EVALUASI PENGGUNAAN ANTIBIOTIKA
PADA PASIEN DEMAM TIFOID KELOMPOK PEDIATRIK
DI INSTALASI RAWAT INAP
RUMAH SAKIT PANTI RAPIH YOGYAKARTA
PERIODE JANUARI-DESEMBER 2010
Skripsi
Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Farmasi (S.Farm)
Program Studi Farmasi
Oleh :
Cornelius Danan Rufaldi
NIM : 078114100
FAKULTAS FARMASI
UNIVERSITAS SANATA DHARMA
YOGYAKARTA
i
EVALUASI PENGGUNAAN ANTIBIOTIKA
PADA PASIEN DEMAM TIFOID KELOMPOK PEDIATRIK
DI INSTALASI RAWAT INAP
RUMAH SAKIT PANTI RAPIH YOGYAKARTA
PERIODE JANUARI-DESEMBER 2010
Skripsi
Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Farmasi (S.Farm)
Program Studi Farmasi
Oleh :
Cornelius Danan Rufaldi
NIM : 078114100
FAKULTAS FARMASI
UNIVERSITAS SANATA DHARMA
YOGYAKARTA
2011
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
ii
EVALUASI PENGGUNAAN ANTIBIOTIKA
PADA PASIEN DEMAM TIFOID KELOMPOK PEDIATRIK
DI INSTALASI RAWAT INAP
RUMAH SAKIT PANTI RAPIH YOGYAKARTA
PERIODE JANUARI-DESEMBER 2010
Skripsi yang diajukan oleh : Cornelius Danan Rufaldi
NIM : 07811410 telah disetujui oleh :
Pembimbing Utama
(Drs. Mulyono, Apt.)
iii
Pengesahan Skripsi Berjudul
EVALUASI PENGGUNAAN ANTIBIOTIKA
PADA PASIEN DEMAM TIFOID KELOMPOK UMUR PEDIATRIK DI INSTALASI RAWAT INAP RUMAH SAKIT PANTI RAPIH
YOGYAKARTA PERIODE JANUARI-DESEMBER 2010
Oleh :
Cornelius Danan Rufaldi NIM : 078114100
Dipertahankan di hadapan Panitia Penguji Skripsi Fakultas Farmasi
Universitas Sanata Dharma pada tanggal : 8 Agustus 2011
Mengetahui Fakultas Farmasi Universitas Sanata Dharma
Dekan
Ipang Djunarko, M.Si., Apt. Pembimbing
Drs. Mulyono, Apt.
Panitia Penguji Tanda Tangan
1. Drs. Mulyono, Apt. ...
2. dr. Fenty, M.Kes., Sp. PK. ...
3. Maria Wisnu Donowati, M.Si., Apt. ...
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
iv
HALAMAN PERSEMBAHAN
Wh e n w e a c c e p t t o u gh j o b s a s a c h a ll e n ge a n d w a d e i n t o t h e m w i t h j o y a n d e n t h u s i a s m , m i r a c le s c a n h a p p e n .
- A r l a n d Gi l ber t
Th e c h a lle n ge i s n o t t o m a n a ge t i m e , b u t t o m a n a ge o u r s e lv e s .
- St ev en Cov ey
Ex p e r i e n c e i s a h a r d t e a c h e r b e c a u s e s h e gi v e s t h e t e s t fi r s t , t h e le s s o n a ft e r w a r d s
- V er n on L a w
Kupersembahkan karya ini bagi:
T u h a n Y esu s K r i st u s-k u
B a p a k d a n I bu t esa y a n g
v
LEMBAR PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS
Yang bertanda tangan di bawah ini, saya mahasiswa Universitas Sanata Dharma : Nama : Cornelius Danan Rufaldi
NIM : 078114100
Demi pengembangan ilmu pengetahuan, saya memberikan kepada Perpustakaan Universitas Sanata Dharma karya ilmiah saya yang berjudul :
EVALUASI PENGGUNAAN ANTIBIOTIKA PADA PASIEN DEMAM TIFOID KELOMPOK UMUR PEDIATRIK DI INSTALASI RAWAT INAP RUMAH SAKIT PANTI RAPIH YOGYAKARTA PERIODE JANUARI-DESEMBER 2010
Beserta perangkat yang diperlukan (bila ada). Dengan demikian saya memberikan kepada Perpustakaan Universitas Sanata Dharma hak untuk menyimpan, mengalihkan dalam bentuk media lain, mengelolanya dalam bentuk pangkalan data, mendistribusikan secara terbatas, dan mempublikasikannya di internet maupun media lain untuk kepentingan akademis tanpa perlu meminta izin dari saya maupun memberikan royalti kepada saya selama tetap mencantumkan nama saya sebagai penulis.
Demikian pernyataan ini saya buat dengan sebenarnya.
Dibuat di Yogyakarta
Pada tanggal 8 Agustus 2011 Yang menyatakan
Cornelius Danan Rufaldi
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
vi PRAKATA
Puji dan syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa atas pencerahan,
bimbingan, penyertaan, dan kekuatan yang diberikan kepada penulis sehingga
dapat menyelesaikan skripsi dengan judul “Evaluasi Penggunaan Antibiotika Pada
Pasien Demam Tifoid Kelompok Pediatrik di Instalasi Rawat Inap Rumah Sakit
Panti Rapih Yogyakarta Periode Desember-Januari 2010”. Skripsi ini merupakan
salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Strata Satu Program Studi Ilmu
Farmasi (S.Farm.).
Penulis mengucapkan terima kasih kepada banyak pihak yang telah
membantu secara material maupun secara moral, memberikan motivasi, semangat,
dorongan, kritik, maupun saran hingga dapat terselesaikannya skripsi ini, terutama
kepada :
1. Tuhan Yang Maha Esa atas segala restu dan bimbinganNya selama
penulisan skripsi.
2. Direktur Rumah Sakit Panti Rapih Yogyakarta yang memberikan ijin
penelitian kepada penulis.
3. Kepala Instalasi Rekam Medik Rumah Sakit Panti Rapih Yogyakarta atas
kerjasama dan kemudahan yang diberikan pada saat pengambilan data-data
untuk penelitian.
4. Ipang Djunarko, M.Sc., Apt., selaku Dekan Fakultas Farmasi Universitas
vii
5. Drs. Mulyono, Apt., selaku dosen pembimbing skripsi atas bimbingan,
motivasi, kritik, maupun saran yang selalu diberikan agar skripsi dapat
selesai tepat pada waktunya.
6. Dokter Fenty, M.Kes., Sp.PK., selaku dosen penguji atas masukan, kritik
dan bimbingan yang telah diberikan kepada penulis.
7. Maria Wisnu Donowati M.Si., Apt., selaku dosen penguji atas saran maupun
kritik serta bimbingan yang telah diberikan kepada penulis.
8. Semua dosen Fakultas Farmasi Universitas Sanata Dharma Yogyakarta
yang telah memberikan ilmu dansoftskillsebagai bekal praktik kefarmasian
kelak.
9. Robertus Heru Saptono dan Vincentia Sedyarningsih, selaku kedua orang
tuaku yang senantiasa dengan sabar memberikan dukungan motivasi, doa,
materi, dan nasihat hingga terselesaikannya skripsi ini.
10. Clarissa Resty Prabaniswari atas motivasi, doa, waktu, dan kasih sayang
demi kelancaran dan keberhasilan penyusunan skripsi ini.
11. Rosanna Olivia Hartono, sahabat berbagi keceriaan baik dalam suka
maupun duka serta kawan diskusi saat menghadapi permasalahan dalam
penyelesaian skripsi.
12. Staff Sekretariat Fakultas Farmasi Universitas Sanata Dharma atas segala
bantuan demi kelancaran dalam pengurusan ijin.
13. Mahendra Agil Kusuma, Yeyen Kristiyana, dan Prima Mustika, atas
motivasi yang telah diberikan kepada penulis.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
viii
14. Teman-teman angkatan 2007 khususnya kelas C dan FKK B atas hari-hari
yang indah dan menyenangkan selama kuliah.
15. Semua bagian dari perjalanan hidup penulis yang mampu menjadi inspirasi.
Penulis menyadari bahwa penelitian ini belum sempurna. Oleh karena
itu, penulis sangat mengharapkan kritik dan saran agar skripsi ini dapat menjadi
lebih baik. Akhir kata, penulis berharap semoga skripsi ini dapat bermanfaat untuk
menambah pengetahuan bagi yang membutuhkan.
Yogyakarta, 7 Juli 2011
ix
PERNYATAAN KEASLIAN KARYA
Saya menyatakan dengan sesungguhnya bahwa skripsi yang saya tulis ini tidak memuat karya atau bagian karya orang lain, kecuali yang telah disebutkan dalam kutipan dan daftar pustaka, sebagaimana layaknya karya ilmiah.
Apabila di kemudian hari ditemukan indikasi plagiarisme dalam naskah ini, maka saya bersedia menanggung segala sanksi sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Yogyakarta, 7 Juli 2011 Penulis
Cornelius Danan Rufaldi
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
x DAFTAR ISI
Hal.
HALAMAN JUDUL...i
HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ...ii
HALAMAN PENGESAHAN...iii
HALAMAN PERSEMBAHAN ...iv
HALAMAN PERSETUJUAN PUBLIKASI... v
PRAKATA...vi
PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ...ix
DAFTAR ISI... x
DAFTAR TABEL...xii
DAFTAR GAMBAR ...xiii
DAFTAR LAMPIRAN...xiv
INTISARI... xv
ABSTRACT...xvi
BAB I. PENGANTAR ... 1
A. Latar Belakang... 1
1. Perumusan Masalah ... 3
2. Keaslian Penelitian ... 4
3. Manfaat Penelitian ... 6
B. Tujuan Penelitian ... 7
xi
2. Tujuan Khusus ... 7
BAB II. PENELAAHAN PUSTAKA... 8
A. Antibiotika ... 8
B. Resistensi Bakteri ... 12
C. Demam Tifoid ... 14
BAB III. METODOLOGI PENELITIAN ... 26
A. Jenis Penelitian... 26
B. Definisi Operasional... 27
C. Subjek Penelitian... 28
D. Bahan Penelitian... 29
E. Tata Cara Penelitian ... 29
F. Tata Cara Analisis Hasil... 30
BAB IV. HASIL DAN PEMBAHASAN ... 33
A. Profil Pasien ... 34
B. Identifikasi dan Diagnosis Pasien ... 38
C. Pola Penggunaan Antibiotika... 42
BAB V. KESIMPULAN DAN SARAN... 56
A. Kesimpulan ... 56
B. Saran... 57
DAFTAR PUSTAKA ... 58
LAMPIRAN... 62
BIOGRAFI PENULIS ... 137
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
xii
DAFTAR TABEL
Tabel I Penggolongan antibiotika berdasarkan sifat ... 9
Tabel II Terapi yang direkomendasi WHO untuk demam tifoid ... 22
Tabel III Gejala klinis yang dialami pasien demam tifoid di RS. Panti
Rapih Yogyakarta periode Januari-Desember 2010 ... 39
Tabel IV Pemeriksaan laboratorium yang dilakukan pasien demam tifoid
di RS. Panti Rapih Yogyakarta periode Januari – Desember
2010 ... 40
Tabel V Dosis dan Frekuensi Pemakaian Antibiotika Pada Pasien
Demam Tifoid Kelompok Umur Pediatrik di Instalasi Rawat
Inap RS. Panti Rapih Yogyakarta selama periode 2010... 46
Tabel VI Durasi Penggunaan Antibiotika Kombinasi ... 49
Tabel VII Durasi Penggunaan Antibiotika Tunggal... 50
Tabel VIII Kategori Ketepatan Penggunaan Antibiotika menurut Kurrin dan
xiii
DAFTAR GAMBAR
Gambar 1 Mekanisme kerja antibiotika sebagai bakteriosida
dan bakteriostatik ... 9
Gambar 2 Mekanisme kerja antibiotika ... 11
Gambar 3 Struktur kimia Penicilin ... 11
Gambar 4 Struktur kimia Kloramfenikol ... 11
Gambar 5 Struktur kimia Sefalosporin ... 12
Gambar 6 Diagram patofisiologi demam tifoid ... 15
Gambar 7 Persentasi jumlah pasien pria dan wanita penderita penyakit demam tifoid di RS. Panti Rapih Yogyakarta periode 2010... 35
Gambar 8 Persentasi kasus demam tifoid di RS. Panti Rapih Yogyakarta periode 2010 berdasarkan umur pasien... 36
Gambar 9 Frekuensi kejadian pasien demam tifoid di RS. Panti Rapih Yogyakarta periode 2010 ... 37
Gambar 10 Profil penggunaan terapi antibiotika tunggal dan kombinasi di RS. Panti Rapih Yogyakarta periode 2010 ... 43
Gambar 11 Jenis antibiotika untuk pengobatan demam tifoid di RS. Panti Rapih Yogyakarta periode 2010... 44
Gambar 12 Profil rute pemberian antibiotika untuk pasien demam tifoid di RS. Panti Rapih Yogyakarta periode 2010 ... 51
Gambar 13 Profil kategori ketepatan penggunaan antibiotika pada pasien demam tifoid di RS. Panti Rapih Yogyakarta periode 2010... 54
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
xiv
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1 Daftar diagnosis pasien terkait demam tifoid... 62
Lampiran 2 Guideline dosis antibiotika untuk pengobatan demam tifoid... 65
Lampiran 3 Daftar antibiotika yang digunakan pasien demam tifoid di
RS. Panti Rapih tahun 2010 ... 66
Lampiran 4 Data dan evaluasi penggunaan antibiotika kombinasi
pasien demam tifoid di RS. Panti Rapih tahun 2010 ... 67
Lampiran 5 Data dan evaluasi penggunaan antibiotika tunggal
pasien demam tifoid di RS. Panti Rapih tahun 2010 ... 70
Lampiran 6 Data pemeriksaan laboratorium dan terapi antibiotika
pasien... 75
xv INTISARI
Penyakit infeksi menjadi salah satu penyebab utama kematian di Indonesia. Menurut survey tahun 2005 pada beberapa rumah sakit di Indonesia, kejadian demam tifoid menduduki tempat kedua dari 10 penyakit dan sebagian besar menyerang anak-anak. Pengobatan demam tifoid dilakukan dengan menggunakan antibiotika, namun penggunaan antibiotika juga beresiko memicu timbulnya resistensi bakteri apabila tidak digunakan secara tepat. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengevaluasi penggunaan antibiotika pasien demam tifoid kelompok pediatrik di RS. Panti Rapih Yogyakarta periode 2010.
Penelitian ini termasuk jenis penelitian non eksperimental dengan rancangan deskriptif-evaluatif yang bersifat retrospektif. Kriteria inklusi penelitian ini ialah pasien pria dan wanita berumur 0-12 tahun, dirawat di Rumah Sakit Panti Rapih pada periode 2010, terdiagnosa demam tifoid tanpa adanya komplikasi dan mendapatkan terapi menggunakan antibiotika.
Dari hasil penelitian terdapat 62 pasien (58.1% pria dan 41.9% wanita). Pasien terbanyak pada kelompok 6-12 tahun (42.9%). Berdasarkan kategori ketepatan penggunaan antibiotika menurut Kurin dan Grysens, dari 62 kasus yang memenuhi konsep rasional (kategori I) sebesar 16.13%, kategori IIA sebesar 70.98%, kategori IIB sebesar 48.39%, kategori IIIB sebesar 25.81%, dan kategori IVA sebesar 1.61%. Berdasarkan Behrman (1992), Roespandi dan Nurhamzah (2009), dan Kass (1990), disimpulkan bahwa penggunaan antibiotika di RS.Panti Rapih Yogyakarta kurang tepat.
Kata kunci : demam tifoid, evaluasi, antibiotika, pediatrik
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
xvi
ABSTRACT
Infectious diseases become one of the leading causes of death in Indonesia. According to the survey in 2005 at several hospitals in Indonesia, the incidence of typhoid fever occupies the second place of 10 diseases and mostly affects children. Treatment of typhoid fever is done by using antibiotics. However, the use of antibiotics lead to bacterial resistance are at risk if not used properly. The purpose of this study was to evaluate the use of antibiotics of typhoid fever patients on pediatric group in Panti Rapih Yogyakarta period of 2010.
This study included type of non-experimental research with descriptive-evaluative designs that are retrospective. Inclusion criteria of this study is that male and female patients aged 0-12 years, hospitalized in the period 2010 Panti Rapih, diagnosed with typhoid fever without complications and get therapy using antibiotics.
From the results of the study there were 62 patients (58.1% men and 41.9% women). Most patients in groups 6-12 years (42.9%). Based on the correct use of antibiotics according to category and Grysens Kurin, from 62 cases that meet the rational concepts (category I) amounting to 16.13%, category IIA of 70.98%, 48.39% for category IIB, category IIIB of 25.81% and category IVA of 1.61%. According to Behrman (1992), Roespandi and Nurhamzah (2009), and Kass (1990) as a guide, it was concluded that the use of antibiotics in RS.Panti Rapih Yogyakarta less precise.
1
BAB I
PENGANTAR
A. Latar Belakang
Infeksi ataupun penyakit yang disebabkan akibat adanya suatu infeksi
merupakan salah satu kategori penyebab kesakitan dan kematian yang tinggi di
dunia. Menurut data Surkesnas (Survey Kesehatan Nasional) pada tahun 2001,
berbagai penyakit infeksi seperti tuberkulosis, pneumonia, diare, dan demam
tifoid tercatat dalam 10 penyebab utama kematian di Indonesia (Widodo, 2010).
Demam tifoid adalah suatu penyakit infeksi yang menyerang saluran
pencernaan dan disebabkan oleh bakteri Salmonella typhi yang masih dijumpai
secara luas di berbagai negara berkembang terutama yang terletak di daerah tropis
dan subtropis (Judarwanto, 2009). Kejadian demam tifoid banyak dijumpai di
negara-negara berkembang seperti di Indonesia dan kebanyakan menyerang
anak-anak. Prevalensi demam tifoid di Indonesia menurut data Riset Kesehatan Dasar
(Riskesdas) tahun 2007 sebesar 1.6% dan sebesar 4.3% terjadi pada anak-anak.
Data survey mortalitas yang dilakukan oleh Departemen Kesehatan Republik
Indonesia (Depkes RI) pada tahun 2005 di 10 provinsi menyatakan bahwa angka
kematian bayi yang diakibatkan demam tifoid berada pada peringkat kesembilan
(1.2%) sedangkan angka kematian balita yang disebabkan oleh demam tifoid
berdasarkan data terakhir pada tahun 2002-2003 yaitu 46 per 1000 kelahiran hidup
(Herawati dan Ghani, 2009).
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
tersebut adalah Evaluasi Penggunaan Antibiotika pada Pasien Demam Tifoid
Kelompok Pediatrik di Rumah Sakit Panti Rapih Yogyakarta periode 2010.
Lokasi yang dipilih untuk melakukan penelitian adalah Rumah Sakit
Panti Rapih Yogyakarta. Lokasi tersebut dipilih karena merupakan salah satu
rumah sakit swasta besar di Yogyakarta yang berdiri sejak tahun 1940-an dan
menerima pelayanan asuransi kesehatan baik dari pemerintah maupun swasta.
Evaluasi yang dimaksud adalah menjabarkan profil pasien demam tifoid
yang menggunakan antibiotika meliputi umur, jenis kelamin, frekuensi kejadian,
dan beberapa pemeriksaan penunjang diagnosis yang dilakukan serta menjabarkan
profil penggunaan antibiotika yang meliputi jenis, dosis, frekuensi, durasi, dan
rute pemberian antibiotika. Penggunaan antibiotika tersebut dibandingkan dengan
pustaka yang telah dijadikan acuan untuk mengetahui kriteria ketepatan
penggunaannya dan kemudian hasilnya dinyatakan dalam persen (%). Hal ini
perlu dilakukan dengan tujuan untuk menghindari bertambahnya jumlah bakteri
yang resisten terhadap antibiotika.
1. Permasalahan
Berdasarkan latar belakang tersebut, beberapa permasalahan yang
ditemukan antara lain :
a. Bagaimana karakteristik pasien demam tifoid kelompok umur pediatrik yang
menggunakan antibiotika di Instalasi Rawat Inap Rumah Sakit Panti Rapih
4
b. Berapa persentasi penggunaan antibiotik yang rasional pada pasien demam
tifoid kelompok umur pediatrik di Instalasi Rawat Inap Rumah Sakit Panti
Rapih Yogyakarta periode Januari-Desember 2010?
2. Keaslian Penelitian
Berdasarkan hasil penelusuran pustaka yang dilakukan, beberapa
penelitian yang berhubungan dengan evaluasi penggunaan antibiotika pada pasien
demam tifoid yang pernah dilakukan sebelumnya, antara lain :
a. Kajian Rasionalitas Penggunaan Antibiotika Pada Kasus Demam Tifoid Yang
Dirawat Pada Bangsal Penyakit Dalam di RSUP. dr. Kariadi Semarang tahun
2008 (Santoso, 2009). Hasilnya, konsep rasionalitas terhadap 137 terapi
antibiotika, yang termasuk kategori VI (data tidak lengkap) sebesar 14 terapi
antibiotika, kategori V sebesar 1 terapi antibiotika, kategori IVA sebesar 15
terapi antibiotika, kategori IVC sebesar 92 terapi antibiotika dan kategori IVD
sebesar 4 terapi antibiotika. Sedangkan yang masuk dalam kategori I
(memenuhi konsep rasional) hanya sebesar 11 terapi.
b. Pola Pemberian Antibiotika Pengobatan Demam Tifoid Anak Di Rumah
Sakit Fatmawati Jakarta Tahun 2001-2002 (Musnelinaet al., 2004). Hasilnya,
ditemukan 182 kasus demam tifoid, sebanyak 120 kasus (74.6%) kriteria
inklusi dan 62 kasus (25.4%) kriteria ekslusi. Sebanyak 97 kasus (53.5%)
menggunakan kloramfenikol dan sebanyak 49 kasus (29.6%) menggunakan
seftriaksone sebagai terapi antibiotika.
Perbedaan : sampel, lokasi, periode, poin evaluasi
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
c. Evaluasi Penggunaan Antibiotika Pada Pasien Anak Penderita DemamTifoid
di Instalasi Rawat Inap RSUD dr. Agoesdjam Ketapang Periode Juni
2008-Juni 2009 (Pratiwi, 2010). Hasilnya ditemukan 40 kasus. Penggunaan
antibiotika selama rawat inap yaitu sefalosporin generasi I (2.9%), golongan
sefalosporin generasi III (31.9%), dan golongan kloramfenikol (65.2%).
Outcome terapi pasien, lama rawat inap terbanyak pada lama perawatan 1-3
hari (52.5%), keadaan pasien keluar rumah sakit sebanyak 39 kasus (97%)
keluar rumah sakit dengan keadaan membaik dan sebanyak 1 kasus (3%)
dengan keadaan sembuh. IdentifikasiDRPspenggunaan antibiotika diperoleh
3 kasus, yang terdiri dari 4 dalam kasus dosis kurang (10%), 2 dalam kasus
dosis berlebih (5%), dan 2 dalam kasus efek obat yang tidak diinginkan (5%).
d. Evaluasi Drug Therapy Problems Pada Pengobatan Kasus Demam Tifoid di
Instalasi Rawat Inap Rumah Sakit Panti Rini Kalasan Sleman Periode Juni
2007-Juni2008 (Sari, 2009). Hasilnya jumlah kasus yang diteliti sebanyak 45
kasus. Kelas terapi terbanyak adalah obat antiinfeksi golongan antibakteri
(Tiamfenikol) dan obat gizi dan darah (100%). Jenis DTPs yang terjadi
adalah dosis terlalu rendah sebanyak 10 kasus dan potensial interaksi obat
sebanyak 28 kasus. Outcome kasus tifoid yaitu sembuh 9 kasus (20%),
membaik 34 kasus (76%) dan belum sembuh 2 kasus (4%).
e. Kajian Penggunaan Obat Demam Tifoid Bagi Pasien Anak di Instalasi Rawat
Inap Rumah Sakit Panti Rapih Yogyakarta Periode Januari 2000-Desember
2001 (Triana, 2003). Hasilnya golongan obat yang paling banyak digunakan
6
adalah kotrimoksazol (44.32%). Cara pemberian obat peroral dengan bentuk
sediaan tablet merupakan jumlah yang paling banyak digunakan. Ada 4 obat
yang menyebabkan terjadinya efek samping dan 9 kasus terjadi interaksi obat.
Dari penelitian ini ditemukan ada 39 kasus yang tepat indikasi sedangkan 16
kasus kurang tepat indikasi, rata-rata lama perawatan anak demam tifoid
adalah 4-10 hari.
3. Manfaat Penelitian
Manfaat Praktis
a. Bagi Pasien
1) Membantu pasien memahami penggunaan antibiotika untuk penyakit
demam tifoid secara tepat, sehingga pengobatan penyakit pada kejadian
rawat jalan dapat berjalan secara efisien.
b. Bagi Tenaga Kesehatan (dokter dan apoteker)
1) Suatu sarana evaluasi ataupun refleksi bagi dokter maupun apoteker
bahwa dalam melaksanakan pelayanan kesehatan juga dibutuhkan sikap
yang bijaksana, serta menggunakan hati nurani, tidak hanya
mengutamakan keuntungan sepihak, namun merugikan pasien.
2) Suatu sarana untuk memacu para dokter dan apoteker untuk
menggunakan antibiotika pada kasus demam tifoid secara rasional
berdasarkan dasar-dasar ilmiah yang sudah ada.
c. Bagi Peneliti
1) Menambah pengetahuan peneliti mengenai penggunaan antibiotika
secara rasional pada kasus demam tifoid.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
2) Sarana evaluasi dan bahan untuk refleksi bahwa dalam menjalankan
tugas melayani pasien haruslah mempertimbangkan banyak hal tidak
semata-mata hanya kesembuhan pasien, tetapi juga harus
mempertimbangkan daya beli pasien.
Manfaat Teoritis
Menambah pengetahuan baik untuk masyarakat umum maupun untuk
tenaga kesehatan mengenai antibiotika untuk penatalaksanaan penyakit demam
tifoid serta penggunaannya secara rasional.
B. Tujuan Penelitian 1. Tujuan Umum
Melihat rasionalitas penggunaan antibiotika sebagai obat anti infeksi.
2. Tujuan Khusus
Penelitian ini secara khusus dimaksudkan untuk :
a. Melihat karakteristik pasien demam tifoid pada kelompok umur pediatrik di
RS. Panti Rapih Yogyakarta pada periode Januari sampai dengan Desember
2010.
b. Mengevaluasi rasionalitas peresepan antibiotika pada pasien rawat inap
pasien demam tifoid di Rumah Sakit Panti Rapih Yogyakarta berdasarkan
8
BAB II
PENELAAHAN PUSTAKA
A. Antibiotika
Pada awal ditemukan, definisi antibiotika adalah suatu jenis obat yang
dihasilkan oleh mikroorganisme yang dapat menghambat pertumbuhan atau dapat
membunuh mikroorganisme lain (Ganiswara, 1995). Seiring dengan
berkembangnya teknologi, definisi antibiotika mengalami pergeseran. Antibiotika
pada prinsipnya adalah suatu zat atau senyawa obat alami maupun sintesis yang
digunakan untuk membunuh kuman penyakit dalam tubuh manusia dengan
berbagai mekanisme sehinga manusia terbebas dari infeksi bakteri (Katzung,
2008).
Istilah “antibiotika” awalnya dikenal sebagai senyawa alami yang
dihasilkan oleh jamur atau mikroorganisme lain yang digunakan untuk membunuh
bakteri penyebab penyakit pada manusia atau hewan. Secara teknis istilah “agen
anti bakteri” mengacu kepada kedua senyawa alami dan buatan tersebut baik
sintesis maupun semi sintesis. Saat ini banyak orang beranggapan dan
menggunakan kata antibiotika untuk merujuk kepada suatu senyawa yang
digunakan untuk membunuh bakteri baik yang dihasilkan langsung oleh jamur
atau mikroorganisme maupun yang dihasilkan dari proses sintesis atau semi
sintesis yang strukturnya mirip dengan yang dihasilkan pada jamur atau
mikroorganisme. Antibiotika yang akan digunakan untuk membasmi mikroba
penyebab infeksi pada manusia, harus mememiliki sifat toksisitas selektif setinggi
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
mungkin terhadap mikroorganisme. Artinya, antibiotika yang digunakan harus
memiliki sifat toksisitas selektif yang tinggi (Katzung, 2008). Berdasarkan sifat
ini, ada antibiotika yang bersifat bakteriostatik ada juga yang bersifat bakterisida.
Gambar 1. Mekanisme kerja bakteriosida dan bakteriostatik pada antibiotika (Lullmannet al., 2000)
Tabel I. Penggolongan antibiotika berdasarkan sifat beserta contohnya
Bakteriostatik Bakterisida
Kloramfenikol Tetrasiklin Eritromisin Linkomisin Klindamisin
Rifampisin Sulfonamid Trimetoprim Spektinomisin Metenamin Mandelat
Asam Nalidiksid Asam Oksolinik Nitrofurantoin
Penisilin Sefalosporin Aminoglikosid
Polimiksin Vankomisin
Basitrasin Sikloserin
10
Antibiotika dan kemoterapetika merupakan jenis obat yang paling
banyak digunakan dalam klinik. Hal ini tidak lepas dari tingginya angka kejadian
infeksi dalam populasi dibandingkan dengan penyakit-penyakit lain.
Perkembangan ilmu kedokteran dan farmasi dalam beberapa dekade terakhir ini
telah memungkinkan ditemukannya berbagai jenis obat baru termasuk antibiotika
(Ganiswara, 1995).
Perkembangan ini jelas sangat menggembirakan karena kasus-kasus
infeksi yang dahulu tidak dapat disembuhkan oleh beberapa jenis antibiotika saat
ini seiring dengan banyak ditemukannya antibiotika baru dapat teratasi.
Banyaknya penemuan antibiotika baru juga dapat memicu timbulnya masalah
seperti sulitnya untuk menentukan pilihan dan pemakaian yang sesuai (Ganiswara,
1995).
Ada beberapa macam penggolongan antibiotika, antara lain
penggolongan antibiotika berdasarkan sifat, mekanisme kerja serta berdasarkan
aktifitasnya (Katzung, 2008).
Berdasarkan mekanisme kerjanya, antibiotika dibagi dalam 5 kelompok,
yaitu :
1. Mengganggu metabolisme sel mikroba.
2. Menghambat sintesis dinding sel mikroba.
3. Merusak keutuhan membran sel mikroba.
4. Menghambat sintesis protein sel mikroba.
5. Menghambat sintesis atau merusak asam nukleat sel mikroba.
(Katzung, 2008)
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
Gambar 2. Mekanisme kerja antibiotika (Lullmannet al., 2000)
Berdasarkan aktifitasnya, antibiotika dapat digolongkan menjadi 2 yaitu :
1. Antibiotika berspektrum sempit.
2. Antibiotika berspektrum luas.
(Ganiswara, 1995)
Gambar 3. Struktur Penicillin Gambar 4. Struktur Kloramfenikol
12
Gambar 5. Struktur Sefalosporin (Craig dan Stitzel, 2005)
B. Resistensi Bakteri terhadap Antibiotika
Penggunaan antibiotika yang tidak rasional dapat berakibat pada
timbulnya resistensi terhadap antibiotika. Terdapat empat jalur mekanisme
terjadinya resistensi antibiotika yaitu penurunan permeabilitas terhadap
antibiotika, adanya proses enzimatik, modifikasi letak reseptor obat, dan
peningkatan sintesis metabolit antagonis terhadap antibiotika (Shulman, 1992).
1. Perubahan permeabilitas
Antibiotika tidak dapat mencapai lokasi target yang dikehendaki.
Keadaan ini berhubungan dengan penurunan permeabilitas dinding
mikroorganisme terhadap antibiotika. Perubahan permeabilitas berhubungan
dengan perubahan reseptor permukaan sel sehingga antibiotika kehilangan
kemampuan untuk melakukan transportasi aktif guna melewati membran sel, dan
akhirnya terjadi perubahan struktur dinding sel yang tidak spesifik. Sebagai
contoh mekanisme ini terjadi pada Gram negatif. Bakteri Gram negatif
mempunyai lapisan lipid pada membran luar dinding sel, membran luar tersebut
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
terdiri dari protein porin yang berbentuk saluran, penuh berisi air. Perubahan yang
terjadi pada porin akan menyebabkan penurunan permeabilitas terhadap
antibiotika tertentu, misalnya golongan beta laktam (Shulman, 1992).
2. Proses inaktifasi oleh enzim
Organisme patogen memacu terjadinya mekanisme biokimia, melalui
proses enzimatik yang berperan mengurangi atau mengeliminasi antibiotika.
Mikroorganisme yang telah mengalami mutasi mengalami peningkatan aktifitas
enzim atau terjadi mekanisme baru sehingga obat menjadi tidak aktif, seperti
contohnya adalah adanya beta-laktamase menyebabkan penisilin dan sefalosporin
menjadi inaktif. Modifikasi biokimia antibiotika oleh enzim bakteri merupakan
suatu masalah yang sangat serius dalam pengobatan antibiotika dan kemoterapi
(Shulman, 1992).
3. Modifikasi lokasi reseptor sel target
Melalui mekanisme biokimiawi yang menyebabkan ikatan antara
antibiotika dengan mikroorganisme tidak berlangsung lama, interaksi antara obat
dengan sel target tidak terjadi. Pada mikroorganisme yang telah mengalami
mutasi, perubahan biokimiawi ini terjadi selama fase pengobatan pasien, seperti
pada contoh resistensi yang terjadi pada pengobatan menggunakan eritromisin,
klindamisin, dan streptomisin (Shulman, 1992).
4. Peningkatan sintesis metabolit yang bersifat antagonis
Peningkatan kemampuan mikroba untuk membuat zat metabolit esensial
14
Sebagai contoh terjadinya resistensi terhadap kloramifenikol, trimetropim dibantu
diperantarai oleh plasmid (Shulman, 1992).
C. Demam Tifoid (Typhoid Fever)
1. Definisi
Demam tifoid adalah suatu penyakit yang disebabkan oleh infeksi bakteri
Salmonella typhi atau Salmonella paratyphii (Crump et al., 2005). Bakteri
penyebab penyakit demam tifoid tersebut merupakan suatu bakteri Gram negatif
(Anonim, 2003) yang masuk menembus ke dalam saluran gastrointestinal,
berkembang biak dan menyebar melalui pembuluh darah serta menyebabkan
inflamasi pada dinding usus (Crumpet al., 2005).
2. Epidemiologi
Penyebaran demam tifoid sangat luas, khususnya di negara-negara
berkembang dengan keadaan sanitasi yang buruk. Demam tifoid endemik di Asia,
Afrika, Amerika Latin, Kepulauan Karibia, dan Oceania (Brusch, 2010). Diantara
beberapa wilayah tersebut, demam tifoid paling banyak terjadi pada negara-negara
berkembang ataupun pada negara terbelakang. Demam tifoid menginfeksi kurang
lebih 21.6 juta orang (angka kejadian 3.6 per 1000 populasi) dan diperkirakan
membunuh 200.000 orang setiap tahun (Brusch, 2010).
3. Patofisiologi
Masuknya kuman Salmonella typhii ke dalam tubuh manusia terjadi
melalui makanan yang terkontaminasi. Sebagian kuman dimusnahkan di lambung
oleh asam lambung dan sebagian lainnya dapat masuk ke dalam usus. Bakteri
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
patogen yang masuk
fagosit tersebut tidak
menembus dan masuk
hidup dan berkemban
masuk dalam sirkula
(Behrman, 1992). Pada
dari sel fagosit dan be
empedu dan kemudian
1996).
Gambar 6 : Di
suk diselubungi oleh sel-sel fagosit (Brusch, 2010)
dak dapat merusak bakteri dengan segera sehingga
suk dalam lamina propria usus (Behrman, 1992)
bangbiak di dalam makrofag (Parry et al., 2002)
kulasi darah dan menyebar hingga mencapai
ada saat berada dalam organ retikuloendotelia
berkembang biak. Melalui kapiler hati, bakteri
udian larut disana menyebabkan terjadinya bakter
Diagram patofisiologi Demam Tifoid (Soedarto,
2010), namun sel
hingga bakteri bisa
1992). Kuman dapat
., 2002) kemudian
pai hati dan limpa
lial, bakteri keluar
eri dapat mencapai
kterimia (Soedarto,
16
Kuman yang terdapay dalam empedu kemudian diekskresikan secara
bersama cairan empedu ke dalam lumen usus dan dikeluarkan dalam bentuk feses
(Soedarto, 1996). Tidak semua kuman tersebut diekskresi, sebagian ada yang
masuk dan kembali menembus usus sehingga proses yang sama terulang kembali.
Makrofag yang telah teraktivasi kemudian melakukan upaya pertahanan diri
dengan membebaskan suatu zat endotoksin, yaitu lipopolisakarida (LPS) yang
bertanggung jawab terhadap beberapa tanda dan gejala infeksi (Behrman, 1992).
4. Manifestasi Klinis
Masa tunas penyakit demam tifoid berlangsung 10 sampai 14 hari (Parry
et al., 2002). Keluhan dan gejala demam tifoid tidak khas, dan bervariasi dari
gejala seperti flu ringan sampai tampilan sakit berat dan fatal yang mengenai
banyak sistem organ. Gejala yang timbul amat bervariasi. Gambaran penyakit
bervariasi dari penyakit ringan yang tidak terdiagnosis, sampai gambaran penyakit
yang khas dengan komplikasi dan kematian (Brusch, 2010).
Secara klinis gambaran penyakit demam tifoid berupa demam
berkepanjangan, gangguan fungsi usus, dan keluhan sistem saraf pusat. Panas
lebih dari 7 hari, biasanya makin hari makin meninggi, sehingga pada minggu ke
2 panas tinggi secara terus menerus. Demam biasanya dialami pada malam hari.
Gejala gangguan saluran gastrointestinal dapat berupa obstipasi, diare, mual,
muntah, dan kembung (Soedarto, 1996).
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
Dalam minggu pertama penyakit, keluhan dan gejala serupa dengan
penyakit infeksi akut. Pada umumnya timbul gejala seperti demam,nyeri kepala,
pusing, nyeri otot, tidak nafsu makan, mual, muntah, perut kembung dan perasaan
tidak enak diperut, sedangkan diare dan sembelit silih berganti. Pada akhir minggu
pertama diare lebih sering terjadi. Pemeriksaan fisik hanya ditemukan suhu badan
meningkat. Dalam minggu kedua gejala-gejala menjadi lebih jelas berupa demam,
denyut jantung relatif lambat, lidah yang khas (kotoran ditengah, tepi dan ujung
merah, tremor/bergetar, hati membesar, limpa membesar, gangguan mental) (Ali,
2006).
Pada minggu ketiga suhu tubuh berangsur-angsur turun, dan normal
kembali di akhir minggu. Hal itu terjadi jika tanpa komplikasi atau berhasil
diobati. Bila keadaan membaik, gejala-gejala akan berkurang dan temperatur
mulai turun. Meskipun demikian justru pada saat ini komplikasi perdarahan dan
perforasi cenderung untuk terjadi, akibat lepasnya kerak dari ulkus. Jika denyut
nadi sangat meningkat disertai oleh peritonitis lokal maupun umum, maka hal ini
menunjukkan telah terjadinya perforasi usus sedangkan keringat dingin, gelisah,
sukar bernapas, dan kolaps dari nadi yang teraba denyutnya memberi gambaran
adanya perdarahan. Degenerasi miokardial toksik merupakan penyebab umum
dari terjadinya kematian penderita demam tifoid pada minggu ketiga (Ali, 2006).
Minggu keempat merupakan stadium penyembuhan meskipun pada awal
minggu ini dapat dijumpai adanya pneumonia lobar atau tromboflebitis vena
femoralis. Pada mereka yang mendapatkan infeksi ringan dengan demikian juga
18
berlangsung dalam waktu yang pendek. Kekambuhan dapat lebih ringan dari
serangan primer tetapi dapat menimbulkan gejala lebih berat daripada infeksi
primer tersebut. Sepuluh persen dari demam tifoid yang tidak diobati akan
mengakibatkan timbulnya relaps (Brusch, 2010).
5. Diagnosis
Gambaran klinis penyakit demam tifoid sangat bervariasi dari hanya
sebagai penyakit ringan yang tidak terdiagnosis, sampai gambaran penyakit yang
khas dengan komplikasi dan dapat mengakibatkan kematian (Behrman, 1992).
Penegakan diagnosis harus dilakukan sedini mungkin agar bisa diberikan terapi
yang tepat serta meminimalkan terjadinya komplikasi. Pengetahuan mengenai
gambaran klinis penyakit ini sangat penting untuk membantu mendeteksi secara
dini walaupun pada kasus tertentu dibutuhkan pemeriksaan tambahan untuk
membantu menegakkan diagnosis (Brusch, 2010).
Penegakan diagnosis penyakit demam tifoid ini masih kurang lengkap
apabila belum ditunjang dengan hasil pemeriksaan laboratorium. Pemeriksaan
laboratorium secara konvensional dapat dilakukan melalui identifikasi adanya
antigen/antibodi sampel (darah) dan melalui kultur mikroorganisme (Brusch,
2010)
a. Pemeriksaan Laboratorium
Pemeriksaan laboratorium meliputi pemeriksaan hematologi, urinalisis,
kimia klinik, imunoserologi, dan mikrobiologi.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
1) Hematologi
Kadar hemoglobin dapat menurun ataupun normal apabila terdapat
pendarahan usus atau perforasi. Jumlah lekosit sering rendah (lekopenia) tetapi
dapat juga normal atau tinggi. Jumlah trombosit sering menurun
(trombositopenia) ataupun normal (Kass dan Platt, 1990).
2) Urinalisis
Adanya protein di dalam urine bervariasi dari negatif sampai dengan
positif (akibat demam). Jumlah lekosit dan eritrosit normal, apabila terjadi
peningkatan maka kemungkinan terjadi pendarahan (Brusch, 2010).
3) Kimia Klinik
Enzim hati (SGPT dan SGOT) akan meningkat dengan gambaran adanya
komplikasi pada fungsi hati (mulai dari peradangan hingga hepatitis akut)
(Brusch, 2010).
4) Imunoserologi
Pemeriksaan serologi Widal ditujukan untuk mendeteksi adanya antibodi
(dalam darah) terhadap antigen kuman Salmonella typhi / paratyphi(reagen). Uji
ini merupakan test kuno yang masih amat popular dan paling sering diminta
terutama di negara dimana penyakit ini endemis seperti di Indonesia. Sebagai uji
cepat (rapid test) hasilnya dapat segera diketahui. Hasil positif dinyatakan dengan
adanya aglutinasi. Karena itu antibodi jenis ini dikenal sebagaifebrile agglutinin.
(Brusch, 2010).
Reaksi Widal adalah suatu reaksi pengendapan antara antigen dan
20
penyakit tifus. Reaksi Widal bertujuan untuk menentukan adanya aglutinin dalam
serum penderita yang disangka menderita penyakit tifus (Judarwanto, 2009).
Hasil uji Widal dipengaruhi oleh banyak faktor sehingga dapat
memberikan hasil positif palsu atau negatif palsu. Hasil positif palsu dapat
disebabkan oleh faktor-faktor, antara lain pernah mendapatkan vaksinasi, reaksi
silang dengan spesies lain (Enterobacteriaceae sp), reaksi anamnestik (pernah
sakit), dan adanya faktor rheumatoid (RF). Hasil negatif palsu dapat disebabkan
oleh karena antara lain penderita sudah mendapatkan terapi antibiotika, waktu
pengambilan darah kurang dari 1 minggu sakit, keadaan umum pasien yang buruk,
dan adanya penyakit imunologik lain (Sherwalet al., 2004).
Pemeriksaan tes Typhidot merupakan uji imunologik yang lebih baru,
yang dianggap lebih sensitif dan spesifik dibandingkan uji Widal untuk
mendeteksi Demam Tifoid/Paratifoid. Sebagai tes cepat (rapid test) hasilnya juga
dapat segera di ketahui (Sherwalet al., 2004).
5) Mikrobiologi
Uji kultur merupakan standar baku untuk pemeriksaan demam tifoid.
Apabila hasil biakan positif maka diagnosis pasti untuk demam tifoid. Apabila
hasil negatif, maka belum tentu bukan demam tifoid karena hasil biakan negatif
palsu dapat disebabkan oleh beberapa faktor antara lain jumlah darah terlalu
sedikit, adanya kesalahan pada saat preparasi, sudah mendapat terapi antibiotika
atau sudah mendapat vaksinasi demam tifoid (WHO, 2003).
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
6. Penatalaksanaan
Sampai saat ini masih dianut trilogi penatalaksanaan demam tifoid, yaitu
istirahat dan perawatan, diet dan terapi penunjang (simptomatik dan suportif),
serta pemberian terapi farmakologi. Tatalaksana pengobatan demam tifoid antara
lain adalah dengan pemberian antibiotika. Antibiotika yang biasa diberikan antara
lain adalah kloramfenikol, amoksisilin, ampisilin serta golongan sefalosporin
generasi ketiga seperti cefixime, cefotaxime dan ceftriaxone (Shah et al., 2009).
Selain dengan terapi antibiotik, terapi lain juga perlu dilakukan untuk pengobatan
demam tifoid seperti pemberian oral/intravena cairan tubuh, pemberian antipiretik
serta asupan nutrisi yang cukup ke dalam tubuh (WHO, 2003).
Kloramfenikol merupakan salah satu obat pilihan utama dalam
pengobatan demam tifoid. Kloramfenikol biasanya diberikan secara oral kepada
pasien, namun tidak menutup kemungkinan juga apabila kloramfenikol diberikan
melalui saluran intravena dengan tujuan untuk mempercepat kerja obat apabila
pasien sudah benar-benar membutuhkan pertolongan. Kloramfenikol mempunyai
ketersediaan biologik 80% pada pemberian iv. Waktu paruh plasmanya 3 jam
pada bayi baru lahir, dan bila terjadi sirosis hepatis diperpanjang sampai dengan 6
jam. Pada anak berumur 6-12 tahun diberikan dosis sebesar 40-50 mg/kg/hari
sedangkan pada anak berumur 1-3 tahun membutuhkan dosis 50-100 mg/kg/hari.
Kloramfenikol apabila diberikan secara intravena, dosis untuk anak berumur 7-12
tahun sebesar 50-80 mg/kg/hari, dan 50-100 mg/kg/hari untuk anak berumur 2-6
22
Ampisilin dan amoksisilin memiliki kemampuan untuk menurunkan
demam lebih rendah dibandingkan dengan kloramfenikol. Obat ini mempunyai
ketersediaan biologik sebesar 60%. Waktu paruh plasmanya 1.5 jam (bayi baru
lahir: 3,5 jam). Dosis untuk pemberian per oral dalam lambung yang kosong
dibagi dalam pemberian setiap 6-8 jam sekitar setengah jam sebelum makan.
Dosis yang dianjurkan diberikan pada anak adalah 100-200 mg/kg/hari (Lacy et
al., 2006).
Antibiotika lain yang bisa digunakan untuk pengobatan demam tifoid
selain menggunakan kloramfenikol dan amoksilin adalah antibiotika golongan
quinolon dan sefalosporin (WHO, 2003). Organisasi Kesehatan Dunia (WHO)
merekomendasikan penggunaan antibiotika golongan quinolon dan sefalosporin
untuk pengobatan demam tifoid, namun dalam prakteknya penggunaan quinolon
tidak dianjurkan pada anak-anak karena dapat menyebabkan toksisitas pada tulang
yang berakibat terhambatnya pertumbuhan anak (Shahet al., 2006).
Tabel II. Terapi yang direkomendasi WHO untuk demam tifoid
(WHO, 2003)
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
Antibiotika golongan sefalosporin generasi ketiga yang dapat menjadi
pilihan untuk pengobatan demam tifoid antara lain adalah cefixime, cefotaxime,
dan ceftriaxone. Cefixime bisa dijadikan sebagai pilihan pertama pengobatan
demam tifoid. Cefixime memiliki ketersediaan biologik sebesar 40-50%, waktu
paruh eliminasi antara 3 sampai 4 jam serta membutuhkan waktu sekitar 2 sampai
dengan 6 jam untuk mencapai konsentrasi maksimum. Dosis yang biasa
digunakan pada anak-anak adalah 15-20 mg/kg/hari selama 10 sampai 14 hari
(Lacyet al., 2006).
Cefotaxime dan ceftriaxone merupakan alternatif antibiotika yang dapat
digunakan untuk pengobatan demam tifoid yang disertai dengan beberapa
komplikasi dengan penyakit lain. Cefotaxime maupun ceftriaxone digunakan
sebagai pilihan pertama apabila ditemukan adanya riwayat resistensi suatu bakteri
terhadap antibiotika golongan quinolon (WHO, 2003). Dosis cefotaxime untuk
anak berumur > 12 tahun adalah 1-2 g setiap 4-12 jam dan untuk anak berumur
< 12 tahun dengan berat badan < 50 kg adalah 50-200 mg/kg (Lacyet al., 2006).
Dosis ceftriaxone untuk anak-anak adalah 50-100 mg/kg dengan interval 1-2 kali
perhari dan dosis maksimum yang masih diperkenankan adalah 4 g/hari (Lacyet
al., 2006).
c. Landasan Teori
Pengobatan penyakit infeksi selama ini dilakukan dengan pemberian
agen-agen antimikroba seperti salah satu contohnya dengan pemberian obat-obat
24
Antibiotika sebaiknya digunakan secara rasional untuk mengurangi
kemungkinan timbulnya bahaya resistensi.. Menurut WHO, kriteria penggunaan
obat yang rasional meliputi tepat pasien, tepat obat, tepat indikasi, tepat dosis, dan
waspada efek samping (WHO, 2003), begitu pula dengan pengobatan
menggunakan antibiotika haruslah meliputi kelima aspek tersebut. Kurrin dan
Gyssens menggolongkan ketepatan penggunaan antibiotika dalam enam kategori
dimana kategori I adalah penggunaan antibiotika secara tepat atau rasional.
Kategori II adalah ketidaktepatan penggunaan antibiotika karena adanya dosis
yang tidak sesuai, interval pemberian maupun rute pemberian yang tidak sesuai.
Kategori III adalah ketidaktepatan yang diakibatkan penggunaan antibiotika
terlalu lama maupun terlalu singkat. Kategori IV adalah ketidaktepatan
penggunaan antibiotika diakibatkan karena ada pilihan antibiotika lainnya yang
lebih efektif maupun lebih aman. Kategori V diakibatkan karena antibiotika yang
digunakan tidak memiliki indikasi untuk penyakit tertentu dan kategori VI adalah
penggunaan antibiotika tidak dapat dievaluasi karena tidak ada data (Benin dan
Dowel, 2001).
Selama ini antibiotika yang digunakan untuk pengobatan demam tifoid
adalah kloramfenikol dengan dosis 50-100 mg/kg BB selama 5 sampai 14 hari.
Namun pada perkembangannya antibiotika lainnya dari golongan sefalosporin
generasi ketiga seperti cefixime juga dapat digunakan dalam pengobatan demam
tifoid mengingat banyaknya kasus resistensi bakteri terhadap kloramfenikol yang
dilaporkan akhir-akhir ini (Lacyet al., 2006).
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
d. Keterangan Empiris
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan gambaran mengenai
penggunaan antibiotika untuk pengobatan demam tifoid pada kelompok pediatrik
di RS. Panti Rapih Yogyakarta serta evaluasinya yang bisa bermanfaat untuk
mengurangi timbulnya resistensi bakteri terhadap antibiotika dan meningkatkan
efisiensi pengobatan pada pasien demam tifoid kelompok pediatrik di RS. Panti
26
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
A. Jenis Penelitian
Penelitian mengenai Evaluasi Penggunaan Antibiotika pada Pasien
Demam Tifoid Kelompok Pediatrik di Instalasi Rawat Inap Rumah Sakit Panti
Rapih Yogyakarta periode 2010 merupakan jenis penelitian non eksperimental
dengan rancangan deskriptif evaluatif yang bersifat retrospektif.
Penelitian ini merupakan jenis penelitian non eksperimental karena tidak
ada perlakuan pada subjek uji. Rancangan penelitian deskriptif evaluatif karena
data yang diperoleh dari catatan rekam medik kemudian dievaluasi berdasarkan
studi pustaka, dan dideskripsikan terhadap fenomena yang terjadi, kemudian
disajikan dalam bentuk tabel dan atau gambar. Selain itu, rancangan penelitian
deskriptif evaluatif karena tujuan penelitian yaitu memberikan gambaran dan
evaluasi mengenai penggunaan obat antibiotika pada pasien demam tifoid
kelompok pediatrik.
Penelitian bersifat retrospektif, karena data diambil dengan menggunakan
penelusuran terhadap dokumen yang terdahulu yaitu berupa kartu rekam medik
pasien demam tifoid kelompok pediatrik di Instalasi Rawat Inap Rumah Sakit
Panti Rapih Yogyakarta periode 2010.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
B. Variabel dan Definisi Operasional
1. Variabel utama
a. Variable bebas
Jenis, dosis, frekuensi, dan durasi penggunaan antibiotika
b. Variable terikat
Kondisi pasien pada saat proses pengobatan
2. Variabel terkendali
a. Usia
b. Jenis kelamin
3. Variabel tak terkendali
a. Berat badan
4. Definisi Operasional
a. Pasien pediatrik adalah pasien dengan berumur 0-12 tahun (Izenberg,
2000) pria maupun wanita yang terdiagnosa demam tifoid tanpa adanya
komplikasi (ditunjang dengan hasil laboratorium), dirawat di RS. Panti
Rapih Yogyakarta pada periode Januari-Desember 2010, mendapatkan
terapi antibiotika dan menyelesaikan pengobatan di RS. Panti Rapih
Yogyakarta sampai sembuh atau dinyatakan sembuh oleh dokter.
b. Antibiotika adalah suatu jenis obat yang dihasilkan oleh mikroorganisme
maupun yang dihasilkan melalui proses sintesis atau semi sintesis yang
strukturnya menyerupai zat yang dihasilkan oleh mikroorganisme tersebut
yang dapat membunuh ataupun menghambat pertumbuhan
28
c. Evaluasi penggunaan antibiotika adalah evaluasi mengenai
kerasionalitasan penggunaan antibiotika dalam penatalaksanaan penyakit
demam tifoid. Evaluasi yang dilakukan meliputi ketepatan dosis,
frekuensi, durasi, dan rute pemberian antibiotika.
d. Terapi antibiotika kombinasi adalah terapi menggunakan antibiotika baik
yang digunakan bersamaan maupun yang sifatnya penggantian antibiotika.
e. Lembar atau kartu rekam medis adalah lembar catatan yang berisi data
klinis pasien demam tifoid yang menjalani terapi di RS. Panti Rapih
Yogyakarta.
C. Subjek Penelitian
Subjek penelitian ini adalah semua pasien pediatrik demam tifoid yang
menerima terapi antibiotika dan dirawat di Rumah Sakit Panti Rapih Yogyakarta
periode Januari 2010 sampai dengan Desember 2010 kemudian diambil sesuai
dengan kriteria inklusi yaitu semua pasien berumur 0-12 tahun baik pria maupun
wanita yang didiagnosis positif menderita demam tifoid tanpa adanya penyakit
penyerta, menerima terapi antibiotika hingga selesai di RS. Panti Rapih
Yogyakarta dan dinyatakan sembuh oleh dokter, serta dengan kriteria eksklusi
yaitu pasien peditarik yang terdiagnosis positif menderita demam tifoid dengan
beberapa penyakit penyerta.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
D. Bahan Penelitian
Bahan penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah lembar
rekam medis pasien demam tifoid yang ada di Rumah Sakit Panti Rapih
Yogyakarta periode 2010.
E. Tata Cara Penelitian
1. Analisis Situasi
Analisis situasi dengan melihat data laboratorium dan obat antibiotika
yang digunakan pasien pediatrik demam tifoid yang diperoleh dari Instalasi
Rekam Medik Rumah Sakit Panti Rapih Yogyakarta pada bulan Januari 2010
sampai bulan Desember 2010.
2. Pengambilan Data
Data pasien yang diperoleh dari lembar rekam medik dipilih sesuai
dengan kriteria inklusi yang sudah ditetapkan oleh penulis. Tahap pengambilan
data meliputi beberapa proses sebagai berikut :
a. Penelusuran data, dilakukan dengan menelusuri data menggunakan
komputer di Instalasi Rekam Medik mengenai jumlah pasien yang
didiagnosis menderita demam tifoid kelompok pediatrik, nomor rekam
medis, umur pasien kelompok pediatrik, serta lama pengobatan di Rumah
Sakit.
b. Pengumpulan data, pada tahap ini dilakukan pencarian pasien pediatrik
sesuai dengan definisi operasional yang sudah ditetapkan sebelumnya
30
c. Pencatatan data, dilakukan dengan mencatat data pasien pediatrik yang
menjalani rawat inap di rumah sakit serta melakukan pemeriksaan
laboratorium dan mendapat terapi antibiotika.
Data yang dikumpulkan meliputi nomor rekam medis, nama pasien, usia
pasien, lama pasien dirawat di rumah sakit, data pemeriksaan laboratorium serta
terapi yang didapatkan pasien selama pasien dirawat.
3. Pengolahan Data
Data yang sudah didapat kemudian dievaluasi apakah antibiotika yang
diresepkan oleh dokter rasional atau tidak rasional pada penatalaksanaan demam
tifoid pada kelompok pediatrik. Data kemudian disajikan dalam bentuk tabel
maupun diagram.
Evaluasi penggunaan antibiotika dilakukan dengan membandingan terapi
antibiotika yang diterima pasien dengan literatur yang diacu. Pustaka yang
digunakan sebagai acuan yaitu Drug Information Handbook (Lacy et al., 2006),
Textbook of Pediatrics (Behrman, 1992), Current Therapy of Infectious Disease
(Kass dan Plat, 1990), Buku Saku Pelayanan Kesehatan Anak di Rumah Sakit
(Roespandi dan Nurhamzah, 2009).
F. Tata Cara Analisis Hasil
Data kualitatif yang diperoleh dibahas dalam bentuk uraian secara
deskriptif dalam bentuk tabel maupun gambar. Evaluasi dilakukan dengan
melakukan analisis ketepatan penggunaan antibiotika yang diresepkan untuk
pengobatan demam tifoid di RS. Panti Rapih Yogyakarta. Langkah-langkah
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
melakukan analisis dari hasil rekam medis yang didapatkan adalah sebagai
berikut:
1. Persentasi pasien demam tifoid yang telah menerima terapi antibiotika
berdasarkan frekuensi kejadian di RS dengan menghitung jumlah pasien yang
sesuai kriteria per bulan dibagi total kasus dikali 100%.
2. Persentasi pasien demam tifoid yang telah menerima terapi antibiotika
berdasarkan usia dengan menghitung jumlah pasien dibagi total kasus dikali
100%.
3. Persentasi pasien demam tifoid yang telah menerima terapi antibiotika
berdasarkan jenis kelamin dengan menghitung jumlah pasien laki-laki dan
perempuan dibagi total kasus dikali 100%.
4. Persentasi pasien demam tifoid yang telah menerima terapi antibiotika
berdasarkan pemeriksaan laboratorium yang dilakukan dengan menghitung
jumlah pasien tiap pemeriksaan dibagi total kasus dikali 100%.
5. Persentasi penggunaan antibiotika berdasarkan jenisnya (nama generik) yang
dilakukan dengan menghitung jumlah antibiotika dibagi total kasus dikali
100%.
6. Persentasi penggunaan antibiotika berdasarkan dosis dan frekuensinya yang
dilakukan dengan menghitung jumlah antibiotika dibagi total kasus dikali
100%.
7. Persentasi penggunaan antibiotika berdasarkan durasi yang dilakukan dengan
32
8. Persentasi penggunaan antibiotika berdasarkan rute pemberiannya yang
dilakukan dengan menghitung jumlah antibiotika tiap rute dibagi total kasus
dikali 100%.
9. Persentasi pasien demam tifoid yang telah menerima terapi antibiotika
berdasarkan kriteria ketepatan penggunaan antibiotika dengan menghitung
jumlah pasien dengan penggunaan antibiotika yang tepat (jenis, dosis,
frekuensi, rute dan cara pemberian, dan durasi) dibagi total kasus dikali 100%.
10. Persentasi pasien demam tifoid yang telah menerima terapi antibiotika
berdasarkan kriteria ketepatan penggunaan antibiotika dengan menghitung
jumlah pasien dengan penggunaan antibiotika yang tidak tepat (jenis, dosis,
frekuensi, rute dan cara pemberian, dan durasi) dibagi total kasus dikali 100%.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
33
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
Penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk mendapatkan gambaran
mengenai profil pasien demam tifoid pada kelompok umur pediatrik yang terjadi
di Instalasi Rawat Inap Rumah Sakit Panti Rapih Yogyakarta serta untuk melihat
ketepatan penggunaan antibiotika yang digunakan dalam pengobatan demam
tifoid khususnya pada kelompok umur pediatrik. Data mengenai antibiotika yang
sudah didapatkan kemudian dianalisis ketepatannya meliputi ketepatan dosis,
frekuensi, rute pemberian serta durasi pemakaian antibiotika. Data yang sudah
didapatkan tersebut kemudian dibandingkan dengan pedoman pengobatan yang
telah ditentukan. Pedoman pengobatan yang digunakan sebagai acuan dalam
penelitian ini adalah Current Therapy in Infectious Disease (Kass dan Platt,
1990), Textbook of Pediatrics (Behrman, 1992), Drug Information Handbook
(Lacy et al., 2006), The Diagnosis, Treatment and Prevention of Typhoid Fever
(WHO, 2003), dan Buku Saku Pelayanan Kesehatan Anak di Rumah Sakit
(Depkes RI, 2009).
Subyek dari penelitian ini adalah pasien pada kelompok umur pediatrik,
baik pria maupun wanita dengan diagnosis demam tifoid tanpa adanya penyakit
penyerta, mendapatkan terapi antibiotika, serta dinyatakan sembuh atau membaik
oleh dokter pada saat keluar dari Rumah Sakit Panti Rapih Yogyakarta. Hasil
penelitian disajikan dalam tiga bagian yaitu profil pasien demam tifoid,
identifikasi dan diagnosis pasien demam tifoid, serta pola penggunaan antibiotika
34
A. Profil Pasien
Pada penelitian ini, gambaran profil pasien yang dibahas meliputi jenis
kelamin, umur, serta gejala klinis yang dialami. Data yang digunakan dalam
penelitian ini diperoleh dari kartu rekam medis pasien yang ada di RS. Panti
Rapih Yogyakarta. Langkah pertama yang dilakukan adalah menentukan kriteria
inklusi maupun kriteria eksklusi dari subjek penelitian. Langkah selanjutnya
adalah melakukan penelusuran kartu rekam medis pasien sesuai dengan kriteria
inklusi maupun ekslusi yang sudah ditetapkan sebelumnya dan kemudian
melakukan analisis masing-masing kasus kemudian menyajikan data-data yang
sudah didapat dalam bentuk tabel maupun grafik.
Persentase dihitung dari jumlah pasien menurut jenis kelamin, umur serta
gejala klinis yang dialami pasien pada tahun 2010 dibagi jumlah keseluruhan
pasien demam tifoid di RS. Panti Rapih Yogyakarta selama periode 2010
kemudian dikalikan 100%.
1. Jenis Kelamin
Berdasarkan kriteria inklusi dan eksklusi, jumlah pasien yang didapatkan
sebagai subyek penelitian sebesar 62 pasien. Dari total pasien sejumlah 62 pasien,
36 diantaranya adalah pria dan 26 sisanya adalah wanita. Penelitian sebelumnya
yang pernah dilakukan di Rumah Sakit Fatmawati Jakarta oleh Musnelina,
Afdhal, Gani, dan Andayani (2004) juga menemukan pasien pria lebih banyak
daripada pasien demam tifoid yang berjenis kelamin wanita. Menurut Hook (cit.,
Musnelina et al., 2004), anak laki-laki lebih banyak menderita demam tifoid
dibandingkan dengan perempuan dikarenakan anak laki-laki memiliki aktifitas
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
be
diluar rumah yang lebi
laki-laki untuk memil
dengan anak perempua
Gambar 7. Pe dema
Dari gambar
tifoid adalah pria dan
2. Umur
Subjek pene
menderita demam tifoi
kelompok neonatus (≤
anak-anak (>5-12 tahun
tifoid di RS. Panti Ra
anak-anak yaitu pada
mendukung beberapa
58,1%
41,9%
Karakteristik Pasien
berdasarkan Jenis Kelamin
Pria Wanita
lebih banyak daripada perempuan. Hal ini mem
miliki resiko lebih besar terserang demam tifoi
puan.
Persentasi jumlah pasien pria dan wanita pende mam tifoid di RS. Panti Rapih Yogyakarta perio
bar diatas, dapat dilihat bahwa sebesar 58.1%
an sebesar 41.9% pasien demam tifoid adalah w
penelitian ini adalah pasien pada kelompok
tifoid. Kelompok pediatrik dapat dibagi menjadi
≤1 tahun), kelompok balita (>1-5 tahun), dan
tahun). Hasil penelitian mendapatkan bahwa
Rapih Yogyakarta paling banyak terjadi pada
da rentang umur 6-12 tahun sebesar 42.9%. Hasi
pa hasil penelitian yang pernah dilakukan sebelum
emungkinkan anak
ifoid dibandingkan
nderita penyakit riode 2010
58.1% pasien demam
wanita.
pok pediatrik yang
njadi 3 bagian yaitu
dan kelompok usia
hwa kasus demam
da kelompok usia
Hasil penelitian ini
0
6-12 tahun memiliki
Ochiai et al. (2008) m
tifoid yang terjadi pa
pada rentang usia
6-tersebut anak-anak m
lingkungan sekitar yan
ini salah satu contohn
pendukung untuk me
(Castillocit., Musneli
Gambar 8. Pers
Hal tersebut
dilakukan di India pa
sebanyak 28 kasus dar
≤1 tahun > 1-5 tahun > 5-12 tahun
rofil Pasien berdasarkan Umur
. (2008) mendapatkan hasil bahwa anak pada
ki resiko terserang demam tifoid lebih besar.
2008) menunjukkan bahwa dari total sebanyak 131
pada kelompok pediatrik, sebesar 58 kasus (
-12 tahun. Hal tersebut dikarenakan karena
masih sangat menyukai membeli makanan se
yang higienitasnya tidak dapat dijamin. Lingkun
ontohnya adalah faktor higienitas, merupakan sa
mengurangi atau menambah luas penyebaran
nelinaet al., 2004).
ersentasi kasus demam tifoid di RS. Panti Rapih periode 2010 berdasarkan umur pasien
but mendukung penelitian sebelumnya yan
pada tahun 1995. Sinha et al. (1999) men
dari total 63 kasus demam tifoid di India ditemuk
36
da rentang usia
r. Hasil penelitian
131 kasus demam
sus (44.27%) terjadi
na pada saat usia
n sembarangan di
kungan, dalam hal
salah satu faktor
ran demam tifoid
pih Yogyakarta
ang juga pernah
enyatakan bahwa
mukan pada
anak-PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
anak berusia 5-12 tahun.
pada usia dibawah 5 t
3. Frekuensi Kejadian
Berdasarkan
didiagnosis menderita
Rapih Yogyakarta ada
pada kelompok umur
Yogyakarta adalah seba
Gambar 9. Freku
Berdasarkan
tahun 1997, kasus de
sampai dengan bulan 0
ahun. Laju insidensi demam tifoid di India sebe
5 tahun per 1000 orang dalam satu tahun (Sinha
adian
an kriteria inklusi maupun kriteria eksklusi, jum
rita demam tifoid pada kelompok umur pediat
adalah sebanyak 62 pasien, sedangkan kasus
umur pediatrik selama periode 2010 di R
sebanyak 63 kasus.
ekuensi kejadian demam tifoid di RS. Panti Rapi periode 2010
an hasil penelitian yang dilakukan di Ujung
demam tifoid lebih banyak terdiagnosis anta
bulan September yaitu pada saat setelah melewa
Frekuensi Kejadian Demam Tifoid
i RS. Panti Rapih Yogyakarta periode 2010
sebesar 27.3 terjadi
nhaet al., 1999).
umlah pasien yang
diatrik di RS. Panti
sus demam tifoid
RS. Panti Rapih
apih Yogyakarta
ung Pandang pada
ntara bulan April
38
dan akan memasuki musim kering/kemarau (Valema et al., 1997). Hal tersebut
bertolak belakang dengan hasil penelitian yang didapatkan di RS. Panti Rapih
Yogyakarta. Kasus demam tifoid pada tahun 2010 di RS. Panti Rapih Yogyakarta
paling banyak terdiagnosis pada bulan Maret (22.2%) dan pada bulan November
(11.1%). Kejadian tersebut kemungkinan disebabkan akibat adanya pergeseran
musim akibat pemanasan global.
B. Identifikasi dan Diagnosa
Data-data yang akan digunakan untuk mengidentifikasi masalah dan
penegakan diagnosis pasien dapat dilihat pada kartu rekam medis pasien. Data
yang diperoleh antara lain berupa gejala yang dialami pasien serta pemeriksaan
laboratorium yang digunakan sebagai penunjang dalam penegakan diagnosa.
Pada penelitian, beberapa data ini dikelompokkan kemudian ditampilkan
dalam bentuk persentase. Persentasi dihitung berdasarkan jumlah kasus menurut
banyaknya gejala klinis dan pemeriksaan laboratorium yang dialami pasien
demam tifoid dibagi jumlah keseluruhan kasus demam tifoid pada kelompok umur
pediatrik di RS. Panti Rapih Yogyakarta selama periode Januari 2010 sampai
Desember 2010.
Kasus dihitung berdasarkan kunjungan pasien ke RS. Panti Rapih
Yogyakarta dengan diagnosis demam tifoid serta menerima terapi menggunakan
antibiotika. Dari 62 pasien yang termasuk kriteria inklusi maupun kriteria
eksklusi, ditemukan sebanyak 63 kasus demam tifoid pada periode Januari 2010
sampai dengan Desember 2010 di RS. Panti Rapih Yogyakarta.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
1. Gejala yang dialami pasien
Secara klinis, infeksi yang dialami oleh pasien dapat bermanifestasi
menjadi gejala umum. Gejala umum demam tifoid antara lain adalah demam,
mual, muntah, flu ringan, perut kembung, konstipasi, dan diare (Brusch, 2010).
Keluhan ataupun gejala awal yang dialami pasien demam tifoid tidak khas, karena
hal itulah perlu dilakukan pemeriksaan penunjang yaitu dengan melakukan
pemeriksaan laboratorium. Gejala klinis yang dialami oleh pasien demam tifoid
kelompok umur pediatrik di Instalasi Rawat Inap RS. Panti Rapih Yogyakarta
disajikan dalam tabel berikut ini :
Tabel III. Gejala klinis yang dialami pasien demam tifoid di RS. Panti Rapih Yogyakarta periode 2010
No. Gejala Jumlah
Kasus
Persentasi (%)
1. Demam 63 100,0
2. Mual dan muntah 60 95,2
3. Flu 23 36,5
4. Batuk 10 15,9
5. Diare 7 11,1
6. Konstipasi (susah BAB)* 20 31,7
7. Sesak nafas 15 23,8
*BAB = Buang Air Besar
Dalam penelitian ditemukan bahwa gejala klinis yang paling sering
dijumpai pada pasien demam tifoid kelomok umur pediatrik adalah demam yang
biasanya disertai dengan mual dan muntah. Sebanyak 63 pasien (100%)
mengalami gejala demam. Gejala lain yang sering dijumpai adalah mual dan
muntah yaitu sekitar 95.2%. Gejala demam tifoid yang paling sering dijumpai
40
Sebagian besar infeksi meningkatkan denyut nadi dan suhu tubuh. Hal
tersebut dapat dijumpai pada beberapa kasus penyakit infeksi seperti demam
tifoid, demam berdarah dengue (Tunkel, 2009)
2. Pemeriksaan laboratorium
Pemeriksaan laboratorium yang dilakukan pada pasien demam tifoid
antara lain adalah pemeriksaan hematologi, urinalisis, dan immunoserologi.
Pemeriksaan immunoserologi dengan reaksi Widal merupakan salah satu cara
penunjang diagnosa demam tifoid yang masih cukup populer sampai saat ini.
Reaksi Widal adalah suatu reaksi pengendapan antara antigen dengan antibodi
(aglutinin) (Judarwanto, 2009). Aglutinin yang spesifik terdapat pada serum
penderita demam tifoid. Hasil positif ditandai dengan adanya peristiwa aglutinasi.
Gambaran pemeriksaan laboratorium pada pasien demam tifoid dapat dilihat pada
tabel berikut :
Tabel IV. Pemeriksaan laboratorium yang dilakukan pasien demam tifoid di RS. Panti Rapih Yogyakarta 2010
No. Pemeriksaan
1. Hematologi 63 100,0
2. Typhidot test 46 73,0
3. Widal Test 12 19,0
4. Urinalisis 35 55,6
5. Kimia klinik 5 7,9
Dari 63 pasien, masing masing pasien tidak hanya mendapat satu jenis
pemeriksaan laboratorium saja. Pemeriksaan laboratorium yang digunakan
sebagai penunjang penegakan diagnosa demam tifoid yang paling sering adalah
pemeriksaan hematologi. Hal tersebut terlihat dalam tabel dimana sebanyak 63
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
pasien semuanya mendapat pemeriksaan hematologi (100%). Pemeriksaan
penunjang selanjutnya yang sering dilakukan untuk membantu penegakan
diagnosa demam tifoid adalah pemeriksaan immunoserologi. Pemeriksaan
immunoserologi yang sering dilakukan saat ini adalah dengan menggunakan
pemeriksaan Typhidot tes. Metode ini sekarang lebih sering dilakukan karena
memiliki sensitifitas dan spesifitas yang lebih tinggi dibandingkan dengan uji
Widal. Menurut hasil penelitian yang dilakukan oleh Sherwal (2004), didapatkan
nilai sensitifitas dan spesifitas dari dua metode yang biasa digunakan sebagai
pemeriksaan penunjang demam tifoid yaitu tes Widal, dan tes Typhidot. Nilai
sensitifitas dan spesifitas tes widal yang didapatkan dari penelitian tersebut
sebesar 57% dan 83% sedangkan nilai sensitifitas dan spesifitas tes Typhidot
sebesar 92% dan 87.5% (Sherwal et al., 2004). Berdasarkan penelitian tersebut,
tes Widal saat ini sudah mulai ditinggalkan, begitu juga di RS. Panti Rapih
Yogyakarta. Pemeriksaan penunjang untuk penegakan diagnosis demam tifoid
saat ini sudah menggunakan tes Typhidot. Sebanyak 46 pasien (73%) melakukan
pemeriksaan penunjang dengan tes Typhidot, sedangkan pasien yang
menggunakan tes Widal sejumlah 12 pasien (19%). Tes Typhidot memiliki
beberapa kelebihan seperti sensitifitas dan spesifitas yang tinggi, cepat, mudah