KAJIAN PROFIL PERESEPAN
PASIEN ASMA BRONKIAL DI INSTALASI RAWAT INAP RUMAH SAKIT UMUM DAERAH BANGLI-BALI TAHUN 2005
SKRIPSI
Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Farmasi (S.Farm)
Program Studi Ilmu Farmasi
Oleh :
SIMON ANDI WIBOWO NIM : 03 8114 011
FAKULTAS FARMASI UNIVERSITAS SANATA DHARMA
KAJIAN PROFIL PERESEPAN
PASIEN ASMA BRONKIAL DI INSTALASI RAWAT INAP RUMAH SAKIT UMUM DAERAH BANGLI-BALI TAHUN 2005
SKRIPSI
Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Farmasi (S.Farm)
Program Studi Ilmu Farmasi
Oleh :
SIMON ANDI WIBOWO NIM : 03 8114 011
FAKULTAS FARMASI UNIVERSITAS SANATA DHARMA
YOGYAKARTA 2007
Karya sederhana ini kupersembahkan untuk :
1. Allah Bapa yang pengasih lagi penyayang
2. Bapak dan Ibu yang selalu mencintai dan mendukungku
3. Adik-adikku yang selalu kucintai
4. Keluarga besar Siswodiharjo
PRAKATA
Puji syukur kepada Tuhan Yang Maha Belas Kasih dan Bijaksana yang
selalu membimbing diri tak mampu ini dalam menyelesaikan penulisan Skripsi
ini. Skripsi yang berjudul Kajian Penatalaksanaan Resep Pasien Asma Bronkial
Di Instalasi Rawat Inap Rumah Sakit Umum Daerah Bangli-Bali tahun 2005 ini
disusun untuk memenuhi salah satu syarat kelulusan dari Fakultas Farmasi
Universitas Sanata Dharma. Penulis menyadari bahwa skripsi ini tidak akan
selesai tanpa bantuan dari berbagai pihak, maka pada kesempatan ini penulis
mengucapkan terimakasih kepada :
1. Rita Suhadi,Msi.,Apt selaku Dekan Fakultas Farmasi dan Dosen
penguji.
2. Ibu
3. selaku Dosen pembimbing dan penguji.
4. Aris Widayati., Msi.,Apt selaku Dosen Penguji.
5. Bapak dan Ibu yang selalu mencintai dan menyayangiku.
6. Adikku Veronika Aventa Dewi dan Teresia Dian Triutami yang selalu
memperhatikanku.
7. Teman-teman Fransiskus De Sales yang selalu menyemangatiku dalam
doa.
8. Teman-teman angkatan 2003 yang selalu membantuku dalam situasi
INTISARI
Asma bronkial memiliki angka kejadian bervariasi diberbagai negara, tetapi terjadi kecenderungan bahwa penyakit ini meningkat jumlahnya, meskipun obat-obat asma telah banyak dikembangkan. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pola penghobatan penyakit asma bronkial pada pasien di rawat inap Rumah Sakit Umum Daerah Bangli-Bali tahun 2005
Penelitian ini termasuk penelitian deskriptif non ekperimental (observasional) yang dilakukan dengan metode retrospektif. Data yang digunakan adalah catatan rekam medik Pasien Asma Bronkial di Instalasi Rawat Inap Rumah Sakit Umum Daerah Bangli-Bali tahun 2005.
Hasil penelitian menunjukan bahwa pada tahun 2005 terjadi 18 kasus asma bronkial. Distribusi umur pasien dibagi menjadi 4 kelompok umur, yaitu balita (0 sampai 5 tahun) sebesar 33,3%, anak-anak (5<n≤12 tahun) sebesar 5,6%, dewasa (12<n≤65 tahun) sebesar 38,9% dan lanjut usia (di atas 65 tahun) sebesar 22,2%. pasien dengan janis kelamin laki-laki sebesar 66,7% dan perempuan sebesar 33,3%. variasi jumlah obat yang diberikan 4-10 obat. Golongan obat yang diberikan untuk terapi antara lain bronkodilator 22,7%, mukolitik 12,8%, kortikosteroid 13,5%, penganti cairan tubuh 11,5%, mikroba 14,9%, hipoksemia 8,8%, histamin 6,8%, analgesik 4,1%, diabetik 0,7%, anti-epilepsi 0,7%, anti-hipertensi 0,7%, anti-angina 0,7%, anti-koagulan 0,7% dan vitamin 0,7%. Cara pemberian obat yang digunakan antara lain secara oral 55,4%, parenteral 25% dan inhalasi 19,6%.
ABSTRACT
Bronchial asthma was happened different cases in every country, although asthma drug was developed, the cases of bronchial asthma is increase . The study was aimed to observe the pattern of therapy bronchial asthma patients in take care installation of Bangli hospital Regency in the year 2005.
The research was non experimental (obsevational) research which conducted by retrospektif method. The data were obtained from medical record of Bangli hospital regency in the year 2005.
There were 18 cases of bronchiale asthma in 2005. the groups werw divided to four groups, based on the age., the first group was babe (0 ≤ 5 year) at 33.3%, childern (5<n≤12 year) at 5.6%, adulf (12<n≤65 year) sebesar 38.9% and geriatric (> 65 year) at 22.2%. according to the sex, the group was divided to male 66.7% and female 33.3%. Variation number of drug given to the patient were 4 to10. the medicine type that used for therapy are bronchodilator 22.7%, mucolitik 12.8%, corticosteroid 13.5%, human calorie exchange 11.5%, Antibiotic 14.9%, Antihipoksemia 8.8%, Analgesic 4.1%, Antihistamine 6.8%, Antidiabetic 0.7%, Antiserotonine 0.7%, Antiepilepsy 0.7%, Antihypertension 0.7%, Antitonsillitis 0.7%, Anti-koagulan 0.7% dan Vitamine 0.7%. the way to give the medicine to the patient were orally 55.4%, parenterally 25% and 19.6% were inhalations.
DAFTAR ISI
Hal
HALAMAN JUDUL ... i
HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ... ii
HALAMAN PENGESAHAN ... iii
HALAMAN PERSEMBAHAN ... v
LEMBAR PERNYATAAN PERSETUJUAN ... vi
PRAKATA ... vii
HALAMAN PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ... ix
INTISARI ... x
ABSRACT... xi
DAFTAR ISI... xii
DAFTAR TABEL... xv
DAFTAR GAMBAR ... xviii
DAFTAR LAMPIRAN ... xix
BAB I PENDAHULUAN ... 1
A. Latar Belakang ... 1
1. Rumusan masalah ... 3
2. Keaslian Penelitian... 4
B. Tujuan Penelitian ... 5
1. Tujuan Umum ... 5
C. Manfaat Penelitian ... 6
BAB II PENELAAHAN PUSTAKA ... 7
A. Pegobatan Rasional ... 7
B. Drug Related Problem (DRPs)... 9
C. Anatomi Saluran Nafas Manusia ... 16
D. Asma Bronkial ... 23
E. Keterangan Empiris ... 32
BAB III METODOLOGI PENELITIAN ... 33
A. Jenis dan Rancangan Penelitian ... 33
B. Definisi Operasional ... 33
C. Bahan Penelitian ... 35
D. Lokasi Penelitian... 36
E. Jalannya Penelitian... 36
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN PENELITIAN ... 38
A. Karakteristik Pasien ... 39
1. Jenis Kelamin... 39
2. Umur ... 40
3. Diagnosis... 42
B. Gambaran Umum Peresepan... 43
1. Jumlah Jenis Obat ... 43
2. Golongan Obat ... 45
3. Jenis Obat... 47
b. Pengganti Kalori Tubuh ... 48
c. Mukolitik... 49
d. Kortikosteroid ... 50
e. Anti-mikroba... 51
f. Anti-histamin ... 51
g. Anti-piretik... 53
h. Anti-hipoksemia... 53
i. Obat Saluran Pencernaan ... 54
j. Obat-obat Pendukung lainnya... 55
4. Cara Pemberian ... 55
C. Kesesuaian Dosis dan ... 57
1. Ketidaksesuaian Dosis ... 57
D. Interaksi Obat... 60
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ... 64
DAFTAR PUSTAKA ... 66
LAMPIRAN... 68
DAFTAR TABEL
Hal
Tabel I Distribusi pasien asma bronkial berdasarkan jenis
kelamin di Instalasi Rawat Inap Rumah Sakit Umum
Daerah Bangli-Bali tahun 2005 ... 40
Tabel II Distribusi pasien asma bronkial berdasarkan Umur di
Instalasi Rawat Inap Rumah Sakit Umum Daerah
Bangli-Bali tahun 2005 ... 41
Tabel III Distribusi pasien asma bronkial berdasarkan Diagnosis
awal dan akhir di Instalasi Rawat Inap Rumah Sakit
Umum Daerah Bangli-Bali tahun 2005 ... 42
Tabel IV Jumlah jenis obat yang diberikan pada pasien asma
bronkial di Instalasi Rawat Inap Rumah Sakit Umum
Daerah Bangli-Bali tahun 2005 ... 43
Tabel V Distribusi golongan obat yang diberikan pada pasien
asma bronkial di Instalasi Rawat Inap Rumah Sakit
Umum Daerah Bangli-Bali tahun 2005 ... 45
Tabel VI Distribusi golongan obat bronkodilator yang diberikan
pada pasien asma bronkial di Instalasi Rawat Inap
Tabel VII Distribusi pemberian cairan elektrolit pada pasien asma
bronkial di Instalasi Rawat Inap Rumah Sakit Umum
Daerah Bangli-Bali tahun 2005 ... 49
Tabel VIII Distribusi golongan obat mukolitik yang diberikan
pada pasien asma bronkial di Instalasi Rawat Inap
Rumah Sakit Umum Daerah Bangli-Bali tahun 2005... 49
Tabel IX Distribusi golongan obat kortikosteroid yang diberikan
pada pasien asma bronkial di Instalasi Rawat Inap
Rumah Sakit Umum Daerah Bangli-Bali tahun 2005... 50
Tabel X Distribusi golongan obat anti-mikroba yang diberikan
pada pasien asma bronkial di Instalasi Rawat Inap
Rumah Sakit Umum Daerah Bangli-Bali tahun 2005... 51
Tabel XI Distribusi golongan obat anti-histamin yang diberikan
pada pasien asma bronkial di Instalasi Rawat Inap
Rumah Sakit Umum Daerah Bangli-Bali tahun 2005... 52
Tabel XII Distribusi golongan obat analgesik anti-piretik yang
diberikan pada pasien asma bronkial di Instalasi Rawat
Inap Rumah Sakit Umum Daerah Bangli-Bali tahun
2005... 53
Tabel XIII Distribusi penggunaan oksigen pada pasien asma
bronkial di Instalasi Rawat Inap Rumah Sakit Umum
Tabel XIV Distribusi penggunaan obat saluran pencernaan pada
pasien asma bronkial di Instalasi Rawat Inap Rumah
Sakit Umum Daerah Bangli-Bali tahun 2005 ... 55
Tabel XV Distribusi cara pemberian obat pada pasien asma
bronkial di Instalasi Rawat Inap Rumah Sakit Umum
Daerah Bangli-Bali tahun 2005 ... 56
Tabel XVI Distribusi kesesuaian dosis pada pasien asma bronkial
di Instalasi Rawat Inap Rumah Sakit Umum Daerah
Bangli-Bali tahun 2005 dengan standar IONI ... 58
Tabel XVII Distribusi kesesuaian dosis pada pasien asma bronkial
di Instalasi Rawat Inap Rumah Sakit Umum Daerah
Bangli-Bali tahun 2005 dengan standar PDH ... 59
Tabel XVIII Distribusi kesesuaian dosis pada pasien asma bronkial
di Instalasi Rawat Inap Rumah Sakit Umum Daerah
DAFTAR GAMBAR
Hal
Gambar 1 Sistem pernafasan pada manusia... 16
Gambar 2 Siklus Asma ... 23
DAFTAR LAMPIRAN
Hal
Lampiran 1 Data penelitian kajian penatalaksanaan resep pasien
asma bronkial di Instalasi Rawat Inap Rumah Sakit
Umum Daerah Bangli-Bali pada tahun 2005... 69
Lampiran 2 Nama generik, Golongan Obat dan Lama Pemberian
Obat Asma Bronkial Pada Pasien Asma Bronkial di
Instalasi Rawat Inap Rumah Sakit Umum Daerah
Bangli-Bali tahun 2005 ... 74
Lampiran 3 Interaksi yang mungkin terjadi dalam resep yang
diberikan ... 79
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Asma bronkial merupakan suatu penyakit yang ditandai dengan
hiperreaktivitas respon trakea dan bronkus terhadap berbagai rangsangan.
Manifestasi dari penyakit ini berupa penyempitan jalan nafas yang luas dan
derajatnya dapat berubah-ubah baik secara spontan maupun hasil dari pengobatan.
Asma dapat terjadi pada siapa saja, tua-muda, laki-laki ataupun perempuan
memiliki potensi yang sama. Angka kejadian asma bervariasi diberbagai negara,
diperkirakan 100 hingga 150 juta penduduk dunia merupakan penderita asma dan
jumlah ini terus bertambah sebanyak 180.000 jiwa setiap tahunnya. Di Indonesia
berdasarkan data yang dikeluarkan oleh Departemen Kesehatan pada tahun 2001
diperkirakan penderita asma mancapai 10 juta jiwa atau 5% dari penduduk
Indonesia. Survei yang dilakukan dibeberapa kota di Indonesia diantaranya
Medan, Palembang, Jakarta, Bandung, Semarang, Yogyakarta, Malang dan
Denpasar menunjukan prevalensi (kajian per 100 ribu) asma pada anak usia 6-12
tahun mencapai 10% atau dengan kata lain jika ada 10 orang anak maka satu
diantaranya merupakan penderita asma.
Penanganan yang diberikan pada penderita asma bronkial, baik yang
berupa penanganan farmakologi ataupun non-farmakologi cenderung bertujuan
hanya untuk mencegah, mengurangi dan mengontrol gejala asma saja.
diperlukan pemantauan serta proses evaluasi pengobatan yang tepat, karena proses
pengobatan cenderung berlangsung dalam periode yang sangat lama.
Penelitian mengenai kajian profil peresepan pasien asma bronkial ini
dilaksanakan di Kabupaten Bangli Provinsi Bali. Pemilihan lokasi penelitian
didasarkan pada letak geografis dari Kabupaten Bangli, di mana Kabupaten
Bangli sebagian besar wilayahnya merupakan dataran tinggi (100-2152 meter di
atas permukaan laut). Suhu udara di tempat ini tergolong dingin dengan curah
hujan yang relatif tinggi terutama pada bulan Februari, Januari dan Desember
sehingga berpotensi untuk memicu serangan asma.
Pemilihan Rumah Sakit Umum Daerah Bangli Bali sebagai tempat
penelitian dikarenakan, Rumah Sakit ini sudah masuk ke dalam Rumah Sakit tipe
C plus sehingga diharapkan Rumah Sakit Umum Bangli mampu memberikan
masukan yang baik pada perkembangan penanganan pasien asma bronkial.
Pemilihan pasien rawat inap sebagai subyek penelitian, diharapkan dapat
memberikan informasi yang lengkap mengenai penatalaksanaan pasien asma
bronkial di Kabupaten Bangli sehingga dapat memberikan evaluasi dan kajian
yang bermanfaat untuk meningkatkan pelayanan kefarmasian di Kabupaten
Bangli.
Pelayanan farmasi yang berorientasi pada pasien, menjamin pasien untuk
mendapat obat yang rasional ditingkatkan dalam seluruh proses terapi. Proses
terapi tersebut meliputi penegakan diagnosis, pemilihan kelas terapi dan jenis
obat, penentuan dosis, cara pemberian obat kepada pasien dan evaluasi terapi
Evaluasi terapi oleh farmasis akan membantu pasien untuk memperoleh
pelayanan medis yang optimal, sehingga pasien terhindar dari Drug Related
Problems (DRPs). Drug Related Problems (DRPs) merupakan peristiwa tidak
diinginkan yang dialami oleh pasien yang melibatkan atau dicurigai melibatkan
terapi obat yang benar-benar atau berpotensi bertentangan dengan hasil yang
diinginkan. DRPs sering disebut juga Drug Therapy Problems atau
masalah-masalah yang berhubungan dengan obat (Cipolle,1998).
Farmasis sebagai tenaga kesehatan yang memiliki kompetensi dalam
bidang medicine berkewajiban untuk mendukung pelayanan pengobatan yang
dilakukan baik di rumah sakit maupun pengobatan yang dilakukan secara mandiri
oleh masyarakat. Berkaitan dengan penanganan asma bronkial yang
pengobatannya cenderung bersifat mencegah, mengurangi gejala dan berlangsung
dalam waktu yang relatif lama, maka peran farmasis sangat dibutuhkan dalam
menunjang proses pengobatan. Evaluasi dan pengkajian jalannya pengobatan juga
merupakan tugas dan kewenangan seorang farmasis.
1. Rumusan masalah
Berdasarkan uraian di atas, permasalahan yang akan diteliti akan terfokus
pada permasalahan-permasalahan berikut :
a. Bagaimanakah karakteristik pasien asma bronkial di Rumah Sakit Umum
Daerah Bangli-Bali tahun 2005 yang meliputi distribusi jenis kelamin dan
b. Bagaimana gambaran umum peresepan pasien asma bronkial di Instalasi
Rawat Inap Rumah Sakit Umum Daerah Bangli Bali tahun 2005 yang
meliputi jumlah jenis obat, golongan obat, jenis obat dan cara pemberian
yang diberikan?
c. Apakah ditemukan ketidaksesuaian dalam pemberian obat berdasarkan
standar Informatorium Obat Nasional Indonesia, Physicians Drug
Handbook dan Drug Information Handbook, yang mencakup dosis terlalu
rendah /dosis terlalu tinggi dan interaksi obat pada penatalaksanaan kasus
asma bronkial di Instalasi Rawat Inap Rumah Sakit Umum Daerah
Bangli-Bali tahun 2005?
2. Keaslian Penelitian
Penelitian mengenai penatalaksanaan asma bronkial pada pasien di
Instalasi Rawat Inap sudah pernah dilaksanakan sebelumnya baik yang
dilaksanakan di rumah sakit umum pemerintah maupun swasta, sebagai contoh
penelitian yang dilakukan oleh Chinthia Sani Yusriana yang berjudul Pengobatan
Penyakit Asma Bronkial Pada Pasien Anak Rawat Inap di Rumah Sakit Panti
Rapih Yogyakarta Periode 1999-2001 dan Lusius Lio yang berjudul Kajian
Peresepan Pasien Dewasa Asma Bronkial Non-Komplikasi di Instalasi Rawat
Inap Rumah Sakit Panti Rapih Yogyakarta tahun 2000. penelitian ini diharapkan
dapat melengkapi penelitian-penelitian sebelumnya, sehingga dapat memberikan
masukan bagi perkembangan ilmu pengetahuan, terutama pada perkembangan
B. Tujuan Penelitian 1. Tujuan Umum
Tujuan umum penelitian ini adalah untuk mengetahui gambaran peresepan
pasien asma bronkial di Instalasi Rawat Inap Rumah Sakit Umum Daerah
Bangli-Bali tahun 2005.
2. Tujuan Khusus
Penelitian tentang pola peresepan pasien asma bronkial di Instalasi Rawat
Inap Rumah Sakit Umum Daerah Bangli-Bali secara khusus bertujuan untuk :
a. mengetahui gambaran kasus asma bronkial pada pasien dewasa di Instalasi
Rawat Inap Rumah Sakit Umum Daerah Bangli-Bali tahun 2005 yang
umur pasien dan jenis kelamin pasien.
b. mengetahui gambaran umum peresepan pasien asma bronkial di Instalasi
Rawat Inap Rumah Sakit Umum Daerah Bangli Bali tahun 2005 yang
meliputi jumlah jenis obat, golongan obat, jenis obat dan cara pemberian
yang diberikan.
c. mengetahui apakah ditemukan ketidaksesuaian dalam pemberian obat
berdasarkan standar Informatorium Obat Nasional Indonesia, Physicians
Drug Handbook dan Drug Information Handbook, yang mencakup dosis
terlalu rendah /dosis terlalu tinggi dan interaksi obat pada penatalaksanaan
kasus asma bronkial di Instalasi Rawat Inap Rumah Sakit Umum Daerah
C. Manfaat Penelitian
Berdasarkan tinjauan pola peresepan pasien asma bronkial, maka hasil
penelitian diharapkan dapat memberikan manfaat sebagai berikut:
1. manfaat teoritis
Hasil penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai salah satu acuan
penelitian tentang peresepan pasien asma bronkial.
2. manfaat praktis
Hasil penelitian ini dapat memberikan masukan bagi Rumah Sakit Umum
Daerah Bangli-Bali sebagai bahan pertimbangan dalam pengobatan khususnya
BAB II
PENELAAHAN PUSTAKA
A. Pengobatan Rasional
Pengobatan rasional didasarkan pada fakta atau data yang diperoleh
dengan cara anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan dengan instrumen
kedokteran. Dalam proses pengobatan, terkandung aspek keputusan ilmiah yang
didasari oleh pengetahuan dan keterampilan yang memadai untuk melakukan
proses pengobatan. Tujuan pengobatan untuk memberi manfaat maksimal dengan
resiko seminimal mungkin bagi pasien (Nasution dan Lubis, 1993).
Menurut badan kesehatan dunia (WHO) tahun 1987, pemakaian obat
dikatakan rasional jika memiliki kriteria: sesuai dengan indikasi penyakit, tersedia
setiap saat dengan harga yang terjangkau, diberikan dengan dosis yang tepat, lama
pemberian yang tepat dan obat yang diberikan harus efektif, dengan mutu yang
terjamin dan aman (Nasution dan Lubis, 1993).
Untuk memahami syarat-syarat di atas dapat dijelaskan beberapa hal
sebagai berikut :
1. Ketepatan diagnosis / indikasi
Penegakan diagnosis diperlukan dalam pengambilan keputusan pengobatan
yang akan diberikan kepada pasien. Penegakan diagnosis tersebut umumnya
didasarkan atas anamnesis dan hasil temuan selama pemeriksaan baik fisik,
laboratorium (jika memungkinkan) maupun pemeriksaan penunjang lainnya.
medis selanjutnya, akan tetapi tidak setiap upaya medik memerlukan intervensi
obat (farmakoterapi), untuk beberapa keadaan, anjuran atau nasehat
(non-farmakoterapi) akan jauh lebih baik dan bermanfaat, misalnya anjuran untuk
meningkatkan asupan dan nilai gizi bagi anak yang malnutrisis.
2. Ketepatan pemilihan obat
Ketepatan dalam pemilihan obat diharapkan dapat memenuhi efek klinik yang
maksimal. Hal-hal yang perlu diperhatikan mencakup kelas terapi, jenis obat,
kemanfaatan obat, keamanan obat (resiko efek samping), harga dan mutu obat.
Pengobatan diupayakan untuk memenuhi kriteria sebagai berikut :
a. telah terbukti secara ilmiah memberi manfaat yang maksimal dengan
resiko yang sekecil mungkin.
b. diantara beberapa alternatif yang ada hendaknya dipilih yang paling
terjangkau pasien dan memberi manfaat klinik yang setara.
c. mutu terjamin.
d. merupakan obat yang betul-betul dibutuhkan dan mudah didapat.
3. Ketepatan penilaian terhadap kondisi pasien
Mengingat respon tiap individu terhadap obat beragam, maka diperlukan
pertimbangan yang mencangkup kemungkinan adanya kontraindikasi, terjadinya
efek samping, serta adanya penyakit yang menyertai.
4. Ketepatan pemberian informasi
Kejelasan informasi tentang obat yang harus diminum atau digunakan pasien,
akan sangat mempengaruhi ketaatan pasien dan keberhasilan pengobatan.
hal yang mungkin terjadi sehubungan dengan cara pengunaannya, kemungkinan
kegagalan terapi jika pasien tidak taat meminum obat sangatlah besar.
5. Tindak lanjut
Upaya tindak lanjut pengobatan perlu mempertimbangkan efek klinik atau
respon apa yang diharapkan dari terapi yang diberikan, sehingga dalam
pemantauan terhadap pasien selama masa pengobatan dapat diperoleh kesimpulan
mengenai kesembuhan, berkurangnya gejala penyakit, perlu dirujuk atau tidak,
timbul efek samping dan sebagainya (Nasution dan Lubis, 1993).
B. Drug Related Problems (DRPs)
Drug related problems (DRPs) didefinisikan sebagai peristiwa tidak
diinginkan, yang melibatkan atau dicurigai melibatkan terapi obat yang
benar-benar atau berpotensi bertentangan dengan hasil yang diinginkan pasien. DRP
terdiri dari aktual DRP, yaitu masalah yang sedang terjadi berkaitan dengan terapi
yang sedang diberikan pada penderita dan potensial DRP, yaitu masalah yang
diperkirakan akan terjadi berkaitan dengan terapi yang sedang diberikan pada
pasien.(Cipolle,1998).
Masalah-masalah dalam kajian DRP dapat ditunjukkan oleh kemungkinan
penyebab DRP sebagai berikut :
1. Butuh obat (Need for additional drug therapy)
a. Pasien dengan kondisi yang membutuhkan kombinasi obat
b. Pasien kronis membutuhkan kelanjutan terapi obat
d. Pasien dengan kondisi yang beresiko dan membutuhkan obat untuk upaya
pencegahan.
2. Tidak perlu obat (unnecersary drug Therapy)
a. Pasien lebih baik disembuhkan dengan non drug terapi
b. Pasien mendapat obat dalam jumlah toksis
c. Kondisi pasien akibat drug abuse
d. Tidak ada indikasi pada saat itu
e. pemakaian multiple drug yang seharusnya cukup dengan single drug terapi
f. Pasien minum obat untuk mencegah efek samping obat lain yang
seharusnya dapat dihindarkan.
3. Obat tidak tepat (wrong drug)
a. Kondisi pasien yang menyebabkan obat bekerja tidak efektif (kurang
sesuai dengan indikasinya)
b. Pasien mempunyai alergi terhadap obat-obat tertentu
c. Obat yang diberikan memiliki faktor resiko kontraindikasi dengan obat
lain yang juga dibutuhkan
d. Efektif namun bukan yang paling aman
e. Penggunaan antibiotika yang sudah resisten terhadap infeksi pasien
f. Adanya kombinasi obat yang tidak perlu.
4. Dosis terlalu rendah (Dose too low)
a. Dosis yang digunakan terlalu rendah untuk memberikan respon
b. Konsentrasi obat di bawah therapeutic range
d. Pemberian obat terlalu awal
e. Dosis dan interval obat tidak cukup.
5. Dosis terlalu tinggi (Dose too high)
a. Dosis yang digunakan pasien terlalu tinggi untuk memberikan respon
b. Konsentrasi obat di atas therapeutic range
c. Dosis obat terlalu cepat dinaikkan
d. Akumulasi obat karena penyakit kronis
e. Obat, dosis, rute, atau, konversi formula obat tidak sesuai.
6. Efek samping (Adverse Drug reaction/ADR)
a. Dosis obat yang diberikan kepada pasien terlalu tinggi kecepatannya
b. Adanya reaksi alergi terhadap obat-obat tertentu
c. Ada faktor resiko yang membahayakan bagi pasien
d. Interaksi dengan obat-obatan atau makanan
e. Hasil laboratorium pasien berubah akibat obat.
7. Ketidaktaatan pasien (Uncomplience)
a. Pasien tidak menerima obat sesuai regimen karena medication error
b. Pasien tidak taat instruksi
c. Pasien tidak mengambil obat karena harga obat mahal
d. Pasien tidak mengambil obat karena tidak memahami
Pada penelitian ini, pembahasan tentang DRP akan di titik beratkan pada
Potensial DRP yang meliputi dosis terlalu rendah, dosis terlalu tinggi, interaksi
obat dan ketidaktaatan pasien yang berkaiatan dengan sediaan obat yang
diberikan.
1. Interaksi Obat
Intaraksi obat terjadi ketika efek suatu obat berubah dengan adanya obat,
makanan, minuman atau beberapa agen kimia lainnya (Stuckly, 1994), menurut
Setiawati (1995), interaksi antara obat dapat berakibat menguntungkan atau
merugikan. Interaksi yang menguntungkan, misalnya :
a. penisilin dengan probenesid, probenesid menghambat sekresi penisilin di
tubuli ginjal sehingga meningkatkan kadar penisilin di dalam plasma
dengan demikian meningkatkan efektivitasnya dalam terapi gonore.
b. kombinasi obat hipertensi dapat meningkatkan efektivitas dan mengurangi
efek samping.
c. kombinasi obat anti kanker dapat meningkatkan efektivitas dan
mengurangi efek samping.
d. kombinasi obat tuberkolosis dapat memperlambat timbulnya resistensi
kuman terhadap obat.
Antagonis efek toksik obat oleh antidotnya masing-masing, Stockly (1994)
a. walfarin jika diberikan bersamaan dengan fenilbutason, fenilbutason
menghambat metabolisme warfarin sehingga kadar warfarin dalam tubuh
meningkat sehingga dapat mengakibatkan pendarahan.
b. pasien mengkonsumsi monoamin oksidase inhibitor (MOIO) bersamaan
dengan makanan kaya akan tiramin karena enzim monoamin oksidase
(MAO) dihambat oleh MOIO. Jika tiramin tidak dimetabolisme, maka
akan terjadi akumulasi tiramin ditubuh yang mampu membebaskan
norepinefrien yang menyebabkan tekan darah naik dan mengakibatkan
krisis hipertensi.
Mekanisme interaksi obat secara garis besar terdiri dari 3 mekanisme,
yaitu interaksi farmakosetik atau inkompatibilitas, interaksi farmakokinetik dan
intaraksi farmakodinamik.
a. Interaksi farmasetik atau inkompatibilitas
Interaksi farmasetik atau inkompatibilitas terjadi di luar tubuh (sebelum
obat diberikan) di mana antara obat satu dengan yang lain tidak dapat
saling campur (inkompatibel). Pencampuran obat menyebabkan terjadinya
interaksi langsung secara fisika atau kimiawi, yang hasilnya sebagai
pembentukan endapan, perubahan warna dan lain-lain. Interaksi ini
berakibat inaktivasi obat, contoh : gentamin mengalami inaktivasi jika
dicampur dengan karbenesin, demikian juga dengan penisilin G bila
dicampur dengan vitamin C, sedangkan Ampoterisin B mengendap dalam
b. Interaksi farmakokinetik.
Interaksi farmakokinetik terjadi bila salah satu obat mempengaruhi
absorpsi, distribusi, metabolisme, atau ekskresi obat kedua sehingga kadar
plasma obat kedua meningkat atau menurun yang mengakibatkan
peningkatan toksisitas atau penurunan efektivitas dari obat tersebut.
Interaksi farmakokinetik tidak dapat diektrapolasikan ke obat lain yang
segolongan dengan obat yang berinteraksi, meskipun strukturnya mirip,
karena antara obat segolongan terdapat variasi sifat-sifat fisikokimia yang
menyebabkan variasi sifat-sifat farmakokinetikanya.
c. Interaksi farmakodinamik
Stockley (1994) berpendapat bahwa interaksi farmakodinamik adalah
interaksi obat yang terjadi karena hadirnya obat lain di tempat aksi obat.
Pendapat ini selaras dengan pendapat yang dikemukakan oleh Setiawati
(1995) yakni interaksi farmakodinamik merupakan interaksi antara obat
yang bekerja pada sistem reseptor tempat kerja, atau sistem fisiologik yang
sama sehingga terjadi efek aditif , sinergistik atau antagonistik. Interaksi
farmakodinamik sering kali dapat diekstrapolasikan ke obat lain yang
segolongan dengan obat yang berinteraksi, karena penggolongan obat
memang berdasarkan atas persamaan efek farmakodinamiknya di samping
itu, kebanyakan interaksi ini dapat diperkirakan kejadiannya sehingga bisa
dihindari sedini mungkin apabila dokter yang bersangkutan mengetahui
2. Cara pemberian dan bentuk sediaan obat
Bentuk sediaan obat dibedakan untuk pemakaian luar dan untuk
pemakaian dalam. Bentuk sediaan obat untuk pemakaian dalam adalah obat-obat
yang diberikan melalui mulut, tenggorokan, masuk ke perut. Penggunaan tersebut
biasanya disebut pemberian oral (Anief,1996).
Cara penggunaan lainnya dianggap sebagai penggunaan luar, antara lain
pemakaian obat melalui kulit dengan jalan merobek atau menembus kulit, yaitu
perinjeksi atau parenteral, misalnya intra vena. Pemakaian obat melalui dubur
(rektal) yaitu suppositoria, melalui lubang kemaluan (genital) yaitu ovulla,
melalui lubang kencing (urogenital) yaitu bacilla, dan melalui lavemen yaitu
clysma. Selanjutnya pemakaian obat pada selaput lendir antara lain melalui mata
yaitu tetes mata, obat cuci mata; melalui rongga mulut misalnya obat kumur dan
melalui telinga misalnya tetes telinga. Pemakaian pada kulit, misalnya salep,
pasta, lotion, krim disebut dengan pemakaian topikal (Anief,1996).
Berdasarkan konsistensinya, bentuk sediaan obat dapat dibagi menjadi 4
macam ;
a. bentuk sediaan padat seperti serbuk, tablet, kapsul, pil
b. bentuk sediaan semi padat seperti salep, krim, pasta
c. bentuk sediaan cair seperti suspensi, emulsi, solution, potio
d. bentuk sediaan gas seperti aerosol (Fudholi, 1999).
. Beberapa definisi bentuk sediaan obat, antara lain serbuk, tablet, salep dan
sirup. Serbuk adalah campuran dua atau lebih bahan obat yang diserbukkan.
bahan pengisi. Kapsul adalah sediaan padat terdiri dari obat dengan cangkang
keras atau lunak yang dapat larut. Sirup termasuk dalam sediaan larutan atau
sediaan cair yang mengandung satu atau lebih zat kimia. Penggunaan istilah sirup
juga digunakan untuk bentuk sediaan cair yang mengandung bahan pengental dan
pemanis, termasuk suspensi oral (Anonim, 1979 dan Anonim, 1995).
C. Anatomi Saluran Pernapasan Manusia
Saluran napas berfungsi untuk mengambil oksigen yang penting bagi
kehidupan dan mengeluarkan karbondioksida. Atau dengan kata lain fungsi
pernapasan yang utama adalah untuk pertukaran gas (Tabrani, 1996). Oleh karena
itu baik anatomi maupun fisiologi paru disesuaikan dengan fungsi ini.
Saluran pernapasan terdiri dari : rongga hidung, faring, laring, trakea dan
paru-paru. Laring membagi saluran pernapasan menjadi 2 bagian, yakni saluran
pernapasan atas (rongga hidung, faring, laring) dan saluran pernapasan bawah
(trakea, bronchi dan paru-paru) (dikutip dari respiratory emergencies shibel,
moser).
1. Saluran Pernapasan
Secara fungsional saluran pernapasan dibagi atas bagian yang berfungsi
sebagai konduksi (pengantar gas) dan bagian yang berfungsi sebagai respirasi
(pertukaran gas)
Respirasi : bronkiolus respiratorius, duktus alveolaris, atrium dan sakus alveolaris.
Gambar 1. Sistem pernapasan pada manusia
A. Rongga Hidung
Rongga hidung terdiri atas :
1. vertibulum yang dilapisi oleh sel submukosa sebagai proteksi
2. dalam rongga hidung terdapat rambut yang berperan sebagai penapis udara
3. struktur konka yang berfungsi sebagai proteksi terhadap udara luar karena
strukturnya berlapis.
4. sel silia yang berperan untuk melemparkan benda asing keluar dalam
usaha untuk membersihkan jalan napas.
1. sebagai fungsi preventif, dilaksanakan oleh :
a. Bulu hidung sebagai penyaring debu.
b. Silia yang tumbuh pada pseodokolomma epithelium, berdasarkan atas
momentum dari partikel benda asing di udara, maka benda asing akan
ditangkap oleh silia dikonka superior, dan hanya udara yang
berpartikel 4-6 mikron saja yang dapat masuk saluran napas yang lebih
bawah.
2. sebagai fungsi lubrikasi (pelicin)
Sesuai dengan fungsi ini, maka jalan napas tidak menjadi kering, fungsi ini
dilaksanakan oleh kelenjar submukosa dan sel goblet.
3. sebagai fungsi pemanas dan pendingin udara.
Fungsi ini dilaksanakan karena kayanya vaskularisasi yang terdapat di
dalam rongga hidung yang berfungsi sebagai konduksi dari panas dan
karena adanya perputaran dari udara inspirasi serta ekspirasi.
B. Faring
Merupakan bagian belakang dari rongga hidung dan rongga mulut, terdiri
dari nasofagus (bagian yang berbatasan dengan rongga hidung), orofaring (bagian
yang berbatasan dengan rongga mulut) dan hipofaring (bagian yang berbatasan
dengan laring), yakni bagian di mana pemisahan antara udara dan makanan
C. Laring
Walaupun fungsi utamanya adalah sebagai alat suara, akan tetapi di dalam
saluran pernapasan fungsi laring adalah sebagai jalan udara, karena celah suara di
antara pita suara berfungsi sebagai pelindung dari jalan udara. Bila dilihat secara
fontal maupun lateral, pada bagian laring dapat dilihat adanya epiglotis, tulang
hioid, tulang rawan tiroid, tulang aritenoid dan tulang rawan krikoid. Tulang
rawan krikoin merupakan batasan terbawah dari tulang rawan laring, yaitu terletak
2-3 cm di bawah laring. Di bawah dari tulang krikoid inilah biasanya dilakukan
tindakan trakeotomi yang bertujuan untuk memperkecil “dead space”(bagian
konduksi) dan mempermudah melakukan penghisakan sekresi.
D. Trakea
Trakea merupakan suatu cincin tulang rawan yang tidak lengkap (
U-Shapped/berbentuk huruf U), di mana pada bagian belakangnya terdiri dari 16-20
cincin tulang rawan. Panjang trakea ± 10 cm, tebalnya 4-5 mm, diameternya lebih
kurang 2,5 cm, dan luas permukaannya 5 cm2 . Lapisan trakea terdiri dari mukosa,
kelenjar submukosa dan dibawahnya terdapat jaringan otot yang terletak pada
bagian depan yang menghubungkan kedua bagian tulang rawan. Diameter trakea
ini berveriasi pada saat inspirasi dan ekspirasi.
E. Paru
Paru kanan dan kiri adalah jaringan yang elastis yang bekerja seperti
dan terpisah oleh dua fisura lengkap. Paru kiri terbagi menjadi dua lobus oleh satu
fisura. (Basmajian dan J.V. slonecker,1995).
Bila dalam keadaan sehat aliran udara dari hidung atau mulut sampai ke
alveoli dapat dikatakan tidak mengalami hambatan berarti, lain halnya waktu
serangan asma. Aliran udara disini akan menjadi lambat karena saluran napas
menyempit. Penyempitan ini disebabkan oleh otot-otot yang melingkar pada
saluran napas mengkerut atau mengalami bronkospasme. Lapisan sel-sel
permukaan saluran napas membengkak disertai infiltrasi sel-sel radang
disekitarnya dan produksi mukus atau lendir berlebihan.
F. Bronkus
Dinding bronkus dan bronkiolus mengandung otot polos dan dilapisi oleh
sistem saraf otonom. Pada umumnya, parasimpatis yang merangsang melalui
nervus vagus menyebabkan bronkus menyempit dan simpatis yang merangsang
melalui reseptor β2-adrenergik menyebabkan bronkus melebar. Selain itu terdapat
persarafan noradrenergik yang menyebabkan bronkodilatasi. Fungsi otot-otot
bronkus masih diperdebatkan, tetapi mungkin salah satu fungsinya membantu
mempertahankan penyebaran ventilasi. Otot-otot bronkus juga melindungi
bronkus selama batuk dan memiliki irama sirkadian pada tonus bronkus, dengan
kontriksi maksimal sekitar jam 06:00 dan dilatasi maksimal sekitar jam 18:00,
itulah sebabnya mengapa asma menyerang lebih hebat pada tengah malam dan
2. Jalan Napas
Paru-paru terdiri dari dua bagian yang terpisah, masing-masing mengisi
rongga dada kiri dan kanan. Kedua bagian tersebut dilapisi oleh suatu selaput,
pleura viseralis yang berhubungan dengan pleura parietalis dengan perantaraan
suatu cairan. pleura parietalis ini melapisi dinding toraks bagian dalam diagfagma
dan mediatinu. Kedua pleura yang sering disebut juga selaput dada, dapat
bergesek satu sama lain. Pada hilus paru-paru (tempat masuknya bronkus utama
dan pembuluh pada paru-paru) pleura viselaris yang menjadi pleura parietalis.
paru dibagi menjadi beberapa bolus oleh suatu lekukan yang dalam.
Paru-paru kanan terdiri dari tiga bolus, Paru-paru-Paru-paru kiri terdiri dari dua bolus.
Udara yang dihirup secara fisiologis akan masuk melalui hidung, yaitu
tempat udara dihangatkan, dilembabkan dan dibersihkan, kemudian menuju faring
(kerongkongan) lalu ke larings (tenggorokan). Pada pernapasan yang dipaksakan
udara juga masuk melalui rongga mulut. Sampai faring, jalan udara dan makanan
sama. Pada laring jalan udara dan makanan terpisah, udara akan mengalir melalui
trakea, bronkus utama dan masuk kecabang bronkus kecil selanjutnya.
Trakea merupakan saluran jaringan ikat berlumen besar, di mana terdapat
tulang rawan berbentuk tapal kuda dan serabut otot polos. Pada ruas tulang
belakang kelima, trakea akan membagi dua membentuk batang bronkus, yang
masuk ke dalam paru-paru pada daerah hilus kiri dan kanan. Dinding bagian
dalam trakea dan bronkus dilapisi dengan epitil respirasi yang mempunyai bulu
akan mendorongnya ke arah luar. Di bawah epitel terdapat berbagai kelenjar
campuran yang menghasilkan sekret serosa maupun mukus.
Bronkus yang kecil akan bercabang-cabang membentuk bronkhioli, yang
akhirnya pada percabangan terakhir bermuara di duktus alveoli (saluran alveoli).
Alveoli berbentuk setengah lingkaran dengan diameter sekitar 0.1-0.2 mm
dikelilingi oleh jaringan kapiler yang rapat yang dialiri oleh darah vena dari
arteria pulmonalis. Karena kontak yang sangat berdekatan anatara darah kapiler
dengan udara alveoli maka pertukaran gas pernapasan akan dipermudah di sini.
Pasokan udara alveoli (ventilasi alveolar) yang diperlukan bagi pertukaran
gas didapat dengan proses pertukaran ritmik antara inspirasi (menarik napas) dan
ekspirasi (mengeluarkan napas). Pada waktu inspirasi udara segar yang
mengandung oksigen akan masuk ke ruang alveoli, sedangkan pada waktu
ekspirasi udara yang miskin oksigen yang mengandung banyak karbondioksida
akan dikeluarkan ke udara sekitar. Inspirasi merupakan proses aktif, di mana pada
kontraksi otot inspirasi, volume intratorakal membesar. Dengan meregangnya
paru-paru tekanan intrapulmonal akan turun lebih rendah dari tekanan atmosfer,
dan karena perbedaan tekanan ini udara masuk ke dala alveoli. Sebaliknya
ekspirasi (pada pernapasan biasa) berlangsung pasif. Karena keelastisan/
kekenyalannya, maka paru-paru yang menempel pada rongga dada dengan
D. Asma Bronkial 1. Pengertian
Asma bronkial termasuk dalam Gangguan Ventilasi Obstruktif
(menghalangi), yang termasuk gangguan ventilasi obstruksi adalah semua
gangguan ventilasi yang disebabkan oleh penyempitan saluran napas dan dengan
demikian terjadi pengingkatan tahanan aliran udara.
Yang termasuk gangguan ventilasi obstruktif antara lain :
a. asma bronkial, dan
b. bronkitis kronis
Asma bronkial merupakan suatu penyakit yang ditandai dengan
hiperreaktivitas respon trakea dan bronkus terhadap berbagai rangsangan.
Manifestasi dari penyakit ini berupa penyempitan jalan nafas yang luas dan
derajatnya dapat berubah-ubah baik secara spontan maupun hasil dari pengobatan
(Mutschler,1991).
Asma ditandai dengan adanya serangan sesak napas dan mengi
(wheezing) serta peningkatan respon trakea dan Bronkus terhadap berbagai
stimulus dan penyempitan luas pada saluran pernapasan yang berubah-ubah
keparahannya, baik spontan atau sebagai akibat terapi. Tanda klinik asma berupa
serangan episodik berulang batuk, napas pendek, dada terasa terikat dan wheezing
Inflamasi
Pemicu Asma Hipereaktifitas Bronkus
Gangguan Saluran Napas
Gambar 2. Siklus Asma
Yang utama secara klinis pada asma bronkial adalah kesulitan pernapasan
yang parah dengan kurangnya oksigen dalam jaringan. Akibat spasmus otot polos
bronkhioli dan Bronkus kecil serta akibat adanya lendir yang kental dalam lumen
Bronkus yang menyempit ini, akan terjadi ekspirasi yang sulit dan berdengik serta
diperlambat. Serangan dapat berlangsung beberapa menit tetapi juga berjam-jam
dan malahan berhari-hari dalam bentuk status asmaticus yang membahayakan
jiwa. Serangan umumnya diakhiri dengan batuk yang hebat dan keluarnya dahak
yang kental dan bening.
2. Pembagian Asma Secara Klinis
Secara klinis asma dapat dibagi menjadi tiga bagian :
a. Asma akut intermiten
Tidak ada gejala sama sekali di luar serangan. Pemeriksaan fungsi paru
tanpa provokasi tetap normal. Penderita ini sangat jarang jatuh ke dalam
status asmatikus dan dalam pengobatannya sangat jarang memerlukan
b. Asma akut dan status asmatikus
Serangan asma dapat sedemikian beratnya sehingga penderita segera
mencari pertolongan. Bila serangan asma akut tidak bisa diatasi dengan
obat-obat adrenergik beta dan teofilin, disebut status asmatikus.
c. Asma kronik persisten
Pada asma kronik persisten selalu ditemukan gejala-gejala obstruksi jalan
napas, sehingga diperlukan pengobatan yang terus-menerus. Hal tersebut
disebabkan oleh karena saluran jalan napas penderita terlalu sensitif selain
adanya faktor pencetus yang terus-menerus (Baratawidjaya,1990).
3. Gejala Asma
Dasar kelainan asma adalah keadaan bronkus (saluran napas bagian
dalam) yang hiperreaktif terhadap berbagai rangsangan. Jika ada rangsangan pada
bronkus yang hiperreaktif maka akan terjadi :
a. otot bronkus akan mengerut atau menyempit.
b. selaput lendir bronkus membengkak.
c. produksi lendir menjadi banyak dan kental. Lendir yang kental ini sulit
dikeluarkan atau dibatukkan sehingga penderita menjadi lebih
Gambar 3. Saat asma menyerang (www.MayoClinic.com, 2006)
Keadaan bronkus yang sangat peka dan hiperreaktif pada penderita asma
menyebabkan saluran napas menjadi sempit, akibatnya pernapasan menjadi
terganggu. Hal ini menimbulkan gejala asma yang khas yaitu : batuk, sesak napas
dan wheeling atau mengi. Manifestasi serangan asma tidak sama pada setiap
orang, bahkan pada satu penderita yang sama, berat dan lamanya serangan asma
dapat berbeda dari waktu ke waktu. Beratnya serangan dapat bervariasi mulai dari
yang ringan sampai yang berat, demikian pula dengan lama serangan. Serangan
bisa saja singkat, sebaliknya dapat pula berlangsung sampai berhari-hari (Abidin
dan Ekasari,2002).
4. Faktor-Faktor Penyebab Asma
Asma dapat disebabkan oleh berbagai faktor, dan tiap penderita mungkin
a. faktor dasar
Faktor dasar atau kausa adalah faktor yang sudah ada pada diri manusia itu
untuk timbulnya asma.
1. faktor genetik: berhubungan dengan keturunan dimana gen tunggal
sebagai pembawa sifat keturunan yang dominan.
2. faktor hiperreaktivitas bronkus; bronkus bereaksi hebat terhadap
rangsangan yang pada orang normal tidak ada reaksi.
3. faktor alergi.
b. faktor pencetus
Faktor pencetus yang dapat menimbulkan serangan asma akut :
1. alergen merupakan faktor pencetus asma yang sering dijumpai pada
penderita seperti tepung sari, spora jamur, debu rumah, tungau, bulu
binatang, bakteri, alergen makanan seperti coklat, tepung, telur atau
ikan.
2. lingkungan kerja, terutama dalam pabrik-pabrik atau perusahaan
seperti lingkungan pabrik roti, pabrik tenun, peternakan.
3. polusi udara seperti asap rokok, semprotan obat nyamuk, semprotan
rambut, asap industri dan asap kendaraan bermotor.
4. iklim, terdiri dari hawa dingin dan kelembaban udara yang tinggi.
5. infeksi saluran napas.
6. olah raga atau kegiatan jasmani, seperti bersepeda, lari-lari, berenang,
7. emosi, seperti rasa takut, rasa senang berlebihan, sedih dan sebagainya
8. obat-obatan, seperti propanolol (obat jantung), narkotik, reserpin,
aspirin (Sutaryo,1985)
5. Patogenesis
Berdasarkan macam rangsangan atau faktor pencetus asma,
patogenesisnya dapat dibedakan mejadi dua :
a. asma ekstrinsik (Imunologik)
Bentuk asma ekstrinsik biasanya terdapat pada anak-anak dengan riwayat
keluarga alergi terhadap suatu zat. Asma imunologik ekstrinsik adalah
suatu hepersensitivitas tipe I yang diperantarai oleh imonoglobulin E yang
selanjutnya disebut Ig E, yang dapat membentuk anti bodi Ig E bila
terkena alergen. Antibodi ini terikat pada sel mati dan basofil di dalam
mukosa trakea bronkial, sel ini bila terkena alergen akan mengeluarkan
histamin. Histamin dengan simultan dapat merangsang pembentukan
indikator-indikator prostaglandin (PGD2) dan leukotrien (LDT).
Derivat-derivat lain yang dihasilkan selain histamin adalah asam arakihidonat
termasuk LTB4 (suatu kemoantraktan yang paten) dan tromboksanA2
(aktifator dan agresor dari platelet). Berdasarkan cara ini, sel mengi, segala
bentuk sel darah putih dan platelet bereaksi di dalam bronkus. Sel-sel ini
akan merangsang terlepasnya lebih banyak mediator seperti serotonin dan
b. asma intrinsik (non imunologik)
Asma intrinsik dapat terjadi pada segala usia dan mempunyai
kecenderungan lebih sering kambuh dan lebih tinggi tingkat keparahannya
dibandingkan asma ekstrinsik. Asma intrinsik dan imunologi di
postulasikan sebagai hasil berbagai abnormalitas kontrol parasimpatik
fungsi saluran napas. Otot polos saluran udara, kelenjar submukosa dan
kapilar diatur oleh sistem saraf otonom, rangsang kolinergik dan alfa
andrenergik menyebabkan bronkokontriksi dan sekresi mukosa, adanya
rangsangan beta – alfa reseptor dari sel mukosa bronkial menyebabkan
banyaknya gejala asma. Kemungkinan beberapa intervensi yang
menghambat jalur beta adrenergik dapat juga menyebabkan
bronkokontriksi (Robbins dan kumar,1987).
Menurut teori, pasien dapat mengalami bronkokontriksi pada suhu dingin,
kenaikan ventilasi dengan olah raga, polusi udara dan rangsangan imunologik lain
seperti yang meminum aspirin. Faktor tersebut dapat menyebabkan vagal aferen
kolinergik dan alfa adrenergik mengadakan perubahan karakteristik asma. Aspirin
dapat berbahaya bagi pasien asma karena aspirin adalah mediator melalui asam
arakidonat dengan menghambat siklo oksigenase mediator leukotrien yang dapat
6. Pengobatan Asma
a. Pengobatan asma ditujukan pada macam-macam aspek:
1. Kausal ; mencari dan menentukan sebabnya. Bila diketahui sebabnya
maka dengan menghindari sebab itu akan mengurangi kemungkinan
mendapat serangan, terutama dari faktor pencetus.
2. Simtomatis : pengobatan yang hanya untuk menghilangkan gejala
asma.
3. Obat pencegahan serangan : berguna untuk mencegah agar serangan
asma tidak sering terjadi.
4. Immunoterapi : dengan jalan mengurangi bahan-bahan yang
menyebabkan timbulnya serangan asma. (Sutaryo,1985).
b. Prinsip-prinsip umum pengobatan asma bronkial adalah :
1. Menghilangkan obstruksi jalan napas dengan segera
2. Mengenal dan menghindari faktor-faktor yang dapat mencetuskan
serangan asma
3. Memberikan penerangan kepada penderita atau keluarganya mengenai
penyakit asma maupun tentang perjalanan penyakitnya, sehingga
penderita mengerti tujuan pengobatan yang diberikan dan bekerja sama
dengan dokter yang merawatnya (Baratawidjaya, 1990)
c. Obat-obat asma
Obat-obat asma terdiri dari dua bagian yaitu saat serangan dan pencegah
serangan.
a. Bronkodilator : menyebabkan relaksasi otot-otot halus yang berada
di saluran pernapasan. (Warfield, 1996). Bronkodilator terdiri dari
3 golongan yaitu :
1. Simpatomimetik
2. Xantin
3. Atropin
b. Kortikosteroid : obat anti alergi dan anti peradangan contohnya
prednison, metil prednisolon, hidrokortison. Cara kerjanya sebagai
obat anti alergi yang kuat, mengurangi pembengkakan saluran
napas dan memperbaiki kerja bronkodilator yang sudah melemah.
(Sundaru,1995).
2. Obat untuk pencegah serangan asma
a. Kromon ; mekanisme secara pasti belum diketahui, tetapi kromon
telah terbukti dapat menghalangi EAR (Early Asthmatic Respons)
dan LAR (Late Asthmatic Respons) serta mencegah meningkatnya
hiperreaktifitas bronki berikutnya. (Kelly dan Kamada, 1997)
b. Ketotifen
c. Kortikosteroid aerosol : bekerja sebagai anti alergi dan anti
peradangan serta memperkuat kerja dari bronkodilator
(Sundaru,1995)
d. Nedokromik : diduga mempunyai efek anti peradangan seperti
dan sedang , terutama yang disebabkan alergen, kegiatan jasmani
maupun iritan seperti hawa dingin atau asap. (Sundaru,1995)
e. Antileukotrien : mencegah terbentuknya leukotrien.
f. Suntikan alergen (Laprin) : untuk membentuk zat anti di dalam
tubuh. (Sundaru, 1995)
E. Keterangan Empiris
Penelitian ini diharapkan mampu memberikan gambaran pola peresepan
yang meliputi karakteristik pasien, jumlah obat, jenis obat, golongan obat, bentuk
sediaan, cara pakai, dan kesesuain obat yang diberikan berdasarkan standar
pelayanan medis, ketepatan dosis dan potensi terjadinya interaksi obat asma
bronkial yang diberikan pada pasien asma bronkial yang ada di Instalasi Rawat
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
A. Jenis dan Rancangan Penelitian
Penelitian mengenai kajian penatalaksanaan resep Pasien Asma Bronkial
di Instalasi Rawat Inap Rumah Sakit Umum Daerah Bangli-Bali tahun 2005
merupakan penelitian deskriptif non ekperimental (observasional) yang dilakukan
dengan metode retrospektif. Penelitian ini termasuk penelitian non-eksperimental
karena tidak ada perlakuan pada subjek uji. Data yang digunakan adalah catatan
rekam medik dari pasien asma bronkial di Instalasi Rawat Inap Rumah Sakit
Umum Daerah Bangli-Bali tahun 2005.
B. Definisi Operasional
1. Rumah Sakit Umum Daerah Bangli-Bali adalah tempat yang digunakan untuk
mendapatkan data yang digunakan untuk mengkaji penatalaksanaan resep
asma bronkial pada skripsi ini.
2. Asma bronkial merupakan suatu kelainan dengan ciri meningkatnya respon
trakea dan bronkus terhadap berbagai rangsangan dengan manifestasi adanya
penyempitan jalan nafas yang luas dan derajatnya dapat berubah-ubah baik
secara sepontan maupun hasil dari pengobatan
3. Kajian profil peresepan adalah gambaran tata cara pemberian obat kepada
pasien yang meliputi pemilihan jumlah obat, golongan obat, jenis obat, bentuk
bronkial di Instalasi Rawat Inap Rumah Sakit Umum Daerah Bangli-Bali pada
tahun 2005.
4. Kriteria pasien adalah semua penderita asma bronkial yang mendapat
perawatan medis di Instalasi Rawat Inap Rumah Sakit Umum Daerah
Bangli-Bali tahun 2005.
5. Kelompok balita (0 sampai 5 tahun), anak-anak (5<n≤12 tahun), dewasa
(12<n≤65 tahun), dan lanjut usia (di atas 65 tahun)
6. Kartu rekan medik adalah berkas yang memberikan catatan tentang identitas
pasien yang meliputi nomor rekam medis, nama, umur, pekerjaan, jenis
kelamin, diagnosis, jenis obat, dosis obat, lama pemberian, rute pemberian dan
hasil pengobatan.
7. Golongan obat adalah kelompok obat berdasarkan kelas terapi yang diberikan
kepada pasien dewasa asma bronkial, misalnya bronkodilator, kortikosteroid,
rehidrasi, oksigen, antiinfeksi, obat batuk dan anti histamine.
8. Jenis obat adalah nama generik obat yang diberikan kepada pasien asma
bronkial di Instalasi Rawat Inap Rumah Sakit Umum Daerah Bangli-Bali pada
tahun 2005, misalnya terbutain sulfat.
9. Indikasi tidak butuh obat yaitu pasien lebih baik disembuhkan dengan non
drug therapy, pasien mendapat obat dalam jumlah berlebih, pemakaian
multiple drug yang seharusnya cukup dengan single drug terapi, serta obat
diberikan untuk mencegah efek samping obat lain yang seharusnya dapat
10.Pemilihan obat tidak tepat yaitu obat yang diberikan kepada pasien tidak
efektif (kurang sesuai dengan indikasinya), pasien mempunyai alergi terhadap
obat tersebut, obat yang diberikan memiliki kontraindikasi dengan obat lain,
efektif namun bukan yang paling murah dan aman, serta adanya kombinasi
obat yang tidak perlu.
11.Dosis terlalu rendah adalah pasien mendapat obat dengan kandungan zat aktif
terlalu rendah untuk memberikan efek.
12.Dosis terlalu tinggi adalah pasien mendapat obat dengan kandungan zat aktif
terlalu tinggi untuk memberikan efek.
13.Adverse Drug Reaction adalah munculnya efek samping obat yang tidak
diharapkan yang dialami pasien beserta interaksi obatnya.
14.Kerasionalan terapi adalah kesesuaian pemberian obat dan perlakuan dengan
standar yang telah ditetapkan.
15.Interaksi obat adalah peristiwa berubahnya efek suatu obat akibat adanya obat
atau zat aktif lain yang diberikan secara bersamaan.
C. Bahan Penelitian
Bahan penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah lembar
rekam medik (RM), dan informasi dari instalasi farmasi rumah sakit mengenai
pasien asma bronkial di Rumah Sakit Umum Daerah Bangli-Bali pada tahun
2005. Data dari rekam medik tiap pasien kemudian dikelompokan berdasarkan
D. Lokasi penelitian
Penelitian mengenai kajian penatalaksanaan resep Pasien Asma Bronkia
dilakukan di Instalasi Rawat Inap Rumah Sakit Umum Daerah Bangli-Bali
(RSUD Bangli-Bali).
E. Jalannya Penelitian
Penelitian mengenai kajian penatalaksanaan resep Pasien Asma Bronkial
dilakukan dalam beberapa tahap sebagai berikut :
1. Perencanaan
Pada tahap ini dilakukan analisis situasi, penentuan masalah serta
pencarian informasi standar penatalaksanaan asma bronkialdi RSUD Bangli-Bali.
Pada tahap analisis situasi dilakukan dengan mencari informasi pada bagian
rekam medik mengenai distribusi penyakit asma bronkial pada pasien dewasa di
Instalasi Rawat Inap RSUD Bangli-Bali pada tahun 2005.
.2. Pencarian dan pencatatan Data
Proses pencarian data diawali dengan penelusuran data pasien yang
mengalami penyakit asma bronkial. Selanjutnya dilakukan pengumpulan bahan
dan pencatatan data ke dalam lembaran laporan.
a. Proses pencarian data, diperolah dengan melihat laporan sub-bagian rekam
medik yang berupa laporan jumlah kasus pasien dewasa asma bronkial di
Kemudian dilakukan pengambilan data pada lembar-lembar rekam medik
sesuai jumlah sampel yang ada serta pencarian informasi dari bagian rekam
medik mengenai kekurangan data bila ditemukan data yang tidak lengkap.
b. Proses pencatatan data, yaitu dengan mencatat yang ada di lembar rekam
medik tiap pasien . Data yang diambil adalah meliputi nomor rekam medik,
umur, jenis kelamin, lama perawatan, anamnesis, hasil diagnosis awal, hasil
diagnosis keluar, obat yang diberikan, dosis, komplikasi penyakit lain, cara
pemberian obat, jumlah obat, bentuk sediaan dan keterangan akhir pasien.
3. Pengolahan Data
Data yang diperoleh kemudian diolah, hasil yang diperoleh disajikan
dalam bentuk tabel dan ada pula yang disajikan dalam bentuk gambar.
4. Tahap analisis hasil
Data dianalisis secara deskriptif kemudian hasilnya disajikan dalam
bentuk tabel beserta uraian penjelasan. Analisis tersebut berdasarkan :
a. Jenis kelamin, umur
b. Golongan dan jenis obat
c. Evaluasi kasus asma bronkial yang terjadi dengan melihat data pada rekam
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN PENELITIAN
Tujuan pengobatan asma bronkial adalah menghilangkan gejala atau
serangan asma secepat mungkin, mengusahakan agar penderita asma dapat
menjalankan kehidupan sehari-harinya dengan normal, serta mencegah atau
mengurangi berat dan banyaknya serangan asma berikutnya. Hal ini dapat dicapai
dengan jalan mengobati serangan asma bronkial dengan mempertimbangkan
beberapa parameter seperti: jumlah obat, golongan obat, cara pemberian obat dan
kerasionalan pengobatan yang terkait dengan drug related problems (DRPs).
Evaluasi pengobatan mutlak dilakukan, mengingat panjangnya terapi yang
diberikan kepada pasien asma bronkial karena asma bronkial merupakan penyakit
yang tidak dapat disembuhkan secara total dan merupakan penyakit turunan.
Evaluasi akan menjadikan penanganan pasien asma bronkial semakin baik
(rasional) hal ini disebabkan karena evaluasi akan memberikan kajian yang
mendalam tentang pengobatan yang dilakukan baik yang berhasil (pasien sembuh)
ataupun yang gagal (pasien tidak sembuh). Pengkajian setiap proses pengobatan
dengan melihat penatalaksanaan pengobatan melalui rekam medik akan
memberikan gambaran yang jelas tentang proses pengobatan yang telah dijalani
sehingga dapat diketahui penyebab keberhasilan ataupun kegagalan suatu proses
terapi terhadap pasien asma bronkial di Instalasi Rawat Inap Rumah Sakit Umum
Peran farmasis dalam evaluasi pengobatan mutlak diperlukan, sesuai
dengan kewajiban dan kewenangannya yang tercantum dalam Standar
Kompetensi Farmasi Indonesia 2004 yang dikeluarkan oleh ISFI ( Ikatan Sarjana
Farmasi Indonesia ). Lima diantaranya mengatur tentang kewenangan farmasis
untuk mengkaji pengguanaan obat dalam proses terapi, kelima poin tersebut
berbunyi:
1. mengkaji penggunaan obat melalui rekam medik pasien, resep dan atau rekam
farmasi lain.
2. mengidentifikasi, memastikan kebenaran dan kebaikan suatu obat.
3. menghitung dosis, menentukan sedian yang paling cocok.
4. membuat keputusan profesional mengenai ada tidaknya atau kemungkinan
terjadinya kesalahan dengan obat beserta penyelesaiannya.
5. memonitor penggunaan obat dan mengevaluasi pengguanaan obat.
Dalam mengevaluasi suatu penatalaksanaan pengobatan perlu diketahui
gambaran umum pengobatan yang telah dilakukan. Gambran umum tersebut
meliputi :
A. Karakteristik Pasien
Karakteristik pasien asma bronkial di Instalasi Rawat Inap Rumah Sakit
Umum Daerah Bangli-Bali tahun 2005 berdasarkan jenis kelamin pasien, umur
pasien dan diagnosis pasien.
1. Jenis kelamin
Perbandingan jumlah dan persentase dari pasien laki-laki dan perempuan
Bangli-Bali tahun 2005 adalah 66,7% untuk jenis kelamin laki-laki dan 33,3%
untuk jenis kelamin perempuan.
Tabel I. Distribusi pasien asma bronkial berdasarkan jenis kelamin di Instalasi Rawat Inap Rumah Sakit Umum Daerah Bangli-Bali tahun 2005.
No Jenis Kelamin Jumlah
Pasien
Persentase (%)
1 Laki-laki 12 66,7
2 Perempuan 6 33,3
Jumlah 18 100
Data di atas menunjukan, bahwa pasien asma bronkial dengan jenis
kelamin laki-laki jumlahnya lebih banyak bila dibandingkan dengan pasien asma
bronkial yang berkelamin perempuan hal ini dipengaruhi oleh pola hidup pasien.
Pasien berjenis kelamin laki-laki memiliki kencenderungan lebih besar untuk
menjadi perokok aktif maupun pasif dibanding pasien perempuan, sehingga
kemungkinan laki-laki untuk mengidap asma bronkial lebih besar dibandingkan
mereka yang berjenis kelamin perempuan.
2. Umur
Berdasarkan umurnya, pasien asma bronkial di Insatalasi Rawat Inap
Rumah Sakit Umum Daerah Bangli-Bali pada tahun 2005 dikelompokan dalam 4
kelompok. Diantaranya kelompok Balita (0 sampai 5 tahun), anak-anak (5<n≤12
tahun), dewasa (12<n≤65 tahun), dan lanjut usia (di atas 65 tahun). Dari penelitian
didapati terjadi 18 kasus asma bronkial, yang terdistribusi dalam persentase
Tabel II. Distribusi pasien asma bronkial berdasarkan Umur di Instalasi Rawat Inap Rumah Sakit Umum Daerah Bangli-Bali tahun 2005
No. Umur Jumlah
Pasien
Persentase (%)
1 0 sampai 5 tahun 6 33,3
2 5<n≤12 tahun 1 5,6
3 12<n≤65 tahun 7 38,9
4 di atas 65 tahun 4 22,2
Jumlah 18 100
Data penelitian di atas menunjukan bahwa pasien asma bronkial di
Instalasi Rawat Inap Rumah Sakit Umum Daerah Bangli-Bali pada tahun 2005
didominasi oleh pasien balita dan dewasa, yakni masing-masing 33,3% dan 38,9%
dari seluruh kasus yang ada. Sedangkan pasien lanjut usia sebesar 22,2% dari
seluruh kasus yang ada. Hal ini menunjukan bahwa pasien Balita dan dewasa
cenderung lebih rentan terkena serangan asma bronkial dibandingkan pasien
lanjut usia, atau pasien asma bronkial memiliki kencenderungan untuk tidak dapat
mencapai usia lanjut (terapi gagal). Dugaan ini muncul karena pada
penelitian-penelitian terdahulu, kecenderungan asma bronkial menyerang justru pada usia
balita, anak-anak dan lanjut usia. Hal ini disebabkan karena pada usia dewasa,
pasien sudah dapat mengenali dan menghindari faktor pencetus serangan asma
pada dirinya, sehingga tindakan antisipasi sudah dapat disiapkan sebelum
serangan asma terjadi.
Pada usia balita dan anak-anak serangan asma sangat sering diakibatkan
sekali menyempit jika terinfeksi, sedangkan pada usia lanjut serangan diakibatkan
karena fungsi organ tubuh sudah menurun.
3. Diagnosis
Pada penelitian ini data yang diambil hanyalah data pasien asma bronkial
non-komplikasi, data pasien dengan diagnosis asma (selain asma bronkial) atau
penyakit lain diabaikan. Dari pengambilan data diketahui 16 kasus pasien asma
bronkial terdiagnosis awal sebagai penderita asma bronkial dan hanya 2 kasus
yang terdiagnosis awal sebagai penderita asmatikus, namun pada diagnosis akhir
ditetapkan bahwa ke-18 kasus asma bronkial tersebut sebagai penderita asma
bronkial. Secara persentase dapat dilihat sebagai berikut :
Tabel III. Distribusi pasien asma bronkial berdasarkan Diagnosis awal dan akhir di Instalasi Rawat Inap Rumah Sakit Umum Daerah Bangli-Bali tahun 2005
Diagnosis
No. Jenis
Penyakit
awal akhir
1 Asma Bronkial 88,9% 100%
2 Asma lain (asmatikus)
11,1% -
Jumlah 100% 100%
Dari data di atas dapat diketahui bahwa telah terjadi perubahan diagnosis,
perubahan ini terjadi karena terjadinya perubahan status pasien dari asmatikus
menjadi asma bronkial. Asmatikus merupakan serangan asma yang sangat berat,
B. Gambaran Umum Peresepan
Pada penelitian ini gambaran umum peresepan pasien asma bronkial di
Instalasi Rawat Inap Rumah Sakit Umum Daerah Bangli-Bali pada tahun 2005
dapat dilihat dari beberapa variabel, antara lain : jumlah jenis obat, golongan obat,
jenis obat, bentuk sediaan, dan cara pemakaian obat.
1. Jumlah jenis Obat
Jumlah jenis obat yang dipakai untuk pengobatan pasien asma bronkial di
Instalasi Rawat Inap Rumah Sakit Umum Daerah Bangli-Bali pada tahun 2005
adalah 4-11 macam obat dengan jumlah obat terbanyak yang diberikan adalah 7
macam obat pada 6 pasien. Jumlah jenis obat yang diberikan pada pasien asma
bronkial tidak diberikan dalam jumlah dan waktu yang bersamaan, tetapi menurut
selang waktu dan dosis tertentu berdasarkan pada unit dose dispensing, yaitu
distribusi obat yang diberikan pada pasien menurut dosis yang dibutuhkan selama
masa perawatan pasien di Instalasi Rawat Inap Rumah Sakit Umum Daerah
Bangli-Bali.
Tabel IV. Jumlah jenis obat yang diberikan pada pasien asma bronkial di Instalasi Rawat Inap Rumah Sakit Umum Daerah Bangli-Bali tahun 2005
No. Jumlah jenis Obat yang diterima pasien
Jumlah Pasien
Persentase (%)
1 4 jenis 1 5,5
2 6 jenis 3 16,7
3 7 jenis 6 33,3
4 8 jenis 3 16,7
5 9 jenis 2 11,1
6 10 jenis 3 16,7
Jumlah macam obat yang bervariasi diantara pasien asma bronkial
disebabkan karena perbedaan diagnosis yang diberikan oleh dokter, berdasarkan
gejala-gejala yang dialami oleh pasien serta keadaan pasien itu sendiri (faktor
usia, kehamilan dan jenis kelamin). Jumlah obat yang diberikan pada pasien
tergantung pad