• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II KAJIAN PUSTAKA. medium yang secara harfiah berarti perantara atau pengantar. Secara definisi media

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II KAJIAN PUSTAKA. medium yang secara harfiah berarti perantara atau pengantar. Secara definisi media"

Copied!
27
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

KAJIAN PUSTAKA 2.1 Media Pembelajaran

2.1.1 Pengertian Media Pembelajaran

Kata media berasal dari bahasa latin dan merupakan bentuk jamak dari kata medium yang secara harfiah berarti perantara atau pengantar. Secara definisi media adalah suatu perangkat yang dapat menyalurkan informasi dari sumber ke penerima informasi (Yamin, 2012: 176). Selanjutnya Sadiman (2011: 14) mengemukakan bahwa media pendidikan sebagai salah satu sumber belajar yang dapat menyalurkan pesan sehingga mampu mengatasi perbedaan gaya belajar, minat, intelegensi, keterbatasan daya indera dan lain-lain dengan pemanfaatan media pendidikan.

Asyhar (2012: 8) menggambarkan media pembelajaran sebagai segala sesuatu yang dapat menyampaikan atau menyalurkan pesan dari suatu sumber secara terencana sehingga terjadi lingkungan belajar yang kondusif dimana penerimanya dapat melakukan proses belajar secara efisien dan efektif. Selanjutnya Hamalik (Arsyad, 2011: 15) mengemukakan pemakaian media pembelajaran dalam proses belajar mengajar dapat membangkitkan keinginan dan minat yang baru, membangkitkan motivasi dan rangsangan kegiatan belajar.

2.1.2 Manfaat dan Tujuan Media Pembelajaran

Menurut Asyhar (2012: 49) dalam usaha untuk memanfaatkan media sebagai alat bantu mengajar Edgar Dale (1969) dalam bukunya “Audio visual methods in teaching”, Edgar Dale membuat klasifikasi menurut tingkat dari yang paling konkret ke yang paling abstrak. Klasifikasi tersebut kemudian dikenal dengan nama “kerucut pengalaman” dari Edgar Dale dan pada saat itu dianut secara luas dalam menentukan

(2)

alat bantu yang paling sesuai untuk pengalaman belajar. Pengalaman yang paling konkret diletakkan pada dasar kerucut dan semakin ke puncak pengalaman yang diperoleh semakin abstrak seperti terlihat pada Gambar 2.1 berikut ini:

Gambar 2.1 Kerucut pengalaman Edgar Dale (Arsyad, 2011: 11 ).

Sanjaya (2013: 200) menyatakan bahwa kerucut pengalaman yang dikemukakan oleh Edgar Dale memberikan gambaran bahwa pengalaman belajar yang diperoleh siswa dapat melalui proses perbuatan atau mengalami sendiri apa yang dipelajari, proses mengamati dan mendengarkan melalui media tertentu dan proses mendengarkan melalui bahasa. Semakin konkret siswa mempelajari bahan pengajaran contohnya melalui pengalaman langsung, maka semakin banyaklah pengalaman yang diperoleh siswa. Sebaliknya, semakin abstrak siswa memperoleh pengalaman contohnya hanya mengandalkan bahasa verbal, maka semakin sedikit pengalaman yang akan diperoleh siswa.

Kedudukan media dalam komponen pembelajaran sangat penting bahkan sejajar dengan metode pembelajaran, karena metode yang digunakan dalam proses pembelajaran biasanya akan menuntut media apa yang dapat diintegrasikan dan diadaptasikan dengan kondisi yang dihadapi. Dengan demikian, peranan media dalam

Abstrak

(3)

proses pembelajaran diuraikan sebagai berikut. (1) alat untuk memperjelas bahan pembelajaran pada saat guru menyampaikan pembelajaran, (2) alat untuk menimbulkan persoalan persoalan untuk dikaji lebih lanjut oleh para siswa dalam proses belajarnya, (3) sumber belajar bagi siswa, artinya media berisikan bahan-bahan yang harus dipelajari baik secara individual maupun kelompok (Rusman, 2009: 154).

Yamin (2013: 178) mengemukakan bahwa manfaat media dalam kegiatan pembelajaran adalah memperlancar proses interaksi antara guru dengan siswa, dalam hal ini membantu siswa belajar secara optimal. Kemp and Dayton (1985) dalam Yamin (2013: 178) mengidentifikasi manfaat media dalam kegiatan pembelajaran, yaitu;

1. Penyampaian materi pembelajaran dapat diseragamkan. 2. Proses pembelajaran menjadi lebih menarik.

3. Proses belajar menjadi lebih interaktif.

4. Jumlah waktu belajar-mengajar dapat dikurangi. 5. Kualitas pembelajaran dapat ditingkatkan.

6. Proses belajar dapat terjadi kapan saja dan dimana saja.

7. Sikap positif siswa terhadap materi pembelajaran serta proses pembelajaran dapat ditingkatkan.

8. Peran guru berubah kearah yang positif, artinya guru tidak menempatkan diri sebagai satu-satunya sumber belajar.

Arsyad (2011: 24) menjabarkan manfaat praktis dari penggunaan media pembelajaran di dalam proses belajar mengajar sebagai berikut:

(4)

1. Media pembelajaran dapat memperjelas penyajian pesan dan informasi sehingga dapat memperlancar dan meningkatkan hasil belajar.

2. Media pembelajaran dapat meningkatkan dan mengarahkan perhatian anak sehingga dapat menimbulkan motivasi belajar, interaksi yang lebih langsung antara siswa lingkungannya, dan kemungkinan siswa untuk belajar sendiri-sendiri sesuai kemampuan dan minatnya.

3. Media pembelajaran dapat mengatasi keterbatasan indera, ruang dan waktu. 4. Media pembelajaran dapat memberikan kesamaan pengalaman kepada siswa

tengtang peristiwa-peristiwa di lingkungan mereka, serta memungkinkan terjadinya interaksi langsung.

2.1.3 Fungsi Media Pembelajaran

Arsyad (2002: 2) mengemukakan bahwa pengajaran akan lebih menarik peserta didik sehingga dapat menumbuhkan motivasi belajar, bahan pengajaran akan lebih jelas maknanya sehingga dapat lebih dipahami oleh peserta didik dan memungkinkannya menguasai dan mencapai tujuan pembelajaran, metode mengajar akan lebih bervariasi, tidak sematamata komunikasi verbal melalui penuturan kata -kata oleh guru, sehingga siswa tidak bosan, siswa lebih banyak melakukan kegiatan belajar sebab tidak hanya mendengarkan uraian guru, tetapi juga aktivitas lain seperti mengamati, demonstrasi, memerankan, dan lain-lain.

Menurut Asyhar (2012: 29) media pembelajaran bukan sekedar menjadi alat bantu pembelajaran, melainkan juga merupakan suatu strategi yang digunakan dalam pembelajaran yang memiliki banyak fungsi. Beberapa fungsi media tersebut sebagai berikut :

(5)

a. Media sebagai sumber belajar

Belajar adalah proses aktif dan konstruktif melalui suatu pengalaman dalam memperoleh informasi. Dalam proses aktif tersebut, media pembelajaran berperan sebagai salah satu sumber belajar bagi pembelajar. Artinya, melalui media peserta didik memperoleh pesan dan informasi sehingga membentuk pengetahuan baru pada diri peserta didik.

b. Fungsi Semantik

Semantik berkaitan dengan “meaning” atau arti dari suatu kata, istilah, tanda

atau symbol. Melalui media ini nantinya dapat menambah perbendaharaan kata dan istilah. Contohnya seperti kamus, glossary atau narasumber.

c. Fungsi Manipulatif

Fungsi manipulatif adalah kemampuan media dalam menampilkan kembali suatu benda atau peristiwa dengan berbagai cara sesuai kondisi, situasi, tujuan dan sasarannya.

d. Fungsi Fiksatif

Fungsi fiksatif adalah fungsi yang berkenaan dengan kemampuan suatu media untuk menangkap, menyimpan, menampilkan kembali suatu objek atau kejadian yang sudah lama terjadi. Artinya, fungsi fiksatif ini berkaitan dengan kemampuan merekam (record) media pada suatu peristiwa atau objek dan menyimpannya dalam waktu yang tak terbatas.

e. Fungsi Distributif

Fungsi distributif media pembelajaran berarti dalam sekali penggunaan satu materi, objek atau kejadian, dapat diikuti oleh peserta didik dalam jumlah yang besar

(6)

(tak terbatas) dan dalam jangkauan yang sangat luas sehingga dapat meningkatkan efesiensi waktu dan biaya. Contohnya televisi dan radio.

f. Fungsi Psikologis

Dari segi psikologis, media memiliki beberapa fungsi seperti fungsi atensi, fungsi afektif, fungsi kognitif, fungsi psikomotorik, fungsi imajinatif dan fungsi motivasi.

g. Fungsi Sosio-Kultural

Penggunaan media dalam belajar dapat mengatasi hambatan sosio-kultural antar peserta didik dengan adat, kebiasaan, lingkungan dan pengalaman yang berbeda-beda pada saat pembelajaran. Disini fungsi media mampu memberikan rangsangan, memberikan pemahaman tentang perlunya menjaga keharmonisan dan saling menghargai perbedaan yang ada.

2.1.4 Pemilihan Media Pembelajaran

Penggunaan media gambar pada proses belajar mengajar akan memberikan hasil yang optimal apabila digunakan secara tepat, dalam arti sesuai dengan materi pembelajaran dan bersifat mendukung. Guru akan lebih mudah mempertimbangkan kriteria-kriteria media yang baik dengan mengetahui prinsip-prinsip pemilihan media (Hosnan, 2014: 120). Sanjaya (2013: 224) mengemukakan beberapa prinsip dalam pemilihan media yang sebaiknya diperhatikan, yaitu sebagai berikut:

a. Pemilihan media harus sesuai dengan tujuan yang ingin dicapai. b. Pemilihan media harus berdasarkan konsep yang jelas.

(7)

d. Pemilihan media harus sesuai dengan gaya belajar siswa serta gaya dan kemampuan guru.

e. Pemilihan media harus sesuai dengan kondisi lingkungan, fasilitas, dan waktu yang tersedia untuk kebutuhan pembelajaran.

Sadiman (2011: 86) juga berpendapat bahwa ada beberapa hal yang perlu dipertimbangkan dalam pemilihan media diantaranya yang pertama adalah ketersedian sumber setempat, artinya bila media yang bersangkutan tidak terdapat pada sumber yang ada, harus dibeli atau buat sendiri. Kedua adalah memperhatikan dana, tenaga dan fasilitasnya. Ketiga adalah faktor yang menyangkit keluwesan, kepraktisan, dan ketahanan media yang bersangkutan untuk waktu yang lama. Faktor yang terakhir adalah efektivitas biayanya dalam jangka waktu panjang. Sehingga hakikat dari pemilihan media pada akhirnya adalah keputusan untuk memakai, tidak memakai, atau mengadaptasi media yang bersangkutan.

Apabila dilihat dari mekanismenya, Anderson (1976) dalam (Asyhar, 2012: 80) membagi model pemilihan media menjadi dua macam, yaitu model pemilihan tertutup dan model pemilihan terbuka.

a. Pemilihan tertutup adalah proses pemilihan yang dilakukan dari atas (Dinas Pendidikan) dan pihak sekolah hanya terima keputusan Dinas Pendidikan.

b. Pemilihan terbuka adalah pemilihan yang bersifat “bottom up” artinya guru atau

sekolah bebas memilih dan mengusulkan jenis media apa saja yang dibutuhkan sesuai dengan kebutuhan pembelajaran.

Apabila media yang tersedia cukup beragam dan jumlahnya banyak, maka para pengguna harus memilih jenis dan format terlebih dahulu. Untuk menghindari

(8)

ketidaktepatan media pembelajaran, maka pemilihan harus melalui prosedur yang sistematik dan terencana (Sadiman, 2011: 85).

Secara umum, langkah-langkah prosedur pemilihan media untuk pembelajaran dapat digambarkan berikut ini:

Gambar 2.2 Langkah-langkah prosedur pemilihan media (Asyhar, 2012: 85).

2.1.5 Klasifikasi Media Pembelajaran

Menurut Asyhar (2012: 46) Setiap jenis media memiliki karakteristik masing-masing dan menampilkan fungsi tertentu dalam menunjang keberhasilan proses belajar peserta didik. Pengelompokkan media pembelajaran penting dilakukan untuk memudahkan para pendidik dalam memahami sifat media dan dalam menentukan

Identifikasi Karakteristik Peserta Didik

Telaah Tujuan Pembelajaran

Telaah Materi Ajar

Analisis Kebutuhan

Jenis Media yang Sesuai Kebutuhan Memilih Media Menetapkan Pilihan Media Ketersediaan Kemampuan Pengguna emampuan Fasilitas Pendukung Fasilitas Pendukugem ampuan Biaya

(9)

media cocok untuk pembelajaran atau topik pembelajaran tertentu. Pengelompokkan media yang disusun para ahli mencakup lima kategori media pembelajaran, yaitu: a. Pengelompokkan media berdasarkan fisik, yakni dua dimensi (2D), tiga dimensi

(3D), media pandang diam (still picture), media pandang gerak (motion picture). b. Pengelompokkan berdasarkan unsur pokok atau indera yang dirangsang, yaitu

media audio, media visual, media audio-visual, media audio motion visual, media audio still visual, media audio semi-motion, media motion visual, media still visual, media audio, media cetak.

c. Pengelompokkan berdasarkan pengalaman belajar.

d. Pengelompokkan berdasarkan penggunaan, yaitu berkaitan dengan jumlah penggunanya, cara penggunannya, dan hirarki manfaat media.

2.2 Pengembangan Media Pembelajaran

Menurut Asyhar (2012: 94) “Pengembangan media pembelajaran merupakan kegiatan yang terintegrasi dalam penyusunan dokumen pembelajaran lainnya, seperti kurikulum, silabus dan rencana pelaksanaan pembelajaran (RPP), dan lain-lain. Artinya, setelah dokumen-dokumen pembelajaran tersebut siap disusun, dilanjutkan dengan pengadaan/penyiapan media pembelajarannya sebagai sumber belajar dan

alat bantu dalam proses pembelajaran”. Pengembangan media sangat penting untuk mengatasi kekurangan atau keterbatasan persediaan media yang ada. Disamping itu, media yang dikembangkan sendiri oleh pendidik dapat menghindari ketidak-tepatan (mismatch) karena dirancang sesuai kebutuhan, potensi sumber daya dan kondisi lingkungan masing-masing.

(10)

Menurut Borg and Gall (Setyosari, 2010:215) penelitian pengembangan adalah suatu proses yang dipakai untuk mengembangkan dan memvalidasi produk pendidikan. Penelitian ini menyangkut suatu langkah-langkah secara siklus. Langkah-langkah penelitian atau proses pengembangan ini terdiri atas kajian temuan penelitian produk yang akan dikembangkan, mengembangkan produk berdasarkan temuan-temuan tersebut, melakukan uji coba lapangan sesuai dengan latar dimana produk tersebut akan dipakai, dan melakukan revisi terhadap hasil uji lapangan. Penelitian pengembangan menurut Seels and Richey dalam (Setyosari, 2010:216) didefinisikan penelitian pengembangan sebagaimana dibedakan dengan pengembangan pembelajaran yang sederhana, didefinisikan sebagai kajian secara sistematik untuk merancang, mengembangkan dan mengevaluasi program-program, proses dan hasil-hasil pembelajaran yang harus memenuhi kriteria konsistensi dan keefektipan secara internal.

2.2.1 Pentingnya Pengembangan Media Pembelajaran

Sanjaya (2013: 198) menyatakan ketika ilmu pengetahuan dan teknologi berkembang pesat, proses pembelajaran tidak lagi dimonopoli oleh adanya kehadiran guru didalam kelas. Seorang desainer pembelajaran dituntut untuk dapat merancang pembelajaran dengan memanfaatkan berbagai jenis media dan sumber belajar yang sesuai agar proses pembelajaran berlangsung secara efektif dan efesien. Oleh karena itu, pengembangan media pembelajaran sangat penting dilakukan baik secara individual, bersama-sama atau melibatkan pihak eksternal karena ketersediaan media pembelajaran di sekolah, perguruan tinggi maupun lembaga pendidikan masih terbatas.

(11)

Menurut Asyhar (2012: 93) ada dua permasalahan yang berkaitan dengan media pembelajaran di lembaga-lembaga pendidik yaitu keterbatasan media dan kemanfaatan media. Ketersediaan media pembelajaran di berbagai sekolah masih kurang dan belum merata. Ada sekolah yang mampu menyediakan beragam media pembelajaran dalam jumlah yang banyak, namun ada pula sekolah yang belum memiliki ragam dan jumlah media pembelajaran yang diperlukan. Kemudian, kemanfaatan media pembelajaran dikaitkan sangat erat dengan peningkatan kualitas pembelajaran yang diharapkan sehingga dapat menciptakan pengalaman belajar yang lebih bermakna.

2.2.2 Prosedur dan Proses Pengembangan

Pengembangan media pembelajaran harus dilakukan secara sistematis berdasarkan langkah-langkah yang saling terkait untuk mengasilkan suatu media pembelajaran yang efektif meningkatkan mutu pembelajaran, sehingga diperlukan suatu perancangan yang baik.

Perancangan media pembelajaran dikemukakan oleh Asyhar (2012: 92) melalui 6 tahap kegiatan, yakni: (1) Menganalisis kebutuhan dan karakteristik siswa; (2) Merumuskan tujuan pembelajaran; (3) Merumuskan butir-butir materi; (4) Menyusun instrumen evaluasi; (5) Menulis naskah media; (6) Melakukan tes/evaluasi. Di samping enam langkah tersebut, tahap validasi ahli sebaiknya dilakukan terhadap naskah media/prototipe yang sudah disusun, yaitu sebelum dilakukan ujicoba lapangan.

(12)

Secara umum, prosedur perancangan media dapat dilihat pada gambar berikut:

Gambar 2.3 Prosedur Pengembangan Media Pembelajaran (Asyhar, 2012: 95). 1. Analisis Kebutuhan

Need assessment pembelajaran sesungguhnya merupakan proses sistematis yang mengkaji tujuan (kompetensi) yang ingin dicapai, dengan mengidentifikasi kesenjangan antara kondisi aktual (nyata) dan yang diharapkan. Analisis karakteristik peserta didik, yaitu : (a) karakteristik khusus, seperti pengetahuan, keterampilan, dan sikap awal peserta didik. (b) karakteristik umum, seperti kelas berapa, jenis kelamin apa, latar belakang budaya apa, kebiasaan, dan sebagainya. Dari hasil analisis tersebut, akan diperoleh informasi tentang apa yang dibutuhkan dan berapa kebutuhannyadan inilah yang digunakan sebagai dasar dalam pengembangan media pembelajaran yang akan dibuat.

Perumusan Tujuan Menganalisis Kebutuhan dan Karakter Siswa Perumusan Butir Materi Penyusunan Instrumen Evaluasi Penulisan Naskah Media/Prototipe Uji Coba Lapangan Revisi Naskah Produksi / cetak Validasi Ahli

(13)

2. Merumuskan Tujuan Pembelajaran

Perumusan tujuan adalah tahap yang sangat penting dalam merencanakan media pembelajaran, karena tujuan merupakan arah dan target kompetensi akhir yang ingin dicapai dari suatu proses pembelajaran.

3. Merumuskan Butir-butir Materi

Materi untuk media pembelajaran harus sinkron dengan tujuan pembelajaran. Untuk itu, perumusan butir materi harus didasarkan pada rumusan tujuan.

4. Menyusun Instrumen Evaluasi

Instrumen ini dimaksudkan untuk mengukur pencapaian pembelajaran, apakah tujuan sudah tercapai atau tidak.

5. Menyusun Naskah/Draft Media

Naskah untuk program media perlu disusun karena melalui naskah, tujuan pembelajaran dan materi ajar dituangkan dengan kemasan sesuai dengan jenis media, sehingga media yang dibuat benar- benar sesuai dengan keperluan.

6. Melakukan Validasi Ahli

Setiap naskah dan media pembelajaran yang sudah selesai disusun sebaiknya divalidasi oleh tim ahli.

7. Melakukan Ujicoba/Tes dan Revisi

Media yang sudah selesai dibuat, selanjutnya kemudian diujicobakan dalam kegiatan pembelajaran. Ujicoba ini dimaksudkan untuk melihat kesesuaian dan efektivitas media dalam pembelajaran.

Berdasarkan prosedur yang dijelaskan maka dapat disimpulkan bahwa untuk menghasilkan suatu media yang baik dalam proses pengembangannya diperlukan

(14)

suatu perancangan yang baik yang harus sesuai dengan kurikulum satu mata pelajaran, supaya mencapai tujuan pembelajaran yang diharapkan, sehingga media yang dikembangkan benar-benar sesuai dan dapat meningkatkan kualitas pembelajaran yang diharapkan serta sebagai sumber pembelajaran.

2.3 Foto Sebagai Media Pembelajaran

Foto adalah hasil pemotretan atau photografi menggunakan kamera foto. Proses pengambilan foto dapat secara detail karena mampu memperbesar gambar yang kecil dengan teknik zoom tertentu. Foto dapat dikatakan sebagai media visual yang efektif karena dapat memvisualisasikan obyek dengan lebih konkret, lebih realistis dan lebih akurat, dan foto dapat mengatasi ruang dan waktu (Asyhar, 2012: 58).

Sadiman (2011: 31) mengemukakan bahwa salah satu kelebihan media foto yaitu dapat mengatasi keterbatasan pengamatan kita. Apabila dikaitkan dengan materi pembelajaran yang berukuran kecil dan tidak dapat diamati dengan mata telanjang, maka dapat disajikan dengan jelas dalam bentuk foto.

Berdasarkan ciri dan bentuk fisiknya, foto termasuk kedalam kelompok media pembelajaran dua dimensi (2D), yaitu media yang tampilannya dapat diamati dari satu arah pandang dimana dimensi yang dapat dilihat dimensi panjang dan lebar. Sedangkan berdasarkan ciri fisik foto termasuk printed visuals, yaitu media visual cetak (Asyhar, 2012: 46).

(15)

2.4 Tinjauan Materi

2.4.1 Pengertian dan Morfologi Serbuk Sari.

Bunga atau Flos dikenal sebagai alat perkembangbiakan (organum reproductivum) pada tumbuhan Spermatophyta. Pada bunga inilah terdapat bagian-bagian yang mendukung terjadinya proses penyerbukan atau polinasi yaitu alat kelamin jantan (benang sari) dan alat kelamin betina (putik). Tjitrosoepomo (2009: 177) menjelaskan bahwa benang sari merupakan metamorfosis daun yang bentuk dan fungsinya telah disesuaikan sebagai alat kelamin jantan. Putik juga merupakan alat kelamin betina yang juga tersusun atas daun-daun yang telah mengalami proses metamorfosis.

Apabila diperhatikan secara seksama, maka benang sari dapat dibedakan menjadi tiga bagian yaitu tangkai sari (filamentum), kepala sari (anthera), dan penghubung ruang sari (connectivum). Tempat terbentuknya serbuk sari (pollen) adalah ruang sari. Serbuk sari memiliki bentuk dan ukuran yang sangat beragam. Bentuk serbuk sari yang bermacam-macam dapat dijadikan sebagai indikator sifat dari segi taksonomi yang menjadi sarana identifikasi tumbuh-tumbuhan (Tjitrosoepomo, 2009: 171).

Secara morfologi, struktur serbuk sari dibedakan atas 2 lapisan dinding yaitu dinding luar dan dinding dalam. Dinding luar serbuk sari terdiri dari 2 lapis, dinding luar yang terdiri dari kutin yang strukturnya kasar disebut eksin dan dinding dalam yang tipis terdiri dari pektin dan selulosa disebut intin. Eksin biasanya terdiri dari atas bagian luar yang terukir disebut seksin dan bagian dalamnya disebut neksin. Neksin yang benar-benar menutupi intin biasanya membentuk suatu lapisan yang licin (Fahn,

(16)

1991: 706). Menurut Rowe (2006: 2) tipe ornamen dinding eksin serbuk sari sangat beragam dan dibedakan menjadi seperti Gambar 2.4 berikut:

Gambar 2.4 Tipe Ornamen Dinding Eksin Serbuk Sari (Rowe, 2006: 2)

Adapun salah satu contoh tumbuhan yang memiliki ornamen dinding eksin eksinnya rata (psilate), misalnya pada Kalanchoe pinnata dan Punica granatum; berduri (echinate), misalnya pada Hibiscus rosa-sinensis dan Ipomea pes-tigridis.; atau seperti jala (reticulate), misalnya pada Lilium sp dan Belamcanda sinensis (Anonim, 2011: 1).

Gambar 2.5 Contoh Ornamen Eksin, A: rata pada Kalanchoe pinnata, B: berduri pada Urena lobata, dan C: jala pada Lilium sp (Anonim, 2011: 1).

Mulyani (2006: 285) menjabarkan bahwa berdasarkan keragaman butir serbuk sari, pada tumbuhan Monocotyledoneae, sering terdapat butir serbuk sari berbentuk oval dari tetrad tunggal yang biasanya tersusun dalam satu bidang, sedangkan pada Dicotyledoneae biasanya susunannya tetrahedral. Kemudian Fahn (1991: 711) 1991: 706). Menurut Rowe (2006: 2) tipe ornamen dinding eksin serbuk sari sangat beragam dan dibedakan menjadi seperti Gambar 2.4 berikut:

Gambar 2.4 Tipe Ornamen Dinding Eksin Serbuk Sari (Rowe, 2006: 2)

Adapun salah satu contoh tumbuhan yang memiliki ornamen dinding eksin eksinnya rata (psilate), misalnya pada Kalanchoe pinnata dan Punica granatum; berduri (echinate), misalnya pada Hibiscus rosa-sinensis dan Ipomea pes-tigridis.; atau seperti jala (reticulate), misalnya pada Lilium sp dan Belamcanda sinensis (Anonim, 2011: 1).

Gambar 2.5 Contoh Ornamen Eksin, A: rata pada Kalanchoe pinnata, B: berduri pada Urena lobata, dan C: jala pada Lilium sp (Anonim, 2011: 1).

Mulyani (2006: 285) menjabarkan bahwa berdasarkan keragaman butir serbuk sari, pada tumbuhan Monocotyledoneae, sering terdapat butir serbuk sari berbentuk oval dari tetrad tunggal yang biasanya tersusun dalam satu bidang, sedangkan pada Dicotyledoneae biasanya susunannya tetrahedral. Kemudian Fahn (1991: 711) 1991: 706). Menurut Rowe (2006: 2) tipe ornamen dinding eksin serbuk sari sangat beragam dan dibedakan menjadi seperti Gambar 2.4 berikut:

Gambar 2.4 Tipe Ornamen Dinding Eksin Serbuk Sari (Rowe, 2006: 2)

Adapun salah satu contoh tumbuhan yang memiliki ornamen dinding eksin eksinnya rata (psilate), misalnya pada Kalanchoe pinnata dan Punica granatum; berduri (echinate), misalnya pada Hibiscus rosa-sinensis dan Ipomea pes-tigridis.; atau seperti jala (reticulate), misalnya pada Lilium sp dan Belamcanda sinensis (Anonim, 2011: 1).

Gambar 2.5 Contoh Ornamen Eksin, A: rata pada Kalanchoe pinnata, B: berduri pada Urena lobata, dan C: jala pada Lilium sp (Anonim, 2011: 1).

Mulyani (2006: 285) menjabarkan bahwa berdasarkan keragaman butir serbuk sari, pada tumbuhan Monocotyledoneae, sering terdapat butir serbuk sari berbentuk oval dari tetrad tunggal yang biasanya tersusun dalam satu bidang, sedangkan pada Dicotyledoneae biasanya susunannya tetrahedral. Kemudian Fahn (1991: 711)

(17)

menambahkan bahwa butir polen pada tumbuhan Monocotyledoneae biasanya mempunyai satu aperatur sedangkan pada Dicotyledoneae biasanya ada tiga.

Serbuk sari kelompok tumbuhan Monocotyledoneae umumnya memiliki satu celah panjang (monocolpate) sedang pada Dicotyledoneae terdapat tiga celah panjang (tricolpate). Celah yang kompleks, pada daerah sentral terdapat porus dan di daerah luar ada celah panjangnya, disebut colporate. Setiap polen memiliki 2 kutub yang berlawanan, sisi proksimal terdapat di tengah permukaan yang dekat dengan sumbu sedang sisi distal terdapat di tengah permukaan yang jauh terhadap pusat tetrad. Polen memiliki celah sebagai tempat keluarnya buluh serbuk. Celah polen ada yang sederhana dan kompleks. Celah yang panjang disebut kolpi sedang celah yang pendek dan bulat disebut porus (Anonim, 2011: 1). Rowe (2006: 1) membagi tipe celah dan pori serbuk sari yang sangat beragam seperti Gambar 2.6 berikut:

Gambar 2.6 Tipe Celah dan Pori Serbuk Sari (Rowe, 2006: 1).

Beberapa tumbuhan ada yang memiliki perkecualian atau anomali dari bentuk morfologi serbuk sari. Pada Dicotyledoneae, misalnya pada Piperaceae dan familia Ranalia juga ditemukan tipe serbuk sari dengan tingkap tunggal (satu aperatur). Kemudian pada Nymphaceae, ada dua genus yang mempunyai tingkap tunggal (satu

(18)

aperatur) dan ada yang mempunyai tiga tingkap (tiga aperatur). Ada pula butir serbuk yang mempunyai lebih dari tiga tingkap (tiga aperatur) (Mulyani, 2006: 285).

Menurut Fahn (1991: 71), berdasarkan tipe-tipe aperatur serbuk sari dibedakan menjadi empat tipe yaitu sebagai berikut:

a. Sulkus, kerutan memanjang yang tegak lurus terhadap sumbu yang membujur, dikutub butir polen.

b. Kolpa, kerutan yang memanjang dengan sudut tegak lurus terhadap bidang ekuator, akhir dari kerutan tersebut langsung menghadap kutub-kutub butir polen. c. Ruga, kerutan memanjang dengan arah yang berbeda dari kedua tipe diatas. d. Porus, aperaturnya bundar. Bila jumlah porinya sedikit, porus hanya terdapat di

daerah ekuator, tetapi jika dalam jumlah besar dapat terbentuk di seluruh permukaan butir polen.

Mulyani (2006: 280) memaparkan bahwa perbedaan antara serbuk sari pada Monocotyledoneae dan Dicotyledoneae juga dapat kita ketahui berdasarkan tipe perkembangan serbuk sari. Ada dua tipe perkembangan serbuk sari pada cara pembentukan dinding dan pembelahan meiosis, yaitu:

a. Tipe suksesif, yaitu setiap pembelahan inti diiringi dengan pembentukan dinding. b. Tipe simultan, yaitu tekanan kearah tepi mulai berkembang hanya setelah

keempat inti dibentuk, dan pembentukan dinding menghasilkan tekanan ke arah dalam.

Selain memiliki bentuk yang beragam, serbuk sari juga memiliki ukuran yang bermacam-macam. Dalam satu genus tumbuhan memiliki aneka ukuran serbuk sari.

(19)

Erdtman dalam Mulyani (2006: 286) mengelompokkan butir serbuk sari berdasarkan ukurannya, yaitu:

a. Perminuta, berdiameter kurang dari 10 µm. b. Minuta, berdiameter antara 10-25 µm. c. Media, berdiameter antara 25-50 µm. d. Magna, berdiameter antara 50-100 µm. e. Permagna, berdiameter antara 100-200 µm. f. Giganta, berdiameter lebih dari 200 µm.

Butir serbuk sari (pollen) adalah mikrospora tumbuhan berbiji yang mengandung mikrogametofit masak atau belum masak. Serbuk sari dihasilkan oleh benang sari untuk menghasilkan buah. Tjitrosoepomo (2009: 177) mengemukakan bahwa serbuk sari merupakan bagian bunga yang amat lembut, jika terpisah-pisah mudah sekali beterbangan karena tiupan angin, ada pula yang bergumpal-gumpal. Jika tiap gumpalan terdiri atas 4 serbuk sari lazimnya dinamakan pollen tetrad, tetapi adapula yang tiap gumpalan terdiri atas sejumlah besar serbuk sari yang disebut pollinum.

Polen selain membentuk butiran tunggal (monad) juga dapat berlekatan membentuk tetrad dan poliad. Mikrospora akan berkembang menjadi polen muda. Susunan polen yang lain dapat membentuk tetrad yang linier, tetrad bentuk T, tetraeder, dan berbentuk decusatus, seperti pada Gambar 2.6 berikut:

(20)

Gambar 2.7 Contoh Susunan Unit Polen, A: linear pada Passiflora quadrangularis, B: bentuk T pada Passiflora foetida, dan C: tetraede pada Gardenia

augusta (Anonim, 2011: 1).

2.4.2 Bentuk Serbuk Sari Berdasarkan Polinator

Bunga siap melakukan proses penyerbukan ketika kepala sari pecah atau membuka dan keluar serbuk sarinya. Dikatakan sebagai peristiwa penyerbukan (pollination) adalah jatuhnya serbuk sari pada kepala putik (untuk tumbuhan Angiospermae) atau jatuhnya serbuk sari langsung pada bakal biji (untuk tumbuhan Gymnospermae). Tjitrosoepomo (2009: 194) mengemukakan bahwa serbuk sari yang sampai pada kepala putik (yang sementara itu sudah berperekat, sehingga serbuk sari tertangkap oleh kepala putik tadi), maka akan terjadi penyerbukan. Jika serbuk sari jatuh pada kepala putik yang cocok, serbuk sari akan bercambah, terjadilah buluh serbuk sari yang tumbuh menuju ke arah bakal biji. Namun, penyerbukan tidak selalu diikuti oleh pembuahan. Lazimnya penyerbukan hanya akan diikuti oleh pembuahan bila tumbuhan diserbuki oleh tumbuhan yang sama. Jika tidak, maka pembuahan tidak akan terjadi. Hal ini disebabkan karena serbuk sari yang jatuh pada kepala putik bunga tumbuhan yang berbeda tidak dapat tumbuh menjadi buluh serbuk sari dan biasanya akan mengalami kegagalan dalam pertumbuhannya.

Proses penyerbukan atau polinasi yang terjadi pada tumbuhan ada terjadi secara alami dan adapula yang melalui perantara. Misalnya, serangga yang datang

Gambar 2.7 Contoh Susunan Unit Polen, A: linear pada Passiflora quadrangularis, B: bentuk T pada Passiflora foetida, dan C: tetraede pada Gardenia

augusta (Anonim, 2011: 1).

2.4.2 Bentuk Serbuk Sari Berdasarkan Polinator

Bunga siap melakukan proses penyerbukan ketika kepala sari pecah atau membuka dan keluar serbuk sarinya. Dikatakan sebagai peristiwa penyerbukan (pollination) adalah jatuhnya serbuk sari pada kepala putik (untuk tumbuhan Angiospermae) atau jatuhnya serbuk sari langsung pada bakal biji (untuk tumbuhan Gymnospermae). Tjitrosoepomo (2009: 194) mengemukakan bahwa serbuk sari yang sampai pada kepala putik (yang sementara itu sudah berperekat, sehingga serbuk sari tertangkap oleh kepala putik tadi), maka akan terjadi penyerbukan. Jika serbuk sari jatuh pada kepala putik yang cocok, serbuk sari akan bercambah, terjadilah buluh serbuk sari yang tumbuh menuju ke arah bakal biji. Namun, penyerbukan tidak selalu diikuti oleh pembuahan. Lazimnya penyerbukan hanya akan diikuti oleh pembuahan bila tumbuhan diserbuki oleh tumbuhan yang sama. Jika tidak, maka pembuahan tidak akan terjadi. Hal ini disebabkan karena serbuk sari yang jatuh pada kepala putik bunga tumbuhan yang berbeda tidak dapat tumbuh menjadi buluh serbuk sari dan biasanya akan mengalami kegagalan dalam pertumbuhannya.

Proses penyerbukan atau polinasi yang terjadi pada tumbuhan ada terjadi secara alami dan adapula yang melalui perantara. Misalnya, serangga yang datang

Gambar 2.7 Contoh Susunan Unit Polen, A: linear pada Passiflora quadrangularis, B: bentuk T pada Passiflora foetida, dan C: tetraede pada Gardenia

augusta (Anonim, 2011: 1).

2.4.2 Bentuk Serbuk Sari Berdasarkan Polinator

Bunga siap melakukan proses penyerbukan ketika kepala sari pecah atau membuka dan keluar serbuk sarinya. Dikatakan sebagai peristiwa penyerbukan (pollination) adalah jatuhnya serbuk sari pada kepala putik (untuk tumbuhan Angiospermae) atau jatuhnya serbuk sari langsung pada bakal biji (untuk tumbuhan Gymnospermae). Tjitrosoepomo (2009: 194) mengemukakan bahwa serbuk sari yang sampai pada kepala putik (yang sementara itu sudah berperekat, sehingga serbuk sari tertangkap oleh kepala putik tadi), maka akan terjadi penyerbukan. Jika serbuk sari jatuh pada kepala putik yang cocok, serbuk sari akan bercambah, terjadilah buluh serbuk sari yang tumbuh menuju ke arah bakal biji. Namun, penyerbukan tidak selalu diikuti oleh pembuahan. Lazimnya penyerbukan hanya akan diikuti oleh pembuahan bila tumbuhan diserbuki oleh tumbuhan yang sama. Jika tidak, maka pembuahan tidak akan terjadi. Hal ini disebabkan karena serbuk sari yang jatuh pada kepala putik bunga tumbuhan yang berbeda tidak dapat tumbuh menjadi buluh serbuk sari dan biasanya akan mengalami kegagalan dalam pertumbuhannya.

Proses penyerbukan atau polinasi yang terjadi pada tumbuhan ada terjadi secara alami dan adapula yang melalui perantara. Misalnya, serangga yang datang

(21)

mengunjungi bunga, dan pada kaki serangga tanpa sengaja membawa serbuk sari ke bunga lain, dengan demikian serangga tersebut telah membantu proses penyerbukan. Pada sebagian besar tumbuhan yang penyerbukannya dibantu oleh serangga, materi lemak yang lengket, yang sering kali berwarna kuning atau oranye dan menutupi butir serbuk sari masak, tampaknya berasal dari tapetum, bukan dari perkembangan mikrospora (Mulyani, 2006: 284).

Tjitrosoepomo (2010: 45) menjabarkan bahwa dalam proses penyerbukan, adakalanya dibantu oleh angin sebagai perantara sehingga serbuk sari bisa jatuh tepat pada putik. Pada tumbuhan yang penyerbukannya berlangsung dengan perantara angin, serbuk sarinya cendrung mudah terpisah-pisah, karena bersifat sebagai tepung. Pada bunga yang penyerbukannya berlangsung dengan perantara insekta, serbuk sarinya berlekatan dengan perantara lem serbuk (polenkit) yang berupa zat yang menyerupai minyak atau zat-zat lainnya, dan dipindah-pindah sebagai massa yang bergumpal-gumpal.

Serangga penyerbuk merupakan salah satu layanan jasa ekosistem yang sangat penting bagi manusia maupun lingkungan dan berperan sebesar 35% penyediaan sumber pangan dunia (Klein dkk, 2007). Menurut Tjitrosoepomo (2009: 203), vektor atau perantara yang dapat menyebabkan dapat berlagsungnya penyerbukan. Bentuk atau ciri serbuk sari dapat dibedakan atas beberapa macam, yaitu:

a. Penyerbukan dengan perantara angin (anaemophyly,anemogamy)

Penyerbukan secara anemofili terjadi pada tumbuhan yang mempunyai sifat yaitu:

(22)

- Menghasilkan banyak sekali serbuk sari yang kecil, lembut serta tidak berlekatan, hingga mudah sekali beterbangan kemana-mana jika tertiup angin. - Kepala putik mempunyai bentuk seperti bulu ayam atau seperti benang, hingga

kemungkinan menangkap serbuk sari yang beterbangan menjadi lebih besar. - Bunga seringkali tidak mempunyai hiasan bunga (kelopak dan mahkota) atau

kedua bagian bunga itu amat tereduksi, sehingga baik benang sari maupun kepala putik tidak terlindung kalau ada tiupan angin.

- Kepala sari tidak melekat erat pada tangkai sari (dapat goyang) memudahkan hamburan serbuk sari kemana-mana jika ada tiupan angin.

- Tempat bunga tidak tersembunyi.

Tumbuhan yang mempunyai bunga dengan cara penyerbukan anemofili misalnya rumput (Gramineae) dan tumbuhan berbiji telanjang (Gymnospermae).

b. Penyerbukan dengan perantara air (hydrophyly, hydrogamy).

Penyerbukan dengan cara ini hanya mungkin terjadi pada tumbuhan yang hidup di air (hydrophyta), misalnya tumbuhan air yang dsawah-sawah, kolam atau rawa-rawa. Suatu jenis tumbuhan yang berbunga dan berbiji yaitu Hydrilla verticillata Presl.

c. Penyerbukan dengan perantara binatang (ziodiophyly, ziodiogamy).

Binatang yang datang mengunjungi bunga tidak mempunyai maksud untuk menjadi perantara dalam hal penyerbukan. Tujuan mereka adalah untuk mencari makan, yaitu memakan madu. Bunga yang bersifat ziodiofili biasanya mempunyai ciri-ciri berikut:

(23)

- Menghasilkan sesuatu yang menarik atau menjadi makanan binatang.

- Serbuk sari sering bergumpal-gumpal dan berperekat, sehingga mudah menempel pada tubuh binatang yang mengunjungi bunga tadi.

- Kadang-kadang mempunyai bentuk yang khusus, sehingga bunga hanya dapat dikunjungi oleh jenis hewan tertentu saja.

Tjitrosoepomo (2009: 204) mengemukakan bahwa berdasarkan golongan binatang yang dapat menjadi perantara penyerbukan ziodiofili dapat dibedakan sebagai berikut:

a. Penyerbukan dengan perantaraan serangga (entomophyly, entomogamy).

Jenis serangga yang seringkali mengunjungi bunga adalah kupu-kupu (Lepidoptera), lebah (Hymenoptera), kumbang (Coleoptera) dan lalat (Diptera) dan beberapa serangga jenis lain. Serangga umumnya datang mengunjungi buga karena tertarik oleh warna, bau dan untuk mencari makanan.

b. Penyerbukan dengan perantaraan burung (ornithophyly, ornithogamy).

Burung dapat menjadi perantara dalam penyerbukan misalnya burung kutilang (Pycnonotus aurigaster), burung cocak (Pycnonotus analis), berbagai macam burung madu dan burung penghisap madu (Nectariniidae dan Meliphagidae). Anonim (2015: 5) menyatakan bahwa bunga yang sering dikunjungi oleh burung penghisap madu (burung kolibri) biasanya:

- Bunga mekar di siang hari

- Memiliki warna mahkota bunga berwarna cerah: merah, kuning atau oranye.

(24)

- Tidak berbau (burung memiliki indra penciuman yang buruk). - Tangkai bunga kuat untuk bertengger.

c. Penyerbukan dengan perantaran kelelawar (chiropterophyly,

chiropterogamy). Kelelawar dianggap menjadi perantara penyerbukan,

terutama untuk pohon-pohon yang bunganya mekar sore atau malam hari. Bunga yang dikunjungi oleh kelelawar biasanya bunga berukuran besar dan berwarna pucat atau berwarna putih, berbau wangi, dan nektar encer.

d. Penyerbukan dengan perantaraan siput (malacophyly, malacogamy).

Golongan siput adapula yang menjadi perantara dalam penyerbukan meskipun dibandingkan dengan binatang lain kemungkinannya jauh lebih kecil karena pada bunga tidak atau belum diketahui adanya sesuatu khusus yang dapat menarik perhatian siput.

2.4.3 Anatomi Serbuk Sari

Secara anatomi, serbuk sari terdiri dari beberapa komposisi yang menyusun setiap satuan serbuk sari. Mulyani (2006: 282) menyatakan bahwa berdasarkan analisis kimia dari butir serbuk sari dewasa yang tersusun atas komponen penyusun seperti pada Tabel 2.1 berikut ini:

Tabel 2.1 Komponen Penyusun Serbuk Sari.

No Zat Penyusun Jumlah (%)

1 Protein 7–26

2 Karbohidrat 24–48

3 Lemak 0,9–14,5

4 Abu 0,9–5,4

(25)

Serbuk sari memiliki ciri-ciri yang berbeda ketika masih muda dan sudah matang. Proses penyerbukan atau polinasi akan terjadi pada serbuk sari yang sudah matang. Pada butir polen yang muda mempunyai vakuola sentral yang besar, tetapi karena proses pemasakan nukleus menjadi lebih besar dan sitoplasma menjadi lebih padat dan bertambah jumlahnya, sehingga sewaktu butir polen itu masak sitoplasma menyebabkan vakuola menghilang. Butir polen yang masak mengandung pati dalam jumlah yang besar, atau pada spesies tertentu, substansi lemak yang agaknya diserap dari tapetum. Pada banyak tumbuhan pati menghilang dari butir polen selama proses pemasakan anter, sedangkan pada yang lainnya pati mengalami disintegrasi hanya pada tabung polen (Fahn, 1991: 705). Kemudian Mulyani (2006: 281) menambahkan bahwa hilangnya tepung atau pati pada proses pemasakan serbuk dihubungkan dengan adanya tekanan osmosis yang tinggi dari buluh serbuk sari, bahkan lebih tinggi dari pada sel dari stilus yang dilewati buluh.

Ciri-ciri serbuk sari yang masak adalah pola ukiran pada retikulat bergaris-garis atau lainnya yang nampak di permukaan sebagian besar butir serbuk sari , disebabkan oleh susunan bakula yang khusus. Bahan lipoid (lemak) yang terdapat pada eksin pada banyak tumbuhan, selain dari duri serta alat tambahan lainnya yang terdapat pada dinding serbuk sari, membantu adhesi serbuk sari terhadap insekta yang melakukan penyerbukan (Fahn, 1991: 710).

Mulyani (2006: 282) menambahkan bahwa suatu serbuk sari yang masak dikelilingi oleh dinding pektoselulosa tipis, yaitu intin. Di sebelah luar intin ada lapisan lain yang disebut eksin. Komponen utama dari eksin adalah sporopolenin yang diperkirakan merupakan polimer oksidatif dari karetonoid/ester karetonoid.

(26)

2.5 Penelitian yang Relevan

Adapun penelitian yang relevan dengan penelitian pengembangan media pembelajaran berupa album foto dan studi morfologi serbuk sari antara lain:

Penelitian Lestari (2013) yang berjudul “Pengembangan Album Foto Peristiwa sebagai Media Pembelajaran Bermain Peran dengan Berimprovisasi pada

Siswa SMP Kelas VIII”. Dari hasil analisis uji media kepada ahli pembelajaran drama

sebesar 90,62% sedangkan ahli media sebesar 74,58%. Ahli memberikan saran dan komentar untuk penyempurnaan media pada aspek penyajian yaitu pengurangan keterangan dialog, kualitas gambar, serta pemilihan ilustrasi, sedangkan pada aspek isi yaitu penghilangan tahap strategi pentas, penataan balon kata, dan pemberian pembatas pada setiap skenario. Rata-rata hasil uji bahan ajar kepada praktisi sebesar 92,8%. Praktisi memberikan catatan bahwa media ini lebih baik dibuat juga untuk jenjang yang berbeda. Rata-rata hasil uji bahan ajar kepada siswa sebesar 82.32%. Siswa memberikan respon bahwa siswa cukup mudah bermain peran dengan berimprovisasi menggunakan album foto peristiwa. Sehingga dapat disimpulkan bahwa album foto peristiwa sebagai media pembelajaran bermain peran dengan berimprovisasi pada siswa SMP kelas VIII layak untuk digunakan sebagai media pembelajaran.

Penelitian Chatri dkk (2013) berjudul “Studi Morfologi Serbuk Sari Pada Beberapa Varietas Coleus scutellarioides L. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui morfologi serbuk sari dari tujuh varietas Coleus. Berdasarkan hasil pengamatan unit serbuk sari tujuh varietas Coleus scutellarioides diperoleh unit serbuk sarinya tunggal (monad), memiliki polaritas tipe isopolar dan simetri radial.

(27)

Serbuk sari berukuran sedang (mediae) dan memiliki tiga bentuk serbuk sari yaitu bentuk prolate, spheroidal, subprolate dan prolate. Tipe apertur colpate berjumlah 6 yang terletak didaerah ekuatorial (stephano) dan memiliki bentuk permukaan serbuk sari berbentuk reticulate (berpola seperti jala). Beberapa karakter morfologi serbuk sari dari tujuh varietas Coleus scutellarioides yang diamati menunjukkan variasi dari ukuran dan bentuk serbuk sari. Sehingga dapat disimpulkan bahwa beberapa karakter morfologi serbuk sari dari tujuh varietas Coleus scutellarioides yang diamati menunjukkan variasi dari ukuran dan bentuk serbuk sari serta dapat dijadikan sebagai salah satu alat identifikasi dalam taksonomi.

Gambar

Gambar 2.1 Kerucut pengalaman Edgar Dale (Arsyad, 2011: 11 ).
Gambar 2.2 Langkah-langkah prosedur pemilihan media (Asyhar, 2012: 85).
Gambar 2.3 Prosedur Pengembangan Media Pembelajaran (Asyhar, 2012: 95). 1. Analisis Kebutuhan
Gambar 2.4 Tipe Ornamen Dinding Eksin Serbuk Sari (Rowe, 2006: 2)
+4

Referensi

Dokumen terkait

Berdasarkan studi pendahuluan terkait pelaksanaan program IPE pada mahasiswa FK Undip Angkatan 2013 dan mengingat pentingnya kompetensi teamwork untuk tercapainya

Regulasi kebijakan dapat dilakukan dengan memberikan persyaratan dan kondisi yang baku dalam pemberian perizinan berupa standar pelayana minimal (SPM) yaitu izin lokasi,

Jika aktivitas dan tindakan kolaborasi positif ada maka akan menghasilkan komitmen dan hasil akhir yang menjaga efisiensi, produktivitas dan keefektifan suatu hubungan (Zineldin

Tanah sulfat masam potensial mengandung pirit pada jeluk >50 cm yang bila terbuka ke udara akan terjadi reaksi oksidasi membentuk asam sulfat dan oksida besi sehingga tanah

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menganalisis kesenjangan pertumbuhan produk domestik regional bruto (PDRB) per kapita, untuk mengidentifikasi factor-faktor yang

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui efek ekstrak etanolik daun Sambung nyawa (Gynura procumbens (Luor) Merr) pada proliferasi sel kanker payudara tikus yang

Namun jika barang itu berubah, hilang, terjual, berupa makanan yang telah dikonsumsi, atau kain yang telah dijahit menjadi baju, maka tidak boleh diambil kembali, baik dalam

Hardware Rangkaian Penampil hanya berfungsi sebagai penerima data dari hardware Rangkaian sensor yang dikirim secara wireless untuk selanjutnya ditampilkan pada LCD agar dapat