1
NILAI KEARIFAN DIBALIK BAHASA PADA ADAT PERKAWINAN
KOMUNITAS SEDULUR SIKEP DESA BATUREJO
KECAMATAN SUKOLILO, PATI
Mohammad Rifan Aditya DR1
Intisari
Komunitas Sedulur Sikep di desa Baturejo kecamatan Sukolilo, Pati memiliki keunikan bahasa Jawa yang mereka gunakan dalam kehidupan sehari-hari bahkan pada pelaksanaan prosesi adat perkawinan dalam ijab kabulnya, tidak terlepas dan dipengaruhi oleh ajaran dan pedoman Samin yang sejak lama telah melekat hingga turun-temurun.Selain itu tatacara atau adat perkawinan pada Sedulur Sikep memiliki maksud dan tujuan yang baik di setiap tahapannya, baik itu dari nyuwuk, nyuwito atau nga wulo, kondo, diseksekno sampai ijab kabulnya. Dan dari tiap tahapan tersebut terdapat banyak nilai-nilai kearifan yang tersirat dalam tiap dialek, istilah, sikap, dan cara berpikir komunitas Sedulur Sikep.
Kata Kunci : Sedulur Sikep, Samin, Bahasa, Perkawinan
A.
Pendahuluan
A.1 Latar Belakang
Di zaman globalisasi seperti sekarang ini, kemajuan ilmu pengetahuan dan
teknologi membawa perkembangan yang cukup menggembirakan sehingga dapat
berpengaruh pada lingkungan, kehidupan sosial serta nilai-nilai kehidupan dalam
masyarakat. Adanya kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi menyebabkan manusia
sebagai individu yang terus berinovasi, akan dan mampu menguasai alam sehingga dapat
mempengaruhi kehidupannya, khususnya dalam kehidupan sosial manusia. Sehingga
muncullah kesadaran akan pentingnya menjaga dan memelihara keseimbangan lingkungan
dengan kehidupan.
Telah diketahui bahwa pada masa lampau, leluhur atau nenek moyang kita sudah
memiliki cara yang bijaksana dalam menjalani dan memelihara lingkungan, sikap serta
1
2 perilaku dalam hidup. Dengan cara mereka sendiri sesuai dengan nilai-nilai, pola berpikir
dan pedoman yang mereka yakini melalui tradisi-tradisi, adat, serta budaya yang
berlangsung dijamannya. Seperti diungkapkan Sari Wahjuni:
“Pengertian Kearifan Lokal dilihat dari kamus Inggris Indonesia, terdiri dari 2 kata
yaitu kearifan (wisdom) dan lokal (local). Local berarti setempat dan wisdom sama dengan kebijaksanaan. Dengan kata lain maka local wisdom dapat dipahami sebagai gagasan-gagasan, nilai-nilai-nilai, pandangan-pandangan setempat (local) yang bersifat bijaksana, penuh kearifan, bernilai baik, yang tertanam dan diikuti oleh anggota masyarakatnya” (Wahjuni, 9 Januari 2010).
Diantara cepatnya arus perkembangan globalisasi ini terdapat suatu masyarakat
yang masih bertahan pada pedoman nilai-nilai kehidupan lokal mereka. Dengan pola pikir
mereka yang khas, unik, dan berbeda dengan masyarakat modern di masa kini. Mereka
adalah komunitas Samin. Mereka lebih suka disebut Sedulur Sikep. Masyarakat
mengenalnya dengan penganut ajaran Samin Sorosentiko. Bagi mereka logika pemaknaan
bahasa dijadikan alat perekat komunitas mereka sendiri, alat memelihara hubungan
kekerabatan, bahkan sebagai alat perjuangan tanpa kekerasan. Saya memusatkan perhatian
pembahasan dalam tulisan ini berkaitan dengan adat perkawinan Sedulur Sikep di
Kecamata Sukolilo, Kabupaten Pati tepanya di desa Baturejo.
A.2 Tujuan
Dalam mempelajari suatu kebudayaan masyarakat, kita harus mempelajari
bahasanya pula. Mempelajari bahasa menjadi langkah paling awal dan paling penting untuk
mencapai tujuan utama etnografi dalam mendeskripsikan suatu kebudayaan dengan
batasan-batasannya sendiri (Spredley, 2006:26). Berhubungan dengan itu, yang menjadi
maksud dan tujuan dari tulisan ini adalah untuk menjelaskan istilah bahasa dan
pemaknaannya pada perkawinan Sedulur Sikep, yang berhubungan sangat erat berkaitan
dengan nilai-nilai kearifan. Disamping maksud tulisan ini untuk memberikan informasi
juga mengajak pembaca, masyarakat umum maupun pembuat kebijakan (pemerintah) untuk
3
B.
Pembahasan
B.1 Latar Belakang dan Asal Mula Komunitas Sedulur Sikep
Latar belakang komunitas etnis Sedulur Sikep ini sebagian besar adalah petani baik
pemilik maupun buruh tani yang hidup di kawasan pegunungan Kendeng, tepatnya di Desa
Baturejo, Sukolilo, 27 kilometer selatan pusat pemerintahan Kabupaten Pati dan berbatsan
dengan Kabupaten Purwodadi. Awal mulanya komunitas etnis ini berasal dari Blora, dan
kemudian berkembang ke luar Kabupaten Blora termasuk ke Desa Baturejo, Sukolilo. Di
kecamatan Sukolilo sendiri, tercatat lebih dari 300 keluarga. Jumlah komunitas ini paling
banyak terdapat di Desa Baturejo, dan lainnya dapat ditemukan di Desa Kedumulyo,
Baleadi, serta sebagian Kayen (Efendi, 2010).
Nama “Sedulur Sikep” ini muncul dari masyarakat yang penganut dan pengikut
ajaran Samin (saminists), karena masyarakat luar menyebut mereka dengan “Wong Samin”
sedangkan nama “sa min” itu dikonotasikan dengan arti perbuatan yang tidak baik. Padahal
sesungguhnya nama “samin” diberikan dan berasal dari nama pencetus ajaran ini, beliau adalah Samin Surosentiko. Nama asli Samin Surosentiko adalah Raden Kohar, kemudian
diubah menjadi Samin. Nama Samin dipilih karena lebih bernafas kerakyatan (Mumfangati,
dkk, 2004:22). Dia lahir di Desa Ploso, Kediren sebelah utara Randublatung, Kabupaten
Blora, Jawa Tengah. Ayahnya, Raden Surowijaya masih mempunyai pertalian darah
dengan Kyai Keti di Rajegwesi, Bojonegoro dan Pangeran Kusumoningayu yang berkuasa
di Kabupaten Sumoroto (kini menjadi daerah kecil di Kabupaten Tulungagung) pada
1802-1826 (Zaenal, 2009).
Samin Surosentiko wafat dalam pengasingan (diasingkan oleh Belanda) di kota
Padang, Sumatra Barat pada tahun 1914. Hal ini sebagai akibat atau reaksi karena
pemerintah kolonial Belanda yang sewenang-wenang. Perlawanan dilakukan tidak secara
fisik tetapi berwujud penentangan terhadap segala peraturan dan kewajiban yang harus
dilakukan rakyat terhadap Belanda misalnya dengan tidak membayar pajak
(http://id.wikipedia.org/wiki/Ajaran_Samin). Ajaran saminisme menyebar tak semata di
Blora tapi meluas hingga Bojonegoro, Tuban, Lamongan, Madiun, Jember, Banyuwangi,
4 Sampai sekarang ajarannya tidak mati setelah dia meninggal hampir 100 tahun yang lalu
dalam pengasingannya.
Masyarakat Samin lebih suka menyebut dirinya “Wong Sikep” atau “Sedulur Sikep”.
Kata “sedulur” (bahasa Jawa) berarti dulur : saudara atau sahabat dengan ater-ater (bahasa Jawa) atau awalan “sa-” sehingga memiliki makna satu saudara atau satu keluarga.
Pengertian sedulur bagi mereka dapat ditujukan terhadap orang lain yang baru saja kenal.
Jadi pengertian sedulur kadang-kadang tidak hanya sedulur sebagai pengakuan tetapi juga
masih ada ikatan keluarga (Mumfangati, dkk, 2004:142). Hal ini senada dengan Utomo
bahwa demikian masyarakat samin memandang orang lain adalah keluarga atau sedulur
(Utomo, 2008). Sedangkan kata “sikep” ini berarti orang yang bertanggung jawab, berasal
dari kata sikep (golek isine kekep) yang berarti mencari (makan) nafkah yang jujur, serta
sikep rabi maksudnya tindakan yang bertanggung jawab. Selain itu nama samin sendiri
juga berasal dari kata “sami-sami amin” yang artinya rakyat sama-sama setuju
(mengamini). Seperti diungkapkan Mumfangati bahwa Sikep dapat diartikan sebagai orang
yang mempunyai tanggung jawab atau orang yang bertanggung jawab (Mumfangati, dkk,
2004:27).
B.2 Bahasa Masyarakat Samin (Sedulur Sikep)
Bahasa pun merupakan salah satu kekuatan konservatif paling kuat dalam
kebudayaan manusia. Simbol-simbol dan bentuk-bentuk linguistik harus bersifat stabil dan
konstan agar bisa bertahan terhadap pengaruh waktu yang melarutkan dan merusak
(Cassirer, 1987:341). Mengacu pada pandangan Cassirer itu, tampaknya komunitas etnis
Sedulur Sikep telah menyadarinya. Terbukti bahasa yang mereka gunakan unutk
berkomunikas sehari-hari tetap bertahan hingga sekarang. Komunitas Sikep menggunakan
bahasa Jawa lugu, atau bahasa Jawa yang sederhana atau bersahaja. Menurut pemikiran
mereka, orang Jawa itu harus berbahasa Jawa dan tidak selayaknya berbahasa asing.
Termasuk dalam proses ijab kabul dalam pernikahan dalam komunitas Sikep.
“Bahasa dalam hal ini dimaksudkan satuan lingual yang muncul dalam tuturan
5
Adam), maka hampir setiap kata Samin memiliki makna filosofis dan “politis”
(Abdullah, 2005).
Sependapat dengan Wakit Abdullah, saya juga akan memfokuskan bahasa (lingua)
komunitas Sikep dari sudut pandang etnolinguistik. Dalam komunitas ini bahasa yang
terwujud dalam ungkapan-ungkapan lisan masyarakat Sikep, pemakaiannya
mempertimbangkan unsur tradisi dan mempengaruhi kehidupan masyarakat Sikep,
sehingga menjadi ciri khas, unik dan berbeda dari bahasa masyarakat Jawa pada umumnya.
Mengutip dari Abdullah, bahwa:
“Ciri-ciri bahasa Jawa Samin antara lain (1) secara fonologis, dominannya vocal /E/ dari pada /I/ dan /O/ dari pada /U/, (2) secara leksikal, dominannya partikel penekan lEh dari pada /lah/ dan /tO/, (3) secara dialektal, unsur leksikal tertentu yang menunjukkan ciri-ciri dialek bahasa Jawa pesisir, (4) secara morfologis, terdapatnya unsur morfologis enklitik em dalam bahasa Jawa Samin (dalam bahasa Surakarta mu), (5) dan secara etnolinguistik, terdapat unsur leksikal yang memiliki makna
cultural tertentu dalam bahasa Jawa Samin”(Abdullah, 2010).
Ini yang membedakan bahasa Jawa orang Sikep dibanding orang Jawa umumnya
(Jogja atau Surakarta). Sebagai contoh; ngelEh (Samin) dan ngelIh (Jogja) artinya lapar,
nggonEm (Samin) dan nggonMu (Surakarta) artinya punyamu. Selain itu orang Samin tidak
mengenal tingkatan bahasa Jawa (ngoko, madya, krama). Dalam ajaran yang diberikan oleh
Samin Surosentiko bahwa siapapun sama. Mereka tidak membeda-bedakan siapa pun.
Manusia hidup mempunyai kedudukan dan tingkatan yang sama. Yang penting sikapnya
(ngajeni) agar dihormati (kajen) (Mumfangati, dkk, 2004:36). Oleh karena itu, mereka
sehari-harinya dengan siapa saja (sedulur), baik itu pejabat atau petani, orang tua atau anak
kecil, orang miskin atau kaya, priyayi atau orang biasa, mereka ajak bicara dengan bahasa
Jawa ngoko.
Dari sudut etnolunguistik, latar belakang bahasa Sikep yang unik berhubungan
dengan konsep, pandangan-pandangan, serta tradisi dari beberapa bidang. Namun
selanjutnya saya hanya mengkhususkan pembahasan ini pada pandangan orang Sikep
6 B.3 Pandangan Sedulur Sikep Terhadap Perkawinan
Bagi mereka perkawinan adalah sebuah ikatan sakral yang tidak perlu dicatatkan.
Perkawinan disebutnya sikep rabi atau sikep laki sebagai sesuatu yang sangat prinsip bagi
mereka. Dalam ajarannya, perkawinan itu sangat penting. Itu merupakan alat untuk meraih
keluhuran budi yang seterusnya untuk menciptakan atmaja tama (anak yang mulia).
Mereka menganut sistem monogami (hanya beristri satu) dan tidak umum terjadi
perceraian. Menurut mereka perkawinan hanya sekali seumur hidup. Semboyan mereka
“siji kanggo sak la wa se, becik ka witane becik sa k la wa se” artinya satu untuk selamanya, baik diawalnya baik juga untuk selamanya. Kerukunan dan kesederhanaan menjadi falsafah
hidup mereka.
Sedulur Sikep masih berpedoman pada ajaran Samin yang memiliki pandangan dan
pengayatan kepercayaan mengenai perkawinan yang berbeda dengan masyarakat pada
umumnya. Mereka enggan mencatatkan perkawinan pada Kantor Urusan Agama atau
kantor catatan sipil. Karena pemerintahan adalah lembaga yang dijalankan oleh manusia,
bapak-ibu Samin juga manusia sehingga pernikahan itu telah terwakili oleh bapak-ibu yang
juga manusia (Rosyid, 2008). Dengan mengundang banyak orang─seperti sedulur mereka
dari Blora, Kudus, kerabat, akademisi yang pernah meneliti disana, tetangga, teman baik
satu aliran maupun di luar Sikep, bahkan pejabat desa dan kecamatan ikut diundang─untuk
menyaksikan hajatannya sudah cukup, bagi mereka.
Meskipun perkawinan tidak terwujud dalam perjanjian tertulis, komitmen sehidup
semati dipegang teguh oleh mereka. Selain itu, diharapkan perkawinan jangan sampai
terjadi perceraian. Perpisahan baru terjadi bila salah satu meningggal dunia. Orang Sikep
berharap sebaiknya jangan menikah dengan orang luar Samin. Namun bila terjadi, maka
orang luar itu harus mau masuk warga Sikep ─menjadi sedulur─ dan mau menyesuaikan
dengan kehidupan Sedulur Sikep. Sebaliknya, jika ada dari orang Sikep yang hendak
menikah dengan orang di luar Sikep maka ia harus keluar dari komunitas Sikep.
B.4 Tatacara Perkawinan pada Masyarakat Samin (Sedulur Sikep)
Sebelum pernikahan diupacarakan, pasangan tersebut harus sudah saling mengenal,
7 Samin (Sedulur Sikep) pada umunya sebagai berikut. Tahapan pertama, nyuwuk,
kedatangan keluarga calon pengantin pria ke keluarga calon pengantin putri untuk
menanyakan keberadaan calon wanitanya, apakah sudah mempunyai calon (suami) atau
masih legan (gadis, bebas, single). Jika si gadis belum memiliki calon suami, pihak
keluarga pria bermaksud akan menjodohkan (ngrukunke) dengan anaknya. Bila sudah
terjadi kesepakatan antara orang tua pria dan orang tua wanita maka selanjutnya pihak
keluarga calon putra menentukan hari untuk nyuwito, dan kemudian calon pengantin pria
diperbolehkan nyuwito atau ngawulo.
Calon pengantin pria harus melalui tahapan nyuwito atau nga wulo, yakni
mengabdikan waktu dan tenaganya pada keluarga calon wanitanya sampai keduanya siap
berumah tangga. Setelah menentukan waktu untuk nyuwito, biasanya pengantin pria hidup
bersama keluarga pengantin wanita dalam satu rumah (nga wulo). Tahapan ini juga
memberikan kesempatan keluarga calon mertua untuk mengenal tabiat dan sikap hidup
calon menantunya, sebab setelah menikah sang menantu akan tinggal bersama mereka jika
belum memiliki rumah sendiri. Nyuwito bisa berlangsung hingga satu atau dua tahun dan
diakhiri dengan hubungan seksual (sikep rabi) atau kawin pasangan yang akan menikah.
Apabila ada kecocokan, telah rukun (padha dhemene) dan sudah sikep rabi ,maka
rencana pernikahan diteruskan dan tahapan selanjutnya adalah kondo (menyatakan), yakni
pernyataan pengantin pria kepada mertua (bapak-ibu pengantin wanita) bahwa mereka telah
melakukan kewajiban sebagai suami terhadap istri/bersenggama (sikep rabi). Pengantin
pria dengan mengatakan:
““Turun sampeyan a sli wedok lan empun ngerti ga wene.” (Anak bapak/ibu asli
perempuan dan sudah dapat saya kawini)” (Mumfangati, dkk, 2004:146).
Namun sebaliknya, bila pada saat nyuwito atau nga wulo itu di antara calon pria dan wanita
ini tidak ada kecocokan sehingga tidak melakukan hubungan suami istri, maka perkawinan
tidak akan dilaksanakan dan dilanjutkan. Tahap terakhir, diseksekno (disaksikan) oleh
keluarga kedua mempelai dan oleh banyak orang. Dengan mengundang kerabatnya
termasuk yang tinggalnya jauh, seperti sedulur mereka dari Blora, Kudus, akademisi yang
8 pejabat desa dan kecamatan ikut diundang untuk menyaksikan pernikahannya. Pernikahan
bagi komunitas Sikep disebut pasuwitan berasal dari kata “nyuwito”. Sedulur Sikep
menggunakan bahasa Jawa dalam ijab kabulnya, ini menyangkut kepercayaan dan
kebiasaan mereka sejak dulu yang memakai bahasa Jawa:
“wit jeng nabi, kula lanang damel kula rabi tata jeneng wedok pangaran ... kukuh dhemen janji buk nikah mpun kula lakeni” (sejak nabi yang mulia, saya seorang laki-laki, pekerjaan saya memperistri perempuan, mengatur perikehidupan perempuan yang bernama ... sudah berjanji setia, sudah tidur bersama)” (Abdullah, 2005).
Prinsip pernikahan Sikep bahwa anak (calon mempelai) antara laki-laki dan
perempuan mempunyai orang tua. Orang tua perempuan (ibu) berkewajiban merukunkan
anak dan orang tua lelaki (bapak) berkewajiban menyetujui anak melaksanakan pernikahan
sehingga yang berkewajiban dan berhak menikahkan anak adalah orang tuanya sendiri.
Dalam aturan Sedulur Sikep, usia tidak menentukan seseorang diperbolehkan menikah atau
tidak. Patokannya lebih pada karep (keinginan) dan kesediaan. Meskipun dua sejoli masih
dibawah umur, pasuwitan tetap bisa dilangsungkan apabila masing-masing sudah karep”
(Effendi, 2010b). Pasuwitan Sedulur Sikep tidak berlangsung meriah. Kerukunan,
kejujuran dan kesederhanaan yang menjadi falsafah hidup mereka, juga diterapkan dalam
perkawinan.
C.
Kesimpulan dan Rekomendasi
Kesimpulan yang didapat dari uraian pembahasan diatas mengenai nilai kearifan
dalam perkawinan komunitas Sedulur Sikep di desa Baturejo kecamatan Sukolilo, Pati
adalah keunikan bahasa Jawa yang mereka gunakan dalam kehidupan sehari-hari bahkan
pada pelaksanaan prosesi adat perkawinan dalam ijab kabulnya, tidak terlepas dan
dipengaruhi oleh ajaran dan pedoman Samin yang sejak lama telah melekat hingga
turun-temurun. Ciri-ciri bahasa Jawa Samin secara fonologis menunjukkan dialek bahasa Jawa
pesisir (BJP) dengan adanya dominasi fonetis-fonetis yang berbeda dengan bahasa Jawa
pada umumnya (Jogja atau Surakarta). Selain dialek bahasa Jawa Samin yang bersifat
bahasa Jawa pesisir, tetapi juga istilah bahasa dan pemaknaannya pada perkawinan Sedulur
9 Selain itu tatacara atau adat perkawinan pada Sedulur Sikep memiliki maksud dan
tujuan yang baik di setiap tahapannya, baik itu dari nyuwuk, nyuwito atau nga wulo, kondo,
diseksekno sampai ijab kabulnya. Sesungguhnya ajaran Samin pada dasarnya memiliki
banyak segi positif terutama berkaitan dengan kejujuran dan kesederhanaan. Namun sering
disalahartikan oleh orang awam, sebagai sikap ketidakpatuhan. Oleh karena itu, alangkah
baiknya pembuat kebijakan (pemerintah) lebih mengerti dan menghargai sikap, adat dan
cara berpikir masyarakat Samin untuk mewujudkan pembangunan yang berdasarkan
kearifan dan bangsa yang lebih beradab dan menghargai pluralitas.
D.
Daftar Pustaka
Cassirer, Ernst. 1987. Manusia dan Kebudayaan : Sebuah Esai Tentang Manusia. Jakarta: Gramedia.
Efendi, M Noor. 2010a. “Tokoh Sedulur Sikep Mantu (1) Akademisi, Mantan Pejabat
hingga Masyarakat Umum hadir”, Suara Merdeka, Kamis, 11 November, hlm. A, B kolom 1.
────────. 2010b. “Tokoh Sedulur Sikep Mantu (2-Habis) Enggan Mencatatkan
Perkawinan”, Suara Merdeka, Jum’at, 12 November, hlm. A, B kolom 2.
Mumfangati, Titi dkk. 2004. Kearifan Lokal di Lingkungan Masyarakat Samin, Kabupaten Blora, Provinsi Ja wa Tengah. Kementrian Kebudayaan dan Pariwisata, Balai Kajian Sejarah dan Nilai Tradisional, Yogyakarta.
Spredley, James. 2006. Metode Etnografi. Yogyakarta: Tiara Wacana.
E.
Pustaka Laman
Abdullah, Wakit. 2005. “Masyarakat Samin Di Kabupaten Blora: Tradisi, Bahasa, Dan
Modernitas (Studi Awal Etnolinguistik)”.
http://www.google.co.id/url?sa=t&source=web&cd=1&ved=0CBQQFjAA&url=htt
p%3A%2F%2Fperpustakaan.uns.ac.id%2Fjurnal%2Fupload_file%2F34-fullteks.doc&rct=j&q=MASYARAKAT%20SAMIN%20DI%20KABUPATEN%2 0BLORA%3A%20TRADISI%2C%20BAHASA%2C%20DAN%20MODERNITA S%20(STUDI%20AWAL%20ETNOLINGUISTIK)&ei=4n8qTav4DoPUrQe92-z2DA&usg=AFQjCNEOhYHiKe8BKGlht3HZtltepJmf4g&sig2=Ttwtp5YK85AON osOF8X2qw&cad=rja. Diunduh pada 1 Januari 2011 pukul 20.32 WIB.
────────. 2010. “Bahasa Jawa Orang Samin Di Kabupaten Blora”.
http://sastra.um.ac.id/wp-content/uploads/2010/01/085-Wakit-Abdullah-UNS-10 Bahasa-Jawa-Orang-Samin-di-Kabupaten-Blora.pdf. Diunduh pada 1 Januari 2011 pukul 20.27 WIB.
Anonimous. Tanpa Tahun. “Ajaran Samin”. http://id.wikipedia.org/wiki/Ajaran_Samin. Diunduh pada 23 Desember 2010 pukul 20.23 WIB.
Asikin, Saroni. 2004. “Orang Samin di Sukolilo, Pati (1) Wong Sikep yang Skeptis”. http://www.suaramerdeka.com/harian/0403/17/nas9.htm. Diunduh pada 23 Desember 2010 pukul 19.57 WIB.
Rosyid, Moh. 2008. “Perkawinan ala Samin”.
http://suaramerdeka.com/v1/index.php/read/cetak/2008/08/20/27123/Perkawinan-ala-Samin-. Diunduh pada 23 Desember 2010 pukul 20.35 WIB.
Utomo, Stefanus Laksanto. 2008. “Menyoal Perluasan Pabrik Semen Mengusik Kearifan
Lokal Masyarakat Sikep di Pati - Jateng”.
http://lpshhilc.multiply.com/journal/item/10/Menyoal_Perluasan_Pabrik_Semen_M engusik_Kearifan_Lokal_Masyarakat_Sikep_di_Pati_-_Jateng. Diunduh pada 21 Desember 2010 pukul 09.19 WIB.
Wahjuni, Sari. 2010. “Pemulihan Lingkungan Dengan Kearifan Lokal”. http://pangasuhbumi.com/article/20582/pemulihan-lingkungan-dengan-kearifan-lokal.html. Diunduh pada 23 Desember 2010 pukul 19.49 WIB.
Zaenal. 2009. “KOMUNITAS SAMIN, PERINTIS SIASAT PERLAWANAN TANPA
KEKERASAN ORISINIL KHAS INDONESIA”.