• Tidak ada hasil yang ditemukan

Signifikansi Pemekaran Daerah di Indones

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Signifikansi Pemekaran Daerah di Indones"

Copied!
12
0
0

Teks penuh

(1)

Hubungan Pusat dan Daerah

Signifikansi Pemekaran Daerah di Indonesia

Dita Tetyarini [11/312043/SP/24480] Clara Stella A [11/312339/SP/24534] Dias Prasongko [11/312395/SP/24543] Laras Manjali [11/317817/SP/24706] Alan Griha Y [11/317917/SP/24800] Ariesta Budi [08/267271/SP/22838]

Jurusan Politik dan Pemerintahan

Universitas Gadjah Mada

(2)

Latar Belakang

Pada era Orde Baru pimpinan Presiden Soeharto, penyelenggaraan negara ditandai oleh pola-pola kepemerintahan yang otoriter dan sangat sentralistik. Akibatnya, pemerintah sangat mendominasi hampir seluruh aspek kehidupan masyarakat, dengan bukti konkrit yakni, pengekangan kebebasan berbicara, berserikat dan berkumpul. Namun demikian, rezim ini mulai menunjukkan kehancuran pada medio ‘90an. Saat itu, gelombang demokratisasi mulai ‘menjangkiti’ Indonesia. Akhirnya, pada 1998 era Orde Baru benar-benar runtuh. Keruntuhan rezim Orde Baru ditandai dengan mundurnya Presiden Soeharto dari kursi kepresidenan yang telah diduduki selama lebih dari tiga dasa warsa. Keruntuhuan ini merupakan akibat dari kegagalan Orde Baru dalam mewujudkan negara Indonesia yang demokratis. Oleh sebab itu, jatuhnya Presiden Soeharto dari tampuk kekuasaan berdampak pada perubahan pola-pola pemerintahan di Indonesia.

Runtuhnya rezim Orde Baru tersebut nampaknya membawa angin segar bagi masyarakat Indonesia. Pemerintahan Indonesia mulai berubah dan mengarah pada pemerintahan yang lebih demokratis. Pemerintahan yang dinilai lebih demokratis ini kemudian ditandai dengan banyaknya kewenangan yang dimiliki daerah setelah keruntuhan Orde Baru. Proses demokratisasi tersebut salah satunya diwujudkan dengan adanya otonomi daerah dalam pola-pola desentralisasi. Seiring dengan pelaksanaan otonomi daerah di Indonesia, hubungan antara pemerintahan pusat dengan daerah yang dulu timpang kini lebih seimbang, sehingga pemerintah pusat tidak bisa lagi sewenang-wenang untuk mengatur pemerintah daerah.

(3)

Namun demikian, otonomi daerah yang diamanatkan oleh Undang-Undang (UU) No. 22 Tahun 1999 yang diubah lagi ke dalam UU No. 32 Tahun 2004, nyatanya hanyalah semacam slogan, yang utopis. Saat ini, pelaksanaan otonomi daerah dalam wujud pemekaran daerah yang dilaksanakan secara nyata belum mampu mensejahterakan masyarakat di daerah seperti yang diharapkan pada awalnya. Kebijakan ini yang dahulu dilakukan guna mengantisipasi adanya penimbunan kekuasaan oleh pemeritah pusat, dijadikan alasan oleh daerah sebagai upaya mencari ‘keuntungan’ semata, melalui dana-dana dari APBN. Selain itu, pemekaran daerah telah kehilangan autentiksitasnya, karena hanya dipakai sebagai alat untuk mengejar kekuasaan semata. Munculnya fenomena ‘raja-raja’ kecil di daerah menjadi bukti yang sahih tetang hal tersebut. Parahnya, pelaksanan pemekaran daerah kini sering di barengi dengan kemunculan konflik-konflik yang timbul akibat pemekaran daerah.

Oleh sebab itu, tulisan ini ingin mencoba melihat kembali tentang signifikansi pemekaran daerah di Indonesia. Melihat implikasinya yang sangat luas, pemekaran daerah atau pembentukan daerah baru perlu memiliki aturan-aturan yang jelas serta dapat dipertanggung jawabkan oleh daerah. Menggingat untuk saat ini daerah di Indonesia yang telah banyak dimekarkan sejak tahun 1999 sampai sekarang setelah dilakukan evaluasi masih belum mampu menciptakan masyarakat yang makmur dan sejahtera.

Dalam tulisan ini, Kalimantan Utara (Kaltara) menjadi salah satu objek yang ingin kita kaji lebih dalam mengenai pelaksanaan pemekaran daerah di sana. Daerah ini memang sampai sekarang masih hangat dibicarakan oleh para ahli politik karena baru saja diresmikan menjadi daerah otonom baru. Tulisan ini juga ingin melihat dinamika perjalanan daerah tersebut hingga mencapai kesepatan untuk dimekarkan, yang dikontekskan dengan tingkat kehidupan perekonomian dan sosial masyarakat daerah itu.

Perspektif Teoritik

(4)

tersebut. Kedua, lembaga-lembaga tersebut akan direkrut secara demokratis. Berbagai keputusan akan diambil berdasarkan prosedur demokratis.

Smith (Dalam Abdullah 2011: 21) juga mengungkapkan bahwa desentralisasi mencakup beberapa elemen penting. Pertama, desentralisasi memerlukan pembatasan area, yang bisa didasarkan pada tiga hal, yaitu pola spasial kehidupan sosial dan ekonomi, rasa identitas politik, dan efisiensi pelayanan publik yang bisa dilaksanakan. Hal inilah yang kami analisa sebagai kekuatan suatu daerah untuk menuntut diadakannya pemekaran daerah, dari daerah induk ke dalam daerah-daerah otonom baru. Kedua, desentralisasi meliputi pula pendelegasian wewenang, baik itu kewenangan politik maupun kewenangan birokratik.

Menurut Abdullah (2011: 22) penjelasan lebih lanjut tentang pertimbangan efisiensi ekonomi yang menjadi dasar bagi penentuan batas daerah otonomi baru meliputi:

(1) biaya perjalanan dan komunikasi rendah;

(2) sejauh mana pemerintah daerah mampu memenuhi kebutuhan finansial, tanah, dan sumber daya lainnya dari dalam daerahnya sendiri sehingga meminimalkan ketergantungan ekonomi,

(3) minimalisasi biaya yang berasal dari akibat aktivitas dalam suatu daerah yang ber-spill over dan menyebabkan biaya lainnya;

(4) fasilitasi kolaborasi dan koordinasi diantara pelayanan yang diberikan;

(5) menyesuaikan wilayah dengan badan swasta, sukarela, dan publik beserta kepentingan terkait untuk memfasilitasi kerja sama dan koordinasi guna kepentingan bersama dan interdependensi.

Pemekaran daerah otonom itu bukan hal yang baru dalam tata kelola pemerintahan di Indonesia. Menurut Pratikno (2006) sejak sistem pemerintahan di Indonesia cenderung sentralistis pada masa Orde Baru, pemerintah juga telah banyak dilakukan pembentukan daerah otonom baru. Distrik-distrik yang semakin menguat karakter urbannya kemudian menjadi Kota Administratif, kemudian dalam perkembangan lebih lanjut akan menjadi Kotamadya setingkat Kabupaten.

(5)

terjadi. Namun jika diteliti secara mendalam, arah kebijakan pemekaran daerah otonom yang ada saat ini belum banyak mempertimbangkan kepentingan nasional.

Pemekaran Daerah

Pemekaran daerah berdasarkan UU No. 32 Tahun 2004 adalah suatu proses membagi satu daerah administratif (daerah otonom) yang sudah ada menjadi dua atau lebih daerah otonom baru. Sedangkan menurut Effendy (2008: 2), pemekaran daerah merupakan suatu proses pembagian wilayah menjadi lebih dari satu wilayah, dengan tujuan meningkatkan pelayanan dan mempercepat pembangunan. Pemekaran wilayah juga diharapkan dapat menciptakan kemandirian daerah sebagai salah satu kunci dari keberhasilan otonomi daerah.

(6)

Jadi, jika ingin memekarkan suatu Kecamatan, syarat-syarat inilah yang harus dipenuhi. Selain itu, pemekaran kecamatan harus juga diatur oleh peraturan daerah kabupaten atau kota tentang pembentukan kecamatan dan paling sedikit yang dimuat adalah nama kecamatan, nama ibukota kecamatan, batas wilayah dan nama desa yang berada didalam kecamatan yang akan dimekarkan.

Prosedur Pemekaran Daerah

Fenomena pembentukan Daerah Otonom Baru (DOB) merupakan implikasi langsung dari pemberlakuan UU No. 22 Tahun 1999 dan penggantinya, UU No. 32 Tahun 2004. Kedua UU tersebut telah mengakomodasi peluang daerah untuk membentuk daerah baru termasuk melalui format pemekaran. Meskipun begitu UU terbaru yaitu UU No. 32 Tahun 2004 tidak secara lugas mengatur tentang tujuan memekarkan daerah otonom. Legalisasi pemekaran daerah menemukan titik terang melalui PP No. 78 Tahun 2007 yang memuat tentang tata cara pembentukan, penghapusan, dan penggabungan daerah. Dalam peraturan tersebut ditegaskan bahwa tujuan pembentukan daerah otonom seluas-luasnya diperuntukkan bagi kesejahteraan masyarakat.

Mengingat tujuan pemekaran yang memiliki makna mendalam, kebijakan memekarkan daerah perlu disikapi secara hati-hati. Diperlukan pertimbangan yang matang dan proses detail sebelum meluluskan permintaan pemekaran daerah otonom. Untuk itu, pembentukan daerah otonom hanya dapat dilaksanakan apabila telah memnuhi tiga persyaratan pokok. Pertama, syarat administratif baik untuk level provinsi maupun kabupaten/kota. Syarat administratif untuk provinsi meliputi adanya persetujuan masing-masing DPRD kabupaten/kota dan Bupati/Walikota yang akan menjadi cakupan wilayah calon provinsi, persetujuan DPRD provinsi induk dan gubernur untuk membentuk calon provinsi, serta rekomendasi Menteri Dalam Negeri. Sementara itu, syarat administratif yang harus dipenuhi kabupaten/kota meliputi persetujuan DPRD kabupaten/kota induk dan persetujuan Bupati/Walikota induk, persetujuan DPRD provinsi dan gubernur tentang pembentukan calon kabupaten/kota, serta Rekomendasi Menteri Dalam Negeri.

(7)

meliputi cakupan wilayah, lokasi calon ibukota, sarana dan prasarana pemerintahan. Secara lebih rinci, cakupan wilayah mensyaratkan pembentukan minimal 5 (lima) kabupaten/kota untuk provinsi serta pembentuan kabupaten paling sedikit terdiri 5 (lima) kecamatan dan untuk kota diperlukan 4 (empat) kecamatan.

Selain memenuhi syarat, pemekaran daerah otonom harus mengikuti proses dasar yang telah ditentukan oleh pemerintah. Proses paling awal yang dilakukan pemerintah pusat dalam suatu pembahasan pemekaran daerah terdiri dari dua tahapan besar. Tahapan pertama adalah proses teknokrasi yang meliputi kajian kelayakan daerah baik dari segi teknis maupun administratif. Tahap kedua merupakan proses politik dimana proposal pemekaran yang diajukan daerah harus memperoleh persetujuan secara politis oleh DPR. Kemudian mekanisme dan prosedur dalam pembentukan, penghapusan dan penggabungan daerah diperinci dalam PP No. 129 Tahun 2000 dan penggantinya PP No. 78 Tahun 2007. Pratikno (2006: 181-182) menjelaskan bahwa peraturan tersebut menegaskan beberapa poin tentang prosedur dalam pemekaran daerah, diantaranya:

1. Adanya aspirasi dari pemerintah daerah dan sebagian besar masyarakat setempat; 2. Didukung oleh kajian awal oleh pemerintah daerah;

3. Usul pembentukan Provinsi disampaikan kepada pemerintah melalui Mendagri dan Otonomi Daerah melalui Gubernur dengan dilampirkan hasil penelitian daerah dan persetujuan DPRD Kabupaten/Kota serta persetujuan provinsi, yang dituangkan dalam keputusan DPRD;

4. Usul pembentukan kabupaten/kota disampaikan kepada pemerintah melalui Mendagri dan Otonomi Daerah melalui Gubernur dengan melampirkan hasil penelitian daerah dan persetujuan DPRD kabupaten/kota serta persetujuan DPRD Provinsi yang tertuang dalam keputusan DPRD;

(8)

7. Para anggota Dewan Pertimbangan Otonomi Daerah memberikan saran dan pendapat secara tertulis kepada Ketua Dewan Pertimbangan Otonomi Daerah. Selanjutnya usul pembentukan suatu daerah diputuskan dalam rapat anggota Dewan Pertimbangan Otonomi Daerah;

8. Apabila berdasarkan hasil keputusan rapat anggota Dewan Pertimbangan Otonomi Daerah menyetujui usul pembentukan Daerah, Menteri Dalam Negeri dan Otonomi Daerah selaku Ketua Dewan Pertimbangan Otonomi Daerah mengajukan usul pembentukan Daerah tersebut beserta Rancangan Undang-Undang Pembentukan Daerah kepada Presiden;

9. Apabila Presiden telah menyetujui usul dimaksud, Rancangan Undang-undang pemekaran daerah, maka selanjutnya disampaikan kepada DPR-RI untuk mendapat persetujuan.

Prosedur diatas menunjukkan bahwa proses pemekaran suatu daerah tidaklah mudah. Dibutuhkan proses panjang dan rumit bagi daerah untuk sampai pada tahap memekarkan diri. Selain adanya tuntutan untuk menjalankan segala bentuk prosedur, pemekaran daerah juga mesti memenuhi tiga syarat pokok yang telah disampaikan di awal. Idealnya, syarat dan prosedur yang tercapai secara beriringan akan mempercepat pemekaran dalam suatu daerah. Implikasi yang diharapkan dengan adanya pemekaran daerah yaitu mampu mewujudkan kesejahteraan masyarakat melalui peningkatan pelayanan di sektor publik.

Sekelumit tentang Kalimatan Utara

(9)

masyarakat di wilayah tersebut sudah sangat akrab dan familiar dengan malaysia. Parahnya lagi, mereka sebagai warga Negara Indonesia lebih mengenal ringgit ketimbang rupiah.

Oleh karena itu, pemerintah mengabulkan permintaan masyarakat di wilayah tersebut untuk dimekarkan, dengan maksud masyarakat sendiri lebih mandiri dan berdaulat dalam mengelola dan mencari penghidupan. Hal itu juga didorong karena potensi alam Kalimantan Utara yang melimpah, seperti minyak, gas, dan bahan tambang.

Sebab lain yang mendorong masyarakat menuntut dimekarkan adalah adanya persepsi bahwa selama ini masyarakat berada jauh dari pembangunan yang dilakukan oleh pemerintah pusat maupun pemerintah daerah. Padahal mereka memiliki potensi alam yang yang selama ini dieksplorasi kekayaannya untuk pembangunan di luar daerah mereka. Oleh karena itu, kehidupan yang sejahtera jauh dari masyarakat Kalimantan Utara. Mereka merasa jauh atas akses ekonomi, pendidikan, bahkan politik. Maka dari itu setelah berdirinya provinsi baru tersebut, masyarakat sangat berharap akan adanya perbaikan akses terhadap pelayanan publik yang baik dan memadai, yang selama ini kurang mereka rasakan. Sebagai masyarakat yang tinggal di perbatasan mereka kemudian berharap agar lebih dapat tersentuh oleh aspek-aspek pertumbuhan ekonomi, akses politik, dan sekolah bisa lebih diperhatikan dan tepat sasaran. Intinya, masyarakat sangat berharap agar lebih diperhatikan kesejahteraannya dengan adanya pemekaran tersebut melalui pengontrolan birokrasi yang ada.

Signifikasi Pemekaran Daerah

Pemekaran daerah yang terjadi di Indonesia nyatanya masih menyisakan ’kerikil-kerikil’ yang siap menghambat terciptanya kesejahteraan rakyat. Disebutkan dalam salah satu pidato Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada tahun 2006 bahwa pemerintah perlu melakukan penataan kembali mengenai konsep-konsep pemekaran daerah. Pernyataan presiden yang demikian juga di dukung fakta bahwa sebagian besar pemekaran daerah yang dilakukan malah membebani negara dalam hal pendanaannya (Harmantyo, 2007).

(10)

ternyata, tidak di barengi dengan pertambahan atau peningkatan kesejahteraan masyarakat di daerah. Akibatnya, rakyat menjadi terlantar, pelayanan publik yang tadinya digadang-gadang bisa terlaksana dalam mekanisme pemekaran daerah nyatanya tidak terwujud.

Selain menimbulkan pembengkakan biaya bagi anggaran APBN negara, pemekaran daerah ini juga menimbulkan permasalahan baru yakni adanya konflik mengenai batas wilayah (keruangan). Konflik keruangan seperti yang terjadi di kabupaten Mamasa propinsi Sulawesi Barat, perebutan pulau Berhala antara propinsi Riau Kepulauan dan propinsi Jambi, perebutan salah satu pulau di kepulauan Seribu antara propinsi DKI Jakarta dan propinsi Banten. Berbagai persoalan tersebut merupakan sebagian permasalahan yang menyangkut pelaksanaan prinsip desentralisasi/otonomi dan pemekaran daerah (Harmantyo, 2007). Konflik-konflik yang terjadi di sini terkadang di ikuti dengan konflik-konflik yang berujung pada adu fisik. Akibatnya, mengancam keamanan dan ketertiban di daerah, sehingga masyarakat yang dicita-citakan sejahtera setelah adanya pemekaran daerah tidak terlaksana seutuhnya.

Sedangkan bagi daerah sendiri, pemekaran daerah tersebut ternyata malah lebih banyak merugikan perekonomian daerah yang tidak siap dengan pemekaran. Pendapatan Asli Daerah (PAD) yang masuk di daerah nyatanya tidak dibarengi dengan penurunan Dana Perimbangan yang diterima daerah dari Pemerintah Pusat (Fatmawati, 2011). Dana Perimbangan yang di berikan oleh Pemerintah Pusat merupakan dana yang di bagikan kepada daerah-daerah untuk membangun fasilitas-fasilitas publik dan insfrastruktur di daerah. Dengan demikian, kemandirian daerah yang seharusnya tercipta setelah adanya pemekaran daerah juga tidak terwujud. Karena dengan peningkatan bertambahnya Dana Perimbangan suatu daerah, menunjukkan bahwa daerah masih membutuhkan suntikan dana dalam upaya pembangunan daerah.

Kesimpulan

(11)

menentukan daerah mana saja yang berpontensi serta memenuhi syarat-syarat pemekaran berdasarkan bukti-bukti yang ada dilapangan. Selain itu, ada baiknya jika pemerintah bisa memberikan daerah masa ‘percobaan’ terlebih dahulu dalam hal melaksanakaan pemekaran di daerah.

Referensi

Muh. Tang Abdullah.Menelaah Kebijakan Pemekaran Daerah Di Indonesia Suatu Perspektif Teori dan Prakte., Spirit Publik Vol 7, No. 1 April 2011 Hal. 15-28.

Lay, Cornelis dan Santoso, Purwo (ed.), 2006. Perjuangan Menuju Puncak. Yogyakarta: Program Pascasarjana (S2) Politik Lokal dan Otonomi Daerah.

Pratikno. 2006. Politik Kebijakan “Pemekaran Daerah” , dalam Blue Print Otonomi Daerah Indonesia. M.Z Mubarak, M.A Susilo, dan A. Pribadi (ed). Jakarta : Yayasan Harkat Bangsa.

Kementrian Dalam Negeri. 2010. Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 21 tahun 2010 Tentang Pedoman Evaluasi Daerah Otonom Hasil Pemekaran Setelah Berlakunya Undang-Undang Nomor 22 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah.

Fatmawati. 2011. Faktor-faktor Keberhasilan Pemekaran Wilayah Kabupaten/Kota di Indonesia. Merupakan Sripsi untuk memenuhi syarat mendapatkan gelar Sarjana Ekonomi di Departemen Ilmu Ekonomi, Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institute Pertanian Bogor

Harmantyo, Djoko. PEMEKARAN DAERAH DAN KONFLIK KERUANGAN: Kebijakan Otonomi Daerah dan Implementasinya di Indonesia dalam Jurnal MAKARA, SAINS, VOL. 11, NO. 1, APRIL 2007: 16-22

Undang-Undang

UU No. 19 Tahun 1999 UU No. 32 Tahun 2004

PP No. 129 Tahun 2000 PP No. 78 Tahun 2007 PP No. 72 Tahun 2005

(12)

http://www.depdagri.go.id/news/2010/05/10/syarat-pemekaran-daerah-diperketat

http://www.radarbangka.co.id/berita/detail/global/9665/pemekaran-kecamatan-tunggu-2014.html

http://www.dumaipos.com/berita.php?act=full&id=2343&kat=14

http://www.ditjen-otda.depdagri.go.id/index.php/categoryblog/157-rakyat-yang-tentukan

http://www.ditjen-otda.depdagri.go.id/index.php/categoryblog/317-dpr-sahkan-5-daerah-otonom-baru

http://www.antaranews.com/berita/327118/tiga-kecamatan-pemekaran-di-barito-utara-diresmikan

Referensi

Dokumen terkait

Semakin besar nilai R, maka semakin tinggi indeks warna merah yang terkandung dalam bahan. 鎹 Sistem Munsell atau pencocokan warna sampel dengan kamus warna bernama A dictionary

Kelarutan propilen glikol yang tinggi dapat mempengaruhi peningkatan obat dalam bentuk dispersi molekuler yang meningkatkan luas area permukaan

Langkah awal dalam menerapkan Activity Based Costing System ( ABC system ) adalah dengan mengidentifikasi berbagai macam biaya yang terjadi pada Perusahaan Rokok

Hasil penelitian ini adalah (1) terdapat sejumlah 169 makna ungkapan konotatif pada karangan cerita pendek siswa kelas VII PK 1 dan VII PK 2 MTs Negeri 1

Karena Fhitung > Ftabel dan nilai signifikansi 0,000 < 0,05 maka Ho ditolak dan Ha diterima, artinya hipotesis yang menyatakan bahwa partisipasi anggaran

Dalam arti luas ilustrasi dapat didefinisikan sebagai suatu karya seni rupa yang bertujuan memperjelas sesuatu atau menerangkan sesuatu yang dapat berupa cerita atau

Kedua faktor tersebut, saling berinteraktif dan saling ketergantungan atau saling mempengaruhi satu sama lain, teristimewa berkenaan dengan rasa tanggung jawab

◉ Inverted index adalah sebuah struktur data index yang dibangun untuk memudahkan query pencarian yang memotong tiap kata (term) yang berbeda dari suatu daftar