• Tidak ada hasil yang ditemukan

PERTANGGUNGJAWABAN KOMANDO TERHADAP KEJAHATAN KEMANUSIAAN

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "PERTANGGUNGJAWABAN KOMANDO TERHADAP KEJAHATAN KEMANUSIAAN"

Copied!
15
0
0

Teks penuh

(1)

A. Pertanggungjawaban Komando di Timor-Timur

Istilah “pertanggungjawaban komando” merupakan terjemahan dari

“command responbility” yang dalam perkembangan selanjutnya dalam kepustakaan internasional sering kali

digunakan istilah

“pertanggungjawaban atasan” (“super respon sibility”) yang dimaksudkan agar sekaligus dapat mencakup atasan dari kalangan non-militer (sipil). Untuk kebutuhan praktis baik di bidang perundang-undangan dan peradilan, bagi kalangan militer lebih tepat jika digunakan istilah pertanggungjawaban komandan.1

Konsep pertanggungjawaban

1 Mahkamah Agung, Buku Pedoman Unsur-unsur Tindak Pidana Pelanggaran Hak Asasi Manusia Yang Berat dan Pertanggungjawaban Komando, Jakarta, 2006, hal 59.

komandan/atasan berlaku bagi seorang atasan dalam pengertian yang luas termasuk komandan militer, kepala negara dan pemerintahan, menteri dan pimpinan perusahaan. Dengan demikian, bentuk pertanggungjawaban ini tidak terbatas pada tingkat atau jenjang tertentu, komandan atau atasan pada tingkat tertinggi pun dapat dikenakan pertanggungjawaban tersebut apabila terbukti memenuhi unsur-unsurnya.2

Pada awalnya gagasan pertanggungjawaban komando hanya diterapkan pada situasi konflik bersenjata, namun dalam perkembangannya gagasan ini dapat juga diterapkan pada kasus-kasus tertentu, seperti dalam kasus kejahatan genosida dan kejahatan terhadap

2 Putusan Nomor: 45 PK/Pid/HAM AD HOC/2004, dengan terpidana Abilio Jose Osorio Soares, hal 545.

PERTANGGUNGJAWABAN KOMANDO

TERHADAP KEJAHATAN KEMANUSIAAN

(ANALISIS PUTUSAN NO. 45 PK/PID/HAM AD HOC/2004)

Oleh : Faisal, SH., M.H.*

Abstract

Topics in this paper, will attempt to restore the accumulation profiles of several human rights violations that have occurred and the fact the nation's history, as well as human rights violations that occurred in Aceh in August 2001, May 1998 Trisakti, Semanggi I November 1998, Semanggi II September 1999 , Tanjung Priok in 1984 to the case of East Timor after the poll to determine the future fate of the people of East Timor.

Keywords: command Responsibility, human rights, crimes against humanity.

* Dosen Fakultas Hukum Universitas Bangka Belitung

(2)

kemanusiaan yang terjadi diluar konflik bersenjata. Dalam

perkembangannya konsep

pertanggungjawaban komando, juga diterapkan di Indonesia. Hal ini dapat kita lihat, ketika Indonesia mengaktualisasikan Pasal 42 Undang-undang Nomor 26 Tahun 2000 Tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia dalam mengadili kasus pelanggaran HAM berat di Timor-Timur, dimana sebagian besar pelaku dituntut dengan sistem pertanggungjawaban komando. Para terdakwa yang diadili dalam pengadilan tersebut tidak hanya terdiri dari petinggi militer saja, tetapi juga gubernur dan para bupati.

Maka untuk mendapatkan jawaban, sejauh mana relevansi sistem pertanggungjawaban komando terhadap potret pelanggaran HAM berat di Tim-tim, maka terlebih dahulu kita harus mengetahui unsur-unsur pertanggungjawaban komando sesuai pada Pasal 42 Ayat (1) dan (2) UU 26/2000 Tentang Pengadilan HAM. Pada Pasal 42 Ayat (1) UU 26/2000, terdapat tiga syarat agar seorang komandan militer dapat dipertanggung jawabkan terhadap perbuatan yang dilakukan oleh pasukan yang berada di bawah komandonya, yaitu;

I. Komandan militer atau seseorang yang secara efektif bertindak sebagai komandan militer tersebut mengetahui atau atas dasar keadaan saat itu seharusnya mengetahui bahwa pasukan yang berada di bawah komando atau kekuasaan dan pengendaliannya yang efektif, sedang melakukan atau baru saja melakukan pelanggaran HAM berat;

II. Pelanggaran yang dilakukan oleh pasukan tersebut adalah sebagai akibat dari tidak dilakukan pengendalian pasukan secara patut oleh komandan militer atau seseorang yang bertindak secara efektif sebagai komandan militer yang bersangkutan;

III. Komandan militer atau seseorang yang secara efektif bertindak sebagai komandan militer tersebut, tidak melakukan pengendalian yang layak dan diperlukan dalam ruang lingkup kekuasannya dengan cara;

i. Mencegah atau

menghentikan

pelanggaran HAM yang berat; atau

(3)

ii. Menyerahkan pelakunya kepada pejabat yang berwenang untuk dilakukan penyelidikan,

penyidikan dan

penuntutan.3

Sementara, pertanggung jawaban atasan sipil diatur dalam Pasal 42 Ayat (2) UU 26/2000. Seperti halnya dalam komandan militer, dalam pertanggung jawaban atasan sipil pun harus memenuhi unsur-unsur, yaitu;

1) Atasan baik Polisi maupun sipil lainnya mengetahui atau secara sadar mengabaikan informasi yang secara jelas menunjukkan bahwa bawahannya yang berada di bawah kekuasaan dan pengendaliannya yang efektif, sedang melakukan atau baru saja melakukan pelanggaran HAM yang berat;

2) Pelanggaran HAM berat, yang dilakukan oleh bawahan tersebut adalah sebagai akibat atasan tidak melakukan pengendalian terhadap bawahannya secara patut dan benar;

3) Atasan tersebut tidak mengabil tindakan yang layak dan

3

R. Wijaya, Pengadilan Hak Asasi Manusia di Indonesia, Kencana, Jakarta, 2006, hal 129.

diperlukan dalam ruang lingkup kewenangannya dengan cara;

i. Mencegah atau

menghentikan

pelanggaran HAM berat; atau

ii. Menyerahkan pelakunya kepada pejabat yang berwenang untuk dilakukan penyelidikan,

penyidikan dan

penuntutan.4

Berdasarkan penjelasan singkat di atas, terdapat beberapa perbedaan antara pertanggung jawaban komando atas nama sipil dan militer. Perbedaan ini terletak pada kemampuan atau sumber daya untuk memperoleh informasi di mana komandan militer dianggap mempunyai cukup daya untuk itu, dan karenanya ia tidak dapat mengatakan bahwa ia tidak tahu. Sementara bagi sipil sebagai atasan, mereka diharapkan bertindak sesuai dengan pengetahuan yang mereka peroleh.5

Jauh hari sebelum aksi kerusuhan yang menewaskan banyak korban pasca jajak pendapat tahun 1999 sebagai kebijakan penentu masa depan rakyat Tim-tim, potret terhadap

4

Ibid.

(4)

pelanggaran HAM sudah pernah terjadi. Pembunuhan massal di pemakaman Santa Cruz Dili merupakan adegan keji yang diduga dilakukan oleh Pasukan militer Indonesia. Kejadian ini berawal dari tertembaknya Sebastian Gomes di halaman Gereja Motael yang dilakukan oleh pihak militer Indonesia. Beberapa hari setelah insiden tersebut, rakyat Tim-tim memperingati kematian Sebastian Gomes dan berdemonstrasi dengan berjalan dari Gereja Motael ke pemakaman Santa Cruz yang berjarak 5 kilometer. Demonstran yang marah menggunakan banyak spanduk yang berisikan kritikan yang ditujukan kepada pemerintahan Indonesia dan militer, tentu saja hal ini membuat geram militer. Setelah para demonstran sampai ke pemakaman Santa Cruz, militer menembaki para demonstran dan mereka banyak yang tewas di tempat, sementara yang lain hilang.6

Selama masa persidangan kasus Santa Cruz, jaksa penuntut mengatakan

6 Demonstrasi itu dipimpin oleh Gregorio da Cunha Saldanha, ia adalah anggota organisasi yang sering disebut klandestin. Organisasi tersebut adalah Comite Executivo yang dikoordinasi oleh Constantio Pinto. Pemerintah Indonesia bahwa organisasi ini terlibat dalam kerusuhan Santa Cruz dan organisasi ini juga telah mengadakan beberapa pertemuan rahasia sebelumnya. Dan itu sebabnya mengapa semua anggota Comite Executivo didakwa dibawah hukum. Artidjo Alkostar, Pengadilan HAM, Indonesia,dan Peradaban, PUSHAM UII, Yogyakarta, 2004, hal 6

bahwa tertuduh melanggar hukum subversi Indonesia karena rakyat Tim-tim telah membuat Deklarasi Balibo, yang menyatakan bahwa Tim-tim bersatu dengan wilayah Indonesia melalui sebuah proses integrasi. Sehingga “integrasi” menjadi titik perdebatan dalam persidangan. Deklarasi Balibo sebenarnya di buat oleh pemerintah Indonesia, yang isinya ialah berupa legitimasi secara de facto

bahwa Tim-tim menjadi bagian Indonesia sejak tahun 1975/1976. Akan tetapi secara de jure wewenang dan kedaulatannya dipertanyakan. Untuk alasan ini, pemerintah Indonesia secara de jure tidak memiliki wewenang penuh karena Tim-tim masuk ke dalam agenda PBB dan PBB telah membuat beberapa resolusi.7

Resolusi itu merupakan perjanjian untuk membentuk UNAMET (Misi PBB di Timor-Timur). Misi itu untuk mengatur dan melakukan konsultasi publik yang dijadwalkan pada Agustus 1999, berdasar pada pemilihan secara langsung, rahasia dan menyeluruh dalam menentukan apakah rakyat

7

Menurut resolusi 1246 (1999) yang dikeluarkan oleh Dewan Keamanan pada pertemuannya yang ke-4013 pada 11 Juni 1999, memutuskan untuk membuat UNAMET (Misi PBB di Timor-Timur) hingga Agustus 1999. Artidjo Alkostar, Pengadilan HAM….Op.,Cit. hal 7

(5)

tim mau menerima kerangka konstitusional yang diajukan; yaitu mengusulkan otonomi khusus untuk Tim-tim di bawah NKRI atau menolak otonomi khusus yang diajukan, dan menuju perpisahan Tim-tim dari Indonesia.8

Pelanggaran HAM berat di Tim-tim tidak begitu saja terjadi dengan sendirinya, profil ini menunjukkan resistensi politik pada waktu itu memaksa rakyat Tim-tim dalam menentukan pilihan kedalam bagian pro integrasi atau pro kemerdekaan. Dan kedua kelompok tersebut, adalah rangkaian dari skenario elite politik sebagai alat kendali kepentingannya. Bahwa sebelum dilaksanakan jajak pendapat untuk menentukan masa depan nasib rakyat Tim-tim stabilitas keamanan pada waktu itu, merupakan indikator pemerintah mengeluarkan kebijakan darurat militer terhadap daerah konflik Tim-tim. Pemerintah lebih yakin dengan menggunakan pendekatan militer persoalan sparatisme dapat terselesaikan dengan baik. Ternyata sebaliknya, suasana Tim-tim menjadi saling tidak percaya dan tingkat pembangkangan terhadap pemerintah

8Ibid.

semakin massif dilakukan oleh kelompok pro kemerdekaan.

Setidaknya berawal dari itu, kelompok yang pro integrasi baik itu melalui simpul pemerintah daerah setempat maupun simpul masyarakat sipil bersatu melakukan oposisi represif terhadap kelompok pro kemerdekaan. Dalam menghadapi segala kemungkinan yang terjadi, melalui Abilio Jose Osorio Soares selaku Gubernur Timor-Timur, perlu dibentuk organisasi politik serta jajak pendapat dengan nama Forum Persatuan Demokrasi dan Keadilan (FPDK) dan Barisan Rakyat Timor-Timur di masing-masing Kabupaten Tingkat II. Organisasi ini dibentuk guna menampung aspirasi rakyat Tim-tim yang pro integrasi dalam menghadapi jajak pendapat, serta membentuk organisasi pengamanan swakarsa (PAM SWAKARSA). Gerakan antisipasi yang di pelopori oleh Abilio (Gubernur Tim-tim) merupakan kebijakan pemerintah setempat berdasarkan hasil rapat Muspida. Kebijakan tersebut menyatakan bahwa pengamanan swakarsa (PAM SWAKARSA) di

(6)

biayai dari APBD masing-masing diperoleh dari daerah tingkat II.9

Tercatat ada 3 kabupaten dan kota administratif Dilli berdiri organisasi10 yang bersifat kemasyarakatan berdasarkan kebijakan dari Abilio, mengarahkan organisasi tersebut sebagai forum persiapan menjelang keputusan pemerintah Indonesia mengenai jajak pendapat. Disamping itu organisasi ini memiliki fungsi kendali terhadap stabilitas keamanan di Tim-tim. Setelah jajak pendapat organisasi-organisasi tersebut bergabung menjadi satu dalam PPI (Pasukan Pejuang Integrasi) yang dipimpin oleh Eurico Gutteres.11

Peristiwa di atas menjadi cerita penting dalam menghantarkan kita memahami profil pelanggaran HAM berat di Tim-tim melalui kepemimpinan Abilio (selaku Gubernur Tim-Tim) dan Eurico Gutteres (Wakil Panglima PPI dan komandan kelompok AITARAK). Eurico Guterres merupakan nama yang cukup terkenal di pentas politik

9

Putusan Nomor: 45 PK/Pid/HAM AD HOC/2004, dengan terpidana Abilio Jose Osorio Soares, hal 515.

10 Ibid. Beberapa organisasi yang dibentuk oleh Abilio dan berada di wilyah Tim-tim; antara lain PAM SWAKARSA, FPDK, BRTT (Barisan Rakyat Tim-Tim), MAHIDI (Mati Hidup Demi Indonesia), BMP (Besi Merah Putih), AITARAK, MILISI dan Pejuang Pro Integrasi.

11Ibid.

nasional. Walaupun secara politis dia tidak berada dalam spektrum kekuasaan, namun reputasinya sebagai wakil panglima milisi Aitarak sangat populer di Indonesia karena aksi-aksinya di Tim-tim untuk mendukung integrasi Tim-tim dalam NKRI. Namun, di depan hukum nasional dan hukum internasional, Guterres adalah salah seorang penjahat kemanusiaan yang banyak terlibat dalam berbagai aksi pelanggaran HAM berat di Timtim, terutama pasca jajak pendapat yang mengantarkan Tim-tim menjadi negara merdeka.

Beberapa aksi penyerangan oleh kelompok pro integrasi terhadap kelompok pro kemerdekaan, yang dilakukan pada waktu dan tempat yang berbeda, serta berakibat ratusan orang meninggal merupakan bagian dari aksi dan pengaruh Gutteres terhadap kelompoknya. Peristiwa ini diawali dari apel akbar peresmian PAM SWAKARSA pada tanggal 17 April 1999, dihadiri antara lain Abilio (Gubernur Tim-tim), Mathius Maia (Walikota Dili), dan Eurico Gutteres (Wakil Panglima PPI) beserta anggota/pasukan organisasi bentukan dari kebijakan Abilio. Mereka semua datang dan berkumpul di depan kantor Gubernur Tim-tim dengan membawa bermacam-macam senjata tajam. Pada

(7)

kesempatan yang sama Gutteres memberikan pidato kepada peserta apel akbar pada waktu itu, dengan semangat yang berapi-api dan nuansa bahasa penuh provokasi. Bahkan Gutteres berani mengatakan perintah untuk membunuh semua kelompok pro kemerdekaan.

Hal inilah yang meyebabkan perhatian masyarakat Internasional pada Timor Lorosa’e sangat besar, ketika terjadi kekerasan luar biasa pada tahun 1999. Melalui desakan dan respon komisi hak asasi PBB, mereka membentuk Komisi Penyelidikan Intenasional yang antara lain merekomendasikan pembentukan pengadilan Internasional untuk mengadili para pelaku penjahat kemanusiaan tersebut. Namun kemudian, perhatian masyarakat Internasional menjadi melemah (khususnya Komisi Hak Asasi PBB) setelah dengan diberikannya kepercayaan kepada pemerintah Indonesia untuk melakukan pengusutan dan pengadilan sendiri.

Di Indonesia, sebelumnya Komnas HAM telah mengeluarkan pernyataan yang antara lain berisi;

“...perkembangan-perkembangan kehidupan masyarakat Tim-Tim pada waktu itu telah mencapai kondisi anarki dan tindakan-tindakan

terorisme telah dilakukan secara luas baik oleh perorangan maupun kelompok dengan kesaksian langsung dan pembiaran oleh unsur-unsur aparat keamanan”. Selanjutnya pada 22 september Komnas HAM membentuk Komisi Penyelidik Pelanggaran Hak Asasi Manusia di Tim-Tim (KPP-HAM). Tugasnya adalah mengumpulkan fakta mengenai pelanggaran hak asasi manusia di Tim-tim sebelum dan sesudah hasil dari jajak pendapat yang dikeluarkan oleh pemerintah Indonesia. Penyelidikan dikhususkan pada kemungkinan terjadinya; genosida, pembunuhan massal, penganiayaan, pemindahan paksa, dan pembumi hangusan.12

Tinjauan atas profil pelanggaran HAM berat masa lalu yang terjadi di Tim-tim, membuat KPP-Komnas HAM memfokuskan penyelidikan terhadap serangkaian pelanggaran HAM yang terjadi di Tim-tim. Setidaknya ada sepuluh kasus pelanggaran HAM di Tim-tim yang dapat diidentifikasi untuk selanjutnya

12

KPP-HAM yang bertugas menyelidiki keterlibatan aparat negara dan/atau badan-badan lain. Dasar hukum yang memberi wewenang kepada KPP-HAM adalah Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia dan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (PERPU) No. 1 Tahun 1999 Tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia. Data ini di dapat dari http://www.jsmp.minihub.org//htm. dan diakses 01/03/2008/21.00.

(8)

dapat ditindak lanjuti dengan menghadirkan para saksi, korban dan pelaku kejahatan HAM. Sepuluh kasus itu antara lain; Pembantaian gereja liquica (6 April 1999), Pembunuhan di rumah manuel carrascalao (17 April 1999), Pembunuhan Cailaco (April 1999) dan Pembantaian kantor polisi mailana (2-8 september 1999), Kasus lospalos (21 April-25 September 1999), Kasus lolotoe (2 Mei- 16 September 1999), Pembantaian gereja suai (6 September 1999), Serangan terhadap kediaman uskup belo (6 september 1999), Pembantaian passabe dan makaleb (September-Oktober 1999), Kasus deportasi, pengejaran, pembunuhan staf UNAMET dan kekejaman yang dilakukan oleh Batalyon 745 TNI (April-September 1999), dan kasus-kasus kekerasan seksual yang dilakukan oleh distrik (April-September 1999).13

Eurico Guterres pertama kali ditangkap oleh pihak kepolisian di Jakarta pada tahun 2000 atas tuduhan penyerangan bersenjata, menyusul aksi kerusuhan di Atambua yang menewaskan staf PBB. Penangkapan Guterres dibawah perintah Presiden Abdurrahman Wahid sempat memunculkan polemik di kalangan

13Ibid.

politisi di Jakarta. Amien Rais yang saat itu masih menjadi ketua umum PAN menyesalkan penangkapan tersebut karena hal itu berarti telah melupakan jasa-jasa Guterres sebagai pejuang pro integrasi. Tanggapan itu direspon oleh Jenderal Bimantoro (Kapolri saat itu), bahwa penangkapan Guterres merupakan bagian dari upaya untuk menegakkan hukum. Di depan hukum semua orang sama kedudukannya, apakah orang itu berjasa atau tidak, kata Bimantoro. Namun, penangkapan itu tidak berlangsung lama. Tekanan politik kepada Gus Dur membuat Guterres dilepas kembali.14

Pada pengadilan HAM yang terbentuk berdasarkan Keppres 96/2001 pada tahun 2002, menghukum Guterres selama 10 tahun karena terbukti bersalah terlibat dalam pelanggaran HAM paska referendum di Timor-Timur. Setelah vonis tersebut Guterres masih belum dieksekusi karena ia mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung. Dalam proses pengajuan tingkat kasasi di MA, semua terpidana kasus pelanggaran HAM di Timor-Timur divonis bebas, termasuk beberapa perwira TNI dan Polisi serta

14 Data ini di dapat dari http://www.elsam.or.id//htm, dan diakses 04/03/2008/10.40.

(9)

mantan Gubernur Timtim Abilio Soares pada tahun 2004. Sementara untuk Guterres, MA belum memutuskan vonisnya. Baru pada Senin (13/03/2006), MA memutuskan bahwa Guterres bersalah melakukan tindak pidana pelanggaran HAM berat, berupa kejahatan terhadap kemanusiaan dan menghukum Guterres selama 10 tahun penjara. Putusan MA tersebut pada intinya menyatakan bahwa Guterres bersalah, ini karena membiarkan terjadinya perbuatan kejahatan kemanusian yang dilakukan oleh anak buahnya dalam konteks pertanggungjawaban komando sipil pada penyerangan pengungsi di rumah Manuel Viegas Carascalao, mantan Gubernur Tim-tim yang pro kemerdekaan.15

Lebih jauh dari itu, sampai hari ini aktualisasi pertanggungjawaban komando tidak sepenuhnya dijalankan sesuai UU No.26 Tahun 2000, hal ini terbukti para pelaku pelanggar HAM di Tim-tim tidak semua mendapatkan hukuman, dan tercatat hanya Eurico Gutteres (vonis 10 tahun), Brigjen Noer Muis (vonis 5 tahun penjara) serta AKB Drs Hulman Gultom (vonis 3 tahun penjara) yang mendapatkan putusan pemidanaan. Sedangkan yang

15Ibid.

lain di putus bebas. Selain itu, sampai hari ini polemik yang terjadi atas nama Jenderal (purn) Wiranto yang pada waktu itu sebagai perwira TNI dan termasuk Menhankam/Pangab, disinyalir kuat bahwa ada keterlibatan atas terjadinya pelanggaran HAM berat di Tim-tim. Karena berdasarkan Pasal 42 Ayat (1) UU No 26/2000 tentang pengadilan HAM, telah diatur mengenai pertanggungjawaban komando atas nama militer. Pasal tersebut secara jelas menyatakan bahwa komandan bertanggung jawab terhadap tindak pidana yang dilakukan oleh pasukan sebagai bawahan. Tindakan itu baik sepengetahuan komandan militer atas dasar keadaan saat itu, maupun komandan mengetahui anak buahnya melakukan pelanggaran tapi membiarkannya. Dalam konteks ini, timbul pertanyaan yang mungkin sudah usang, apakah Jenderal (purn) Wiranto dapat dimintakan pertanggungjawaban atas nama pangkat dan kedudukannya sebagai atasan ?

B. Analisis Peninjauan Kembali Abilio Jose Osorio Soares

Kejahatan terhadap

kemanusiaan yang dilakukan oleh Abilio Jose Osorio Soares, Mantan Gubernur Timor-Timur. Abilio dianggap bertanggung jawab secara

(10)

pidana terhadap pelanggaran HAM berat yang dilakukan oleh bawahannya, yaitu Bupati KDH Tk. II Kabupaten Liquisa Leonito Martins, Bupati KDH Tk. II Covalina Drs. Herman Sudyono dan Wakil Panglima Pasukan Pejuang Integrasi (PPI) Eurico Gutteres di Kabupaten Dili/Kota Administratif Dili di Dili yang berada di bawah kekuasannya dan pengendalian yang efektif, sehingga mengakibatkan terbunuhnya penduduk sipil, yakni;

 Penyerangan oleh kelompok pro

integrasi terhadap penduduk sipil pro kemerdekaan yang mengungsi di tempat kediaman Pastur Refael Dos Santos di komplek Gereja yang mengakibatkan 22 orang meninggal dan 21 orang luka-luka;

 Penyerangan oleh kelompok pro

integrasi terhadap penduduk sipil pro kemerdekaan yang mengungsi di

kediaman Manuel Viegas

Carrascalao di Dilli, yang

mengakibatkan 12 orang meninggal dan 4 orang luka-luka;

 Penyerangan oleh kelompok pro

integrasi pada tanggal 4 dan 5 September 1999 terhadap penduduk

sipil pro kemerdekaan yang

mengungsi di Diosis Dilli yang mengakibatkan 46 orang meninggal dunia;

 Penyerangan kelompok pro integrasi

terhadap penduduk sipil pro

kemerdekaan yang mengungsi

dikediaman Uskup Bello di Dilli

yang mengakibatkan 10 orang

meninngal dunia dan 1 orang luka-luka;

 dan penyerangan kelompok pro

integrasi terhadap penduduk sipil pro kemerdekaan yang mengungsi di

Gereja Ave Maria di Suai

(Kabupaten Covalima) yang

mengakibatkan 27 orang

meninggal.16

Dalam hal ini, majelis hakim pada pengadilan negeri HAM ad hoc, berdasarkan fakta-fakta kasus di atas dalam putusannya menyatakan Abilio Jose Osorio Soares bersalah melakukan tindak pidana berupa kejahatan terhadap kemanusiaan yang tercantum dalam Pasal 42 ayat (2) a dan b jo Pasal 7 huruf b, Pasal 9 huruf a, Pasal 37 Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 Tentang Pengadilan HAM, dengan pidana penjara selama 3 tahun.

Berdasarkan ancaman dari aturan hukum yang dituliskan di atas, tuntutan dari penuntut hukum pada waktu itu, lewat surat dakwaannya menuntut Abilio pidana penjara selama 10 Tahun. Dengan proses hukum yang

16PutusanNomor:01/Pid.HAM/AD.HOC/2002/ PH.JKT.PST, dengan terpidana Abilio Jose Osorio Soares, hal 11-12.

(11)

berlangsung dan didasarkan kepada fakta-fakta hukum dipersidangan (baik itu dari barang bukti dan alat bukti) maka putusan pengadilan HAM Jakarta tanggal 14 Agustus 2002, menghukum Abilio sebagai terdakwa dengan pidana penjara selama 3 tahun. Melihat putusan itu Abilio dan penasehat hukumnya tidak tinggal diam, mereka keberatan dengan putusan yang diberikan oleh hakim ad hoc

pengadilan HAM yang tidak didasarkan kepada fakta hukum yang ada. Kemudian Abilio, lewat penasehat hukumnya melakukan upaya hukum

banding. Singkatnya pengadilan Tinggi HAM ad hoc pada tanggal 13 Maret 2003, menguatkan putusan Pengadilan HAM Jakarta Pusat pada tanggal 14 Agustus 2002. Begitu juga dengan permohonan kasasi yang dilakukan oleh Abilio dan penasehat hukumnya selalu mendapatkan jalan buntu. Akhirnya Abilio mengunakan hak-nya yang terakhir yaitu upaya hukum luar biasa permohonan peninjauan kembali. Hasilnya pada putusan peninjauan kembali Abilio diputus bebas

Dengan upaya hukum peninjauan kembali inilah Abilio menggunakan novum sebagai senjata pamungkasnya agar dapat terlepas dari jeratan hukuman. Sebelum Abilio

mengajukan novum, ia memberikan beberapa argumentasi alasan-alasan mengenai permohonan peninjauan kembali atas dakwaan yang diterimanya. Alasan-alasan pemohon (Abilio) peninjauan kembali, sebagai berikut;

 Pada kesempatan ini Abilio, menolak

dakwaan yang diberikan kepadanya atas tindak pidana pelanggaran HAM.

 Kesaksian yang diberikan oleh elite

politik/tokoh politik Timor Leste

dalam bentuk surat pernyataan

tertulis tertanggal 25 Maret 2002. Yang intinya dakwaan Jaksa tidak benar dan cenderung mengada-ada. Karena kesaksian dari tokoh pro kemerdekaan, mengatakan bahwa semasa kami hidup bersama di Timor Lorosa’e baik Abilio sebelum atau setelah menjabat Gubernur Tim-tim, ia selalu memberikan perlakuan yang sama kepada kami bahkan nyawa kamipun pernah diselamatkan oleh beliau.

 Kesaksian dari Presiden Rebuplik

Demokratik Timur Leste, Xanana Gusmao, dia mempunyai keyakinan yang kuat bahwa Tuan Abilio seharusnya tidak dijadikan sebagai orang yang bertanggungjawab. Dia tahu benar usaha-usaha Abilio atas kesediaannya untuk mengupayakan rekonsiliasi dan solusi yang damai

atas masalah Tim-tim, namun tidak

(12)

mengambil pendekatan yang lebih keras.

 Lebih khusus setelah adanya

kesepakatan TRI PARTIT tanggal 5 Mei 1999 di New York tentang jajak pendapat. Pada kesepakatan itu, Pemerintah Daerah Tim-tim tidak pernah dilibatkan oleh Pemerintah Pusat. Dan penyelenggaraan hasil jajak pendapat ini diawasi oleh

Pemerintah Pusat sedangkan

pengamanannya diserahkan

sepenuhnya oleh pihak Polisi dan

dibantu TNI. Sejak saat itulah, nuansa politik Tim-tim mulai tidak seimbang.17

Dalam hal inilah Abilio mengungkapkan alasan-alasannya untuk melakukan peninjauan kembali, karena asumsi Abilio, ia hanya dijadikan kambing hitam dalam kasus pelanggaran HAM di Tim-tim.

Satu hal yang perlu di garis bawahi, alasan permohonan ini merupakan argumentasi yang tidak memiliki relevansi yang kuat terhadap fakta-fakta hukum yang memberatkan Abilio. Kesaksian yang diberikan para elite politik/tokoh politik pro kemerdekaan dan ditambah lagi dengan kesaksian Xanan Gusmao,

17 Rangkuman Penulis dari Putusan Nomor: 45 PK/Pid/HAM AD HOC/2004, dengan terpidana Abilio Jose Osorio Soares, hal 534-540.

tidak lebih hanya alasan konspirasi elite. Karena alasan ini tidak cukup berimbang dengan keterkaitan Abilio atas kewenangannya terhadap pembentukan oraganisasi-organisasi kemasyarakatan dan PAM SWAKARSA yang mendapatkan pembiayaan dari APBD tiap-tiap kabupaten Tim-tim, dan belakangan atas nama oraganisasi dan kelompok-kelompok inilah yang membuat konflik dan kerusuhan di berbagai daerah tanah lorosa’e.

Namun jika Abilio

mengutarakan pihak militer juga bertanggungjawab atas kejadian kerusuhan di Tim-tim, hal ini dapat dimengerti. Karena kontribusi militer sangat berpengaruh terhadap tingkat resistensi konflik di Tim-tim. Hal ini didasarkan beberapa kasus yang melibatkan pihak militer sebagai aktor intelektual atas kejadian pelanggaran HAM berat di Tim-tim. Termasuk pengakuan Abilio dengan tidak dilibatkannya terhadap kesepakatan TRI PARTIT, ini merupakan skenario Pemerintah Pusat untuk menghapuskan jejak pelanggaran HAM yang dilakukan oleh pihak militer. Terlihat dari hasil kesepakatan TRI PARTIT yaitu jajak pendapat yang sepenuhnya pengamananya diserahkan kepada pihak militer. Akan tetapi Abilio tidak

(13)

dapat begitu saja, melihat ketidakterlibatan ini dijadikan alasan akan lepas dari dakwaan. Karena hal ini hanya merupakan faktor kelemahan konsolidasi internal pemerintah daerah Tim-tim untuk menjadi bagian terpenting dalam kesepakatan TRI PARTIT.

Tidak hanya sampai disitu, upaya yang dilakukan oleh Abilio, di luar dari pada itu Abilio mengajukan

novum sebagai alasan kunci untuk lepas dari dakwaan. Penulis berusaha untuk meringkas dengan tujuan efektifitas dalam memahami kasus ini. Adapun isi dari novum yang diajukan oleh Abilio, antara lain; pertama, FPDK (Forum Persatuan Demokrasi dan Keadilan) merupakan organisasi

underbow ABRI yang menghendaki penyelesaian Tim-tim secara militer. Akan tetapi disini Abilio tidak dapat menjelaskan keterkaitan ABRI dengan FPDK baik secara historis pembentukannya maupun pola hubungan atasan dan bawahan berdasarkan kewenangan yang dimiliki ABRI kepada FPDK. Bahwa novum

yang pertama ini sebenarnya bukan hal baru, dan sebenarnya dapat memberatkan posisi Abilio. Karena sejogjanya FPDK merupakan organisasi/kelompok yang dibentuk atas pengendalian dan kewenangan

dari Abilio. Ditambah lagi, dari beberapa kelompok dan organisasi kemasyarakatan yang terbentuk, apakah menunjukkan cara penyelesaian masalah konflik di Tim-tim dengan menggunakan pendekatan dialogis ? Menurut hemat penulis, hal ini tidak terbukti karena semua organisasi yang dibentuk selalu menggunakan pendekatan represif (penganiayaan, pengrusakan, dan pembunuhan). Maka novum yang pertama tidak dapat dibenarkan berdasarkan beban historis terbentuknya FPDK, dan cenderung mengada-ada.

Kemudian novum yang kedua

bahwa Abilio menyangkal bahwa Gutteres (wakil panglima PPI) disebut sebagai bawahannya. Alasannya dari kesaksian saudara Gutteres sendiri di persidangan, yang menyatakan bahwa PPI (Pasukan Perjuangan Integrasi) bukan bentukan Abilio. Ditambah lagi fakta hukum yang mengatakan ketika rombongan keluarga Abilio ingin mengungsi ke Atumba NTT, tiba-tiba ditengah jalan dilakukan pencegatan oleh anak buah Gutteres. Dan pada waktu itu Octavio (keponakan Abilio) di larang untuk keluar dari daerah Tim-tim. Singkat cerita mereka diperbolehkan untuk melakukan pengungsian jika menerima surat

(14)

rekomendasi dari Gutteres. Maka pada waktu itu, Abilio mendapatkan surat rekomendasi tersebut, lalu menyerahkan kepada Octavio untuk melanjutkan perjalanan ke Atumba NTT.

Penceritaan tersebut, apakah melupakan peristiwa pada tanggal 17 April 1999, yaitu Apel Akbar PAM SWAKARSA yang dilakukan di depan kantor Gubernur Tim-tim, dan dihadiri juga oleh Abilio dan Gutteres. Artinya dengan kehadiran Abilio berarti telah melegitimasi keberadaan kelompok yang dipimpin oleh Gutteres. Lebih jauh lagi, bahwa Abilio juga ikut membentuk organisasi/kelompok yang belakangan bersatu ke dalam PPI. Maka alasan kesaksian Gutteres di persidangan dan peristiwa yang menimpa Octavio, merupakan rangkaian fakta kecil yang sesungguhnya tak dapat mengingkari fakta yang lebih besar. Sangat jelas pada kesempatan ini, Abilio hanya mencari celah hukum demi terbebaskannya ia dari tuntutan.

Setidaknya bagian itulah yang merupakan hal terpenting yang dapat disampaikan dalam analisa terhadap putusan pelanggaran HAM berat di Tim-tim. Maka berdasarkan fakta-fakta hukum yang ada, Mahkamah Agung telah keliru memberikan putusan bebas

kepada saudara Abilio. Seharusnya, dapat di pidananya Abilio berdasarkan fakta-fakta hukum di persidangan, sangat memungkinkan untuk menyeret pelaku pelanggaran HAM berat di Tim-tim yang dilakukan oleh militer. Sangat disayangkan, dengan dibebaskannya Abilio menjadikan proses hukum terhadap pelanggaran HAM di Tim-tim menjadi melemah. Karena, putusan terhadap Abilio dapat dijadikan tolak ukur mengapa sampai saat ini pihak dari militer sangat sulit tersentuh oleh hukum.

C. Kesimpulan

Aktualisasi bentuk pertanggung jawaban komando semestinya dapat dilakukan, hal ini dianggap sebagai salah satu pertanggungjawaban pidana terhadap potret kejahatan kemanusiaan yang terjadi di Timor-Timur. Karena ruang lingkup tanggungjawab komando dapat menuntut individu sebagai atasan, baik itu dari kalangan sipil maupun militer. Tentunya semua itu tidak terlepas dari unsur-unsur pertanggungjawaban komando yang mengikutinya.

(15)

Daftar Pustaka

Anis Ibrahim, Merekonstruksi Keilmuan Ilmu Hukum & Hukum Milenium Ketiga, In-TRANS, Malang, 2007.

Artidjo Alkostar, Pengadilan HAM, Indonesia,dan Peradaban, PUSHAM UII, Yogyakarta, 2004.

Mahkamah Agung, Buku Pedoman Unsur-unsur Tindak Pidana Pelanggaran Hak Asasi Manusia Yang Berat dan Pertanggungjawaban

Komando, Jakarta, 2006. M. Luqman Hakiem, Deklarasi Islam

Tentang HAM, Risalah Gusti, Surabaya, 1993.

Muladi, Hak Asasi Manusia (hakekat, konsep dan implikasinya dalam perspektif hukum dan masyarakat), Refika Aditma, Bandung, 2005.

______, Demokratisasi, Hak Asasi Manusia, dan Reformasi Hukum Indonesia, The Habibie Center, Jakarta, 2002. Putusan Nomor: 45 PK/Pid/HAM AD

HOC/2004, dengan terpidana Abilio Jose Osorio Soares.

R. Wijaya, Pengadilan Hak Asasi Manusia di Indonesia, Kencana, Jakarta, 2006.

Media Indonesia, 13 Maret 2003 http://www.kontras.org//htm, 04/03/2008/10.30. http://www.elsam.or.id//htm, 04/03/2008/10.40 http://www.jsmp.minihub.org//htm, 01/03/2008/21.00.

Referensi

Dokumen terkait

Kurva PI berbentuk lonceng dengan derajat keanggotaan 1 terletak pada pusat dengan domain ( γ), dan lebar kurva (β) seperti terlihat pada

Aspek akidah dalam pendidikan al-Qur’an menghendaki manusia beriman kepada Allah s.w.t kerana beriman kepada Allah adalah perkara yang paling penting dalam agama dan

place to work Terwujudnya percepatan integrasi IT Terwujudnya cost- containment dalam pendidikan, layanan dan riset Terwujudnya Strategic Public Private Partnership

Bahwa dalam permohonan Termohon PK dahulu Pemohon point (8) sebagaimana tertuang pada halaman 3-4 penetapan judex facti, Termohon PK telah memelintir surat dari Direksi

Dari hasil kajian dapat disimpulkasn sebagai berikut : (1) Di lihat dari gambaran pembangunan di Kabupaten Pandeglang, dilihat dari tingkat kemiskinan, tingkat pendidikan

Dalam penelitian ini data sekunder yang dibutuhkan adalah data tentang gambaran umum obyek penelitian yang meliputi sejarah berdirinya, struktur organisasi,

Oleh karena itu, tujuan dari penelitian ini adalah untuk meneliti pengaruh tekanan terhadap terjadinya cacat warpage dari hasil produk injection molding dan untuk

Hasil penelitian menunjukkan bahwa pada percobaan pertama parameter proses diatas adalah parameter proses yang kurang optimal atau masih terdapat cacat sink