• Tidak ada hasil yang ditemukan

Dapatkah Undang Undang yang Meratifika

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Dapatkah Undang Undang yang Meratifika"

Copied!
17
0
0

Teks penuh

(1)

A. PENDAHULUAN

Indonesia memiliki 2 lembaga negara yang memiliki fungsi judicial review yakni Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi. Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final dalam hal pengujian undang-undang terhadap UUD NRI 1945. Sedangkan Mahkamah Agung berwenang untuk menguji peraturan dibawah Undang–Undang terhadap Undang–Undang. Pengaturan tersebut menimbulkan masalah ketika ada Undang-Undang atau produk hukum lain yang merupakan hasil ratifikasi perjanjian internasional dalam sistem penegakkan konstitusi di Indonesia. Indonesia terikat pada perjanjian internasional ketika parlemen dan Presiden telah

meratifikasi Perjanjian Internasional tersebut dalam bentuk “undang-undang”. Indonesia baru mengakui hukum internasional setelah adanya adopsi khusus tehadap perjanjian

internasional. Adopsi khusus ini dibentuk dengan mekanisme membentuk peraturan hukum setingkat undang-undang. Oleh karena berbentuk undang-undang, maka menjadi persoalan tersendiri apakah undang-undang ratifikasi ini dapat dikategorikan ke dalam hierarkis peraturan perundang-undangan sesuai dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011, sehingga berimplikasi pada dilakukannya judicial review oleh Mahkamah Konstitusi.

Kedudukan Undang – Undang yang meratifikasi perjanjian internasional ini masih dipertanyakan apakah memiliki kedudukan dalam Undang–Undang dalam sistem hierarki peraturan perundang–undangan yang diatur dalam pasal 7 Undang–Undang No. 11 Tahun 2012? Atau Undang–Undang ratifikasi ini berada di luar hiearaki perundang – undangan?

Ketidakjelasan kedudukan Undang–Undang yang meratifikasi perjanjian internasional inipun menuai implikasi berupa kaburnya hak-hak masyarakat untuk menguji produk hukum hasil ratifikasi yang merugikan beberapa pihak. Mengingat hukum internasional pun tidak dapat diuji dalam pengadilan tunggal nasional. Dari sinilah timbul pertanyaan siapakah yang memiliki wewenang untuk melakukan judicial review terhadap perjanjian internasional? Dan seberapa jauhkah hak dan kewajiban Mahkamah Konstitusi dalam melaksanakan tugasnya?

(2)

kekuasaan tertentu (verordenende macht) berhak mengeluarkan suatu peraturan tertentu.1

Dari pembedaan tersebut apakah Undang – Undang hasil ratifikasi bisa di judicial review dalam pengujian material atau pengujian formil? Dalam judicial review ini apakah yang bisa diuji? Undang – Undang ratifikasinya atau isi perjanjian yang diratifikasi?

Ketidakjelasan sistem dan pengaturan mengenai pengujian Undang – Undang yang meratifikasi Perjanjian Internasional dan salah tafsir yang kerap dilakukan oleh beberapa kalangan nampaknya perlu kita luruskan untuk melindungi hak hak masyarakat sendiri, menghormati Hukum Nasional dan menghargai Hukum Internasional yang telah mengikat melalui sistem ratifikasi.

B. RUMUSAN MASALAH

Masih rancunya pengaturan sistem hukum Internasional di Indonesia memicu berbagai dilema diantaranya posisi Undang-Undang yang meratifikasi perjanjian internasional dan organ negara mana yang memiliki kewenangan untuk menguji Undang-Undang tersebut.

(3)

C. ANALISIS 1. Judicial Review

Pengujian undang undang atau Judicial review, menurut Prof. Dr. Jimly Asshiddiqie, S.H. adalah pengujian yang dilakukan melalui mekanisme lembaga peradilan terhadap kebenaran suatu norma.2 Teori pengujian (toetsing), dibedakan antara materiile toetsing

dan formeele toetsing. Pembedaan tersebut biasanya digunakan untuk membedakan antara wet in materiile zin (undang-undang dalam arti materiil) dan wet in formele zin (undang-undang dalam arti formal). Kedua bentuk pengujian tersebut oleh UU No. 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi dibedakan dengan istilah pembentukan undang-undang dan materi muatan undang-undang-undang-undang. Pengujian atas materi muatan undang-undang-undang-undang adalah pengujian materiil, sedangkan pengujian atas pembentukannya adalah pengujian formil.3

Menurut Pasal 51 ayat [1] UU No. 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi

pihak yang berhak untuk mengajukan pengujian materiil maupun formil adalah pihak yang hak dan atau kewenangan konstitusionalnya dirugikan. Pihak yang berhak mengajukan judicial review adalah:

1. perorangan warga negara Indonesia;

2. kesatuan masyarakat hukum adat sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia yang diatur dalam undang-undang;

3. badan hukum publik atau privat; atau 4. lembaga negara.

Judicial review merupakan pengujian terhadap suatu norma hukum yang terdiri dari pengujian secara materiil (uji materiil) maupun secara formil (uji formil). Dan hak uji materiil adalah hak untuk mengajukan uji materiil terhadap norma hukum yang berlaku yang dianggap melanggar hak-hak konstitusional warga negara.

2. Undang-Undang apa saja yang berhak untuk di uji?

Berdasarkan pada asas “lex superiori derogat legi inferiori”, yang mana berarti bahwa peraturan yang lebih tinggi mengesampingkan peraturan yang lebih rendah maka peraturan yang lebih rendah dalam suatu hierarki tidak boleh bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi, sehingga disinilah letak hierarki yang dimaksud. Dalam Pasal 7 ayat (1)

Undang-2 Hukum Acara Pengujian Undang-Undang (hal. 1-2)

(4)

undang No. 12 tahun 2011 tentang peraturan perundang-undangan disebutkan lebih lanjut mengenai hierarki peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia,yaitu Undang-Undang Dasar NRI 1945 sebagai peraturan tertinggi dalam hierarki tersebut yang kemudian diikuti oleh Tap MPR dalam urutan kedua dan kemudian Undang-undang dan Peraturan Pemerintah pengganti Undang-undang dalam urutan ke tiga. Sehingga dalam pengujian Undang-Undang maka sudah pastilah peraturan di atasnya yang dijadikan batu ukur sah tidaknya Undang-Undang tersebut yang dalam hal ini UUD NRI 1945.

Pengujian Undang-Undang itu sendiri merupakan seuatu wewenang untuk menilai apakah suatu peraturan perundang-undangan isinya sesuai atau bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi derajatnya, serta apakah suatu kekuasaan tertentu berhak mengeluarkan suatu peraturan tertentu. (Sri Soemantri, 1986.) Namun kemudian dalam hal pengujian Undang-Undang itu sendiri, Undang-Undang apa saja yang dapat diuji?

Maka kita perlu melihat di dalam Pasal 50 Undang-Undang No. 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi sebelum dihapuskan oleh Undang-Undang No. 8 Tahun 2011 tentang Mahkamah Konstitusi disebutkan jika Undang-Undang yang dapat di uji ialah Undang-Undang yang diundangkan setelah perubahan UUD 1945, dan dinyatakan bertentangan dengan UUD NRI 1945. Sehingga seluruh Undang-Undang yang diundangkan setelah perubahan UUD NRI 1945 dapat untuk dimohonkan pengujian kepada Mahkamah Konstitusi. Namun, setelah adanya judicial review Pasal 50 Undang-Undang No, 24 Tahun 2003 tersebut yang kemudian diubah menjadi Undang-Undang No. 8 Tahun 2011, Pasal 50 dalam Undang-Undang tersebutpun dihapuskan. Sehingga berdampak pada aturan mengenai Undang-Undang yang dapat dimohonkan untuk diuji, dimana apabila sebelummnya permohonan pengujian berlaku hanya untuk Undang-Undang yang diundangkan setelah perubahan UUD 1945 maka dengan adanya Judicial Review tersebut seluruh Undang-Undang baik yang diundangkan setelah perubahan UUD 1945 ataupun sebelum perubahan UUD 1945 dapat untuk diajukan permohonan pengujian.

3. Mekanisme Pengujian Undang-Undang

(5)

Undang ialah suatu tahap yang harus dilewati oleh si Pemohon pengujian agar Undang-Undang yang ia mohonkan dapat diuji.

Mekanisme pengujian Undang-Undang itu sendiri diatur secara rinci dalam Peraturan Mahkamah Konstitusi No. 06/PMK/2005 tentang pedoman beracara dalam perkara pengujian Undang-Undang dimana mekanisme pengujian Undang-Undang meliputi sembilan tahap, yaitu:

1. Pengajuan Permohonan.

Permohonan pengujian Undang-Undang meliputi pengujian formil dan/atau pengujian materiil, dimana pengujian materiil adalah pengujian UU yang berkenaan dengan materi muatan dalam ayat, pasal, dan/atau bagian UU yang dianggap bertentangan dengan UUD 1945. Sedangkan pengujian formil adalah pengujian UU yang berkenaan dengan proses pembentukan UU dan hal-hal lain yang tidak termasuk pengujian materiil.4 Pengajuan Permohonan tersebut diajukan secara tertulis dalam

Bahasa Indonesia oleh Pemohon atau kuasanya dalam 12 rangkap yang memuat tentang:

a. Identitas Pemohon;

b. Uraian mengenai hal aygn menjadi dasar permohonan; c. Hal-hal yang dimohonkan untuk diputus.

Disamping mengajukan dalam bentuk tertulis, permohonan juga diajukan dalam format digital yang disimpan secara elektronik.5

2. Pemeriksaan kelengkapan Permohonan oleh panitera MK

Panitera Mahkamah Konstitusi akan melakukan pemeriksaan tentang kelengkapan administrasi daripada Permohonan tersebut. Apabila Permohonan tersebut telah dinilai lengkap, maka berkas permohonan dinyatakan diterima oleh Petugas Kepaniteraan dengan memberikan Akta Penerimaan Berkas Perkara kepada Pemohon. Namun apabila berkas permohonan dinilai belum lengkap, maka Panitera Mahkamah akan memberitahukan kepada Pemohon tentang kelengkapan permohonan yang harus dipenuhi, dan Pemohon diberikan waktu 7 hari kerja sejak diterimanya Akta Pemberitahuan Kekuranglengkapan Berkas untuk melengkapi permohonannya. Dan

(6)

apabila telah lewatnya batas waktum namun Pemohon tidak melengkapi kekurangan permohonannya maka Panitera akan menerbitkan Akta yang menyatakan bahwa permohonan tersebut tidak diregitrasi dalam BRPK (Buku Registrasi Perkara Konstitusi) dan diberitahukan kepada Pemohon sekaligus dengan pengembalian berkas permohonan.6

3. Registrasi Perkara

Selanjutnya Panitera akan mencatat permohonan tersebut dalam BRPK dan diberi nomor perkara, Panitera akan membuatkan akta. Mahkamah selanjutnya wajib menyampaikan salinan permohonan kepada DPR dan Presiden melalui surat yang ditandatangani Panitera untuk diketahui, paling lambat 7 hari setelah dicatatkan dalam BRPK. Mahkamah wajib memberitahukan kepada Mahkamah Agung agar Mahkamah Agung menghentikan pengujian Peraturan Perundang-Undangan yang sedang diuji sebagaimana dimaksud dalam Pasal 55 UU Nomor 24 Tahun 2003 yang kemudian diubah dengan Undang-Undang No. 8 Tahun 2011 tentang Mahkamah Konstitusi dalam jangka waktu 7 (tujuh) hari sejak dicatatkan dalam BRPK.

4. Pembentukan Panel Hakim

Penitera menyampaikan berkas perkara yang sudah diregistrasi kepada ketua MK untuk menetapkan susunan panel hakim yang akan memeriksa perkara pengujian Undang-Undang tersebut.

5. Penjadwalan Sidang dan Panggilan Sidang

Pada waktu 14 setelah permohonan dicatat dalam BRPK ketua Panel Hakim menetapkan hari sidang pertama untuk sidang pemeriksaan permohonan. Penetapan ini diberitahukan kepada para pihak dan diumumkan kepada masyarakat dengan menempelkan pada papan pengumuman MK dan dalam situs

www.mahkamahkonstitusi.go.id, serta disampaikan kepada media cetak dan elektronik. Pemanggilan Sidang sudah harus diterima oleh Pemohon atau Kuasanya paling lambat 3 (tiga) hari sebelum hari persidangan.

6. Pemeriksaan Pendahuluan

(7)

melengkapi dan/atau memperbaiki permohonan dalam jangka waktu 14 (empat belas) hari. Bila Hakim berpendapat jika permohonan Pemohon telah lengkap dan jelas, Panitera dapat menyampaikan salinan permohonan yang dimaksud kepada Presiden, DPR, dan Mahkamah Agung.

h. pemeriksaan rangkaian data, keterangan, perbuatan, keadaan, dan/atau peristiwa yang bersesuaian dengan alat-alat bukti lain yang dapat dijadikan petunjuk; i. pemeriksaan alat-alat bukti lain yang berupa informasi yang diucapkan,

dikirimkan, diterima, atau disimpan secara elektronik dengan alat optik atau yang serupa dengan itu.

Dan atas permintaan Hakim, keterangan yang terkait dengan permohonan sebagaimana dimaksud dalam huruf c sampai dengan huruf g wajib disampaikan baik berupa keterangan tertulis, risalah rapat, dan/atau rekaman secara elektronik, dalamm jangka waktu selambat-lambatnya 7 hari kerja sejak diterimanya permintaan dimaksud dan pemeriksaan persidangan dapat pula dilakukan dengan teleconference. Setelah pemeriksaan persidangan dinyatakan selesai, para pihak baik Pemohon maupun Termohon dapat menyampaikan kesimpulan akhir secara lisan dan/atau tertulis selambat-lambatnya 7 hari sejak hari persidangan terakhir, kecuali ditentukan lain dalam persidangan.

c. rekomendasi panel tentang tindak lanjut hasil pemeriksaan permohonan; d. pendapat hukum (legal opinion) para Hakim Konstitusi;

e. hasil pemeriksaan persidangan pleno dan pendapat hukum para Hakim Konstitusi;

(8)

g. rancangan putusan akhir;

h. penunjukan Hakim Konstitusi yang bertugas sebagai pembaca terakhir rancangan putusan;

i. pembagian tugas pembacaan putusan dalam sidang pleno. 9. Putusan

Putusan diambil dalam RPH yang dihadiri sekurang-kurangnya 7 (tujuh) orang Hakim Konstitusi dan dibaca/diucapkan dalam sidang pleno terbuka untuk umum yang dihadiri sekurang-kurangnya 7 (tujuh) orang Hakim Konstitusi.

4. Pengertian Perjanjian Internasional

Perjanjian internasional merupakan sumber hukum yang terpenting dewasa ini, karena menjadi instrumen utama pelaksanaan hubungan internasional antara subyek hukum internasional. Pengertian perjanjian hukum internasional adalah pejanjian yang diadakan antara anggota masyarakat bangsa-bangsa dan bertujuan untuk mengakibatkan akibat hukum tertentu.7 Pasal 2 ayat (1a) Konvensi Wina 1969 tentang Perjanjian Internasioanal

menyatakan bahwa perjanjian adalah suatu perjanjian internasional yang disepakati antara negara-negara dalam bentuk tertulis, baik dalam instrument tunggal atau lebih dari suatu instrument tunggal yang berhubungan dengan apa pun nama instrumen tersebut.

Proses pembentukan perjanjian internasional, menempuh berbagai tahapan dalam pembentukan perjanjian internasional, yakni penjajakan, perundingan, perumusan naskah, penerimaan (acceptance), penandatanganan. Penandatanganan merupakan tahap akhir dalam perundingan bilateral untuk melegalisasi suatu naskah perjanjian internasioanal yang telah disepakati oleh kedua belah pihak. Untuk perjanjian multilateral, penandatangan perjanjian internasional bukan merupakan pengikatan diri sebagai negara pihak. Keterikatan perjanjian internasional dapat dilakukan melalui pengesahan, (ratification /accession /acceptance/ approval).

5. Pengesahan Perjanjian Internasional di Indonesia

(9)

Perjanjian internasional yang mempersyaratkan ratifikasi tidak berlaku jika salah satu pihak belum meratifikasi perjanjian tersebut. Pasal 26 Konvensi Wina 1969: perjanjian mengikat para pihak yang membuatnya dan harus dilaksanakan dengan itikad baik. Pasal 27: negara tidak dapat menggunakan hukum nasional untuk menjustifikasi kegagalannya dalam menjalankan kewajibannya yang timbul dari perjanjian internasional.

Pada pasal 2 Konvensi Wina 1969, ratifikasi didefinisikan sebagai tindakan internasional dimana suatu Negara menyatakan kesediaannya atau melahirkan persetujuan untuk diikat oleh suatu perjanjian internasional. Karena itu ratifikasi tidak berlaku surut, melainkan baru mengikat sejak penandatanganan ratifikasi.

Dasar kewenangan presiden dalam pembuatan Perjanjian Internasional diatur dalam pasal 11 Undang-Undang Dasar NRI 1945 mengatur tentang perjanjian Internasional sebagai berikut:

(1). Presiden dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat menyatakan perang, membuat perdamaian, dan perjanjian dengan Negara lain.

(2). Presiden dalam membuat perjanjian Internasional lainnya yang menimbulkan akibat yang luas dan mendasar bagi kehidupan rakyat yang terkait dengan beban keuangan Negara, dan/ atau mengharuskan perubahan atau pembentukan Undang-Undang harus dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat.

(3). Ketentuan lebih lanjut tentang perjajian Internasional diatur dalam Undang-Undang. Berdasarkan pasal 11 ayat (3) UUD NRI 1945 tersebut, telah diterbitkan surat Presiden nomor : 2826/Hk tentang Pengesahan Perjanjian Internasional yang berisi ketentuan - ketentuan sebagai berikut:

 Bila Perjanjian Internasional tersebut mengatur perjajian tentang masalah – masalah yang terkait dengan politik dan kebijaksanaan Negara Republik Indonesia, Diratifikasi dengan undang – undang.

 Dalam hal Perjanjian Internasional tersebut mengatur tentang masalah-masalah yang

bersifat teknis dan segera, diratifikasi dengan keputusan Presiden. Pada tahun 2000 surat Presiden nomor: 2826 tersebut dihapus dengan juga adanya Undang-Undang nomor: 24/2000 tentang Perjanjian Internasional yang juga memuat ketentuan-ketentuan sebagaimana telah diatur dalam Surat Presiden nomor: 2826. Perjanjian Internasional tidak termasuk dalam susunan jenis peraturan perundang-Undangan diatur dalam Pasal 7 ayat (1) UU Nomor 12 Tahun 2011 sebagai berikut:

(10)

b. Undang-Undang / Peraturan pengganti Undang-Undang (Perpu). c. Peraturan Pemerintah (PP).

d. Peraturan Presiden. e. Peraturan Daerah Provinsi

f. Peraturan Daerah Kota/Kabupaten

Meskipun dalam Undang-Undang nomor: 10 tahun 2004 tentang Peraturan, Perundang-undangan tidak masuk sebagai jenis peraturan Perundang-undangan, namun perjanjian Internasional juga diakui keberadaannya dan mempunyai kekuatan mengikat sebagaimana diperintahkan oleh peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi (pasal 7 ayat 4 Undang-Undang nomor 10 tahun 2004 tentang Perjajian Internasional.

Ratifikasi perjanjian internasional dilakukan dengan undang-undang apabila berkenaan dengan:

a. masalah politik, perdamaian, pertahanan, dan keamanan negara;

b. perubahan wilayah atau penetapan batas wilayah negara Republik Indonesia; c. kedaulatan atau hak berdaulat negara;

d. hak asasi manusia dan lingkungan hidup; e. pembentukan kaidah hukum baru;

f. pinjaman dan/atau hibah luar negeri.

6. Pengundangan Hasil Perjanjian Internasional

Salah satu hukum dari perjanjian internasional yang telah menjadi hukum nasional (telah diratifikasi) yaitu UCLOS 1982 yang diundangkan menjadi Undang-Undang 17 Tahun 1985

Dalam suatu hal yang dimuat dalam ratifikasi perjanjian internasional tidak selalu diatur oleh 1 jenis macam perundangan, misalkan perairan yang diatur Undang-Undang 17 Tahun 1985 Konvensi Hukum Laut (hasil ratifikasi UNCLOS) ternyata perairan juga diatur dalam jenis peraturan perundangan yang lain yaitu Undang-Undang Perpu 4 tahun 1960.

(11)

Undang-Undang 1985 ini merupakan perundangan yang diserap dari Perjanjian Internasional namun ketentuan-ketentuan di dalamnya tidak boleh bertentangan dengan norma dasar negara kita, sehingga untuk itulah diadakan pengesahan dengan persetujuan antara presiden dan DPR dalam meratifikasi suatu perjanjian Internasional.

Selain itu Indonesia juga meratifikasi Piagam Asean perjanjian internasional pada tingkat regional Asean. Perjanjian ini merupakan landasan bagi pemberlakuan pasar tunggal, dan produksi tunggal Asean.

Dengan landasan Piagam Asean, ditandatangani liberalisasi perdagangan dengan China, Korea, Jepang (Asean+3), dan juga dengan India, Australia, Selandia Baru (Asean+6) serta dengan kawasan lainnya di dunia. Pemerintah kemudian meratifikasi Piagam Asean melalui Undang-Undang No. 38 Tahun 2008.

Namun di lain sisi, banyak yang tidak menyetujui adanya undang-undang yang meratifikasi Asean Charter. Permohonan uji materi pun diajukan oleh sejumlah LSM yang tergabung dalam Aliansi untuk Keadilan Global. Namun oleh MK menolak permohonan uji materi Pasal 1 ayat (5) dan Pasal 2 ayat (2) huruf n Undang – Undang No.38 Tahun 2008 tentang Pengesahan Piagam ASEAN.

Pasal 1 angka (5) mengatur prinsip pasar tunggal dengan basis produksi tunggal, yang berarti pelaksanaan kesepakatan perdagangan ASEAN itu harus sama (homogen). Ketentuan ini menjadi landasan bagi ASEAN untuk melakukan perdagangan bebas di tingkat ASEAN. Seperti ACFTA, ASEAN-Korean Free Trade Aggreement, dan ASEAN-Ausralian Free Trade Agreement.

Aliansi menilai pemberlakuan Piagam ASEAN yang menyangkut perdagangan bebas itu merugikan industri dan perdagangan nasional. Sebab, Indonesia harus tunduk dengan segala keputusan yang diambil di tingkat ASEAN. Karena itu, para pemohon meminta MK membatalkan Pasal 1 angka 5 dan Pasal 2 ayat (2) huruf n UU Pengesahan Piagam ASEAN karena dinilai bertentangan dengan Pasal 27 ayat (2) dan Pasal 33 ayat (4) Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945.

7. Apakah Undang-Undang hasil ratifikasi dapat dijudicial review?

(12)

Berdasarkan hukum positif di Indonesia prosedur internal sebagaimana diatur dalam UU No. 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional, ratifikasi perjanjian internasional tidak memerlukan pengujian ke MK. Mahkamah Konstitusi juga tidak memiliki kewenangan untuk menguji Undang – Undang tersebut terlebih Undang-Undang Dasar NRI 1945 tidak memberi wewenang atau menentukan MK sebagai sebuah forum yang memiliki wewenang menguji perjanjian internasional. Sebab, UU yang menjadi wewenang MK sesuai Pasal 24C ayat (1) UUD 1945 hanya untuk menguji undang – undang, hal ini tidak mutatis mutandis (otomatis) sama dengan UU ratifikasi perjanjian internasional berdasarkan Pasal 11 UUD 1945. Tidak menjadi original intent dari Pasal 11 UUD 1945, jika perjanjian internasional dan “persetujuan” DPR (ratifikasi) terhadap perjanjian internasional disamakan dengan Undang - Undang sebagaimana diatur dalam Pasal 5, 20, dan 22A UUD 1945. Persetujuan DPR terhadap perjanjian internasional tidak harus disamakan dengan persetujuan bersama DPR-Presiden terhadap RUU sesuai Pasal 20 ayat (2) UUD 1945.

Undang – Undang yang meratifikasi perjanjian internasional sebenarnya hanyalah merupakan syarat konstitusional seperti yang diminta oleh Pasal 11 UUD NRI Tahun 1945. Muhammad Yamin sebagai salah satu perumus UUD 1945 pernah menyatakan bahwa "tidak diterapkan dalam Pasal 11 bentuk juridis lain daripada persetujuan DPR, sehingga persetujuan DPR itu sendiri berupa apa pun telah mencakupi syarat formil menurut Undang – Undang Dasar NRI 1945.

Telah menjadi kesepakatan di kalangan pakar hukum tatanegara dan tidak pernah dipersoalkan sampai saat ini bahwa sumber hukum tatanegara adalah UUD, UU, traktat, dimana traktat berdiri sendiri dan terpisah dari UU.Itulah sebabnya salah satu hakim MK, Dr. Harjono SH mengatakan "Dalam ilmu hukum, perjanjian internasional atau traktat disebut sebagai sumber hukum lain yang terpisah dari undang-undang".8

8. Langkah yang dapat ditempuh apabila tidak dapat melakukan Judicial Review 1. Langkah Preventif

Meratifkasi Sebagian

Suatu negara dapat terikat pada hanya sebagian dari suatu perjanjian internasional bertujuan agar perjanjian internasional berfungsi efektif pada negara yang meratifikasi dan

(13)

untuk menghindari permasalahan-permasalahan ketika negara tunduk pada suatu perjanjian internasional.

Undang-Undang no.24 Tahun 2000 Pasal 8

(1) Pemerintah Republik Indonesia dapat melakukan pensyaratan dan/atau pernyataan, kecuali ditentukan lain dalam perjanjian internasional tersebut;

(2) Pensyaratan dan pernyataan yang dilakukan pada saat penandatanganan perjanjian internasional harus ditegaskan kembali pada saat pengesahan perjanjian tersebut;

(3) Pensyaratan dan pernyataan yang ditetapkan Pemerintah Republik Indonesia dapat ditarik kembali setiap saat melalui pernyataan tertulis atau menurut tata cara yang dtetapkan dalam perjanjian internasional.

Pengertian reservasi secara harfiah diatur di dalam Vienna Convention tentang Law of Treaty. Indonesia memang tidak secara tegas meratifikasi Vienna Convention itu sendiri, tetapi perlu diketahui, bahwa meskipun Indonesia tidak meratifikasi Vienna Convention, tetapi norma-norma yang terdapat pada pasal 20 Vienna Convention diadopsi ke dalam salah satu pasal di Undang-undang no.24 tahun 2000. Hal itu dapat dibuktikan dengan aturan yang tertulis di dalam pasal 8 Undang-undang No.24 Tahun 2000 yang substansi pasalnya kurang lebih sama dengan pasal 20 Vienna Convention on The Law of Treaty.

Pasal 19 sampai dengan pasal 21 Vienna Convention tentang the Law of Treaties 1969 memperbolehkan suatu negara untuk melakukan reservasi kecuali apabila reservasi tersebut ditolak oleh negara atau bertolak belakang terhadap objektivitas dari suatu perjanjian itu sendiri. Oleh sebab itu, perlu kajian lebih lanjut apakah perjanjian internasional itu sudah sesuai dengan konstitusi atau bertentangan.

2. Membuat Perjanjian Internasional Yang Baru

(14)

Berdasarkan Konvensi Wina tahun 1969. karena berbagai alasan, suatu perjanjian internasional dapat batal antara lain disebabkan sebagai berikut.

1. Negara peserta atau wakil kuasa penuh melanggar ketentuan-ketentuan hukum nasionalnya.

2. Adanya unsur kesalahan (error) pada saat perjanjian itu dibuat.

3. Adanya unsur penipuan dari negara peserta tertentu terhadap negara peserta lain waktu pembentukan perjanjian

4. Terdapat penyalahgunaan atau kecurangan (corruption), baik melalui kelicikan atau penyuapan.

5. Adanya unsur paksaan terhadap wakil suatu negara peserta. Paksaan tersebut baik dengan ancaman maupun penggunaan kekuatan.

6. Bertentangan dengan suatu kaidah dasar hukum intemasional umum

Sedangkan menurut pendapat Prof. DR. Mochtar Kusumaatmadja, S.H., suatu perjanjian berakhir karena hal-hal berikut ini9

a) Telah tercapai tujuan dari perjanjian internasional itu b) Masa berlaku perjanjian internasional itu sudah habis.

c) Salah satu pihak peserta perjanjian menghilang atau punahnya objek perjanjian itu. d) Adanya persetujuan dari peserta-peserta untuk mengakhiri perjanjian itu.

e) Adanya perjanjian baru antara para peserta yang kemudian meniadakan perjanjian yang terdahulu.

f) Syarat-syarat tentang pengakhiran perjanjian sesuai dengan ketentuan perjanjian itu sudah dipenuhi.

g) Perjanjian secara sepihak diakhiri oleh salah satu peserta dan pengakhiran itu diterima oleh pihak lain.

Pasal 62 Konverensi Wina merupakan penerapan dari Asas rebus sic stantibus. Asas rebus sic stantibus adalah alasan pembenar bagi suatu negara untuk tidak melaksanakan suatu kewajiban dalam perjanjian atau mengesampingkan Pacta Sunt Servanda. Asas rebus sic stantibus memberikan jalan keluar apabila ingin ditangguhkannya atau dibatalkannya suatu perjanjian yang tentunya sesuai persyaratan yang berlaku. Sebagai contoh hubungan asas ini

(15)

terdapat pada kasus kesepakatan Konferensi Meja Bundar (KMB) antar pemerintah Indonesia dengan Belanda.

Berdasarkan asas pacta sunt servanda kedua belah pihak Indonesia dan Belanda melaksanakan isi perjanjian, namun dengan seiring berjalannya waktu Indonesia membatalkan perjanjian tersebut karena terjadi perubahan fundamental dalam tatanan bernegara dan berbangsa, dimana Indonesia yang dalam isi perjanjian adalan negara serikat atau Republik Indonesia Serikat (RIS) berubah menjadi Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) karena melihat situasi dan kondisi bahwa negara kesatuanlah yang cocok bagi Indonesia, sehingga Indonesia membatalkan isi perjanjian KMB dengan Belanda. Pemutusan yang demikian mendapat persetujuan DPR tertanggal 22 Mei 1956 dan di muat dalam UU No 13 tahun 1956. Sehingga jika kita mengkaji contoh kasus tersebut dapat dikatakan asas rebus sic stantibus dapat menjadi alasan untuk meniadakan asas pacta sunt servanda dalam perjanjian internasional antar negara baik itu yang bersifat bilateral, multirateral, regional dan lain sebagainya.

Dalam peraturan perundang-undangan Indonesia keberadaan asas rebus sic stantibus terdapat dalam pasal 18 UU No 24 tahun 2000.

Pasal 18 Perjanjian internasional berakhir apabila :

a. Terdapat kesepakatan para pihak melalui prosedur yang ditetapkan dalam perjanjian; b. tujuan perjanjian tersebut telah tercapai;

c. Terdapat perubahan mendasar yang mempengaruhi pelaksanaan perjanjian; d. Salah satu pihak tidak melaksanakan atau melanggar ketentuan perjanjian; e. Dibuat suatu perjanjian baru yang menggantikan perjanjian lama;

f. Muncul norma-norma baru dalam hukum internasional; g. Objek perjanjian hilang;

h. Terdapat hal-hal yang merugikan kepentingan nasional.

(16)

menyesuaikan, konsekuensi logisnya adalah akan adanya peraturan yang bertentangan satu sama lain, oleh sebab itu perlu kecermatan dan kehati-hatian oleh pemerintah dalam membuat perjanjian internasional yang baru.

Pembuatan Perjanjian Internasional yang baru diatur di dalam Undang-Undang no.24 tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional.

PEMBUATAN PERJANJIAN INTERNASIONAL

Pasal 4

(1) Pemerintah Republik Indonesia membuat perjanjian internasional dengan satu negara atau lebih, organisasi internasional, atau subjek hukum internasional lain berdasarka kesepakatan, dan para pihak berkewajiban untuk melaksanakan perjanjian tersebut dengan itikad baik;

(2) Dalam pembuatan perjanjian internasional, Pemerintah Republik Indonesia berpedoman pada kepentingan nasional dan berdasarkan prinsip-prinsip persamaan kedudukan, saling menguntungkan, dan memperhatikan, baik hukum nasional maupun hukum internasional yang berlaku.

3. Apabila Terdapat Sengketa dalam perjanjian Bilateral, Mengajukan Review Kepada ICJ

Pentingnya suatu penyelesaian untuk negara – negara yang dirugikan di dalam suatu perjanjian, mendorong terbentuknya lembaga – lembaga penyelesaian sengketa antara negara, yang pada intinya memberikan suatu proses penyelesaian bagi negara yang bersengketa. Berdasarkan hal tersebut maka dibentuklah lembaga penyelesaian sengketa yang salah satunya adalah ICJ. ICJ terbentuk berdasarkan Statuta yang merupakan lampiran dari Piagam PBB. Statuta pembentukan ICJ merupakan bagian yang melekat dengan Piagam PBB, sebagaimana diatur didalam Pasal 92 Piagam PBB.

(17)

negara yang sedang bersengketa, dan harus didasarkan pada kesepakatan para pihak yang bersengketa (non compulsory jurisdiction). Pasal 36 ICJ Statute, menyatakan kata sepakat antara para pihak untuk menyerahkan sengketanya dapat dilakukan secara umum, atau dinyatakan sebelum adanya sengketa dan dapat juga dilakukan dengan suatu perjanjian khusus atau setelah terjadinya sengketa.

Subyek yang dapat menyerahkan sengketa internasional pada ICJ adalah negara sebagaimana di atur didalam Pasal 34 (1) ICJ Statute. Disebutkan di dalam pasal tersebut Negara yang bersengketa harus memiliki kesepakatan untuk menyerahkan sengketanya kepada ICJ.

D. KESIMPULAN DAN SARAN

Referensi

Dokumen terkait

Hasil analisis dari Riyant Lisano memperlihatkan bahwa tingkat efektifitas pemungutan pajak daerah oleh DPPKA Kota Payakumbuh rata-rata melebihi target yang

Dari paparan di atas dapat dikemukakan hal-hal yang menjadi kekuatan siklus 2 sebagai berikut. 1) Guru sudah melaksanakan rencana tindakan dan perbaikan dengan

BAB V PENUTUP 5.1 kesimpulan Dari judul yang diambil dalam penelitian ini “Pengaruh Akuntabilitas Pengengolaan Keuangan Alokasi Dana Desa, Kebijakan Desa, Dan Partisipasi

Apabila dalam waktu tersebut perusahaan Saudara tidak hadir dalam pembuktian kualifikasi dengan alasan yang tidak dapat dipertanggungjawabkan, maka perusahaan

Make sure that the products or services that you will be offering are desired, do not just decide to open up a store with out doing any market research is like playing craps,

If poker is your game it is a little different, most games depend on luck and all you really need to know if the basics, but poker is totally different because you are playing

Berdasarkan analisis kelayakan finansial usaha penangkapan ikan di waduk koto panjang baik untuk ne- layan perahu mesin maupun nelayan perahu dayung layak untuk dilaksanakan

Studi Pemurnian dan Karakterisasi Emulsifaier Campuran Mono- dan Diasilgliserol yang Diproduksi dari Distilat Asam Lemak Minyak Sawit dengan Teknik Esterifikasi Enzimatis