mungkin dengan pembuatan cross drain

Ada yang berpendapat bahwa Indonesia tidak ada kaitannya dengan Laut China Selatan ada juga yang melihat Indonesia tidak bisa melepaskan diri dari kerumitan di kawasan

Berdasarkan hasil analisis mengenai Implementasi Desa Adat Osing Dalam Mengembangkan Potensi Pariwisata di Desa Kemiren Kecamatan Glagah Kabupaten Banyuwangi dari

Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan mengenai kinerja keuangan perusahaan sektor industry semen 2009-2013 (PT. Semen Indonesia, PT. Indocement Tunggal Prakarsa,

Area terbangun pada Kebun Binatang Surabaya saat ini mencapai 2,5 hektar atau 16,7%, sedangkan menurut Perda Kota Surabaya prosentase luar RTH pada Hutan Kota ialah 90% dan 10%

Memahami, menerapkan, menganalisis, dan mengevaluasi tentang pengetahuan actual, konseptual, operasional dasar, dan metakognitif sesuai dengan bidang dan lingkup Praktikum

Karena F hitung > Ftabel atau 105,53 > 2,37 maka Ho ditolak berarti panjang geram yang dihasilkan pada proses pembubutan dengan menggunakan radius pemutus geram yang

Pengujian perbedaan kekuatan retensi basis gigi tiruan lengkap resin akrilik yang diberi lapisan bahan relining heat cured, self cured dan soft liner dengan uji statistik