• Tidak ada hasil yang ditemukan

SKRIPSI PEMAHAMAN DIRI WARIA MELALUI PENGALAMAN DISKRIMINASI Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Program Studi Psikologi

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "SKRIPSI PEMAHAMAN DIRI WARIA MELALUI PENGALAMAN DISKRIMINASI Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Program Studi Psikologi"

Copied!
230
0
0

Teks penuh

(1)

MELALUI PENGALAMAN DISKRIMINASI

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu

Syarat Memperoleh Gelar Sarjana

Program Studi Psikologi

Disusun oleh :

L. Patria Rani Dwi Sanja

059114020

PROGRAM STUDI PSIKOLOGI JURUSAN PSIKOLOGI

FAKULTAS PSIKOLOGI

UNIVERSITAS SANATA DHARMA

YOGYAKARTA

(2)
(3)
(4)

iv

HALAMAN MOTTO DAN PERSEMBAHAN

“Love W hat You Do,

Do W hat You Love”

D ed i ca t ed f or y ou …,

M y m om a n d d a d .

(5)
(6)

vi

PEMAHAMAN DIRI MELALUI PENGALAMAN DISKRIMINASI WARIA

L. Patria Rani Dwi Sanja

ABSTRAK

Waria masih sering mendapatkan perlakuan diskriminasi. Bahkan perlakuan diskriminasi tersebut telah terjadi sejak waria masih kecil karena mereka (waria kecil) sudah terlihat berbeda sejak kecil. Tentunya pengalaman diskriminasi yang dialami oleh waria sejak kecil tersebut mempengaruhi pemahaman waria mengenai dirinya dan orang lain. Penelitian ini ingin melihat bagaimana waria memahami dirinya dan orang lain terkait dengan pengalaman diskriminasinya tersebut. Penelitian ini menggunakan 5 waria sebagai subjek penelitian. Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif dengan metode studi deskriptif. Pengambilan data dilakukan dengan wawancara naratif. Analisis data dalam penelitian ini menggunakan panduan teknik analisis tema Carl Ratner dan I Poems menurut Debold. Hasil penelitian menyimpulkan bahwa ada 3 bentuk tipe pemahaman waria terhadap dirinya dan orang lain terkait dengan pengalaman diskriminasi, yaitu waria adalah sosok yang tidak dikenal masyarakat dan waria adalah korban dalam masyarakat.

(7)

vii

SELF UNDERSTANDING BY DISCRIMINATION OF TRANSEXUAL

L. Patria Rani Dwi Sanja

ABSRTACT

Transexual often treated discriminatively. Moreover, they are treated discriminatively since they are children as they are looked different. Those treatments have influenced their comprehending toward themselves and others. This research aims to knew how transsexual comprehend themselves and others relate to those discriminative experience. They are 5 respondents used in this research. It was a qualitative supported by descriptive study method. The data were collected through narrative interviews. Data analysis was a combination of Debold’s Carl Ratner an I Poems technique. Based on the analysis, there were three types of comprehension toward themselves and others relate to the discriminative experiences they got : transsexual is unknown profile on a society, transsexual has to show their values to be accepted in a society an transsexual is a victim in a society.

(8)
(9)

ix

Puji dan syukur peneliti haturkan kepada Tuhan Yesus untuk berkat dan limpahan ide serta semangat yang telah diberikan. Akhirnya, setelah satu setengah semester, peneliti dapat menyelesaikan skripsi ini dengan segala semangat dan kemalasan yang hadir dalam kehidupan peneliti.

Skripsi ini dikerjakan sebagai salah satu syarat untuk kelulusan dalam program kuliah Psikologi dengan judul PEMAHAMAN DIRI MELALUI PENGALAMAN DISKRIMINASI WARIA.

Akhirnya, peneliti ingin mengucapkan kepada berbagai pihak yang telah membantu peneliti dalam pengerjaan skripsi ini.

1. Jesus Christ, untuk semangat, ide, harapan, kesehatan dan segalanya…

2. Ibu Dr. Ch. Siwi Handayani, selaku dekan Fakultas Psikologi Universitas Sanata Dharma dan sebagai dosen penguji.

3. Bu Sylvia Carolina MYM, S.Psi, M.Si selaku Kaprodi Psikologi Universitas Sanata Dharma. Makasih ya buk atas dispensasinya.

4. Pak V. Didik Suryo H., S.Psi, M.Si selaku dosen pembimbing skripsi. Makasih ya pak atas kesabarannya dalam membimbing saya sampai skripsi ini selesai. Maaf, kalau saya banyak rewel. Intinya saya ngefans sama kepinteran bapak. Hehehe…

(10)

x

7. Mas Gandung, Mbak Nanik, Pak Gie, Mas Mudji, Mas Doni yang sudah membantu segalanya. Semoga sehat selalu.

8. Mami Vinolia, Mbak Arum, Mbak Rully, Mbak Tika, Mbak Angel, Mbak Bella, Mbak YS, teman-teman waria lain yang aku kenal. Terima kasih untuk semuanya. You’re my inspiration…

9. Archadius Eddyatmoko dan Indarti RetnoW. Pah, mah, akhirnya selesai juga. Thanks for all. Love you all…

10.My first sista, Mbak Rety akhirnya aku menyusul dirimu. Makasih ya udah dibuatin abstraknya yang Bahasa Inggris. Hehehe…

11.My little sista, Ica icul makasih ya udah minjemin alfalink nya. Rajin belajar ya…

12.Bule Tatik, tanteku yang merasa muda terus, yang paling rajin telpon memberikan semangat, nasehat, mantra. Hehehe…

13.Eddy’s family… Kompak selalu !!

14.My beibh who fill my day with laughter and happiness, thanks for all. Je t’aime.

15.Agung Susanto, cintroooonggg aku lulus. Thanks for all cint, for 6 years. 16.Ling, Bink, Sawi. Walaupun kita jarang ketemu. You’re the best. Friends

forever. Saranghaeo.

(11)

xi

19.Teman-teman Mitra Perpustakaan USD. Mbak Dima, Mbak Prima, Mbak Dwi, Maya, Putu, Putri, Nino, Iray, Matilda. Mari kita shelving… Hehehe… 20.Ivo, Jowien, Ashar, Faris (geng gemblung nya Togamas Affandi), aku senang

bisa kenal ama kalian. Walaupun kadang kita beda pendapat, kadang heho sana sini, kadang beda shift. But its permanent here, I love you…

21.Arif, Ruri, Nenis, Mas Apri, Mas Dofvi, Mbak Tia, Mbak Ika, Mak Etty, Mbak Pony, Mas Afif, Pampam, Mbak Kurnia, Mas Taufik, Mbak Yanti, Mbak Rista, Mbak Kurnia dan teman-teman Togamas yang lain. Terimakasih telah memberi warna dalam hidupku. Salam dahsyat !!

22.Adel, Ance, Ary, Mas Yandu, Jenny yang sama-sama bimbingan bareng Pak Didik. Mari kita buat Pak Didik fans club ! Semangat teman, perjalanan masih panjang.

23.Friends Community, akhirnya aku lulus. Kompak & sukses selalu !

24.Teman-teman Calista Arteri, terutama Keke, Mbak Nendra, Mbak Febi, Mbak Naely, Nia, Mas Dediot, Koko Bagus. Kompak selalu !!

25.Semua pihak yang tidak dapat saya sebutkan satu persatu. Terima kasih untuk segala bantuannya. Tuhan memberkati.

(12)

xii

Yogyakarta, 10 Juli 2010

(13)

xiii

Halaman Judul ………..i

Halaman Persetujuan Dosen Pembimbing ………..ii

Halaman Pengesahan Penguji ………iii

Halaman Motto dan Persembahan ……….iv

Halaman Pernyataan Keaslian Karya ………..v

Abstrak ………...vi

Abstract ………vii

Halaman Persetujuan Publikasi Karya Ilmiah ……….viii

Kata Pengantar ………...ix

Daftar Isi ………..xiii

Daftar Tabel ……….xvi

Daftar Lampiran ………...…...xvii

BAB I. PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang ………1

B. Rumusan Masalah ………...8

C. Tujuan Penelitian ……….8

D. Manfaat Penelitian ………...8

BAB II. DASAR TEORI ... 9

(14)

xiv

3. Bentuk-bentuk diskriminasi ………12

4. Cara mengatasi diskriminasi ………...15

B. Pemahaman Diri (Self Understanding)………..18

1. Pengertian dan pentingnya pemahaman diri ………...18

2. Memahami diri sendiri dan orang lain dengan bernarasi ………18

C. Kerangka Penelitian ………..21

BAB III. METODOLOGI PENELITIAN ... 23

A. Jenis Penelitian ………..23

B. Subjek Penelitian ………...24

C. Fokus Penelitian ………24

D. Metode Pengambilan Data ………25

E. Proses Pengambilan Data ………..28

F. Metode Analisis Data ………33

G. Keabsahan Data ……….34

BAB IV. ANALISIS DATA DAN PEMBAHASAN ... 39

A. Deskripsi Subjek ………...39

B. Hasil Analisis Data ………41

1. Pengalaman diskriminasi dan cara mengatasinya ………...41

(15)

xv

1. Pengalaman diskriminasi ……….78

2. Cara mengatasi diskriminasi dan figur support ………...80

3. Cara subjek memahami dirinya dan orang lain ………...85

BAB V. KESIMPULAN, KETERBATASAN PENELITIAN DAN SARAN .... 88

A. Kesimpulan ………88

1. Pengalaman diskriminasi dan cara mengatasinya ………...88

2. Cara waria memahami dirinya dan orang lain ………89

B. Keterbatasan Penelitian ……….89

C. Saran ………..90

(16)

xvi

DAFTAR TABEL

(17)

xvi

DAFTAR LAMPIRAN

LAMPIRAN WAWANCARA

Subek 1 ………..93

Subjek 2 ………...108

Subjek 3 ………...121

Subjek 4 ………...136

Subjek 5 ………...146

LAMPIRAN ANALISIS DATA A. Bentuk dan Cara Mengatasi Diskriminasi Subjek 1 ………..….156

Subjek 2 ………...163

Subjek 3 ………...171

Subjek 4 ………...………179

Subjek 5 ………...188

B. Cara Mema hami Diri Sendiri dan Orang Lain Subjek 1 ………...195

Subjek 2 ………...198

Subjek 3 ………...202

Subjek 4 ………...205

(18)

1

A. LATAR BELAKANG

“Karena menolak memakai pakaian laki-laki dan menyimpan sikap

kemayu, dua pekan kemudian saya dipecat, kata Keke” (Tempo, 15 Desember

2007). Contoh ini hanyalah contoh kecil dari diskriminasi terhadap waria oleh masyarakat. Diskriminasi terhadap orang seperti Keke, yang biasa disebut sebagai waria, belakangan kian luas dan formal. Setidaknya kini terdapat 37 Peraturan Daerah (Perda) di seluruh Indonesia yang mendiskriminasi waria. Salah satunya, di Kota Palembang, Pasal 8 Peraturan Daerah Nomor 2 Tahun 2004 mengkategorikan lesbian, gay, biseksual dan transgender sebagai bagian dari pelacuran. Pemerintah memasukkan mereka ke kategori sakit mental dan penyandang cacat. Ketika ada penertiban, para waria digabung dengan gelandangan, pengemis, dan penggilingan (orang tidak waras) (Realita, 19 Febuari 2007).

(19)

waria di dalam sebuah keluarga senantiasa mengalami tekanan-tekanan sosial. Di dalam pergaualan, mereka juga menghadapi konflik-konflik dalam berbagai bentuk, dari cemoohan, pelecehan hingga pengucilan. Secara kebudayaan, dibagi dengan jelas mengenai peranan antara laki- laki dan peremupuan. Sehingga, kaum waria yang tidak berada di antara dua kategori tersebut, dikatakan menyimpang (Koeswinarno, 2004 : 25). Sementara itu, diskriminasi di bidang agama yang dapat dilihat adalah dari peraturan Gereja yang tidak memperbolehkan pernikahan seorang waria. Selain itu, saat kaum waria membutuhkan layanan kesehatan baik di puskesmas maupun di rumah sakit, mereka seringkali dipersulit, baik saat mendaftar atau ketika mereka mengajukan keringanan biaya berobat (Dora dalam Perkumpulan Keluarga Berencana Indonesia [PKBI] DIY, 2007 : 49).

(20)

Adanya diskriminasi terhadap waria juga dikuatkan dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Hesti Puspitosari dan Sugeng Pujileksono yang berjudul ”Waria dan Tekanan Sosial” (2005) yang dituangkan juga dalam bentuk buku. Penelitian tersebut mencoba menggambarkan tekanan – tekanan sosial yang dihadapi waria di Jombang baik di dalam keluarga maupun masyarakat. Hasil temuan menunjukkan bahwa stigma yang dibangun masyarakat saat ini menunjukkan waria identik dengan dunia prostitusi. Stigma itulah yang menimbulkan tekanan – tekanan sosial bagi waria.

(21)

menunjukkan bahwa negara tidak konsisten atas norma-norma untuk menghormati, melindungi dan memenuhi hak-hak setiap orang serta tidak konsisten dalam melaksanakan kewajiban sesuai janjinya. Bahkan, negara yang seharusnya melindungi rakyat, memajukan kesejahteraan umum dan mencerdaskan kehidupan bangsa sesuai amanat pembukaan UUD 1945 alinea 4 justru berbuat sebaliknya. Negara melakukan kekerasan terhadap warga negaranya sendir, baik kekerasan oleh aparatur negara maupun melalui seperangkat perundang- undangan yang tidak konsisten di dalam memenuhi hak-hak manusia. Sementara itu, media merupakan “sarapan pagi” bagi hampir setiap orang. Secara umum, media besar di Indonesia, mempunyai pola pikir yang seragam mengenai LGBTI, yaitu menerapkan stigma bahwa waria adalah sebuah perilaku seks yang menyimpang. Pengatas namaan agama juga turut menjadi penyumbang bagi kekerasan maupun diskriminasi kaum LGBTI. Ormas keagamaan melakukan kekerasan dan diskriminasi terhadap waria dengan alasan keagamaan, yaitu LGBT tidak sesuai dengan ajaran agama. Kemudian, solusi-solusi yang dihasilkan dalam penelitian tersebut antara lain mengakui LGBTI sebagai kelompok sosial dan memaksimalkan fungsi institusi negara / pemerintahan.

(22)

waria. Dari paparan tersebut, kemudian menimbulkan pertanyaan, bagaimana pengalaman diskriminasi waria ?

Ada berbagai cara untuk menjawab pertanyaan tentang bagaimanakah pengalaman-pengalaman diskriminasi pada waria. Salah satunya adalah dengan metode fenomenologi naratif. Penelitian ini berfokus pada pengalaman yang diceritakan oleh subjek, khususnya pengalaman diskriminasi. Dengan mendiskripsikan pengalaman diskriminasi waria, akan dapat dilihat tema-tema yang muncul, yaitu bagaimana diskriminasi tersebut dialami dan diatasi oleh waria. Tema tersebut merupakan tema yang akan menjadi pelengkap dalam penelitian ini. Dari tema pelengkap tersebut, akan dapat disimpulkan suatu tema besar yang akan menjadi fokus dalam penelitian ini, yaitu bagaiamana cara subjek memahami dirinya dan orang lain dalam kaitannya dengan pengalaman diksriminasinya tersebut.

Cara pengambilan data yang dirasa paling tepat adalah wawancara naratif. Wawancara tersebut fokus pada pembentukan suatu cerita. Melalui cerita yang dihasilkan oleh subjek, dapat dilihat tentang cara pandang waria dan cara waria dalam memahami dirinya sendiri maupun orang lain. Melalui cerita yang dibuat, orang lain bisa memahami seseorang melalui kisah hidupnya (Takwin, 2007 : 2). Diperkuat oleh pendapat Murray (dalam Smith, 2009 : 229) bahwa melalui narasi, orang lain dapat memahami narrator dan dunianya.

(23)

memahami bagaimana seseorang memaknai dunia dan dirinya sendiri (Murray dalam Smith, 2009 : 230). Narasi memuat kisah kehidupan seseorang, kisah untuk dituturkan kembali sebagai cermin kehidupan individu yang bersangkutan. Menurut Bruner (dalam Takwin, 2007 : 40), cerita merupakan dasar dari proses penciptaan makna dan satu-satunya cara untuk menjelaskan waktu yang dihayati seseorang dalam hidupnya adalah dengan menggunakan bentuk naratif. Polkighorne (dalam Takwin, 2007 : 40) juga memperkuat pendapat Bruner dengan menyatakan bahwa cerita merupakan pembentuk diri. Cerita – cerita tentang diri menyediakan jawaban bagi pertanyaan “Siapakah aku ?” Aku terbentuk dari cerita dan dapat dipahami melaui cerita, melalui naratif. Naratif juga merupakan media untuk berbagi pengalaman dan penghayatan dengan orang lain.

Keuntungan lain yang bisa didapat menggunakan kajian naratif adalah cara yang digunakan untuk memperoleh data adalah meminta individu bersangkutan untuk bercerita. Hal tersebut tentunya tidaklah begitu sulit karena dalam sehari – hari biasanya kita mengobrol ataupun bercerita dengan orang lain.

(24)

sejalan dengan yang diungkapkan oleh Donald E. Polkinghorne (dalam Takwin, 2007), bahwa pengalaman manusia sangat berarti dan perilaku manusia secara umum pada masa sekarang dibentuk ataupun dipengaruhi oleh makna atau arti dari pengalaman sebelumnya.

Penelitian ini memiliki beberapa relevansi, yaitu metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah dengan metode naratif, dimana yang saya ketahui bahwa penelitian sebelumnya mengenai waria, belum ada yang menggunakan metode naratif. Selain itu, saat ini fenomena waria mulai terangkat kembali dengan munculnya pemberitaan-pemberitaan mengenai waria di media. Dalam dunia entertainment, banyak artis laki- laki yang berperan menjadi wanita untuk menarik perhatian penonton. Selain itu, kasus mengenai waria ini sebenarnya tidak hanya pada saat ini, melainkan sudah ada sejak dahulu. Bukti-bukti keberadaan fenomena transeksualisme dapat ditemukan tercatat selama berabad-abad dalam berbagai kebudayaan dunia. Salah satunya, dalam kekaisaran Romawi dan Eropa. Di Indonesia, budaya waria dapat ditemukan pada pertunjukkan seni tradisional seperti kesenian Warok Ponorogo.

(25)

oleh waria dan bagaimana cara waria mengatasi pengalaman diskriminasinya tersebut.

B. RUMUSAN MASALAH

Yang menjadi permasalahan dalam penelitian kali ini adalah bagaimana waria memahami dirinya dan orang lain terkait dengan pengalaman diskriminasi.

C. TUJUAN PENELITIAN

Tujuan penelitian ini adalah memperoleh gambaran tentang bagaimana waria memahami dirinya dan orang lain terkait dengan pengalaman diskriminasi yang akan disajikan dalam bentuk penelitian deskriptif.

D. MANFAAT PENELITIAN

1. Manfaat teoretis

Memberikan suatu wacana tambahan bagi dunia Psikologi, khusnya mengenai pengungkapan diri.

2. Manfaat praktis

(26)

9

A. DISKRIMINASI PADA WARIA

1. Pengertian diskriminasi dan waria

Diskriminasi merupakan komponen perilaku dari antagonisme kelompok. Diskriminasi terdiri dari perilaku negatif terhadap individu karena individu itu adalah anggota dari kelompok tertentu (Taylor, Replau dan Sears, 2000 : 178). Diskriminasi merujuk kepada pelayanan yang tidak adil terhadap individu tertentu, di mana layanan ini dibuat berdasarkan karakteristik yang diwakili oleh ind ividu tersebut. Seseorang diperlakukan secara tidak adil karena karakteristik kelamin, ras, agama dan kepercayaan, aliran politik, kondisi fisik atau karateristik lain (“Diskriminasi”,2010). Menurut Soelistyowati (2000), diskriminasi merupakan tindakan yang melakukan pembedaan berdasarkan rasial, agama, status sosial ekonomi, gender, kondisi fisik tubuh, pandangan politik dan orientasi seksual. Tindakan ini termasuk pelanggaran HAM dengan meletakkan manusia sebagai subjek yang dibeda-bedakan. Persamaan harkat dan martabat sebagai makhluk ciptaan Tuhan tidak diperhitungkan dan diingkari.

(27)

dimana seseorang mempunyai perasaan tidak suka pada alat kelaminnya dan merasa bahwa alat kelaminnya tersebut tidak pada tempatnya. Transeksual adalah orang yang identitas jendernya berlawanan dengan jenis kelaminnya secara biologis. Mereka merasa “terperangkap” di tubuh yang salah. Perasaan itu terus menerus mengganggunya hingga ia ingin menghilangkan ciri – ciri kelakiannya itu (”Transeksual”, 2008)). Marcel Latuihamallo, Ketua Mitra Indonesia memaparkan bahwa pada dasarnya, secara fisiologis, waria itu adalah pria. Namun, pria ini mengidentifikasikan dirinya sebagai seorang wanita, baik dalam tingkah dan lakunya. Misalnya, dalam penampilan atau dandanannya, ia mengenakan busana atau aksesori seperti halnya wanita. Begitupun dalam perilaku sehari- hari, ia juga merasa dirinya sebagai seorang wanita yang memiliki sifat lemah lembut (Fahmi, 2007). Dalam DSM-IV TR, transeksual digolongkan ke dalam Gangguan Identitas Gender (GIG).

2. Ambiguitas Keberadaan Waria

(28)

mereka sulit untuk mengakses fasilitas-fasilitas umum yang ada, misalnya pendidikan secara lebih memadai. Menurut Rihana (dalam PKBI, 2007 : 19), masih banyak masyarakat yang mendiskriminasikan kaum waria. Mereka menganggap kaum waria adalah penyakit masyarakat, bahkan dari kalangan agama pun, kaum waria dianggap menyalahi kodrat. Padahal menjadi waria adalah bukan pilihan hidup tetapi datang dari jiwa atau perasaan waria itu sendiri. Oleh karena itu, menjadi waria itu bukan karena keterpaksaan. Karena masyarakat masih banyak yang memandang waria adalah hal yang negatif, perusahaan ataupun kantor pemerintah tidak mau mencantumkan waria sebagai bagian dari perusahaan atau kantor pemerintah itu sendiri. Kalaupun ada, itupun sedikit dan tetap saja masih ada diskriminasi. Kehadiran waria hanya menjadi pelengkap atau dikatakan hanya dipandang sebelah mata di dalam berinteraksi sosial di masyarakat.

(29)

oleh laki- laki. Perkembangan terakhir juga menunjukkan bahwa dunia waria menjadi ekspoitasi media massa besar-besaran karena kelucuan perilaku yang ditampilkan. Secara kultural, berbagai fenomena di atas menunjukkan bahwa ada pengakuan atas keberadaan kaum waria, sehingga mereka mendapat tempat di berbagai ruang sosial. Akan tetapi, dalam kehidupan sehari- hari, tidak semua ruang sosial memberikan tempat bagi kaum waria.

3. Bentuk-Bentuk Diskriminasi

Dalam (“Diskriminasi”, 2010), secara umum, diskriminasi dapat dibagi menjadi dua jenis, yaitu diskriminasi langsung, yaitu diskriminasi yang terjadi pada saat hukum, peraturan atau kebijakan-kebijakan jelas-jelas menyebutkan karakteristik tertentu, seperti jenis kelamin, orientasi seksual, ras dan sebagainya dan menghambat adanya peluang yang sama bagi individu- individu yang mempunyai karakteristik yang disebutkan di dalam hukum, peraturan ataupun kebijakan tersebut. Bentuk diskriminasi yang kedua adalah diskriminasi tidak langsung, yaitu diskriminasi yang terjadi pada saat peraturan bersifat netral menjadi diskriminatif saat diterapkan di lapangan.

(30)

a. Interpersonal discrimination

Diskriminasi ini terjadi ketika seseorang memperlakukan orang lain secara tidak adil karena keanggotaan orang tersebut. Diskriminasi ini terjadi dalam level person to person. Contohnya adalah stigmatisasi, cemoohan, pelecehan dan kekerasan fisik.

b. Institutional discrimination

Terjadi ketika sebuah institusi atau badan pemerintahan lebih mempercayai atau memihak terhadap kesuperioritasan suatu kelompok. Diskriminasi tipe ini dapat terjadi secara halus dan sering di bawah tingkat kesadaran masyarakat. Institutional discrimination bisa juga merupakan hasil dari praktek nyata yang memberikan keuntungan suatu kelompok dengan membatasi pilihan, hak, mobilitas atau akses informasi, sumber dan orang lain. Beberapa contoh diskriminasi yang termasuk di dalamnya adalah :

i. Diskriminasi sosial, meliputi tidak adanya kesempatan yang sama untuk mengenyam pendidikan formal dan pengucilan.

ii. Diskriminasi hukum, contohnya adalah kebijakan negara yang melanggar hak-hak LGBTI dan perlakuan hukum yang berbeda. iii. Diskriminasi politik, contohnya adalah kesempatan berbeda dalam

(31)

iv. Diskriminasi ekonomi, meliputi adalah pelanggaran hak atas pekerjaan.

c. Cultural discrimination

Terjadi jika dalam sebuah budaya, suatu kelompok menahan kekuatan untuk menegaskan nilai- nilai kebudayaan. Kekuatan kelompok tersebut terbangun dan terpelihara dengan adanya reward bagi yang merespon / melaksanakan nilai- nilai tersebut dan memberikan hukuman bagi yang tidak menjalankannya. Misalnya adalah upaya penghapusan dan penghilangan nilai- nilai budaya yang ramah terhadap kelompok LGBTI. Contohnya, selama dasawarsa 70-80an budaya Bissu di Sulawesi Selatan hampir musnah diberantas oleh kelompok Islam garis keras, DI-TII.

(32)

muncul kelompok-kelompok tertentu yang juga memiliki pemikiran yang sama dengan masyarakat mayoritas, tak terkecuali individu. Misalnya, institusi tertentu yang tidak mau memperkerjakan seorang waria.

4. Cara mengatasi diskriminasi

Dalam buku “The Psychology of Prejudice and Discrimination” karangan Whitley (2006), disebutkan bahwa terdapat 2 jenis cara mengatasi diskriminasi, yaitu :

a. Psychological Disengagement and Disidentification

Psychological disengagement merupakan sikap menarik diri

dari bagian yang gagal, sehingga harga dirinya tidak tergantung pada bagian yang gagal baik dengan dirinya dan orang lain (Major dalam Whitley, 2006 : 486). Saat individu memisahkan diri, mereka membangun / menghasilkan pemisahan secara psikologis dari dirinya sendiri dan daerah / arena yang mungkin mereka bisa gagal. Dengan cara itulah, mereka melindungi self esteem mereka.

b. Behavioral Compensation

(33)

mereka melakukan kompensasi dengan menunjukkan kemampuan mereka yang lain, misalnya dengan selera humor yang tinggi saat berinteraksi dengan orang lain agar mereka disukai (Miller & Myers dalam Whitley, 2006 : 488).

Di samping kedua jenis tersebut, ada juga bentuk cara mengatasi diskriminasi lainnya, yaitu :

a. Acceptance

Menurut Carver (dalam Bishop, 1994 : 156), bentuk ini merupakan salah satu bentuk dari coping yang berpusat pada emosi (emotion-focused coping). Acceptance yang dimaksud adalah menerima stressor, dalam arti mengakomodasikannya karena mungkin keadaan permasalahan tersebut sulit diubah.

b. Menilai atau meninjau kembali situasinya (reappraisal)

Reappraisal merupakan proses yang dilakukan seseorang

(34)

c. Mencari figur support

Mencari figur support tentunya berkaitan dalam rangka mencadi dukungan sosial (social support). Menurut Sarason (dalam Byrne, 2004 : 244), dukungan sosial merupakan kenyamanan secara fisik dan psikologis yang diberikan oleh orang lain. House (dalam Smet, 1994 : 136-137) membedakan 4 jenis atau dimensi dukungan sosial, yaitu sebagai berikut :

i. Dukungan emosional, mencakup ungkapan empati, kepedulian dan perhatian terhadap orang yang bersangkutan.

ii. Dukungan penghargaan, terjadi lewat ungkapan hormat (penghargaan) positif untuk orang itu, dorongan maju tau persetujuan dengan gagasan atau perasaan individu dan perbandingan positif orang itu dengan orang lain, seperti misalnya orang-orang yang kurang mampu atau lebih buruk keadaannya (menambah penghargaan diri).

iii. Dukungan instrumental, mencakup bantuan langsung, seperti member pinjaman uang.

(35)

B. PEMAHAMAN DIRI (SELF-UNDERSTANDING)

1. Pengertian dan pentingnya pemahaman diri

Menurut Santrock (dalam Tizar, 2010), pemahamn diri (self understanding) adalah gambaran kognitif seseorang mengenai diri, dasar

dan isi dari konsep diri. Memahami diri sendiri berarti memperoleh pengetahuan tentang totalitas diri yang tepat, yaitu menyadari kelebihan/keunggulan yang dimiliki maupun kekurangan/ kelemahan yang ada pada diri sendiri.

Self-understanding membantu seseorang dalam mengetahui

tingkah laku seseorang yang bersangkutan. Pemahaman terhadap diri sendiri juga membantu dalam menghargai kekuatan-kekuatan serta menyadari kelemahan-kelemahan yang ada. Self understanding akan memudahkan seseorang dalam memosisikan diri (self positioning) dalam tatanan dan sistem yang ada di lingkungan (Bradford dalam Indari, 2005). Dengan memahami diri sendiri secara tepat akan diketahui konsep diri yang tepat pula, dengan berupaya mengembangkan yang positif dan mengatasi/ menghilangkan yang negatif. Setelah seseorang mengetahui dirinya, maka terbentuklah sikap dan perilaku dalam menentukan arah dan prinsip hidup yang diinginkan.

2. Memahami diri sendiri dan orang lain dengan bernarasi

(36)

masalah-masalah kehidupannya. Naratif sebagai kata sifat juga dapat dipahami sebagai hal yang mengandung atau berhubungan dengan proses penceritaan (Takwin, 2007 : 34).

Sementara itu, pengertian bercerita dalam pengertian orang Indonesia umumnya sepadan dengan storytelling dalam Bahasa Inggris. Sebagai kata benda, storytelling dapat dipadankan dengan kata penceritaan yang merupakan proses penyampain cerita (Takwin, 2007 : 19). Penceritaan bisa mengungkapkan tema-tema tentang “bagaimana kita bisa bersama-sama”, “bagaimana kita mengerjakan pelbagai hal”, “siapa kita” dan “apa yang penting bagi kita” (makna) (Takwin, 2007 : 60).

Melaui cerita yang dibuat, orang lain bisa memahami seseorang melalui kisah hid upnya (Takwin, 2007 : 2). Sementara itu, menurut Murray (dalam Smith, 2009 : 229) bahwa melalui narasi, orang lain dapat memahami narrator dan dunianya. Maka, dapat dikatakan bahwa naratif dapat digunakan untuk memahami bagaimana seseorang memaknai dunia dan dirinya sendiri.

(37)

dapat dipahami melaui cerita, me lalui naratif. Naratif juga merupakan media untuk berbagi pengalaman dan penghayatan dengan orang lain.

Narasi tidak hanya memberikan tatanan dan makna pada kehidupan sehari- hari, tetapi secara reflektif, juga memberikan struktur pada rasa kedirian seseorang. Seseorang menceritakan kisah tentang kehidupannya kepada dirinya sendiri dan pada orang lain. Dengan demikian, seseorang tersebut menciptakan suatu identitas naratif (Murray dalam Smith, 2009 : 228). Hal itu juga sejalan dengan pendapat Ricoeur (dalam Smith, 2009 : 228) yang mengatakan bahwa “subjek mengenali dirinya dalam kisah tentang dirinya yang diceritakannya”. Melalui narasilah seseorang mulai mendefinisikan dirinya, untuk mengklarifikasikan kontinuitas dalam hidupnya dan untuk disampaikan pada orang lain. Narasi memungkinkan seseorang untuk mendeskripsikan pengalaman dan mendefinisikan diri. Dalam membangun suatu narasi personal, seseorang memilih beberapa aspek dari kehidupannya dan mengkaitkannya dengan yang lain. Proses demikian memungkinkan seseorang untuk menegaskan bahwa kehidupan bukanlah suatu sekuensi peritiwa yang tidak berkaitan, melainkan memiliki suatu tatanan tertentu (Murray dalam Smith, 2009 : 228).

Salah satu cara untuk memahami diri si narator adalah dengan memamahi narasi yang dihasilkannya. Salah satunya adalah dengan I Poems. Menurut Debold (dalam Gilligan, 162) terdapat 2 tujuan dari I

(38)

untuk mendengarkan bagaimana seseorang berbicara mengenai dirinya dan orang lain.

C. KERANGKA PENELITIAN

Di dalam masyarakat, waria termasuk dalam kaum minoritas yang masih sering mengalami diskriminasi karena belum semua masyarakat bisa menerima keberadaan waria. Tujuan penelitian ini adalah untuk memperoleh gambaran tentang waria, khususnya bagaimana waria memahami dirinya dan orang lain terkait dengan pengalaman diskriminasi yang akan disajikan dalam bentuk penelitian deskriptif. Untuk mengetahui pengalaman diskriminasi yang dialami oleh waria, tentunya waria harus menceritakan pengalaman yang dialaminya tersebut. Hasil cerita tersebut dapat digunakan untuk melihat bagaimana waria memahami dirinya dan orang lain terkait pengalaman diskriminasi. Seperti yang telah diungkapkan dalam dasar teori bahwa melalui cerita, orang lain bisa memahami seseorang dari cerita yang dibuat. Sementara itu, si pembuat cerita juga dapat memahami dirinya dalam kisah yang diceritakan.

Dalam penelitian ini terdapat beberapa pertanyaan yang ingin dijawab oleh peneliti, yaitu :

1. Bagaimana pengalaman diskriminasi dilami dan diatasi oleh waria ?

(39)

23

A. JENIS PENELITIAN

Jenis penelitian yang dilakukan adalah penelitian kualitatif. Di bidang psikologi dan pendidikan, penelitian kualitatif seringkali disebut naturalistik karena masalah atau peristiwa yang diteliti terjadi secara natural (Alsa, 2004 : 30). Sejalan dengan Williams (dalam Moleong, 2008 : 5) yang menulis bahwa penelitian kualitatif adalah pengumpulan data pada suatu latar alamiah dengan menggunakan metode alamiah dan dilakukan oleh orang atau peneliti yang tertarik secara alamiah. Menurut Bogdan dan Taylor (dalam Moleong, 2008 : 4), penelitian kualitatif merupakan penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang dan perilaku yang dapat diamati. Penelitian kualitatif juga dimaksudkan untuk menafsirkan fenomena yang terjadi (Denzin dan Lincoln dalam Moleong, 2007 : 5). Terakhir, penelitian kualitatif juga bermaksud untuk memahami fenomena tentang apa yang dialami oleh subjek penelitian, seperti perilaku, motivasi, tindakan, persepsi, dll (Moleong, 2008 : 6).

(40)

personal serta menekankan pada persepsi atau pendapat personal seseorang individu tentang objek atau peristiwa (Smith, 2009 : 97). Sementara itu, penelitian naratif berfokus pada pengalaman yang diceritakan oleh seseorang (Pokinghorne dalam Creswell, 2007 : 54). Dalam penelitian ini, peneliti memahami dan menganalisis kisah nyata yang diceritakan oleh seseorang (Creswell, 2007 : 54).

B. SUBJEK PENELITIAN

Subjek dalam penelitian ini adalah waria, berjumlah 5 orang. Adapun yang dimaksud dengan waria adalah seseorang yang secara fisik laki- laki tetapi merasa dirinya adalah perempuan dan dalam kesehariannya, berpenampilan dan bertingkah laku sebagai perempuan. Kelima subjek dalam penelitian ini adalah waria yang merupakan anggota dari sebuah LSM waria di Yogyakarta.

C. FOKUS PENELITIAN

Di dalam penelitian ini, ada 2 hal yang menjadi fokus penelitian, yaitu : 1. Pengalaman diskriminasi dan cara mengatasinya

(41)

Cara subjek dalam mengatasi pengalaman diskriminasi baik saat kecil dan saat dewasa, termasuk juga figur- figur positif (figur support) yang berperan terkait dengan cara subjek mengatasi pengalaman diskriminasinya itu.

2. Cara subjek memahami dirinya dan orang lain

Bagaimana subjek memahami dirinya dan orang lain dalam kaitannya dengan pengalaman diskriminasi. Hal ini mungkin bisa dirumuskan dalam pertanyaan “mengapa orang lain mendiskriminasikan aku (waria) ?”

D. METODE PENGAMBILAN DATA

Metode pengambilan data dalam penelitian ini adalah menggunakan metode wawancara. Menurut Moleong (2008 : 186), wawancara adalah percakapan dengan maksud tertentu yang dilakukan oleh dua pihak, yaitu pewawancara (interviewer) yang mengajukan pertanyaan dan terwawancara (interviewee) yang memberikan jawaban atas pertanyaan itu. Wawancara dalam penelitian kualitatif dilakukan dengan maksud untuk memperoleh pengetahuan tentang makna- makna subjektif yang dipahami inidividu berkenaan dengan topik yang diteliti dan bermaksud melakukan eksplorasi terhadap suatu isu (Banister dkk., dalam Poerwandari, 2005 : 127).

(42)

pembentukan suatu cerita (Wengraf, 2001). Wawancara tersebut juga menggunakan desain pertanyaan khusus, yaitu single initial narrative question, dimana pertanyaan tersebut berfokus pada hal tertentu. Misalnya,

pertanyaan mengenai semua cerita kehidupan seseorang atau hanya sebagian topik dari kehidupan seseorang. Dalam wawancara ini, campur tangan interviewer juga terbatas. Secara garis besar, langkah-langkah yang dilakukan

dalam wawancara dikelompokkan menjadi 3 tahap, yaitu : a. Tahap 1

Dalam tahap ini, interviewer bertanya dengan single initial narrative question, yaitu “coba ceritakan pengalamanmu dari kecil sampai

sekarang”. Selama interviewee bercerita, maka interviewer menulis topik-topik yang muncul.

b. Tahap 2

Dalam tahap ini, terdapat pembatasan topik dari topik-topik yang muncul dalam tahap 1. Topik yang diangkat adalah mengenai pengalaman diskriminasi.

(43)

pertanyaan pancingan tersebut adalah : apakah subjek pernah diejek oleh orang lain karena status kewariannya ?

c. Tahap 3

Untuk mempersiapkan subsesi ini, perlu disiapkan terlebih dahulu analisis awal terhadap hasil wawancara pada subsesi 1 dan 2. Dalam subsesi ini, tidak lagi dipergunakan single initial narrative question. Pada tahap 3 ini, peneliti melakukan cross check analisis hasil wawancara kepada subjek penelitian. Selain itu, peneliti juga memberikan hasil verbatim wawancara kepada subjek penelitian agar dapat dilihat jika masih ada yang kurang ataupun salah penulisan.

Wawancara yang dilaksanakan melewati beberapa tahap. Berikut ini adalah tahap-tahap yang dilakukan dalam wawancara :

1. Mencari informasi mengenai keberadaan subjek

2. Membuat panduan wawancara. Panduan wawancara dibuat berdasarkan tujuan dari penelitian dan metode wawancara yang digunakan. Berikut ini ada 3 panduan wawancara :

a. Ceritakan pengalaman subjek dari kecil hingga sekarang.

b. Ceritakan pengalaman subjek saat masih anak-anak secara lebih detail. c. Ceritakan pengalaman diskriminasi yang pernah dialami oleh subjek. 3. Melakukan rapport dengan berkenalan dan menceritakan maksud dan

(44)

4. Membuat jadwal untuk proses wawancara sesuai jadwal yang telah disepakati

5. Melakukan proses wawancara

E. PROSES PENGAMBILAN DATA

Pengambilan subjek dilakukan dengan model pengambilan sample bola salju / snowball sampling. Hal ini dilakukan karena keterbatasan peneliti dalam mencari subjek. Pada awalnya, peneliti hanya mengenal satu subjek saja. Kemudian, peneliti bertanya dan meminta bantuan kepada subjek pertama untuk mencarikan teman waria yang lain yang bersedia menjadi subjek penelitian. Sebelum melakukan wawancara, peneliti terlebih dahulu melakukan rapport dengan subjek. Rapport dilakukan dalam waktu yang berbeda bagi masing- masing subjek. Namun, rapport hanya dilakukan seperlunya saja oleh peneliti. Hal ini disebabkan karena ketiga subjek sangat kooperatif dalam berbagi cerita. Bagi mereka, penelitian ini dapat mengungkap diskriminasi yang sering dialami oleh kaum waria.

(45)

bersedia membantu. Pada tanggal 15 Juni 2009, peneliti bertemu dengan subjek I untuk melakukan rapport. Rapport dilakukan di tempat kerja subjek, yaitu di LSM Kebaya. Rapport dilakukan sangat cepat karena subjek sangat mudah akrab dengan peneliti. Hal ini juga tidak jauh berbeda dengan subjek II dan subjek III. Akhirnya, pada tanggal 16 Juni 2009 dilakukan proses wawancara untuk subjek I. Untuk subjek II, rapport dilakukan pada tanggal 9 September 2009 dan melakukan wawancara pada tanggal 10 September 2009 di tempat kerja subjek, yaitu LSM Kebaya sekaligus peneliti melakukan rapport untuk subjek III. Proses wawancara subjek III dilakukan pada tanggal

18 September 2009 di kos subjek.

Pada mulanya peneliti hanya ingin menggunakan 3 subjek saja. Namun, untuk mendapat hasil yang lebih maksimal, maka peneliti menambah jumlah subjek penelitian menjadi 5 subjek. Rapport untuk subjek IV dilakukan pada tanggal 15 Oktober 2009 di kos subjek dan dilakukan proses wawancara pada tanggal 21 Oktober 2009 yang juga dilaksanakan di kos subjek. Kemudian, peneliti melakukan rapport untuk subjek V pada tanggal 30 Oktober 2009 dan wawancara pada tanggal 2 November 2009 yang semuanya dilaksanakan di tempat kerja subjek. Selama proses wawancara, peneliti menggunakan MP3 player bagi kelima subjek untuk merekam proses wawancara tersebut.

(46)

saja dan subjek yang sudah terbiasa berbagi cerita kepada orang lain. Hal ini disarankan oleh ketua LSM tersebut agar peneliti dapat lebih mudah dalam mendapatkan data penelitian. Menurut Mami Vinolia, selaku Ketua LSM Kebaya tersebut, waria yang berada di LSM akan lebih mudah untuk diajak kerja sama daripada waria yang berada di luar LSM. Hal ini disebabkan karena mereka cenderung sudah terbiasa untuk bersosialisasi dan berbagi pengalaman dengan orang lain.

(47)

Proses Rapport dan Wawancara

RAPPORT WAWANCARA

NO SUBJEK

TANGGAL TEMPAT WAKTU TANGGAL TEMPAT WAKTU

(48)
(49)

F. METODE ANALISIS DATA

Metode analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah pengorganisasian data serta mencari dan menemukan pola dari data tersebut. Cara menemukan pola pada data subjek dibuat berdasarkan kepentingan peneliti dan menggunakan sedikit panduan teknik analisis tema Carl Ratner. Menurut Carl Ratner (2001), salah satu analisis naratif adalah mengidentifikasi tema-tema yang muncul dalam data verbal. Tema-tema yang diambil tentunya adalah tema yang relevan dengan tujuan penelitian, yaitu mengenai pengalaman diskriminasi. Berikut ini adalah rincian langkah-langkah yang dilakukan dalam analisis data :

1. Mencari kalimat pernyataan subjek (meaning units) yang berhubungan dengan pengalaman diskriminasi.

2. Memparafrasekan meaning units tersebut ke dalam central themes.

3. Mengelompokkan beberapa central themes menjadi general theme. Dalam tahap ini, ditemukan bahwa terdapat 3 general themes, yaitu bentuk diskriminasi, cara mengatasi diskriminasi dan figur support.

4. Setelah menemukan tema yang muncul dari data verbal tersebut, maka langkah selanjutnya adalah menentukan general structure. Jadi, setiap general theme dijelaskan atau dijabarkan dalam general structure.

(50)

Untuk melihat cara subjek memahami dirinya dan orang lain, peneliti menggunakan panduan analisis I Poems yang menurut Debold (dalam Gilligan : 162) salah satu tujuannya adalah untuk mendengarkan bagaimana orang tersebut berbicara mengenai dirinya dan orang lain. Dalam tahap ini, peneliti membatasi meaning units yang digunakan, yaitu dengan mengambil pernyataan-pernyataan subjek yang diawali dengan kata “saya”, “aku”, “waria”. Kemudian, meaning units tersebut dikelompokkan menjadi beberapa tema.

G. KEABSAHAN DATA

Teknik keabsahan data yang digunakan dalam penelitian ini dilakukan dengan uji kredibilitas (tingkat kepercayaan) atau sering disebut validitas dalam penelitian kuantitatif. Kredibilitas studi kualitatif terletak pada keberhasilannya mencapai maksud eksplorasi masalah atau mendeskripsikan setting, proses, kelompok sosial atau pola interaksi yang kompleks (Poerwandari, 2005 : 181).

(51)

1. Validitas komunikatif

Validitas komunikatif dilakukan melalui dikonfirmasikannya kembali data dan analisisnya pada responden penelitian.

(52)

Cross Check Data

Tidak ada Tidak ada Ada beberapa

(53)

Analisis Data Subjek mengoreksi

beberapa analisis yang kurang sesuai.

Subjek mengoreksi beberapa analisis yang kurang sesuai.

Subjek mengoreksi beberapa analisis yang kurang sesuai.

Subjek mengoreksi beberapa analisis yang kurang sesuai.

(54)

1. Validitas argumentatif

Validitas tercapai jika presentasi temuan dan kesimpulan dapat diikuti dengan baik rasionalnya serta dapat dibuktikan dengan melihat kembali ke data mentah.

(55)

39

A. DESKRIPSI SUBJEK

1. Mbak Arum

Terlahir dengan nama Aris 31 tahun yang lalu di Yogyakarta. Selama menjadi waria, dia lebih dikenal dengan nama Arum Mariska. Dia adalah anak pertama dari 3 bersaudara. Perawakannya sedikit gemuk dengan kulit yang cukup gelap. Rambutnya lurus panjang terurai dengan warna kemerahan. Dia sering tampil dengan kaos yang cuk up ketat dan celana jeans yang juga ketat.

Saat pertama kali bertemu dengannya, dia sudah terlihat sebagai orang yang memiliki kepercayaan diri yang cukup tinggi. Dia ramah dan sangat mudah akrab dengan orang lain. Nada berbicarnya cenderung cepat, sehingga membuat subjek terkesan seperti seseorang yang banyak bicara.

2. Mbak Rully

(56)

Dia terlihat paling pendiam di antara waria-waria yang lain. Sikapnya yang lemah lembut dalam berbicara membuatnya tampak santun dan keibuan.

3. Mbak Tika

Lahir di Yogyakarta dengan nama Rido Budi Lastiko 28 tahun yang lalu. Setelah menjadi waria, dia lebih dikenal dengan nama Tika Aurora. Sekilas, dia tidak tampak seperti waria. Perawakannya yang langsing dan tinggi membuat dirinya terlihat seperti perempuan. Kulitnya cukup gelap dengan rambut panjang hitam dan lurus.

Awalnya Mbak Tika terlihat pendiam. Namun, setelah mengenalnya lebih jauh, ternyata dia sangat ramah dan terbuka untuk berbagi cerita tentang pengalaman-pengalamannya.

4. Mbak Bella

Terlahir dengan nama Anton 32 tahun yang lalu di Yogyakarta. Saat ini lebih dikenal dengan nama Bella. Rambut hasil hair extansion nya terurai panjang dengan warna hitam. Karena bekerja di salon yang cukup ternama di Yogyakarta, Mbak Bella terlalu tampil modis dengan breket di giginya. Badannya yang tinggi dan lansing membuatnya terlihat sangat anggun.

(57)

memberikan saran mengenai model rambut yang cocok untuk pelanggannya. Pembawaannya yang senang ngobrol juga membuat dia mudah akrab dengan pelanggannya.

5. Mbak Angel

Anak ketiga dari 4 bersaudara ini terla hir di Kendal 29 tahun yang lalu. Badannya cukup mungil dengan kulit kecoklatan. Rambutnya panjang, hasil dari hair extantion. Matanya terlihat cukup sipit untuk ukuran orang pribumi. Dia sering terlihat memakai pakaian yang cukup seksi.

Kegemarannya menyanyikan lagu-lagu India merupakan cirri khas dari dirinya. Hal itu merupakan daya tarik tersendiri dari Mbak Angel, sehingga orang lain selalu dibuatnya tertawa saat dia menyanyi. Mbak Angel juga sangat senang mengobrol, sehingga dia juga mudah akrab dengan orang lain.

B. HASIL ANALISIS DATA

1. Pengalaman diskriminasi dan cara mengatasinya

a. Mbak Arum

(58)

diskriminasi dalam bentuk diskriminasi verbal saja yang dilakukan oleh peer group, yaitu oleh teman-temannya.

Ya paling cuma diteriakin banci aja sih sama temen-temen.”

Coping yang dilakukan oleh subjek I untuk mengatasi diskriminasi tersebut adalah menerima (acceptance) dengan bersikap cuek terhadap ejekan teman-temannya itu. Sikapnya tersebut merupakan bentuk dari pengakuannya terhadap statusnya sebagai waria.

“… cuma waktu itu aku memang pada dasarnya masa bodoh gitu ya. Orang mau anggep aku banci atau apa ya ini aku. Udah tahu aku banci, ngapain teriak-teriak.”

Sementara itu, bentuk diskriminasi yang dialami oleh subjek I saat dewasa adalah diskriminasi verbal dan kekerasan fisik. Diskriminasi verbal yang dialami oleh subjek dilakukan oleh peer goup, yaitu pemuda di sekitar perkampungannya yang suka mengejek

subjek “banci banci”.

“Kalau aku lewat di situ, aku sering diteriakin banci-banci.”

Selain itu, kekerasan fisik, dimana subjek I dilempar dau kelor dan batu yang juga dilakukan oleh peer group.

…banyak pemabuk-pemabuk yang kadang nongkrong di

perkampunganku. Pernah sih aku mendapatkan apa ya sampai dilembar batu.”

(59)

Coping yang dilakukan oleh subjek saat dewasa sedikit berbeda dengan yang dilakukan oleh subjek saat masih kecil. Subjek I menerima (acceptance) perlakuan diskriminasi yang dialamatkan kepadanya sebatas diskriminasi verbal. Penerimaannya tersebut merupakan bentuk dari pengakuan subjek terhadap status kewariaannya.

“Aku tak diemin aja karena aku merasa nggak dirugikan. Aku memang banci kok terus mau apa….”

Namun, jika diskriminasi yang dialamatkan kepadanya adalah kekerasan fisik, maka subjek I akan membalas atau melapor kepada polisi sebagai bentuk kepercayaannya kepada hukum yang berlaku.

“Aku sampai yang marah-marah sampai tak laporin polisi.” “Aku bilang bahwa jangan dikira saya nggak berani sama seseorang. Di sini hukum pun berlaku dan masih banyak lembaga-lembaga LBH yang mau bantu kita kok.”

“Motor langsung tak berhentiin terus tak tempeleng.”

Dalam dunia pekerjaan, subjek I juga melakukan beberapa coping untuk mengatasi diskriminasi yang terjadi. Subjek I selalu percaya diri untuk berani melamar sebuah pekerjaan.

Aku bilang PD itu nomer satu. Walaupun di situ yang

dibutuhkan laki-laki dan perempuan, kalau kita sudah waria, dandan waria, kita coba masuk gitu ya.”

…ke satu PD…”

(60)

Waktu itu aku pengakuan “sebenarnya gini buk, saya sebenarnya waria buk. Rambut saya aja panjang. Saya sebenarnya waria buk. Eee… mungkin itu adalah pilihan ibu. Kalau ibu masih mau pakai saya, saya memintanya ya apa adanya seperti ini. Seperti diri saya sendiri karena saya akan sangat nyaman dengan apa yang ada di diri saya. Kalau saya paksakan, kerja itu nggak akan tenang.”

…Saya sebenarnya waria pak…”

Aku memang sudah menerima kalau aku waria.”

Kemudian, setelah diberi kepercayaan dalam pekerjaan tersebut, subjek I selalu berusaha untuk balas budi dengan memberikan timbal balik dan berusaha untuk selalu membawa diri.

Dari kepercayaan itu, kemudian saya timbul eee timbal balik yang harus saya berikan ke yang empunya ini.”

“...Bawa diri itu yang kedua…”

Saat dewasa, subjek I mendapatkan dukungan dari beberapa figur, yaitu ayah dan orang lain yang selalu low profile dalam menghadapi masalah. Dukungan yang diberikan oleh ayah subjek adalah berupa penerimaan tentang statusnya sebagai waria sejauh subjek tidak berhubungan dengan kriminalisme. Selain itu, dukungan yang diperolah subjek dari orang lain adalah kesabaran orang-orang tersebut dalam menghadapi masalah dan hal itu dijadikan contoh oleh subjek dalam menghadapi diskriminasi yang menimpanya.

Bapakku bilang “kamu dandan nggak papa, kamu

(61)

“Mungkin aku bercermin dari orang-orang yang aku nggak bisa nyebutin siapa gitu ya. Yang pasti kadang-kadang ketemu orang yang low profile, sabar menghadapi masalah. Jadi aku pengen seperti itu.”

b. Mbak Rully

Subjek II mengalami diskriminasi, baik saat masih kecil maupun saat dewasa. Ada perbedaan bentuk diskriminasi yang dialami oleh subjek II. Saat masih kecil, subjek II hanya mengalami diskriminasi verbal dan kekerasan fisik. Diskriminasi verbal yang dialami oleh subjek II berupa ejekan dan cemoohan dari peer group, yaitu dari teman-temannya. Selain itu, subjek II juga mengalami diskriminasi verbal dari figur otoritas, yaitu dari guru PMP saat masih SMP.

Sejak kecil memang saya sudah menjalani hidup sebagai waria dimana pada saat itu banyak sekali teman-teman seusia saya yang sering mengejek kalau banci-banci atau bencong.”

…ada teman di masa-masa kuliah yang kebetulan aktif di apa namanya itu resimen mahasiswa yang selalu saja dia harus menegur saya. Sepertinya dia tidak apa, tidak merasa puas kalau belum memberikan teguran kepada saya.”

Banyak tekanan-tekanan yang dialamatkan kepada saya oleh guru-guru, terutama guru PMP…Saya pernah dibilang “mayat hidup kamu keluar dari sini.”

Selain diskriminasi verbal, subjek II juga mengalami kekerasan fisik, yaitu hampir dipukul dan ditampar oleh figur otoritas, yaitu oleh guru PMP saat masih SMP.

(62)

Ada figur support yang berperan dalam kaitannya dengan pengalaman diskriminasi, yaitu ibu subjek. Ibu beperan sebagai pelindung bagi subjek dengan memberikan pemahaman tentang keadaan subjek kepada pelaku diskriminasi dan menyelesaikan dengan jalur hukum.

“…tapi ibu saya selalu memberikan pengertian. Biasanya ibu saya memanggil teman-teman saya bari dikasi pemahaman.”

“... di lingkungan keluarga saya di masa saya tidak berdaya di masa kecil ketika orang-orang mungkin belum ya memperhitungkan saya dalam kapasitas saya sebagai Rully masa kecil. Namun di situ yang paling berperan sepertinya adalah ibu saya.”

“Sampai saya sempat berurusan dengan Pak Amrula Azrul di kantor polisi Surabaya”.

Tidak jauh berbeda dengan masa kecilnya, subjek II juga mengamalami diskriminasi saat dewasa. Diskriminasi yang dialami subjek meliputi diskiminasi verbal, kekerasan fisik dan pengucilan dari keluarga. Diskriminasi verbal yang dialami oleh subjek II adalah diremehkan oleh murid- muridnya saat menjadi guru dan saat subjek II hidup di jalanan sebagai pengamen.

“Saya merasa sekali betapa apa namanya banyak sekali orang seperti yang meremehkan dan terasa ada sampai murid-murid saya seperti mengejek jadi eee dan saya begitu tidak betah.”

“Kalau pengalaman-pengalaman kekerasan secara verbal saya kira cukup banya saya alami terutama sekali di masa-masa ketika saya hidup di jalan.”

(63)

“Saya pernah dipukul sampai berdarah di Stasiun Lempuyangan.”

“Waktu di Surabaya, kita ada perkelahian massal dengan kelompok agamis.”

Sedikit berbeda dengan pengalaman diskriminasi yang dialami oleh subjek saat masih kecil, saat dewasa, selain diskriminasi verbal dan kekerasa fisik, subjek II juga mengalami pengucilan dari keluarga. Keluarga subjek merasa enggan jika subjek datang berkunjung.

“Belum lagi dari keluarga saya sendiri… hingga saat ini boleh dikatakan hubungan tidak baik dengan saya. Karena mereka enggan didatangi oleh saya.”

Coping yang dilakukan oleh subjek II saat dewasa pun juga sedikit berbeda dengan yang dilakukan oleh subjek saat masih kecil. Subjek II tidak pernah menggunakan emosi dalam melakukan coping terhadap diskriminasi yang didapatkannya. Subjek II selalu berusaha menerima (acceptance) dengan berusaha menyesuaikan diri dengan lingkungannya.

“Saya memang tidak menggunakan kekerasan atau emosi dalam menanggapi diskriminasi.”

“…membutuhkan penyesuaian secara khusus sekali. Jadi butuh kemampuan kita secara integral untuk bisa menyesuaikan diri dengan kondisi dimana kita eee berada pada saat itu.”

(64)

“Saya berdoa mudah-mudahan suatu ketika mereka bisa menyadari bahwa apa yang ada pada diri saya itu bukan sesuatu yang saya buat-buat.”

“Saya berharap agar masyarakat mau menerima keberadaan waria, saya juga melakukan sesuatu agar pengharapan saya itu terwujud ya dengan memberikan pemahaman tentag dunia waria.”

Active coping yang dilakukan oleh subjek II adalah berusaha

memberikan pemahaman kepada masyarakat tentang dunia waria. Misalnya dengan melakukan kampanye, diskusi publik, talk show dan seminar. Pemahaman yang diberikan oleh subjek kepada masyakarat mengenai dunia waria, secara tidak langsung merupakan wujud dari pengharapan subjek II agar masyarakat bisa mengenal lebih mengenai dunia waria, sehingga masyarakat bisa menerima keberadaan waria dan diskriminasi terhdap kaum waria bisa berkurang.

“Saya selalu memberikan pemahaman dan saya tidak pernah mengucapkan sesuatu yang membuat orang-orang itu menjadi membalas atau malah tersakiti kembali.”

“Yang saya lakukan dengan kampanye-kampanye, dengan berperan aktif mengikuti kegiatan diskusi public, talk show, seminar-seminar. Itu dalam rangka memberikan pemahaman kepada masyarakat tentang dunia waria.”

“Jadi, pemahamannya pun saya melakukan sesuatu, dengan terlibat aktif seperti itu kan secara tidak langsung memberikan pemahaman kepada masyarakat tentang dunia waria yang mungkin bisa mengurangi diskriminasi.”

(65)

dilakukan oleh subjek. Ibu subjek yang selalu berpesan agar subjek jangan menggunakan emosi dalam menghadapi masalah, memb uat subjek lebih bisa melihat segala sesuatu dengan sabar dan tidak menggunakan emosi.

“Saya selalu diajarkan oleh ibu saya untuk selalu apa namanya ya low profile. selalu melihat sesuatu dengan proporsional dan tidak perlu melibatkan emosi.”

c. Mbak Tika

Subjek III mengalami diskriminasi, baik saat masih kecil maupun saat dewasa. Ada perbedaan bentuk diskriminasi yang dialami oleh subjek III. Saat masih kecil, subjek III mengalami diskriminasi verbal, pengucilan dan perlakuan yang berbeda dari ayahnya. Diskriminasi verbal yang dialami oleh subjek berupa ejekan dari teman dan saudara kandungnya (kakak).

“Kadang saya diejek sama mereka “Banci, Tiko ki banci, Tiko ki banci.”

Bahkan diejek “sentul sari rupane koyo gendul.”

“Jadi 4 orang itu (kakak) ngejek saya karena saya dari kecil genit sekali..”

…teman-teman sejak kecil ngejek saya “banci banci banci”

Pengucilan yang dirasakan oleh subjek III adalah berasal dari keluarganya sendiri. Pengucilan dari keluarganya tersebut dirasakan oleh subjek karena saat masih kecil, subjek tidak tinggal bersama kedua orang tuanya, tetapi bersama tantenya.

(66)

Diskriminasi lain yang dialami oleh subjek adalah perlakuan yang berbeda dari ayah subjek dimana ayah subjek sering mengambil uang tabungan milik subjek dan menyuruh subjek untuk membantu ibunya di dapur.

“Tanpa sepengetahuan saya, bapak saya tuh kadang ngambil uang tabungan saya.”

“Kalau ibu saya kerepotan, yang dipanggil cuma saya sama bapak saya.”

Salah satu coping yang dilakukan oleh subjek III dalam menghadapi diskriminasi di masa kecilnya, terutama perlakuan yang berbeda dari ayahnya adalah mencoba mengambil sisi positif dari pengalaman diskriminasi tersebut.

“…salah satu kelebihan yang saya bisa saya ambil. Saya jadi bisa masak, jadi seneng di dapur.”

Selain coping yang dilakukan oleh subjek III tersebut, ada figur support yang berperan dengan kaitannya dalam pengalaman diskriminasi subjek, yaitu tante dan nenek subjek. Tante dan nenek subjek tersebut berperan sebagai figur pelindung bagi subjek, dimana mereka senantiasa membela subjek saat subjek mengalami perlakuan diskriminasi, terutama diskriminasi verbal dari peer group.

“Kadang saya nangis terus pulang. Nanti embah saya yang marahin, seperti itu. Saya masih ada perlindungan walaupun bukan dengan ibu saya.”

(67)

Sementara itu, pengalaman diskriminasi yang dialami oleh subjek III saat dewasa sedikit berbeda dengan masa kecilnya. Saat dewasa, subjek III mengalami diskriminasi verbal dan diskriminasi pekerjaan. Diskriminasi verbal yang dialami oleh subjek adalah berupa ejekan dari masyarakat jika subjek sedang berada di jalan dan ancaman dari kakak subjek yang awalnya belum bisa menerima keadaan subjek sebagai waria.

“Pertama kali kakak saya yang paling besar yang tidak bisa menerima keberadaan saya yang seperti ini dan sempat mengancam “awas kalau kamu pulang lagi dengan keadaan dandan, kamu tak pukulin.”

“Ya “banci banci”. Dengan kata -kata “mut mut, sedot sedot seperti itu”. Kata -kata melecehkan.”

Bentuk diskriminasi lain yang dialami oleh subjek adalah diskriminasi pekerjaan, dimana subjek sering ditolak saat melamar pekerjaan karena statusnya sebagai waria.

“Eee kalau diskriminasi yang dulu sering saya rasakan itu diskriminasi pekerjaan… maaf kita nggak nerima tenaga kerja waria.”

(68)

“Tapi Alhamdulilah dengan kejujuran ibu saya “ya sudah itu sudah menjai pilihan hidup dia, ya sudah mau gimana lagi”

“Ibu saya pernah bilang “kamu jangan marah kalau dikatain banci karena kamu memang banci. Itu kan yang kamu pilih, jalan ini kan yang kamu pilih. Ya mungkin mereka ketawain kamu karena maklumlah laki-laki dandan mungkin bagi mereka lucu. Kamu jangan marah. Kalau kamu memang banci dikatain banci banci, jangan marah. Kalau kamu banci, diketawain jangan marah juga. Biarkan saja.”

Setidaknya terdapat 4 bentuk coping yang dilakukan oleh subjek dalam menghadapi diskriminasi yang dialami oleh subjek. Pertama, subjek III merasa harus memiliki kelebihan dan harus menunjukkan kemampuannya kepada masyarakat agar dapat menunjukkan bahwa dirinya mempunyai sisi yang lebih. Sisi yang lebih tersebut ditunjukkan oleh subjek dengan keterampilan-keterampilan yang dimiliki oleh subjek, misalnya keterampilan-keterampilan di dalam dunia kecantikan dan fashion.

Ya sudah, meskipun saya waria, initnya harus berprestasi.” “Saya harus bisa kemampuan-kemampuan saya meskipun saya waria, akan saya perlihatkan kepada mereka.”

“Meskipun saya waria, saya bisa menjahit. Saya bekerja di modiste dan hasilnya saya berikan pada ibu saya. Akhirnya mereka mau menerima keberadaan saya.”

Oke meskipun saya seorang waria ya saya harus memiliki sisi yang lain, sesuatu yang lebih, yang belum tentu orang-orang heteroseksual memilikinya, salah satunya keterampilan.”

(69)

….saya kebetulan kalau dengan tetangga-tetangga enteng tenagane.”

Jadi, eee tetangga-tetangga saya pun akhirnya bisa menerima.”

Coping yang lain adalah subjek berusaha selalu berpegang pada norma yang ada, dimana subjek tidak ingin terpengaruh dengan hal- hal yang negatif.

“…saya waria, jangan sampai saya terus kepengaruh teman-teman yang negatif.”

Karena seringnya mendapat perlakuan diskriminasi, saat ini subjek sudah bisa menerima (acceptante) perlakuan diskriminasi dan sudah tidak menganggap itu sebaga i bentuk diskriminasi lagi. Sikap menerima yang ditunjukkan oleh subjek tersebut juga merupakan bentuk pengakuan subjek terhadap statusnya sebagai waria.

“Saking seringnya, itu bukan saya anggap diskriminasi karena seringnya lho. Itu menjadi makanan tiap hari. Udah kebal.”

“Nggak pernah marah saya dikatain banci banci karena memang saya banci.”

d. Mbak Bella

Subjek IV mengalami diskriminasi, baik saat masih kecil maupun saat dewasa. Ada perbedaan bentuk diskriminasi yang dialami oleh subjek IV saat masih kecil dan saat subjek IV dewasa. Saat masih kecil, subjek IV mengalami diskriminasi verbal dan kekerasan fisik. Diskriminasi verbal yang dialami oleh subjek IV berupa ejekan dan makian dari peer group.

(70)

“Pas kecil itu aku sering diejek-ejek banci banci sama teman-temanku di sekolah ya di rumah”

“Aku dimarahi habis-habisan sama kakakku…”

“Banyak teman-temanku yang suka ngejek aku banci banci gitu.”

Sementara itu, kekerasan fisik yang dialami oleh subjek adalah hampir dipukul oleh kakaknya karena tidak bisa menerima keadaannya sebagai waria.

“…sama kakakku, hampir dipukul juga.”

Ada 2 bentuk coping yang dilakukan oleh subjek IV. Pertama adalah katarsis, yaitu dengan menangis saat diejek oleh teman-temannya.

“Tapi aku pas itu cuma bisa nangis terus pulang ke rumah.” “Tapi aku cuma diem aja. Paling aku pulang terus nangis.”

Kedua adalah menerima (acceptance) perlakuan diskriminasi yang ditujukan kepadanya dengan mencoba lebih sabar.

“Dari situ aku belajar untuk lebih sabar.”

Figur support yang berperan dalam kaitannya dengan pengalaman diskriminasi pada subjek IV saat masih kecil adalah ibu, dimana ibu subjek berperan sebagai penghibur dan pemberi nasehat. Ibu subjek senantiasa menghibur subjek saat subjek mengadu mendapat perlakuan diskriminasi.

(71)

“Aku sering ngadu sama ibuku gitu. Ibuku selalu berusaha menghiburku dan meyakinkan akau kalau aku harus bisa membiarkan mereka.”

Ibu subjek juga memberi nasehat kepada subjek agar tidak menanggapi dan menganggap bahwa orang-orang yang mendiskriminasikan subjek hanya bercanda.

“Ibuku selalu bilang “diemin aja mereka. Jangan dibales yo. Mereka ki ming guyon”.

Sedikit berbeda dengan pengalaman diskriminasi saat subjek masih kecil, bentuk diskriminasi yang dialami subjek IV pada saat dewasa adalah diskriminasi verbal dan diskriminasi pekerjaan. Diskriminasi verbal yang dialami subjek berupa ejekan dari masyarakat dan makian oleh kakak.

“.Aku dimarahin terus sama kakak ku.”

“Pas ngamen itu ya kadang diejek banci banci.”

“Misalnya kalau pas di jalan gitu, ntar ada orang terus dia teriak banci banci.”

Diskriminasi lain yang dialami oleh subjek IV adalah diskriminasi pekerjaan dimana subjek IV pernah tidak diterima bekerja karena statusnya sebagai waria.

“Aku pernah nggak diterima kerja di sebuah salon karena statusku yang waria ini.”

(72)

nasehat kepada subjek agar subjek tetap berpegang pada norma dan agar subjek bersabar dalam menghadapi para pelaku diskriminasi.

Kalau ibuku sih nggak masalah asalkan aku tidak berbuat aneh-aneh, tetap di jalan yang benar. Maksudnya ya tetap punya sopan santun, jangan nyuri dan lain-lain lah.”

“…yang diajarkan sama ibuku selama ini tidak lain adalah aku harus belajar sabar menghadapi teman-temanku.”

Adik subjek juga memiliki peran dalam kaitannya dengan pengalaman diskriminasi, yaitu berperan sebagai pemberi dukungan dan penerimaan. Adik subjek memberikan dukungan kepada subjek dalam bentuk penerimaan terhadap status subjek sebagai waria.

“Adikku yang selalu memberikan aku support walaupun dengan hal-hal yang sepele. Dia tidak pernah protes dengan jalan yang aku pilih.”

Coping yang dilakukan oleh subjek untuk mengatasi pengalaman diskriminasi pada masa dewasa pun berbeda dengan coping yang dilakukan oleh subjek saat masih kecil. Pertama, subjek berusaha menerima (acceptance) perlakuan diskriminasi yang ditujukan kepadanya dengan bersikap acuh dan berusaha lebih sabar. Hal ini mungkin disebabkan adanya pengaruh dari figur support, dimana subjek selalu diajarkan untuk selalu bersabar dalam menghadapi diskriminasi.

“…aku diemin aja perilaku-perilaku orang-orang yang tidak mengenakkan itu.”

“Jadi sekarang aku sih kalau diejek atau diapa-apain ya membiarkan aja.”

(73)

Subjek selalu berusaha tetap berpegang pada norma yang ada, dengan tidak melakukan tindakan-tindakan kriminal.

“Aku memang waria tapi yang penting aku tetap di jalan yang benar. Aku tidak melakukan tindakan-tindakan kriminal.”

Coping lain yang dilakukan subjek adalah berusaha agar mempunyai dan menunjukkan kemampuan yang dimiliki. Sebagai waria, subjek ingin melakukan sesuatu agar bisa memberikan yang terbaik bagi masyarakat, khususnya keluarga, yaitu ibu. Subjek ingin membuktikannya dengan menjalani hidupnya dengan sebaik-baiknya dan menunjukkan kelebihannya, ya itu dengan memiliki keterampilan yang lain agar masyarakat dapat mengakuinya.

“Aku harus melakukan sesuatu, aku nggak boleh diam saja, aku harus membuktikan sama keluargaku kalau aku bisa.”

“Aku menjalani hidupku dengan sebaik -baiknya.”

“Aku harus memberikan yang terbaik untuk orang khususnya untuk keluargaku.”

“Aku harus membuat ibuku bangga.”

“Aku pun harus menunjukkan bahwa aku pun bisa.”

“Walaupun aku waria, aku ya harus bisa mempunyai keterampilan yang lebih.”

“Aku mencoba memberikan pemahaman kepada masyarakat bahwa waria pun punya sisi yang lebih”

“Makanya aku pun juga harus menunjukkan kemampuanku.” “Aku punya kemampuan yang harus kau tunjukkan dan masyarakat pun hendaknya bisa mengakuinya.”

“Aku berusaha menjalani kehidupanku sebaik -baiknya, menjadi orang yang berguna, khususnya untuk keluargaku.”

(74)

e. Mbak Angel

Subjek V mengalami diskriminasi, baik saat masih kecil maupun saat dewasa. Subjek V memiliki kesamaan bentuk diskriminasi saat masih kecil maupun dewasa, yaitu hanya mengalami diskriminasi verbal saja. Diskriminasi verbal yang dialami oleh subjek saat masih kecil berupa ejekan dari peer group, yaitu dari teman-temannya.

“Kadang teman-temanku di sekolah sama di rumah itu suka nriakin aku banci banci gitu.”

Nanti teman yang laki tuh pada ngatain aku banci bencong gitu.

Coping yang dilakukan oleh subjek adalah menerima (acceptance) dengan bersikap acuh dan berusaha untuk bersabar menghadapi pengalaman diskriminasi yang dialami.

“Tapi aku masih cuek karena aku masih belum bisa mikir jauh gitu.”

“Aku cuma diam aja dan berusaha nggak marah kalau dikatain sama teman-temanku.”

“Aku harus sabar juga.”

Mencari support juga dilakukan oleh subjek, yaitu dengan mengadu / bercerita kepada ibu subjek.

“Nanti kalau di rumah aku certain ke ibuku…”

(75)

“Ibuku cuma bilang kalau aku nggak boleh marah gitu. ntar kalau marah, Allah nggak suka.”

Sama halnya dengan saat subjek masih kecil, subjek juga mengalami pengalaman diskriminasi verbal saat dewasa, yaitu berupa ejekan dari peer group.

Aku ya diejekin gitu waktu di jalan. Aku dipanggil banci bencong gitu.”

“Aku waktu itu jalan kaki pas itu aku lewat di depan segerombolan anak -anak muda terus mereka manggil aku banci banci.”

Figur support yang berperan adalah ibu, yaitu sebagai pemberi nasehat dimana ibu subjek memberikan nasehat kepada subjek agar subjek bertanggung jawab dengan keputusan yang diambil dan sabar dalam menghadapi diskriminasi.

“Ibuku hanya memberi pesan bahwa aku harus tetap bertanggung jawab dengan keputusan yang aku ambil ini, dengan jalan yang aku pilih sebagai waria ini.”

“Ibuku selalu memberi nasehat agar aku sabar jika ada yang mengejek keadaannku seperti ini.”

Terdapat 2 bentuk coping yang dilakukan oleh subjek, yaitu acceptance dan konsekuen. Sikap menerima (acceptance) dalam

Gambar

Tabel 1
Tabel 2 Cross Check Data
Tabel 3
figur yang lucu.

Referensi

Dokumen terkait

Posisi terakhir dilihat dari skor AG yaitu dimensi Information Control (Kualiats dan Akses Informasi) dengan skor 2,3 hal ini berarti kepuasan pemustaka tentang

Terlepas dari sumbangannya dalam mengakhiri kekerasan September 1999, negara-negara besar anggota masyarakat internasional ikut mengemban tanggungjawab atas kejahatan yang

Arah kebijakan dan strategi Pengadilan Tinggi Agama Surabaya Tahun 2015-2019 mengacu pada Cetak Biru Pembaruan Peradilan 2010- 2035 yang dapat disimpulkan dalam

Kinerja Sasaran Strategi 2.1 Meningkatka n penyediaan sarana dan prasarana dasar dengan kapasitas dan kualitas yang setara dengan standar dunia Berkembangnya

1) Kebutuhan dasar yang seperti makan, minum, pakain dan tempat tinggal. 2) Kebutuhan sosial seperti komunikasi, kebersamaan, dan perhatian. 3) Kebutuhan individu

Translasi Ribosom membentuk polipeptida Codons tRNA molecules mRNA Growing polypeptide Large subunit Small subunit mRNA mRNA binding site P site A site P A Growing polypeptide

Penekanan OFF pada layar HMI ( Humman machine interface ) dibagian silo 1 untuk menghentikan sistem (Sistem akan berhenti secara otomatis ketika material

3 Penjelasan Umum Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Anak.. hukum yang dilakukan oleh masyarakat baik secara kualitas maupun kuantitasnya yang