• Tidak ada hasil yang ditemukan

Evaluasi penggunaan antibiotika pada pasien demam tifoid kelompok pediatrik di Instalasi Rawat Inap Rumah Sakit Panti Rapih Yogyakarta periode Januari-Desember 2010 - USD Repository

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "Evaluasi penggunaan antibiotika pada pasien demam tifoid kelompok pediatrik di Instalasi Rawat Inap Rumah Sakit Panti Rapih Yogyakarta periode Januari-Desember 2010 - USD Repository"

Copied!
153
0
0

Teks penuh

(1)

EVALUASI PENGGUNAAN ANTIBIOTIKA

PADA PASIEN DEMAM TIFOID KELOMPOK PEDIATRIK

DI INSTALASI RAWAT INAP

RUMAH SAKIT PANTI RAPIH YOGYAKARTA

PERIODE JANUARI-DESEMBER 2010

Skripsi

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Farmasi (S.Farm)

Program Studi Farmasi

Oleh :

Cornelius Danan Rufaldi

NIM : 078114100

FAKULTAS FARMASI

UNIVERSITAS SANATA DHARMA

YOGYAKARTA

(2)

i

EVALUASI PENGGUNAAN ANTIBIOTIKA

PADA PASIEN DEMAM TIFOID KELOMPOK PEDIATRIK

DI INSTALASI RAWAT INAP

RUMAH SAKIT PANTI RAPIH YOGYAKARTA

PERIODE JANUARI-DESEMBER 2010

Skripsi

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Farmasi (S.Farm)

Program Studi Farmasi

Oleh :

Cornelius Danan Rufaldi

NIM : 078114100

FAKULTAS FARMASI

UNIVERSITAS SANATA DHARMA

YOGYAKARTA

2011

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

(3)

ii

EVALUASI PENGGUNAAN ANTIBIOTIKA

PADA PASIEN DEMAM TIFOID KELOMPOK PEDIATRIK

DI INSTALASI RAWAT INAP

RUMAH SAKIT PANTI RAPIH YOGYAKARTA

PERIODE JANUARI-DESEMBER 2010

Skripsi yang diajukan oleh : Cornelius Danan Rufaldi

NIM : 07811410 telah disetujui oleh :

Pembimbing Utama

(Drs. Mulyono, Apt.)

(4)

iii

Pengesahan Skripsi Berjudul

EVALUASI PENGGUNAAN ANTIBIOTIKA

PADA PASIEN DEMAM TIFOID KELOMPOK UMUR PEDIATRIK DI INSTALASI RAWAT INAP RUMAH SAKIT PANTI RAPIH

YOGYAKARTA PERIODE JANUARI-DESEMBER 2010

Oleh :

Cornelius Danan Rufaldi NIM : 078114100

Dipertahankan di hadapan Panitia Penguji Skripsi Fakultas Farmasi

Universitas Sanata Dharma pada tanggal : 8 Agustus 2011

Mengetahui Fakultas Farmasi Universitas Sanata Dharma

Dekan

Ipang Djunarko, M.Si., Apt. Pembimbing

Drs. Mulyono, Apt.

Panitia Penguji Tanda Tangan

1. Drs. Mulyono, Apt. ...

2. dr. Fenty, M.Kes., Sp. PK. ...

3. Maria Wisnu Donowati, M.Si., Apt. ...

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

(5)

iv

HALAMAN PERSEMBAHAN

Wh e n w e a c c e p t t o u gh j o b s a s a c h a ll e n ge a n d w a d e i n t o t h e m w i t h j o y a n d e n t h u s i a s m , m i r a c le s c a n h a p p e n .

- A r l a n d Gi l ber t

Th e c h a lle n ge i s n o t t o m a n a ge t i m e , b u t t o m a n a ge o u r s e lv e s .

- St ev en Cov ey

Ex p e r i e n c e i s a h a r d t e a c h e r b e c a u s e s h e gi v e s t h e t e s t fi r s t , t h e le s s o n a ft e r w a r d s

- V er n on L a w

Kupersembahkan karya ini bagi:

T u h a n Y esu s K r i st u s-k u

B a p a k d a n I bu t esa y a n g

(6)

v

LEMBAR PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS

Yang bertanda tangan di bawah ini, saya mahasiswa Universitas Sanata Dharma : Nama : Cornelius Danan Rufaldi

NIM : 078114100

Demi pengembangan ilmu pengetahuan, saya memberikan kepada Perpustakaan Universitas Sanata Dharma karya ilmiah saya yang berjudul :

EVALUASI PENGGUNAAN ANTIBIOTIKA PADA PASIEN DEMAM TIFOID KELOMPOK UMUR PEDIATRIK DI INSTALASI RAWAT INAP RUMAH SAKIT PANTI RAPIH YOGYAKARTA PERIODE JANUARI-DESEMBER 2010

Beserta perangkat yang diperlukan (bila ada). Dengan demikian saya memberikan kepada Perpustakaan Universitas Sanata Dharma hak untuk menyimpan, mengalihkan dalam bentuk media lain, mengelolanya dalam bentuk pangkalan data, mendistribusikan secara terbatas, dan mempublikasikannya di internet maupun media lain untuk kepentingan akademis tanpa perlu meminta izin dari saya maupun memberikan royalti kepada saya selama tetap mencantumkan nama saya sebagai penulis.

Demikian pernyataan ini saya buat dengan sebenarnya.

Dibuat di Yogyakarta

Pada tanggal 8 Agustus 2011 Yang menyatakan

Cornelius Danan Rufaldi

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

(7)

vi PRAKATA

Puji dan syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa atas pencerahan,

bimbingan, penyertaan, dan kekuatan yang diberikan kepada penulis sehingga

dapat menyelesaikan skripsi dengan judul “Evaluasi Penggunaan Antibiotika Pada

Pasien Demam Tifoid Kelompok Pediatrik di Instalasi Rawat Inap Rumah Sakit

Panti Rapih Yogyakarta Periode Desember-Januari 2010”. Skripsi ini merupakan

salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Strata Satu Program Studi Ilmu

Farmasi (S.Farm.).

Penulis mengucapkan terima kasih kepada banyak pihak yang telah

membantu secara material maupun secara moral, memberikan motivasi, semangat,

dorongan, kritik, maupun saran hingga dapat terselesaikannya skripsi ini, terutama

kepada :

1. Tuhan Yang Maha Esa atas segala restu dan bimbinganNya selama

penulisan skripsi.

2. Direktur Rumah Sakit Panti Rapih Yogyakarta yang memberikan ijin

penelitian kepada penulis.

3. Kepala Instalasi Rekam Medik Rumah Sakit Panti Rapih Yogyakarta atas

kerjasama dan kemudahan yang diberikan pada saat pengambilan data-data

untuk penelitian.

4. Ipang Djunarko, M.Sc., Apt., selaku Dekan Fakultas Farmasi Universitas

(8)

vii

5. Drs. Mulyono, Apt., selaku dosen pembimbing skripsi atas bimbingan,

motivasi, kritik, maupun saran yang selalu diberikan agar skripsi dapat

selesai tepat pada waktunya.

6. Dokter Fenty, M.Kes., Sp.PK., selaku dosen penguji atas masukan, kritik

dan bimbingan yang telah diberikan kepada penulis.

7. Maria Wisnu Donowati M.Si., Apt., selaku dosen penguji atas saran maupun

kritik serta bimbingan yang telah diberikan kepada penulis.

8. Semua dosen Fakultas Farmasi Universitas Sanata Dharma Yogyakarta

yang telah memberikan ilmu dansoftskillsebagai bekal praktik kefarmasian

kelak.

9. Robertus Heru Saptono dan Vincentia Sedyarningsih, selaku kedua orang

tuaku yang senantiasa dengan sabar memberikan dukungan motivasi, doa,

materi, dan nasihat hingga terselesaikannya skripsi ini.

10. Clarissa Resty Prabaniswari atas motivasi, doa, waktu, dan kasih sayang

demi kelancaran dan keberhasilan penyusunan skripsi ini.

11. Rosanna Olivia Hartono, sahabat berbagi keceriaan baik dalam suka

maupun duka serta kawan diskusi saat menghadapi permasalahan dalam

penyelesaian skripsi.

12. Staff Sekretariat Fakultas Farmasi Universitas Sanata Dharma atas segala

bantuan demi kelancaran dalam pengurusan ijin.

13. Mahendra Agil Kusuma, Yeyen Kristiyana, dan Prima Mustika, atas

motivasi yang telah diberikan kepada penulis.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

(9)

viii

14. Teman-teman angkatan 2007 khususnya kelas C dan FKK B atas hari-hari

yang indah dan menyenangkan selama kuliah.

15. Semua bagian dari perjalanan hidup penulis yang mampu menjadi inspirasi.

Penulis menyadari bahwa penelitian ini belum sempurna. Oleh karena

itu, penulis sangat mengharapkan kritik dan saran agar skripsi ini dapat menjadi

lebih baik. Akhir kata, penulis berharap semoga skripsi ini dapat bermanfaat untuk

menambah pengetahuan bagi yang membutuhkan.

Yogyakarta, 7 Juli 2011

(10)

ix

PERNYATAAN KEASLIAN KARYA

Saya menyatakan dengan sesungguhnya bahwa skripsi yang saya tulis ini tidak memuat karya atau bagian karya orang lain, kecuali yang telah disebutkan dalam kutipan dan daftar pustaka, sebagaimana layaknya karya ilmiah.

Apabila di kemudian hari ditemukan indikasi plagiarisme dalam naskah ini, maka saya bersedia menanggung segala sanksi sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Yogyakarta, 7 Juli 2011 Penulis

Cornelius Danan Rufaldi

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

(11)

x DAFTAR ISI

Hal.

HALAMAN JUDUL...i

HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ...ii

HALAMAN PENGESAHAN...iii

HALAMAN PERSEMBAHAN ...iv

HALAMAN PERSETUJUAN PUBLIKASI... v

PRAKATA...vi

PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ...ix

DAFTAR ISI... x

DAFTAR TABEL...xii

DAFTAR GAMBAR ...xiii

DAFTAR LAMPIRAN...xiv

INTISARI... xv

ABSTRACT...xvi

BAB I. PENGANTAR ... 1

A. Latar Belakang... 1

1. Perumusan Masalah ... 3

2. Keaslian Penelitian ... 4

3. Manfaat Penelitian ... 6

B. Tujuan Penelitian ... 7

(12)

xi

2. Tujuan Khusus ... 7

BAB II. PENELAAHAN PUSTAKA... 8

A. Antibiotika ... 8

B. Resistensi Bakteri ... 12

C. Demam Tifoid ... 14

BAB III. METODOLOGI PENELITIAN ... 26

A. Jenis Penelitian... 26

B. Definisi Operasional... 27

C. Subjek Penelitian... 28

D. Bahan Penelitian... 29

E. Tata Cara Penelitian ... 29

F. Tata Cara Analisis Hasil... 30

BAB IV. HASIL DAN PEMBAHASAN ... 33

A. Profil Pasien ... 34

B. Identifikasi dan Diagnosis Pasien ... 38

C. Pola Penggunaan Antibiotika... 42

BAB V. KESIMPULAN DAN SARAN... 56

A. Kesimpulan ... 56

B. Saran... 57

DAFTAR PUSTAKA ... 58

LAMPIRAN... 62

BIOGRAFI PENULIS ... 137

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

(13)

xii

DAFTAR TABEL

Tabel I Penggolongan antibiotika berdasarkan sifat ... 9

Tabel II Terapi yang direkomendasi WHO untuk demam tifoid ... 22

Tabel III Gejala klinis yang dialami pasien demam tifoid di RS. Panti

Rapih Yogyakarta periode Januari-Desember 2010 ... 39

Tabel IV Pemeriksaan laboratorium yang dilakukan pasien demam tifoid

di RS. Panti Rapih Yogyakarta periode Januari – Desember

2010 ... 40

Tabel V Dosis dan Frekuensi Pemakaian Antibiotika Pada Pasien

Demam Tifoid Kelompok Umur Pediatrik di Instalasi Rawat

Inap RS. Panti Rapih Yogyakarta selama periode 2010... 46

Tabel VI Durasi Penggunaan Antibiotika Kombinasi ... 49

Tabel VII Durasi Penggunaan Antibiotika Tunggal... 50

Tabel VIII Kategori Ketepatan Penggunaan Antibiotika menurut Kurrin dan

(14)

xiii

DAFTAR GAMBAR

Gambar 1 Mekanisme kerja antibiotika sebagai bakteriosida

dan bakteriostatik ... 9

Gambar 2 Mekanisme kerja antibiotika ... 11

Gambar 3 Struktur kimia Penicilin ... 11

Gambar 4 Struktur kimia Kloramfenikol ... 11

Gambar 5 Struktur kimia Sefalosporin ... 12

Gambar 6 Diagram patofisiologi demam tifoid ... 15

Gambar 7 Persentasi jumlah pasien pria dan wanita penderita penyakit demam tifoid di RS. Panti Rapih Yogyakarta periode 2010... 35

Gambar 8 Persentasi kasus demam tifoid di RS. Panti Rapih Yogyakarta periode 2010 berdasarkan umur pasien... 36

Gambar 9 Frekuensi kejadian pasien demam tifoid di RS. Panti Rapih Yogyakarta periode 2010 ... 37

Gambar 10 Profil penggunaan terapi antibiotika tunggal dan kombinasi di RS. Panti Rapih Yogyakarta periode 2010 ... 43

Gambar 11 Jenis antibiotika untuk pengobatan demam tifoid di RS. Panti Rapih Yogyakarta periode 2010... 44

Gambar 12 Profil rute pemberian antibiotika untuk pasien demam tifoid di RS. Panti Rapih Yogyakarta periode 2010 ... 51

Gambar 13 Profil kategori ketepatan penggunaan antibiotika pada pasien demam tifoid di RS. Panti Rapih Yogyakarta periode 2010... 54

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

(15)

xiv

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1 Daftar diagnosis pasien terkait demam tifoid... 62

Lampiran 2 Guideline dosis antibiotika untuk pengobatan demam tifoid... 65

Lampiran 3 Daftar antibiotika yang digunakan pasien demam tifoid di

RS. Panti Rapih tahun 2010 ... 66

Lampiran 4 Data dan evaluasi penggunaan antibiotika kombinasi

pasien demam tifoid di RS. Panti Rapih tahun 2010 ... 67

Lampiran 5 Data dan evaluasi penggunaan antibiotika tunggal

pasien demam tifoid di RS. Panti Rapih tahun 2010 ... 70

Lampiran 6 Data pemeriksaan laboratorium dan terapi antibiotika

pasien... 75

(16)

xv INTISARI

Penyakit infeksi menjadi salah satu penyebab utama kematian di Indonesia. Menurut survey tahun 2005 pada beberapa rumah sakit di Indonesia, kejadian demam tifoid menduduki tempat kedua dari 10 penyakit dan sebagian besar menyerang anak-anak. Pengobatan demam tifoid dilakukan dengan menggunakan antibiotika, namun penggunaan antibiotika juga beresiko memicu timbulnya resistensi bakteri apabila tidak digunakan secara tepat. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengevaluasi penggunaan antibiotika pasien demam tifoid kelompok pediatrik di RS. Panti Rapih Yogyakarta periode 2010.

Penelitian ini termasuk jenis penelitian non eksperimental dengan rancangan deskriptif-evaluatif yang bersifat retrospektif. Kriteria inklusi penelitian ini ialah pasien pria dan wanita berumur 0-12 tahun, dirawat di Rumah Sakit Panti Rapih pada periode 2010, terdiagnosa demam tifoid tanpa adanya komplikasi dan mendapatkan terapi menggunakan antibiotika.

Dari hasil penelitian terdapat 62 pasien (58.1% pria dan 41.9% wanita). Pasien terbanyak pada kelompok 6-12 tahun (42.9%). Berdasarkan kategori ketepatan penggunaan antibiotika menurut Kurin dan Grysens, dari 62 kasus yang memenuhi konsep rasional (kategori I) sebesar 16.13%, kategori IIA sebesar 70.98%, kategori IIB sebesar 48.39%, kategori IIIB sebesar 25.81%, dan kategori IVA sebesar 1.61%. Berdasarkan Behrman (1992), Roespandi dan Nurhamzah (2009), dan Kass (1990), disimpulkan bahwa penggunaan antibiotika di RS.Panti Rapih Yogyakarta kurang tepat.

Kata kunci : demam tifoid, evaluasi, antibiotika, pediatrik

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

(17)

xvi

ABSTRACT

Infectious diseases become one of the leading causes of death in Indonesia. According to the survey in 2005 at several hospitals in Indonesia, the incidence of typhoid fever occupies the second place of 10 diseases and mostly affects children. Treatment of typhoid fever is done by using antibiotics. However, the use of antibiotics lead to bacterial resistance are at risk if not used properly. The purpose of this study was to evaluate the use of antibiotics of typhoid fever patients on pediatric group in Panti Rapih Yogyakarta period of 2010.

This study included type of non-experimental research with descriptive-evaluative designs that are retrospective. Inclusion criteria of this study is that male and female patients aged 0-12 years, hospitalized in the period 2010 Panti Rapih, diagnosed with typhoid fever without complications and get therapy using antibiotics.

From the results of the study there were 62 patients (58.1% men and 41.9% women). Most patients in groups 6-12 years (42.9%). Based on the correct use of antibiotics according to category and Grysens Kurin, from 62 cases that meet the rational concepts (category I) amounting to 16.13%, category IIA of 70.98%, 48.39% for category IIB, category IIIB of 25.81% and category IVA of 1.61%. According to Behrman (1992), Roespandi and Nurhamzah (2009), and Kass (1990) as a guide, it was concluded that the use of antibiotics in RS.Panti Rapih Yogyakarta less precise.

(18)

1

BAB I

PENGANTAR

A. Latar Belakang

Infeksi ataupun penyakit yang disebabkan akibat adanya suatu infeksi

merupakan salah satu kategori penyebab kesakitan dan kematian yang tinggi di

dunia. Menurut data Surkesnas (Survey Kesehatan Nasional) pada tahun 2001,

berbagai penyakit infeksi seperti tuberkulosis, pneumonia, diare, dan demam

tifoid tercatat dalam 10 penyebab utama kematian di Indonesia (Widodo, 2010).

Demam tifoid adalah suatu penyakit infeksi yang menyerang saluran

pencernaan dan disebabkan oleh bakteri Salmonella typhi yang masih dijumpai

secara luas di berbagai negara berkembang terutama yang terletak di daerah tropis

dan subtropis (Judarwanto, 2009). Kejadian demam tifoid banyak dijumpai di

negara-negara berkembang seperti di Indonesia dan kebanyakan menyerang

anak-anak. Prevalensi demam tifoid di Indonesia menurut data Riset Kesehatan Dasar

(Riskesdas) tahun 2007 sebesar 1.6% dan sebesar 4.3% terjadi pada anak-anak.

Data survey mortalitas yang dilakukan oleh Departemen Kesehatan Republik

Indonesia (Depkes RI) pada tahun 2005 di 10 provinsi menyatakan bahwa angka

kematian bayi yang diakibatkan demam tifoid berada pada peringkat kesembilan

(1.2%) sedangkan angka kematian balita yang disebabkan oleh demam tifoid

berdasarkan data terakhir pada tahun 2002-2003 yaitu 46 per 1000 kelahiran hidup

(Herawati dan Ghani, 2009).

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

(19)

tersebut adalah Evaluasi Penggunaan Antibiotika pada Pasien Demam Tifoid

Kelompok Pediatrik di Rumah Sakit Panti Rapih Yogyakarta periode 2010.

Lokasi yang dipilih untuk melakukan penelitian adalah Rumah Sakit

Panti Rapih Yogyakarta. Lokasi tersebut dipilih karena merupakan salah satu

rumah sakit swasta besar di Yogyakarta yang berdiri sejak tahun 1940-an dan

menerima pelayanan asuransi kesehatan baik dari pemerintah maupun swasta.

Evaluasi yang dimaksud adalah menjabarkan profil pasien demam tifoid

yang menggunakan antibiotika meliputi umur, jenis kelamin, frekuensi kejadian,

dan beberapa pemeriksaan penunjang diagnosis yang dilakukan serta menjabarkan

profil penggunaan antibiotika yang meliputi jenis, dosis, frekuensi, durasi, dan

rute pemberian antibiotika. Penggunaan antibiotika tersebut dibandingkan dengan

pustaka yang telah dijadikan acuan untuk mengetahui kriteria ketepatan

penggunaannya dan kemudian hasilnya dinyatakan dalam persen (%). Hal ini

perlu dilakukan dengan tujuan untuk menghindari bertambahnya jumlah bakteri

yang resisten terhadap antibiotika.

1. Permasalahan

Berdasarkan latar belakang tersebut, beberapa permasalahan yang

ditemukan antara lain :

a. Bagaimana karakteristik pasien demam tifoid kelompok umur pediatrik yang

menggunakan antibiotika di Instalasi Rawat Inap Rumah Sakit Panti Rapih

(20)

4

b. Berapa persentasi penggunaan antibiotik yang rasional pada pasien demam

tifoid kelompok umur pediatrik di Instalasi Rawat Inap Rumah Sakit Panti

Rapih Yogyakarta periode Januari-Desember 2010?

2. Keaslian Penelitian

Berdasarkan hasil penelusuran pustaka yang dilakukan, beberapa

penelitian yang berhubungan dengan evaluasi penggunaan antibiotika pada pasien

demam tifoid yang pernah dilakukan sebelumnya, antara lain :

a. Kajian Rasionalitas Penggunaan Antibiotika Pada Kasus Demam Tifoid Yang

Dirawat Pada Bangsal Penyakit Dalam di RSUP. dr. Kariadi Semarang tahun

2008 (Santoso, 2009). Hasilnya, konsep rasionalitas terhadap 137 terapi

antibiotika, yang termasuk kategori VI (data tidak lengkap) sebesar 14 terapi

antibiotika, kategori V sebesar 1 terapi antibiotika, kategori IVA sebesar 15

terapi antibiotika, kategori IVC sebesar 92 terapi antibiotika dan kategori IVD

sebesar 4 terapi antibiotika. Sedangkan yang masuk dalam kategori I

(memenuhi konsep rasional) hanya sebesar 11 terapi.

b. Pola Pemberian Antibiotika Pengobatan Demam Tifoid Anak Di Rumah

Sakit Fatmawati Jakarta Tahun 2001-2002 (Musnelinaet al., 2004). Hasilnya,

ditemukan 182 kasus demam tifoid, sebanyak 120 kasus (74.6%) kriteria

inklusi dan 62 kasus (25.4%) kriteria ekslusi. Sebanyak 97 kasus (53.5%)

menggunakan kloramfenikol dan sebanyak 49 kasus (29.6%) menggunakan

seftriaksone sebagai terapi antibiotika.

Perbedaan : sampel, lokasi, periode, poin evaluasi

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

(21)

c. Evaluasi Penggunaan Antibiotika Pada Pasien Anak Penderita DemamTifoid

di Instalasi Rawat Inap RSUD dr. Agoesdjam Ketapang Periode Juni

2008-Juni 2009 (Pratiwi, 2010). Hasilnya ditemukan 40 kasus. Penggunaan

antibiotika selama rawat inap yaitu sefalosporin generasi I (2.9%), golongan

sefalosporin generasi III (31.9%), dan golongan kloramfenikol (65.2%).

Outcome terapi pasien, lama rawat inap terbanyak pada lama perawatan 1-3

hari (52.5%), keadaan pasien keluar rumah sakit sebanyak 39 kasus (97%)

keluar rumah sakit dengan keadaan membaik dan sebanyak 1 kasus (3%)

dengan keadaan sembuh. IdentifikasiDRPspenggunaan antibiotika diperoleh

3 kasus, yang terdiri dari 4 dalam kasus dosis kurang (10%), 2 dalam kasus

dosis berlebih (5%), dan 2 dalam kasus efek obat yang tidak diinginkan (5%).

d. Evaluasi Drug Therapy Problems Pada Pengobatan Kasus Demam Tifoid di

Instalasi Rawat Inap Rumah Sakit Panti Rini Kalasan Sleman Periode Juni

2007-Juni2008 (Sari, 2009). Hasilnya jumlah kasus yang diteliti sebanyak 45

kasus. Kelas terapi terbanyak adalah obat antiinfeksi golongan antibakteri

(Tiamfenikol) dan obat gizi dan darah (100%). Jenis DTPs yang terjadi

adalah dosis terlalu rendah sebanyak 10 kasus dan potensial interaksi obat

sebanyak 28 kasus. Outcome kasus tifoid yaitu sembuh 9 kasus (20%),

membaik 34 kasus (76%) dan belum sembuh 2 kasus (4%).

e. Kajian Penggunaan Obat Demam Tifoid Bagi Pasien Anak di Instalasi Rawat

Inap Rumah Sakit Panti Rapih Yogyakarta Periode Januari 2000-Desember

2001 (Triana, 2003). Hasilnya golongan obat yang paling banyak digunakan

(22)

6

adalah kotrimoksazol (44.32%). Cara pemberian obat peroral dengan bentuk

sediaan tablet merupakan jumlah yang paling banyak digunakan. Ada 4 obat

yang menyebabkan terjadinya efek samping dan 9 kasus terjadi interaksi obat.

Dari penelitian ini ditemukan ada 39 kasus yang tepat indikasi sedangkan 16

kasus kurang tepat indikasi, rata-rata lama perawatan anak demam tifoid

adalah 4-10 hari.

3. Manfaat Penelitian

Manfaat Praktis

a. Bagi Pasien

1) Membantu pasien memahami penggunaan antibiotika untuk penyakit

demam tifoid secara tepat, sehingga pengobatan penyakit pada kejadian

rawat jalan dapat berjalan secara efisien.

b. Bagi Tenaga Kesehatan (dokter dan apoteker)

1) Suatu sarana evaluasi ataupun refleksi bagi dokter maupun apoteker

bahwa dalam melaksanakan pelayanan kesehatan juga dibutuhkan sikap

yang bijaksana, serta menggunakan hati nurani, tidak hanya

mengutamakan keuntungan sepihak, namun merugikan pasien.

2) Suatu sarana untuk memacu para dokter dan apoteker untuk

menggunakan antibiotika pada kasus demam tifoid secara rasional

berdasarkan dasar-dasar ilmiah yang sudah ada.

c. Bagi Peneliti

1) Menambah pengetahuan peneliti mengenai penggunaan antibiotika

secara rasional pada kasus demam tifoid.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

(23)

2) Sarana evaluasi dan bahan untuk refleksi bahwa dalam menjalankan

tugas melayani pasien haruslah mempertimbangkan banyak hal tidak

semata-mata hanya kesembuhan pasien, tetapi juga harus

mempertimbangkan daya beli pasien.

Manfaat Teoritis

Menambah pengetahuan baik untuk masyarakat umum maupun untuk

tenaga kesehatan mengenai antibiotika untuk penatalaksanaan penyakit demam

tifoid serta penggunaannya secara rasional.

B. Tujuan Penelitian 1. Tujuan Umum

Melihat rasionalitas penggunaan antibiotika sebagai obat anti infeksi.

2. Tujuan Khusus

Penelitian ini secara khusus dimaksudkan untuk :

a. Melihat karakteristik pasien demam tifoid pada kelompok umur pediatrik di

RS. Panti Rapih Yogyakarta pada periode Januari sampai dengan Desember

2010.

b. Mengevaluasi rasionalitas peresepan antibiotika pada pasien rawat inap

pasien demam tifoid di Rumah Sakit Panti Rapih Yogyakarta berdasarkan

(24)

8

BAB II

PENELAAHAN PUSTAKA

A. Antibiotika

Pada awal ditemukan, definisi antibiotika adalah suatu jenis obat yang

dihasilkan oleh mikroorganisme yang dapat menghambat pertumbuhan atau dapat

membunuh mikroorganisme lain (Ganiswara, 1995). Seiring dengan

berkembangnya teknologi, definisi antibiotika mengalami pergeseran. Antibiotika

pada prinsipnya adalah suatu zat atau senyawa obat alami maupun sintesis yang

digunakan untuk membunuh kuman penyakit dalam tubuh manusia dengan

berbagai mekanisme sehinga manusia terbebas dari infeksi bakteri (Katzung,

2008).

Istilah “antibiotika” awalnya dikenal sebagai senyawa alami yang

dihasilkan oleh jamur atau mikroorganisme lain yang digunakan untuk membunuh

bakteri penyebab penyakit pada manusia atau hewan. Secara teknis istilah “agen

anti bakteri” mengacu kepada kedua senyawa alami dan buatan tersebut baik

sintesis maupun semi sintesis. Saat ini banyak orang beranggapan dan

menggunakan kata antibiotika untuk merujuk kepada suatu senyawa yang

digunakan untuk membunuh bakteri baik yang dihasilkan langsung oleh jamur

atau mikroorganisme maupun yang dihasilkan dari proses sintesis atau semi

sintesis yang strukturnya mirip dengan yang dihasilkan pada jamur atau

mikroorganisme. Antibiotika yang akan digunakan untuk membasmi mikroba

penyebab infeksi pada manusia, harus mememiliki sifat toksisitas selektif setinggi

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

(25)

mungkin terhadap mikroorganisme. Artinya, antibiotika yang digunakan harus

memiliki sifat toksisitas selektif yang tinggi (Katzung, 2008). Berdasarkan sifat

ini, ada antibiotika yang bersifat bakteriostatik ada juga yang bersifat bakterisida.

Gambar 1. Mekanisme kerja bakteriosida dan bakteriostatik pada antibiotika (Lullmannet al., 2000)

Tabel I. Penggolongan antibiotika berdasarkan sifat beserta contohnya

Bakteriostatik Bakterisida

Kloramfenikol Tetrasiklin Eritromisin Linkomisin Klindamisin

Rifampisin Sulfonamid Trimetoprim Spektinomisin Metenamin Mandelat

Asam Nalidiksid Asam Oksolinik Nitrofurantoin

Penisilin Sefalosporin Aminoglikosid

Polimiksin Vankomisin

Basitrasin Sikloserin

(26)

10

Antibiotika dan kemoterapetika merupakan jenis obat yang paling

banyak digunakan dalam klinik. Hal ini tidak lepas dari tingginya angka kejadian

infeksi dalam populasi dibandingkan dengan penyakit-penyakit lain.

Perkembangan ilmu kedokteran dan farmasi dalam beberapa dekade terakhir ini

telah memungkinkan ditemukannya berbagai jenis obat baru termasuk antibiotika

(Ganiswara, 1995).

Perkembangan ini jelas sangat menggembirakan karena kasus-kasus

infeksi yang dahulu tidak dapat disembuhkan oleh beberapa jenis antibiotika saat

ini seiring dengan banyak ditemukannya antibiotika baru dapat teratasi.

Banyaknya penemuan antibiotika baru juga dapat memicu timbulnya masalah

seperti sulitnya untuk menentukan pilihan dan pemakaian yang sesuai (Ganiswara,

1995).

Ada beberapa macam penggolongan antibiotika, antara lain

penggolongan antibiotika berdasarkan sifat, mekanisme kerja serta berdasarkan

aktifitasnya (Katzung, 2008).

Berdasarkan mekanisme kerjanya, antibiotika dibagi dalam 5 kelompok,

yaitu :

1. Mengganggu metabolisme sel mikroba.

2. Menghambat sintesis dinding sel mikroba.

3. Merusak keutuhan membran sel mikroba.

4. Menghambat sintesis protein sel mikroba.

5. Menghambat sintesis atau merusak asam nukleat sel mikroba.

(Katzung, 2008)

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

(27)

Gambar 2. Mekanisme kerja antibiotika (Lullmannet al., 2000)

Berdasarkan aktifitasnya, antibiotika dapat digolongkan menjadi 2 yaitu :

1. Antibiotika berspektrum sempit.

2. Antibiotika berspektrum luas.

(Ganiswara, 1995)

Gambar 3. Struktur Penicillin Gambar 4. Struktur Kloramfenikol

(28)

12

Gambar 5. Struktur Sefalosporin (Craig dan Stitzel, 2005)

B. Resistensi Bakteri terhadap Antibiotika

Penggunaan antibiotika yang tidak rasional dapat berakibat pada

timbulnya resistensi terhadap antibiotika. Terdapat empat jalur mekanisme

terjadinya resistensi antibiotika yaitu penurunan permeabilitas terhadap

antibiotika, adanya proses enzimatik, modifikasi letak reseptor obat, dan

peningkatan sintesis metabolit antagonis terhadap antibiotika (Shulman, 1992).

1. Perubahan permeabilitas

Antibiotika tidak dapat mencapai lokasi target yang dikehendaki.

Keadaan ini berhubungan dengan penurunan permeabilitas dinding

mikroorganisme terhadap antibiotika. Perubahan permeabilitas berhubungan

dengan perubahan reseptor permukaan sel sehingga antibiotika kehilangan

kemampuan untuk melakukan transportasi aktif guna melewati membran sel, dan

akhirnya terjadi perubahan struktur dinding sel yang tidak spesifik. Sebagai

contoh mekanisme ini terjadi pada Gram negatif. Bakteri Gram negatif

mempunyai lapisan lipid pada membran luar dinding sel, membran luar tersebut

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

(29)

terdiri dari protein porin yang berbentuk saluran, penuh berisi air. Perubahan yang

terjadi pada porin akan menyebabkan penurunan permeabilitas terhadap

antibiotika tertentu, misalnya golongan beta laktam (Shulman, 1992).

2. Proses inaktifasi oleh enzim

Organisme patogen memacu terjadinya mekanisme biokimia, melalui

proses enzimatik yang berperan mengurangi atau mengeliminasi antibiotika.

Mikroorganisme yang telah mengalami mutasi mengalami peningkatan aktifitas

enzim atau terjadi mekanisme baru sehingga obat menjadi tidak aktif, seperti

contohnya adalah adanya beta-laktamase menyebabkan penisilin dan sefalosporin

menjadi inaktif. Modifikasi biokimia antibiotika oleh enzim bakteri merupakan

suatu masalah yang sangat serius dalam pengobatan antibiotika dan kemoterapi

(Shulman, 1992).

3. Modifikasi lokasi reseptor sel target

Melalui mekanisme biokimiawi yang menyebabkan ikatan antara

antibiotika dengan mikroorganisme tidak berlangsung lama, interaksi antara obat

dengan sel target tidak terjadi. Pada mikroorganisme yang telah mengalami

mutasi, perubahan biokimiawi ini terjadi selama fase pengobatan pasien, seperti

pada contoh resistensi yang terjadi pada pengobatan menggunakan eritromisin,

klindamisin, dan streptomisin (Shulman, 1992).

4. Peningkatan sintesis metabolit yang bersifat antagonis

Peningkatan kemampuan mikroba untuk membuat zat metabolit esensial

(30)

14

Sebagai contoh terjadinya resistensi terhadap kloramifenikol, trimetropim dibantu

diperantarai oleh plasmid (Shulman, 1992).

C. Demam Tifoid (Typhoid Fever)

1. Definisi

Demam tifoid adalah suatu penyakit yang disebabkan oleh infeksi bakteri

Salmonella typhi atau Salmonella paratyphii (Crump et al., 2005). Bakteri

penyebab penyakit demam tifoid tersebut merupakan suatu bakteri Gram negatif

(Anonim, 2003) yang masuk menembus ke dalam saluran gastrointestinal,

berkembang biak dan menyebar melalui pembuluh darah serta menyebabkan

inflamasi pada dinding usus (Crumpet al., 2005).

2. Epidemiologi

Penyebaran demam tifoid sangat luas, khususnya di negara-negara

berkembang dengan keadaan sanitasi yang buruk. Demam tifoid endemik di Asia,

Afrika, Amerika Latin, Kepulauan Karibia, dan Oceania (Brusch, 2010). Diantara

beberapa wilayah tersebut, demam tifoid paling banyak terjadi pada negara-negara

berkembang ataupun pada negara terbelakang. Demam tifoid menginfeksi kurang

lebih 21.6 juta orang (angka kejadian 3.6 per 1000 populasi) dan diperkirakan

membunuh 200.000 orang setiap tahun (Brusch, 2010).

3. Patofisiologi

Masuknya kuman Salmonella typhii ke dalam tubuh manusia terjadi

melalui makanan yang terkontaminasi. Sebagian kuman dimusnahkan di lambung

oleh asam lambung dan sebagian lainnya dapat masuk ke dalam usus. Bakteri

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

(31)

patogen yang masuk

fagosit tersebut tidak

menembus dan masuk

hidup dan berkemban

masuk dalam sirkula

(Behrman, 1992). Pada

dari sel fagosit dan be

empedu dan kemudian

1996).

Gambar 6 : Di

suk diselubungi oleh sel-sel fagosit (Brusch, 2010)

dak dapat merusak bakteri dengan segera sehingga

suk dalam lamina propria usus (Behrman, 1992)

bangbiak di dalam makrofag (Parry et al., 2002)

kulasi darah dan menyebar hingga mencapai

ada saat berada dalam organ retikuloendotelia

berkembang biak. Melalui kapiler hati, bakteri

udian larut disana menyebabkan terjadinya bakter

Diagram patofisiologi Demam Tifoid (Soedarto,

2010), namun sel

hingga bakteri bisa

1992). Kuman dapat

., 2002) kemudian

pai hati dan limpa

lial, bakteri keluar

eri dapat mencapai

kterimia (Soedarto,

(32)

16

Kuman yang terdapay dalam empedu kemudian diekskresikan secara

bersama cairan empedu ke dalam lumen usus dan dikeluarkan dalam bentuk feses

(Soedarto, 1996). Tidak semua kuman tersebut diekskresi, sebagian ada yang

masuk dan kembali menembus usus sehingga proses yang sama terulang kembali.

Makrofag yang telah teraktivasi kemudian melakukan upaya pertahanan diri

dengan membebaskan suatu zat endotoksin, yaitu lipopolisakarida (LPS) yang

bertanggung jawab terhadap beberapa tanda dan gejala infeksi (Behrman, 1992).

4. Manifestasi Klinis

Masa tunas penyakit demam tifoid berlangsung 10 sampai 14 hari (Parry

et al., 2002). Keluhan dan gejala demam tifoid tidak khas, dan bervariasi dari

gejala seperti flu ringan sampai tampilan sakit berat dan fatal yang mengenai

banyak sistem organ. Gejala yang timbul amat bervariasi. Gambaran penyakit

bervariasi dari penyakit ringan yang tidak terdiagnosis, sampai gambaran penyakit

yang khas dengan komplikasi dan kematian (Brusch, 2010).

Secara klinis gambaran penyakit demam tifoid berupa demam

berkepanjangan, gangguan fungsi usus, dan keluhan sistem saraf pusat. Panas

lebih dari 7 hari, biasanya makin hari makin meninggi, sehingga pada minggu ke

2 panas tinggi secara terus menerus. Demam biasanya dialami pada malam hari.

Gejala gangguan saluran gastrointestinal dapat berupa obstipasi, diare, mual,

muntah, dan kembung (Soedarto, 1996).

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

(33)

Dalam minggu pertama penyakit, keluhan dan gejala serupa dengan

penyakit infeksi akut. Pada umumnya timbul gejala seperti demam,nyeri kepala,

pusing, nyeri otot, tidak nafsu makan, mual, muntah, perut kembung dan perasaan

tidak enak diperut, sedangkan diare dan sembelit silih berganti. Pada akhir minggu

pertama diare lebih sering terjadi. Pemeriksaan fisik hanya ditemukan suhu badan

meningkat. Dalam minggu kedua gejala-gejala menjadi lebih jelas berupa demam,

denyut jantung relatif lambat, lidah yang khas (kotoran ditengah, tepi dan ujung

merah, tremor/bergetar, hati membesar, limpa membesar, gangguan mental) (Ali,

2006).

Pada minggu ketiga suhu tubuh berangsur-angsur turun, dan normal

kembali di akhir minggu. Hal itu terjadi jika tanpa komplikasi atau berhasil

diobati. Bila keadaan membaik, gejala-gejala akan berkurang dan temperatur

mulai turun. Meskipun demikian justru pada saat ini komplikasi perdarahan dan

perforasi cenderung untuk terjadi, akibat lepasnya kerak dari ulkus. Jika denyut

nadi sangat meningkat disertai oleh peritonitis lokal maupun umum, maka hal ini

menunjukkan telah terjadinya perforasi usus sedangkan keringat dingin, gelisah,

sukar bernapas, dan kolaps dari nadi yang teraba denyutnya memberi gambaran

adanya perdarahan. Degenerasi miokardial toksik merupakan penyebab umum

dari terjadinya kematian penderita demam tifoid pada minggu ketiga (Ali, 2006).

Minggu keempat merupakan stadium penyembuhan meskipun pada awal

minggu ini dapat dijumpai adanya pneumonia lobar atau tromboflebitis vena

femoralis. Pada mereka yang mendapatkan infeksi ringan dengan demikian juga

(34)

18

berlangsung dalam waktu yang pendek. Kekambuhan dapat lebih ringan dari

serangan primer tetapi dapat menimbulkan gejala lebih berat daripada infeksi

primer tersebut. Sepuluh persen dari demam tifoid yang tidak diobati akan

mengakibatkan timbulnya relaps (Brusch, 2010).

5. Diagnosis

Gambaran klinis penyakit demam tifoid sangat bervariasi dari hanya

sebagai penyakit ringan yang tidak terdiagnosis, sampai gambaran penyakit yang

khas dengan komplikasi dan dapat mengakibatkan kematian (Behrman, 1992).

Penegakan diagnosis harus dilakukan sedini mungkin agar bisa diberikan terapi

yang tepat serta meminimalkan terjadinya komplikasi. Pengetahuan mengenai

gambaran klinis penyakit ini sangat penting untuk membantu mendeteksi secara

dini walaupun pada kasus tertentu dibutuhkan pemeriksaan tambahan untuk

membantu menegakkan diagnosis (Brusch, 2010).

Penegakan diagnosis penyakit demam tifoid ini masih kurang lengkap

apabila belum ditunjang dengan hasil pemeriksaan laboratorium. Pemeriksaan

laboratorium secara konvensional dapat dilakukan melalui identifikasi adanya

antigen/antibodi sampel (darah) dan melalui kultur mikroorganisme (Brusch,

2010)

a. Pemeriksaan Laboratorium

Pemeriksaan laboratorium meliputi pemeriksaan hematologi, urinalisis,

kimia klinik, imunoserologi, dan mikrobiologi.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

(35)

1) Hematologi

Kadar hemoglobin dapat menurun ataupun normal apabila terdapat

pendarahan usus atau perforasi. Jumlah lekosit sering rendah (lekopenia) tetapi

dapat juga normal atau tinggi. Jumlah trombosit sering menurun

(trombositopenia) ataupun normal (Kass dan Platt, 1990).

2) Urinalisis

Adanya protein di dalam urine bervariasi dari negatif sampai dengan

positif (akibat demam). Jumlah lekosit dan eritrosit normal, apabila terjadi

peningkatan maka kemungkinan terjadi pendarahan (Brusch, 2010).

3) Kimia Klinik

Enzim hati (SGPT dan SGOT) akan meningkat dengan gambaran adanya

komplikasi pada fungsi hati (mulai dari peradangan hingga hepatitis akut)

(Brusch, 2010).

4) Imunoserologi

Pemeriksaan serologi Widal ditujukan untuk mendeteksi adanya antibodi

(dalam darah) terhadap antigen kuman Salmonella typhi / paratyphi(reagen). Uji

ini merupakan test kuno yang masih amat popular dan paling sering diminta

terutama di negara dimana penyakit ini endemis seperti di Indonesia. Sebagai uji

cepat (rapid test) hasilnya dapat segera diketahui. Hasil positif dinyatakan dengan

adanya aglutinasi. Karena itu antibodi jenis ini dikenal sebagaifebrile agglutinin.

(Brusch, 2010).

Reaksi Widal adalah suatu reaksi pengendapan antara antigen dan

(36)

20

penyakit tifus. Reaksi Widal bertujuan untuk menentukan adanya aglutinin dalam

serum penderita yang disangka menderita penyakit tifus (Judarwanto, 2009).

Hasil uji Widal dipengaruhi oleh banyak faktor sehingga dapat

memberikan hasil positif palsu atau negatif palsu. Hasil positif palsu dapat

disebabkan oleh faktor-faktor, antara lain pernah mendapatkan vaksinasi, reaksi

silang dengan spesies lain (Enterobacteriaceae sp), reaksi anamnestik (pernah

sakit), dan adanya faktor rheumatoid (RF). Hasil negatif palsu dapat disebabkan

oleh karena antara lain penderita sudah mendapatkan terapi antibiotika, waktu

pengambilan darah kurang dari 1 minggu sakit, keadaan umum pasien yang buruk,

dan adanya penyakit imunologik lain (Sherwalet al., 2004).

Pemeriksaan tes Typhidot merupakan uji imunologik yang lebih baru,

yang dianggap lebih sensitif dan spesifik dibandingkan uji Widal untuk

mendeteksi Demam Tifoid/Paratifoid. Sebagai tes cepat (rapid test) hasilnya juga

dapat segera di ketahui (Sherwalet al., 2004).

5) Mikrobiologi

Uji kultur merupakan standar baku untuk pemeriksaan demam tifoid.

Apabila hasil biakan positif maka diagnosis pasti untuk demam tifoid. Apabila

hasil negatif, maka belum tentu bukan demam tifoid karena hasil biakan negatif

palsu dapat disebabkan oleh beberapa faktor antara lain jumlah darah terlalu

sedikit, adanya kesalahan pada saat preparasi, sudah mendapat terapi antibiotika

atau sudah mendapat vaksinasi demam tifoid (WHO, 2003).

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

(37)

6. Penatalaksanaan

Sampai saat ini masih dianut trilogi penatalaksanaan demam tifoid, yaitu

istirahat dan perawatan, diet dan terapi penunjang (simptomatik dan suportif),

serta pemberian terapi farmakologi. Tatalaksana pengobatan demam tifoid antara

lain adalah dengan pemberian antibiotika. Antibiotika yang biasa diberikan antara

lain adalah kloramfenikol, amoksisilin, ampisilin serta golongan sefalosporin

generasi ketiga seperti cefixime, cefotaxime dan ceftriaxone (Shah et al., 2009).

Selain dengan terapi antibiotik, terapi lain juga perlu dilakukan untuk pengobatan

demam tifoid seperti pemberian oral/intravena cairan tubuh, pemberian antipiretik

serta asupan nutrisi yang cukup ke dalam tubuh (WHO, 2003).

Kloramfenikol merupakan salah satu obat pilihan utama dalam

pengobatan demam tifoid. Kloramfenikol biasanya diberikan secara oral kepada

pasien, namun tidak menutup kemungkinan juga apabila kloramfenikol diberikan

melalui saluran intravena dengan tujuan untuk mempercepat kerja obat apabila

pasien sudah benar-benar membutuhkan pertolongan. Kloramfenikol mempunyai

ketersediaan biologik 80% pada pemberian iv. Waktu paruh plasmanya 3 jam

pada bayi baru lahir, dan bila terjadi sirosis hepatis diperpanjang sampai dengan 6

jam. Pada anak berumur 6-12 tahun diberikan dosis sebesar 40-50 mg/kg/hari

sedangkan pada anak berumur 1-3 tahun membutuhkan dosis 50-100 mg/kg/hari.

Kloramfenikol apabila diberikan secara intravena, dosis untuk anak berumur 7-12

tahun sebesar 50-80 mg/kg/hari, dan 50-100 mg/kg/hari untuk anak berumur 2-6

(38)

22

Ampisilin dan amoksisilin memiliki kemampuan untuk menurunkan

demam lebih rendah dibandingkan dengan kloramfenikol. Obat ini mempunyai

ketersediaan biologik sebesar 60%. Waktu paruh plasmanya 1.5 jam (bayi baru

lahir: 3,5 jam). Dosis untuk pemberian per oral dalam lambung yang kosong

dibagi dalam pemberian setiap 6-8 jam sekitar setengah jam sebelum makan.

Dosis yang dianjurkan diberikan pada anak adalah 100-200 mg/kg/hari (Lacy et

al., 2006).

Antibiotika lain yang bisa digunakan untuk pengobatan demam tifoid

selain menggunakan kloramfenikol dan amoksilin adalah antibiotika golongan

quinolon dan sefalosporin (WHO, 2003). Organisasi Kesehatan Dunia (WHO)

merekomendasikan penggunaan antibiotika golongan quinolon dan sefalosporin

untuk pengobatan demam tifoid, namun dalam prakteknya penggunaan quinolon

tidak dianjurkan pada anak-anak karena dapat menyebabkan toksisitas pada tulang

yang berakibat terhambatnya pertumbuhan anak (Shahet al., 2006).

Tabel II. Terapi yang direkomendasi WHO untuk demam tifoid

(WHO, 2003)

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

(39)

Antibiotika golongan sefalosporin generasi ketiga yang dapat menjadi

pilihan untuk pengobatan demam tifoid antara lain adalah cefixime, cefotaxime,

dan ceftriaxone. Cefixime bisa dijadikan sebagai pilihan pertama pengobatan

demam tifoid. Cefixime memiliki ketersediaan biologik sebesar 40-50%, waktu

paruh eliminasi antara 3 sampai 4 jam serta membutuhkan waktu sekitar 2 sampai

dengan 6 jam untuk mencapai konsentrasi maksimum. Dosis yang biasa

digunakan pada anak-anak adalah 15-20 mg/kg/hari selama 10 sampai 14 hari

(Lacyet al., 2006).

Cefotaxime dan ceftriaxone merupakan alternatif antibiotika yang dapat

digunakan untuk pengobatan demam tifoid yang disertai dengan beberapa

komplikasi dengan penyakit lain. Cefotaxime maupun ceftriaxone digunakan

sebagai pilihan pertama apabila ditemukan adanya riwayat resistensi suatu bakteri

terhadap antibiotika golongan quinolon (WHO, 2003). Dosis cefotaxime untuk

anak berumur > 12 tahun adalah 1-2 g setiap 4-12 jam dan untuk anak berumur

< 12 tahun dengan berat badan < 50 kg adalah 50-200 mg/kg (Lacyet al., 2006).

Dosis ceftriaxone untuk anak-anak adalah 50-100 mg/kg dengan interval 1-2 kali

perhari dan dosis maksimum yang masih diperkenankan adalah 4 g/hari (Lacyet

al., 2006).

c. Landasan Teori

Pengobatan penyakit infeksi selama ini dilakukan dengan pemberian

agen-agen antimikroba seperti salah satu contohnya dengan pemberian obat-obat

(40)

24

Antibiotika sebaiknya digunakan secara rasional untuk mengurangi

kemungkinan timbulnya bahaya resistensi.. Menurut WHO, kriteria penggunaan

obat yang rasional meliputi tepat pasien, tepat obat, tepat indikasi, tepat dosis, dan

waspada efek samping (WHO, 2003), begitu pula dengan pengobatan

menggunakan antibiotika haruslah meliputi kelima aspek tersebut. Kurrin dan

Gyssens menggolongkan ketepatan penggunaan antibiotika dalam enam kategori

dimana kategori I adalah penggunaan antibiotika secara tepat atau rasional.

Kategori II adalah ketidaktepatan penggunaan antibiotika karena adanya dosis

yang tidak sesuai, interval pemberian maupun rute pemberian yang tidak sesuai.

Kategori III adalah ketidaktepatan yang diakibatkan penggunaan antibiotika

terlalu lama maupun terlalu singkat. Kategori IV adalah ketidaktepatan

penggunaan antibiotika diakibatkan karena ada pilihan antibiotika lainnya yang

lebih efektif maupun lebih aman. Kategori V diakibatkan karena antibiotika yang

digunakan tidak memiliki indikasi untuk penyakit tertentu dan kategori VI adalah

penggunaan antibiotika tidak dapat dievaluasi karena tidak ada data (Benin dan

Dowel, 2001).

Selama ini antibiotika yang digunakan untuk pengobatan demam tifoid

adalah kloramfenikol dengan dosis 50-100 mg/kg BB selama 5 sampai 14 hari.

Namun pada perkembangannya antibiotika lainnya dari golongan sefalosporin

generasi ketiga seperti cefixime juga dapat digunakan dalam pengobatan demam

tifoid mengingat banyaknya kasus resistensi bakteri terhadap kloramfenikol yang

dilaporkan akhir-akhir ini (Lacyet al., 2006).

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

(41)

d. Keterangan Empiris

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan gambaran mengenai

penggunaan antibiotika untuk pengobatan demam tifoid pada kelompok pediatrik

di RS. Panti Rapih Yogyakarta serta evaluasinya yang bisa bermanfaat untuk

mengurangi timbulnya resistensi bakteri terhadap antibiotika dan meningkatkan

efisiensi pengobatan pada pasien demam tifoid kelompok pediatrik di RS. Panti

(42)

26

BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

A. Jenis Penelitian

Penelitian mengenai Evaluasi Penggunaan Antibiotika pada Pasien

Demam Tifoid Kelompok Pediatrik di Instalasi Rawat Inap Rumah Sakit Panti

Rapih Yogyakarta periode 2010 merupakan jenis penelitian non eksperimental

dengan rancangan deskriptif evaluatif yang bersifat retrospektif.

Penelitian ini merupakan jenis penelitian non eksperimental karena tidak

ada perlakuan pada subjek uji. Rancangan penelitian deskriptif evaluatif karena

data yang diperoleh dari catatan rekam medik kemudian dievaluasi berdasarkan

studi pustaka, dan dideskripsikan terhadap fenomena yang terjadi, kemudian

disajikan dalam bentuk tabel dan atau gambar. Selain itu, rancangan penelitian

deskriptif evaluatif karena tujuan penelitian yaitu memberikan gambaran dan

evaluasi mengenai penggunaan obat antibiotika pada pasien demam tifoid

kelompok pediatrik.

Penelitian bersifat retrospektif, karena data diambil dengan menggunakan

penelusuran terhadap dokumen yang terdahulu yaitu berupa kartu rekam medik

pasien demam tifoid kelompok pediatrik di Instalasi Rawat Inap Rumah Sakit

Panti Rapih Yogyakarta periode 2010.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

(43)

B. Variabel dan Definisi Operasional

1. Variabel utama

a. Variable bebas

Jenis, dosis, frekuensi, dan durasi penggunaan antibiotika

b. Variable terikat

Kondisi pasien pada saat proses pengobatan

2. Variabel terkendali

a. Usia

b. Jenis kelamin

3. Variabel tak terkendali

a. Berat badan

4. Definisi Operasional

a. Pasien pediatrik adalah pasien dengan berumur 0-12 tahun (Izenberg,

2000) pria maupun wanita yang terdiagnosa demam tifoid tanpa adanya

komplikasi (ditunjang dengan hasil laboratorium), dirawat di RS. Panti

Rapih Yogyakarta pada periode Januari-Desember 2010, mendapatkan

terapi antibiotika dan menyelesaikan pengobatan di RS. Panti Rapih

Yogyakarta sampai sembuh atau dinyatakan sembuh oleh dokter.

b. Antibiotika adalah suatu jenis obat yang dihasilkan oleh mikroorganisme

maupun yang dihasilkan melalui proses sintesis atau semi sintesis yang

strukturnya menyerupai zat yang dihasilkan oleh mikroorganisme tersebut

yang dapat membunuh ataupun menghambat pertumbuhan

(44)

28

c. Evaluasi penggunaan antibiotika adalah evaluasi mengenai

kerasionalitasan penggunaan antibiotika dalam penatalaksanaan penyakit

demam tifoid. Evaluasi yang dilakukan meliputi ketepatan dosis,

frekuensi, durasi, dan rute pemberian antibiotika.

d. Terapi antibiotika kombinasi adalah terapi menggunakan antibiotika baik

yang digunakan bersamaan maupun yang sifatnya penggantian antibiotika.

e. Lembar atau kartu rekam medis adalah lembar catatan yang berisi data

klinis pasien demam tifoid yang menjalani terapi di RS. Panti Rapih

Yogyakarta.

C. Subjek Penelitian

Subjek penelitian ini adalah semua pasien pediatrik demam tifoid yang

menerima terapi antibiotika dan dirawat di Rumah Sakit Panti Rapih Yogyakarta

periode Januari 2010 sampai dengan Desember 2010 kemudian diambil sesuai

dengan kriteria inklusi yaitu semua pasien berumur 0-12 tahun baik pria maupun

wanita yang didiagnosis positif menderita demam tifoid tanpa adanya penyakit

penyerta, menerima terapi antibiotika hingga selesai di RS. Panti Rapih

Yogyakarta dan dinyatakan sembuh oleh dokter, serta dengan kriteria eksklusi

yaitu pasien peditarik yang terdiagnosis positif menderita demam tifoid dengan

beberapa penyakit penyerta.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

(45)

D. Bahan Penelitian

Bahan penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah lembar

rekam medis pasien demam tifoid yang ada di Rumah Sakit Panti Rapih

Yogyakarta periode 2010.

E. Tata Cara Penelitian

1. Analisis Situasi

Analisis situasi dengan melihat data laboratorium dan obat antibiotika

yang digunakan pasien pediatrik demam tifoid yang diperoleh dari Instalasi

Rekam Medik Rumah Sakit Panti Rapih Yogyakarta pada bulan Januari 2010

sampai bulan Desember 2010.

2. Pengambilan Data

Data pasien yang diperoleh dari lembar rekam medik dipilih sesuai

dengan kriteria inklusi yang sudah ditetapkan oleh penulis. Tahap pengambilan

data meliputi beberapa proses sebagai berikut :

a. Penelusuran data, dilakukan dengan menelusuri data menggunakan

komputer di Instalasi Rekam Medik mengenai jumlah pasien yang

didiagnosis menderita demam tifoid kelompok pediatrik, nomor rekam

medis, umur pasien kelompok pediatrik, serta lama pengobatan di Rumah

Sakit.

b. Pengumpulan data, pada tahap ini dilakukan pencarian pasien pediatrik

sesuai dengan definisi operasional yang sudah ditetapkan sebelumnya

(46)

30

c. Pencatatan data, dilakukan dengan mencatat data pasien pediatrik yang

menjalani rawat inap di rumah sakit serta melakukan pemeriksaan

laboratorium dan mendapat terapi antibiotika.

Data yang dikumpulkan meliputi nomor rekam medis, nama pasien, usia

pasien, lama pasien dirawat di rumah sakit, data pemeriksaan laboratorium serta

terapi yang didapatkan pasien selama pasien dirawat.

3. Pengolahan Data

Data yang sudah didapat kemudian dievaluasi apakah antibiotika yang

diresepkan oleh dokter rasional atau tidak rasional pada penatalaksanaan demam

tifoid pada kelompok pediatrik. Data kemudian disajikan dalam bentuk tabel

maupun diagram.

Evaluasi penggunaan antibiotika dilakukan dengan membandingan terapi

antibiotika yang diterima pasien dengan literatur yang diacu. Pustaka yang

digunakan sebagai acuan yaitu Drug Information Handbook (Lacy et al., 2006),

Textbook of Pediatrics (Behrman, 1992), Current Therapy of Infectious Disease

(Kass dan Plat, 1990), Buku Saku Pelayanan Kesehatan Anak di Rumah Sakit

(Roespandi dan Nurhamzah, 2009).

F. Tata Cara Analisis Hasil

Data kualitatif yang diperoleh dibahas dalam bentuk uraian secara

deskriptif dalam bentuk tabel maupun gambar. Evaluasi dilakukan dengan

melakukan analisis ketepatan penggunaan antibiotika yang diresepkan untuk

pengobatan demam tifoid di RS. Panti Rapih Yogyakarta. Langkah-langkah

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

(47)

melakukan analisis dari hasil rekam medis yang didapatkan adalah sebagai

berikut:

1. Persentasi pasien demam tifoid yang telah menerima terapi antibiotika

berdasarkan frekuensi kejadian di RS dengan menghitung jumlah pasien yang

sesuai kriteria per bulan dibagi total kasus dikali 100%.

2. Persentasi pasien demam tifoid yang telah menerima terapi antibiotika

berdasarkan usia dengan menghitung jumlah pasien dibagi total kasus dikali

100%.

3. Persentasi pasien demam tifoid yang telah menerima terapi antibiotika

berdasarkan jenis kelamin dengan menghitung jumlah pasien laki-laki dan

perempuan dibagi total kasus dikali 100%.

4. Persentasi pasien demam tifoid yang telah menerima terapi antibiotika

berdasarkan pemeriksaan laboratorium yang dilakukan dengan menghitung

jumlah pasien tiap pemeriksaan dibagi total kasus dikali 100%.

5. Persentasi penggunaan antibiotika berdasarkan jenisnya (nama generik) yang

dilakukan dengan menghitung jumlah antibiotika dibagi total kasus dikali

100%.

6. Persentasi penggunaan antibiotika berdasarkan dosis dan frekuensinya yang

dilakukan dengan menghitung jumlah antibiotika dibagi total kasus dikali

100%.

7. Persentasi penggunaan antibiotika berdasarkan durasi yang dilakukan dengan

(48)

32

8. Persentasi penggunaan antibiotika berdasarkan rute pemberiannya yang

dilakukan dengan menghitung jumlah antibiotika tiap rute dibagi total kasus

dikali 100%.

9. Persentasi pasien demam tifoid yang telah menerima terapi antibiotika

berdasarkan kriteria ketepatan penggunaan antibiotika dengan menghitung

jumlah pasien dengan penggunaan antibiotika yang tepat (jenis, dosis,

frekuensi, rute dan cara pemberian, dan durasi) dibagi total kasus dikali 100%.

10. Persentasi pasien demam tifoid yang telah menerima terapi antibiotika

berdasarkan kriteria ketepatan penggunaan antibiotika dengan menghitung

jumlah pasien dengan penggunaan antibiotika yang tidak tepat (jenis, dosis,

frekuensi, rute dan cara pemberian, dan durasi) dibagi total kasus dikali 100%.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

(49)

33

BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

Penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk mendapatkan gambaran

mengenai profil pasien demam tifoid pada kelompok umur pediatrik yang terjadi

di Instalasi Rawat Inap Rumah Sakit Panti Rapih Yogyakarta serta untuk melihat

ketepatan penggunaan antibiotika yang digunakan dalam pengobatan demam

tifoid khususnya pada kelompok umur pediatrik. Data mengenai antibiotika yang

sudah didapatkan kemudian dianalisis ketepatannya meliputi ketepatan dosis,

frekuensi, rute pemberian serta durasi pemakaian antibiotika. Data yang sudah

didapatkan tersebut kemudian dibandingkan dengan pedoman pengobatan yang

telah ditentukan. Pedoman pengobatan yang digunakan sebagai acuan dalam

penelitian ini adalah Current Therapy in Infectious Disease (Kass dan Platt,

1990), Textbook of Pediatrics (Behrman, 1992), Drug Information Handbook

(Lacy et al., 2006), The Diagnosis, Treatment and Prevention of Typhoid Fever

(WHO, 2003), dan Buku Saku Pelayanan Kesehatan Anak di Rumah Sakit

(Depkes RI, 2009).

Subyek dari penelitian ini adalah pasien pada kelompok umur pediatrik,

baik pria maupun wanita dengan diagnosis demam tifoid tanpa adanya penyakit

penyerta, mendapatkan terapi antibiotika, serta dinyatakan sembuh atau membaik

oleh dokter pada saat keluar dari Rumah Sakit Panti Rapih Yogyakarta. Hasil

penelitian disajikan dalam tiga bagian yaitu profil pasien demam tifoid,

identifikasi dan diagnosis pasien demam tifoid, serta pola penggunaan antibiotika

(50)

34

A. Profil Pasien

Pada penelitian ini, gambaran profil pasien yang dibahas meliputi jenis

kelamin, umur, serta gejala klinis yang dialami. Data yang digunakan dalam

penelitian ini diperoleh dari kartu rekam medis pasien yang ada di RS. Panti

Rapih Yogyakarta. Langkah pertama yang dilakukan adalah menentukan kriteria

inklusi maupun kriteria eksklusi dari subjek penelitian. Langkah selanjutnya

adalah melakukan penelusuran kartu rekam medis pasien sesuai dengan kriteria

inklusi maupun ekslusi yang sudah ditetapkan sebelumnya dan kemudian

melakukan analisis masing-masing kasus kemudian menyajikan data-data yang

sudah didapat dalam bentuk tabel maupun grafik.

Persentase dihitung dari jumlah pasien menurut jenis kelamin, umur serta

gejala klinis yang dialami pasien pada tahun 2010 dibagi jumlah keseluruhan

pasien demam tifoid di RS. Panti Rapih Yogyakarta selama periode 2010

kemudian dikalikan 100%.

1. Jenis Kelamin

Berdasarkan kriteria inklusi dan eksklusi, jumlah pasien yang didapatkan

sebagai subyek penelitian sebesar 62 pasien. Dari total pasien sejumlah 62 pasien,

36 diantaranya adalah pria dan 26 sisanya adalah wanita. Penelitian sebelumnya

yang pernah dilakukan di Rumah Sakit Fatmawati Jakarta oleh Musnelina,

Afdhal, Gani, dan Andayani (2004) juga menemukan pasien pria lebih banyak

daripada pasien demam tifoid yang berjenis kelamin wanita. Menurut Hook (cit.,

Musnelina et al., 2004), anak laki-laki lebih banyak menderita demam tifoid

dibandingkan dengan perempuan dikarenakan anak laki-laki memiliki aktifitas

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

(51)

be

diluar rumah yang lebi

laki-laki untuk memil

dengan anak perempua

Gambar 7. Pe dema

Dari gambar

tifoid adalah pria dan

2. Umur

Subjek pene

menderita demam tifoi

kelompok neonatus (≤

anak-anak (>5-12 tahun

tifoid di RS. Panti Ra

anak-anak yaitu pada

mendukung beberapa

58,1%

41,9%

Karakteristik Pasien

berdasarkan Jenis Kelamin

Pria Wanita

lebih banyak daripada perempuan. Hal ini mem

miliki resiko lebih besar terserang demam tifoi

puan.

Persentasi jumlah pasien pria dan wanita pende mam tifoid di RS. Panti Rapih Yogyakarta perio

bar diatas, dapat dilihat bahwa sebesar 58.1%

an sebesar 41.9% pasien demam tifoid adalah w

penelitian ini adalah pasien pada kelompok

tifoid. Kelompok pediatrik dapat dibagi menjadi

≤1 tahun), kelompok balita (>1-5 tahun), dan

tahun). Hasil penelitian mendapatkan bahwa

Rapih Yogyakarta paling banyak terjadi pada

da rentang umur 6-12 tahun sebesar 42.9%. Hasi

pa hasil penelitian yang pernah dilakukan sebelum

emungkinkan anak

ifoid dibandingkan

nderita penyakit riode 2010

58.1% pasien demam

wanita.

pok pediatrik yang

njadi 3 bagian yaitu

dan kelompok usia

hwa kasus demam

da kelompok usia

Hasil penelitian ini

(52)

0

6-12 tahun memiliki

Ochiai et al. (2008) m

tifoid yang terjadi pa

pada rentang usia

6-tersebut anak-anak m

lingkungan sekitar yan

ini salah satu contohn

pendukung untuk me

(Castillocit., Musneli

Gambar 8. Pers

Hal tersebut

dilakukan di India pa

sebanyak 28 kasus dar

≤1 tahun > 1-5 tahun > 5-12 tahun

rofil Pasien berdasarkan Umur

. (2008) mendapatkan hasil bahwa anak pada

ki resiko terserang demam tifoid lebih besar.

2008) menunjukkan bahwa dari total sebanyak 131

pada kelompok pediatrik, sebesar 58 kasus (

-12 tahun. Hal tersebut dikarenakan karena

masih sangat menyukai membeli makanan se

yang higienitasnya tidak dapat dijamin. Lingkun

ontohnya adalah faktor higienitas, merupakan sa

mengurangi atau menambah luas penyebaran

nelinaet al., 2004).

ersentasi kasus demam tifoid di RS. Panti Rapih periode 2010 berdasarkan umur pasien

but mendukung penelitian sebelumnya yan

pada tahun 1995. Sinha et al. (1999) men

dari total 63 kasus demam tifoid di India ditemuk

36

da rentang usia

r. Hasil penelitian

131 kasus demam

sus (44.27%) terjadi

na pada saat usia

n sembarangan di

kungan, dalam hal

salah satu faktor

ran demam tifoid

pih Yogyakarta

ang juga pernah

enyatakan bahwa

mukan pada

anak-PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

(53)

anak berusia 5-12 tahun.

pada usia dibawah 5 t

3. Frekuensi Kejadian

Berdasarkan

didiagnosis menderita

Rapih Yogyakarta ada

pada kelompok umur

Yogyakarta adalah seba

Gambar 9. Freku

Berdasarkan

tahun 1997, kasus de

sampai dengan bulan 0

ahun. Laju insidensi demam tifoid di India sebe

5 tahun per 1000 orang dalam satu tahun (Sinha

adian

an kriteria inklusi maupun kriteria eksklusi, jum

rita demam tifoid pada kelompok umur pediat

adalah sebanyak 62 pasien, sedangkan kasus

umur pediatrik selama periode 2010 di R

sebanyak 63 kasus.

ekuensi kejadian demam tifoid di RS. Panti Rapi periode 2010

an hasil penelitian yang dilakukan di Ujung

demam tifoid lebih banyak terdiagnosis anta

bulan September yaitu pada saat setelah melewa

Frekuensi Kejadian Demam Tifoid

i RS. Panti Rapih Yogyakarta periode 2010

sebesar 27.3 terjadi

nhaet al., 1999).

umlah pasien yang

diatrik di RS. Panti

sus demam tifoid

RS. Panti Rapih

apih Yogyakarta

ung Pandang pada

ntara bulan April

(54)

38

dan akan memasuki musim kering/kemarau (Valema et al., 1997). Hal tersebut

bertolak belakang dengan hasil penelitian yang didapatkan di RS. Panti Rapih

Yogyakarta. Kasus demam tifoid pada tahun 2010 di RS. Panti Rapih Yogyakarta

paling banyak terdiagnosis pada bulan Maret (22.2%) dan pada bulan November

(11.1%). Kejadian tersebut kemungkinan disebabkan akibat adanya pergeseran

musim akibat pemanasan global.

B. Identifikasi dan Diagnosa

Data-data yang akan digunakan untuk mengidentifikasi masalah dan

penegakan diagnosis pasien dapat dilihat pada kartu rekam medis pasien. Data

yang diperoleh antara lain berupa gejala yang dialami pasien serta pemeriksaan

laboratorium yang digunakan sebagai penunjang dalam penegakan diagnosa.

Pada penelitian, beberapa data ini dikelompokkan kemudian ditampilkan

dalam bentuk persentase. Persentasi dihitung berdasarkan jumlah kasus menurut

banyaknya gejala klinis dan pemeriksaan laboratorium yang dialami pasien

demam tifoid dibagi jumlah keseluruhan kasus demam tifoid pada kelompok umur

pediatrik di RS. Panti Rapih Yogyakarta selama periode Januari 2010 sampai

Desember 2010.

Kasus dihitung berdasarkan kunjungan pasien ke RS. Panti Rapih

Yogyakarta dengan diagnosis demam tifoid serta menerima terapi menggunakan

antibiotika. Dari 62 pasien yang termasuk kriteria inklusi maupun kriteria

eksklusi, ditemukan sebanyak 63 kasus demam tifoid pada periode Januari 2010

sampai dengan Desember 2010 di RS. Panti Rapih Yogyakarta.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

(55)

1. Gejala yang dialami pasien

Secara klinis, infeksi yang dialami oleh pasien dapat bermanifestasi

menjadi gejala umum. Gejala umum demam tifoid antara lain adalah demam,

mual, muntah, flu ringan, perut kembung, konstipasi, dan diare (Brusch, 2010).

Keluhan ataupun gejala awal yang dialami pasien demam tifoid tidak khas, karena

hal itulah perlu dilakukan pemeriksaan penunjang yaitu dengan melakukan

pemeriksaan laboratorium. Gejala klinis yang dialami oleh pasien demam tifoid

kelompok umur pediatrik di Instalasi Rawat Inap RS. Panti Rapih Yogyakarta

disajikan dalam tabel berikut ini :

Tabel III. Gejala klinis yang dialami pasien demam tifoid di RS. Panti Rapih Yogyakarta periode 2010

No. Gejala Jumlah

Kasus

Persentasi (%)

1. Demam 63 100,0

2. Mual dan muntah 60 95,2

3. Flu 23 36,5

4. Batuk 10 15,9

5. Diare 7 11,1

6. Konstipasi (susah BAB)* 20 31,7

7. Sesak nafas 15 23,8

*BAB = Buang Air Besar

Dalam penelitian ditemukan bahwa gejala klinis yang paling sering

dijumpai pada pasien demam tifoid kelomok umur pediatrik adalah demam yang

biasanya disertai dengan mual dan muntah. Sebanyak 63 pasien (100%)

mengalami gejala demam. Gejala lain yang sering dijumpai adalah mual dan

muntah yaitu sekitar 95.2%. Gejala demam tifoid yang paling sering dijumpai

(56)

40

Sebagian besar infeksi meningkatkan denyut nadi dan suhu tubuh. Hal

tersebut dapat dijumpai pada beberapa kasus penyakit infeksi seperti demam

tifoid, demam berdarah dengue (Tunkel, 2009)

2. Pemeriksaan laboratorium

Pemeriksaan laboratorium yang dilakukan pada pasien demam tifoid

antara lain adalah pemeriksaan hematologi, urinalisis, dan immunoserologi.

Pemeriksaan immunoserologi dengan reaksi Widal merupakan salah satu cara

penunjang diagnosa demam tifoid yang masih cukup populer sampai saat ini.

Reaksi Widal adalah suatu reaksi pengendapan antara antigen dengan antibodi

(aglutinin) (Judarwanto, 2009). Aglutinin yang spesifik terdapat pada serum

penderita demam tifoid. Hasil positif ditandai dengan adanya peristiwa aglutinasi.

Gambaran pemeriksaan laboratorium pada pasien demam tifoid dapat dilihat pada

tabel berikut :

Tabel IV. Pemeriksaan laboratorium yang dilakukan pasien demam tifoid di RS. Panti Rapih Yogyakarta 2010

No. Pemeriksaan

1. Hematologi 63 100,0

2. Typhidot test 46 73,0

3. Widal Test 12 19,0

4. Urinalisis 35 55,6

5. Kimia klinik 5 7,9

Dari 63 pasien, masing masing pasien tidak hanya mendapat satu jenis

pemeriksaan laboratorium saja. Pemeriksaan laboratorium yang digunakan

sebagai penunjang penegakan diagnosa demam tifoid yang paling sering adalah

pemeriksaan hematologi. Hal tersebut terlihat dalam tabel dimana sebanyak 63

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

(57)

pasien semuanya mendapat pemeriksaan hematologi (100%). Pemeriksaan

penunjang selanjutnya yang sering dilakukan untuk membantu penegakan

diagnosa demam tifoid adalah pemeriksaan immunoserologi. Pemeriksaan

immunoserologi yang sering dilakukan saat ini adalah dengan menggunakan

pemeriksaan Typhidot tes. Metode ini sekarang lebih sering dilakukan karena

memiliki sensitifitas dan spesifitas yang lebih tinggi dibandingkan dengan uji

Widal. Menurut hasil penelitian yang dilakukan oleh Sherwal (2004), didapatkan

nilai sensitifitas dan spesifitas dari dua metode yang biasa digunakan sebagai

pemeriksaan penunjang demam tifoid yaitu tes Widal, dan tes Typhidot. Nilai

sensitifitas dan spesifitas tes widal yang didapatkan dari penelitian tersebut

sebesar 57% dan 83% sedangkan nilai sensitifitas dan spesifitas tes Typhidot

sebesar 92% dan 87.5% (Sherwal et al., 2004). Berdasarkan penelitian tersebut,

tes Widal saat ini sudah mulai ditinggalkan, begitu juga di RS. Panti Rapih

Yogyakarta. Pemeriksaan penunjang untuk penegakan diagnosis demam tifoid

saat ini sudah menggunakan tes Typhidot. Sebanyak 46 pasien (73%) melakukan

pemeriksaan penunjang dengan tes Typhidot, sedangkan pasien yang

menggunakan tes Widal sejumlah 12 pasien (19%). Tes Typhidot memiliki

beberapa kelebihan seperti sensitifitas dan spesifitas yang tinggi, cepat, mudah

Gambar

Tabel IPenggolongan antibiotika berdasarkan sifat ............................ 9
Gambar 1. Mekanisme kerja bakteriosida dan bakteriostatik pada antibiotika
Gambar 2. Mekanisme kerja antibiotika (Lullmann et al., 2000)
Gambar 5. Struktur Sefalosporin (Craig dan Stitzel, 2005)
+7

Referensi

Dokumen terkait

Rincian Perubahan Anggaran Belanja Langsung Program dan Per Kegiatan Satuan Kerja Perangkat Daerah. Kode

Pada minuman rosela berkarbonasi yang disimpan pada refrigerator penurunan niai rata-rata mutu warna lebih kecil dibandingkan dengan yang lain dengan nilai slope -0.030,

Setelah data yang berbentuk nilai biner tersebut diterima oleh mikrokontroller maka data hasil output per frekuensi tersebut akan diletakkan secara berurutan di dalam memori

68/MPP/Kep/2/2003 Penjualan local produk tissue yang dilakukan antar pulau tidak termasuk dalam kelompok produk yang wajib PKAPT. Tidak

Hal inilah yang melatarbelakangi Penulis untuk melakukan Penulisan Hukum dengan judul “ Pelaksanaan Kewenangan atas Penggunaan Spektrum Frekuensi Radio bagi

Sejalan dengan hal di atas, Arikunto (1993) menyatakan bahwa “tes diagnostik adalah tes yang digunakan untuk mengetahui kelemahan-kelemahan siswa, sehingga

bahwa sehubungan dengan maksud tersebut dan untuk melaksanakan ketentuan Pasal 141 huruf a dan Pasal 156 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan

APBN yang diserahkan diserahkan kepada daerah dalam rangka kepada daerah dalam rangka pelaksanaan otonomi daerah dan desentralisasi fiskal. pelaksanaan otonomi daerah