1 Multikulturalisme dan Isu Pengelolaan Ekosistem:
Relasi Antara Danau Chini, Negara, dan Masyarakat Lokal di Malaysia
Cahyo Seftyono* , M. Rianto Utama**, dan Adnan A. Hezri***
Abstract
The relationship between human and ecosystem is intertwined. Because an ecosystem provides benefits for humans, care and protection are needed on the part of humans to manage the ecosystem. However, ecosystem management is not free from the interplay of various forms of power which are governed and underlined by multiple interests and values. This tendency not only influences the condition of an ecosystem but also the social and political relations between groups. In the context of a pluralistic nation-state constituted of heterogenous ethnic groups such as Malaysia, issues of multiculturalism often influence the pattern of ecosystem management. Conflict of interests may also arise fro the differe t alues a d i terests that ake up o u ities ide tity, hi h o asio ally results in ecosystem mismanagement. Thus, pro-active coordination is needed for the community, the State, and other political and social actors to effectively manage ecosystems. This paper discusses the case of Lake Chini in Malaysia to exemplify the relationship between multiculturalism and ecosystem management.
Key Words: human and ecosystem, multiculturalism, issue on ecosystem management, Lake Chini- Malaysia, Orang Asli and boarder community (Malay Community)
I. Pendahuluan: Danau Chini dan Orang Asli
Ekosistem dan hubungannya terhadap (keperluan) manusia merupakan sesuatu yang
tidak dapat dihindari sebagai sebuah kajian penting. Bagaimana tidak, manusia dalam
konteks ruang dan waktu tidak boleh terlepas dari keberadaan ekosistem (yang berarti juga
tidak boleh terpisah dari apa yang menjadi bahagian dari ekosistem) termasuk di dalamnya
proses servis dan fungsi alamiah dari ekosistem itu sendiri. Berdasarkan pada apa yang
dikemukakan oleh Millenium Ecosistem Assessment maka dapat kita lihat bahwa mulai dari ekosistem pegunungan, hingga ekosistem laut, semuanya secara integral memiliki peranan
yang penting terhadap kehidupan manusia (MA, 2003). Termasuk di dalamnya adalah
keberadaan ekosistem danau yang juga memiliki peran penting terhadap kehidupan manusia
di sekelilingnya maupun di luar mereka. Salah satu danau yang memiliki aspek fungsional
yang dinamis adalah Danau Chini di Malaysia.
Danau Chini adalah danau alam terbesar kedua di Semenanjung Malaysia yang
terletak di negara bagian Pahang. Danau ini memiliki arti penting bukan saja bagi penduduk
2 misalnya, dapat membantu mengurangi frekuensi, dan tingkat kecepatan dari banjir dan erosi
di sekitar Sungai Pahang. Danau Chini memiliki fungsi sebagai sponges atau penyerap air alami yang menyerap floodwater, dan membantu melindungi daerah-daerah hilir dari banjir kerusakan. Danau ini juga dapat membantu mengisi ulang tanah oleh aquifers, menahan air
dan memungkinkan meresap ke tanah. Danau Chini dalam konteks ekosistem Malaysia juga
memainkan peran penting dalam menyediakan perikanan sebagai sumber pendapatan bagi
masyarakat setempat (Othman, 2007; Muhamad-Barzani, 2007). Hal ini berarti memiliki
peluang untuk mengurangi ketergantungan masyarakat setempat terhadap komunitas lain,
dikarenakan mereka memiliki sumber daya sendiri.
Danau Chini sendiri memiliki 12 bukaan air yang dikenal sebagai 'laut' oleh
penduduk setempat atau orang pribumi, yang disebut dengan orang asli. Mayoritas penduduk
setempat menjadikan Danau Chini sebagai cadangan sumber air dan ikan. Danau ini dibentuk
dalam hulu sungai Pahang. Berdasarkan penyelidikan yang dilakukan oleh Universiti
Kebangsaan Malaysia sampai 2005, terdapat 28 jenis ikan di danau ini yang telah diakui . Di
danau ini, terdapat juga berbagai jenis tanaman air seperti tanaman yang di atas air dan
tanaman yang hidup di dalam air. Tanaman ini tidak langsung menjadi dasar untuk jaringan
makanan untuk siklus hidup di danau ini. Saat ini, Danau Chini juga digunakan sebagai
tujuan pariwisata yang mampu menarik wisatawan datang dari dalam maupun luar negeri
(Idris, 2005; Kutty, 2009).
Berkenaan dengan Orang Asli, Orang Asli adalah kelompok minoritas yang terdapat
di Malaysia, dimana persebarannya juga tidak menyeluruh (Department of Orang Asli
Affairs, tanpa tahun; Gomes, 2004; Toshihiro, 2008). Sedangkan untuk kondisi di Danau
Chini, terdapat Orang Asli dan masyarakat melayu dimana keduanya saling berinteraksi
secara aktif setidaknya hingga dibangun jalan menuju Danau Chini, yang semula jalur yang
menghubungkan keduanya adalah melalui Sungai Pahang. Orang Asli yang ada di Danau
Chini memiliki empat buah kampung yang mengelilingi Danau Chini. Satu kampung yang
memiliki banyak penduduk adalah kampung Gumum, dengan pemuka adatnya adalah Batin
Awang. Sedangkan ketiga kampung lainnya adalah kampung- kampung dengan penduduk
sekitar dua hingga tiga keluarga, dan ketiga kampung ini secara tidak langsung dapat
dikatakan memiliki koordinasi hirarkis kepada Batin Awang yang berada di Kampung
3 meskipun jaraknya cukup jauh dari Danau Chini, akan tetapi antara warga Kampung
Belimbing dengan Orang Asli sudah berinteraksi sejak lama. Termasuk terkait dengan
keberadaan Danau Chini sebagai tujuan wisata dan juga beberapa permasalahan terkait
dengan kebijakan pemerintah Malaysia tentang pembangunan DAM (pembatas air).
Permasalahan, Metode Penelitian, Pembabakan Penulisan
Tulisan ini pada dasarnya ingin menjelaskan tentang 1) bagaimana relasi antara
keberadaan Danau Chini sebagai ekosistem alami dan tujuan wisata dalam perspektif
masyarakat lokal dan juga Orang Asli? Hal ini penting mengingat Orang Asli adalah
kelompok minoritas di Malaysia namun mereka adalah elemen yang bersentuhan langsung
dengan ekosistem yang ada. 2) Bagaimana pula kemudian relasi antara masyarakat melayu,
Orang Asli, dan negara berimbas pada permasalahan ekosistem? Dengan demikian, tulisan
ini tidak murni kajian multikultur, melainkan dikombinasikan dengan studi lingkungan.
Untuk metode penelitian ini sendiri, digunakan kombinasi studi literatur antara konsep-
konsep dalam multikultur dan temuan media, yang kemudian dijelaskan dengan penggunaan
hasil wawancara langsung pada beberapa warga yang memiliki pengaruh secara social,
politik dan budaya di sekitar Danau Chini. Sedangkan konfirmasi dari pihak pemerintah
hanya didapatkan dari hasil kajian media. Permasalahan ekosistem itu akan coba dibahas
melalui perspektif relasi kuasa antara masyarakat lokal, Orang Asli (sebagai kelompok
minoritas) dan juga negara.
Pembabakan dalam penulisan ini sendiri terbagi menjadi berikut: bagian pertama
menjelaskan tentang pendahuluan yang berisi hubungan antara ekosistem dan manusia, dan
secara singkat membahas tentang Danau Chini dan Orang Asli di sekitar Danau Chini.
Bagian kedua berisi tentang tinjauan literatur yang berisikan tentang multikultur dan
sebagian isu terkait dengan multikultur dan ekologi. Bagian ketiga berisi tentang temuan
lapangan dan diskusi yang menjelaskan tentang isu- isu ekologis di Danau Chini berkaitan
dengan aspek multikultur yang merupakan kombinasi dari kajian media dan hasil interview.
Bagian terakhir adalah kesimpulan yang menjelaskan tentang rekomendasi bagaimana
sebuah sistem sosial politik mampu menjembatani isu multikultur dengan permasalahan
4 II. Wacana Seputar Multikulturalisme: Hak- Hak Kelompok Minoritas
Perbincangan mengenai demokrasi dan keberadaan kelompok minoritas menjadi
menarik manakala memasukkan aspek kultur di dalamnya. Meskipun dalam pandangan
Francis Fukuyama dalam tulisannya yang berjudul Development and The Limits of Institutional Design budaya politik tidak memiliki pengaruh terhadap politik dan ekonomi, sebenarnya ada aspek-aspek yang menyebabkan budaya berpengaruh dalam diskursus politik
dan demokrasi (Fukuyama, 2006). Penempatan kultur sebagai bagian dari politik itu sendiri
akan menjadikan permasalahan kultural di dalam masyarakat bukan hanya menjadi
konstruksi yang dibangun oleh pemaknaan kultural semata, melainkan perlu keberadaan
mekanisme politik yang mengatur sistem kultul tersebut.
Multikulturalisme itu sendiri didefinisikan sebagai pengakuan dan dorongan terhadap
pluralisme budaya, multikulturalisme budaya menjunjung tinggi dan berupaya untuk
melindungi keanekaragaman budaya dan pada saat yang bersamaan memfokuskan diri pada
hubungan budaya minoritas dengan budaya mayoritas yang seringkali tidak seimbang (D.
Jary and J. Jary, 1999). Bhikhu Parekh mengatakan bahwa terdapat tiga pokok pikiran
mengenai multikulturalisme (Parekh, 1999). Pertama, manusia hidup dan tumbuh di dalam
dunia yang terbentuk oleh kebudayaan sehingga manusia terbentuk secara dalam oleh
kebudayaan yang mereka terima atau yang mereka adopsi. Kedua, setiap kebudayaan
memiliki sistem yang berbeda terhadap cara pandang dan pemaknaan hidup yang ideal. Akan
tetapi, kebudayaan tetap membutuhkan kebudayaan lainnya untuk memahami kebudayaan itu
sendiri, melebarkan horizon intelektualitas dan moral, serta menjaga sebuah kebudayaan dari
narsisme yang dapat menciptakan absolutisme kebudayaan. Hal ini bukan berarti sebuah
kebudayaan tidak dapat berdiri sendiri, akan tetapi lebih kepada kepentingan sebuah
kebudayaan untuk menghargai kebudayaan lain. Ketiga, kebudayaan memiliki pluralitas
internal yang merefleksikan sebuah dialog terus menerus antara tradisi yang berbeda dan
sejumlah pemikiran-pemikiran. Pengakuan terhadap pluralitas internal sebuah kebudayaan
akan memudahkan hubungan dengan kebudayaan lainnya.
Pembahasan mengenai kebudayaan dan kelompok minoritas oleh Kymlicka
memasuki fase politis di saat dua aspek tersebut mulai masuk pada ranah publik dan
5 saja masyarakat yang berdiri sendiri sebagai pemilih sebuah budaya, yang termanifestasi
sebagai orientasi politik sekelompok orang. Dalam hal ini, masyarakat- masyarakat yang ada
dalam sebuah negara mulai masuk menjadi anggota negara yang memiliki hak- hak positif
yang harus diakui oleh negara. Di sinilah perlunya kemudian keberadaan proses politik
dalam permasalahan- permasalahan kelompok minoritas dan kultural. Kekuasaan yang
dimiliki oleh negara, yang muncul dari legitimasi masyarakat, bukan saja masyarakat
mayoritas melainkan juga kelompok minoritas menjadi penting dalam mempengaruhi proses
demokrasi yang ada. Proses demokrasi yang bisa menjamin hak- hak kelompok minoritas.
Multikulturalisme sendiri dalam perspektif politik berangkat dari semangat
multikultur liberal yang bertujuan pada pemberian ruang bagi legalitas hak-hak bagi
kelompok minoritas. Dalam hal ini ekspresi atas identitas masyarakat yang berada pada level
minoritas dapat diakui sebagai bagian sebuah negara. Oleh karenanya, dalam pandangan
multikulturalisme ini perdebatan mengenai kultur- kultur yang berbeda dan saling mendapat
porsi dalam menjadi identitas tunggal negara menjadi bagian dari diskursus negara itu
sendiri. Bagaimana ekpresi keberagaman kultur itu kemudian diaktualisasikan melalui
kebijakan- kebijakan yang tidak saja memiliki tendensi pada “suara mayoritas” melainkan
pada semua aspek kultur yang ada di masyarakat.
Keberagaman yang ada di dalam masyarakat, sebagai wujud dari sebuah pluralitas
dan kebebasan memunculkan identitas mendapat perhatian serius dari Kymlicka ketika
ternyata dalam perjalanan masyarakat dewasa ini ada berbagai macam infiltrasi budaya yang
berjalan sangat cepat dengan melampaui batas- batas regional. Pada kondisi inilah akhirnya
kekuatan kelompok- kelompok mayoritas dikhawatirkan akan berbenturan dengan orientasi
kelompok- kelompok minoritas yang berakibat pada hilangnya kultur dan identitas dari
kelompok minoritas tersebut. Disini juga bisa diartikan bahwa demokrasi yang berjalan
dengan kemampuan kekuasaan, yang dibangun atas dasar pemilikan pengaruh terbesar akan
dihadapkan pada hilangnya hak- hak pada kelompok minor. Selain itu, peran negara yang
bisa dimainkan dari perbincangan demokrasi dalam wacana multikultur ini juga ditujukan
6 Kewarganegaraan dan Pengakuan Hak Minoritas
Konsep lain yang tidak kalah pentingnya di dalam menganalisis permasalahan dalam
perbincangan mengenai kelompok minoritas dan demokrasi adalah mengenai
kewarganegaraan. Hannah Arendt dalam paper Pudunavac menyebutkan hak yang paling
esensial yaitu hak untuk memiliki hak termanifestasi atas keberadaan eksistensi
kewarganegaraan (lihat pada Pudunavac, 1999; lihat juga Smith & Pangsapa 2008). Dengan
demikian, setiap anggota masyarakat termasuk di dalamnya kelompok- kelompok minoritas
selalu memiliki hak sebagai warga negara selama mereka diakui oleh negara. Pada posisi ini
penting kemudian untuk membincangkan keberadaan mereka (kelompok minoritas) dalam
permasalahan publik.
Pembahasan pada ranah publik akan memungkinkan munculnya aktualisasi dan
legalisasi atas apa yang menjadi tuntutan dari kelompok minoritas sekaligus alat penjamin
keberadaan mereka. Hal ini juga berkaitan erat dengan apa yang dikatakan oleh Phil Kinsman
tentang batas- batas ras dan kewarganegaraan dalam pengelolaan lingkungan. Menurut
Kinsman, identitas ras juga dapat diartikulasi melalui penampakan landskap wilayah dan
ideologi (Kinsman, 1997). Dengan adanya identitas yang sejalan dengan lanskap ini, maka
hal tersebut juga akan memiliki pengaruh terhadap bagaimana relasi manusia dengan
ekosistem yang ada. Dalam hal ini pendekatan antroposentris yang akan menyebabkan
ekosistem merupakan bagian dari manusia dan bukan sebaliknya (Callicot, 2001).
Konsekuensinya, maka segala kebijakan dan aktivitas yang dilakukan oleh masyarakat
maupun pemerintah semata cenderung kepada kepentigan manusia itu sendiri.
Iris Marion Young dalam menanggapi permasalahan seperti ini mengungkapkan
konsep mengenai “Politics of difference” (Politik keberbedaan). Young berusaha untuk
mengungkapkan bahwa di dalam masyarakat yang kontemporer dengan banyaknya identitas
yang dapat diklaim diperlukan suatu upaya yang dapat mengakomodir keberbedaan tersebut.
Hal terpenting yang harus dilakukan oleh pemerintah adalah pengakuan dan penghargaan
terhadap identitas-identitas yang ada di dalam masyarakat. Menurut Young, fragmentasi
kultural dalam permasalahan kewarganegaraan bukanlah sesuatu yang dianggap sebagai hal
yang dapat mengancam kesatuan, akan tetapi lebih dilihat sebagai hal yang memiliki sisi-sisi
positif. Sisi positif dari adanya fragmentasi kultural ini adalah dengan dihargainya identitas
7 identitas asli dari suatu individu, akan tetapi tetap dapat memiliki hak untuk berpartisipasi di
dalam masyarakat. Melalui kerangka berpikir ini, maka sesungguhnya keberadaan orientasi
kelompok- kelompok minoritas di dalam masyarakat bisa disalurkan melalui jalur- jalur yang
sesuai dengan apa yang dikehendaki oleh pemerintah, karena mereka sudah diakui sebagai
bagian dari warga negara.
Hak Minoritas dan Pembentukan Bangsa
Keberadaan kultur dalam sebuah masyarakat oleh negara nampaknya menjadi bagian
yang melekat dalam masyarakat yang menjadi bagian dari sebuah sistem negara. Oleh
karenanya eksistensi kultur dalam pembentukan bangsa juga menjadi sangat penting. Dalam
hal ini, seringkali terdapat dominasi atas sebuah keberadaan bangsa yang diwarnai oleh
eksistensi sebuah kultur. Menurut William Pfaff, pengakuan terhadap akomodasi negara akan
hak minoritas dapat menyebabkan sebuah negara liberal melenceng dari jalurnya. Dalam
logika yang diungkapkan Pfaff, kultur digolongkan oleh negara sama seperti agama, di mana
negara harus menjamin keberadaannya di dalam ruang privat. Sebagai sebuah civic nation, negara-negara liberal harus secara tegas membedakan diri dengan ethnic nation yang memang secara sengaja mereproduksi suatu kultur dominan di dalam menentukan
kewarganegaraan (Pfaff, 1993).
Menurut Kymlicka, adalah dua hal yang sangat berbeda antara agama dengan kultur.
Sebuah negara dapat membebaskan warganya untuk memilih agama, akan tetapi tidak halnya
dengan bahasa, di mana dalam suatu pemerintahan akan digunakan suatu bahasa tertentu
yang kemudian akan menciptakan hak spesial bagi pengguna bahasa tersebut dibanding
pengguna bahasa lain (Kymlicka, 2001). Kymlicka menegaskan bahwa kemunculan negara
bangsa (nation-states) merupakan hasil dari kebijakan pembentukan bangsa yang kemudian
diadopsi oleh pemerintahan negara tersebut untuk mempromosikan bahasa tertentu, kultur
tertentu, dan identitas nasional tertentu. Kebijakan tersebut meliputi kebijakan mengenai
kewarganegaraan, undang- undang bahasa, kurikulum pendidikan, pelayanan umum,
dukungan terhadap media nasional, dan simbol negara (Kymlicka, 2001: 245). Kategorisasi
kebebasan beragama dan berbahasa yang mengalami perbedaan “perlakuan” ini bisa saja
8 masyarakat yang plural satu- satunya alat penghubung antar mereka adalah alat komunikasi
yang bisa menyatukan mereka dalam satu pemaknaan yang sama.
III. Temuan dan Diskusi
Ekosistem Danau Chini, Orang Asli, Masyarakat Melayu dan Negara: Isu seputar Danau Chini
Danau Chini, dengan beragam potensi yang dimiliki, mulai dari keragaman
biodiversitas hingga potensi sosial politik yang ada dalam kontestasi hubungan ekosistem
dan manusia, ternyata juga memiliki pelbagai persoalan yang hingga kini belum sepenuhnya
dapat diselesaikan dengan baik. Danau Chini, sebagaimana yang dapat diketahui sebagai
wujud paling kontemporer saat ini adalah sebuah ekosistem yang kurang terjaga, dengan
beberapa permasalahan ekologis seperti berkurangnya keragaman ekosistem air maupun
rusaknya hutan yang mengelilingi Danau Chini. Berdasarkan pengamatan terakhir sekitar
bulan april 2009, yang juga dinyatakan oleh salah satu warga dalam sebuah wawancara dapat
diketahui bahwa air yang terdapat di Danau Chini tidak lagi jernih, teratai yang menjadi ikon
pariwisata di Danau Chini juga hanya ada beberapa bunga saja.
Isu Kultural dan Relasinya dengan Masyarakat Luas
Berita Metro tahun 2007 menyebutkan “Danau Chini, Pekan tidak boleh dipisahkan
dengan keindahan pemandangan kuntuman teratai yang mekar memenuhi permukaan Danau
ketika musimnya tiba antara Ogos hingga September setiap tahun. Tarikan Danau Chini yang
juga Danau semula jadi kedua terbesar di Malaysia selepas Danau Bera itu, bukan setakat
keunikan flora dan fauna yang dimilikinya, malah cerita lagendanya yang penuh misteri turut
mempopularkan kawasan berkenaan.” Selain hal tersebut, ternyata Danau Chini juga
menyimpan keunikan lainnya yaitu cerita sejarah yang berwujud pada ditemukannya benda-
benda kuno yang sangat mungkin merupakan peninggalan masyarakat asli orang Danau
Chini di jaman dahulu. Berita Harian, pada tahun 1994 juga menyebutkan bahwa sebuah peti
berisi harta karun ditemukan dekat Danau Chini selain beberapa keping pinggan porcelain
daripada Dinasti Maharaja dalam Pemerintah Lama China, beberapa minggu lalu. Peti itu
ditemui berhampiran rumah rakit kira-kira 500 meter dari pertemuan Danau Chini dan
9 yang sangat tinggi, selain apa yang dimiliki oleh masyarakat Orang Asli saat ini, tetapi juga
oleh adanya peninggalan- peninggalan bersejarah dari orang- orang terdahulu.
Temuan hasil sejarah tersebut semakin menguatkan bahwa Danau Chini memiliki
nilai penting dalam hal kultural, karena Danau Chini memiliki potensi kulturalnya sendiri.
Temuan tersebut tidak saja dibangun saat ini, melainkan sudah ada sejak dahulu, dan inilah
yang kemudian memungkinkan membuka kembali potensi tersebut dalam kerangkan kultural
maupun edukasi. Tentu, tidak kemudian menegasikan nilai kultural dan edukasi atas nilai
ekonomi, dengan mengatasnamakan pariwisata (negasi nilai kultural atas ekonomi bisa
dilihat dari Manuel, 2006). Dan ini merupakan salah satu bentuk nilai yang boleh membawa
manfaat, baik kepada masyarakat Orang Asli itu sendiri maupun Malaysia pada umumnya,
karena bisa menjadi salah satu jalan untuk memahami kultur mereka. Sedangkan untuk
bentuk nilai kultural lain yang lebih kepada mistisisme, terdapat aspek lain yang menjadi
daya tarik wisatawan. Berita Harian di tahun 2008 menyebutkan bahwa mitos naga dan
kedatangan Hang Tuah ke Pahang untuk membawa pulang Tun Teja selama ini melingkari
legenda Danau Bera dan Danau Chini di Pahang. Pesona dua danau ini terus membuai fantasi
hingga ke hari ini. Udara segar, air sejuk, keunikan hidup masyarakat Orang Asli, ikan sungai
dan kepelbagaian spesies tumbuh-tumbuhan termasuk pohon balak yang makin hilang, terus
menjadi tarikan wisatawan ke daerah ini.
Hal menarik lain dari relasi antara ekosistem dan manusia di Danau Chini adalah
bagaimana mereka mengingat nama dari aliran- aliran sungai dengan menggunakan angka.
Meskipun sebenarnya aliran- aliran air itu sudah memiliki nama, bahkan sejak adanya
penelitian dari orang- orang asing di tahun 1960an, mereka memiliki cara tersendiri dalam
mengenali aliran air yang ada di Danau Chini, sebagai bagian dari interaksi mereka terhadap
ekosistem. Sebagaimana yang juga disebutkan dalam Berita Harian tahun 2004 dimana
Danau Chini yang mempunyai keunikan alami seluas 202 hektar adalah danau air tawar
kedua terbesar di Malaysia dan mempunyai 12 unjuran dikenali sebagai `laut', dengan
masing-masing mempunyai nama tersendiri. Bagi masyarakat Orang Asli yang menghuni di
danau itu sejak turun- temurun, mereka mengenali semua laut berserta namanya. Bagi
setengah penduduk setempat pula, mereka mengenali laut berkenaan berdasarkan nomor.
10 juga merupakan sebuah kekayaan kultural yang penting bagi mereka, yang mana dapat saja
hilang jika terjadi berbagai kerusakan ekologis yang ada di dalam Danau Chini.
Salah satu bagian yang memiliki peran cukup penting untuk menjaga nilai kultural ini
adalah keberadaan kalangan akademisi1 seperti yang dimiliki oleh pusat kajian Danau Chini
UKM, yang memiliki fokus kajian atas perubahan ekologis maupun sosial kultural di Danau
Chini. Dengan demikian, pada dasarnya akademisi sendiri juga memiliki pemaknaan yang
boleh jadi berbeda dari elemen- elemen lain yang ada di masyarakat tentang bagaimana nilai
dari sebuah ekosistem itu sendiri, termasuk di dalamnya adalah tentang Danau Chini.
Akademisi dengan pendekatan teoritis dan analisis ilmiah, tentu akan lebih dominan berkutat
pada asumsi dan pengamatan- pengamatan dibandingkan dengan kepentingan- pentingan
sosio- politik maupun ekonomis yang menjadi pandangan umum NGO maupun stakeholder
dan pemerintah, yang memang berkepentingan atas nilai- nilai tersebut.
Bentuk- bentuk nilai kultural lainnya adalah bagaimana masyarakat setempat memliki
cerita lain terkait dengan relasi mereka dengan „alam lain‟. Sebagaimana yang disebutkan
oleh ketua kampung Belimbing, bahwa pada beberapa waktu yang lalu sebelum Danau Chini
benar- benar menjadi sebuah kawasan pariwisata yang dikunjungi ramai wisatawan, orang-
orang lokal memiliki hubungan dengan „alam lain‟ yang mereka sebut dengan orang bunian.
Orang bunian ini merupakan terminologi dari masyarakat setempat (dan juga Malaysia pada
umumnya) untuk menyatakan keberadaan „alam lain‟. Dalam hal ini, alam dari manusia biasa
adalah alam yang nampak dan dapat dirasakan oleh panca indera, sedangkan alam mereka
merupakan alam yang lain, yang tidak dapat dijelaskan secara inderawi melainkan secara
kepercayaan semata.
Relasi antara masyarakat setempat dengan orang bunian ini menjadi salah satu
pembahasan yang kemudian menarik untuk dipelajari mengingat isu ini boleh jadi terkait
1
11 dengan keberadaan ekosistem yang ada disekitar Danau Chini. Kepercayaan terhadap relasi
manusia dengan „alam lain‟ itu juga dipengaruhi dengan kondisi alam yang masih alami. Bahkan dalam beberapa cerita yang juga diangkat oleh tetua kampung Gumum, terciptanya
Danau Chini itu sendiri juga sebenarnya juga merupakan akibat dari terbatasnya hubungan
antara manusia dengan alam. Dalam hal ini, tetua kampung Gumum menceritakan tentang
larangan memakan salah satu hasil alam, tetapi dilanggar oleh orang setempat. Dari
pelarangan itu kemudian dikisahkan muncul „orang suci‟2
yang mencancapkan tongkat
ketanah dan kemudian meminta masyarakat setempat untuk mencabut tongkat tersebut guna
mencegah datangnya petaka. Namun karena semua penduduk tidak boleh melakukan hal itu,
maka „orang suci‟ itu kemudian mencabut tongkat dan memancarlah air dari beberapa
tempat, yang sekarang menjadi Danau Chini dengan beberapa bagian yang disebut dengan
laut.
Cerita ini dapat memberi gambaran bahwa ada hubungan yang harus dijaga dengan
baik antara manusia (khususnya masyarakat setempat) dengan ekosistem yang ada di
sekitarnya. Dengan baiknya kondisi ekosistem sekitar, maka akan terjalin hubungan
kepercayaan yang selama ini dibangun oleh masyarakat sekitar dengan apa yang ada di
sekeliling mereka. Namun, dengan kerusakan ekosistem yang ada, maka relasi antara
keduanya juga akan terganggu. Termasuk di dalamnya adalah relasi antara masyarakat
setempat dengan orang bunian. Karena orang bunian dalam hal ini boleh jadi dalam
kepercayaan mereka memiliki kekuatan mistis dalam menjaga alam.
Hubungan yang baik antara masyarakat lokal dengan orang bunian dan ekosistem
sekeliling ini sangat bisa jadi menjadi salah satu pendorong bagi masyarakat setempat untuk
memapankan kesadaran yang baik dalam memperlakukan alam. Mereka biasanya
memanfaatkan alam hanya sebatas pada apa yang mereka butuhkan saja. Termasuk untuk
keperluan membuat rumah, membuat alat- alat kesenian tradisional, hingga kerajinan tangan,
2 Ora g Su i ya g diga arka oleh Bat
12 semua mereka ambil secara terbatas di hutan- hutan lokal sebatas yang mereka perlukan saja.
Disini kemudian juga menjadi salah satu penilaian penting bahawa mereka memiliki konsep
tersendiri bagi ekosistem yang lestari dihadapkan pada pemikiran orang- orang diluar mereka
yang memiliki kecenderungan untuk eksploitasi. Sebagaimana yang juga dikemukakan oleh
tetua kampung Gumum tentang eksploitasi hutan sejak jaman penjajahan Jepang3. Dimana
kesemuanya menunjukkan adanya perbedaan pandangan relasi, antara masyarakat lokal
dengan ekosistem berbanding masyarakat diluar mereka dengan ekosistem yang ada.
Degradasi ekosistem, Aktivitas NGO dan Pemerintah, Serta Konstruksi nilai Sosial Politik
Kerusakan ekosistem di Danau Chini merupakan isu yang paling parah jika
dihubungkan dengan apa yang hendak diharapkan oleh pemerintah dan masyarakat setempat
dari Danau Chini sebagai sebuah objek pariwisata nasional maupun internasional4, salah
satunya dengan pembangunan prasarana wisata seperti DAM. Padahal jika hendak dirunut
ulang ke belakang, maka yang pertama kali menjadi wisatawan dengan rutinitas tinggi adalah
wisatawan- wisatawan dari luar negeri. Begitupula dengan penelitian- penelitian tentang
Danau Chini, penelitian yang pertama dilakukan terhadap Danau Chini juga selalu
melibatkan orang luar negara. Dapat diambil kesimpulan sederhana, bahawa bagaimanapun
juga Danau Chini dengan segala problematikanya akan selalu menarik bagi masyarakat luar
Negara. Namun kemudian yang menjadi permasalahan adalah bagaimana masyarakat, NGO,
dan pihak pemerintah mampu mengkonstruksi pola kerjasama yang baik guna memapankan
eksistensi keelokan Danau Chini. Karena disadari ataupun tidak, kemudian degradasi
ekosistem itu sudah merambah pada aspek- aspek produktifitas alam, biodiversitas, dan juga
kegunaan dari ekosistem itu sendiri (Robbins, 2004). Hal ini menunjukkan bahwa
permasalahan yang ada di Danau Chini bukan saja permasalahan ekologis seperti
3
Pembalakan hasil hutan di Danau Chini sudah dimulai sejak jaman penjajahan Jepang sebelum tahun 1960an. Kemudian dilanjutkan dengan pembalakan hutan untuk pembukaan lahan perkebunan sawit sekitar tahun 1970an.
4
13 pencemaran lingkungan akibat unsur- unsur kimia baik dari bot, pestisida perkebunan,
maupun penambangan bijih besi saja yang hanya berimbas pada kerusakan ekosistem saja.
Lebih jauh dari itu, ternyata kerusakan ekosistem tersebut berujung pada permasalahan-
permasalahan sosial dan budaya sekaligus (untuk permasalahan yang terfokus pada isu
ekologis seperti polusi air silakan merujuk pada Ebrahimpour, 2007; Othman, 2007). Hal ini
bisa disebabkan karena dengan adanya kerusakan ekosistem tersebut pemenuhan kebutuhan
masyarakat menjadi terganggu, terutama berkaitan sumber daya air yang biasanya bias
dimanfaatkan oleh peduduk lokal untuk saling berinteraksi satu dengan yang lain. Misalnya
dengan jual beli antara masyarakat melayu dengan Orang Asli.
Berkenaan dengan kerusakan ekosistem di Danau Chini misalnya, Harian Metro pada
tahun 1999 sebenarnya sudah mengeluarkan pernyataan mengenai reaksi beberapa pihak atas
kerusakan ekosistem yang terjadi di Danau Chini, disebutkan bahwa isu yang dikeluarkan
sebuah badan bukan pemerintah (NGO), Wetlands International Asia- Pacific dalam sebuah
surat kabar setempat begitu mengagetkan mengenai kerusakan biodiversity di Danau Chini.
Salah satu penyebab dari munculnya laporan tersebut sangat bisa jadi merupakan reaksi atas
adanya DAM yang dibuat oleh pemerintah, yang kemudian menyebabkan adanya
kekurangan air yang ada di Danau Chini, dimana efeknya tidak hanya pada danau itu semata,
melainkan juga pada ekosistem di sekitar Danau Chini.5
Dalam hal ini kerusakan yang paling nyata dari keberadaan DAM tersebut adalah
keringnya air dan rusaknya sebagian hutan yang mengelilingi Danau Chini. Hal ini ternyata
ditanggapi dengan kurang cepat oleh pihak pemerintah, sebagaimana yang terungkap dari apa
yang disampaikan oleh koran New Straight Times pada tahun 1997:
“Too little too late - that seems to describe the Pahang Government's latest action to drain water from Danau Chini to retore it to its original state. Experts today said the chances of survival for the trees at Danau Chini were extremely slim as the raised water level of the lake had already killed them.”
5
14
(Terlalu sedikit, terlalu terlambat- tampaknya menggambarkan tindakan terbaru Pemerintah Pahang untuk mengalirkan air dari Danau Chini dalam usaha memperbaiki kerusakan menuju keadaan semula. Para ahli hari ini mengatakan, peluang untuk bertahan hidup pohon-pohon di Danau Chini sangat tipis berkenaan dengan naiknya tingkat air danau sudah mematikan mereka. Terj.)
Namun demikian, pemerintah segera memberikan respon manakala terdapat masukan
dari masyarakat orang melayu. Respon yang diambil ketika mendengar keluhan masyarakat
Kampung Belimbing ini, juga dapat dilihat ada kedekatan secara strukural maupun kultural
antara pemerintah dengan masyarakat lokal yang notabene adalah masyarakat melayu dan
memiliki struktur koordinasi lebih baik jika dibandingan dengan Orang Asli di Kampung
Gumum.
Penjelasan kedekatan hubungan ini adalah sebagai berikut, secara kultural,
masyarakat lokal selain Orang Asli yang ada di sekeliling Danau Chini adalah masyarakat
dengan mayoritas etnis Melayu. Hal ini memungkinkan adanya kemudahan koordinasi
diantara keduanya, dengan demikian apa yang diinginkan oleh pemerintah menjadi lebih
mudah untuk diaktualisasikan karena sudah saling memahami satu sama lain, setidaknya
secara kultural tersebut. Dengan kata lain ada kaitan antara kekuasaan, kewarganegaraan, dan
legitimasi yang berbalut pada identitas politik dan budaya (Preston, 1997). Kedua, hal
tersebut didukung dengan adanya pembentukan JKKK (Jawatan kuasa Kemajuan dan
Keselamatan Kampung, semacam administrasi desa) yang berhubungan langsung dengan
pihak pemerintah. Hal ini berbeda dengan apa yang didapat oleh Orang Asli, dimana mereka
secara etnis bukan melayu, dan juga pembentukan JKKK di kampung Orang Asli baru ada
pada tahun 2004. Secara otomatis, sebelum tahun 2004, apa saja aspirasi masyarakat Orang
Asli memang sangat sulit didengar oleh pemerintah. Baik pemerintah lokal maupun
pemerintah pusat, yang dalam hal ini pemerintah pusat merupakan pencetus ide
pembangunan DAM di Danau Chini. Karena memang, secara struktural mereka tidak
memiliki ikatan terhadap pemerintah. Hal inilah yang kemudian juga menjadi cerminan
bahwa masyarakat „kecil‟ dan minoritas terkadang mengalami kesulitan dalam mengakses
pembentukan kebijakan (Robb, 2002). Meskipun kemudian Orang Asli dalam wacana
kontemporer juga memiliki akses yang lebih luas selain melalui intitusi pemerintah dalam
15 departemen ini memiliki fokus untuk menjadi saluran aspirasi bagi masyarakat minoritas
Orang Asli di Malaysia.
DAM yang dibuat oleh pemerintah Malaysia tersebut rupanya memang salah satu
kebijakan yang kurang tepat6 yang dampak lain dari keberadaan DAM itu selain rusaknya
sebagian hutan di sekeliling Danau Chini, adalah juga musnahnya sebagian spesies ikan yang
ada di Danau Chini. Sebagaimana yang dilaporkan oleh Harian Metro pada tahun- tahun awal
pembentukan DAM tersebut (dalam hal ini tahun 1997):
“Beribu-ribu spesies ikan di Danau Chini mengalami ancaman pupus berikutan kemerosotan
mutu airnya akibat banyak pokok mati selepas paras air naik sejak setahun setengah lalu. Kenaikan paras air kepada 2.8 meter itu disebabkan pembinaan empangan di Sungai Chini yang terlalu tinggi
pada 1994.”
(Beribu- ribu spesies ikan di Danau Chini Mengalami ancaman kemusnahan sejalan dengan kemerosotan mutu aornya yang diakibatkan banyaknya pohon yang mati sejak ketinggian air naik satu setengah tahun yang lalu. Kenaikan tinggi air hingga 2.8 meter itu disebabkan revisi DAM di Sungai Chini yang terlalu tinggi pada 1994, Terj.)
Bermula dari pembuatan DAM di tahun 1994 inilah kemudian bermunculan pula
permasalahan ekosistem yang ada di Danau Chini. Meskipun pada akhirnya pemerintah
Malaysia mulai mengurangi tinggi daripada DAM tersebut sehingga air dapat masuk dengan
lebih baik dibandingkan pada tahun 1994 tersebut. Pemerintah Malaysia juga sudah berusaha
secara perlahan- lahan untuk memunculkan anjuran yang berupa kebijakan untuk
menselaraskan hubungan antara ekosistem dan manusia di Danau Chini. Salah satu bentuk
himbauan tersebut adalah dengan memberikan anjuran tentang penggunaan perabot- perabot
yang ramah terhadap lingkungan maupun alat transportasi yang tidak mengganggu alam,
dimana hal ini juga merupakan reaksi pemerintah atas masukan dari Wetland International-
Asia Pasifik yang semula ditanggapi secara negatif oleh pemerintah. Sebagaimana yang
sudah dijalankan sejak tahun 1997, sejalan dengan adanya masalah ekologis sebagai akibat
dari keberadaan DAM, dimana pemerintah lokal menyatakan bahwa:
“Pemerintah Pahang bercadang mengenakan syarat bot yang mempunyai reka bentuk yang
menarik dan tidak mencemarkan alam sekitar sahaja, dibenar beroperasi membawa wisatawan di Danau Chini. Langkah itu perlu kerana bot kayu yang digunakan sekarang, dikesan menyebabkan air
6
16
di Danau Chini tercemar kerana berlaku tumpahan minyak diesel yang digunakannya, manakala enjin yang bising, mengganggu wisatawan untuk mendengar bunyi serangga dan burung yang menjadi
tarikan di situ.”
(Pemerintah Pahang berencana mengeluarkan syarat bot yang memiliki bentuk yang menarik dan tidak mencemari alam saja, yang juga layak membawa wisatawan di Danau Chini. Langkah ini perlu karena bot kayu yang digunakan sekarang, dianggap menjadi penyebab air di Danau Chini tercemar karena terjadi tumpahan minyak diesel yang digunakan, disaat yang sama mesin yang bising, mengganggu wisatawan yang ingin mendengar bunyi serangga dan burung yang menjadi daya tarik disitu. Terj.)
Dengan kata lain, yang terjadi dalam hubungan antara ekosistem dan manusia,
khususnya antara pemerintah Malaysia dengan kelompok- kelompok masyarakat adalah
kurangnya komunikasi yang intens sehingga apa yang hendak disampaikan oleh kelompok
pecinta lingkungan dengan apa yang sedang dijalankan oleh pemerintah terkadang tidak
berjalan beriringan. Padahal, hal- hal yang demikian bisa menyebabkan nilai- nilai sosial
politis yang dapat dimunculkan dari ekosistem berkenaan sebagai kepentingan bersama
menjadi akan terganggu. Termasuk relasi antara masyarakat lokal dengan Orang Asli
terhadap pemerintah.
Nilai sosial politik yang semestinya dapat digunakan sebagai relasi dua arah, dimana
NGO dapat menjadi pendukung kebijakan pemerintah dan sekaligus menjaga ekesistensi
mereka sendiri (tanpa kehilangan independensi) dengan jalan dapat memberikan input atas
kebijakan pemerintah. Begitu pun, di saat yang sama, pemerintah jika mampu menjaga
hubungan baik dengan NGO atau kelompok masyarakat pecinta lingkungan akan
mendapatkan dukungan politis atas apa yang mereka ajukan sebagai bagian dari kebijakan
pemerintah. Disini, nilai- nilai sosial politis yang berwujud pada relasi mutualisme antara
NGO dan pemerintah akan berimbas pada stabilnya pemerintahan serta secara “oportunis”
pemerintah dapat memapankan kekuasaan yang dimiliki karena tidak memiliki oposisi yang
hanya mencari kesalahan saja melainkan “partner” yang selalu memberikan masukan bagi
pemerintahan yang lebih baik.
Hal diatas tentu juga penting jika kemudian dikaitkan dengan apa yang akan
masyarakat dapatkan sebagai buah kerjasama antara NGO yang memang memiliki relasi
cukup baik dengan masyarakat, sehingga apa- apa yang menjadi keinginan masyarakat lokal
dapat didengarkan oleh pemerintah melalui lebih banyak jalur. Sebagimana yang kemudian
17 menginginkan kerjasama yang lebih baik antara NGO dengan pemerintah dan tidak ada
kesinambungan antara keduanya. Di dalam Berita Harian tersebut dikatakan bahwa
Pemerintah Pahang kesal dengan tindakan Wetlands International Asia Pacific (WIAP) yang
membuat pernyataan terbuka kepada media mengenai kemusnahan sekurang-kurangnya 80
persen lingkungan Danau Chini. Padahal sebelumnya, pihak pemerintah sudah memberi
ruang kepada NGO itu bahwa mereka bebas untuk mengemukakan cadangan (rencana) serta
memberi nasihat dari segi ilmiah dalam usaha memelihara danau berkenaan. Hal ini
kemudian menjadi gambaran jelas bahwa kosistem Danau Chini sebenarnya berpotensi
memunculkan nilai sosial politik berupa relasi yang integral antara kelompok- kelompok di
dalam masyarakat dengan pemerintah.
Salah satu efek dari terbatasnya relasi antara pemerintah dengan masyarakat lokal di
sekeliling Danau Chini adalah Orang Asli dan penduduk setempat cenderung memiliki
aktivitas sendiri untuk memperbaiki kondisi Danau Chini. Salah satu yang memilih jalannya
sendiri adalah Uncle Rajan. Melihat kondisi seperti ini menyebabkan Uncle Rajan, yang
dikenal sebagai contact person Danau Chini di Lonely Planet7lebih memilih berkomunikasi dengan pihak di luar pemerintah. Misalnya dalam hal ini dia bekerja sama dengan sekolah-
sekolah di luar negara yang sedang mengadakan aktivitas liburan sekolah dengan melakukan
kunjungan ke objek pariwisata semacam Danau Chini.
Kerja sama antara Uncle Rajan dengan sekolah- sekolah dari luar negara dan juga
lembaga- lembaga asing8 ini misalnya sudah menghasilkan sedikit perbaikan bagi Danau
Chini. Salah satunya adalah pembukaan salah satu aliran sungai yang mengalir dari bukit
menuju Danau Chini. Meskipun menurutnya masih terdapat lagi empat sumber air yang
dapat mengalir menuju Danau Chini, tetapi setidaknya sekarang terdapat dua aliran sungai
7
Salah satu tempat yang menjadi rujukan di dalam buku Lonely Planetketika melakukan perjalanan ke Danau Chini adalah guest house Uncle Rajan, selain Lake Chini Resort. Disebutkan di dalam buku tersebut bahwa Uncle Rajan, yang menjadi pemilik guest house tersebut sangat mengerti tentang Orang Asli di sekitar Danau Chini dan ekosistem di Danau Chini itu sendiri. Silakan lihat tulisan Simon Richmond dengan judul Malaysia, Singapore dan Brunei terbitan Lonely Planet tahun 2007.
8
18 yang sudah boleh mengalir ke Danau Chini. Dan menurutnya hal tersebut sudah
membuahkan hasil, mengingat aliran sungai tersebut menyebabkan air di Danau Chini tidak
lagi menggenang saja melainkan bersirkulasi menurut aliran sungai yang sudah mulai dibuka.
Dan akhirnya memang, bagaimanapun juga perbaikan Danau Chini merupakan kewajiban
bersama, bukan saja kewajiban pihak pemerintah, bukan saja kewajiban masyarakat lokal,
melainkan siapa saja yang masih memiliki rasa kepedulian terhadap eksistensi alam yang
baik, termasuk dari masyarakat dari luar negeri.
IV. Kesimpulan
Danau Chini tidak dapat dipungkiri lagi merupakan ekosistem yang memiliki
beragam kompleksitas di dalamnya. Tempat ini memiliki potensi, permasalahan dan prospek
yang baik untuk menjadi sebuah asset bagi masyarakat setempat, Malaysia sebagai negara,
maupun regional dan internasional sebagai pemilik bersama keragaman ekosistem. Dari
beberapa penjelasan diatas, dapat diketahui beberapa poin penting mengenai apa saja nilai-
nilai yang dimunculkan dari keberadaan Danau Chini dan juga bagaimana kontestasi
perspektif nilai tersebut di dalam masyarakat (maupun juga negara) termasuk di dalamnya
adalah efek dari kontestasi perspektif tersebut. Kontestasi tersebut adalah bagaimana
masyarakat yang terbagi menjadi masyarakat orang melayu dan Orang Asli harus bersama-
sama dengan pemerintah membangun Danau Chini sebagai potensi bersama. Khususnya
perhatian yang lebih besar kepada Orang Asli meskipun minoritas, dikarenakan merekalah
yang dalam keseharian berinteraksi secara langsung dengan ekosistem yang ada. Sehingga
potensi- potensi yang ada tersebut dapat dikelola secara berkesinambungan tanpa ada (atau
setidaknya minimalisasi) konflik interest antara masyarakat etnis melayu dengan Orang Asli
sebagai kelompok minoritas.
Referensi
Ali, Sariha Mohd, Sumpah Seri Gumum di Chini, Berita Harian 10 Juni 2007
Aziz, Azran, Leong Shen-li, New Strait Times 9 April 1997, Experts: Slim Chance of Saving Tasik Chini Trees
Branco, Manuel, Ethnicity, Democracy, and Economic Development: A Pluralist Approach dalam Clary, Betsy
Jane, Wilfred Dolfsma, dan Deborah M. Figart (2006), Ethics and The Market: Insights from Social
19 Callicot, J. Baird (2001), Multicultural Environmental Ethics, American Academy of Arts & Sciences diakses dari
https://www.amacad.org/publications/fall2001/callicott.aspx 15 September 2009
D. Jary dan J. Jary (ed.) (1999), Unwin Hyman Dictionary of Sociology, edisi ke-2 Leicester: Bookmart Ltd
Department of Orang Asli Affairs (tanpa tahun), Livelihood and Indigenous Community Issues, diakses dari
http://www.ipieca.org/activities/biodiversity/downloads/workshops/feb_04/Session5/Abd_Hamid_J
HEOA.pdf 15 September 2009
Ebrahimpour, Mohammad, and Musrifah Idris (2007), Heavy metal concentrations in water and sediments in Tasik Chini, a freshwater lake, Malaysia, Environmental Monitoring and Assessment, Volume 141, Numbers 1-3: 297-307
Fukuyama , Francis (2006), Development and The Limits of Institutional Design, (Russia: Global Development
Network, 2006) diakses dari http://www.gdnet.org/pdf2/gdn_library/annual_conferences/
seventh_annual_conference/Fukuyama_plenary1.pdf 15 September 2009
Gomes, Alberto G. (2004), The Orang Asli of Malaysia, IIAS Neswletter, #35, November 2004
Idris, Mushrifah, Khatijah Hussin, and Abdul Lattif Mohammad (eds.) (2005), Sumber Asli Danau Chini, Bangi;
Penerbit UKM (Idris, Mushrifah, Khatijah Hussin, and Abdul Lattif Mohammad (eds.) (2005), Natural
Resource of Danau Chini, Bangi, Penerbit UKM)
Kinsman, Phil, Re-negotiating the Boundaries of Race and Citizenship: the Black Environment Network and E iro e tal a d Co ser atio Bodies dala Paul Mil our e 1997 , ‘e eali g ‘ural Others : Representation, Power and Indentity in the British Countryside, Pinter: Herndon, VA
Kutty, Ahmad Abas, et al (2009), Kepelbagaian Ikan di Tasik Chini, Pahang, Malaysia (Fish Diversity at Lake Chini, Pahang, Malaysia), Sains Malaysiana 38(5): 625–630
Kymlicka, Will (2001), Politics in the Vernacular. Nationalism, Multikulturalism, and Citizenship, Oxford
University Press: Oxford, New York
Mamat, Mohd Rafi, Legenda Dua Tasik, Berita Harian 13 September 2008
Millenium Ekosistem Assessment (2003), Ekosistem and Human Well- being: A Framework for Assessment, Island Press, MA diakses dari http://www.millenniumassessment.org/en/Framework.aspx 15 September 2009
Mohamad, Sulong dan Mohd Ekhwan Toriman (2006), Implikasi Struktur Kunci Air Keatas Aktiviti Pariwisata dan Penduduk Disekitar Sungai Chini dan Danau Chini, Pahang, Jurnal e- Bangi, Jilid 1, Bilangan 1, Julai- Disember 2006
Mohamed, Shariffudin, Spesies Ikan Terjejas, Harian Metro 11 April 1997
Muhamad- Barzani, Gasim, Mohd. Ekhwan Toriman, Sahibin Abd Rahim, Mir Sujaul Islam, Tan Choon
Chek, Hafizan Juahir (2007), Hydrology a d Water Quality Assess e t of the Tasik Chi i s Feeder
Rivers, Pahang, Malaysia, American- Eurasian Journal Agriculture and Environmental Science 2 (1):
39- 47
Othman, Muhamad Shuhaemi, et al. (2007), Water Quality Changes in Chini Lake, Pahang, West Malaysia,
Environment Monitoring Assessment 131: 279– 292
Parekh, Bhikhu (1999), What is multikulturalism?, diakses dari
http://www.india-seminar.com/1999/484/484%20parekh.htm 15 September 2009
Pfaff , William (1993), The Wrath of Nations. Civilization and the Furies of Nationalism, Simon and Schuster:
New York
Podunavac, Milan, The Principle of Citizenship and Pluralism in Identity dalam Golubovic, Zagorka dan George
F. McLean (1999) Models of Identities in Postcomunist Society, Cultural Heritage and Contemporary
Change Series IVA, Central And Eastern Europe, Volume 10
Preston, P. W. (1997), Political/ Cultural Identity: Citizens and Nations in a Global Era, Sage Publication:
20 Richmond, Simon (2007), Malaysia, Singapore & Brunei, Lonely Planet: Footscray, Vic.
Robb, Caroline M. (2002), Can the Poor Influence Policy? Participatory Poverty Assessment in the Developing
World, International Monetary Fund and The World Bank: Washington DC
Robbins, Paul (2004), Political Ecology: Critical Introduction to Geography, Blackwell Publishing: Oxford
Samas, Halmi, Peti Harta Karun Ditemui di Tasik Chini, Berita Harian 18 Oktober 1994
Salleh, Noorwati, UKM Bantu Pulihara Keindahan Tasik Chini, Berita Harian 14 Juni 2004 ……….., Usaha Pulih Tasik Chini, Berita Harian 23 April 1999
Songoku, Kritikan NGO Ada Asas, Harian Metro 31 Mei 1999
Smith, Mark J. and P. Pangsapa. 2008. Environment & Citizenship: Integrating Justice, Responsibility and Civic
Engagement. New York; Zed Books.
Toshihiro, Nobuta (2008), Living on the Periphery: Development and Islamization among the Orang Asli in Malaysia, Kyoto University Press: Kyoto
*Mahasiswa Master dan Asisten Peneliti di Institut Alam Sekitar dan Pembangunan- Universiti Kebangsaan Malaysia. Paper ini didanai oleh proyek penelitian Institut Alam Sekitar dan Pembangunan- Universiti Kebangsaan Malaysia. Contact person penulis: cahyo_seftyono@yahoo.com