• Tidak ada hasil yang ditemukan

PEMBUATAN EMPING KIMPUL TALAS BELITUNG SEBAGAI UPAYA DIVERSIFIKASI PRODUK AGROINDUSTRI

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "PEMBUATAN EMPING KIMPUL TALAS BELITUNG SEBAGAI UPAYA DIVERSIFIKASI PRODUK AGROINDUSTRI"

Copied!
8
0
0

Teks penuh

(1)

PEMBUATAN EMPING KIMPUL TALAS BELITUNG SEBAGAI UPAYA DIVERSIFIKASI PRODUK AGROINDUSTRI

Aniswatul Khamidah

Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Jawa Timur Jl. Raya Karangploso Km. 4 Malang Telp. (0341) 494052 Email: aniswatul.bptp@gmail.com

ABSTRAK

Kimpul dapat diolah menjadi emping dan tidak mengandung purin. Penelitian ini bertujuan untuk menentukan lama pengukusan yang tepat untuk menghasilkan emping kimpul yang paling disukai panelis berdasarkan sifat kimia dan organoleptik. Penelitian didahului dengan penghilangan rasa gatal pada umbi. Perlakuan perendaman dalam larutan garam adalah: 0%; 2,5%; 5%; 7,5%. Tahap selanjutnya adalah pembuatan emping kimpul. Perlakuan lama pengukusan adalah: 10 menit, 15 menit, 20 menit, 25 menit, 30 menit. Karakteristik kimia emping yang diamati meliputi kadar air (metode oven), protein (metode semi mikro Kjeldahl, AOAC 1990), abu (metode gravimetri), lemak (metode soxhlet, AOAC), serat (AOAC 1990), karbohidrat (metode by difference). Uji organoleptik menggunakan uji hedonik (30 panelis) untuk mengetahui perlakuan yang paling disukai meliputi warna, aroma, rasa, tekstur dan tingkat kesukaan secara umum. Umbi kimpul yang tidak gatal terdapat pada perendaman larutan garam 7,5% sedangkan lama pengukusan 10 menit menghasilkan emping yang paling disukai dengan kadar air 3,43%; protein 3,24%; lemak 14,55%; serat 1,71%; abu 4,97% dan karbohidrat 72,10%. Emping dengan lama pengukusan 10 menit menghasilkan nilai tertinggi pada uji organoleptik, yang artinya paling disukai panelis dengan nilai warna 3,5 (suka); rasa 3,57 (tidak gatal); tekstur 3,9 (suka); aroma 3,37 (cukup) dan secara keseluruhan nilai parameter adalah 4,03 artinya disukai.

Kata kunci : kimpul (Xanthosoma sagittifolium (L.) Schott), emping

ABSTRACT

The making process of chips from Kimpul (Talas Belitung), as an diversification effort of agroindustrial products. Kimpul (Xanthomonas sagittifolium) can be processed into chips, and by this process the purine content is zero. This study aimed to determine the precise length of steaming to produce chips which chemically and organoleptically most preferred by consumers. The study was initiated by removing the toxin content of the tuber by soaking the tubers in the salt solution. The salt solution treatments were 0%, 2.5%, 5%, and 7.5%. The next stage was chips making process. The lengths of steaming treatments were 10 minutes, 15 minutes, 20 minutes, 25 minutes, and 30 minutes. Chemical characteristics of the chips observed were water, protein, ash, fat, fiber, and carbohydrate contents. Organoleptic test using hedonic test (30 panelists) on color, aroma, flavor, and texture was done on chips produced by all treatments. Kimpul that was soaked into 7.5% salt solution successfully cleaned the toxin, so it won’t produce the itchy sensation. Steaming the tubers for 10 minutes produces chips with water content of 3.43%, protein 3.24%, fat 14.55%, fiber 1.71%, ash 4.97% and 72.10% carbohydrate, as a result this chips was most preferred by panelist. This chips also received highest value on organoleptic test in term of color (3.5: means like); taste (3.57 mean not itchy); texture (3.9 means like); aroma (3.37 means enough) and based on the overall parameter the value was 4.03 which means like.

(2)

PENDAHULUAN

Umbi kimpul merupakan salah satu sumber daya pangan lokal yang dapat dijadikan alternatif dalam diverisifikasi pangan dan memiliki potensi ekonomi yang cukup tinggi. Penggunaannya sebagai bahan makanan dapat diarahkan untuk menunjang ketahanan pangan melalui program diversifikasi pangan.

Penggunaan kimpul belum optimal karena hanya direbus, digoreng, atau dibakar, bahkan tidak dimanfaatkan sama sekali (Richana dan Sunarti 2004). Kimpul umumnya hanya diusahakan sebagai tanaman sela di antara tanaman palawija lain. Di Jepang umbi kimpul telah menjadi bahan makanan sehari-hari, dan di Jepang sendiri baru dapat memenuhi kebutuhan kurang dari 1%. Salah satu permasalahannya adalah iklim yang tidak mendukung, yaitu musim gugur yang menyebabkan kimpul mudah membusuk (Anggarwulan et al. 2008).

Kimpul adalah jenis talas-talasan. Selain rasanya gurih dan lezat, tanaman kimpul memiliki kadar karbohidrat dan lemak yang rendah. Selain itu kandungan glukosa kimpul juga rendah sehingga cocok bagi penderita diabetes mellitus. Setiap 100 g kimpul mengandung 23,7 g karbohidrat, lebih rendah dibanding beras (78,9 g), terigu (77,3 g), dan jagung kuning (63,6 g). Keunggulan yang lain dari kimpul adalah mengandung kalsium lebih tinggi (47 mg) dibanding beras (10 mg), terigu (16 mg) dan jagung kuning (9 mg). Dibanding beras, terigu dan jagung kuning, hanya kimpul yang mengandung vitamin C cukup tinggi, 4 mg dalam setiap 100 g umbi (Widowati dan Suyanti 2002 dalam

Anonymous 2012a).

Menurut Marinih (2005), kimpul mengandung senyawa pembatas yang dapat merugikan kesehatan seperti kristal kalsium oksalat yang menyebabkan rasa gatal dan saponin yang memiliki rasa pahit yang menyebabkan pemecahan butir darah (hemolisis). Namun permasalahan ini dapat diatasi dengan teknik pengolahan yang benar. Pengolahan kimpul menjadi produk yang berkualitas akan meningkatkan minat masya-rakat terhadap kimpul sehingga dapat dimanfaatkan terutama pada musim panen, agar kimpul memiliki nilai ekonomis dan mampu bersaing dengan produk olahan dari umbi-umbi yang lain.

Kimpul dapat diolah menjadi emping, seperti emping melinjo dengan cara ditumbuk, dibentuk bundar tipis-tipis, dikeringkan, dan digoreng (Anonymous 2012b). Emping juga bisa dibuat dari umbi yang diolah dan kacang-kacangan. Untuk biji-bijian dan buah yang akan dijadikan emping, biasanya akan disangan terlebih dahulu, kemudian dipipihkan sesuai selera. Untuk jenis umbi, biasanya dihaluskan terlebih dahulu, kemudian dibentuk bulat-bulat kecil dan setelah itu dipipihkan menjadi emping (Khasanah 2011).

Emping kimpul memiliki kelebihan, yaitu tidak mengandung senyawa purin seperti yang terdapat dalam melinjo. Dalam 100 g emping melinjo, terdapat 50-150 mg purin. Semakin tinggi konsumsi purin semakin meningkat kadar asam urat dalam tubuh. Oleh karena itu dianjurkan untuk mengkonsumsi makanan yang mengandung purin, 100 g/hari (Syofia 2009). Penelitian ini bertujuan untuk menentukan lama pengukusan yang tepat dalam menghasilkan emping kimpul yang paling disukai berdasarkan sifat kimia dan organoleptik.

(3)

BAHAN DAN METODE

Penelitian dilaksanakan di laboratorium pasca panen, Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Jawa Timur, pada bulan Agustus sampai September 2011. Bahan yang diguna-kan adalah umbi kimpul varietas lokal yang diperoleh dari pasar di Malang. Percobaan menggunakan yaitu rancangan acak kelompok dengan tiga ulangan. Penelitian ini dilaksanakan sebanyak dua tahap, tahap pertama penghilangan rasa gatal pada umbi kimpul, sedangkan tahap kedua pembuatan emping kimpul.

Cara menghilangkan rasa gatal umbi dapat dilihat pada Gambar 1. Umbi kimpul setelah dikupas, dipotong kecil-kecil (sekitar 3 cm), dicuci dengan air mengalir lalu direndam dalam larutan garam selama 25 menit sesuai perlakuan. Setelah direndam, umbi kimpul dicuci dan dikukus selama 20 menit. Umbi kimpul yang sudah matang lalu dilaku-kan uji organoleptik terhadap panelis untuk mengetahui apakah umbi kimpul masih gatal atau tidak. Perlakuan pada tahapan penghilangan rasa gatal, yaitu: A) perendaman dalam larutan garam 0% (kontrol); B) larutan garam 2,5%; C) larutan garam 5%; D) larutan garam 7,5%. Volume air perendaman sama dengan bobot umbi setelah dikupas. Melalui uji organoleptik, diperoleh umbi kimpul yang tidak gatal. Umbi yang tidak gatal ini selanjutnya diolah menjadi emping dengan lima perlakuan lama pengukusan: A) 10 menit, B) 15 menit, C) 20 menit, D) 25 menit, dan E) 30 menit.

Gambar 1. Tahapan penghilangan rasa gatal umbi kimpul

Cara pembuatan emping disajikan pada Gambar 2, meliputi pelembutan umbi yang sudah dikukus sesuai perlakuan, lalu dicetak berbentuk bulatan kecil, kemudian dipukul-pukul berbentuk lempengan tipis. Setelah itu dikeringkan dengan cara dijemur di bawah sinar matahari, kemudian digoreng. Karakteristik kimia emping yang diamati meliputi kadar air (menggunakan metode oven), kadar protein (metode semi mikro Kjeldahl,

(4)

disukai. Pengamatan uji organoleptik meliputi warna, aroma, rasa, tekstur, dan tingkat kesukaan secara umum.

Gambar 2. Tahapan pembuatan emping umbi kimpul

HASIL DAN PEMBAHASAN

Penghilangan Rasa Gatal pada Umbi

Pada perlakuan A dengan perendaman umbi dalam larutan garam 0% (kontrol), semua panelis menyatakan bahwa umbi kimpul masih gatal, sedangkan pada perlakuan B dengan perendaman dalam larutan garam 2,5%, sebanyak 85,7% panelis menyatakan umbi kimpul masih gatal. Pada perlakuan C dengan perendaman dalam larutan garam 5%, sebanyak 28,6% panelis menyatakan umbi kimpul masih gatal. Pada perlakuan D dengan perendaman kimpul dalam larutan garam 7,5%, semua panelis menyatakan umbi kimpul sudah tidak gatal lagi (Gambar 3).

Gambar 3. Jumlah panelis yang menyatakan umbi kimpul gatal

Rasa gatal pada umbi kimpul terjadi karena adanya kalsium oksalat. Pencucian dan perendaman berfungsi untuk menghilangkan zat-zat pengotor. Penurunan kadar oksalat

(5)

terjadi karena reaksi antara natrium klorida (NaCl) dan kalsium oksalat (CaC2O4). Garam (NaCl) yang dilarutkan dalam air terurai menjadi ion-ion Na+ dan Cl-. Ion-ion tersebut bersifat seperti magnet. Ion Na+ menarik ion-ion yang bermuatan negatif dan ion Cl -menarik ion-ion yang bermuatan positif. Kalsium oksalat (CaC2O4) dalam air terurai menjadi ion-ion Ca2+ dan C

2O42-. Na+ mengikat ion C2O42- membentuk natrium oksalat (Na2C2O4). Ion Cl- mengikat Ca2+ membentuk endapan putih kalsium diklorida (CaCl2) yang mudah larut dalam air (Anonymous 2011).

Sifat Kimia Emping Kimpul

Kadar air. Kadar air bahan pangan mempengaruhi mutu produk, kadar air yang masih terlalu tinggi dapat memacu timbulnya kerusakan pada emping seperti ketengikan dan timbulnya kapang. Kapang mulai terhambat pertumbuhannya pada kadar air 13% (Rahmanto 1994). Menurut Fennema (1996), air yang teranalisis pada penetepan kadar air adalah air bebas yang ada dalam suatu bahan. Lama pengukusan memberikan pengaruh yang nyata terhadap kadar air emping kimpul. Pada pembuatan emping kimpul ini, kadar air emping setelah melalui pengeringan dan penggorengan berkisar antara 1,6%-3,4% (Tabel 1). Kadar air emping lebih rendah daripada kadar air umbi segar karena berkaitan dengan jumlah air emping yang telah diuapkan, hampir seluruh bagian dari bahan terkonversi menjadi renyah atau crust (Anguilar 1997 dalam Pratiwi 2003). Kerenyahan ini diperlukan dalam produk yang digoreng, demikian juga emping karena konsumen menyukai emping yang renyah.

Tabel 1. Kadar air, protein, lemak, serat, abu, dan karbohidrat emping kimpul akibat pengukusan.

Perlakuan Kadar air (%) Kadar protein (%) Kadar lemak (%) Kadar serat (%) Kadar abu (%) Kadar karbohidrat (%) Pengukusan 10 menit 3,43a 3,24ab 14,55cd 1,71b 4,98d 72,10ab Pengukusan 15 menit 1,62d 3,73a 19,59a 2,00a 6,45a 66,62d Pengukusan 20 menit 2,82bc 3,48a 15,27bc 1,85ab 6,16b 70,43c Pengukusan 25 menit 3,24ab 2,05c 16,19b 1,95ab 4,77d 71,81b Pengukusan 30 menit 2,56c 2,88b 13,75d 1,94ab 5,58c 73,31a

Angka sejajar yang diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda nyata menurut uji LSD taraf 0,05%

Penurunan kadar air produk gorengan terjadi karena panas yang disalurkan melalui minyak goreng akan menguapkan air yang terdapat dalam bahan yang digoreng. Selama proses penggorengan berlangsung, sebagian minyak masuk ke bagian kerak dan bagian luar dan mengisi ruang kosong yang pada mulanya diisi oleh air (Ketaren 1986). Pengukusan selama 30 menit menghasilkan kadar air 2,5% lebih kecil daripada kadar air emping dengan pengukusan selama 10 menit dengan rata-rata 3,4% (Tabel 1). Hal ini disebabkan proses pengukusan membuat sel-sel membran menjadi lebih permeabel, sehingga pergerakan air tidak terhambat dan air yang terdapat pada bahan lebih mudah dikeluarkan sewaktu pengeringan dan membuat proses pengeringan lebih merata sampai ke bagian dalam bahan. Oleh karena itu, kadar air emping yang dikukus lebih lama lebih kecil. Menurut Fellows (2000), pengukusan menyebabkan perubahan membran sitoplasmik jaringan bahan pangan, sehingga air akan terikat oleh komponen-komponen

(6)

Kadar protein. Kadar protein emping kimpul berkisar antara 2,05%−3,24% (Tabel 1). Pada pengukusan 30 menit, kadar protein lebih rendah (2,88%) daripada pengukusan 10 menit (3,24%). Semakin lama pengukusan semakin banyak protein yang larut dalam uap air, sehingga kadar proteinnya lebih rendah. Selain itu terjadi reaksi Maillard antara gugus amin dan gula pereduksi. Menurut Birch (1977) dalam Pratiwi (2003), reaksi terpen-ting karbohidrat dengan komponen lain bahan makanan adalah reaksi Maillard yang terjadi antara gula pereduksi dan komponen nitrogen, terutama asam amino dari protein.

Kadar lemak. Kadar lemak yang terukur pada emping menunjukkan jumlah minyak goreng yang terserap ke dalam bahan selama proses penggorengan. Penyerapan minyak dipengaruhi oleh suhu dan lama penggorengan, porositas, perlakuan prapenggorengan, dan sebagainya (Pinthus et al. 1993 dalam Pratiwi 2003). Emping kimpul dengan lama pengukusan 10 menit mempunyai kadar lemak lebih besar (14,55%) daripada pengu-kusan 30 menit (13,75%) (Tabel 1). Semakin tinggi kadar air bahan pada saat penggo-rengan semakin banyak air yang hilang diuapkan, digantikan oleh minyak goreng yang terserap dalam emping. Penurunan kandungan air bahan yang tinggi akan diikuti oleh penyerapan minyak goreng dalam jumlah yang tinggi pula. Pada kadar air bahan yang rendah akan mengurangi penyerapan minyak dan lama penggorengan, sehingga semakin sedikit air yang menguap dan meninggalkan ruang kosong pada saat penggorengan. Ruang kosong dalam bahan akan digantikan oleh minyak.

Kadar serat. Kadar serat emping kimpul berkisar antara 1,71%−2,00%. Lama pengu-kusan tidak memberikan perbedaan yang nyata terhadap kadar serat (Tabel 1).

Kadar abu. Lama pengukusan emping kimpul memberikan pengaruh yang nyata ter-hadap kadar abu. Kadar abu emping kimpul berkisar antara 4,77%− 6,45% (Tabel 1).

Kadar Karbohidrat. Lama pengukusan emping kimpul memberikan pengaruh yang nyata terhadap kadar karbohidrat. Nilai karbohidrat berkisar antara 66,62%−73,31% (Tabel 1).

Penilaian Organoleptik

Lama pengukusan umbi kimpul mempengaruhi sifat organoleptik emping kimpul, yaitu warna, rasa, aroma, tekstur dan tingkat kesukaan secara umum.

Tabel 2. Nilai emping kimpul berdasarkan uji organoleptik.

Perlakuan Warna Rasa Tekstur Aroma Tingkat penerimaan

Pengukusan 10 menit 3,50a 3,57a 3,90a 3,37a 4,03a

Pengukusan 15 menit 2,67c 3,43a 2,83c 2,70c 2,67c

Pengukusan 20 menit 3,13ab 3,23a 3,73ab 3,13ab 3,27b

Pengukusan 25 menit 3,27ab 3,50a 3,30b 3,07abc 3,27b

Pengukusan 30 menit 2,90bc 3,30a 2,57c 2,73bc 2,87bc

Kriteria penilaian: Warna, aroma, tekstur dan tingkat penerimaan secara umum: 1) Sangat tidak suka, 2) Tidak suka, 3) Cukup, 4) Suka, dan 5) Sangat suka. Rasa gatal: 1) Sangat gatal, 2) Gatal, 3) Cukup, 4) Tidak gatal, dan 5) Sangat tidak gatal.

Angka selajur yang diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda nyata menurut uji LSD taraf 0,05%.

Warna. Daya tarik makanan dipengaruhi oleh warna dan merupakan bagian yang tidak terpisahkan dalam mutu produk (Nasution et al. 2006). Lama pengukusan mem-berikan perbedaan yang nyata pada warna produk (Tabel 2). Nilai tertinggi parameter warna terdapat pada perlakuan A (lama pengukusan 10 menit) rata-rata 3,50.

(7)

Warna emping pada perlakuan ini berwarna kuning kecoklatan sehingga paling disukai. Warna kecoklatan diduga ditimbulkan oleh reaksi Maillard. Reaksi Maillard merupakan reaksi antara gugus amina primer atau gugus amino dari protein dengan komponen karbonil, khususnya gula pereduksi di mana tahap akhir reaksi ini menghasilkan polimer berwarna coklat yang tidak larut dalam air (melanoidin) (Ikan 1996 dalam Pratiwi 2003).

Pengeringan mempengaruhi warna emping kimpul karena kandungan protein bahan dan adanya reaksi Maillard secara nonenzimatis. Selama pengeringan dengan sinar mata-hari, reaksi Maillard secara enzimatis maupun nonenzimatis terjadi pada awal penjemuran.

Rasa. Penilaian panelis terhadap rasa dipengaruhi oleh komposisi bumbu yang digunakan, seperti yang dinyatakan Winarno (1992) bahwa cita rasa suatu produk dipe-ngaruhi oleh senyawa flavor yang dapat memberikan rangsangan pada indra penerima pada saat mengecap dan kesan yang ditinggalkan pada indera perasa setelah seseorang menelan produk tersebut.

Menurut sebagian panelis rasa pada emping ditentukan oleh kerenyahannya seperti yang diungkapkan Matz (1964) dalam Kusumaningsih et al. (1999) bahwa kerenyahan merupakan faktor penentu mutu produk chip.

Lama pengukusan tidak memberikan pengaruh yang nyata pada parameter rasa gatal (Tabel 2) yaitu berkisar antara 3,23−3,57 (cukup sampai tidak gatal). Secara umum panelis menilai bahwa rasa gatal kimpul sudah hilang.

Tekstur. Lama pengukusan memberikan perbedaan yang nyata terhadap tekstur produk. Nilai kesukaan tertinggi terdapat pada emping dengan lama pengukusan 10 menit (perlakuan A) dengan rata-rata 3,90 yang artinya disukai (Tabel 2).

Kerenyahan emping dipengaruhi oleh kadar air. Pada perlakuan A, nilai kadar air paling tinggi yaitu 3,43% (Tabel 1) karena pengukusannya paling pendek. Kadar air yang tinggi akan menurunkan kerenyahan emping. Hal ini sesuai dengan pendapat Seymour dan Hamann (1988) dalam Kusumaningsih et al. (1999) bahwa kerenyahan produk akan menurun dengan meningkatnya kekerasan atau daya patah dan kekerasan akan mening-kat selama kadar air produk meningmening-kat.

Semakin lama pengukusan menyebabkan pati tergelatinisasi dengan sempurna sehingga terbentuk struktur bahan yang elastis yang dapat mengembang selama penge-ringan yang nantinya menghasilkan tingkat kerenyahan yang baik, sehingga emping pada perlakuan E mempunyai tekstur yang paling renyah. Namun tidak demikian halnya yang terjadi pada emping kimpul ini, panelis lebih meyukai tekstur emping pada perlakuan A (lama pengkusan 10 menit).

Aroma. Pada parameter aroma, lama pengukusan emping kimpul tidak memberikan pengaruh yang nyata (Tabel 2). Nilai aroma tertinggi terdapat pada pengukusan paling pendek (10 menit) yaitu 3,37 (artinya disukai).

Tingkat Penerimaan. Penerimaan panelis berdasarkan keseluruhan parameter rata-rata 2,67 sampai 4,03 artinya produk cukup sampai disukai (Tabel 2). Nilai tertinggi terda-pat pada pengukusan 10 menit.

KESIMPULAN

(8)

pengukusan 10 menit menghasilkan nilai tertinggi pada uji organoleptik, artinya paling disukai oleh panelis dengan nilai warna 3,5 (disukai); rasa 3,57 (tidak gatal); tekstur 3,9 (disukai); aroma 3,37 (cukup suka), dan berdasarkan keseluruhan parameter nilainya 4,03 artinya disukai.

DAFTAR PUSTAKA

AOAC. 1990. Officials Methods of Analysis of The Association of Official Analytical Chemists, 14thed.

Washington DC.

Anggarwulan, E., Solichatun dan W. Mudyantini. 2008. Karakter Fisiologi Kimpul (Xanthosoma sagittifolium (L). Schott) pada Variasi Naungan dan Ketersediaan Air. Biodiversitas. Volume 9, Nomor 4, hal : 264−268. Oktober 2008. ISSN :1412-033X

Anonymous, 2011. Penghilangan Rasa Gatal pada Talas. Error! Hyperlink reference not valid.. Diakses tanggal 2 desember 2011 pukul 10.34 WIB

Anonymous. 2012a.

http://makanan-dan-minuman.tokobagus.com/makanan-ringan/emping-kimpul-talas-5024145.html. Diakses Mei 2012

Anonymous. 2012b. http://www.artikata.com/arti-326429-emping.html. Diakses Mei 2012

Fellows, P. J. 2000. Food Processing Technology Principles and Practise. Woodhead Publishing Ltd, England

Fennema, O. R. (ed). 1996. Food Chemistry 3rd Edition. Marcel Dekker Inc. New York

Ketaren. 1986. Pengantar Teknologi Minyak dan Lemak Pangan. UI-Press

Khasanah, N. 2011. Emping. http://emping.web.id/tag/gnetum-gnemon/22 Juli 2011. Diakses Mei 2012

Kusumaningsih, E., Sukardi dan S., Wijana. 1999. Studi Pengolahan Tempe Gembus Menjadi Keripik dengan Kajian Proporsi Tepung Pelapis. Jurnal Teknologi Pertanian 3 (2) : 78−84. Marinih. 2005. Tugas Akhir D3 Jurusan Teknologi Boga dan Produksi : Pembuatan Keripik Kimpul

Bumbu Balado dengan Tingkat Pedas yang Berbeda. Semarang. Universitas Semarang

Nasution, Z., Bakkara, T. dan Manulu M. 2006. Pemanfaatan Wortel (Daucus carota) dalam Pembuatan Mie Basah serta Analisa Mutu Fisik dan Mutu Gizinya. Jurnal Ilmiah PANNMED. Vol.1. No.1. Juli. 2006. Hal 9−13.

Pratiwi, F. 2003. Pengembangan Umbi Kimpul (Xanthosoma Sagittifolium L. Schott) menjadi Keripik dalam Rangka Diversifikasi Produk Agroindustri. Skripsi. Fakultas Teknologi Pertanian. IPB. Bogor.

Rahmanto, F. 1994. Teknologi Pembuatan Keripik Simulasi dari Talas Bogor (Colocasia esculenta (L.) Schott). Skripsi. Fakultas Teknologi Pertanian. IPB. Bogor.

Richana, N dan T.C. Sunarti. 2004. Karakterisasi Sifat Fisikokimia Tepung Umbi dan Tepung Pati dari Umbi Ganyong, Suweg, Ubikelapa dan Gembili. Jurnal Pascapanen 1 (1) hal : 29−37. Syofia, Y. M. 2009. Nilai Gizi Emping Melinjo. http://emping5s3.multiply.com/reviews/item

/9?&shows_interstitial=1%u=%2Freviews%2Fitem

Gambar

Gambar 1. Tahapan penghilangan rasa gatal umbi kimpul
Gambar 3. Jumlah panelis yang menyatakan umbi kimpul gatal
Tabel 1.   Kadar air, protein, lemak, serat, abu, dan karbohidrat emping kimpul akibat pengukusan
Tabel 2. Nilai emping kimpul berdasarkan uji organoleptik.

Referensi

Dokumen terkait

Berdasarkan temuan dan interprestasi analisis serta pembahasan pelaksanaan penelitian tindakan kelas VIIIB SMP Negeri 4 Terbanggi Besar Tahun pelajaran 2013/2014

Pertanyaan klinis yang kami gunakan adalah “Pada pasien dengan [karsinoma hepatoseluler kecil], bagaimanakah efektivitas [Radio Fequency Ablation] bila

Door lock actuator adalah komponen dari sistem central lock yang berfungsi untuk mengerakkan (menarik dan mendorong) locking link yang terhubung dengan door

Penelitian ini mendukung hasil penelitian yang dilakukan oleh peneliti, dalam hal ini adalah meningkatkan kemampuan mengendalikan emosi anak melalui pelatihan

Kesimpulan: Permasalahan yang didapatkan pada kasus brachial plexus injury adalah berupa kelemahan otot penggerak angota gerak atas, gangguan sensoris dan atropi

2. ,emotivasi pasien dan keluarga untuk kontrol bila obat akan habis serta konsultasi kepada dokter bila ada keluhan yang lain. =apak7buk luka operasi insya<llah bagus$bila

Yang dimaksud dengan kepentingan yang wajar dari Pencipta atau Pemegang Hak Cipta adalah suatu kepentingan yang didasarkan pada keseimbangan dalam menikmati manfaat ekonomi atas