• Tidak ada hasil yang ditemukan

KONFLIK BATIN TOKOH ASWATAMA DALAM NOVEL MANYURA KARYA YANUSA NUGROHO SEBUAH PENDEKATAN PSIKOLOGI SASTRA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "KONFLIK BATIN TOKOH ASWATAMA DALAM NOVEL MANYURA KARYA YANUSA NUGROHO SEBUAH PENDEKATAN PSIKOLOGI SASTRA"

Copied!
80
0
0

Teks penuh

(1)

i

KONFLIK BATIN TOKOH ASWATAMA

DALAM NOVEL

MANYURA

KARYA YANUSA NUGROHO

SEBUAH PENDEKATAN PSIKOLOGI SASTRA

Skripsi

Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Sastra Indonesia

Program Studi Sastra Indonesia

Oleh

Epita Citra Wardani NIM : 034114025

PROGRAM STUDI SASTRA INDONESIA

JURUSAN SASTRA INDONESIA FAKULTAS SASTRA UNIVERSITAS SANATA DHARMA

(2)

ii Skripsi

KONFLIK BATIN TOKOH ASWATAMA

DALAM NOVEL

MANYURA

KARYA YANUSA NUGROHO

SEBUAH PENDEKATAN PSIKOLOGI SASTRA

Oleh Epita Citra Wardani

NIM : 034114025

Telah disetujui oleh

Pembimbing I

Dra. Fr. Tjandrasih Adji, M.Hum. tanggal

Pembimbing II

(3)

iii Skripsi

KONFLIK BATIN TOKOH ASWATAMA

DALAM NOVEL

MANYURA

KARYA YANUSA NUGROHO

SEBUAH PENDEKATAN PSIKOLOGI SASTRA

Dipersiapkan dan ditulis oleh Epita Citra Wardani

NIM : 034114025

Telah dipertahankan di depan Panitia Penguji pada : 29 September 2007

dan dinyatakan memenuhi syarat

Susunan Panitia Penguji

Nama lengkap Tanda tangan

Ketua : Drs. B. Rahmanto, M.Hum. ... Sekretaris : Drs. Hery Antono, M.Hum. ...

Anggota 1 : S.E. Peni Adji, S. S., M. Hum. ... Anggota 2 : Dra. Fr. Tjandrasih Adji, M. Hum. ... Anggota 3 : Drs. B. Rahmanto, M. Hum. ...

Yogyakarta, 29 September 2007 Fakultas Sastra

Universitas Sanata Dharma Yogyakarta Dekan

(4)

iv

PERSEMBAHAN

:

Skripsi ini kupersembahkan kepada : • Tuhan Yesus Kristus

• Orang tuaku, Bapak Edi Suwanda dan Ibu

Christina Lui Lestari

• Kakakku, M. Galih Prasetyowati

• Masa depanku, Emanuel Awang Krismawan

(5)

v

MOTTO :

Di dalam kasih tidak ada ketakutan; kasih yang sempurna

melenyap-kan ketakutan; sebab ketakutan mengandung hukuman dan barangsiapa

takut, ia tidak sempurna di dalam kasih.

(6)

vi

PERNYATAAN KEASLIAN KARYA

Saya menyatakan dengan sesungguhnya bahwa skripsi yang saya tulis ini tidak memuat karya atau bagian karya orang lain, kecuali yang telah disebutkan dalam kutipan dan daftar pustaka sebagaimana layaknya karya ilmiah.

Yogyakarta, 29 September 2007 Penulis

(7)

vii

KATA PENGANTAR

Segala puji syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa karena rahmat-Nya, penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Skripsi ini disusun sebagai salah satu syarat dalam menyelesaikan program Strata Satu (S-1) pada Program Studi Sastra Indonesia, Jurusan Sastra Indonesia, Fakultas Sastra, Universitas Sanata Dharma Yogyakarta.

Dalam penyusunan skripsi ini, penulis telah banyak memperoleh bimbingan, pengarahan, saran-saran, serta dorongan yang bermanfaat dan mendukung guna ter-selesaikannya skripsi ini. Dalam kesempatan ini, penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada :

1. Tuhan Yesus yang memberikan rahmat dan kekuatan dalam hidup penulis

2. Ibu Dra. Fr. Tjandrasih Adji, M.Hum., selaku Pembimbing I yang dengan sabar

membimbing dan mengarahkan penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.

3. Bapak Drs. B. Rahmanto, M.Hum., selaku Pembimbing II yang dengan teliti

membimbing penulis menyelesaikan skripsi ini.

4. Bapak Drs. Hery Antono, M.Hum., selaku Pembimbing Akademik Angkatan 2003.

Terima kasih untuk bimbingan yang telah diberikan.

5. Dosen di Fakultas Sastra, terutama dosen di Program Studi Sastra Indonesia (Dr. I

Praptomo Baryadi, M.Hum., Drs. Y. Yapi Taum, M.Hum., Drs. F.X. Santosa, M.S.,

Drs. P. Ari Subagyo, M.Hum., S.E. Peni Adji, S.S.,M.Hum.) untuk segala ilmu yang

(8)

viii

6. Segenap keluarga besar Sastra Indonesia Universitas Sanata Dharma dan staf

sekretariat Fakultas Sastra untuk pelayanannya yang ramah.

7. Bapak, Ibu dan Kakakku. Terima kasih atas doa, cinta, semangat dan dukungan yang

selalu kalian berikan sehingga menjadi kekuatan dan warna dalam hidup penulis.

8. Sayangku, terima kasih atas semangat dan dorongan agar skripsi ini cepat selesai

serta telah mengisi hidup penulis menjadi lebih indah.

9. Iyul, Nenex, Bibi, Desi. Terima kasih untuk persahabatan, curhat, tawa, dan air

mata.

10. Teman-teman seperjuangan di Sastra Indonesia Angkatan 2003, terima kasih atas

pertemanannya.

Semoga Tuhan Yang Maha Esa berkenan membalas semua budi baik yang telah diberikan. Penulis menyadari bahwa skrpsi ini masih banyak kekurangan. Semua kekurangan tersebut menjadi tanggung jawab penulis, tidak berkaitan dengan yang saya sebut di atas. Akhir kata, penulis berharap skripsi ini bermanfaat bagi semua pihak yang membutuhkan.

Yogyakarta, 29 September 2007 Penulis

(9)

ix

ABSTRAK

Wardani, Epita Citra. 2007. Konflik Batin Tokoh Aswatama dalam Novel Manyura. Sebuah Tinjauan Psikologi Sastra. Skripsi. Yogyakarta: Sastra Indonesia. Fakultas Sastra. Universitas Sanata Dharma.

Penelitian ini mengkaji konflik batin tokoh Aswatama dalam novel Manyura

karya Yanusa Nugroho. Tujuan penelitian ini yaitu pertama, mendeskripsikan struktur novel Manyura yang berupa latar, tokoh dan penokohan. Kedua, mendeskripsikan konflik-konflik batin tokoh Aswatama.

Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan psikologi sastra. Pendekatan dari sudut sastra memberi gambaran terhadap latar, tokoh dan penokohan yang melatarbelakangi kehidupan tokoh utama yang mengalami konflik batin. Pendekatan psikologi sendiri memberikan gambaran konflik-konflik batin yang dialami tokoh utama.

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode deskriptif. Melalui metode deksriptif penulis mendeskripsikan fakta-fakta yang berkaitan dengan permasalahan yang diteliti, kemudian mengolah dan menganalisis. Langkah yang dilakukan oleh penulis adalah pertama, mendeskripsikan hasil analisis struktural novel Manyura yaitu analisis terhadap latar, tokoh dan penokohan. Kedua, menggunakan hasil analisis pertama untuk menggali konflik batin yang dialami oleh tokoh Aswatama.

Analisis struktural novel Manyura meliputi latar, tokoh dan penokohan. Latar tempat yang digunakan adalah Hastinapura, istana Hastinapura dan daerah yang ada di sekitar Hastinapura. Latar waktu terjadi pada pagi hari, siang hari, senja, malam hari dan pada musim salju dan hujan es. Latar sosialnya menggunakan kelas sosial atas dan kelas sosial bawah. Tokoh utama adalah Aswatama. Tokoh tambahannya adalah Yudhistira, Semar, Brajakempa, Sasikirana, dan Banowati.

Dari penelitian ini dapat disimpulkan bahwa tokoh Aswatama mengalami konflik batin sebagai berikut: (1) konflik batin Awatama ketika kalah perang dan melihat ayahnya tewas, (2) konflik batin Aswatama terhadap Banowati, (3) konflik batin Aswatama mengenai dendamnya, dan (4) konflik batin Aswatama mengenai dirinya.

Ego Aswatama yang tidak mampu menjaga keseimbangan antara dorongan id

(10)

x

ABSTRACT

Wardani, Epita Citra. 2007. Psychological Conflict in character of Aswatama in the novel Manyura. A review on psychological literature. Scripts. Yogyakarta: Indonesian Letter. Faculty of Letter. Sanata Dharma University

This research studied on the psychological conflict in character of Aswatama in the novel Manyura masterpiece of Yanusa Nugroho. The purpose of this research was, firstly to describe the structure of novel Manyura by the shape of background and characters. Second, it described the psychological conflict in the character of Aswatama.

The approach used in this research was the literary psychological approach. The approach from literary point of view gave description toward the background and character which background the life of the main character that has psychological conflict. The psychological conflict itself gave the description on the psychological conflict which had by the main character.

The method which was used in this research was the descriptive method. Through the descriptive method, the author described facts relating with the case understudied, then to be processed and analyzed. The efforts which was conducted by the author were, firstly described the result of structural analysis on novel Manyura

i.e. the analysis of psychological conflicts which were had by the character of Aswatama.

The structural analysis of novel Manyura comprises of background and characters. The background of sites used was Hastinapura, Hastinapura palace and the region surround Hastinapura. The background of time were morning, afternoon, evening, and night in the seasons of snowy winter and ice rainy. The background of social used upper and lower social classes. The main character was Aswatama. The additional characters were Yudhistira, Semar, Brajakempa, Sasikirana, and Banowati. From this research it could be concluded that the character of Aswatama had psychological conflicts as follows: (1) Aswatama’s psychological conflict while he loose in the war and witnessed his father dead, (2) Aswatama’s psychological conflict toward Banowati, (3) Aswatama’s psychological conflict concern his vindictive, and (4) Aswatama’s psychological conflict concerning himself.

Aswatama’s ego which was not able to keep the balance between the force of

(11)

xi

DAFTAR ISI

Halaman

HALAMAN JUDUL ... i

HALAMAN PENGESAHAN PEMBIMBING ... ii

HALAMAN PENGESAHAN PENGUJI ... iii

HALAMAN PERSEMBAHAN ... iv

HALAMAN MOTTO ... v

HALAMAN PERNYATAAN KEASLIAN ... vi

KATA PENGANTAR ... vii

ABSTRAK ... ix

ABSTRACT... x

DAFTAR ISI ... xi

BAB I. PENDAHULUAN ... 1

1.1. Latar Belakang Masalah ... 1

1.2. Rumusan Masalah ... 3

1.3. Tujuan Penelitian ... 4

1.4. Manfaat Penelitian ... 4

1.5. Landasan Teori ... 4

1.6. Metode Penelitian ... 13

1.7. Sumber Data ... 15

(12)

xii

BAB II. ANALISIS UNSUR LATAR, TOKOH DAN PENOKOHAN YANG

MEMBENTUK KONFLIK BATIN ASWATAMA ... 17

2.1. Analisis Unsur Latar ... 17

2.1.1. Latar Tempat ... 17

2.1.2. Latar Waktu ... 21

2.1.3. Latar Sosial ... 23

2.2. Analisis Unsur Tokoh dan Penokohan ... 25

2.2.1. Tokoh ... 26

2.2.1.1. Tokoh Utama ... 26

2.2.1.1.1. Aswatama ... 26

2.2.1.2. Tokoh Tambahan ... 26

2.2.1.2.1. Yudhistira ... 26

2.2.1.2.2. Semar ... 27

2.2.1.2.3. Brajakempa ... 27

2.2.1.2.4. Sasikirana ... 27

2.2.1.2.5. Banowati ... 28

2.2.2. Penokohan ... 28

2.2.2.1. Tokoh Utama ... 28

2.2.2.1.1. Aswatama ... 28

2.2.2.2. Tokoh Tambahan ... 31

2.2.2.2.1. Yudhistira ... 31

(13)

xiii

2.2.2.2.3. Brajakempa ... 35

2.2.2.2.4. Sasikirana ... 37

2.2.2.2.5. Banowati ... 38

BAB III. ANALISIS KONFLIK BATIN TOKOH ASWATAMA ... 41

3.1. Konflik Batin Aswatama Ketika Kalah Perang dan Melihat Ayahnya Tewas ... 42

3.2. Konflik Batin Aswatama terhadap Banowati ... 46

3.3. Konflik Batin Aswatama Mengenai Dendamnya ... 49

3.4. Konflik Batin Aswatama Mengenai Dirinya ... 50

BAB IV. PENUTUP ... 59

4.1. Kesimpulan ... 59

4.2. Saran ... 61

DAFTAR PUSTAKA ... 62

(14)

1

BAB I

PENDAHULUAN

1.1Latar Belakang Masalah

Karya sastra menggambarkan masalah kehidupan, baik jiwa atau aspek kehidupan melalui media ekspresi pengarangnya. Kehidupan itu sendiri mempunyai ruang dan orientasi gerak yang tiap-tiap individu berbeda. Pada dasarnya psikologi dan sastra mempunyai kaitan erat dengan manusia dalam masyarakatnya. Psikologi dapat memberikan gambaran-gambaran atau penjelasan yang bermanfaat tentang sastra, terutama tentang masalah-masalah yang berhubungan dengan perasaan dalam sastra. Berbagai persamaan tujuan antara psikologi dan sastra mendasari adanya suatu pendekatan psikologi terhadap suatu karya sastra. Sastra dapat memanfaatkan psikologi karena sastra merupakan aktivitas ekspresi manusia. Tokoh-tokoh dalam adalah manusia-manusia yang terdiri dari unsur fisik dan psikis. Oleh karena itu, unsur psikologi sangat berperan dalam penokohan. Novel psikologi pada umumnya dengan jelas masih menunjukkan usaha novelis untuk mengubah dan mereka bentuk yang ada padanya, kemudian diangkatnya dari tingkat kemungkinan mental ke tingkat memberi keterangan yang terperinci tentang pelaku-pelaku ceritanya (Atmaja, 1986 : 70).

(15)

1988 : 18). Aswatama dalam novel Manyura ini dapat dikatakan sebagai tokoh yang memegang peran utama karena Aswatama banyak terlibat di dalam novel tersebut. Novel Manyura menghadirkan tokoh Aswatama yang mempertahankan hidupnya demi menjunjung kesetiaan. Aswatama tidak bisa menerima kematian ayahnya dalam perang saudara Bharatayudha. Aswatama merasa tidak bisa menerima kejadian yang dialaminya. Aswatama yang ingin menjunjung kesetiaannya pada ayahnya mengalami berbagai konflik dari peristiwa-peristiwa yang dialami. Dalam novel ini Aswatama juga harus menghadapi konflik-konflik batin dari dalam hatinya yang timbul oleh keinginan-keinginan yang tidak bisa dilakukannya.

Aswatama dalam novel ini adalah seorang tokoh yang mengalami gejolak dalam hidupnya. Kematian ayahnya dan berbagai keinginan yang tidak bisa diraihnya membuat Aswatama mengalami konflik dan tekanan dari dalam dirinya. Aswatama dalam usahanya membalas dendam pada Pandawa selalu berhadapan pada situasi yang tidak mendukung sehingga dia tidak bisa melakukan kehendaknya. Dalam kisah asmara pun Aswatama bukan lelaki yang beruntung. Hal-hal tersebut membuat kejiwaan Aswatama rusak dan akhirnya dia mati oleh ketakutannya sendiri.

(16)

Dalam penelitian ini akan dibahas konflik batin tokoh Aswatama, maka pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan psikologi sastra. Pendekatan psikologi sastra artinya pendekatan dari sudut psikologi dan sudut sastra. Konflik batin adalah keadaan pertentangan antara dorongan-dorongan yang berlawanan, tetapi ada sekaligus bersama-sama dalam diri seseorang (Heerdjan, 1987 : 31).

Hal-hal inilah yang menarik penulis sehingga menjadikan novel Manyura

sebagai obyek penelitian. Berdasarkan fenomena itu, penulis terdorong untuk meneliti psikologi tokoh yang menghadapi konflik-konflik batin dalam dirinya. Hal lain yang mendorong penulis meneliti novel Manyura adalah sepengetahuan penulis belum ada yang meneliti novel Manyura ini.

1.2Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian di atas, maka penulis mengemukakan permasalahan sebagai berikut :

1.2.1 Bagaimanakah unsur latar, tokoh dan penokohan yang membentuk konflik batin tokoh Aswatama dalam novel Manyura?

1.2.2 Bagaimana konflik batin yang dialami tokoh Aswatama dalam novel

(17)

1.3Tujuan Penelitian

1.3.1 Mendeskripsikan unsur latar, tokoh dan penokohan yang membentuk konflik batin tokoh Aswatama dalam novel Manyura.

1.3.2 Mendeskripsikan konflik batin yang dialami tokoh Aswatama dalam novel

Manyura.

1.4Manfaat Penelitian

1.4.1 Menambah khazanah kajian sastra, khususnya kajian sastra dengan pen-dekatan psikologi.

1.4.1 Meningkatkan apresiasi sastra Indonesia, khususnya novel Manyura karya Yanusa Nugroho.

1.5Landasan Teori

1.5.1 Struktural

Karya sastra memiliki struktur yang terdiri dari bagian-bagian yang bermakna. Struktur karya sastra mengacu pada pengertian hubungan antar unsur (intrinsik) yang membentuk kesatuan yang utuh (Nurgiyantoro, 1995 : 36).

(18)

Analisis intrinsik dalam penelitian ini hanya difokuskan pada latar, tokoh dan penokohan saja. Hal ini dikarenakan latar merupakan tempat tokoh melakukan dan dikenai suatu kejadian. Latar akan mempengaruhi tingkah laku dan cara berpikir tokoh (Nurgiyantoro, 1995 : 75).

1.5.1.1 Latar

Dalam penelitian ini analisis latar digunakan untuk menganalisis bagaimana tempat-tempat yang dilukiskan dalam novel Manyura mempengaruhi terbentuknya konflik batin tokoh utama. Latar adalah tempat atau masa kejadian peristiwa (Sumardjo, 1983 : 10). Menurut Sayuti (1998 : 170) latar adalah elemen fiksi yang menunjukkan kepada kita tempat dan waktu kejadian-kejadian dalam cerita itu berlangsung.

Menurut Nurgiyantoro (1995 : 216) sebuah cerita dibangun oleh unsur latar karena pelukisan latar dapat membantu pembaca dalam memahami jalannya cerita dan keberadaan tokoh sebuah novel. Latar atau setting disebut sebagai landasan tumpu yang menyaran pada pengertian tempat, hubungan waktu, dan lingkungan tempat terjadinya peristiwa-peristiwa yang diceritakan (Abrams via Nurgiyantoro, 1995 : 216).

(19)

bahwa segala keterangan, petunjuk, pengacuan yang berkaitan dengan waktu, ruang, dan suasana terjadinya cerita dalam suatu karya sastra membangun latar cerita.

Latar memberi pijakan cerita secara konkrit. Hal ini penting untuk memberi kesan realitas kepada pembaca, menciptakan suasana tertentu seolah-olah sungguh-sungguh ada dan terjadi (Nurgiyantoro, 1995 : 217). Pendeskripsian unsur latar semakin memperjelas maksud yang ingin disampaikan pengarang kepada pembaca. Latar memberi gambaran kepada pembaca mengenai tempat tokoh berada, waktu kejadian berlangsung, dan keadaan kondisi sosial tokoh. Latar dalam sebuah novel dapat dibagi menjadi 3 (tiga), yaitu : latar tempat, latar waktu, dan latar sosial.

1.5.1.1.1 Latar Tempat

Latar tempat menyaran pada lokasi terjadinya peristiwa yang diceritakan dalam sebuah karya fiksi. Unsur tempat yang digunakan mungkin beberapa tempat dengan nama tertentu, inisial tertentu, lokasi tertentu, dan tanpa nama yang jelas. Tempat-tempat yang bernama adalah tempat yang dijumpai dalam dunia nyata. Tempat dengan nama tertentu, biasanya huruf awal (kapital) nama suatu tempat, juga menyaran pada tempat tertentu, tetapi pembaca harus memperkirakan sendiri. Latar tempat tanpa nama jelas biasanya hanya berupa penyebutan jenis dan sifat umum tempat-tempat tertentu (Nurgiyantoro, 1995 : 227).

(20)

digunakan untuk menggambarkan tempat melalui peristiwa yang terjadi sehingga mendukung terjadinya konflik batin tokoh Aswatama.

1.5.1.1.2 Latar Waktu

Latar waktu berhubungan dengan kapan terjadinya peristiwa-peristiwa yang diceritakan dalam sebuah karya sastra fiksi. Masalah kapan tersebut biasanya dihubungkan dengan fakta faktual yang ada ceritanya atau dapat dengan peristiwa sejarah merupakan peristiwa yang terjadi pada kurun waktu tertentu dan memberi kekhasan sebuah cerita. Kekhasan latar dan waktu dalam cerita akan memudahkan pembaca untuk mengenali dan memahami suatu cerita (Nurgiyantoro, 1995 : 230). Dalam penelitian ini latar waktu digunakan untuk menggambarkan kapan melalui peristiwa yang terjadi.

1.5.1.1.3 Latar Sosial

Latar sosial menyaran pada hal-hal yang berhubungan dengan perilaku kehidupan sosial masyarakat di suatu tempat yang diceritakan dalam suatu karya sastra puisi. Tata cara kehidupan masyarakat mencakup berbagai masalah dalam lingkup yang cukup kompleks, ia dapat berupa kebiasaan, adat-istiadat, tradisi, keyakinan, pandangan hidup, cara berpikir, dan bersikap (Nurgiyantoro, 1995 : 233).

(21)

keberadaan-nya dalam novel (Nurgiyantoro, 1995 : 234). Dalam penelitian ini latar sosial digunakan untuk melukiskan bagaimana keadaan sosial dalam novel Manyura, sehingga membentuk konflik batin tokoh Aswatama.

1.5.1.2 Tokoh dan Penokohan

1.5.1.2.1 Tokoh

Secara garis besar dapat disimpulkan bahwa tokoh sangat dibutuhkan kehadirannya, sebab melalui penokohan cerita menjadi nyata dalam angan-angan pembaca. Melalui penokohan itulah, pembaca dapat dengan jelas menangkap wujud manusia dengan perikehidupannya yang sedang diceritakan oleh pengarang. Dalam penelitian ini, analisis tokoh digunakan untuk mengetahui sikap watak, tingkah laku, atau ciri-ciri fisik tokoh secara langsung. Analisis tokoh yang digunakan untuk menggambarkan aktivitas yang dilakukan oleh tokoh, baik lewat kata atau tingkah laku dan juga melalui peristiwa yang terjadi.

(22)

beberapa kali dalam cerita, dan itupun mungkin dalam porsi penceritaan yang relatif pendek (Nurgiyantoro, 1995 : 176).

Dalam penelitian ini yang akan dibahas adalah tokoh utama dan tokoh tambahan. Analisis tokoh digunakan untuk mengetahui sikap, watak, tingkah laku, atau ciri-ciri fisik tokoh secara langsung. Analisis tokoh juga digunakan untuk menggambarkan aktivitas yang dilakukan oleh tokoh, baik lewat kata atau tingkah laku dan juga melalui peristiwa yang terjadi.

1.5.1.2.2 Penokohan

Penokohan adalah pelukisan gambaran yang jelas tentang seseorang yang ditampilkan dalam sebuah cerita ( Nurgiantoro, 1995 : 165 ). Sudjiman ( 1988 : 23 ) mengatakan, bahwa penyajian watak tokoh dan penciptaan citra tokoh disebut penokohan. Penokohan di dalam penelitian ini digunakan untuk semakin memperjelas penampilan tokoh yang di ceritakan.

1.5.2 Psikologi Sastra

Karya sastra merupakan struktur yang terdiri dari bagian-bagian yang ber-makna. Struktur karya sastra menyaran pada pengertian hubungan antarunsur (intrinsik) yang bersifat timbal balik, saling mempengaruhi yang secara bersamaan membentuk kesatuan yang utuh (Nurgiyantoro, 1995 : 36).

(23)

batin yang dialami tokoh Aswatama. Untuk mengetahui hal itu, peneliti menggunakan teori psikoanalisis Freud sebagai landasannya.

Psikologi merupakan ilmu yang mempelajari tingkah laku manusia. Ini disebabkan karena jiwa yang mengandung arti yang abstrak itu sukar dipelajari secara objektif. Kecuali itu keadaan jiwa seseorang melatarbelakangi timbulnya hampir seluruh tingkah laku (Dirgagunarsa, 1983 : 9). Jeans berpendapat psikologi dapat diikutsertakan dalam studi sastra. Sebab jiwa manusia merupakan sumber dari segala ilmu dan kesenian (Bimo Walgito via Roekhan, 1987 : 144).

Sigmund Freud berpendapat bahwa kehidupan manusia dikuasai oleh alam ketidaksadarannya (Dirgagunarsa, 1983 : 61). Awang via Moh. Saman (1985 : 33) mengatakan bahwa dalam kritiknya terhadap teks atau karya sastra, pengkritik psikologi dapat menggunakan cara yang biasa dalam kritik normal. Pengkritik boleh mengambil cara lain terutama untuk meneliti perwatakan dalam karya sastra. Aspek penting yang bisa diperhatikan adalah pemikiran atau mind watak terutama pemikiran pada alam bawah sadar.

(24)

1.5.2.1 Teori Psikonalisis Sigmund Freud

Dalam Dirgagunarsa (1983 : 63) Freud mengatakan bahwa dalam diri seseorang terdapat 3 (tiga) sistem kepribadian yang disebut Id atau Es, Ego atau

Ich, dan Super Ego atau Uber Ich. Id atau Es adalah sebuah “reservoir” atau wadah dalam jiwa seseorang yang berisikan dorongan-dorongan primitif yang disebut

primitive drive atau inner force atau inner urges. Dorongan-dorongan primitif ini merupakan dorongan-dorongan yang menghendaki agar segera dipenuhi atau dilaksanakan. Kalau dorongan-dorongan ini dipenuhi dengan segera maka tercapai perasaan senang, puas. Oleh karena adanya dorongan-dorongan primitif ini, maka Id

selalu mengikuti Pleasure Principle, yaitu bertugas untuk secepatnya melaksanakan dorongan primitif agar tercapai perasaan senang (pleasure), tanpa mempedulikan akibat-akibatnya. Kesenangan yang dicapai oleh pelaksanaan dorongan-dorongan primitif selalu bersifat temporer atau sementara dan setelah beberapa saat dorongan-dorongan itu timbul kembali untuk dipenuhi lagi. Salah satu dorongan-dorongan primitif dalam

Id adalah dorongan seksual yang dikenal dengan libido (Dirgagunarsa, 1983 : 63).

(25)

Super Ego adalah sistem kepribadian yang ketiga dalam diri seseorang yang berisi kata hati atau conscience. Kata hati ini berhubungan dengan lingkungan sosial dan mempunyai nilai-nilai moral sehingga merupakan kontrol atau sensor terhadap dorongan-dorongan yang datang dari Id. Super Ego menghendaki agar dorongan-dorongan tertentu saja dari Id yang direalisasikan, sedangkan dorongan-dorongan yang tidak sesuai dengan nilai-nilai moral agar tetap tidak dipenuhi. Karena itu ada semacam pertentangan antara Id dan Super Ego merupakan pelaksana yang harus dapat memenuhi tuntutan dari kedua sistem kepribadian lainnya ini secara seimbang. Kalau Ego gagal menjaga keseimbangan antara dorongan dari Id dan larangan-larangan dari Super Ego, maka individual yang bersangkutan akan menderita konflik batin yang terus-menerus (Dirgagunarsa, 1983 : 64).

Dalam penelitian ini teori psikoanalisis Sigmund Freud digunakan untuk menganalisis konflik batin tokoh utama dalam novel Manyura yang bersumber dari pergulatan perasaan-perasaan negatif dari dalam dirinya itu.

1.5.2.2 Konflik

(26)

kemampuan ego untuk menyalurkan dan mengendalikan dorongan dari id, muncullah gejala Anxietas, rasa cemas. Hal ini merupakan tanda bahaya yang menyatakan bahwa ego tidak berhasil menyelesaikan konflik (Heerdjan, 1987 : 31).

Heerdjan (1987 : 49) menjelaskan kegelisahan dan ketegangan yang dijumpai pada orang normal termasuk gangguan kesehatan jiwa. Gangguan kesehatan jiwa dapat disebabkan oleh beberapa hal, yaitu diantaranya yang disebabkan oleh yang sifatnya psikologi, seperti konflik jiwa, kurangnya perhatian orang tua, kekecewaan, frustasi, dan semua hal yang berkaitan dengan gejolak dan jiwa seseorang.

Dalam penelitian ini teori konflik digunakan untuk menganalisis konflik batin tokoh utama dalam novel Manyura yang bersumber dari pergulatan perasaan-perasaan negatif dari dalam dirinya.

1.6Metode Penelitian

1.6.1 Pendekatan

Analisis novel Manyura ini dilakukan dengan menggunakan pendekatan secara psikologi dan sastra. Pendekatan dengan menggunakan teori psikologi dan sastra dilakukan dengan alasan bahwa kedua teori tersebut memiliki hubungan antara psikologi dan sastra. Keduanya merupakan ilmu yang mengkaji tentang perilaku dan aktivitas manusia.

(27)

biografi pengarangnya. Penelaah dapat menelaah psikologi tokoh melalui dialog dan perilakunya dengan menggunakan sumbangan pemikiran kajian aliran psikologi tertentu. Dengan demikian, apa yang dilakukan penelaah sastra dalam kajian ini merupakan upaya untuk mencari kesejajaran aspek-aspek psikologis dalam perwatakan tokoh-tokoh suatu karya sastra dengan pandangan tentang manusia menurut psikologi tertentu (Roekhan, 1987 : 148-149). Dalam penelitian ini pendekatan dari sudut psikologi terhadap sastra sebagai proses kreatif dengan menggunakan teori psikoanalisis Sigmund Freud karena masalah yang diangkat adalah unsur-unsur kejiwaan manusia, pada konflik-konflik batin yang dimilikinya.

1.6.2 Metode

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode deskriptif dengan berpangkal dari analisis teks untuk mengungkapkan struktur latar, tohoh dan penokohan, yang kemudian dipergunakan untuk memahami lebih dalam konflik batin tokoh Aswatama dalam usahanya membalas dendam yang tergambar dalam novel

Manyura. Langkah awalnya pengumpulan teks, kemudian dilanjutkan data-data psikologi yang diperlukan untuk analisis konflik batin tokoh Aswatama.

(28)

keadaan subyek atau obyek penelitian (seseorang, lembaga, masyarakat, dan lain-lain) pada saat sekarang berdasarkan fakta-fakta yang tampak atau sebagaimana adanya (Nawawi, 1987 : 63).

Metode deskriptif dalam penelitian ini digunakan untuk menggambarkan dan menjelaskan struktur novel Manyura mengenai hubungan unsur tokoh dan latar, analisis konflik batin serta hasil dari penelitian.

1.7Sumber Data

Sumber data adalah adalah tempat data diperoleh. Sumber data dapat dibagi menjadi dua, yaitu sumber data primer dan sumber data sekunder. Karena penelitian ini adalah penelitian sastra, maka sumber data primernya pun berupa karya sastra, yaitu novel dengan identitas berikut :

Judul : Manyura

Pengarang : Yanusa Nugroho

Penerbit : Kompas, PT. Kompas Media Nusantara Tahun terbit : 2004, Cetakan I

Tebal : 255

(29)

1.8Sistematika Penyajian

(30)

17 BAB II

ANALISIS UNSUR LATAR, TOKOH DAN PENOKOHAN YANG MEMBENTUK KONFLIK BATIN TOKOH ASWATAMA

Dalam bab ini akan dianalisis dua unsur instrinsik, yaitu latar dan tokoh yang penting berkaitan dengan konflik batin yang dialami tokoh Aswatama. Dalam menganalisis, pertama yang dilakukan adalah menganalisis latar tempat, latar waktu, dan latar sosial. Dalam penelitian ini latar tempat, latar waktu, dan latar sosial menurut penulis dalam novel ini yang banyak mendukung dalam pembentukan konflik batin tokoh Aswatama. Kedua adalah menganalisis tokoh utama yang mengalami konflik batin dan tokoh tambahan yang berkaitan dengan konflik batin tokoh utama. Kemudian menganalisis penokohan tokoh utama dan tokoh tambahan.

2.1Analisis Unsur Latar

2.1.1 Latar Tempat

(31)

(1) Sementara itu, sebuah upacara boyongan terjadi di Hastinapura. Negeri yang bangun oleh Palasara dan dikenal dengan sebutan Negeri Gajahwaya itu megah bertahtakan ukiran gading, sesuai dengan banyaknya gajah yang hidup di wilayah itu (hlm. 8).

Dari kutipan di atas dapat diketahui bahwa Hastinapura merupakan negeri yang megah. Dengan demikian latar tempat novel Manyura juga terjadi di istana Hastinapura, seperti kutipan berikut :

(2) Perlahan, Utari bangkit dari tempatnya, berjalan menyusuri lorong istana. Para penjaga dengan serta-merta membungkuk memberinya hormat, bila sang dewi melewatinya (hlm.. 27).

(3) Di tangga istana membentang permadani merah, melekuk-lekuk mengikuti anak tangga pualam, istana Hastinapura (hlm. 35).

Latar tempat dalam novel Manyura juga berlangsung di daerah sekitar Hastinapura, seperti kutipan berikut :

(4) Seorang laki-laki kurus dengan mata selalu melotot, berdiri di pinggir jalan yang membelah pasar kecil di sudut kota Hastinapura (hlm. 45). Latar tempat dalam novel Manyura juga terjadi di alun-alun kerajaan, seperti kutipan berikut :

(5) Di sebuah pesanggrahan yang dibangun khusus di dekat alun-alun, kesibukan telah terjadi bahkan beberapa hari sebelumnya (hlm. 65). (6) Di sekitar alun-alun, manusia melaut. Ada yang berjual-beli, adapula yang

menikmati berbagai pertunjukan. Orang-orang dari Atasangin yang terkenal dengan ilmu nujumnya, menunjukkan kebolehannya dengan meramal dan bersulap (hlm. 65).

Latar tempat juga terjadi di kedai milik penduduk. Hal ini dapat diketahui dari kutipan berikut :

(32)

Latar tempat juga berlangsung di sebuah desa yang bernama Tumaritis atau Klampis Ireng. Hal ini dapat diketahui dari kutipan berikut :

(8) Seluruh warga Klampis Ireng, jongkok mendengarkan sesuatu yang tak benar-benar mereka pahami. Mereka, selama maklumat dibacakan, hanya saling pandang kosong di antara sesama mereka (hlm. 12).

(9) Kampung Tumaritis, yang juga dikenal sebagai Klampis Ireng adalah sebuah pedusunan kecil yang kian lama meranggas dan mati perlahan-lahan dicekik pajak dan kehilangan pemimpinnya (hlm. 147).

(10) Di kampung Tumaritis inilah dia harus menyusun kekuatan. Aswatama harus mampu menghimpun pengikut dan itu tentu saja harus dari kalangan mereka yang melawan Prabu Kalimataya (hlm. 152).

Latar tempat juga terjadi di sebuah kampung yang kosong. Hal ini dapat diketahui dari kutipan berikut :

(11) Sampai pada suatu hari, orang tua berbadan tambun itu menemukan sebuah kampung yang seolah mati. Perasaannya terganggu, melihat begitu banyak rumah kosong, dengan pintu menganga menampak-kan kegulitaan di dalamnya. Ada lesung dan alu yang tampak sudah berminggu-minggu dibiarkan di halaman (hlm. 14).

Latar tempat juga terjadi di rumah Sasikirana. Hal ini dapat diketahui dari kutipan berikut :

(12) Di kediaman Sasikirana, seorang dengan tubuh tambun sedang bertamu. Menilik dandanannya, yang serba gemerlap, siapapun akan segera dapat mengenalinya (hlm. 40).

Latar tempat juga terjadi di Kasatrian milik Arjuna. Hal ini dapat diketahui dari kutipan berikut :

(33)

Latar tempat juga terjadi di rumah Togog seorang tetua di Hastinapura. Hal ini dapat diketahui dari kutipan berikut :

(14) Di kediaman Togog, malam itu, tampak senyap. Tak ada orang-orang yang biasanya berkumpul dan mendengarkan kisah-kisah kuno yang membangkitkan angan. Togog, sejak adanya perintah dari Prabu Kalimataya tentang larangan menembangkan syair-syair yang bisa dianggap sebagai sindiran, tak pernah lagi mengumpulkan orang di rumahnya (hlm. 207).

Latar tempat juga terjadi di sebuah lereng bukit yang ada di Hastinapura. Hal ini dapat diketahui dari kutipan berikut :

(15) Tempat itu berada di sebuah lereng bukit. Lumut tumbuh subur di dinding bagian bawah. Beberapa tanaman pakis bergerombol di sana-sana, menutupi bangunan kuno dari batu padas (hlm. 57).

Latar tempat juga terjadi di lembah yang ada di negara kecil yang menjadi wilayah Hastinapura. Hal ini dapat diketahui dari kutipan berikut :

(16) Di sinilah para pedagang dari berbagai negara melintas. Bukan aja dikarenakan lembah di antara bukit ini jauh lebih mudah ditempuh, tetapi mereka sekaligus dapat menikmati pemandangan yang luar biasa (hlm. 70).

(17) Aswatama menatap lembah yang pernah menjadi tempatnya bermain semasa remaja dulu. Ah, di sanalah dia melihat sepasang manusia muda usia yang begitu menikmati keindahan alam. Ketika itu, Aswatama sedang berlatih kuda. Dengan tubuh berkeringat, mata Aswatama tertancap pada keelokan dara yang berkuda bersama seorang kesatria muda gagah perkasa (hlm. 71).

Latar tempat juga terjadi di penjara yang ada di Hastinapura. Hal ini dapat diketahui dari kutipan berikut :

(34)

melakukan adalah Bima, maka kurungan adalah yang terberat yang harus dilaluinya (hlm. 103).

Latar tempat juga terjadi di Padang Kurusetra, tempat terjadinya perang saudara. Hal ini dapat diketahui dari kutipan berikut :

(19) Bentangan itu, yang secara aneh tiba-tiba terlupakan oleh manusia, sebetulnya adalah Padang Kurusetra. Alam memang memiliki keangkuhannya sendiri, yang secara aneh memberi sasmita kepada manusia. Belum lima tahun perang itu usai, ilalang telah subur, tumbuh menutupi lembah pembantaian itu (hlm. 117).

Dari kutipan-kutipan di atas dapat diketahui bahwa latar tempat terjadi di Hastinapura, lihat kutipan (1). Latar tempat juga terjadi di istana Hastinapura, lihat kutipan (2) dan (3). Latar tempat juga terjadi di daerah dan tempat-tempat yang ada di Hastinapura dan sekitar Hastinapura, lihat kutipan (4), (5), (6), (7), (8), (9), (10), (11), (12), (13), (14), (15), (16) dan (17).

2.1.2 Latar Waktu

Latar waktu berhubungan dengan kapan terjadinya peristiwa-peristiwa yang diceritakan sebuah karya sastra fiksi. Masalah kapan tersebut biasanya dihubungkan dengan faktor yang ada ceritanya atau dapat dengan peristiwa sejarah merupakan peristiwa yang terjadi dalam kurun waktu tertentu dan memberi kekhasan sebuah cerita. Kekhasan latar dan waktu dalam cerita akan memudahkan pembaca untuk mengenali dan memahami suatu cerita (Nurgiyantoro, 1995 : 230).

(35)

(20) ….. Prabu Kalimataya memerintahkan para menterinya agar membubar-kan diri dari sidang pagi itu (hlm. 98)

(21) Menjelang pagi, ketika ayam-ayam kampung di dusun-dusun nun jauh, melengkungkan kokok-kokoknya yang pertama, barulah Aswatama menyadari bahwa cukup lama kakinya tidak bersinggungan lagi dengan ilalang ….. (hlm. 119).

Latar waktu juga terjadi pada siang hari. Hal ini dapat dilihat melalui kutipan berikut :

(22) Kira-kira matahari mendekati titik puncaknya, sayup dari dalam istana terdengar canang dibunyikan ….. (hlm. 66).

Latar waktu novel Manyura ini terjadi pada senja. Hal ini dapat dilihat melalui kutipan berikut :

(23) Senja merah menebarkan hawa panas bumi, yang sekian lama tak ter-sirami. Dedaunan menyokelat, lusuh dilumuri debu. Setiap kereta, lewat, debu mengepul, dan penyakit terbang terbawa angin (hlm. 44).

(24) Senja melambat, lembut tersaput warna lembayung. Di langit barat, tampak sekawanan burung berbondong-bondong mengepakkan sayap seayun-seirama ….. (hlm. 136).

(25) Senja turun perlahan, bagai lapian kain-kain dahsyat yang menutupi cakrawala. Lapisan-lapisan yang kian tebal itu menyuramkan suasana. Langit barat memerah, angin mendesaukan hawa dingin ….. (hlm. 215). Latar waktu terjadi pada malam hari. Hal ini dapat dilihat melalui kutipan berikut :

(26) Malam merambat dengan kekelamannya yang penuh teka-teki. Brajakempa menuangkan arak ke piala kosong milik Sasikirana (hlm. 40).

(27) Malam sunyi. Bintang bertabur namun membisu, hanya memijarkan kemerlipnya ke bumi. Angin mati. Daun ketapang telah lama menangkup dan lelap dalam diam. Sesekali di kejauhan, terdengar lolong serigala, menyayat sepi (hlm. 49).

(36)

(29) Malam sepi berkarat, bergerark dengan menggoreskan bunyi derita yang tak pernah terdengar dari dalam tembok benteng istana …. (hlm. 161). (30) Malam yang pekat bagai darah, menebarkan hawa amis, seakan isyarat

akan terjadinya peristiwa mengerikan di Hastinapura ….. (hlm. 235). Latar waktu dalam novel Manyura terjadi pada musim salju yang dingin hingga menjadi hujan es. Hal ini dapat dilihat melalui kutipan berikut :

(31) Musim berganti. Angin utara meniupkan udara beku. Salju abadi yang menutupi sebagian besar puncak-puncak gunung di wilayah utara, kian memutih dan keras. Kepulan udara dingin bergerak bagai awan putih, menuju selatan. Di beberapa wilayah Hastinapura, hujan batu es terjadi (hlm. 224).

Dari penjelasan latar waktu yang digambarkan dalam novel Manyura, maka dapat disimpulkan bahwa penggambaran waktu terjadi pagi pagi hari, lihat kutipan (20), (21). Latar waktu juga terjadi pada siang hari, lihat kutipan (22). Latar waktu juga terjadi pada senja, lihat kutipan (23), (24) dan (25). Latar waktu juga terjadi pada malam hari, lihat kutipan (26), (27), (28), (29) dan (30). Latar waktu juga terjadi pada musim salju dan hujan es, lihat kutipan (31).

2.1.3 Latar Sosial

Menurut Nurgiyantoro (1995 : 234) latar sosial berhubungan dengan status sosial yang bersangkutan, misalnya : rendah, menengah, atau atas. Jadi perbedaan kelas seorang tokoh dengan yang lain membentuk latar tersendiri yang akhirnya mendukung keberadaannya dalam sebuah novel.

(37)

sosial dalam novel Manyura ini menggunakan kelas sosial atas yang dilukiskan dengan raja dan kerabatnya. Hal ini dapat dilihat melalui kutipan berikut :

(32) Seorang petinggi Hastinapura memimpin upacara. Seratus wanita muda berbaris, dengan mengenakan kain terbaik kebesaran Hastinapura. Penutup dada dibuat sedemikian rupa, sehingga seolah-olah sengaja mempertontonkan sepasang cengkir gading indah, persembahan bagi para penguasa baru itu ….. (hlm. 9).

(33) “Berbahagialah sang Kalimataya. Berbahagialah Sang Putra Mahkota!”, sorak sorai itu kian riuh di kedai itu dan membuat Badranaya kian merasakan tusukan sepi di kalbunya (hlm. 31).

(34) Sri Kresna, raja besar itu itu, akan tiba di Hastinapura dengan segala kemegahannya. Semar pun akhirnya mencari tempat yang agak tinggi dan lapang, agar dapat menyaksikan rombongan yang segera tiba (hlm. 34).

Latar sosial dalam novel ini menggambarkan kemewahan dan kekayaan. Hal ini dapat dilihat melalui kutipan berikut :

(35) Aswatama sedikit ragu – tentu saja sengaja – ketika hendak menduduki kursi jati dengan sandaran tangan dari gading gajah tua, berukir dan berpermata indah itu. Brajakempa tertawa bangga, lalu dengan kebanggaan yang memuncak, dia mencoba berlagak dermawan (hlm. 19).

(36) Di kediaman Sasikirana, seseorang dengan tubuh tambun sedang bertamu. Menilik dandanannya, yang serba gemerlap, siapapun akan segera dapat mengenalnya bahwa dialah salah seorang terkaya dari Pringgandani, Brajakempa (hlm. 40).

Dalam novel ini juga menggunakan kelas sosial bawah yang dilukiskan dengan kemiskinan, kekurangan dan penderitaan. Hal ini dapat dilihat melalui kutipan berikut :

(37) Betul, Kyai-ne, saya cuma punya kambing, lantas apa, demi negara, kambing saya bungkring itu juga diserahkan? Lha, kami sekeluarga makan apa?”, tambah yang lain lagi (hlm. 13).

(38)

(39) ….. Para petani yang menghasilkan panen bagi negeri ini begitu men-derita, sehingga banyak yang merelakan nyawanya daripada hidup tak memiliki kejelasan. Apakah orang ibukota terbiasa dengan pesta pora dan kegembiraan? (hlm. 31).

(40) Terdorong oleh rasa haus dan menyadari tak ada sekeping pun uang padanya, laki-laki itu seperti kerasukan setan merampas bumbung nira dan menegaknya hingga habis ….. (hlm. 45).

(41) Si laki-laki tak menjawab. Dia juga tak tahu harus mencari bahan makanan dimana lagi. Untuk perut mereka berdua pun sudah sangat sulit, apalagi ditambah satu perut lagi (hlm. 154).

(42) Dengan terheran-heran si pencambuk menatapnya. Dilihatnya tangan si petani kurus itu meraup tanah kering. Lalu dengan gerakan yang begitu tenang, seraup tanah merah kering itu diusapkannya ke mulutnya sendiri. Kemudian tanah merah itu dikunyahnya dengan nikmat di hadapan para petinggi Hastinapura (hlm. 160).

(43) Brayut, demikian nama petani itu. Dengan matanya, seolah dia ingin berkata bahwa dirinya bahkan sudah tak memerlukan padi untuk meng-ganjal perut, melainkan sumber dari segala sumber padi : tanah! ….. (hlm. 161).

Dari kutipan-kutipan di atas dapat diketahui bahwa latar sosial dalam novel

Manyura menggunakan kelas sosial atas yang dilukiskan dengan raja dan kerabatnya, serta kemewahan dan kekayaan, lihat kutipan (32), (33), (34), (35) dan (36). Latar sosial juga menggunakan kelas sosial bawah yang dilukiskan dengan kemiskinan, kekurangan dan penderitaan, lihat kutipan (37), (38), (39), (40), (41), (42), dan (43).

2.2Analisis Unsur Tokoh dan Penokohan

2.2.1 Analisis Tokoh

Hartoko dan Rahmanto (1986 : 14) menjelaskan tokoh adalah pelaku atau actor dalam sebuah cerita sejauh ia oleh pembaca dianggap tokoh konkrit, individual.

(39)

yang diutamakan penceritaannya dalam novel yang bersangkutan, ia merupakan tokoh yang paling banyak diceritakan baik sebagai pelaku kejadian maupun yang dikenai kejadian. Tokoh tambahan adalah tokoh yang hanya dimunculkan sekali atau beberapa kali dalam cerita, dan itupun mungkin dalam porsi penceritaan yang relatif pendek (Nurgiantoro, 1995 : 176).

Di dalam novel Manyura terdapat tokoh utama dan tokoh tambahan. Tokoh utamanya adalah Aswatama, tokoh tambahannya adalah Yudhistira, Semar, Brajakempa, Sasikirana, dan Banowati.

2.2.1.1 Tokoh Utama

2.2.1.1.1 Aswatama

Aswatama di dalam novel Manyura ini merupakan tokoh urama . hal ini karena Aswatama merupakan tokoh yang paling banyak frekuensi kemunculanya dalam cerita, banyak permasalahan yang dihadapi, dan keterlibatannya dengan hampir semua tokoh yang ditampilkan.

Aswatama digambarkan sebagai tokoh yang mengalami banyak beban dalam hidupnya sehingga mengalami berbagai konflik batin dalam dirinya. Segala ketidakberdayaannya membuat Aswatama menderita karena konflik-konflik batin dalam dirinya dan akhirnya Aswatama meninggal karena ketakutannya sendiri.

2.2.1.2 Tokoh Tambahan

2.2.1.2.1 Yudhistira

(40)

Yudhistira digambarkan sebagai seorang raja yang tegas. Ketegasannya lama kelamaan berubah menjadi keanggkuhan yang membuat penderitaan rakyatnya hingga negaranya hancur karena kepemimpinanya yang salah.

2.2.1.2.2 Semar

Semar adalah seorang lurah kampung Tumaritis. Dalam novel ini Semar digambarkan sebagai tetua yang sangat bijaksana, petuahnya sangat di butuhkan banyak orang. Kesejukan hatinya membawa kedamaian bagi orang di sekitarnya hingga para petinggi di Hastinapuara selalu membutuhkan Semar sebagai penasehat.Kemunculan Semar di dalam novel ini tidak banyak seperti tokoh utama sehingga Semar dimasukan sebagai tokoh tambahan.

2.2.1.2.3 Brajakempa

Di dalam novel Manyura ini Brajakempa dimunculkan dalam porsi penceritaan yang relatif pendek sehingga tokoh ini juga merupakan tokoh tambahan. Brajakempa diceritakan sebagai tokoh yang licik dan serakah. Keserakahannya itu membuat Brajakempa dijadikan alat dan jalan Aswatama dalam menjalankan balas dendamnya pada Hastinapura. Keserakahan Brajakempa yang dimanfaatkan Aswatama membuat dirinya hancur.

2.2.1.2.4 Sasikirana

(41)

membuat dirinya berambisi menjadi penguasa demi menjunjung kehormatan lelulurnya.

2.2.1.2.5 Banowati

Banowati dalam novel Manyura merupakan tokoh yang menjadi salah satu sebab tokoh utama mengalami konflik batin. Banowati diceritakan sebagai tokoh yang sangat mempesona hingga membuat Aswatama jatuh hati, tetapi Banowati tidak memberikan cintanya pada Aswatama. Pada akhir cerita Banowati meninggal karena nafsu Aswatama yang memperkosa dan membunuhnya.

(42)

2.2.2 Penokohan

2.2.2.1 Tokoh Utama

2.2.2.1.1 Aswatama

Aswatama dalam novel Manyura adalah anak dari Begawan Durna, guru para Pandawa dan Kurawa yang mendapat julukan si anak kuda. Hal ini ditunjukkan melalui kutipan berikut :

(44) Aswatama tertegun, tak disangkanya mereka yang berpakaian sutra dengan cincin permata hampir di setiap jari mereka ini, semuanya menyebalkan. Akulah anak Begawan Durna, guru Pandawa dan Kurawa (hlm. 18).

(45) Demikianlah, sang Aswatama, anak tunggal Durna yang terlimpahi kasih sayang dan ilmu sebagai penebusan rasa bersalahnya pada wanita yang melahirkan si bocah, menatap sebilah keris dan menegakkannya tanpa menyentuhnya sedikitpun. Mulut berdecak kagum, mata terbelalak tak percaya, lalu gelak tawa dan tepuk tangan kegembiraan tercipta di lingkaran kecil itu (hlm. 18).

(46) “Jadi itukah sebabnya, orang sekelilingku memberiku julukan, Aswatama si anak kuda? Tapi, dimanakah ibuku kini?” (hlm. 7).

Aswatama adalah anak yang berbakti dan sangat menyayangi ayahnya, sehingga dia tidak pernah berusaha melawan ayahnya dan ia patuh terhadap ayahnya. Hal ini ditunjukkan melalui kutipan berikut :

(47) Aswatama menggigil, kemudian meratap. Dia tak pernah bisa meng-ucapkan kata-kata itu. Dia sejak kecil memiliki kepatuhan anak terhadap orang yang dirasa menyayanginya. Patuh, tunduk, takluk …. Itulah yang dirasakannya selama ini. Dia ingin mengucapkan kata itu, tapi tak pernah mampu dia melakukannya (hlm. 5).

(48) “Aku hanya ingin tahu, benarkah kau mencintai ayahku?” “Aku mencintainya. Dari dia aku merasakan kasih sayang”, raung Aswatama (hlm. 5).

(43)

Duryudana, ia berjuang membalas dendam pada keturunan Pandu yang telah membunuh Duryudana dan ayahnya. Hal ini ditunjukkan melalui kutipan berikut :

(49) ….. Kepada Aswatama semua harapan diletakkan. Sungguh tak disangkanya bahwa Kurawa masih menyisakan seseorang yang begitu menjunjung kesetiaan. Aswatama, meskipun bukan darah dagingnya, meskipun anak dari guru para keturunan Kuru, memiliki kesetiaan luar biasa, terutama pada Duryudana (hlm. 96).

(50) “Cintaku hanya pada Janaka. Kasihku hanya pada Arjuna. Kau tidak tahu siapa Aswatama sebenarnya. Dialah manusia yang paling berbahaya, melebihi Paman Sengkuni. Kesetiaannya pada Duryudana melebihi kesetiaan siapapun yang pernah ada di Hastinapura ini. Jika Paman Sengkuni membunuh menggunakan tangan orang lain, Aswatama tidak. Dia tega menjerat urat leher lawannya dengan sepasang tangannya sendiri” (hlm. 131).

Aswatama juga mempunyai sikap hormat. Sikap hormatnya ini ditunjukkan pada sikap hormatnya pada Gendari yang bukan ibu kandungnya. Hal ini ditunjukkan dalam kutipan berikut :

(51) Ketika itulah Aswatama yang menunggang kuda, mendekatkan dirinya ke jendela kereta Gendari. Diperhatikannya wajah yang masih menyimpan kejelitaan itu. Seraut wajah yang sangat dikaguminya, seraut wajah ibu yang memberikan kekuatan bagi anak-anaknya untuk menjalankan pemerintahan, menguasai negara. Seraut wajah bunda yang didambakannya. Aswatama begitu menaruh hormat pada Gendari” (hlm. 94).

(52) “Bunda Ratu, semoga Hyang Agung menganugerahimu kesehatan”, bisik Aswatama lembut penuh hormat (hlm. 94).

Di balik sikap setia dan hormatnya tersebut Aswatama mempunyai beban hidup yang mempengaruhi hidupnya. Hal ini ditunjukkan dalam kutipan berikut:

(44)

Dari kutipan di atas diketahui Aswatama mempunyai beban hidup. Beban hidup itu membuat Aswatama memilih jalan yang salah. Hal ini terungkap dari kutipan berikut :

(54) “Heeeh ….. dia cuma korban dari dirinya sendiri. Padahal ayahnya begitu banyak memberinya pelajaran. Dia juga dekat dengan Bisma dan Destrarasatra, tapi ….. hangus terbakar. Hanya itu pilihannya. Dan, Aswatama memilih untuk terbakar” (hlm.. 210).

Dari kutipan di atas dapat diketahui bahwa Aswatama memilih jalan yang salah, jalan hidupnya ini membuat Aswatama menjadi pengecut dan gelisah. Hal ini terungkap dari kutipan berikut :

(55) Aswatama, anak kuda, yang merasa sebagai anak pahlawan, tak lain hanyalah pengecut yang selalu gelisah menatap bayang-bayangnya sendiri di pantulan cermin. Oh, Aswatama, jangan kau kembali pada bundamu Krepi, manakala kau tak mampu menunjukkan bahwa kau adalah lelaki sejati (hlm.. 192).

Aswatama juga merupakan orang yang pengecut. Aswatama lari di saat ayahnya akan dibunuh yang menjadikannya menyesal dalam hidupnya bahkan pada saat upacara bagi ayahnya Aswatama bersembunyi. Hal ini ditunjukkan dari kutipan berikut :

(56) “Akhirnya ….. akhirnya ….. sang pengecut itu berani juga memasuki wilayahku ….. grrrr ….. Hai, Aswatama, mengapa kau biarkan kepala ayahmu menjadi bulan-bulanan Drestajumena ….. hrrrrrhg …..” (hlm.. 120).

(45)

Dari kutipan-kutipan di atas dapat disimpulkan bahwa tokoh Aswatama adalah anak dari Begawan Durna yang mendapat julukan anak kuda, lihat kutipan (44), (45) dan (46). Aswatama merupakan anak yang patuh dan menyayangi ayahnya, lihat kutipan (47) dan (48). Aswatama adalah orang yang mempunyai sifat setia yang luar biasa, lihat kutipan (49) dan (50). Aswatama juga mempunyai sikap hormat, lihat kutipan (51) dan (52). Aswatama mempunyai beban hidup yang mempengaruhi beban hidupnya, lihat kutipan (53). Aswatama memilih jalan yang salah, lihat kutipan (54). Aswatama merasa gelisah dan menjadi pengecut, lihat kutipan (55), (56), dan (57). 2.2.2.2.2 Tokoh Tambahan

2.2.2.2.1 Yudhistira

Yudhistira adalah seorang raja yang tegas dalam menetapkan keputusan. Hal ini terungkap melalui kutipan berikut :

(58) Belum genap satu purnama, Prabu Yudhistira telah mengganti hampir seluruh pejabat istana hingga ke desa-desa. Pembersihan itu dilakukan dengan tegas dan telak. Perhitungan pajak dan upeti dibuka. Mereka yang tak mampu melaporkan kekayaan negara dengan benar atau tak memiliki catatan apapun, menerima nasib di tiang gantungan. Rakyat bersorak menyambut ketegasan raja baru mereka (hlm. 10).

(59) Ketegasan Yudhistira, sebagai raja, bagaikan pedang bermata dua. Di satu sisi memangkas benalu negara, di satu sisi dimanfaatkan untuk membasmi dendam-dendam pribadi yang tak ada kaitannya dengan kenegaraan ….. (hlm. 11).

(60) “Aku, Prabu Yudhistira, raja Hastinapura, keturunan Pandu Dewanata, yang dilindungi Batara Darma, menitahkan seluruh manusia yang menghirup udara Hastinapura untuk membangun kejayaan negara kita” (hlm. 12).

(46)

(61) “Yudhistira, jangan kau pura-pura tidak tahu. Bukankah selama ini dengan kebungkamanmu yang nyaris abadi itu, sesungguhnya kau ragu akan semua yang kau hadapi dan jalani? Apa yang kau harapkan, selain sebutir dadu penentu langkah kepastianmu?” (hlm. 91).

Yudhistira lama-kelamaan menjadi raja yang tidak menegakkan hukum yang sudah ditetapkannya. Hal ini terungkap melalui kutipan berikut :

(62) “Sekarang, nasi sudah menjadi bubur. Sejarah Kumbakarna terulang padaku. Lakukanlah, aku tak ingin mengabdi pada seorang raja yang tidak menegakkan hukum yang sudah ditetapkannya”. Bratasena tegak membuang muka. Dadanya naik turun, menahan gejolak amarah dan kejengkelan (hlm. 100).

Yudhistira adalah raja yang mengalami kekacauan yang menjadikan kehancuran negaranya. Hal ini terungkap melalui kutipan berikut :

(63) “Lihatlah Darmakesuma, Adikku. Kegelisahanmu, kemarahanmu, kekacauan batinmu, melahirkan kesengsaraan luar biasa bagi negerimu. Itulah sebabnya, para leluhur selalu mengajarkan bahwa seorang raja adalah jantung bagi negaranya. Jika jantung tak berdenyut sebagaimana alam menghendakinya, maka sakitlah negara tersebut” (hlm. 188).

Yudhistira seorang suami yang tega mempertaruhkan istrinya di meja judi. Hal ini terungkap dalam kutipan :

(64) ….. Dan rasa sakit hatinya kian mendalam manakala diketahuinya bahwa itu semua karena suaminya telah mempertaruhkannya di meja judi. Tubuhnya, kewanitaannya, tak lebih daripada sekeping mata uang di meja perjudian. Sejak itulah hatinya telah tertutup rapat bagi keberadaan Yudhistira (hlm. 163).

(47)

2.2.2.2.2 Semar

Semar adalah seorang lurah di desa kecil yang bernama Klampis Ireng. Hal ini terungkap dalam kutipan berikut :

(65) Seluruh warga Klampis Ireng, jongkok mendengarkan sesuatu yang tak benar-benar mereka pahami. Mereka, selama maklumat dibacakan, hanya saling pandang kosong di antara sesama mereka. Ki Lurah Badranaya, yang menjadi lurah di desa kecil itu, mendengarkan semuanya dengan jernih …. (hlm. 12).

Semar adalah orang yang selalu menunjukkan keikhlasan dan kebahagiaan. Hal ini ditunjukkan dalam kutipan berikut :

(66) Bibir tuanya yang kian renta itu masih saja selalu menunjukkan senyum kebahagiaan dan keikhlasan yang luar biasa. Gigi bawahnya yang tinggal dua itu tersembul di antara bibirnya. Sesekali tangannya mengusap kepalanya yang nyaris botak. Kepala itu seakan bola dunia yang selalu berpikir keras, sehingga tak menyisakan rambut untuk tumbuh di atasnya, kecuali sejumput kuncung menutup ubun-ubun yang kini putih agak kemerahan dimakan usia (hlm. 13).

Semar juga merupakan orang yang penuh kasih sayang. Hal ini ditunjukkan dalam kutipan berikut :

(67) ….. Siapapun yang memandangnya akan merasakan suasana cerah, penuh pesona rindu dan kasih sayang. Kepadanyalah, warga Klampis Ireng akhirnya bertanya tentang semua yang baru saja mereka alami bersama itu (hlm. 13).

Semar merupakan orang yang peduli dengan orang di sekitarnya. Hal ini terungkap dalam kutipan berikut :

(68) “Ahh ….. anak-anakku semuanya, aku akan mencari tahu jawaban ini. Beri aku waktu. Aku akan ke ibukota mencari tahu duduk perkara sebenarnya. Bersabarlah, dan sementara itu bekerjalah seperti biasa” (hlm. 14).

(48)

wajah Semar yang tulus dan tua, mereka segan, lalu menepi membiarkan tubuh gemuk itu menolong si laki-laki (hlm. 45).

Semar juga selalu memancarkan keteduhan dan menunjukkan keriangan, keramahan dan kegembiraan. Hal ini terungkap dalam kutipan berikut :

(70) ….. Oh, manusia sucia yang selalu bertapa di sepanjang hidupnya. Wahai, wajah rembulan yang memancarkan keteduhan, siapakah engkau, wahai Badranaya? Matamu tampak selalu menangis dengan air mata yang menggenang di pelupukmu, namun garis bibirmu selalu menunjukkan keriangan, keramahan, kegembiraan dan sukacita yang tiada tara (hlm. 62).

Semar merupakan orang yang selalu dibutuhkan nasehatnya bagi orang lain. Hal ini terungkap dalam kutipan berikut :

(71) “Sebagai jantung, kau membutuhkan kehadiran Kakang Badranaya. Dialah mata batinmu. Dialah suara yang paling bisa didengar, yang berasal dari rakyatmu. Dialah dirimu yang mewujud dan menyatu di dalam rakyatmu, panjang lebar Sri Kresna menguraikan pikiran-pikirannya kepada Yudhistira” (hlm. 189).

Dari kutipan-kutipan di atas dapat disimpulkan bahwa Semar adalah seorang lurah di desa Klampis Ireng, lihat kutipan (65). Semar selalu menunjukkan kebahagiaan dan keikhlasan, lihat kutipan (66). Semar merupakan orang yang penuh kasih sayang, lihat kutipan (67). Semar sangat peduli dengan orang di sekitarnya, lihat kutipan (68) dan (69). Semar selalu memancarkan keteduhan dan menunjukkan keriangan, keramahan dan kegembiraan, lihat kutipan (70). Nasehat Semar selalu dibutuhkan orang lain, lihat kutipan (71).

2.2.2.2.3 Brajakempa

(49)

(72) Brajakempa adalah saudagar kayu cendana dari Pringgondani. Dia masih kerabat Pangeran Brajamusti, yang tewas di tangan Gatotkaca kemenakannya sendiri. Dia memiliki kelicikan dan keganasan darah denawa …. (hlm. 18).

(73) Aswatama paham benar akan kelicikan dan kelicinan manusia pemakan sesamanya itu. Maka dibukakanlah tutup cupu itu perlahan-lahan (hlm. 22).

Brajakempa adalah seorang yang serakah dan hanya memikirkan kekayaan. Hal ini terungkap dalam kutipan berikut :

(74) Brajakempa menahan nafas, seakan tersedot pada kekuatan bisikan Aswatama. Dalam benaknya, dia tengah menghitung, berapa pundit emas keuntungan apabila benda kuno itu dia jual ke kalangan istana. Pijar-pijar keuntungan menyala di benaknya. Perlahan-lahan senyum mencair (hlm. 19).

(75) “Tapi ….. bolehkah saya melihatnya, Tuan Lintang?”, bisik Braja-kempa dengan tatapan mata liciknya. Gelambir lemak menggantung di lehernya, seakan dia adalah manusia babi dengan keserakahannya yang menggila (hlm. 20).

(76) Sekali lagi cupu dibuka dan Brajakempa terbelalak, menyaksikan ruang-ruang istana yang nyaris dipenuhi timbunan harta benda. Begitu gembiranya hati Brajakempa, sehingga dia tertawa-tawa dan menari-nari bagai orang hilang akal. Aswatama pergi tanpa pamit dan Brajakempa tak peduli (hlm. 23).

Brajakempa juga merupakan orang yang suka menghasut orang lain. Hal ini terungkap dalam kutipan berikut :

(77) ….. Sifat keraksasaan masih tersimpan di setiap pembuluh darah orang Pringgondani itu, dan itulah senjata yang digunakan Brajakempa untuk membakar Sasikirana. Rasa harga dirinya yang tinggi membuat pemuda keras itu mudah digelincirkan. Brajakempa tertawa dalam hati. Dia sudah menancapkan kuku berbisanya kepada kesatria yang kini dipercaya membawahi keamanan dalam istana (hlm. 42).

(78) “Mengapa kau menebarkan jebakan seperti itu? Apa maumu Braja-kempa?” Kata-kata itu membuat Brajakempa tertawa dalam hati, kuku beracunnya makin dalam tertancap pada diri Sasikirana (hlm. 42). (79) “Tt ….. tuanlah yang akan menjadi raja, bukan bayi merah itu”.

(50)

Brajakempa adalah orang yang tidak mudah menyerah. Hal ini terungkap dalam kutipan berikut :

(80) Namun, Brajakempa tak mau menyerah begitu saja. Dia mencoba menghubungi orang-orang Pringgondani yang masih memiliki kekuatan dan pengaruh ….. (hlm. 147).

Dari kutipan-kutipan di atas dapat disimpulkan bahwa Brajakempa adalah seorang saudagar cendana yang sangat licik, lihat kutipan (72) dan (73). Brajakempa adalah orang yang serakah dan hanya mementingkan kekayaan, lihat kutipan (74), (75) dan (76). Brajakempa juga orang yang suka menghasut orang lain, lihat kutipan (77), (78) dan (79). Brajakempa adalah orang yang tidak mudah menyerah, lihat kutipan (80).

2.2.2.2.4 Sasikirana

Sasikirana adalah orang yang gagah dan menyimpan kemarahan yang setiap saat bisa dikeluarkannya. Hal ini terungkap dalam kutipan beriku :

(81) Tubuh tembaganya tampak kekar, dengan dada bidang yang dihiasi otot liat, membuat Sasikirana bagaikan patung perunggu yang ditimpa cahaya pelita. Kumisnya melintang, mewarisi kegagahan ayahbundanya. Matanya tajam, berkilat-kilat bagaikan mata denawa. Ada kawah kemarahan yang menggulung di jiwanya, yang setiap saat siap memuntahkan lahar amukan yang luar biasa …. (hlm. 41).

Sasikirana adalah orang yang patuh. Hal ini terungkap dalam kutipan berikut : (82) ….. Semenjak kanak-kanak, hamba hanya mengenal benar dan salah

secara jelas, sebagaimana yang diajarkan ayahanda. Namun sekarang ini, hamba melihat kebenaran dan kesalahan memiliki lapisan-lapisan tipis yang mengaburkan batas keduanya (hlm. 107).

(51)

dan kewajiban hamba. Namun sebagai seorang cucu, sebagai orang Pringgondani, hamba merasakan sesuatu yang sangat bertentangan dengan nurani hamba (hlm. 107).

Sasikirana menginginkan menjadi penguasa. Hal ini terungkap dalam kutipan berikut :

(84) Sasikirana, tak kusangka kau memiliki keinginan seperti itu? Aku tak ingin anak keturunanku menjadi penguasa, karena hanya akan membenamkannya pada keserakahan” (hlm. 108).

Sasikirana juga merupakan orang yang sangat berbakti kepada leluhurnya. Hal ini terungkap dalam kutipan berikut :

(85) “Eyang, maafkan hamba jika jalan pikiran kita berbeda. Hanya dengan kekuasaan, seperti yang dilakukan Prabu Kalimataya, semua keinginan dan impian tercapai. Ijinkanlah hamba berbakti kepada leluhur. Izinkan hamba mengeluarkan eyang dari tempat terkutuk ini” (hlm. 108).

(86) Sasikirana, sebagai seorang kakek aku bangga memiliki seorang cucu yang begitu menjunjung tinggi pada leluhurnya. Namun ketahuilah bahwa apa yang aku jalani saat ini adalah sebuah tindakan yang kusengaja ….. (hlm. 109).

Dari kutipan-kutipan di atas dapat disimpulkan bahwa Sasikirana adalah orang yang gagah dan menyimpan kemarahan, lihat kutipan (81). Sasikirana mempunyai sifat patuh pada tugas dan keluarga, lihat kutipan (82) dan (83). Sasikirana ingin menjadi penguasa, lihat kutipan (84). Sasikirana juga merupakan orang yang berbakti pada leluhur, lihat kutipan (85) dan (86).

2.2.2.2.5 Banowati

(52)

(87) Dengan lembutnya Banowati membelai-belai rambut Arjuna, bibirnya menyenandungkan tembang asmara. Kecantikan masih memancar dari matanya. Hidungnya mancung, berkesan runcing dengan cuping hidung mungil, pantas bertengger di atas sekatup bibir tipis yang seolah selalu menyimpan senyum mesra (hlm. 84).

Banowati mempunyai pesona yang bisa meluluhkan siapapun yang menatapnya. Hal ini terungkap dalam kutipan berikut :

(88) Tersengat jiwa Aswatama mendengar nama Banowati disebut-sebut. Sesungguhnyalah, jauh di lubuk hatinya, nama Banowati bertahta dengan megahnya, menduduki dan berkehendak semau-maunya. Ah, kecantikannya memang meluluhkan siapapun yang menatapnya berlama-lama (hlm. 96).

Banowati sangat mencintai Arjuna dan hanya menginginkan Arjuna. Hal ini terungkap dalam kutipan berikut :

(89) …. Arjuna sejak muda belia sudah dikaguminya. Usia mungkin lebih tua Arjuna, namun tuntutan silsilah, membuat Arjuna harus menyebutnya ayunda. Bahkan, ketika lamaran Duryudana ketika itu diterimanya, Banowati mengajukan syarat yang hanya bisa dipahami oleh manusia gila. Syarat yang sebetulnya adalah penolakan tegas dari Banowati, namun yang diterima apa adanya oleh Duryudana.

“Aku mau kau persunting, hanya jika malam pertamaku bisa kunikmati bersama Arjuna”, begitu bisikan Banowati pada calon suaminya (hlm. 85).

(90) “Cintaku hanya pada Janaka. Kasihku hanya pada Arjuna. Kau tidak tahu siapa Aswatama sebenarnya …..” (hlm. 131).

Banowati adalah seorang wanita sabar dan mempunyai keyakinan yang kuat. Hal ini terungkap dalam kutipan berikut :

(53)

Di balik sikap sabar dan keyakinannya, ternyata Banowati merupakan wanita yang lemah dan tersiksa selama menikah dengan Duryudana. Hal ini terungkap dalam kutipan berikut :

(92) ….. Dan semuanya, kisah rindumu, kau buka, telanjang di depan mataku? Kau tunjukkan betapa Duryudana sebetulnya makhluk buas yang akan merasakan kenikmatan tubuh perempuan dengan menggigit pahanya. Kau tunjukkan lukamu dengan menyingkap kain penutup tungkaimu yang menawan itu. Oh, Banowati ….. Apa maksudmu?” (hlm. 239).

Dari kutipan-kutipan di atas dapat disimpulkan bahwa Banowati adalah seorang wanita yang lembut dan mesra, lihat kutipan (87). Banowati mempunyai pesona yang bisa meluluhkan siapa yang memandang, lihat kutipan (88). Banowati sangat mencintai Arjuna dan hanya menginginkan Arjuna, lihat kutipan (89) dan (90). Banowati juga merupakan wanita yang sabar dan mempunyai keyakinan yang kuat, lihat kutipan (91). Banowati adalah wanita yang lemah dan mengalami siksaan, lihat kutipan (92).

(54)

41

BAB III

ANALISIS KONFLIK BATIN

TOKOH ASWATAMA

Dalam Bab II analisis dilakukan dari sudut sastra yang difokuskan pada analisis latar dan tokoh. Dalam Bab III analisis dilakukan dari sudut psikologi yang didasarkan pada teori psikoanalisis dari Sigmund Freud, yakni teori sistem kepribadian terhadap konflik batin tokoh Aswatama. Menurut Freud dalam diri seseorang terdapat 3 (tiga) sistem kepribadian yang disebut id, ego dan super ego

(Freud via Dirgagunarsa, 1983 : 63). Id merupakan wadah dalam jiwa seseorang yang berisikan dorongan-dorongan primitif. Dorongan primitif ini merupakan wadah dalam jiwa seseorang dengan segera sehingga tercapailah perasaan senang dan puas. Namun, perasaan senang diperoleh dengan tanpa mempedulikan akibat-akibatnya karena tidak memperhitungkan situasi dan kondisi yang ada (Dirgagunarsa, 1983 : 63).

Ego bertugas melaksanakan dorongan dari id. Ego harus menjaga agar dorongan-dorongan dari id tidak bertentangan dengan kenyataan serta tuntutan-tuntutan dari super ego. Dalam melaksanakan tugasnya, ego selalu berpegang pada prinsip kenyataan (Dirgagunarsa, 1983 : 63).

(55)

dari id. Super ego menghendaki supaya dorongan-dorongan yang tidak sesuai dengan nilai-nilai moral tetap tidak dipenuhi (Dirgagunarsa, 1983 : 63).

Konflik berkaitan dengan kemampuan ego dalam menjaga keseimbangan yang datang dari id dan super ego. Karena kalau ego gagal menjaga keseimbangan antara id dan larangan-larangan dari super ego, maka individu yang bersang-kutan akan menderita konflik batin. Konflik batin terjadi karena pertentangan antara dorongan-dorongan yang berlawanan tetapi ada sekaligus bersama-sama pada diri seseorang. Konflik timbul pada saat ego mendapat dorongan kuat dari id yang tidak dapat diterimanya sebagai suatu hal yang berbahaya (Heerdjan, 1987 : 31).

Dalam novel Manyura, tokoh Aswatama mengalami konflik batin dalam kehidupannya. Konflik yang dialami Aswatama terjadi karena ego

Aswatama tidak bisa menjaga keseimbangan antara id dan larangan-larangan dari super ego.

3.1Konflik Batin Aswatama Ketika Kalah Perang dan Melihat Ayahnya Tewas

Aswatama sedih melihat kehancuran dan kekalahan negaranya serta kematian Durna, ayah yang dicintainya. Para pengikut setia dan penduduk di sekitarnya mencemooh dan tidak mengenalnya lagi, yang semakin menambah kepedihan hatinya. Hal ini ditunjukkan melalui kutipan berikut :

(56)

setia, bahkan penduduk di sekitarnya, seakan tidak mengenalnya lagi. Mereka bukan saja mencemooh, namun dengan terang-terangan mempermainkan ayah yang sangat dicintainya (hlm. 3).

Kekalahan dan kematian ayahnya itu membuat Aswatama marah pada Hastinapura yang telah menghancurkan negaranya. Dalam kemarahannya itu, Aswatama merencanakan apa yang akan dilakukan untuk melawan Hastinapura. Hal ini ditunjukkan melalui kutipan berikut :

(94) Dari kejauhan, Aswatama menatap iringan-iringan yang bergerak memasuki tapal batas Hastinapura. Ada kemarahan yang dengan jelas ter-gambar di sorot matanya. Rencana apakah yang akan dilancarkannya, ketika sebuah tatanan berganti? (hlm. 3).

Kemarahan Aswatama menciut karena Aswatama tidak bisa berbuat apa-apa untuk melawan. Ketidakmampuan itu membuat Aswatama melarikan diri. Di sini id

Aswatama mengatakan bahwa dia marah tetapi, tidak bisa berbuat apa-apa. Hal ini ditunjukkan melalui kutipan berikut :

(95) Ketika Aswatama tergopoh-gopoh melarikan diri dari medan laga, dia sangat terhenyak menyaksikan rumahnya telah porak-poranda. Perlahan-lahan dia saksikan orang-orang membongkar apa saja yang ditemuinya di dalam rumah itu. Aswatama tidak kuasa berbuat apa-apa. Jiwanya yang sempat bergolak karena marah, tiba-tiba menciut (hlm. 3).

Melihat kekalahan yang dialaminya, id Aswatama mengatakan bahwa dia marah dan harus melawan kekalahannya itu. Super ego Aswatama merasa bahwa dia tidak bisa berbuat apa-apa dan marah atas dirinya yang tidak berdaya. Kedua dorongan ini saling bertentangan. Kemampuan ego Aswatama untuk menjaga keseimbangan dorongan yang datang dari id dan super ego

(57)

mengalami kekacauan dalam dirinya. Aswatama memutuskan untuk lari, sehingga dalam keinginannya ini id Aswatama dapat dikalahkan oleh super ego. Hal ini ditunjukkan melalui kutipan berikut :

(96) ... Air matanya beku, bola matanya merah membara. Dia marah pada orang-orang itu. Dia marah pada peperangan. Dia marah dan benci pada dirinya sendiri. Di punggung kudanya, dia kemudian berlari, bersembunyi ke dalam rimba (hlm. 3-4).

Pada saat melihat ayahnya tewas terpenggal pedang Drestajumena, id

Aswatama merasa ingin membela ayahnya. Namun, super ego Aswatama mengata-kan bahwa dia tidak mampu berbuat apa-apa karena tidak yakin apa yang amengata-kan dilakukannya. Dorongan id yang dikalahkan oleh super ego membuat Aswatama mengutuki dirinya yang tidak mampu berbuat apa-apa. Hal ini ditunjukkan melalui kutipan berikut :

(97) ... Terbayang ayah yang dicintainya terpenggal pedang Drestajumena. Arjuna itu begitu dahsyatnya sehingga Aswatama tak mampu berbuat apa-apa. Sebagai anak, dia ingin membela, namun entah mengapa jiwanya selalu penuh pertimbangan. Dia ragu. Dia hanya diam. Dan diam-diam – mengutuki dirinya sendiri yang tak mampu berbuat apa-apa. Aswatama meraung-raung, membuat kelelawar beterbangan menyangka hari telah senja (hlm. 4).

Id Aswatama ingin membela ayahnya. Akan tetapi, hal itu tidak tercapai karena digagalkan oleh super ego Aswatama. Dia yang tidak mampu berbuat apa-apa mengakibatkan konflik batin dalam dirinya, sehingga membuat hati Aswatama kacau. Hal ini ditunjukkan melalui kutipan berikut :

Referensi

Dokumen terkait

analisis konflik batin tokoh utama dalam novel Nayla karya Djenar

“ Konflik Batin Tokoh Saraswati dalam Novel Sintren Karya Dianing Widya Yudhistira: Pendekatan Psikologi Sastra ” Skripsi pada Program Studi Sastra Indonesia, Fakultas

BAB IV Konflik Batin Tokoh Utama Novel Pusparatri karya Nurul Ibad Tinjauan Psikologi Sastra, merupakan bab inti dari penelitian yang meliputi konflik batin

konflik batin tokoh utama (Aisya) berupa kecemasan, faktor-faktor yang sangat mempengaruhi batin Aisya. Selain itu, penelitian ini juga ingin mengemukakan cara Aisya mengatasi

7 Fokus kajian penelitian ini untuk menjelaskan unsur strktur karya sastra yang membangun novel Alisya dan mengungkap penyebab konflik batin pada tokoh utama dalam

Hasil dari penelitian ini adalah mengungkapkan konflik batin Id yaitu konflik dengan dirinya sendiri , konflik batin Ego yaitu konflik dirinya dengan orang lain, dan konflik

Teknik analisis data yang digunakan adalah teknik analisis deskriptif kualitatif untuk mendeskripsikan konflik batin tokoh dalam cerpen salawat dedaunan karya

Adapun rumusan masalah penelitiannya adalah bagaimana unsur pembangun yang terdapat dalam novel Kekang karya Stefani Bella, bagaimana konflik batin tokoh yang terdapat dalam novel