• Tidak ada hasil yang ditemukan

NILAI KEARIFAN DIBALIK BAHASA PADA ADAT

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "NILAI KEARIFAN DIBALIK BAHASA PADA ADAT"

Copied!
10
0
0

Teks penuh

(1)

1

NILAI KEARIFAN DIBALIK BAHASA PADA ADAT PERKAWINAN

KOMUNITAS SEDULUR SIKEP DESA BATUREJO

KECAMATAN SUKOLILO, PATI

Mohammad Rifan Aditya DR1

Intisari

Komunitas Sedulur Sikep di desa Baturejo kecamatan Sukolilo, Pati memiliki keunikan bahasa Jawa yang mereka gunakan dalam kehidupan sehari-hari bahkan pada pelaksanaan prosesi adat perkawinan dalam ijab kabulnya, tidak terlepas dan dipengaruhi oleh ajaran dan pedoman Samin yang sejak lama telah melekat hingga turun-temurun.Selain itu tatacara atau adat perkawinan pada Sedulur Sikep memiliki maksud dan tujuan yang baik di setiap tahapannya, baik itu dari nyuwuk, nyuwito atau nga wulo, kondo, diseksekno sampai ijab kabulnya. Dan dari tiap tahapan tersebut terdapat banyak nilai-nilai kearifan yang tersirat dalam tiap dialek, istilah, sikap, dan cara berpikir komunitas Sedulur Sikep.

Kata Kunci : Sedulur Sikep, Samin, Bahasa, Perkawinan

A.

Pendahuluan

A.1 Latar Belakang

Di zaman globalisasi seperti sekarang ini, kemajuan ilmu pengetahuan dan

teknologi membawa perkembangan yang cukup menggembirakan sehingga dapat

berpengaruh pada lingkungan, kehidupan sosial serta nilai-nilai kehidupan dalam

masyarakat. Adanya kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi menyebabkan manusia

sebagai individu yang terus berinovasi, akan dan mampu menguasai alam sehingga dapat

mempengaruhi kehidupannya, khususnya dalam kehidupan sosial manusia. Sehingga

muncullah kesadaran akan pentingnya menjaga dan memelihara keseimbangan lingkungan

dengan kehidupan.

Telah diketahui bahwa pada masa lampau, leluhur atau nenek moyang kita sudah

memiliki cara yang bijaksana dalam menjalani dan memelihara lingkungan, sikap serta

1

(2)

2 perilaku dalam hidup. Dengan cara mereka sendiri sesuai dengan nilai-nilai, pola berpikir

dan pedoman yang mereka yakini melalui tradisi-tradisi, adat, serta budaya yang

berlangsung dijamannya. Seperti diungkapkan Sari Wahjuni:

“Pengertian Kearifan Lokal dilihat dari kamus Inggris Indonesia, terdiri dari 2 kata

yaitu kearifan (wisdom) dan lokal (local). Local berarti setempat dan wisdom sama dengan kebijaksanaan. Dengan kata lain maka local wisdom dapat dipahami sebagai gagasan-gagasan, nilai-nilai-nilai, pandangan-pandangan setempat (local) yang bersifat bijaksana, penuh kearifan, bernilai baik, yang tertanam dan diikuti oleh anggota masyarakatnya” (Wahjuni, 9 Januari 2010).

Diantara cepatnya arus perkembangan globalisasi ini terdapat suatu masyarakat

yang masih bertahan pada pedoman nilai-nilai kehidupan lokal mereka. Dengan pola pikir

mereka yang khas, unik, dan berbeda dengan masyarakat modern di masa kini. Mereka

adalah komunitas Samin. Mereka lebih suka disebut Sedulur Sikep. Masyarakat

mengenalnya dengan penganut ajaran Samin Sorosentiko. Bagi mereka logika pemaknaan

bahasa dijadikan alat perekat komunitas mereka sendiri, alat memelihara hubungan

kekerabatan, bahkan sebagai alat perjuangan tanpa kekerasan. Saya memusatkan perhatian

pembahasan dalam tulisan ini berkaitan dengan adat perkawinan Sedulur Sikep di

Kecamata Sukolilo, Kabupaten Pati tepanya di desa Baturejo.

A.2 Tujuan

Dalam mempelajari suatu kebudayaan masyarakat, kita harus mempelajari

bahasanya pula. Mempelajari bahasa menjadi langkah paling awal dan paling penting untuk

mencapai tujuan utama etnografi dalam mendeskripsikan suatu kebudayaan dengan

batasan-batasannya sendiri (Spredley, 2006:26). Berhubungan dengan itu, yang menjadi

maksud dan tujuan dari tulisan ini adalah untuk menjelaskan istilah bahasa dan

pemaknaannya pada perkawinan Sedulur Sikep, yang berhubungan sangat erat berkaitan

dengan nilai-nilai kearifan. Disamping maksud tulisan ini untuk memberikan informasi

juga mengajak pembaca, masyarakat umum maupun pembuat kebijakan (pemerintah) untuk

(3)

3

B.

Pembahasan

B.1 Latar Belakang dan Asal Mula Komunitas Sedulur Sikep

Latar belakang komunitas etnis Sedulur Sikep ini sebagian besar adalah petani baik

pemilik maupun buruh tani yang hidup di kawasan pegunungan Kendeng, tepatnya di Desa

Baturejo, Sukolilo, 27 kilometer selatan pusat pemerintahan Kabupaten Pati dan berbatsan

dengan Kabupaten Purwodadi. Awal mulanya komunitas etnis ini berasal dari Blora, dan

kemudian berkembang ke luar Kabupaten Blora termasuk ke Desa Baturejo, Sukolilo. Di

kecamatan Sukolilo sendiri, tercatat lebih dari 300 keluarga. Jumlah komunitas ini paling

banyak terdapat di Desa Baturejo, dan lainnya dapat ditemukan di Desa Kedumulyo,

Baleadi, serta sebagian Kayen (Efendi, 2010).

Nama “Sedulur Sikep” ini muncul dari masyarakat yang penganut dan pengikut

ajaran Samin (saminists), karena masyarakat luar menyebut mereka dengan “Wong Samin”

sedangkan nama “sa min” itu dikonotasikan dengan arti perbuatan yang tidak baik. Padahal

sesungguhnya nama “samin” diberikan dan berasal dari nama pencetus ajaran ini, beliau adalah Samin Surosentiko. Nama asli Samin Surosentiko adalah Raden Kohar, kemudian

diubah menjadi Samin. Nama Samin dipilih karena lebih bernafas kerakyatan (Mumfangati,

dkk, 2004:22). Dia lahir di Desa Ploso, Kediren sebelah utara Randublatung, Kabupaten

Blora, Jawa Tengah. Ayahnya, Raden Surowijaya masih mempunyai pertalian darah

dengan Kyai Keti di Rajegwesi, Bojonegoro dan Pangeran Kusumoningayu yang berkuasa

di Kabupaten Sumoroto (kini menjadi daerah kecil di Kabupaten Tulungagung) pada

1802-1826 (Zaenal, 2009).

Samin Surosentiko wafat dalam pengasingan (diasingkan oleh Belanda) di kota

Padang, Sumatra Barat pada tahun 1914. Hal ini sebagai akibat atau reaksi karena

pemerintah kolonial Belanda yang sewenang-wenang. Perlawanan dilakukan tidak secara

fisik tetapi berwujud penentangan terhadap segala peraturan dan kewajiban yang harus

dilakukan rakyat terhadap Belanda misalnya dengan tidak membayar pajak

(http://id.wikipedia.org/wiki/Ajaran_Samin). Ajaran saminisme menyebar tak semata di

Blora tapi meluas hingga Bojonegoro, Tuban, Lamongan, Madiun, Jember, Banyuwangi,

(4)

4 Sampai sekarang ajarannya tidak mati setelah dia meninggal hampir 100 tahun yang lalu

dalam pengasingannya.

Masyarakat Samin lebih suka menyebut dirinya “Wong Sikep” atau “Sedulur Sikep”.

Kata “sedulur” (bahasa Jawa) berarti dulur : saudara atau sahabat dengan ater-ater (bahasa Jawa) atau awalan “sa-” sehingga memiliki makna satu saudara atau satu keluarga.

Pengertian sedulur bagi mereka dapat ditujukan terhadap orang lain yang baru saja kenal.

Jadi pengertian sedulur kadang-kadang tidak hanya sedulur sebagai pengakuan tetapi juga

masih ada ikatan keluarga (Mumfangati, dkk, 2004:142). Hal ini senada dengan Utomo

bahwa demikian masyarakat samin memandang orang lain adalah keluarga atau sedulur

(Utomo, 2008). Sedangkan kata “sikep” ini berarti orang yang bertanggung jawab, berasal

dari kata sikep (golek isine kekep) yang berarti mencari (makan) nafkah yang jujur, serta

sikep rabi maksudnya tindakan yang bertanggung jawab. Selain itu nama samin sendiri

juga berasal dari kata “sami-sami amin” yang artinya rakyat sama-sama setuju

(mengamini). Seperti diungkapkan Mumfangati bahwa Sikep dapat diartikan sebagai orang

yang mempunyai tanggung jawab atau orang yang bertanggung jawab (Mumfangati, dkk,

2004:27).

B.2 Bahasa Masyarakat Samin (Sedulur Sikep)

Bahasa pun merupakan salah satu kekuatan konservatif paling kuat dalam

kebudayaan manusia. Simbol-simbol dan bentuk-bentuk linguistik harus bersifat stabil dan

konstan agar bisa bertahan terhadap pengaruh waktu yang melarutkan dan merusak

(Cassirer, 1987:341). Mengacu pada pandangan Cassirer itu, tampaknya komunitas etnis

Sedulur Sikep telah menyadarinya. Terbukti bahasa yang mereka gunakan unutk

berkomunikas sehari-hari tetap bertahan hingga sekarang. Komunitas Sikep menggunakan

bahasa Jawa lugu, atau bahasa Jawa yang sederhana atau bersahaja. Menurut pemikiran

mereka, orang Jawa itu harus berbahasa Jawa dan tidak selayaknya berbahasa asing.

Termasuk dalam proses ijab kabul dalam pernikahan dalam komunitas Sikep.

“Bahasa dalam hal ini dimaksudkan satuan lingual yang muncul dalam tuturan

(5)

5

Adam), maka hampir setiap kata Samin memiliki makna filosofis dan “politis”

(Abdullah, 2005).

Sependapat dengan Wakit Abdullah, saya juga akan memfokuskan bahasa (lingua)

komunitas Sikep dari sudut pandang etnolinguistik. Dalam komunitas ini bahasa yang

terwujud dalam ungkapan-ungkapan lisan masyarakat Sikep, pemakaiannya

mempertimbangkan unsur tradisi dan mempengaruhi kehidupan masyarakat Sikep,

sehingga menjadi ciri khas, unik dan berbeda dari bahasa masyarakat Jawa pada umumnya.

Mengutip dari Abdullah, bahwa:

“Ciri-ciri bahasa Jawa Samin antara lain (1) secara fonologis, dominannya vocal /E/ dari pada /I/ dan /O/ dari pada /U/, (2) secara leksikal, dominannya partikel penekan lEh dari pada /lah/ dan /tO/, (3) secara dialektal, unsur leksikal tertentu yang menunjukkan ciri-ciri dialek bahasa Jawa pesisir, (4) secara morfologis, terdapatnya unsur morfologis enklitik em dalam bahasa Jawa Samin (dalam bahasa Surakarta mu), (5) dan secara etnolinguistik, terdapat unsur leksikal yang memiliki makna

cultural tertentu dalam bahasa Jawa Samin”(Abdullah, 2010).

Ini yang membedakan bahasa Jawa orang Sikep dibanding orang Jawa umumnya

(Jogja atau Surakarta). Sebagai contoh; ngelEh (Samin) dan ngelIh (Jogja) artinya lapar,

nggonEm (Samin) dan nggonMu (Surakarta) artinya punyamu. Selain itu orang Samin tidak

mengenal tingkatan bahasa Jawa (ngoko, madya, krama). Dalam ajaran yang diberikan oleh

Samin Surosentiko bahwa siapapun sama. Mereka tidak membeda-bedakan siapa pun.

Manusia hidup mempunyai kedudukan dan tingkatan yang sama. Yang penting sikapnya

(ngajeni) agar dihormati (kajen) (Mumfangati, dkk, 2004:36). Oleh karena itu, mereka

sehari-harinya dengan siapa saja (sedulur), baik itu pejabat atau petani, orang tua atau anak

kecil, orang miskin atau kaya, priyayi atau orang biasa, mereka ajak bicara dengan bahasa

Jawa ngoko.

Dari sudut etnolunguistik, latar belakang bahasa Sikep yang unik berhubungan

dengan konsep, pandangan-pandangan, serta tradisi dari beberapa bidang. Namun

selanjutnya saya hanya mengkhususkan pembahasan ini pada pandangan orang Sikep

(6)

6 B.3 Pandangan Sedulur Sikep Terhadap Perkawinan

Bagi mereka perkawinan adalah sebuah ikatan sakral yang tidak perlu dicatatkan.

Perkawinan disebutnya sikep rabi atau sikep laki sebagai sesuatu yang sangat prinsip bagi

mereka. Dalam ajarannya, perkawinan itu sangat penting. Itu merupakan alat untuk meraih

keluhuran budi yang seterusnya untuk menciptakan atmaja tama (anak yang mulia).

Mereka menganut sistem monogami (hanya beristri satu) dan tidak umum terjadi

perceraian. Menurut mereka perkawinan hanya sekali seumur hidup. Semboyan mereka

“siji kanggo sak la wa se, becik ka witane becik sa k la wa se” artinya satu untuk selamanya, baik diawalnya baik juga untuk selamanya. Kerukunan dan kesederhanaan menjadi falsafah

hidup mereka.

Sedulur Sikep masih berpedoman pada ajaran Samin yang memiliki pandangan dan

pengayatan kepercayaan mengenai perkawinan yang berbeda dengan masyarakat pada

umumnya. Mereka enggan mencatatkan perkawinan pada Kantor Urusan Agama atau

kantor catatan sipil. Karena pemerintahan adalah lembaga yang dijalankan oleh manusia,

bapak-ibu Samin juga manusia sehingga pernikahan itu telah terwakili oleh bapak-ibu yang

juga manusia (Rosyid, 2008). Dengan mengundang banyak orang─seperti sedulur mereka

dari Blora, Kudus, kerabat, akademisi yang pernah meneliti disana, tetangga, teman baik

satu aliran maupun di luar Sikep, bahkan pejabat desa dan kecamatan ikut diundang─untuk

menyaksikan hajatannya sudah cukup, bagi mereka.

Meskipun perkawinan tidak terwujud dalam perjanjian tertulis, komitmen sehidup

semati dipegang teguh oleh mereka. Selain itu, diharapkan perkawinan jangan sampai

terjadi perceraian. Perpisahan baru terjadi bila salah satu meningggal dunia. Orang Sikep

berharap sebaiknya jangan menikah dengan orang luar Samin. Namun bila terjadi, maka

orang luar itu harus mau masuk warga Sikep ─menjadi sedulur─ dan mau menyesuaikan

dengan kehidupan Sedulur Sikep. Sebaliknya, jika ada dari orang Sikep yang hendak

menikah dengan orang di luar Sikep maka ia harus keluar dari komunitas Sikep.

B.4 Tatacara Perkawinan pada Masyarakat Samin (Sedulur Sikep)

Sebelum pernikahan diupacarakan, pasangan tersebut harus sudah saling mengenal,

(7)

7 Samin (Sedulur Sikep) pada umunya sebagai berikut. Tahapan pertama, nyuwuk,

kedatangan keluarga calon pengantin pria ke keluarga calon pengantin putri untuk

menanyakan keberadaan calon wanitanya, apakah sudah mempunyai calon (suami) atau

masih legan (gadis, bebas, single). Jika si gadis belum memiliki calon suami, pihak

keluarga pria bermaksud akan menjodohkan (ngrukunke) dengan anaknya. Bila sudah

terjadi kesepakatan antara orang tua pria dan orang tua wanita maka selanjutnya pihak

keluarga calon putra menentukan hari untuk nyuwito, dan kemudian calon pengantin pria

diperbolehkan nyuwito atau ngawulo.

Calon pengantin pria harus melalui tahapan nyuwito atau nga wulo, yakni

mengabdikan waktu dan tenaganya pada keluarga calon wanitanya sampai keduanya siap

berumah tangga. Setelah menentukan waktu untuk nyuwito, biasanya pengantin pria hidup

bersama keluarga pengantin wanita dalam satu rumah (nga wulo). Tahapan ini juga

memberikan kesempatan keluarga calon mertua untuk mengenal tabiat dan sikap hidup

calon menantunya, sebab setelah menikah sang menantu akan tinggal bersama mereka jika

belum memiliki rumah sendiri. Nyuwito bisa berlangsung hingga satu atau dua tahun dan

diakhiri dengan hubungan seksual (sikep rabi) atau kawin pasangan yang akan menikah.

Apabila ada kecocokan, telah rukun (padha dhemene) dan sudah sikep rabi ,maka

rencana pernikahan diteruskan dan tahapan selanjutnya adalah kondo (menyatakan), yakni

pernyataan pengantin pria kepada mertua (bapak-ibu pengantin wanita) bahwa mereka telah

melakukan kewajiban sebagai suami terhadap istri/bersenggama (sikep rabi). Pengantin

pria dengan mengatakan:

““Turun sampeyan a sli wedok lan empun ngerti ga wene.” (Anak bapak/ibu asli

perempuan dan sudah dapat saya kawini)” (Mumfangati, dkk, 2004:146).

Namun sebaliknya, bila pada saat nyuwito atau nga wulo itu di antara calon pria dan wanita

ini tidak ada kecocokan sehingga tidak melakukan hubungan suami istri, maka perkawinan

tidak akan dilaksanakan dan dilanjutkan. Tahap terakhir, diseksekno (disaksikan) oleh

keluarga kedua mempelai dan oleh banyak orang. Dengan mengundang kerabatnya

termasuk yang tinggalnya jauh, seperti sedulur mereka dari Blora, Kudus, akademisi yang

(8)

8 pejabat desa dan kecamatan ikut diundang untuk menyaksikan pernikahannya. Pernikahan

bagi komunitas Sikep disebut pasuwitan berasal dari kata “nyuwito”. Sedulur Sikep

menggunakan bahasa Jawa dalam ijab kabulnya, ini menyangkut kepercayaan dan

kebiasaan mereka sejak dulu yang memakai bahasa Jawa:

“wit jeng nabi, kula lanang damel kula rabi tata jeneng wedok pangaran ... kukuh dhemen janji buk nikah mpun kula lakeni(sejak nabi yang mulia, saya seorang laki-laki, pekerjaan saya memperistri perempuan, mengatur perikehidupan perempuan yang bernama ... sudah berjanji setia, sudah tidur bersama)” (Abdullah, 2005).

Prinsip pernikahan Sikep bahwa anak (calon mempelai) antara laki-laki dan

perempuan mempunyai orang tua. Orang tua perempuan (ibu) berkewajiban merukunkan

anak dan orang tua lelaki (bapak) berkewajiban menyetujui anak melaksanakan pernikahan

sehingga yang berkewajiban dan berhak menikahkan anak adalah orang tuanya sendiri.

Dalam aturan Sedulur Sikep, usia tidak menentukan seseorang diperbolehkan menikah atau

tidak. Patokannya lebih pada karep (keinginan) dan kesediaan. Meskipun dua sejoli masih

dibawah umur, pasuwitan tetap bisa dilangsungkan apabila masing-masing sudah karep”

(Effendi, 2010b). Pasuwitan Sedulur Sikep tidak berlangsung meriah. Kerukunan,

kejujuran dan kesederhanaan yang menjadi falsafah hidup mereka, juga diterapkan dalam

perkawinan.

C.

Kesimpulan dan Rekomendasi

Kesimpulan yang didapat dari uraian pembahasan diatas mengenai nilai kearifan

dalam perkawinan komunitas Sedulur Sikep di desa Baturejo kecamatan Sukolilo, Pati

adalah keunikan bahasa Jawa yang mereka gunakan dalam kehidupan sehari-hari bahkan

pada pelaksanaan prosesi adat perkawinan dalam ijab kabulnya, tidak terlepas dan

dipengaruhi oleh ajaran dan pedoman Samin yang sejak lama telah melekat hingga

turun-temurun. Ciri-ciri bahasa Jawa Samin secara fonologis menunjukkan dialek bahasa Jawa

pesisir (BJP) dengan adanya dominasi fonetis-fonetis yang berbeda dengan bahasa Jawa

pada umumnya (Jogja atau Surakarta). Selain dialek bahasa Jawa Samin yang bersifat

bahasa Jawa pesisir, tetapi juga istilah bahasa dan pemaknaannya pada perkawinan Sedulur

(9)

9 Selain itu tatacara atau adat perkawinan pada Sedulur Sikep memiliki maksud dan

tujuan yang baik di setiap tahapannya, baik itu dari nyuwuk, nyuwito atau nga wulo, kondo,

diseksekno sampai ijab kabulnya. Sesungguhnya ajaran Samin pada dasarnya memiliki

banyak segi positif terutama berkaitan dengan kejujuran dan kesederhanaan. Namun sering

disalahartikan oleh orang awam, sebagai sikap ketidakpatuhan. Oleh karena itu, alangkah

baiknya pembuat kebijakan (pemerintah) lebih mengerti dan menghargai sikap, adat dan

cara berpikir masyarakat Samin untuk mewujudkan pembangunan yang berdasarkan

kearifan dan bangsa yang lebih beradab dan menghargai pluralitas.

D.

Daftar Pustaka

Cassirer, Ernst. 1987. Manusia dan Kebudayaan : Sebuah Esai Tentang Manusia. Jakarta: Gramedia.

Efendi, M Noor. 2010a. “Tokoh Sedulur Sikep Mantu (1) Akademisi, Mantan Pejabat

hingga Masyarakat Umum hadir”, Suara Merdeka, Kamis, 11 November, hlm. A, B kolom 1.

────────. 2010b. “Tokoh Sedulur Sikep Mantu (2-Habis) Enggan Mencatatkan

Perkawinan”, Suara Merdeka, Jum’at, 12 November, hlm. A, B kolom 2.

Mumfangati, Titi dkk. 2004. Kearifan Lokal di Lingkungan Masyarakat Samin, Kabupaten Blora, Provinsi Ja wa Tengah. Kementrian Kebudayaan dan Pariwisata, Balai Kajian Sejarah dan Nilai Tradisional, Yogyakarta.

Spredley, James. 2006. Metode Etnografi. Yogyakarta: Tiara Wacana.

E.

Pustaka Laman

Abdullah, Wakit. 2005. “Masyarakat Samin Di Kabupaten Blora: Tradisi, Bahasa, Dan

Modernitas (Studi Awal Etnolinguistik)”.

http://www.google.co.id/url?sa=t&source=web&cd=1&ved=0CBQQFjAA&url=htt

p%3A%2F%2Fperpustakaan.uns.ac.id%2Fjurnal%2Fupload_file%2F34-fullteks.doc&rct=j&q=MASYARAKAT%20SAMIN%20DI%20KABUPATEN%2 0BLORA%3A%20TRADISI%2C%20BAHASA%2C%20DAN%20MODERNITA S%20(STUDI%20AWAL%20ETNOLINGUISTIK)&ei=4n8qTav4DoPUrQe92-z2DA&usg=AFQjCNEOhYHiKe8BKGlht3HZtltepJmf4g&sig2=Ttwtp5YK85AON osOF8X2qw&cad=rja. Diunduh pada 1 Januari 2011 pukul 20.32 WIB.

────────. 2010. “Bahasa Jawa Orang Samin Di Kabupaten Blora”.

(10)

http://sastra.um.ac.id/wp-content/uploads/2010/01/085-Wakit-Abdullah-UNS-10 Bahasa-Jawa-Orang-Samin-di-Kabupaten-Blora.pdf. Diunduh pada 1 Januari 2011 pukul 20.27 WIB.

Anonimous. Tanpa Tahun. “Ajaran Samin”. http://id.wikipedia.org/wiki/Ajaran_Samin. Diunduh pada 23 Desember 2010 pukul 20.23 WIB.

Asikin, Saroni. 2004. “Orang Samin di Sukolilo, Pati (1) Wong Sikep yang Skeptis”. http://www.suaramerdeka.com/harian/0403/17/nas9.htm. Diunduh pada 23 Desember 2010 pukul 19.57 WIB.

Rosyid, Moh. 2008. “Perkawinan ala Samin”.

http://suaramerdeka.com/v1/index.php/read/cetak/2008/08/20/27123/Perkawinan-ala-Samin-. Diunduh pada 23 Desember 2010 pukul 20.35 WIB.

Utomo, Stefanus Laksanto. 2008. “Menyoal Perluasan Pabrik Semen Mengusik Kearifan

Lokal Masyarakat Sikep di Pati - Jateng”.

http://lpshhilc.multiply.com/journal/item/10/Menyoal_Perluasan_Pabrik_Semen_M engusik_Kearifan_Lokal_Masyarakat_Sikep_di_Pati_-_Jateng. Diunduh pada 21 Desember 2010 pukul 09.19 WIB.

Wahjuni, Sari. 2010. “Pemulihan Lingkungan Dengan Kearifan Lokal”. http://pangasuhbumi.com/article/20582/pemulihan-lingkungan-dengan-kearifan-lokal.html. Diunduh pada 23 Desember 2010 pukul 19.49 WIB.

Zaenal. 2009. “KOMUNITAS SAMIN, PERINTIS SIASAT PERLAWANAN TANPA

KEKERASAN ORISINIL KHAS INDONESIA”.

Referensi

Dokumen terkait

menghasilkan endapan/ sludge hitam didasar larutan. Larutan tetap berwarna hijau pekat yang kepekatannya tergantung pada jumlah logam uranium terlarut.. Dari Tabel 1

Pada ayat tersebut dijelaskan tentang suatu Negara yang mempercayakan administrasi pemerintahannya kepada seorang pemimpin. Setiap orang muslim mempunyai hak ikut dalam

Variabel terikat pada penelitian ini yaitu Gross Domestic Product (GDP) dengan satuan (USD) adalah total moneter atau nilai pasar dari semua barang jadi dan

Peraturan Bupati Lombok Barat Nomor 13 Tahun 2012 tentang Pelimpahan sebagian kewenangan di bidang Perizinan kepada Kepala Badan Penanaman Modal dan Pelayanan

Mengikuti ketentuan protokol perjalanan yang ditetapkan oleh Pemerintah bagi peserta seleksi yang berasal dari wilayah yang berbeda dengan lokasi ujian.. Tidak

Secara teori pola patahan HGM yang terjadi jika diberi beban kemudian pecah adalah seperti pada gambar 4.18 dimana HGM akan membantu memperlambat laju retakan

Dari hasil perhitungan kekuatan bending dan modulus elastisitas biokomposit diperoleh data-data yang ditampilkan pada tabel 1. sehingga didapatkan grafik Hubungan antara

Anggapan seperti itu harus dijawab oleh penyelenggara pendidikan di Perguruan Tinggi Hindu dengan melahirkan mahasiswa-mahasiswa yang intelek dan bertanggungjawab terhadap