• Tidak ada hasil yang ditemukan

KAJIAN PROFIL PERESEPAN PASIEN ASMA BRONKIAL DI INSTALASI RAWAT INAP RUMAH SAKIT UMUM DAERAH BANGLI-BALI TAHUN 2005 SKRIPSI Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Farmasi (S.Farm) Program Studi Ilmu Farmasi

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "KAJIAN PROFIL PERESEPAN PASIEN ASMA BRONKIAL DI INSTALASI RAWAT INAP RUMAH SAKIT UMUM DAERAH BANGLI-BALI TAHUN 2005 SKRIPSI Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Farmasi (S.Farm) Program Studi Ilmu Farmasi"

Copied!
116
0
0

Teks penuh

(1)

KAJIAN PROFIL PERESEPAN

PASIEN ASMA BRONKIAL DI INSTALASI RAWAT INAP RUMAH SAKIT UMUM DAERAH BANGLI-BALI TAHUN 2005

SKRIPSI

Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Farmasi (S.Farm)

Program Studi Ilmu Farmasi

Oleh :

SIMON ANDI WIBOWO NIM : 03 8114 011

FAKULTAS FARMASI UNIVERSITAS SANATA DHARMA

(2)

KAJIAN PROFIL PERESEPAN

PASIEN ASMA BRONKIAL DI INSTALASI RAWAT INAP RUMAH SAKIT UMUM DAERAH BANGLI-BALI TAHUN 2005

SKRIPSI

Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Farmasi (S.Farm)

Program Studi Ilmu Farmasi

Oleh :

SIMON ANDI WIBOWO NIM : 03 8114 011

FAKULTAS FARMASI UNIVERSITAS SANATA DHARMA

YOGYAKARTA 2007

(3)
(4)
(5)

Karya sederhana ini kupersembahkan untuk :

1. Allah Bapa yang pengasih lagi penyayang

2. Bapak dan Ibu yang selalu mencintai dan mendukungku

3. Adik-adikku yang selalu kucintai

4. Keluarga besar Siswodiharjo

(6)
(7)

PRAKATA

Puji syukur kepada Tuhan Yang Maha Belas Kasih dan Bijaksana yang

selalu membimbing diri tak mampu ini dalam menyelesaikan penulisan Skripsi

ini. Skripsi yang berjudul Kajian Penatalaksanaan Resep Pasien Asma Bronkial

Di Instalasi Rawat Inap Rumah Sakit Umum Daerah Bangli-Bali tahun 2005 ini

disusun untuk memenuhi salah satu syarat kelulusan dari Fakultas Farmasi

Universitas Sanata Dharma. Penulis menyadari bahwa skripsi ini tidak akan

selesai tanpa bantuan dari berbagai pihak, maka pada kesempatan ini penulis

mengucapkan terimakasih kepada :

1. Rita Suhadi,Msi.,Apt selaku Dekan Fakultas Farmasi dan Dosen

penguji.

2. Ibu

3. selaku Dosen pembimbing dan penguji.

4. Aris Widayati., Msi.,Apt selaku Dosen Penguji.

5. Bapak dan Ibu yang selalu mencintai dan menyayangiku.

6. Adikku Veronika Aventa Dewi dan Teresia Dian Triutami yang selalu

memperhatikanku.

7. Teman-teman Fransiskus De Sales yang selalu menyemangatiku dalam

doa.

8. Teman-teman angkatan 2003 yang selalu membantuku dalam situasi

(8)
(9)
(10)

INTISARI

Asma bronkial memiliki angka kejadian bervariasi diberbagai negara, tetapi terjadi kecenderungan bahwa penyakit ini meningkat jumlahnya, meskipun obat-obat asma telah banyak dikembangkan. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pola penghobatan penyakit asma bronkial pada pasien di rawat inap Rumah Sakit Umum Daerah Bangli-Bali tahun 2005

Penelitian ini termasuk penelitian deskriptif non ekperimental (observasional) yang dilakukan dengan metode retrospektif. Data yang digunakan adalah catatan rekam medik Pasien Asma Bronkial di Instalasi Rawat Inap Rumah Sakit Umum Daerah Bangli-Bali tahun 2005.

Hasil penelitian menunjukan bahwa pada tahun 2005 terjadi 18 kasus asma bronkial. Distribusi umur pasien dibagi menjadi 4 kelompok umur, yaitu balita (0 sampai 5 tahun) sebesar 33,3%, anak-anak (5<n≤12 tahun) sebesar 5,6%, dewasa (12<n≤65 tahun) sebesar 38,9% dan lanjut usia (di atas 65 tahun) sebesar 22,2%. pasien dengan janis kelamin laki-laki sebesar 66,7% dan perempuan sebesar 33,3%. variasi jumlah obat yang diberikan 4-10 obat. Golongan obat yang diberikan untuk terapi antara lain bronkodilator 22,7%, mukolitik 12,8%, kortikosteroid 13,5%, penganti cairan tubuh 11,5%, mikroba 14,9%, hipoksemia 8,8%, histamin 6,8%, analgesik 4,1%, diabetik 0,7%, anti-epilepsi 0,7%, anti-hipertensi 0,7%, anti-angina 0,7%, anti-koagulan 0,7% dan vitamin 0,7%. Cara pemberian obat yang digunakan antara lain secara oral 55,4%, parenteral 25% dan inhalasi 19,6%.

(11)

ABSTRACT

Bronchial asthma was happened different cases in every country, although asthma drug was developed, the cases of bronchial asthma is increase . The study was aimed to observe the pattern of therapy bronchial asthma patients in take care installation of Bangli hospital Regency in the year 2005.

The research was non experimental (obsevational) research which conducted by retrospektif method. The data were obtained from medical record of Bangli hospital regency in the year 2005.

There were 18 cases of bronchiale asthma in 2005. the groups werw divided to four groups, based on the age., the first group was babe (0 ≤ 5 year) at 33.3%, childern (5<n≤12 year) at 5.6%, adulf (12<n≤65 year) sebesar 38.9% and geriatric (> 65 year) at 22.2%. according to the sex, the group was divided to male 66.7% and female 33.3%. Variation number of drug given to the patient were 4 to10. the medicine type that used for therapy are bronchodilator 22.7%, mucolitik 12.8%, corticosteroid 13.5%, human calorie exchange 11.5%, Antibiotic 14.9%, Antihipoksemia 8.8%, Analgesic 4.1%, Antihistamine 6.8%, Antidiabetic 0.7%, Antiserotonine 0.7%, Antiepilepsy 0.7%, Antihypertension 0.7%, Antitonsillitis 0.7%, Anti-koagulan 0.7% dan Vitamine 0.7%. the way to give the medicine to the patient were orally 55.4%, parenterally 25% and 19.6% were inhalations.

(12)

DAFTAR ISI

Hal

HALAMAN JUDUL ... i

HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ... ii

HALAMAN PENGESAHAN ... iii

HALAMAN PERSEMBAHAN ... v

LEMBAR PERNYATAAN PERSETUJUAN ... vi

PRAKATA ... vii

HALAMAN PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ... ix

INTISARI ... x

ABSRACT... xi

DAFTAR ISI... xii

DAFTAR TABEL... xv

DAFTAR GAMBAR ... xviii

DAFTAR LAMPIRAN ... xix

BAB I PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang ... 1

1. Rumusan masalah ... 3

2. Keaslian Penelitian... 4

B. Tujuan Penelitian ... 5

1. Tujuan Umum ... 5

(13)

C. Manfaat Penelitian ... 6

BAB II PENELAAHAN PUSTAKA ... 7

A. Pegobatan Rasional ... 7

B. Drug Related Problem (DRPs)... 9

C. Anatomi Saluran Nafas Manusia ... 16

D. Asma Bronkial ... 23

E. Keterangan Empiris ... 32

BAB III METODOLOGI PENELITIAN ... 33

A. Jenis dan Rancangan Penelitian ... 33

B. Definisi Operasional ... 33

C. Bahan Penelitian ... 35

D. Lokasi Penelitian... 36

E. Jalannya Penelitian... 36

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN PENELITIAN ... 38

A. Karakteristik Pasien ... 39

1. Jenis Kelamin... 39

2. Umur ... 40

3. Diagnosis... 42

B. Gambaran Umum Peresepan... 43

1. Jumlah Jenis Obat ... 43

2. Golongan Obat ... 45

3. Jenis Obat... 47

(14)

b. Pengganti Kalori Tubuh ... 48

c. Mukolitik... 49

d. Kortikosteroid ... 50

e. Anti-mikroba... 51

f. Anti-histamin ... 51

g. Anti-piretik... 53

h. Anti-hipoksemia... 53

i. Obat Saluran Pencernaan ... 54

j. Obat-obat Pendukung lainnya... 55

4. Cara Pemberian ... 55

C. Kesesuaian Dosis dan ... 57

1. Ketidaksesuaian Dosis ... 57

D. Interaksi Obat... 60

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ... 64

DAFTAR PUSTAKA ... 66

LAMPIRAN... 68

(15)

DAFTAR TABEL

Hal

Tabel I Distribusi pasien asma bronkial berdasarkan jenis

kelamin di Instalasi Rawat Inap Rumah Sakit Umum

Daerah Bangli-Bali tahun 2005 ... 40

Tabel II Distribusi pasien asma bronkial berdasarkan Umur di

Instalasi Rawat Inap Rumah Sakit Umum Daerah

Bangli-Bali tahun 2005 ... 41

Tabel III Distribusi pasien asma bronkial berdasarkan Diagnosis

awal dan akhir di Instalasi Rawat Inap Rumah Sakit

Umum Daerah Bangli-Bali tahun 2005 ... 42

Tabel IV Jumlah jenis obat yang diberikan pada pasien asma

bronkial di Instalasi Rawat Inap Rumah Sakit Umum

Daerah Bangli-Bali tahun 2005 ... 43

Tabel V Distribusi golongan obat yang diberikan pada pasien

asma bronkial di Instalasi Rawat Inap Rumah Sakit

Umum Daerah Bangli-Bali tahun 2005 ... 45

Tabel VI Distribusi golongan obat bronkodilator yang diberikan

pada pasien asma bronkial di Instalasi Rawat Inap

(16)

Tabel VII Distribusi pemberian cairan elektrolit pada pasien asma

bronkial di Instalasi Rawat Inap Rumah Sakit Umum

Daerah Bangli-Bali tahun 2005 ... 49

Tabel VIII Distribusi golongan obat mukolitik yang diberikan

pada pasien asma bronkial di Instalasi Rawat Inap

Rumah Sakit Umum Daerah Bangli-Bali tahun 2005... 49

Tabel IX Distribusi golongan obat kortikosteroid yang diberikan

pada pasien asma bronkial di Instalasi Rawat Inap

Rumah Sakit Umum Daerah Bangli-Bali tahun 2005... 50

Tabel X Distribusi golongan obat anti-mikroba yang diberikan

pada pasien asma bronkial di Instalasi Rawat Inap

Rumah Sakit Umum Daerah Bangli-Bali tahun 2005... 51

Tabel XI Distribusi golongan obat anti-histamin yang diberikan

pada pasien asma bronkial di Instalasi Rawat Inap

Rumah Sakit Umum Daerah Bangli-Bali tahun 2005... 52

Tabel XII Distribusi golongan obat analgesik anti-piretik yang

diberikan pada pasien asma bronkial di Instalasi Rawat

Inap Rumah Sakit Umum Daerah Bangli-Bali tahun

2005... 53

Tabel XIII Distribusi penggunaan oksigen pada pasien asma

bronkial di Instalasi Rawat Inap Rumah Sakit Umum

(17)

Tabel XIV Distribusi penggunaan obat saluran pencernaan pada

pasien asma bronkial di Instalasi Rawat Inap Rumah

Sakit Umum Daerah Bangli-Bali tahun 2005 ... 55

Tabel XV Distribusi cara pemberian obat pada pasien asma

bronkial di Instalasi Rawat Inap Rumah Sakit Umum

Daerah Bangli-Bali tahun 2005 ... 56

Tabel XVI Distribusi kesesuaian dosis pada pasien asma bronkial

di Instalasi Rawat Inap Rumah Sakit Umum Daerah

Bangli-Bali tahun 2005 dengan standar IONI ... 58

Tabel XVII Distribusi kesesuaian dosis pada pasien asma bronkial

di Instalasi Rawat Inap Rumah Sakit Umum Daerah

Bangli-Bali tahun 2005 dengan standar PDH ... 59

Tabel XVIII Distribusi kesesuaian dosis pada pasien asma bronkial

di Instalasi Rawat Inap Rumah Sakit Umum Daerah

(18)

DAFTAR GAMBAR

Hal

Gambar 1 Sistem pernafasan pada manusia... 16

Gambar 2 Siklus Asma ... 23

(19)

DAFTAR LAMPIRAN

Hal

Lampiran 1 Data penelitian kajian penatalaksanaan resep pasien

asma bronkial di Instalasi Rawat Inap Rumah Sakit

Umum Daerah Bangli-Bali pada tahun 2005... 69

Lampiran 2 Nama generik, Golongan Obat dan Lama Pemberian

Obat Asma Bronkial Pada Pasien Asma Bronkial di

Instalasi Rawat Inap Rumah Sakit Umum Daerah

Bangli-Bali tahun 2005 ... 74

Lampiran 3 Interaksi yang mungkin terjadi dalam resep yang

diberikan ... 79

(20)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Asma bronkial merupakan suatu penyakit yang ditandai dengan

hiperreaktivitas respon trakea dan bronkus terhadap berbagai rangsangan.

Manifestasi dari penyakit ini berupa penyempitan jalan nafas yang luas dan

derajatnya dapat berubah-ubah baik secara spontan maupun hasil dari pengobatan.

Asma dapat terjadi pada siapa saja, tua-muda, laki-laki ataupun perempuan

memiliki potensi yang sama. Angka kejadian asma bervariasi diberbagai negara,

diperkirakan 100 hingga 150 juta penduduk dunia merupakan penderita asma dan

jumlah ini terus bertambah sebanyak 180.000 jiwa setiap tahunnya. Di Indonesia

berdasarkan data yang dikeluarkan oleh Departemen Kesehatan pada tahun 2001

diperkirakan penderita asma mancapai 10 juta jiwa atau 5% dari penduduk

Indonesia. Survei yang dilakukan dibeberapa kota di Indonesia diantaranya

Medan, Palembang, Jakarta, Bandung, Semarang, Yogyakarta, Malang dan

Denpasar menunjukan prevalensi (kajian per 100 ribu) asma pada anak usia 6-12

tahun mencapai 10% atau dengan kata lain jika ada 10 orang anak maka satu

diantaranya merupakan penderita asma.

Penanganan yang diberikan pada penderita asma bronkial, baik yang

berupa penanganan farmakologi ataupun non-farmakologi cenderung bertujuan

hanya untuk mencegah, mengurangi dan mengontrol gejala asma saja.

(21)

diperlukan pemantauan serta proses evaluasi pengobatan yang tepat, karena proses

pengobatan cenderung berlangsung dalam periode yang sangat lama.

Penelitian mengenai kajian profil peresepan pasien asma bronkial ini

dilaksanakan di Kabupaten Bangli Provinsi Bali. Pemilihan lokasi penelitian

didasarkan pada letak geografis dari Kabupaten Bangli, di mana Kabupaten

Bangli sebagian besar wilayahnya merupakan dataran tinggi (100-2152 meter di

atas permukaan laut). Suhu udara di tempat ini tergolong dingin dengan curah

hujan yang relatif tinggi terutama pada bulan Februari, Januari dan Desember

sehingga berpotensi untuk memicu serangan asma.

Pemilihan Rumah Sakit Umum Daerah Bangli Bali sebagai tempat

penelitian dikarenakan, Rumah Sakit ini sudah masuk ke dalam Rumah Sakit tipe

C plus sehingga diharapkan Rumah Sakit Umum Bangli mampu memberikan

masukan yang baik pada perkembangan penanganan pasien asma bronkial.

Pemilihan pasien rawat inap sebagai subyek penelitian, diharapkan dapat

memberikan informasi yang lengkap mengenai penatalaksanaan pasien asma

bronkial di Kabupaten Bangli sehingga dapat memberikan evaluasi dan kajian

yang bermanfaat untuk meningkatkan pelayanan kefarmasian di Kabupaten

Bangli.

Pelayanan farmasi yang berorientasi pada pasien, menjamin pasien untuk

mendapat obat yang rasional ditingkatkan dalam seluruh proses terapi. Proses

terapi tersebut meliputi penegakan diagnosis, pemilihan kelas terapi dan jenis

obat, penentuan dosis, cara pemberian obat kepada pasien dan evaluasi terapi

(22)

Evaluasi terapi oleh farmasis akan membantu pasien untuk memperoleh

pelayanan medis yang optimal, sehingga pasien terhindar dari Drug Related

Problems (DRPs). Drug Related Problems (DRPs) merupakan peristiwa tidak

diinginkan yang dialami oleh pasien yang melibatkan atau dicurigai melibatkan

terapi obat yang benar-benar atau berpotensi bertentangan dengan hasil yang

diinginkan. DRPs sering disebut juga Drug Therapy Problems atau

masalah-masalah yang berhubungan dengan obat (Cipolle,1998).

Farmasis sebagai tenaga kesehatan yang memiliki kompetensi dalam

bidang medicine berkewajiban untuk mendukung pelayanan pengobatan yang

dilakukan baik di rumah sakit maupun pengobatan yang dilakukan secara mandiri

oleh masyarakat. Berkaitan dengan penanganan asma bronkial yang

pengobatannya cenderung bersifat mencegah, mengurangi gejala dan berlangsung

dalam waktu yang relatif lama, maka peran farmasis sangat dibutuhkan dalam

menunjang proses pengobatan. Evaluasi dan pengkajian jalannya pengobatan juga

merupakan tugas dan kewenangan seorang farmasis.

1. Rumusan masalah

Berdasarkan uraian di atas, permasalahan yang akan diteliti akan terfokus

pada permasalahan-permasalahan berikut :

a. Bagaimanakah karakteristik pasien asma bronkial di Rumah Sakit Umum

Daerah Bangli-Bali tahun 2005 yang meliputi distribusi jenis kelamin dan

(23)

b. Bagaimana gambaran umum peresepan pasien asma bronkial di Instalasi

Rawat Inap Rumah Sakit Umum Daerah Bangli Bali tahun 2005 yang

meliputi jumlah jenis obat, golongan obat, jenis obat dan cara pemberian

yang diberikan?

c. Apakah ditemukan ketidaksesuaian dalam pemberian obat berdasarkan

standar Informatorium Obat Nasional Indonesia, Physicians Drug

Handbook dan Drug Information Handbook, yang mencakup dosis terlalu

rendah /dosis terlalu tinggi dan interaksi obat pada penatalaksanaan kasus

asma bronkial di Instalasi Rawat Inap Rumah Sakit Umum Daerah

Bangli-Bali tahun 2005?

2. Keaslian Penelitian

Penelitian mengenai penatalaksanaan asma bronkial pada pasien di

Instalasi Rawat Inap sudah pernah dilaksanakan sebelumnya baik yang

dilaksanakan di rumah sakit umum pemerintah maupun swasta, sebagai contoh

penelitian yang dilakukan oleh Chinthia Sani Yusriana yang berjudul Pengobatan

Penyakit Asma Bronkial Pada Pasien Anak Rawat Inap di Rumah Sakit Panti

Rapih Yogyakarta Periode 1999-2001 dan Lusius Lio yang berjudul Kajian

Peresepan Pasien Dewasa Asma Bronkial Non-Komplikasi di Instalasi Rawat

Inap Rumah Sakit Panti Rapih Yogyakarta tahun 2000. penelitian ini diharapkan

dapat melengkapi penelitian-penelitian sebelumnya, sehingga dapat memberikan

masukan bagi perkembangan ilmu pengetahuan, terutama pada perkembangan

(24)

B. Tujuan Penelitian 1. Tujuan Umum

Tujuan umum penelitian ini adalah untuk mengetahui gambaran peresepan

pasien asma bronkial di Instalasi Rawat Inap Rumah Sakit Umum Daerah

Bangli-Bali tahun 2005.

2. Tujuan Khusus

Penelitian tentang pola peresepan pasien asma bronkial di Instalasi Rawat

Inap Rumah Sakit Umum Daerah Bangli-Bali secara khusus bertujuan untuk :

a. mengetahui gambaran kasus asma bronkial pada pasien dewasa di Instalasi

Rawat Inap Rumah Sakit Umum Daerah Bangli-Bali tahun 2005 yang

umur pasien dan jenis kelamin pasien.

b. mengetahui gambaran umum peresepan pasien asma bronkial di Instalasi

Rawat Inap Rumah Sakit Umum Daerah Bangli Bali tahun 2005 yang

meliputi jumlah jenis obat, golongan obat, jenis obat dan cara pemberian

yang diberikan.

c. mengetahui apakah ditemukan ketidaksesuaian dalam pemberian obat

berdasarkan standar Informatorium Obat Nasional Indonesia, Physicians

Drug Handbook dan Drug Information Handbook, yang mencakup dosis

terlalu rendah /dosis terlalu tinggi dan interaksi obat pada penatalaksanaan

kasus asma bronkial di Instalasi Rawat Inap Rumah Sakit Umum Daerah

(25)

C. Manfaat Penelitian

Berdasarkan tinjauan pola peresepan pasien asma bronkial, maka hasil

penelitian diharapkan dapat memberikan manfaat sebagai berikut:

1. manfaat teoritis

Hasil penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai salah satu acuan

penelitian tentang peresepan pasien asma bronkial.

2. manfaat praktis

Hasil penelitian ini dapat memberikan masukan bagi Rumah Sakit Umum

Daerah Bangli-Bali sebagai bahan pertimbangan dalam pengobatan khususnya

(26)

BAB II

PENELAAHAN PUSTAKA

A. Pengobatan Rasional

Pengobatan rasional didasarkan pada fakta atau data yang diperoleh

dengan cara anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan dengan instrumen

kedokteran. Dalam proses pengobatan, terkandung aspek keputusan ilmiah yang

didasari oleh pengetahuan dan keterampilan yang memadai untuk melakukan

proses pengobatan. Tujuan pengobatan untuk memberi manfaat maksimal dengan

resiko seminimal mungkin bagi pasien (Nasution dan Lubis, 1993).

Menurut badan kesehatan dunia (WHO) tahun 1987, pemakaian obat

dikatakan rasional jika memiliki kriteria: sesuai dengan indikasi penyakit, tersedia

setiap saat dengan harga yang terjangkau, diberikan dengan dosis yang tepat, lama

pemberian yang tepat dan obat yang diberikan harus efektif, dengan mutu yang

terjamin dan aman (Nasution dan Lubis, 1993).

Untuk memahami syarat-syarat di atas dapat dijelaskan beberapa hal

sebagai berikut :

1. Ketepatan diagnosis / indikasi

Penegakan diagnosis diperlukan dalam pengambilan keputusan pengobatan

yang akan diberikan kepada pasien. Penegakan diagnosis tersebut umumnya

didasarkan atas anamnesis dan hasil temuan selama pemeriksaan baik fisik,

laboratorium (jika memungkinkan) maupun pemeriksaan penunjang lainnya.

(27)

medis selanjutnya, akan tetapi tidak setiap upaya medik memerlukan intervensi

obat (farmakoterapi), untuk beberapa keadaan, anjuran atau nasehat

(non-farmakoterapi) akan jauh lebih baik dan bermanfaat, misalnya anjuran untuk

meningkatkan asupan dan nilai gizi bagi anak yang malnutrisis.

2. Ketepatan pemilihan obat

Ketepatan dalam pemilihan obat diharapkan dapat memenuhi efek klinik yang

maksimal. Hal-hal yang perlu diperhatikan mencakup kelas terapi, jenis obat,

kemanfaatan obat, keamanan obat (resiko efek samping), harga dan mutu obat.

Pengobatan diupayakan untuk memenuhi kriteria sebagai berikut :

a. telah terbukti secara ilmiah memberi manfaat yang maksimal dengan

resiko yang sekecil mungkin.

b. diantara beberapa alternatif yang ada hendaknya dipilih yang paling

terjangkau pasien dan memberi manfaat klinik yang setara.

c. mutu terjamin.

d. merupakan obat yang betul-betul dibutuhkan dan mudah didapat.

3. Ketepatan penilaian terhadap kondisi pasien

Mengingat respon tiap individu terhadap obat beragam, maka diperlukan

pertimbangan yang mencangkup kemungkinan adanya kontraindikasi, terjadinya

efek samping, serta adanya penyakit yang menyertai.

4. Ketepatan pemberian informasi

Kejelasan informasi tentang obat yang harus diminum atau digunakan pasien,

akan sangat mempengaruhi ketaatan pasien dan keberhasilan pengobatan.

(28)

hal yang mungkin terjadi sehubungan dengan cara pengunaannya, kemungkinan

kegagalan terapi jika pasien tidak taat meminum obat sangatlah besar.

5. Tindak lanjut

Upaya tindak lanjut pengobatan perlu mempertimbangkan efek klinik atau

respon apa yang diharapkan dari terapi yang diberikan, sehingga dalam

pemantauan terhadap pasien selama masa pengobatan dapat diperoleh kesimpulan

mengenai kesembuhan, berkurangnya gejala penyakit, perlu dirujuk atau tidak,

timbul efek samping dan sebagainya (Nasution dan Lubis, 1993).

B. Drug Related Problems (DRPs)

Drug related problems (DRPs) didefinisikan sebagai peristiwa tidak

diinginkan, yang melibatkan atau dicurigai melibatkan terapi obat yang

benar-benar atau berpotensi bertentangan dengan hasil yang diinginkan pasien. DRP

terdiri dari aktual DRP, yaitu masalah yang sedang terjadi berkaitan dengan terapi

yang sedang diberikan pada penderita dan potensial DRP, yaitu masalah yang

diperkirakan akan terjadi berkaitan dengan terapi yang sedang diberikan pada

pasien.(Cipolle,1998).

Masalah-masalah dalam kajian DRP dapat ditunjukkan oleh kemungkinan

penyebab DRP sebagai berikut :

1. Butuh obat (Need for additional drug therapy)

a. Pasien dengan kondisi yang membutuhkan kombinasi obat

b. Pasien kronis membutuhkan kelanjutan terapi obat

(29)

d. Pasien dengan kondisi yang beresiko dan membutuhkan obat untuk upaya

pencegahan.

2. Tidak perlu obat (unnecersary drug Therapy)

a. Pasien lebih baik disembuhkan dengan non drug terapi

b. Pasien mendapat obat dalam jumlah toksis

c. Kondisi pasien akibat drug abuse

d. Tidak ada indikasi pada saat itu

e. pemakaian multiple drug yang seharusnya cukup dengan single drug terapi

f. Pasien minum obat untuk mencegah efek samping obat lain yang

seharusnya dapat dihindarkan.

3. Obat tidak tepat (wrong drug)

a. Kondisi pasien yang menyebabkan obat bekerja tidak efektif (kurang

sesuai dengan indikasinya)

b. Pasien mempunyai alergi terhadap obat-obat tertentu

c. Obat yang diberikan memiliki faktor resiko kontraindikasi dengan obat

lain yang juga dibutuhkan

d. Efektif namun bukan yang paling aman

e. Penggunaan antibiotika yang sudah resisten terhadap infeksi pasien

f. Adanya kombinasi obat yang tidak perlu.

4. Dosis terlalu rendah (Dose too low)

a. Dosis yang digunakan terlalu rendah untuk memberikan respon

b. Konsentrasi obat di bawah therapeutic range

(30)

d. Pemberian obat terlalu awal

e. Dosis dan interval obat tidak cukup.

5. Dosis terlalu tinggi (Dose too high)

a. Dosis yang digunakan pasien terlalu tinggi untuk memberikan respon

b. Konsentrasi obat di atas therapeutic range

c. Dosis obat terlalu cepat dinaikkan

d. Akumulasi obat karena penyakit kronis

e. Obat, dosis, rute, atau, konversi formula obat tidak sesuai.

6. Efek samping (Adverse Drug reaction/ADR)

a. Dosis obat yang diberikan kepada pasien terlalu tinggi kecepatannya

b. Adanya reaksi alergi terhadap obat-obat tertentu

c. Ada faktor resiko yang membahayakan bagi pasien

d. Interaksi dengan obat-obatan atau makanan

e. Hasil laboratorium pasien berubah akibat obat.

7. Ketidaktaatan pasien (Uncomplience)

a. Pasien tidak menerima obat sesuai regimen karena medication error

b. Pasien tidak taat instruksi

c. Pasien tidak mengambil obat karena harga obat mahal

d. Pasien tidak mengambil obat karena tidak memahami

(31)

Pada penelitian ini, pembahasan tentang DRP akan di titik beratkan pada

Potensial DRP yang meliputi dosis terlalu rendah, dosis terlalu tinggi, interaksi

obat dan ketidaktaatan pasien yang berkaiatan dengan sediaan obat yang

diberikan.

1. Interaksi Obat

Intaraksi obat terjadi ketika efek suatu obat berubah dengan adanya obat,

makanan, minuman atau beberapa agen kimia lainnya (Stuckly, 1994), menurut

Setiawati (1995), interaksi antara obat dapat berakibat menguntungkan atau

merugikan. Interaksi yang menguntungkan, misalnya :

a. penisilin dengan probenesid, probenesid menghambat sekresi penisilin di

tubuli ginjal sehingga meningkatkan kadar penisilin di dalam plasma

dengan demikian meningkatkan efektivitasnya dalam terapi gonore.

b. kombinasi obat hipertensi dapat meningkatkan efektivitas dan mengurangi

efek samping.

c. kombinasi obat anti kanker dapat meningkatkan efektivitas dan

mengurangi efek samping.

d. kombinasi obat tuberkolosis dapat memperlambat timbulnya resistensi

kuman terhadap obat.

Antagonis efek toksik obat oleh antidotnya masing-masing, Stockly (1994)

(32)

a. walfarin jika diberikan bersamaan dengan fenilbutason, fenilbutason

menghambat metabolisme warfarin sehingga kadar warfarin dalam tubuh

meningkat sehingga dapat mengakibatkan pendarahan.

b. pasien mengkonsumsi monoamin oksidase inhibitor (MOIO) bersamaan

dengan makanan kaya akan tiramin karena enzim monoamin oksidase

(MAO) dihambat oleh MOIO. Jika tiramin tidak dimetabolisme, maka

akan terjadi akumulasi tiramin ditubuh yang mampu membebaskan

norepinefrien yang menyebabkan tekan darah naik dan mengakibatkan

krisis hipertensi.

Mekanisme interaksi obat secara garis besar terdiri dari 3 mekanisme,

yaitu interaksi farmakosetik atau inkompatibilitas, interaksi farmakokinetik dan

intaraksi farmakodinamik.

a. Interaksi farmasetik atau inkompatibilitas

Interaksi farmasetik atau inkompatibilitas terjadi di luar tubuh (sebelum

obat diberikan) di mana antara obat satu dengan yang lain tidak dapat

saling campur (inkompatibel). Pencampuran obat menyebabkan terjadinya

interaksi langsung secara fisika atau kimiawi, yang hasilnya sebagai

pembentukan endapan, perubahan warna dan lain-lain. Interaksi ini

berakibat inaktivasi obat, contoh : gentamin mengalami inaktivasi jika

dicampur dengan karbenesin, demikian juga dengan penisilin G bila

dicampur dengan vitamin C, sedangkan Ampoterisin B mengendap dalam

(33)

b. Interaksi farmakokinetik.

Interaksi farmakokinetik terjadi bila salah satu obat mempengaruhi

absorpsi, distribusi, metabolisme, atau ekskresi obat kedua sehingga kadar

plasma obat kedua meningkat atau menurun yang mengakibatkan

peningkatan toksisitas atau penurunan efektivitas dari obat tersebut.

Interaksi farmakokinetik tidak dapat diektrapolasikan ke obat lain yang

segolongan dengan obat yang berinteraksi, meskipun strukturnya mirip,

karena antara obat segolongan terdapat variasi sifat-sifat fisikokimia yang

menyebabkan variasi sifat-sifat farmakokinetikanya.

c. Interaksi farmakodinamik

Stockley (1994) berpendapat bahwa interaksi farmakodinamik adalah

interaksi obat yang terjadi karena hadirnya obat lain di tempat aksi obat.

Pendapat ini selaras dengan pendapat yang dikemukakan oleh Setiawati

(1995) yakni interaksi farmakodinamik merupakan interaksi antara obat

yang bekerja pada sistem reseptor tempat kerja, atau sistem fisiologik yang

sama sehingga terjadi efek aditif , sinergistik atau antagonistik. Interaksi

farmakodinamik sering kali dapat diekstrapolasikan ke obat lain yang

segolongan dengan obat yang berinteraksi, karena penggolongan obat

memang berdasarkan atas persamaan efek farmakodinamiknya di samping

itu, kebanyakan interaksi ini dapat diperkirakan kejadiannya sehingga bisa

dihindari sedini mungkin apabila dokter yang bersangkutan mengetahui

(34)

2. Cara pemberian dan bentuk sediaan obat

Bentuk sediaan obat dibedakan untuk pemakaian luar dan untuk

pemakaian dalam. Bentuk sediaan obat untuk pemakaian dalam adalah obat-obat

yang diberikan melalui mulut, tenggorokan, masuk ke perut. Penggunaan tersebut

biasanya disebut pemberian oral (Anief,1996).

Cara penggunaan lainnya dianggap sebagai penggunaan luar, antara lain

pemakaian obat melalui kulit dengan jalan merobek atau menembus kulit, yaitu

perinjeksi atau parenteral, misalnya intra vena. Pemakaian obat melalui dubur

(rektal) yaitu suppositoria, melalui lubang kemaluan (genital) yaitu ovulla,

melalui lubang kencing (urogenital) yaitu bacilla, dan melalui lavemen yaitu

clysma. Selanjutnya pemakaian obat pada selaput lendir antara lain melalui mata

yaitu tetes mata, obat cuci mata; melalui rongga mulut misalnya obat kumur dan

melalui telinga misalnya tetes telinga. Pemakaian pada kulit, misalnya salep,

pasta, lotion, krim disebut dengan pemakaian topikal (Anief,1996).

Berdasarkan konsistensinya, bentuk sediaan obat dapat dibagi menjadi 4

macam ;

a. bentuk sediaan padat seperti serbuk, tablet, kapsul, pil

b. bentuk sediaan semi padat seperti salep, krim, pasta

c. bentuk sediaan cair seperti suspensi, emulsi, solution, potio

d. bentuk sediaan gas seperti aerosol (Fudholi, 1999).

. Beberapa definisi bentuk sediaan obat, antara lain serbuk, tablet, salep dan

sirup. Serbuk adalah campuran dua atau lebih bahan obat yang diserbukkan.

(35)

bahan pengisi. Kapsul adalah sediaan padat terdiri dari obat dengan cangkang

keras atau lunak yang dapat larut. Sirup termasuk dalam sediaan larutan atau

sediaan cair yang mengandung satu atau lebih zat kimia. Penggunaan istilah sirup

juga digunakan untuk bentuk sediaan cair yang mengandung bahan pengental dan

pemanis, termasuk suspensi oral (Anonim, 1979 dan Anonim, 1995).

C. Anatomi Saluran Pernapasan Manusia

Saluran napas berfungsi untuk mengambil oksigen yang penting bagi

kehidupan dan mengeluarkan karbondioksida. Atau dengan kata lain fungsi

pernapasan yang utama adalah untuk pertukaran gas (Tabrani, 1996). Oleh karena

itu baik anatomi maupun fisiologi paru disesuaikan dengan fungsi ini.

Saluran pernapasan terdiri dari : rongga hidung, faring, laring, trakea dan

paru-paru. Laring membagi saluran pernapasan menjadi 2 bagian, yakni saluran

pernapasan atas (rongga hidung, faring, laring) dan saluran pernapasan bawah

(trakea, bronchi dan paru-paru) (dikutip dari respiratory emergencies shibel,

moser).

1. Saluran Pernapasan

Secara fungsional saluran pernapasan dibagi atas bagian yang berfungsi

sebagai konduksi (pengantar gas) dan bagian yang berfungsi sebagai respirasi

(pertukaran gas)

(36)

Respirasi : bronkiolus respiratorius, duktus alveolaris, atrium dan sakus alveolaris.

Gambar 1. Sistem pernapasan pada manusia

A. Rongga Hidung

Rongga hidung terdiri atas :

1. vertibulum yang dilapisi oleh sel submukosa sebagai proteksi

2. dalam rongga hidung terdapat rambut yang berperan sebagai penapis udara

3. struktur konka yang berfungsi sebagai proteksi terhadap udara luar karena

strukturnya berlapis.

4. sel silia yang berperan untuk melemparkan benda asing keluar dalam

usaha untuk membersihkan jalan napas.

(37)

1. sebagai fungsi preventif, dilaksanakan oleh :

a. Bulu hidung sebagai penyaring debu.

b. Silia yang tumbuh pada pseodokolomma epithelium, berdasarkan atas

momentum dari partikel benda asing di udara, maka benda asing akan

ditangkap oleh silia dikonka superior, dan hanya udara yang

berpartikel 4-6 mikron saja yang dapat masuk saluran napas yang lebih

bawah.

2. sebagai fungsi lubrikasi (pelicin)

Sesuai dengan fungsi ini, maka jalan napas tidak menjadi kering, fungsi ini

dilaksanakan oleh kelenjar submukosa dan sel goblet.

3. sebagai fungsi pemanas dan pendingin udara.

Fungsi ini dilaksanakan karena kayanya vaskularisasi yang terdapat di

dalam rongga hidung yang berfungsi sebagai konduksi dari panas dan

karena adanya perputaran dari udara inspirasi serta ekspirasi.

B. Faring

Merupakan bagian belakang dari rongga hidung dan rongga mulut, terdiri

dari nasofagus (bagian yang berbatasan dengan rongga hidung), orofaring (bagian

yang berbatasan dengan rongga mulut) dan hipofaring (bagian yang berbatasan

dengan laring), yakni bagian di mana pemisahan antara udara dan makanan

(38)

C. Laring

Walaupun fungsi utamanya adalah sebagai alat suara, akan tetapi di dalam

saluran pernapasan fungsi laring adalah sebagai jalan udara, karena celah suara di

antara pita suara berfungsi sebagai pelindung dari jalan udara. Bila dilihat secara

fontal maupun lateral, pada bagian laring dapat dilihat adanya epiglotis, tulang

hioid, tulang rawan tiroid, tulang aritenoid dan tulang rawan krikoid. Tulang

rawan krikoin merupakan batasan terbawah dari tulang rawan laring, yaitu terletak

2-3 cm di bawah laring. Di bawah dari tulang krikoid inilah biasanya dilakukan

tindakan trakeotomi yang bertujuan untuk memperkecil “dead space”(bagian

konduksi) dan mempermudah melakukan penghisakan sekresi.

D. Trakea

Trakea merupakan suatu cincin tulang rawan yang tidak lengkap (

U-Shapped/berbentuk huruf U), di mana pada bagian belakangnya terdiri dari 16-20

cincin tulang rawan. Panjang trakea ± 10 cm, tebalnya 4-5 mm, diameternya lebih

kurang 2,5 cm, dan luas permukaannya 5 cm2 . Lapisan trakea terdiri dari mukosa,

kelenjar submukosa dan dibawahnya terdapat jaringan otot yang terletak pada

bagian depan yang menghubungkan kedua bagian tulang rawan. Diameter trakea

ini berveriasi pada saat inspirasi dan ekspirasi.

E. Paru

Paru kanan dan kiri adalah jaringan yang elastis yang bekerja seperti

(39)

dan terpisah oleh dua fisura lengkap. Paru kiri terbagi menjadi dua lobus oleh satu

fisura. (Basmajian dan J.V. slonecker,1995).

Bila dalam keadaan sehat aliran udara dari hidung atau mulut sampai ke

alveoli dapat dikatakan tidak mengalami hambatan berarti, lain halnya waktu

serangan asma. Aliran udara disini akan menjadi lambat karena saluran napas

menyempit. Penyempitan ini disebabkan oleh otot-otot yang melingkar pada

saluran napas mengkerut atau mengalami bronkospasme. Lapisan sel-sel

permukaan saluran napas membengkak disertai infiltrasi sel-sel radang

disekitarnya dan produksi mukus atau lendir berlebihan.

F. Bronkus

Dinding bronkus dan bronkiolus mengandung otot polos dan dilapisi oleh

sistem saraf otonom. Pada umumnya, parasimpatis yang merangsang melalui

nervus vagus menyebabkan bronkus menyempit dan simpatis yang merangsang

melalui reseptor β2-adrenergik menyebabkan bronkus melebar. Selain itu terdapat

persarafan noradrenergik yang menyebabkan bronkodilatasi. Fungsi otot-otot

bronkus masih diperdebatkan, tetapi mungkin salah satu fungsinya membantu

mempertahankan penyebaran ventilasi. Otot-otot bronkus juga melindungi

bronkus selama batuk dan memiliki irama sirkadian pada tonus bronkus, dengan

kontriksi maksimal sekitar jam 06:00 dan dilatasi maksimal sekitar jam 18:00,

itulah sebabnya mengapa asma menyerang lebih hebat pada tengah malam dan

(40)

2. Jalan Napas

Paru-paru terdiri dari dua bagian yang terpisah, masing-masing mengisi

rongga dada kiri dan kanan. Kedua bagian tersebut dilapisi oleh suatu selaput,

pleura viseralis yang berhubungan dengan pleura parietalis dengan perantaraan

suatu cairan. pleura parietalis ini melapisi dinding toraks bagian dalam diagfagma

dan mediatinu. Kedua pleura yang sering disebut juga selaput dada, dapat

bergesek satu sama lain. Pada hilus paru-paru (tempat masuknya bronkus utama

dan pembuluh pada paru-paru) pleura viselaris yang menjadi pleura parietalis.

paru dibagi menjadi beberapa bolus oleh suatu lekukan yang dalam.

Paru-paru kanan terdiri dari tiga bolus, Paru-paru-Paru-paru kiri terdiri dari dua bolus.

Udara yang dihirup secara fisiologis akan masuk melalui hidung, yaitu

tempat udara dihangatkan, dilembabkan dan dibersihkan, kemudian menuju faring

(kerongkongan) lalu ke larings (tenggorokan). Pada pernapasan yang dipaksakan

udara juga masuk melalui rongga mulut. Sampai faring, jalan udara dan makanan

sama. Pada laring jalan udara dan makanan terpisah, udara akan mengalir melalui

trakea, bronkus utama dan masuk kecabang bronkus kecil selanjutnya.

Trakea merupakan saluran jaringan ikat berlumen besar, di mana terdapat

tulang rawan berbentuk tapal kuda dan serabut otot polos. Pada ruas tulang

belakang kelima, trakea akan membagi dua membentuk batang bronkus, yang

masuk ke dalam paru-paru pada daerah hilus kiri dan kanan. Dinding bagian

dalam trakea dan bronkus dilapisi dengan epitil respirasi yang mempunyai bulu

(41)

akan mendorongnya ke arah luar. Di bawah epitel terdapat berbagai kelenjar

campuran yang menghasilkan sekret serosa maupun mukus.

Bronkus yang kecil akan bercabang-cabang membentuk bronkhioli, yang

akhirnya pada percabangan terakhir bermuara di duktus alveoli (saluran alveoli).

Alveoli berbentuk setengah lingkaran dengan diameter sekitar 0.1-0.2 mm

dikelilingi oleh jaringan kapiler yang rapat yang dialiri oleh darah vena dari

arteria pulmonalis. Karena kontak yang sangat berdekatan anatara darah kapiler

dengan udara alveoli maka pertukaran gas pernapasan akan dipermudah di sini.

Pasokan udara alveoli (ventilasi alveolar) yang diperlukan bagi pertukaran

gas didapat dengan proses pertukaran ritmik antara inspirasi (menarik napas) dan

ekspirasi (mengeluarkan napas). Pada waktu inspirasi udara segar yang

mengandung oksigen akan masuk ke ruang alveoli, sedangkan pada waktu

ekspirasi udara yang miskin oksigen yang mengandung banyak karbondioksida

akan dikeluarkan ke udara sekitar. Inspirasi merupakan proses aktif, di mana pada

kontraksi otot inspirasi, volume intratorakal membesar. Dengan meregangnya

paru-paru tekanan intrapulmonal akan turun lebih rendah dari tekanan atmosfer,

dan karena perbedaan tekanan ini udara masuk ke dala alveoli. Sebaliknya

ekspirasi (pada pernapasan biasa) berlangsung pasif. Karena keelastisan/

kekenyalannya, maka paru-paru yang menempel pada rongga dada dengan

(42)

D. Asma Bronkial 1. Pengertian

Asma bronkial termasuk dalam Gangguan Ventilasi Obstruktif

(menghalangi), yang termasuk gangguan ventilasi obstruksi adalah semua

gangguan ventilasi yang disebabkan oleh penyempitan saluran napas dan dengan

demikian terjadi pengingkatan tahanan aliran udara.

Yang termasuk gangguan ventilasi obstruktif antara lain :

a. asma bronkial, dan

b. bronkitis kronis

Asma bronkial merupakan suatu penyakit yang ditandai dengan

hiperreaktivitas respon trakea dan bronkus terhadap berbagai rangsangan.

Manifestasi dari penyakit ini berupa penyempitan jalan nafas yang luas dan

derajatnya dapat berubah-ubah baik secara spontan maupun hasil dari pengobatan

(Mutschler,1991).

Asma ditandai dengan adanya serangan sesak napas dan mengi

(wheezing) serta peningkatan respon trakea dan Bronkus terhadap berbagai

stimulus dan penyempitan luas pada saluran pernapasan yang berubah-ubah

keparahannya, baik spontan atau sebagai akibat terapi. Tanda klinik asma berupa

serangan episodik berulang batuk, napas pendek, dada terasa terikat dan wheezing

(43)

Inflamasi

Pemicu Asma Hipereaktifitas Bronkus

Gangguan Saluran Napas

Gambar 2. Siklus Asma

Yang utama secara klinis pada asma bronkial adalah kesulitan pernapasan

yang parah dengan kurangnya oksigen dalam jaringan. Akibat spasmus otot polos

bronkhioli dan Bronkus kecil serta akibat adanya lendir yang kental dalam lumen

Bronkus yang menyempit ini, akan terjadi ekspirasi yang sulit dan berdengik serta

diperlambat. Serangan dapat berlangsung beberapa menit tetapi juga berjam-jam

dan malahan berhari-hari dalam bentuk status asmaticus yang membahayakan

jiwa. Serangan umumnya diakhiri dengan batuk yang hebat dan keluarnya dahak

yang kental dan bening.

2. Pembagian Asma Secara Klinis

Secara klinis asma dapat dibagi menjadi tiga bagian :

a. Asma akut intermiten

Tidak ada gejala sama sekali di luar serangan. Pemeriksaan fungsi paru

tanpa provokasi tetap normal. Penderita ini sangat jarang jatuh ke dalam

status asmatikus dan dalam pengobatannya sangat jarang memerlukan

(44)

b. Asma akut dan status asmatikus

Serangan asma dapat sedemikian beratnya sehingga penderita segera

mencari pertolongan. Bila serangan asma akut tidak bisa diatasi dengan

obat-obat adrenergik beta dan teofilin, disebut status asmatikus.

c. Asma kronik persisten

Pada asma kronik persisten selalu ditemukan gejala-gejala obstruksi jalan

napas, sehingga diperlukan pengobatan yang terus-menerus. Hal tersebut

disebabkan oleh karena saluran jalan napas penderita terlalu sensitif selain

adanya faktor pencetus yang terus-menerus (Baratawidjaya,1990).

3. Gejala Asma

Dasar kelainan asma adalah keadaan bronkus (saluran napas bagian

dalam) yang hiperreaktif terhadap berbagai rangsangan. Jika ada rangsangan pada

bronkus yang hiperreaktif maka akan terjadi :

a. otot bronkus akan mengerut atau menyempit.

b. selaput lendir bronkus membengkak.

c. produksi lendir menjadi banyak dan kental. Lendir yang kental ini sulit

dikeluarkan atau dibatukkan sehingga penderita menjadi lebih

(45)

Gambar 3. Saat asma menyerang (www.MayoClinic.com, 2006)

Keadaan bronkus yang sangat peka dan hiperreaktif pada penderita asma

menyebabkan saluran napas menjadi sempit, akibatnya pernapasan menjadi

terganggu. Hal ini menimbulkan gejala asma yang khas yaitu : batuk, sesak napas

dan wheeling atau mengi. Manifestasi serangan asma tidak sama pada setiap

orang, bahkan pada satu penderita yang sama, berat dan lamanya serangan asma

dapat berbeda dari waktu ke waktu. Beratnya serangan dapat bervariasi mulai dari

yang ringan sampai yang berat, demikian pula dengan lama serangan. Serangan

bisa saja singkat, sebaliknya dapat pula berlangsung sampai berhari-hari (Abidin

dan Ekasari,2002).

4. Faktor-Faktor Penyebab Asma

Asma dapat disebabkan oleh berbagai faktor, dan tiap penderita mungkin

(46)

a. faktor dasar

Faktor dasar atau kausa adalah faktor yang sudah ada pada diri manusia itu

untuk timbulnya asma.

1. faktor genetik: berhubungan dengan keturunan dimana gen tunggal

sebagai pembawa sifat keturunan yang dominan.

2. faktor hiperreaktivitas bronkus; bronkus bereaksi hebat terhadap

rangsangan yang pada orang normal tidak ada reaksi.

3. faktor alergi.

b. faktor pencetus

Faktor pencetus yang dapat menimbulkan serangan asma akut :

1. alergen merupakan faktor pencetus asma yang sering dijumpai pada

penderita seperti tepung sari, spora jamur, debu rumah, tungau, bulu

binatang, bakteri, alergen makanan seperti coklat, tepung, telur atau

ikan.

2. lingkungan kerja, terutama dalam pabrik-pabrik atau perusahaan

seperti lingkungan pabrik roti, pabrik tenun, peternakan.

3. polusi udara seperti asap rokok, semprotan obat nyamuk, semprotan

rambut, asap industri dan asap kendaraan bermotor.

4. iklim, terdiri dari hawa dingin dan kelembaban udara yang tinggi.

5. infeksi saluran napas.

6. olah raga atau kegiatan jasmani, seperti bersepeda, lari-lari, berenang,

(47)

7. emosi, seperti rasa takut, rasa senang berlebihan, sedih dan sebagainya

8. obat-obatan, seperti propanolol (obat jantung), narkotik, reserpin,

aspirin (Sutaryo,1985)

5. Patogenesis

Berdasarkan macam rangsangan atau faktor pencetus asma,

patogenesisnya dapat dibedakan mejadi dua :

a. asma ekstrinsik (Imunologik)

Bentuk asma ekstrinsik biasanya terdapat pada anak-anak dengan riwayat

keluarga alergi terhadap suatu zat. Asma imunologik ekstrinsik adalah

suatu hepersensitivitas tipe I yang diperantarai oleh imonoglobulin E yang

selanjutnya disebut Ig E, yang dapat membentuk anti bodi Ig E bila

terkena alergen. Antibodi ini terikat pada sel mati dan basofil di dalam

mukosa trakea bronkial, sel ini bila terkena alergen akan mengeluarkan

histamin. Histamin dengan simultan dapat merangsang pembentukan

indikator-indikator prostaglandin (PGD2) dan leukotrien (LDT).

Derivat-derivat lain yang dihasilkan selain histamin adalah asam arakihidonat

termasuk LTB4 (suatu kemoantraktan yang paten) dan tromboksanA2

(aktifator dan agresor dari platelet). Berdasarkan cara ini, sel mengi, segala

bentuk sel darah putih dan platelet bereaksi di dalam bronkus. Sel-sel ini

akan merangsang terlepasnya lebih banyak mediator seperti serotonin dan

(48)

b. asma intrinsik (non imunologik)

Asma intrinsik dapat terjadi pada segala usia dan mempunyai

kecenderungan lebih sering kambuh dan lebih tinggi tingkat keparahannya

dibandingkan asma ekstrinsik. Asma intrinsik dan imunologi di

postulasikan sebagai hasil berbagai abnormalitas kontrol parasimpatik

fungsi saluran napas. Otot polos saluran udara, kelenjar submukosa dan

kapilar diatur oleh sistem saraf otonom, rangsang kolinergik dan alfa

andrenergik menyebabkan bronkokontriksi dan sekresi mukosa, adanya

rangsangan beta – alfa reseptor dari sel mukosa bronkial menyebabkan

banyaknya gejala asma. Kemungkinan beberapa intervensi yang

menghambat jalur beta adrenergik dapat juga menyebabkan

bronkokontriksi (Robbins dan kumar,1987).

Menurut teori, pasien dapat mengalami bronkokontriksi pada suhu dingin,

kenaikan ventilasi dengan olah raga, polusi udara dan rangsangan imunologik lain

seperti yang meminum aspirin. Faktor tersebut dapat menyebabkan vagal aferen

kolinergik dan alfa adrenergik mengadakan perubahan karakteristik asma. Aspirin

dapat berbahaya bagi pasien asma karena aspirin adalah mediator melalui asam

arakidonat dengan menghambat siklo oksigenase mediator leukotrien yang dapat

(49)

6. Pengobatan Asma

a. Pengobatan asma ditujukan pada macam-macam aspek:

1. Kausal ; mencari dan menentukan sebabnya. Bila diketahui sebabnya

maka dengan menghindari sebab itu akan mengurangi kemungkinan

mendapat serangan, terutama dari faktor pencetus.

2. Simtomatis : pengobatan yang hanya untuk menghilangkan gejala

asma.

3. Obat pencegahan serangan : berguna untuk mencegah agar serangan

asma tidak sering terjadi.

4. Immunoterapi : dengan jalan mengurangi bahan-bahan yang

menyebabkan timbulnya serangan asma. (Sutaryo,1985).

b. Prinsip-prinsip umum pengobatan asma bronkial adalah :

1. Menghilangkan obstruksi jalan napas dengan segera

2. Mengenal dan menghindari faktor-faktor yang dapat mencetuskan

serangan asma

3. Memberikan penerangan kepada penderita atau keluarganya mengenai

penyakit asma maupun tentang perjalanan penyakitnya, sehingga

penderita mengerti tujuan pengobatan yang diberikan dan bekerja sama

dengan dokter yang merawatnya (Baratawidjaya, 1990)

c. Obat-obat asma

Obat-obat asma terdiri dari dua bagian yaitu saat serangan dan pencegah

serangan.

(50)

a. Bronkodilator : menyebabkan relaksasi otot-otot halus yang berada

di saluran pernapasan. (Warfield, 1996). Bronkodilator terdiri dari

3 golongan yaitu :

1. Simpatomimetik

2. Xantin

3. Atropin

b. Kortikosteroid : obat anti alergi dan anti peradangan contohnya

prednison, metil prednisolon, hidrokortison. Cara kerjanya sebagai

obat anti alergi yang kuat, mengurangi pembengkakan saluran

napas dan memperbaiki kerja bronkodilator yang sudah melemah.

(Sundaru,1995).

2. Obat untuk pencegah serangan asma

a. Kromon ; mekanisme secara pasti belum diketahui, tetapi kromon

telah terbukti dapat menghalangi EAR (Early Asthmatic Respons)

dan LAR (Late Asthmatic Respons) serta mencegah meningkatnya

hiperreaktifitas bronki berikutnya. (Kelly dan Kamada, 1997)

b. Ketotifen

c. Kortikosteroid aerosol : bekerja sebagai anti alergi dan anti

peradangan serta memperkuat kerja dari bronkodilator

(Sundaru,1995)

d. Nedokromik : diduga mempunyai efek anti peradangan seperti

(51)

dan sedang , terutama yang disebabkan alergen, kegiatan jasmani

maupun iritan seperti hawa dingin atau asap. (Sundaru,1995)

e. Antileukotrien : mencegah terbentuknya leukotrien.

f. Suntikan alergen (Laprin) : untuk membentuk zat anti di dalam

tubuh. (Sundaru, 1995)

E. Keterangan Empiris

Penelitian ini diharapkan mampu memberikan gambaran pola peresepan

yang meliputi karakteristik pasien, jumlah obat, jenis obat, golongan obat, bentuk

sediaan, cara pakai, dan kesesuain obat yang diberikan berdasarkan standar

pelayanan medis, ketepatan dosis dan potensi terjadinya interaksi obat asma

bronkial yang diberikan pada pasien asma bronkial yang ada di Instalasi Rawat

(52)

BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

A. Jenis dan Rancangan Penelitian

Penelitian mengenai kajian penatalaksanaan resep Pasien Asma Bronkial

di Instalasi Rawat Inap Rumah Sakit Umum Daerah Bangli-Bali tahun 2005

merupakan penelitian deskriptif non ekperimental (observasional) yang dilakukan

dengan metode retrospektif. Penelitian ini termasuk penelitian non-eksperimental

karena tidak ada perlakuan pada subjek uji. Data yang digunakan adalah catatan

rekam medik dari pasien asma bronkial di Instalasi Rawat Inap Rumah Sakit

Umum Daerah Bangli-Bali tahun 2005.

B. Definisi Operasional

1. Rumah Sakit Umum Daerah Bangli-Bali adalah tempat yang digunakan untuk

mendapatkan data yang digunakan untuk mengkaji penatalaksanaan resep

asma bronkial pada skripsi ini.

2. Asma bronkial merupakan suatu kelainan dengan ciri meningkatnya respon

trakea dan bronkus terhadap berbagai rangsangan dengan manifestasi adanya

penyempitan jalan nafas yang luas dan derajatnya dapat berubah-ubah baik

secara sepontan maupun hasil dari pengobatan

3. Kajian profil peresepan adalah gambaran tata cara pemberian obat kepada

pasien yang meliputi pemilihan jumlah obat, golongan obat, jenis obat, bentuk

(53)

bronkial di Instalasi Rawat Inap Rumah Sakit Umum Daerah Bangli-Bali pada

tahun 2005.

4. Kriteria pasien adalah semua penderita asma bronkial yang mendapat

perawatan medis di Instalasi Rawat Inap Rumah Sakit Umum Daerah

Bangli-Bali tahun 2005.

5. Kelompok balita (0 sampai 5 tahun), anak-anak (5<n≤12 tahun), dewasa

(12<n≤65 tahun), dan lanjut usia (di atas 65 tahun)

6. Kartu rekan medik adalah berkas yang memberikan catatan tentang identitas

pasien yang meliputi nomor rekam medis, nama, umur, pekerjaan, jenis

kelamin, diagnosis, jenis obat, dosis obat, lama pemberian, rute pemberian dan

hasil pengobatan.

7. Golongan obat adalah kelompok obat berdasarkan kelas terapi yang diberikan

kepada pasien dewasa asma bronkial, misalnya bronkodilator, kortikosteroid,

rehidrasi, oksigen, antiinfeksi, obat batuk dan anti histamine.

8. Jenis obat adalah nama generik obat yang diberikan kepada pasien asma

bronkial di Instalasi Rawat Inap Rumah Sakit Umum Daerah Bangli-Bali pada

tahun 2005, misalnya terbutain sulfat.

9. Indikasi tidak butuh obat yaitu pasien lebih baik disembuhkan dengan non

drug therapy, pasien mendapat obat dalam jumlah berlebih, pemakaian

multiple drug yang seharusnya cukup dengan single drug terapi, serta obat

diberikan untuk mencegah efek samping obat lain yang seharusnya dapat

(54)

10.Pemilihan obat tidak tepat yaitu obat yang diberikan kepada pasien tidak

efektif (kurang sesuai dengan indikasinya), pasien mempunyai alergi terhadap

obat tersebut, obat yang diberikan memiliki kontraindikasi dengan obat lain,

efektif namun bukan yang paling murah dan aman, serta adanya kombinasi

obat yang tidak perlu.

11.Dosis terlalu rendah adalah pasien mendapat obat dengan kandungan zat aktif

terlalu rendah untuk memberikan efek.

12.Dosis terlalu tinggi adalah pasien mendapat obat dengan kandungan zat aktif

terlalu tinggi untuk memberikan efek.

13.Adverse Drug Reaction adalah munculnya efek samping obat yang tidak

diharapkan yang dialami pasien beserta interaksi obatnya.

14.Kerasionalan terapi adalah kesesuaian pemberian obat dan perlakuan dengan

standar yang telah ditetapkan.

15.Interaksi obat adalah peristiwa berubahnya efek suatu obat akibat adanya obat

atau zat aktif lain yang diberikan secara bersamaan.

C. Bahan Penelitian

Bahan penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah lembar

rekam medik (RM), dan informasi dari instalasi farmasi rumah sakit mengenai

pasien asma bronkial di Rumah Sakit Umum Daerah Bangli-Bali pada tahun

2005. Data dari rekam medik tiap pasien kemudian dikelompokan berdasarkan

(55)

D. Lokasi penelitian

Penelitian mengenai kajian penatalaksanaan resep Pasien Asma Bronkia

dilakukan di Instalasi Rawat Inap Rumah Sakit Umum Daerah Bangli-Bali

(RSUD Bangli-Bali).

E. Jalannya Penelitian

Penelitian mengenai kajian penatalaksanaan resep Pasien Asma Bronkial

dilakukan dalam beberapa tahap sebagai berikut :

1. Perencanaan

Pada tahap ini dilakukan analisis situasi, penentuan masalah serta

pencarian informasi standar penatalaksanaan asma bronkialdi RSUD Bangli-Bali.

Pada tahap analisis situasi dilakukan dengan mencari informasi pada bagian

rekam medik mengenai distribusi penyakit asma bronkial pada pasien dewasa di

Instalasi Rawat Inap RSUD Bangli-Bali pada tahun 2005.

.2. Pencarian dan pencatatan Data

Proses pencarian data diawali dengan penelusuran data pasien yang

mengalami penyakit asma bronkial. Selanjutnya dilakukan pengumpulan bahan

dan pencatatan data ke dalam lembaran laporan.

a. Proses pencarian data, diperolah dengan melihat laporan sub-bagian rekam

medik yang berupa laporan jumlah kasus pasien dewasa asma bronkial di

(56)

Kemudian dilakukan pengambilan data pada lembar-lembar rekam medik

sesuai jumlah sampel yang ada serta pencarian informasi dari bagian rekam

medik mengenai kekurangan data bila ditemukan data yang tidak lengkap.

b. Proses pencatatan data, yaitu dengan mencatat yang ada di lembar rekam

medik tiap pasien . Data yang diambil adalah meliputi nomor rekam medik,

umur, jenis kelamin, lama perawatan, anamnesis, hasil diagnosis awal, hasil

diagnosis keluar, obat yang diberikan, dosis, komplikasi penyakit lain, cara

pemberian obat, jumlah obat, bentuk sediaan dan keterangan akhir pasien.

3. Pengolahan Data

Data yang diperoleh kemudian diolah, hasil yang diperoleh disajikan

dalam bentuk tabel dan ada pula yang disajikan dalam bentuk gambar.

4. Tahap analisis hasil

Data dianalisis secara deskriptif kemudian hasilnya disajikan dalam

bentuk tabel beserta uraian penjelasan. Analisis tersebut berdasarkan :

a. Jenis kelamin, umur

b. Golongan dan jenis obat

c. Evaluasi kasus asma bronkial yang terjadi dengan melihat data pada rekam

(57)

BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN PENELITIAN

Tujuan pengobatan asma bronkial adalah menghilangkan gejala atau

serangan asma secepat mungkin, mengusahakan agar penderita asma dapat

menjalankan kehidupan sehari-harinya dengan normal, serta mencegah atau

mengurangi berat dan banyaknya serangan asma berikutnya. Hal ini dapat dicapai

dengan jalan mengobati serangan asma bronkial dengan mempertimbangkan

beberapa parameter seperti: jumlah obat, golongan obat, cara pemberian obat dan

kerasionalan pengobatan yang terkait dengan drug related problems (DRPs).

Evaluasi pengobatan mutlak dilakukan, mengingat panjangnya terapi yang

diberikan kepada pasien asma bronkial karena asma bronkial merupakan penyakit

yang tidak dapat disembuhkan secara total dan merupakan penyakit turunan.

Evaluasi akan menjadikan penanganan pasien asma bronkial semakin baik

(rasional) hal ini disebabkan karena evaluasi akan memberikan kajian yang

mendalam tentang pengobatan yang dilakukan baik yang berhasil (pasien sembuh)

ataupun yang gagal (pasien tidak sembuh). Pengkajian setiap proses pengobatan

dengan melihat penatalaksanaan pengobatan melalui rekam medik akan

memberikan gambaran yang jelas tentang proses pengobatan yang telah dijalani

sehingga dapat diketahui penyebab keberhasilan ataupun kegagalan suatu proses

terapi terhadap pasien asma bronkial di Instalasi Rawat Inap Rumah Sakit Umum

(58)

Peran farmasis dalam evaluasi pengobatan mutlak diperlukan, sesuai

dengan kewajiban dan kewenangannya yang tercantum dalam Standar

Kompetensi Farmasi Indonesia 2004 yang dikeluarkan oleh ISFI ( Ikatan Sarjana

Farmasi Indonesia ). Lima diantaranya mengatur tentang kewenangan farmasis

untuk mengkaji pengguanaan obat dalam proses terapi, kelima poin tersebut

berbunyi:

1. mengkaji penggunaan obat melalui rekam medik pasien, resep dan atau rekam

farmasi lain.

2. mengidentifikasi, memastikan kebenaran dan kebaikan suatu obat.

3. menghitung dosis, menentukan sedian yang paling cocok.

4. membuat keputusan profesional mengenai ada tidaknya atau kemungkinan

terjadinya kesalahan dengan obat beserta penyelesaiannya.

5. memonitor penggunaan obat dan mengevaluasi pengguanaan obat.

Dalam mengevaluasi suatu penatalaksanaan pengobatan perlu diketahui

gambaran umum pengobatan yang telah dilakukan. Gambran umum tersebut

meliputi :

A. Karakteristik Pasien

Karakteristik pasien asma bronkial di Instalasi Rawat Inap Rumah Sakit

Umum Daerah Bangli-Bali tahun 2005 berdasarkan jenis kelamin pasien, umur

pasien dan diagnosis pasien.

1. Jenis kelamin

Perbandingan jumlah dan persentase dari pasien laki-laki dan perempuan

(59)

Bangli-Bali tahun 2005 adalah 66,7% untuk jenis kelamin laki-laki dan 33,3%

untuk jenis kelamin perempuan.

Tabel I. Distribusi pasien asma bronkial berdasarkan jenis kelamin di Instalasi Rawat Inap Rumah Sakit Umum Daerah Bangli-Bali tahun 2005.

No Jenis Kelamin Jumlah

Pasien

Persentase (%)

1 Laki-laki 12 66,7

2 Perempuan 6 33,3

Jumlah 18 100

Data di atas menunjukan, bahwa pasien asma bronkial dengan jenis

kelamin laki-laki jumlahnya lebih banyak bila dibandingkan dengan pasien asma

bronkial yang berkelamin perempuan hal ini dipengaruhi oleh pola hidup pasien.

Pasien berjenis kelamin laki-laki memiliki kencenderungan lebih besar untuk

menjadi perokok aktif maupun pasif dibanding pasien perempuan, sehingga

kemungkinan laki-laki untuk mengidap asma bronkial lebih besar dibandingkan

mereka yang berjenis kelamin perempuan.

2. Umur

Berdasarkan umurnya, pasien asma bronkial di Insatalasi Rawat Inap

Rumah Sakit Umum Daerah Bangli-Bali pada tahun 2005 dikelompokan dalam 4

kelompok. Diantaranya kelompok Balita (0 sampai 5 tahun), anak-anak (5<n≤12

tahun), dewasa (12<n≤65 tahun), dan lanjut usia (di atas 65 tahun). Dari penelitian

didapati terjadi 18 kasus asma bronkial, yang terdistribusi dalam persentase

(60)

Tabel II. Distribusi pasien asma bronkial berdasarkan Umur di Instalasi Rawat Inap Rumah Sakit Umum Daerah Bangli-Bali tahun 2005

No. Umur Jumlah

Pasien

Persentase (%)

1 0 sampai 5 tahun 6 33,3

2 5<n≤12 tahun 1 5,6

3 12<n≤65 tahun 7 38,9

4 di atas 65 tahun 4 22,2

Jumlah 18 100

Data penelitian di atas menunjukan bahwa pasien asma bronkial di

Instalasi Rawat Inap Rumah Sakit Umum Daerah Bangli-Bali pada tahun 2005

didominasi oleh pasien balita dan dewasa, yakni masing-masing 33,3% dan 38,9%

dari seluruh kasus yang ada. Sedangkan pasien lanjut usia sebesar 22,2% dari

seluruh kasus yang ada. Hal ini menunjukan bahwa pasien Balita dan dewasa

cenderung lebih rentan terkena serangan asma bronkial dibandingkan pasien

lanjut usia, atau pasien asma bronkial memiliki kencenderungan untuk tidak dapat

mencapai usia lanjut (terapi gagal). Dugaan ini muncul karena pada

penelitian-penelitian terdahulu, kecenderungan asma bronkial menyerang justru pada usia

balita, anak-anak dan lanjut usia. Hal ini disebabkan karena pada usia dewasa,

pasien sudah dapat mengenali dan menghindari faktor pencetus serangan asma

pada dirinya, sehingga tindakan antisipasi sudah dapat disiapkan sebelum

serangan asma terjadi.

Pada usia balita dan anak-anak serangan asma sangat sering diakibatkan

(61)

sekali menyempit jika terinfeksi, sedangkan pada usia lanjut serangan diakibatkan

karena fungsi organ tubuh sudah menurun.

3. Diagnosis

Pada penelitian ini data yang diambil hanyalah data pasien asma bronkial

non-komplikasi, data pasien dengan diagnosis asma (selain asma bronkial) atau

penyakit lain diabaikan. Dari pengambilan data diketahui 16 kasus pasien asma

bronkial terdiagnosis awal sebagai penderita asma bronkial dan hanya 2 kasus

yang terdiagnosis awal sebagai penderita asmatikus, namun pada diagnosis akhir

ditetapkan bahwa ke-18 kasus asma bronkial tersebut sebagai penderita asma

bronkial. Secara persentase dapat dilihat sebagai berikut :

Tabel III. Distribusi pasien asma bronkial berdasarkan Diagnosis awal dan akhir di Instalasi Rawat Inap Rumah Sakit Umum Daerah Bangli-Bali tahun 2005

Diagnosis

No. Jenis

Penyakit

awal akhir

1 Asma Bronkial 88,9% 100%

2 Asma lain (asmatikus)

11,1% -

Jumlah 100% 100%

Dari data di atas dapat diketahui bahwa telah terjadi perubahan diagnosis,

perubahan ini terjadi karena terjadinya perubahan status pasien dari asmatikus

menjadi asma bronkial. Asmatikus merupakan serangan asma yang sangat berat,

(62)

B. Gambaran Umum Peresepan

Pada penelitian ini gambaran umum peresepan pasien asma bronkial di

Instalasi Rawat Inap Rumah Sakit Umum Daerah Bangli-Bali pada tahun 2005

dapat dilihat dari beberapa variabel, antara lain : jumlah jenis obat, golongan obat,

jenis obat, bentuk sediaan, dan cara pemakaian obat.

1. Jumlah jenis Obat

Jumlah jenis obat yang dipakai untuk pengobatan pasien asma bronkial di

Instalasi Rawat Inap Rumah Sakit Umum Daerah Bangli-Bali pada tahun 2005

adalah 4-11 macam obat dengan jumlah obat terbanyak yang diberikan adalah 7

macam obat pada 6 pasien. Jumlah jenis obat yang diberikan pada pasien asma

bronkial tidak diberikan dalam jumlah dan waktu yang bersamaan, tetapi menurut

selang waktu dan dosis tertentu berdasarkan pada unit dose dispensing, yaitu

distribusi obat yang diberikan pada pasien menurut dosis yang dibutuhkan selama

masa perawatan pasien di Instalasi Rawat Inap Rumah Sakit Umum Daerah

Bangli-Bali.

Tabel IV. Jumlah jenis obat yang diberikan pada pasien asma bronkial di Instalasi Rawat Inap Rumah Sakit Umum Daerah Bangli-Bali tahun 2005

No. Jumlah jenis Obat yang diterima pasien

Jumlah Pasien

Persentase (%)

1 4 jenis 1 5,5

2 6 jenis 3 16,7

3 7 jenis 6 33,3

4 8 jenis 3 16,7

5 9 jenis 2 11,1

6 10 jenis 3 16,7

(63)

Jumlah macam obat yang bervariasi diantara pasien asma bronkial

disebabkan karena perbedaan diagnosis yang diberikan oleh dokter, berdasarkan

gejala-gejala yang dialami oleh pasien serta keadaan pasien itu sendiri (faktor

usia, kehamilan dan jenis kelamin). Jumlah obat yang diberikan pada pasien

tergantung pad

Gambar

Tabel I   Distribusi pasien asma bronkial berdasarkan jenis
Tabel VII   Distribusi pemberian cairan elektrolit pada pasien asma
Tabel XIV Distribusi penggunaan obat saluran pencernaan pada
Gambar 1 Sistem pernafasan pada manusia ..........................................   16
+7

Referensi

Dokumen terkait

[r]

1 Halaman broken link dimodifikasi (cek dengan mengetik http://depkes.go.id/error) agar menampilkan pemberitahuan kepada pengunjung kesalahan mereka sekaligus disediakan

Sementara di daerah lain, seperti Sulawesi Utara, sejumlah perempuan dan gadis muda secara sadar menandatangani kontrak untuk bekerja sebagai penari, penari telanjang atau

Installing Numpy, Scipy and Matplotlib with pip install.

Form keranjang belanja digunakan untuk menampilkan daftar pesanan yang dipesan oleh pelanggan saat itu juga, yang artinya bahwa data pesanan yang berada di dalam

Dari nilai critical ratio skewness value hanya indikator ukuran perusahaan, umur perusahaan dan pengungkapan pelaporan yang menunjukkan distribusi normal dengan nilai

Tujuan akhir olahraga dan pendidikan jasmani terletak dalam peranannya sebagai wadah unik penyempurnaan watak, dan sebagai wahana untuk memiliki dan membentuk kepribadian

Sesuai dengan batasan masalah di atas, maka rumusan masalah dalam penelitian ini adalah “Apakah melalui penerapan model pembelajaran tipe STAD dapat meningkatkan motivasi