• Tidak ada hasil yang ditemukan

Perbandingan Efektivitas Radio Frequency Ablation

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Perbandingan Efektivitas Radio Frequency Ablation"

Copied!
14
0
0

Teks penuh

(1)

1 Perbandingan Efektivitas Radio Frequency Ablation (RFA) dengan Ablasi Microwave dalam Meningkatkan Kesintasan Pasien dengan Karsinoma Hepatoseluler Kecil: Sebuah

Laporan Kasus Berbasis Bukti

Ignatius Bima Prasetya

Abstrak

Latar Belakang: Karsinoma hepatoseluler merupakan salah satu keganasan dengan prevalensi dan tingkat mortalitas yang tertinggi di dunia. Pada kasus nodul kecil, terapi ablasi seringkali merupakan pilihan utama. Pilihan terapi ablasi sendiri cukup beragam, termasuk Radio Frequency Ablation (RFA) dan ablasi microwave. Sayangnya belum banyak data yang membandingkan kedua modalitas ini secara langsung.

Metodologi: Artikel ini disusun emnggunakan bentuk laporan kasus berbasis bukti dengan menggunakan studi-studi klinis yang ada. Pertanyaan klinis yang kami gunakan adalah “Pada pasien dengan [karsinoma hepatoseluler kecil], bagaimanakah efektivitas [Radio Fequency Ablation] bila dibandingkan [ablasi microwave] dalam meningkatkan [kesintasan]?” Semua studi yang dianggap layak lalu ditelaah dengan menggunakan kriteria dari Center of Evidence Based Medicine (CEBM).

Hasil: Pencarian dengan kata kunci tersebut menghasilkan 3 penelitian yang kami anggap layak untuk dimasukkan dalam telaah ini. Satu dari 3 studi tersebut menunjukkan adanya keunggulan RFA bila dibandingkan terapi ablasi. Namun 2 jurnal yang lebih baru menunjukkan hasil yang sebanding untuk terapi dengan RFA ataupun ablasi microwave.

Kesimpulan: Terapi RFA memberikan hasil yang sebanding untuk luaran kesintasan bila dibandingkan dengan ablasi microwave dengan alat terbaru.

Latar Belakang

Karsinoma hepatoseluler merupakan salah satu keganasan dengan tingkat prevalensi dan mortalitas yang cukup tinggi. Pilihan terapi yang bersifat kuratif terbatas pada reseksi, transplantasi hati, dan ablasi lokal. Pilihan ini hanya bisa digunakan pada KHS yang berukuran kecil dengan jumlah nodul yang sedikit. Akhir-akhir ini terapi ablasi lokal lebih dipilih karena risiko penurunan fungsi hati dan kurangnya donor untuk transplantasi hati dan reseksi. Selain itu,

(2)

2

sebagian besar kasus KHS didiagnosis dalam kondisi yang tidak bisa direseksi. Pilihan ablasi lokal sendiri terbagi atas injeksi etanol perkutan (Percutaneous ethanol injection-PEI), injeksi asam asetat perkutan (percutaneous acetic acid injection-PAI), ablasi frekuensi radio (Radio

Frequency Ablation-RFA), ablasi gelombang microwave (Microwave Ablation-MWA), dan

ablasi kryoterapi. Data-data yang ada sudah membuktikan bahwa RFA lebih superior daripada PEIT atau PAI.1-3 Namun data mengenai perbandingan efektivitas RFA dan ablasi microwave masih belum banyak dibahas. Ablasi microwave sendiri sebetulnya hanya popular di negara-negara Asia Timur, sementara RFA sudah banyak digunakan di seluruh dunia.2

RFA sudah digunakan untuk kasus KHS sejak tahun 1993 dan saat ini seringkali dianggap sebagai terapi ablasi lokal yang terbaik. Hal ini disimpulkan berdasarkan anggapan bahwa pada penggunaan RFA luas ablasi dapat lebih diprediksi, efektivitasnya cukup baik, dan lebih sedikitnya jumlah sesi yang dibutuhkan untuk mencapai tujuan terapi.2, 4 Modalitas ini juga terbukti memiliki efektivitas yang serupa dengan reseksi pada KHS kecil walaupun bersifat lebih tidak invasif.5, 6 Sebuah meta analisis yang dipublikasikan pada tahun 2013 juga membuktikan bahwa RFA lebih superior daripada PEI dalam hal pengendalian tumor secara lokal dan kesintasan.7 Kelemahan RFA mencakup sulitnya aplikasi pada kasus tumor yang sulit dilihat dengan USG, tumor yang berada pada posisi sulit, dan tumor yang berukuran besar. Teknik RFA sendiri juga bervasriasi, terutama ditentukan pilihan jarum dan elektroda yang digunakan.2 Angka kesintasan 5 tahun pasien yang menjalani RFA dilaporkan mencapai 39,9-68,5% dan laju progresi tumor lokal dilaporkan mencapai 2,4-16,9% pada 5 tahun. Angka mortalitas dan morbiditas akibat RFA dapat mencapai pada 0,9-7,9% dan 0-1,5%.1

Ablasi microwave lebih popular di daerha Asia Timur seperti Jepang, Korea Selatan, dan Tiongkok. Sama seperti RFA, ablasi microwave terutama efektif untuk nodul berukuran kecil. Studi yang ada menunjukkan ablasi lengkap dapat dicapai pada 89% nodul berukuran kecil.8 Hasil yang dicapai lewat ablasi microwave juga terbukti sebanding atau bahkan lebih baik daripada PEI. Literatur yang ada menunjukkan adanya kesintasan keseluruhan yang sebanding antara ablasi microwave dan PEI, namun kesintasan pada pasien dengan nodul yang

poorly-differentiated ternyata lebih baik pada pasien yang mendapat terapi ablasi microwave.4 Sebuah studi besar yang melibatkan 234 pasien menunjukkan angka kesintasan 3 dan 5 tahun pasien

(3)

3

Sampai saat ini belum banyak studi yang menilai perbandingan langsung efektivitas RFA dengan ablasi microwave. Meskipun sebagian besar panduan yang ada lebih menyarankan pemnggunaan RFA, sebetulnya belum ada satupun meta analisis yang dibuat untuk tujuan ini. Artikel ini dibuat dengan tujuan menilai data yang ada mengenai perbandingan efektivitas kedua modalitas ini pada kelompok pasien dengan KHS berukuran kecil.

Kasus Klinis

Pasien adalah seorang pria, 41 tahun, dengan keluhan utama rasa tidak nyaman di perut sejak 2 bulan sebelum masuk rumah sakit. Keluhan nyeri perut, kuning, demam disangkal, namun ada penurunan berat badan 8 kg dalam 2 bulan. Pasien memiliki riwayat hepatitis C sejak 20 tahun sebelum masuk rumah sakit. Tidak ditemukan kelainan pada pemeriksaan fisik pasien, namun pada pemeriksaan USG ditemukan adanya nodul di hati. Pemeriksaan laboratorium pada pasien menunjukkan kadar AFP yang tinggi. Pemeriksaan CT scan abdomen 3 fase mengkonfirmasi bahwa nodul hati merupakan karsinoma hepatoseluler dengan diameter 3 cm yang terletak di segmen 8 hati. Pemeriksaan lebih lanjut pada pasien juga menunjukkan adanya sirosis hati dengan derajat Child-Pugh A. Pasien didiagnosis menderita karsinoma hepatoseluler stadium BCLC B. Diskusi tim ahli merekomendasikan pasien diterapi dengan ablsi lokal mengingat adanya kemungkinan kesulitan dalam reseksi atau transplantasi.

Pertanyaan Klinis

Kami mempertanyakan perbandingan efektivitas RFA bila dibandingan ablasi microwave dalam meningkatkan kesintasan pasien dengan KHS kecil. Untuk menjawab hal ini kami memformulasikan pertanyaan klinis berikut, “Pada pasien dengan [karsinoma hepatoseluler kecil], bagaimanakah efektivitas [Radio Fequency Ablation] bila dibandingkan [ablasi microwave] dalam meningkatkan [kesintasan]?”

(4)

4 Metodologi

Pencarian jurnal dilakukan dengan menggunakan mesin pencari PubMed pada tanggal 8 Juni 2014 dengan menggunakan kata kunci “[radio frequency OR radiofrequency] ablation AND microwave AND hepatocellular carcinoma” (tabel 1). Hasil pencarian ditampilkan dalam gambar 1.

Tabel 1. Strategi Pencarian pada 8 Juni 2014 dengan Bantuan PubMed

Penapisan awal jurnal dikerjakan dengan memasukan kriteria inklusi dan eksklusi. Kami hanya mengikutsertakan studi pada pasien dewasa yang ditulis dalam bahasa Inggris. Penapisan berikutnya dikejakan dengan membaca abstrak masing-masing artikel untuk menilai apakah studi yang dimaksud menggunakan RFA dan ablasi microwave sebagai terapi utama dan tunggal serta menggunakan kesintasan sebagai luaran. Kami lalu membaca naskah lengkap dari 6 artikel yang tersisa. Dua studi kami eksklusikan karena ketidaktersediaan naskah lengkap dan satu artikel lagi kami eksklusikan karena tidak menggunakan kesintasan sebagai luaran akhir. Pada akhirnya kami memasukan 3 studi ke dalam artikel ini.

Ketiga studi ditelaah dengan menggunakan kriteria validitas dan relevansi dari Center of

Evidence Based Medicine (CEBM). Hasil akhir penilaian ini dapat dilihat pada tabel 2.

Situs Pencari Kata Kunci Hasil

PubMed [radio frequency OR radiofrequency] ablation AND microwave AND hepatocellular carcinoma

(5)

5 Gambar 1. Alur Pencarian dan Seleksi Artikel

Tabel 2. Telaah Kritis Studi yang Diikutsertakan

Kriteria Ohmoto et al10 Ding et al11 Zhang et al12

Valid

itas

Sampel representatif yang jelas dan berada pada tahap yang sama dalam perjalanan penyakit mereka

+ + +

Pemantauan yang cukup lengkap dan panjang + + +

Kriteria luaran yang objektif + + +

Penyesuaian untuk faktor-faktor prognostik - - -

Total nilai validitas 3 3 3

Apl ik ab il itas Domain + + + Dampak klinis + + +

Total nilai aplikabilitas 2 2 2

159 Pembatasan pencarian 137 Kriteria inklusi: Bahasa Inggris Studi pada populasi dewasa Kriteria eksklusi: Laporan kasus

Studi pada hewan

Studi pada populasi anak-anak

Kriteria seleksi:

 RFA dan ablasi microwave digunakan sebagai intervensi utama dan tunggal

Kesintasan sebagai luaran

6

Penapisan judul dan abstrak

3

[radio frequency OR radiofrequency] ablation AND microwave AND hepatocellular carcinoma Tanggal pencarian:

8 Juni 2014

(6)

6 Hasil

Kami berhasil menemukan 3 studi yang membandingkan efektivitas RFA dengan ablasi microwave dalam meningkatkan kesintasan pada pasien dengan KHS kecil. Ketiga studi ini merupakan studi kohort dan dipublikasikan dalam 5 tahun terakhir. Rangkuman ketiga studi ini dapat dilihat di tabel 3.

Tabel 3. Rangkuman Studi yang Dianalisis

Variabel Ohmoto et al13 Ding et al Zhang et al

Jumlah Peserta Intervensi Kontrol 34 pasien (37 nodul) 49 pasien (56 nodul) 198 pasien (229 nodul) 85 pasien (98 nodul) 78 pasien (97 nodul) 77 pasien(105 nodul)

Domain Pasien dengan KHS

berukuran ≤2 cm Pasien dengan KHS yang memenuhi kriteria Milan Pasien dengan KHS yang memenuhi kriteria Milan

Randomisasi Tidak dikerjakan Tidak dikerjakan Tidak dikerjakan

Intervensi RFA RFA RFA

Kontrol Ablasi microwave Ablasi microwave Ablasi microwave

Pemantauan 26,23 ± 11,5 bulan pada kelompok RFA 33,97 ± 24,07 bulan pada kelompok ablasi

microwave

27,69 ± 15,28 bulan pada kelompok RFA 18,32 ± 9,31 bulan pada kelompok ablasi

microwave

26,3 ± 11,5 bulan pada kelompok RFA

24,5 ± 12,9 bulan pada kelompok ablasi microwave

Studi dari Ohmoto yang dipublikasikan pada tahun 2009 mencoba menilai perbandingan efektivitas RFA dengan ablasi microwave pada KHS berukuran kecil. Pada studi ini 34 pasien (37 nodul) dengan KHS berukuran ≤2 cm diterapi dengan RFA (2-cm active cool-tip electrode, diberikan selama 12-18 menit dengan kekuatan 200 Watt), sementara 49 pasien sisanya (56 nodul) diterapi dengan ablasi microwave (16-gauge percutaneous monopolar electrode). Studi ini sendiri bersifat kohort retrospektif. Hasil yang didapat menunjukkan bahwa nekrosis menyeluruh pada tumor dapat dicapai dengan lebih sedikit sesi pada pasien yang mendapat RFA

(7)

7

bila dibandingkan microwave (1,7 vs 2,6, P < 0.001). Luas nekrosis yang dicapai terbukti lebih besar pada RFA bila dibandingkan ablasi microwave. Angka rekurensi lokal 1 tahun, 2 tahun, 3 tahun dan 4 tahun untuk RFA stabil berada di 9%, secara statistik lebih kecil daripada ablasi microwave yang mencapai 13%, 16%, 19%, dan 19% (P=0,031). Angka kesintasan 1 tahun, 2 tahun, 3 tahun, dan 4 tahun pasien yang mendapat terapi RFA juga terbukti lebih tinggi secra signifikan daripada kelompok yang mendapat ablasi microwave (100%, 83%, 70%, 70% vs 89%, 70%, 49%, dan 39%, P=0,018). Komplikasi mayor dan minor juga terbukti lebih tinggi secara signifikan pada kelompok yang mendapat ablasi microwave.10

Ding et al menyertakan 198 pasien (dengan total 229 nodul) KHS yang memenuhi

kriteria Milan. Dari jumlah ini, sebanyak 85 pasien (98 nodul) mendapat terapi RFA dan 113 pasien (131 nodul) mendapat terapi microwave. Studi ini sendiri berbentuk kohort retrospektif. Prosedur RFA pada penelitian ini menggunakan cool tip dengan kekuatan maksimal 200 W dan durasi maksimal 12 menit setiap sesi. Sementara alat ablasi microwave yang digunakan dilengkapi cool shaft antenna dan diberikan dengan kekuatan 60-80 W selama 10 menit untuk setiap sesi. Ablasi overlapping dikerjakan pada nodul yang berukuran lebih dari 2 cm. Hasil akhir yang didapat menunjukkan nilai yang tidak berbeda bermakna untuk tingkat ablasi lengkap (99,0% pada kelompok RFA vs 98,5% pada kelompok microwave, P=1,0) dan laju rekurensi lokal (5,2% untuk kelompok RFA vs 10,9% untuk kelompok microwave, P=0,127). Kesintasan total 1,2,3,dan 4 tahun mencapai 98,7%, 92,3%, 82,7%, dan 77,8% untuk kelompok RFA dan 98,0%, 90,7%, 77,6%, dan 77,6% untuk kelompok microwave (P=0,729). Hasil yang tidak bermakna juga ditemukan pada variabel kesintasan bebas penyakit 1, 2, 3, dan 4 tahun yang mencapai 80,3%, 61,8%, 39,5%, dan 19,0% pada kelompok RFA dan 75,0%, 59,4%, 32,1%, dan 16,1% pada kelompok microwave (P= 0,376). Tingkat komplikasi mayor pada kedua kelompok juga tidak berbeda bermakan (2,4% pada kelompok RFA vs 2,7% pada kelompok microwave, P=1,0).11

Studi oleh Zhang et al merupakan studi dengan waktu publikasi yang terbaru. Studi ini melibatkan 78 pasien KHS yang mendapat terapi RFA dan 77 pasien serupa yang diterapi dengan microwave. Hasil akhir utama yang dinilai adalah kesintasan keseluruhan dan kesintasan bebas penyakit 1,3,dan 5 tahun. Pasien yang dilibatkan dalam penelitian ini berada pada BCLC stadium A dan memenuhi kriteria Milan. Sayangnya pemilihan pasien tidak dilakukan dengan sistem randomisasi. Meskipun begitu, sebagian besar parameter pada kedua kelompok ini cukup

(8)

8

sebanding, kecuali pada variabel jumlah tumor (kelompok yang mendapat terapi microwave memiliki lebih banyak nodul secara rata-rata). Peneliti menggunakan RFA dengan cool tip dan menerapkan kekuatan 60 W selama 6-20 menit untuk setiap sesi. Ablasi microwave yang digunakan memakai teknologi cooled shaft antenna dengan kekuatan 80 W selama 8 menit untuk tiap sesi. Ablasi overlapping digunakan bila nodul yang diablasi berukuran > 3 cm. Hasil akhir yang didapat menunjukkan angka kesintasan keseluruhan 1, 3, dan 5 tahun sebanyak 91,0%, 64,1%, dan 41,3% untuk pasien yang mendapat terapi RFA dan 92,2%, 51,7%, dan 38,5% untuk kelompok yang mendapat ablasi microwave. Kedua hasil ini tidak berbeda bermakna (P=0,78). Tingkat kesintasan bebas penyakit 1, 3, dan 5 tahun mencapai 70,5%, 42,3%, dan 34,2% untuk kelompok pasien yang mendapat RFA dan 62,3%, 33,8%, dan 20,8% pada kelompok microwave. Lagi-lagi tidak ditemukan perbedaan bermakna pada kedua kelompok ini (p=0,123). Hasil yang serupa juga didapatkan pada analisis subgrup pasien yang memiliki nodul ≤3 cm. Hal yang menarik pada penelitian ini adalah adanya perbedaan yang signifikan pada kesintasan bebas penyakit 1, 3, dan 5 tahun pada populasi pasien dengan nodul berukuran 3,1 – 5,0 cm (74,2%, 54,8% dan 45,2% untuk kelompok RFA vs 53,3%, 26,8%, dan 17,1% untuk kelompok microwave, P=0,018). Hasil keluaran sekunder penelitian ini juga menunjukkan bahwa tingkat progresi lokal (11,8% pada kelompok RFA vs 10,5% pada kelompok microwave, P=0,977) dan tingkat kemunculan tumor baru di lokasi lain di hepar (65,4% pada kelompok RFA vs 80,5% pada kelompok microwave, P=0,401) pada kedua kelompok tidak berbeda bermakna. Tingkat komplikasi mayor pada kedua kelompok juga tidak berbeda bermakna (2,6% vs 2,6%, P=1,0).12

Diskusi

Karsinoma Hepatoseluler (KHS) saat ini merupakan kanker tersering nomor 5 pada pria (523.000 kasus, 7,9% dari seluruh kanker) dan nomor 7 pada wanita (226.000 kasus, 6,5% dari seluruh kanker) di dunia. Sebagian besar dari kasus KHS (85%) terjadi di Negara berkembang, terutama di Asia, di mana infeksi virus hepatitis B sering ditemukan.1 Di Indonesia sendiri kanker ini merupakan penyebab lebih dari 12.000 kematian.14 Risiko KHS meningkat pada pasien yang menderita infeksi virus hepatitis B kronik, infeksi virus hepatitis C kronik, steatohepatitis non alkoholik, sirosis, pengkonsumsi alkohol dalam jumlah besar, penderita

(9)

9

diabetes dan obesitas, keluarga dari pasien KHS, pasien yang terpapar aflatoxin dalam jumlah besar, dan pasien yang menderita hemokromatosis herediter.1, 3 Khusus untuk daerah Asia, infeksi kronik virus hepatitis B merupakan faktor risiko KHS yang paling signifikan, dengan sebuah study dari Beasly et al membuktikan bahwa karier hepatitis B memiliki risiko KHS 223 kali lebih besar daripada populasi normal.15

Sampai saat ini telah tersedia beragam pilihan terapi untuk KHS, mulai dari reseksi sampai terapi sistemik. Pilihan terapi yang terbaik untuk masing-masing pasien disesuaikan dengan stadium tumor pasien yang umumnya dinilai dengan sistem BCLC. Sistem ini menyertakan variabel ukuran nodul, jumlah nodul, status fungsional hati, status fisik pasien secara umum, dan keluhan-keluhan terkait kanker pada pasien.3 Terapi ablasi lokal merupakan pilihan utama pada tumor kecil yang tidak bisa direseksi dan transplantasi hati tidak memungkinkan untuk dikerjakan. Terdapat beberapa metode ablasi lokal yang tersedia untuk kondisi ini, antara lain injeksi ethanol perkutan (Percutaneous ethanol injection-PEI), injeksi asam asetat perkutan (percutaneous acetic acid injection-PAI), ablasi frekuensi radio (Radio

Frequency Ablation-RFA), ablasi gelombang micro (Microwave Ablation-MWA), dan ablasi

kryoterapi.1-4

Kerusakan jaringan pada RFA disebabkan oleh energi panas yang disebabkan gelombang elektromagnetik. Alat RFA sendiri merupakan sebuah sirkuit yang terangkai dari sebuah komponen jarum elektroda dan sebuah elektroda lebar (ground pads). Jarum elektroda akan ditempatkan di lokasi tumor sementara ground pads diletakkan di belakang pasien sehingga tubuh pasien sendiri merupakan konduktor yang menutup sirkuit ini. Alat RFA lalu akan menghasilkan arus bolak-balik dalam sirkuit ini. Arus ini akan mengakibatkan adanya aliran ion di tubuh pasien yang terletak di antara kedua elektroda dalam arah yang bolak-balik mengikuti arus yang dihasilkan alat RFA. Agitasi ion inilah yang pada akhirnya menghasilkan panas yang mengablasi tumor. Adanya perbedaan luas permukaan elektroda yang besar antara jarum dan

ground pads menyebabkan panas yang dihasilkan terfokus di sekitar jarum elektroda. Kerusakan

jaringan yang ditimbulkan oleh panas ditentukan oleh suhu jaringan yang dicapai dan lama pemanasan. Suhu 50-550 C selama 4-6 menit akan menghasilkan kerusakan jaringan yang bersifat ireversibel. Pada suhu 60-1000 C, koagulasi jaringan dengan kerusakan pada mitokondria dan enzim sitosol akan terjadi. Pada suhu di atas 1000 C jaringan akan menguap dan membentuk karbon. Proses penguapan ini bisa melapisi jarum dengan kerak karbon dan menurunkan

(10)

10

konduktivitas seluruh sirkuit. Untuk menyiasati masalah ini, penggunaan aliran cairan, baik secara manual maupun otomatis digunakan untuk mendinginkan area yang berada tepat di sekitar jarum. Teknologi jarum yang terbaru (cool tip) menggunakan sistem pendinginan otomatis dan dikatakan mampu menghasilkan efektivitas yang lebih baik. Kerusakan jaringan pada ablasi microwave juga disebabkan oleh energi panas yang dihasilkan oleh gesekan ion-ion di jaringan. Namun pada ablasi microwave, gesekan ion ini disebabkan gelombang mikro yang berfrekuensi di atas 900 kHZ.4 Sebagian besar studi pada artikel ini menggunakan frekuensi 2450 kHZ.

Pada telaah ini kami menemukan 3 studi yang menilai perbandingan efektivitas RFA bila dibandingkan ablasi microwave dalam meningkatkan kesintasan pasien dengan KHS kecil. Seluruh studi yang ditelaah merupakan studi kohort dan dilakukan pada populasi Asia. Ketiga studi memiliki tingkat validitas yang serupa, semuanya memiliki kelemahan dengan tidak melakukan penyesuaian untuk faktor-faktor perancu. Namun terdapat perbedaan pada hasil yang didapat dari ketiga studi ini. Studi dari Ohmoto yang dipublikasikan pada tahun 2009 menunjukkan adanya keunggulan RFA bila dibandingkan dengan ablasi microwave, sementara studi dari Ding dan Zhang menyatakan bahwa efektivitas kedua modalitas ini adalah sebanding. Kekurangan ablasi microwave generasi terdahulu terletak pada antena yang hanya mampu menghasilkan zona ablasi di bawah 2 cm. Namun generasi antena terbaru yang disertai penggunaan cooled shaft antenna dan antena jamak terbukti mampu menghasilkan zona ablasi sampai 5 cm. Hal ini tampaknya bisa menjelaskan perbedaan hasil yang didapat dari beberapa studi di artikel ini. Dua studi terbaru dari Zhang dan Ding menunjukkan adanya hasil yang sebanding antara RFA dan ablasi microwave. Dua studi terbaru ini menggunakan antenna microwave terbaru sehingga menghasilkan zona ablasi yang lebih besar dan bisa menyaingi RFA. Sebaliknya studi dari Ohmoto menggunakan antenna microwave jenis lama yang hanya mampu memnghasilkan zona ablasi yang relatif kecil. Analisis ini diperkuat oleh hasil studi klinis awal tentang perbandingan efektivitas RFA dengan ablasi microwave yang dipublikasikan pada tahun 2002 oleh Shibata et al. Pada uji klinis ini pasien dirandomisasi untuk masuk kelompok RFA atau ablasi microwave. Sebanyak 36 pasien dengan KHS kecil (48 nodul) diterapi dengan RFA dan 36 pasien (46 nodul) diterapi dengan ablasi microwave. RFA yang digunakan pada studi ini adalah RFA generasi awal, diberikan dengan kekuatan dinaikan bertahap sampai maksimal 60 W atau 75 menit (bergantung electrode yang digunakan) selama 15 atau 10 menit. Terapi lalu dilanjutkan dengan kekuatan maksimal dan durasi yang lebih

(11)

11

singkat. Terapi ablasi microwave dicapai dengan menggunakan kekuatan 70 W selama 10 menit. Sayangnya studi ini tidak menilai kesintasan kedua kelompok ini. Studi ini membuktikan bahwa tidak terdapat perbedaan bermakna pada kedua kelompok dalam hal efek ablasi keseluruhan (96% pada kelompok RFA vs 89% pada kelompok microwave, P=0,26), komplikasi mayor (2,7% pada kelompok RFA vs 11,1% pada kelompok microwave, P=0,36), dan tersisanya nodul residu (8,3% pada kelompok RFA vs 17,4% pada kelompok microwave, P=0,20). Meskipun begitu, pasien yang mendapat terapi RFA dapat mencapai hasil ini dengan sesi yang lebih sedikit bila dibandingkan dengan pasien yang mendapat ablasi microwave (rata-rata 1,1 vs 2,4, P<0,001). Sama seperti studi oleh Ohmoto, studi ini juga belum menggunakan antena microwave generasi terbaru sehingga RFA tampak lebih unggul daripada ablasi microwave.16 Salah satu hal yang juga harus menjadi pertimbangan adalah fakta bahwa teknologi RFA juga terus berkembang. Penggunaan switching RF controller and multiple RF electrodes terbukti mampu meningkatkan efektivitas, terutama untuk tumor besar. Beberapa studi telah mencoba melihat efektivitas teknik ini pada nodul yang besar dengan hasil yang cukup memuaskan. Tingkat komplikasi untuk kedua jenis terapi ablasi ini cukup seimbang. Salah satu komplikasi yang ditakutkan adalah adanya hernia diafragma. Namun hal ini sebetulnya bisa dihindari dengan membuat asites buatan selama terapi untuk menjauhkan hati dari diafragma.2, 4, 11

Meskipun efektivitas RFA dengan ablasi microwave cukup setara, faktor lain bisa menjadi pertimbangan dalam menentukan pilihan terapi ablasi pada pasien dengan KHS kecil. Sebuah studi terbaru yang dipublikasikan pada tahun 2014 menunjukkan bahwa meskipun secara medis efektivitas RFA dan ablasi microwave cukup sebanding, namun prosedur ablasi microwave membutuhkan lebih sedikit biaya untuk setiap sesinya bila dibandingkan RFA (1200$ vs 2000$). Sayangnya artikel ini tidak tersedia dalam bentuk naskah lengkap sehingga tidak bisa kami masukkan ke dalam analisis.17

Dalam hal aplikabilitas, semua studi yang dimasukkan dalam telaah ini cukup bisa diterapkan dalam populasi pasien di Indonesia. Populasi pada semua studi ini didominasi populasi Asia yang secara genetik cukup dekat dengan populasi Indonesia. Penyebab utama KHS pada populasi Asia Timur juga didominasi infeksi virus hepatitis B, serupa dengan etiologi utama KHS di Indonesia. Sayangnya batasan fasilitas di Indonesia masih kurang untuk bisa sepenuhnya menerapkan hasil studi ini. Fasilitas RFA di Indonesia masih terbatas.Fasilitas RFA dengan jarum terbaru (cool tip) bahkan lebih sulit lagi ditemukan di Indonesia. Sepanjang

(12)

12

pengetahuan penulis, fasilitas ablasi microwave belum tersedia di Indonesia. Meskipun begitu, kendala fasilitas ini bukanlah sesuatu yang sulit untuk diatasi. Hasil telaah ini bahkan dapat dijadikan pertimbangan untuk penyediaan fasilitas-fasilitas yang memadai untuk terapi KHS kecil. Pada akhinya pasien kami diterapi dengan RFA karena ketidaktersediaan fasilitas ablasi microwave di Indonesia.

Kesimpulan

Pada artikel ini kami menyajikan satu kasus pasien dengan karsinoma hepatoseluler kecil yang memenuhi kriteia untuk terapi ablasi lokal. Kami melakukan analisis dari 3 studi klinis yang ada mengenai perbandingan efektivitas RFA dengan ablasi microwave dalam meningkatkan kesintasan pada kauss seperti ini. Hasil yang kami dapatkan menunjukkan adanya keunggulan RFA pada 1 studi dan hasil yang sebanding pada 2 studi lainnya. Kami menduga perbedaan hasil ini disebabkan adanya perbedaan teknologi ablasi microwave yang digunakan pada masing-masing studi. Pasien dalam artikel ini akhirnya diterapi dengan menggunakan RFA dengan hasil yang cukup baik.

Daftar Pustaka

1. Omata M, Lesmana LA, Tateishi R, Chen PJ, Lin SM, Yoshida H, et al. Asian Pacific Association for the Study of the Liver consensus recommendations on hepatocellular carcinoma. Hepatol Int. 2010;4(2):439-74.

2. Lin SM. Local Ablation for Hepatocellular Carcinoma in Taiwan. Liver Cancer. 2013 Apr;2(2):73-83.

3. Bruix J, Sherman M. Management of hepatocellular carcinoma: an update. Hepatology. 2011 Mar;53(3):1020-2.

4. Crocetti L, Lencioni R. Thermal ablation of hepatocellular carcinoma. Cancer Imaging. 2008;8:19-26.

5. Zhou Y, Zhao Y, Li B, Xu D, Yin Z, Xie F, et al. Meta-analysis of radiofrequency ablation versus hepatic resection for small hepatocellular carcinoma. BMC Gastroenterol. 2010;10:78.

(13)

13

6. Liu Z, Zhou Y, Zhang P, Qin H. Meta-analysis of the therapeutic effect of hepatectomy versus radiofrequency ablation for the treatment of hepatocellular carcinoma. Surg Laparosc Endosc Percutan Tech. 2010 Jun;20(3):130-40.

7. Shen A, Zhang H, Tang C, Chen Y, Wang Y, Zhang C, et al. Systematic review of radiofrequency ablation versus percutaneous ethanol injection for small hepatocellular carcinoma up to 3 cm. J Gastroenterol Hepatol. 2013 May;28(5):793-800.

8. Yamashiki N, Kato T, Bejarano PA, Berho M, Montalvo B, Shebert RT, et al. Histopathological changes after microwave coagulation therapy for patients with hepatocellular carcinoma: review of 15 explanted livers. Am J Gastroenterol. 2003 Sep;98(9):2052-9.

9. Dong B, Liang P, Yu X, Su L, Yu D, Cheng Z, et al. Percutaneous sonographically guided microwave coagulation therapy for hepatocellular carcinoma: results in 234 patients. AJR Am J Roentgenol. 2003 Jun;180(6):1547-55.

10. Ohmoto K, Yoshioka N, Tomiyama Y, Shibata N, Kawase T, Yoshida K, et al. Comparison of therapeutic effects between radiofrequency ablation and percutaneous microwave coagulation therapy for small hepatocellular carcinomas. J Gastroenterol Hepatol. 2009 Feb;24(2):223-7.

11. Ding J, Jing X, Liu J, Wang Y, Wang F, Du Z. Comparison of two different thermal techniques for the treatment of hepatocellular carcinoma. Eur J Radiol. 2013 Sep;82(9):1379-84.

12. Zhang L, Wang N, Shen Q, Cheng W, Qian GJ. Therapeutic efficacy of percutaneous radiofrequency ablation versus microwave ablation for hepatocellular carcinoma. PLoS One. 2013;8(10):e76119.

13. Giles FJ, Shen Y, Kantarjian HM, Korbling MJ, O'Brien S, Anderlini P, et al. Leukapheresis reduces early mortality in patients with acute myeloid leukemia with high white cell counts but does not improve long- term survival. Leuk Lymphoma. 2001 Jun;42(1-2):67-73.

14. World Health Organization International Agency for Research on Cancer. GLOBOCAN 2008. Downloaded from http://globocan.iarc.fr/ on November 3rd 2011.

15. Beasley RP, Hwang LY, Lin CC, Chien CS. Hepatocellular carcinoma and hepatitis B virus. A prospective study of 22 707 men in Taiwan. Lancet. 1981 Nov 21;2(8256):1129-33.

(14)

14

16. Shibata T, Iimuro Y, Yamamoto Y, Maetani Y, Ametani F, Itoh K, et al. Small hepatocellular carcinoma: comparison of radio-frequency ablation and percutaneous microwave coagulation therapy. Radiology. 2002 May;223(2):331-7.

17. Zhang XG, Zhang ZL, Hu SY, Wang YL. Ultrasound-guided ablative therapy for hepatic malignancies : a comparison of the therapeutic effects of microwave and radiofrequency ablation. Acta Chir Belg. [Abstract]. 2014 Jan-Feb;114(1):40-5.

Gambar

Tabel 2. Telaah Kritis Studi yang Diikutsertakan
Tabel 3. Rangkuman Studi yang Dianalisis

Referensi

Dokumen terkait

pembahasan dan tindak lanjut terhadap umpan balik masyarakat terhadap mutu dan kepuasan adalah dengan cara pengumpulan informasi dalam rangka mengetahui harapan pelanggan

Berdasarkan hasil uji paired sample t-test dari data tersebut didapatkan nilai p = 0,000 dimana p &lt;0,05, hal ini bearti Ho ditolak dan Ha diterima, sehingga dapat

Berdasarkan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 2006 tentang Pengelolaan Barang Milik Negara/ Daerah dan Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 17 Tahun 2007

Penggunaan bidang terminologi teknik, dalam hal ini terdapat 2 demensi yaitu; (1)Menjelaskan pemakaian kata untuk mendapatkan pengertian yang tepat, (2)Menggunakan

Evaluasi performa validasi sama dengan evaluasi performa kalibrasi hanya saja parameter yang sudah terkalibrasi digunakan untuk running model SWAT menggunakan data tahun 2012

Dalam penelitian ini diketahui bahwa helai daun terpanjang ditemukan pada populasi Ipomoea pes- caprae dari Pantai Teluk Pacitan yang hampir sama panjang dengan populasi dari

a. Wawancara adalah teknik pengumpulan data yang dilakukan secara lisan melalui tanya jawab. Dalam hal ini penulis menggunakan teknik wawancara semi terstruktur dengan cara menyusun

Mendukung penelitian dan pengembangan vaksin dan obat penyakit menular maupun tidak menular yang mempengaruhi terutama negara-negara berkembang, menyediakan akses kepada obat