• Tidak ada hasil yang ditemukan

Hubungan Asupan Zat Besi Dengan Insidensi Anemia Defisiensi Besi Pada Balita Di Bangsal Anak Rsud Dr. Moewardi

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Hubungan Asupan Zat Besi Dengan Insidensi Anemia Defisiensi Besi Pada Balita Di Bangsal Anak Rsud Dr. Moewardi"

Copied!
52
0
0

Teks penuh

(1)

i

HUBUNGAN ASUPAN ZAT BESI DENGAN INSIDENSI ANEMIA DEFISIENSI BESI PADA BALITA DI BANGSAL ANAK

RSUD DR. MOEWARDI

SKRIPSI

Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Kedokteran

Cholifatur Ravita Fauzi G 0008072

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SEBELAS MARET

Surakarta 2011

(2)

ii

PENGESAHAN SKRIPSI

Skripsi dengan judul : Hubungan Asupan Zat Besi dengan Insidensi Anemia Defisiensi Besi pada Balita di Bangsal Anak RSUD Dr. Moewardi

Cholifatur Ravita Fauzi, NIM : G0008072, Tahun : 2011

Telah diuji dan sudah disahkan di hadapan Dewan Penguji Skripsi Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret Surakarta

Pada Hari Kamis, Tanggal 29 Desember 2011

Pembimbing Utama

Nama : Muhammad Riza, dr., Sp.A., M.Kes

NIP : 19761126 201001 1 005 (...) Pembimbing Pendamping

Nama : Dr. Sugiarto, dr., Sp.PD

NIP : 19620522 198901 1 001 (...) Penguji Utama

Nama : Prof. Dr. Harsono Salimo, dr., Sp.A (K)

NIP : 19441226 197310 1 001 (...) Anggota Penguji

Nama : Wachid Putranto, dr., Sp.PD

NIP : 19720226 200501 1 001 (...)

Surakarta,

Ketua Tim Skripsi Dekan FK UNS

Muthmainah, dr., M.Kes Prof. Dr. Zainal Arifin Adnan, dr., Sp.PD-KR-FINASIM NIP 19660702 199802 2 001 NIP 19510601 197903 1 002

(3)

iii

PERNYATAAN

Dengan ini menyatakan bahwa dalam skripsi ini tidak terdapat karya yang pernah diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan di suatu perguruan tinggi dan sepanjang pengetahuan penulis juga tidak terdapat karya atau pendapat yang pernah ditulis atau diterbitkan oleh orang lain kecuali yang secara tertulis diacu dalam naskah dan disebutkan dalam daftar pustaka.

Surakarta, Desember 2011

Cholifatur Ravita Fauzi NIM. G0008072

(4)

iv ABSTRAK

Cholifatur Ravita Fauzi, G0008072, 2011. Hubungan Asupan Zat Besi dengan Insidensi Anemia Defisiensi Besi pada Balita di Bangsal Anak RSUD Dr. Moewardi. Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret Surakarta.

Tujuan penelitian: Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan asupan zat besi dengan insidensi anemia defisiensi besi pada balita di Bangsal Anak RSUD Dr. Moewardi.

Metode penelitian: Metode penelitian statistik dengan pendekatan kasus kontrol. Sampel penelitian yang diambil yaitu sebanyak 54 sampel balita, yang dibagi dalam 2 kelompok, yaitu: 27 sampel pada kelompok kasus (anemia defisiensi besi), dan 27 sampel pada kelompok kontrol (tidak anemia). Data diambil melalui observasi, kuesioner, dan data sekunder (status pasien). Variabel yang diteliti adalah asupan zat besi dengan mengontrol riwayat ASI eksklusif. Hasilnya dianaisis dengan uji regresi logistik ganda.

Hasil penelitian: Dari 54 jumlah sampel didapatkan 27 Balita mengalami anemia defisiensi besi dan 27 lainnya tidak mengalami anemia. Hasil analisis uji regresi logistik ganda menunjukkan bahwa Balita yang memiliki asupan besi defisit memiliki Odds Ratio sebesar 6,46 untuk mengalami anemia defisiensi zat besi yang secara statistik signifikan ( CI 95% = 1,89 – 22,05; p = 0,003). Sedangkan varibel riwayat ASI eksklusif tidak menunjukkan hubungan yang signifikan dengan insidensi anemia defisiensi zat besi (OR = 1,53; CI 95% = 0,46 – 5,15; p = 0,492).

Simpulan penelitian: Terdapat hubungan antara asupan zat besi dengan insidensi Anemia Defisiensi Besi. Balita yang memiliki asupan besi defisit memiliki rIsiko 6,46 kali lebih besar dari asupan besi normal untuk mengalami anemia defisiensi zat besi. Kesimpulan ini telah mengontrol pengaruh dari riwayat ASI eksklusif.

Kata kunci: asupan zat besi, anemia defisiensi besi, ASI eksklusif

(5)

v ABSTRACT

Cholifatur Ravita Fauzi, G0008072, 2011. The Relationship between Iron Intake and The Incidence of Iron Deficiency Anemia in Toddlers at Pediatric Ward RSUD Dr. Moewardi. Medical Faculty, Sebelas Maret University Surakarta.

Objective: The objective of this study is to test the relationship between iron intake and the incidence of iron deficiency anemia in toddlers at pediatric ward Dr. Moewardi hospital.

Methods: The method which used in this study is case control approach. This study used 54 samples of toddlers. The sample was devided into two groups. The first group was the case group (iron deficiency anemia) and the second group was the control group (non-anemic), each of them consisting of 27 samples. A questioner, document, and an observation were used to collect the data from the sample. The independent variable in this study is iron intake with controlling exclusive breastfed history. Multiple regression logistic was run to test the data. Results: From the 54 number of samples obtained that 27 toddlers have iron deficiency anemia and 27 others non-anemic. The result of this study shows that the toddlers with deficit iron intake have odds ratio 6,46 in having iron deficiency anemia which statistically significant (OR = 6,46; CI 95% = 1,89 – 22,05; p = 0,003). Whereas the exclusively breastfed history variable do not show significant relationship with the incidence of iron deficiency anemia (OR = 1,53; CI 95% = 0,46 – 5,15; p = 0,492).

Conclution: There is a significant relationship between iron intake and the incindence of iron deficiency anemia. The toddlers with deficit iron intake have riskier 6,46 times in having iron deficiency anemia than those having the normal iron intake. This conclusion has controlled exclusively breastfeed history influence.

Keywords: iron intake, iron deficiency anemia, exclusively breastfed

(6)

vi PRAKATA

Puji syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala limpahan rahmat dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan naskah skrispsi yang berjudul “Hubungan Asupan Zat Besi dengan Insidensi Anemia Defisiensi Besi pada Balita di Bangsal Anak RSUD Dr. Moewardi”.

Penulis menyadari bahwa dalam pelaksanaan skripsi dan penyususnan naskah ini tidak terlepas dari bimbingan, bantuan, serta dukungan dari berbagai pihak. Oleh karena itu, pada kesempatan ini penulis menghanturkan terimakasih kepada:

1. Prof. Dr. Zainal Arifin Adnan, dr., Sp.PD-KR-FINASIM selaku Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret.

2. Muhammad Riza, dr.,Sp.A.,M.Kes dan Dr. Sugiarto, dr., Sp.PD selaku dosen pembimbing I dan II yang telah memberikan bantuan dan bimbingan selama penelitian hingga naskah ini dapat terwujud.

3. Prof. Dr. Harsono Salimo, dr., Sp.A (K) dan Wachid Putranto, dr., Sp.PD selaku dosen penguji I dan II yang telah memberikan banyak arahan dan masukan dalam penulisan naskah ini.

4. Budhianti Wiboworini, dr.. M.Kes yang telah memberikan masukan dalam bidang gizi selama penelitian ini berlangsung

5. Prof. Dr. Bhisma Murti, dr. MPH yang telah membantu dan memeberikan masukan penulis dalam hal statistik yang berhubungan dengan penelitian ini.

6. Renitha, dr., Aan, dr., dan Rudi, dr. yang telah membantu dalam pengambilan sampel saat proses penelitian.

7. Keluarga tercinta (Papa Hasan, Mama Isna, Mbak Inna, Dek Arul) atas kasih sayang, dukungan, nasihat, dan doa selama penelitian hingga penulisan naskah.

8. Sahabat-sahabatku (Endika Rachmawati, Ikvin Muttathi’in, Dea Alberta, Titis Ummi Nurjanati, Dinar Handayani) atas dukungan dan bantuan yang telah memberi semangat kepada penulis.

9. Teman seperjuangan, Mega Astriningrum, atas dukungan dan bantuannya selama penelitian.

10.Pihak pihak lainnya yang tidak bisa penulis sebutkan satu persatu.

Penulis menyadari bahwa naskah ini masih jauh dari sempurna. Oleh karena itu penulis mengharapkan saran dan kritik yang membangun. Semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi semua pihak.

Surakarta, Desember 2011

(7)

vii DAFTAR ISI

PRAKATA ... vi

DAFTAR ISI ... vii

DAFTAR TABEL ... ix

DAFTAR SINGKATAN ... x

DAFTAR LAMPIRAN ... xi

BAB I. PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang Masalah... 1

B. Perumusan Masalah ... 3

C. Tujuan Penelitian ... 3

D. Manfaat Penelitian ... 4

BAB II. LANDASAN TEORI ... 5

A. Tinjauan Pustaka ... 5

1. Anemia Defisiensi Besi (ADB) ... 5

2. Zat Besi ... 9

3. Hubungan Asupan Zat Besi dengan Insidensi Anemia Defisiensi Besi ... 11

B. Kerangka Pemikiran ... 15

C. Hipotesis ... 15

BAB III. METODE PENELITIAN ... 16

A. Jenis Penelitian ... 16

(8)

viii

C. Subjek Penelitian ... 16

D. Teknik Pengambilan Sampel ... 17

E. Skema Penelitian ... 18

F. Instrumen Penelitian ... 19

G. Identifikasi Variabel ... 19

H. Definisi Operasional Variabel ... 19

I. Teknik Analisis Data ... 22

BAB IV. HASIL PENELITIAN ... 24

A. Karakteristik Sampel ... 24

B. Analisis Bivariat ... 27

C. Analisis Regresi Logistik Ganda ... 30

BAB V. PEMBAHASAN ... 32

BAB VI. SIMPULAN DAN SARAN ... 37

A. Simpulan ... 37

B. Saran ... 37

DAFTAR PUSTAKA ... 38 LAMPIRAN

(9)

ix

DAFTAR TABEL

Tabel 1. Uji Chi Square ... 23

Tabel 2. Karakteristik Sampel Menurut Insidensi ADB ... 24

Tabel 3. Karakteristik Sampel Menurut Riwayat ASI Eksklusif ... 25

Tabel 4. Karakteristik Sampel Menurut Asupan Zat Besi ... 25

Tabel 5. Karakteristik Sampel Menurut Penyakit yang Menyertai pada Kelompok Kasus ... 26

Tabel 6. Karakteristik Sampel Menurut Penyakit yang Menyertai pada Kelompok Kontrol …. ... 27

Tabel 7. Hubungan antara Riwayat ASI Eksklusif dengan Insidensi ADB ... 28

Tabel 8. Hubungan antara Ssupan Zat Besi dengan Insidensi ADB ... 29

Tabel 9. Hasil Analisis Regresi Logistik Ganda tentang Hubungan Asupan Zat Besi dengan Insidensi ADB dengan Mengontrol Pengaruh Riwayat ASI Eksklusif ... 30

(10)

x

DAFTAR SINGKATAN

ADB : Anemia Defisiensi Besi AKG : Angka Kecukupan Gizi BB : Berat badan

BBLR : Berat Bayi Lahir Rendah CRP : C Reactive Protein

FFQ : Food Frequency Quetionaire IDAI : Ikatan Dokter Anak Indonesia MCH : Mean Corpuscular Hemoglobin

MCHC : Mean Corpuscular Hemoglobin Concentration MCV : Mean Corpuscular Volume

NHNES : National Health and Nutrition Examination Survey SKRT : Survei Kesehatan Rumah Tangga

SPSS : Statistical Package for The Social Science TB : Tinggi Badan

TIBC : Total Iron Binding Capacity WHO : World Health Organitation

(11)

xi

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1. Kuesioner Penelitian

Lampiran 2. Food Frequency Quetionaire Lampiran 3. Surat Ijin Penelitian Universitas

Lampiran 4. Surat Ijin Penelitian RSUD Dr. Moewardi Lampiran 5. Data Sampel

Lampiran 6. Hasil Analisis SPSS

(12)

1 BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Anemia defisiensi besi (ADB) sampai saat ini masih merupakan masalah nutrisi di seluruh dunia terutama di negara berkembang dan diperkirakan 30% penduduk dunia menderita anemia dan lebih dari setengah menderita ADB. Data Direktorat Gizi Komunitas Kementrian Kesehatan RI, sekarang ini hampir separuh (50%) dari populasi penduduk Indonesia mengalami defisiensi zat besi. Hal tersebut masih menjadi ancaman kurang lebih 10 juta anak-anak di Indonesia (Atmarita, 2005). Sebenarnya upaya perbaikan gizi telah lama dilaksanakan oleh pemerintah Indonesia, melalui Departemen Kesehatan, sejak Pelita I sampai dengan Pelita VI. Upaya ini terutama diarahkan untuk menanggulangi empat masalah gizi utama di Indonesia, yaitu: Kurang Energi Protein (KEP), Kurang Vitamin A (KVA), Anemia Gizi Besi, dan Gangguan Akibat Kurang Iodium (GAKI) (Kristijono, 2002). Namun, data hasil penelitian menunjukkan prevalensi anemia defisiensi besi masih tinggi.

Survei Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) 2001 menyebutkan prevalensi anemia pada anak 0 – 5 tahun 47%, anak usia sekolah dan remaja 26,5%, dan wanita usia subur 40% (Subeno, 2007). Dari data terakhir survey kesehatan dari Dinas Kesehatan Kota Surakarta dari tahun 2001 – 2009

(13)

didapat sekitar 57,9% kasus anemia pada anak balita dan 54,7% pada anak sekolah (Dinas Kesehatan Kota Surakarta, 2009).

Balita adalah anak yang berusia 1 – 5 tahun atau bisa digolongkan dalam usia pra sekolah (IDAI, 2009). Masa Balita sering dinyatakan sebagai masa kritis dalam rangka mendapatkan sumber daya manusia yang berkualitas, terlebih pada periode 2 tahun pertama merupakan masa emas untuk pertumbuhan dan perkembangan otak yang optimal (Azwar, 2004). Untuk itu Balita membutuhkan zat gizi yang seimbang agar status gizinya baik, serta proses pertumbuhan tidak terhambat, karena Balita merupakan kelompok umur yang paling sering menderita akibat kekurangan gizi. Salah satu mineral yang sangat dibutuhkan dalam proses perkembangan tersebut adalah zat besi.

Besi merupakan mineral mikro yang sangat diperlukan oleh tubuh untuk melaksanakan berbagai fungsi tubuh.Di alam, mineral ini terdapat melimpah, baik besi heme maupun non-heme. Zat besi banyak terkandung dalam berbagai makanan dan dalam kadar yang berbeda-beda. Penyerapannya dalam tubuh juga tergantung dari kandungan lain dari bahan makanan yang dikonsumsi dimana dapat menghambat atau justru mempermudah absorbsinya. Dengan komposisi makanan dan frekuensi makan yang berbeda-beda akan menimbulkan efek yang berberbeda-beda pula terhadap status besi seseorang. Sampai saat ini, pemberian makan pada anak masih merupakan masalah yang sangat unik dan tidak selalu mudah untuk ditetapkan pada setiap anak sesuai anjuran.

(14)

Penyebab utama anemia gizi adalah konsumsi zat besi yang tidak cukup, absorbsi zat besi yang rendah, dan pola makan yang sebagian besar terdiri dari nasi dan menu yang kurang beraneka ragam. Selain itu infestasi cacing tambang memperberat keadaan anemia yang diderita di daerah-daerah tertentu terutama daerah pedesaan (Wahyuni, 2004). Soemantri (1983), menyatakan bahwa anemia gizi juga dipengaruhi oleh faktor lain seperti sosial ekonomi, pendidikan, status gizi dan pola makan, fasilitas kesehatan, pertumbuhan, daya tahan tubuh dan infeksi.

Melihat masih tingginya insidensi ADB pada balita dan beranekaragamnya jenis makanan setiap anak dengan komposisi dan jumlah yang berbeda-beda, maka penelitian ini dilakukan untuk mengetahui hubungan asupan zat besi dengan insidensi anemia defisiensi besi. Penelitian ini dilakukan pada Bangsal Anak RSUD Dr. Moewardi karena belum adanya penelitian sebelumnya yang dilakukan di rumah sakit tersebut mengenai insidensi ADB.

B. Rumusan Masalah

Adakah hubungan antara asupan zat besi dengan insidensi anemia defisiensi besi?

C. Tujuan Penelitian

Untuk membuktikan hubungan antara asupan zat besi dengan insidensi anemia defisiensi besi.

(15)

D. Manfaat Penelitian 1. Aspek Teoritik

Dapat memperkaya pengetahuan Ilmu Kesehatan Anak khususnya di bidang hematologi serta Ilmu Gizi.

2. Aspek Aplikatif

a. Dapat dilakukan pencegahan maupun penatalaksanaan kasus ADB sehingga bisa mengurangi insidensi ADB.

b. Memberikan pengetahuan kepada para ibu dalam menyajikan makanan untuk anak-anaknya.

c. Dapat memberikan gambaran kepada masyarakat agar lebih memperhatikan jenis makanan yang dikonsumsi.

d. Dapat digunakan sebagai bahan acuan untuk penelitian selanjutnya.

(16)

BAB II

LANDASAN TEORI

A. Tinjauan Pustaka

1. Anemia Defisiensi Besi (ADB)

Berdasarkan The National Health and Nutrition Examination Survey (NHNES) 1999 – 2002, anemia didefinisikan sebagai suatu

keadaan dimana konsentrasi hemoglobin kurang dari 11 µg/L untuk anak laki-laki dan perempuan usia 12 – 35 bulan (Baker et al, 2010). WHO sendiri memberikan patokan ADB untuk anak usia 6 – 59 bulan kurang dari 11 µg/L (WHO,2001). Sedangkan defisiensi besi menurut Baker et al. (2010) merupakan status dimana terjadi insufisiensi besi untuk memepertahankan fungsi fisiologis yang normal. Keadaan tersebut ditimbulkan dari absorbsi yang tidak adekuat untuk memenuhi peningkatan kebutuhan besi yang dibutuhkan untuk pertumbuhan atau pun dari keseimbangan besi yang negatif di dalam tubuh dalam jangka panjang. Bila kondisi tersebut terus berlangsung sehingga terjadi penurunan cadangan besi maka defisiensi besi dapat disertai atau tidak disertai dengan anemia defisiensi besi. Jadi, Anemia Defisiensi Besi (ADB) merupakan penurunan kadar hemoglobin dibawah normal yang disebabkan oleh berkurangnya besi yang dipakai untuk eritropoiesis.

Sejauh ini, defisiensi besi adalah penyebab tersering anemia. Penyebab defisiensi besi pada bayi dan anak antara lain (1) pengadaan zat

(17)

besi yang tidak cukup, bisa pada waktu lahir cadangan zat besi tidak cukup (BBLR atau ibu mengalami anemia) atau asupan zat besi saat itu kurang cukup; (2) Absorbsi kurang karena diare menahun sindrom, malabsorbsi, dan kelainan saluran pencernaan; (3) Kebutuhan akan zat besi meningkat untuk pertumbuhan; (4) Kehilangan darah yang bersifat akut maupun menahunatau infestasi parasit (Wahyuni, 2004; Masrizal, 2007). Malnutrisi energi protein (MEP) serta infeksi yang akut dan berulang, seperti malaria, kanker, tuberculosis, dan HIV juga bisa menyebabkan defisiensi besi (Hasan et al,.2007; WHO, 2008).

Ketika kebutuhan besi meningkat (pada masa pertumbuhan) dan pengeluaran besi yang berlebih (diare, perdarahan) sedangkan absorbsi besi berkurang, baik karena malabsorbsi atau pun intake besi yang adekuat, menyebabkan cadangan besi menurun yang disebut sebagai deplesi besi.Dalam keadaan ini penyediaan untuk eritropoiesis belum terganggu. Apabila keadaan tersebut berlangsung terus dan semakin memburuk bahkan sampai cadangan besi habis akan mengganggu penyediaan besi untuk eritropoiesis sehingga terjadi eritropoiesis defisiensi besi. Pada fase ini kelaianan pertama yang dijumpai adalah peningkatan kadarfree protophorphyrin atau zinc protophorphyrin dalam eritrosit. Saturasi transferin menurun dan total iron binding capacity (TIBC) meningkat. Tahap selanjutnya sintesis hemoglobin berkurang dan terjadi gangguan hemoglobinisasi sel darah merah yang sedang berkembang, sehingga terbentuk sel darah merah yang pucat (hipokromik) dan kecil

(18)

(mikrositik) yang disebut ADB (Bakta et al, 2007; Sacher dan McPherson, 2004).

ADB sering menghasilkan eitrosit yang hipokromik mikrositik dengan hemoglobin sel rerata (MCH) yang kurang dari 27 pg/L dan volume sel rerata (MCV) kurang dari 80 fL. Ada beberapa kondisi yang juga berkaitan dengan anemia hipokromik mikrositik, yaitu sindroma talasemia, anemia pada penyakit kronis, dan anemia sideroblastik (Sacher dan McPherson, 2004). Defisisensi besi sendiri bisa juga tidak disertai dengan anemia. Oleh karena itu menentukan ADB tidak cukup hanya dengan menggunakan satu test saja (Alton, 2005). Menurut Bakta dkk (2007) diagnosis ADB dapat ditegakkan menggunakan kriteria:

a. Anemia hipokromik mikrositer pada hapusan darah tepi, atau MCV < 80fl dan MCHC < 31% dengan salah saru dari b,c,d,e.

b. Dua dari tiga parameter di bawah ini: 1. Besi serum < 50 mg/dL

2. TIBC > 350 mg/dL 3. Saturasi transferin < 15%

c. Feritin serum < 12 mg/L atau < 100 mg/L (bila disertai infeksi) (Theurl et.al., 2009)

d. Pengecatan sumsum tulang dengan biru prusia menunjukkan cadangan besi negatif.

e. Dengan pemberian tablet besi terdapat respon.

(19)

Parameter yang sensitif untuk menilai cadangan besi dan bermanfaat untuk membedakan defisiensi besi dengan penyebab anemia mikrositik hipokromik lainnya adalah feritin serum (Baker et al., 2010; Sacher dan McPherson, 2004). Feritin terdapat di dalam serum dan plasma dimana berada dalam kesetimbangan dengan yang dihasilkan di jaringan (Sacher dan McPherson, 2004). Pemeriksaan feritin serum diukur dengan pemeriksaan imunoradiometrik (IRMA) atau enzyme linked immunosorbent assay (ELISA). Pada anak-anak, rentang normalnya dari 10 – 200 µg/L 1µg/L (Sacher dan McPherson, 2004). Untuk menilai defisiensi besi pada anak-anak, patokan nilai feritin serum yang disarankan adalah kurang dari 10 µg/L (Baker et al, 2010). Namun, untuk daerah tropik dimana angka infeksi dan inflamasi masih tinggi, titik pemilah yang diajukan di negeri barat tampaknya perlu dikoreksi. Pada penelitian Somayana dan Bakta pada penderita anemia di Bali, pemakaian serum feritin < 12 µg/L dan < 20 µg/L memberikan sensitivitas dan spesifisitas masing-masing 68% dan 98% serta 68% dan 96% (Adnyana et al, 2007). Penelitian Mullick et al (2006) di India juga memakai patokan < 20 µg/L untuk menentukan anemia defisiensi besi.

Banyak kondisi atau faktor yang mempengaruhi kadar ferritin di dalam tubuh. Selain kadar cadangan besi dalam tubuh juga dipengaruhi oleh transfusi darah yang rutin, penyakit hati (hepatitis alkoholisme, sirosis hepatis), kondisi inflamasi (adanya peradangan) dan pada kondisi kekurangan energi protein yang parah. Hal-hal tersebut bersifat

(20)

meningkatkan kadar serum ferritin. Sedangkan beberapa hal yang dapat menurunkan kadar serum ferritin adalah perdarahan yang lama , anemia defisiensi besi dan status gizi buruk.

2. Zat Besi

Besi merupakan mineral mikro yang paling banyak terdapat dalam tubuh manusia (Almatsier, 2004). Pada konsentrasi oksigen tinggi, umumnya besi dalam bentuk ferri karena terikat hemoglobin sedangkan pada proses transport transmembran, deposisi dalam bentuk feritin dan sintesis heme, besi dalam bentuk ferro (Wood et al, 2006). Jumlah zat besi dalam tubuh bervariasi menurut umur, jenis kelamin, status gizi dan jumlah cadangan zat besi.Semua zat besi dalam tubuh terdapat dalam bentuk terkombinasi dengan protein sehingga mampu menerima atau melepaskan oksigen atau karbondioksia (Muchtadi, 2009). Dalam tubuh, besi diperlukan untuk pembentukkan kompleks besi sulfur dan heme. Kompleks besi sulfur diperlukan dalam kompleks enzim yang berperan dalam metabolisme energi. Heme tersusun atas cincin porfirin dengan atom besi di sentral cincin yang berperan mengangkut oksigen pada hemoglobin dalam eritrosit dan mioglobin dalam otot (Wood et al, 2006; Gallagher, 2008).

Zat besi memiliki banyak fungsi yang penting untuk melaksanakan fungsi tubuh, di antaranya untuk metabolism energi, regulasi genetik, diferensiasi dan pertumbuhan sel, transport dan pengikat oksigen, reaksi

(21)

enzim, sintesis neurotransmitter dan protein (Alton, 2005). Besi dalam makanan terdapat dalam dua bentuk, yaitu : (1) Besi heme, terdapat dalam daging dan ikan, memiliki tingkat absorbsi dan bioavailabilitas yang tinggi karena penyerapannya tidak dihambat oleh bahan penghambat; (2) Besi non-heme, terdapat dalam tumbuh-tumbuhan, dimana absorbsinya dipengaruhi oleh bahan pemicu dan penghambat sehingga bioavailabilitasnya rendah (Bakta et al, 2007). Lebih dari 80% besi dalam diet berasal dari besi non-heme.Bentuk ini terdapat dalam 60% produk hewani dan 100% produk nabati (Sastra et al, 2005).

Bahan yang menghambat atau menurunkan absorbsi besi antara lain phytate, kalsium, tannin, dan serat (fiber), sedangkan asam askorbat

(vitamin C), daging-dagingan, ikan dan makanan laut dapat meningkatkan atau membantu absorbsi besi. Konsumsi buah-buahan yang mengandung vitamin C sangat berperan dalam absorbsi besi dengan jalan meningkatkan absorbsi zat besi non heme hinggaempat kali lipat. Vitamin C dan zat besi membentuk senyawa askorbat besi kompleks yang mudah larut dan mudah diabsorbsi (Argana et al, 2004). Penelitian terdahulu juga mengindikasikan bahwa ada hubungan yang bermakna antara peningkatan kadar Hb dengan konsumsi vitamin C. Disebutkan bahwa zat besi non heme akan meningkat 2%-20% bila mengkonsumsi vitamin C (Hasaini, 1989). Kebiasaan minum teh setelah makan mempunyai dampak dalam penurunan kadar Hb, karena dalam teh terkandung tanin yang bersifat inhibitor terhadap absorpsi zat

(22)

besi (Hallberg dan Nils-Georg, 1996). Selain dipengaruhi bahan-bahan tersebut, status dan kebutuhan besi individu juga berpengaruh.

Kandungan besi pada bayi baru lahir sebanyak 65-90 mg/kgBB atau sekitar 200 – 350 mg terbagi dalam konsentrasi tertinggi pada hemoglobin (sekitar 50 mg/kgBB), sebagian tersimpan dalam bentuk feritin dalam hati, limpa, atau sistem retikuloendotelial, dan sebagian kecil sebagai mioglobin dan besi jaringan. Sebelum pertumbuhan berhenti jumlah zat besi harus sudah bertambah sampai dengan 4 – 5 g. Untuk itu kebutuhan akan zat besi meninggi pada periode pertumbuhan yang cepat (Pudjiani, 2000). Kebutuhan besi per hari untuk balita adalah 8 – 9 mg (Almatsier, 2004).

Bayi yang mendapatkan ASI lebih lambat menderita anemia defisiensi besi dibandingkan dengan bayi yang minum susu sapi oleh karena besi dalam ASI diserap sebanyak 48%, sedangkan besi dari bahan makanan lain hanya 5-10% dapat diserap. Besi pada ASI diabsorbsi 2 – 3x lebih efisien dari pada dalam susu sapi, mungkin karena perbedaan kandungan kalsium (Schwartz, 2000). Menurut Wahyuni (2004), walaupun jumlah besi dalam ASI rendah, sebanyak 49% zat besi dalam ASI dapat diabsorbsi oleh bayi. Sedangkan susu sapi hanya dapat diabsorbsi sebanyak 10 – 12% zat besi.

3. Hubungan Asupan Zat Besi dengan Anemia Defisiensi Besi

Zat besi memiliki peran yang sangat penting dalam eritropoiesis, yaitu sebagai bahan baku pembuatan hemoglobin. Zat besi dalam makanan

(23)

dapat berupa berupa besi heme dan non-heme. Setiap makanan memiliki kandungan zat besi yang beraneka ragam. Sebelum diabsorbsi, besi dilepaskan dari senyawa lainnya yang terdapat dalam makanan. Dalam suasana asam oleh adanya HCL di dalam lambung, sebagian besar besi dalam bentuk feri direduksi menjadi bentuk fero yang siap untuk diserap (Almatsier, 2004). Walaupun seluruh usus halus memiliki kemampuan menyerap besi, penyerapan maksimum terjadi di duodenum karena memiliki pH yang optimum. Besi diangkut dari mukosa usus ke darah, tempat zat ini kemudian berikatan dengan protein pengangkut besi spesifik, yaitu transferin. Lalu transferin melekat ke reseptor yang terdapat di membran eritrosit yang sedang tumbuh kemudian melepaskan besi ke dalam eritrosit untuk digabungkan dengan heme di dalam mitokondria (Sacher dan McPherson, 2004). Transferin memiliki kemampuan mengikat maksimal 2 molekul besi (Almatsier, 2004).

Sebagian besar (80%) besi diangkut ke sumsum tulang untuk pembentukan hemoglobin dan sisanya (20%) dibawa ke jaringan lain yang membutuhkan. Kelebihan besi yang dapat mencapai 200 hingga 1.500 mg, disimpan dalam bentuk feritin atau hemosiderin di dalam hati (30%), sumsum tulang belakang (30%), selebihnya di dalam limpa dan otot serta diekskresikan dalam feses (Almatsier, 2004; Strain and Cashman, 2002). Feritin yang bersirkulasi di dalam darah mencerminkan simpanan besi di dalam tubuh.

(24)

Asupan zat besi merupakan lini pertama yang menentukan cadangan besi seseorang dalam proses selanjutnya. Bila jumlah zat besi yang masuk sedikit, maka tubuh akan berkompensasi meningkatkan absorbsi yang digambarkan dengan meningkatnya kapasitas pengikatan besi. Namun, bila asupan tak kunjung terpenuhi semakin lama cadangan besi dalam tubuh pun akan terus berkurang bahkan habis karena dipakai untuk eritropoiesis. Hal tersebut ditandai dengan habisnya simpanan zat besi dan berkurangnya kejenuhan transferin. Dalam tahap ini sudah terjadi kondisi defisiensi besi yang tidak disertai anemia. Bila cadangan besi habis, maka tentu saja eritropoiesis akan terganggu. Padahal dalam proses eritropoiesis itu diperlukan Fe yang berikatan dengan protoporfirin untuk membentuk heme. Karena tidak ada Fe yang diikat maka terjadi peningkatan free protophorphyrin yang diikuti menurunnya kadar feritin serum (Sacher dan

McPherson, 2004).Apabila hal tersebut berlangsung secara terus-menerus maka jumlah Hb pun akan semakin berkurang sehingga terjadilah Anemia defisiensi Besi (Masrizal,2007)

Faktor-faktor yang dapat mempengaruhi jumlah zat besi yang masuk dalam tubuh selain dari jumlah kandungan zat besi dari setiap jenis makanan yaitu jenis zat besi (heme atau non-heme), kemampuan absorbsi, dan keberadaan faktor pemercepat dan penghambat penyerapan zat besi. Metabolisme besi heme berbeda dengan besi non-heme. Besi heme dioksidasi oleh enzim heme oksigenase menjadi hemin yang kemudian diabsorbsi secara intak ke dalam tubuh, sedangkan besi non-heme sangat

(25)

dipengaruhi oleh komponen makanan yang mengikat besi di lumen intestinum (Strain and Cashman, 2002). Tidak seluruhnya besi yang diasup diabsorbsi. Hanya 1 – 2 mg besi yang diserap untuk mengimbangi pengeluaran (minimal) besi melalui feses dan urin. Diperlukan satu milligram besi untuk setiap milliliter sel darah merah yang diproduksi. Untuk eritropoiesis diperlukan 20 – 25 mg besi. Sebanyak 95% nya diperoleh dari daur ulang besi dari perputaran eritrosit dan hasil perombakan hemoglobin, sedangkan 5% didapat dari absorbsi besi (Sacher dan McPherson, 2004). Faktor-faktor selain asupan zat besi yang dapat menimbulkan terjadinya ADB antara lain absorbsi, peningkatan kebutuhan besi, dan pengeluaran zat besi (Wahyuni, 2004, Masrizal, 2007).

(26)

B. Kerangka Pemikiran

3. Fitat, tannin, kalsium >>

Sekresi besi : 1. Diare kronis 2. Infeksi Cacing

3. Perdarahan Riwayat BBLR,

bayi kembar

Status gizi buruk

Asupan zat besi

Besi heme Besi non-heme

(27)

BAB III

METODE PENELITIAN

A. Jenis Penelitian

Penelitian yang dilakukan merupakan jenis peneltian observasional analitik, yaitu mencari hubungan antara variabel bebas dan variabel terikatnya, dengan menggunakan pendekatan case control dimana identifikasi efek terlebih dahulu baru kemudian faktor resiko dipelajari secara retrospektif (Arif, 2004; Pratiknya, 2010)

B. Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian dilakukan di Bangsal Anak RSUD Dr.Moewardi pada bulan Mei – Agustus 2011.

C. Subjek Penelitian

Populasi yang digunakan dalam penelitian ini adalah pasien anak yang menjalani rawat inap di Bangsal Anak RSUD Dr. Moewardi. Untuk menentukan sampel dari populasi tersebut menggunakan kriteria tertentu untuk menghomogenkan sampel.

Adapun kriteria inklusi yang ditetapkan kepada sampel, antara lain: 1. Anak berusia 1 – 5 tahun (Balita) yang menderita ADB setelah dilakukan

screening ADB, sebagai kontrol dipilih anak yang tidak menderita anemia.

(28)

2. Setuju dan bersedia ikut serta dalam penelitian yang dinyatakan dengan menandatangani informed consent.

Sedangkan kriteria eksklusi yang ditetapkan antara lain: 1. Keganasan hematologi lain

2. Mengkonsumsi tablet besi dan vitamin C secara teratur 1 bulan sebelumnya sampai dilakukan screening.

3. Kadar ferritin di atas normal.

4. Penyakit kronik, diare menahun, keganasan, infeksi kronik. 5. Status gizi buruk (nilai BB/TB < -3 SD)

D. Teknik Pengambilan Sampel

Dalam menentukan sampel, penelitian ini menggunakan teknik purposive sampling, yaitu pemilihan subyek berdasarkan

pertimbangan-pertimbangan terbaik peneliti sehingga dapat memberikan informasi yang akurat dan efisien (Murti, 2006). Besar sampel yang dibutuhkan untuk penelitian ini menggunakan rumus sampel pada analisis multivariat. Oleh karena itu jumlah sampel yang diperlukan akan lebih besar dibandingkan dengan desain yang tidak menggunakan analisis multivariat. Variabel bebas (termasuk faktor perancu) yang digunakan 5, maka memakai rumus:

n = jumlah sampel

m = jumlah variabel bebas (termasuk variabel perancu yang dikendalikan)

n> 50+m

(29)

Jadi besar sampel yang dibutuhkan adalah: n> 50+4

n> 54

Penelitian ini menggunakan jumlah sampel sebesar 54 subjek, dengan pembagian 27 subjek sebagai kontrol dan 27 subjek sebagai kasus.

E. Skema Penelitian

Skema 2. Skema penelitian

F. Instrumen Penelitian

1. Lembar identitas pasien sebagai data primer.

2. FFQ (Food Frequency Quoetionnaires) sebagai data primer. 3. Status pasien sebagai data sekunder.

(30)

G. Identifikasi Variabel Penelitian 1. Variabel bebas: Asupan zat besi

2. Variabel terikat: Insidensi Anemia Defisiensi Besi 3. Variabel perancu

a. Terkendali

Faktor-faktor yang dapat dikendalikan antara lain usia, penyakit kronis, diare menahun, riwayat BBLR, riwayat ASI eksklusif, gizi buruk, konsumsi tablet besi dan vitamin C.

b. Tidak Terkendali

Faktor-faktor yang tidak dapat dikendalikan antara lain genetik, jenis kelamin, anatomi, asupan makanan penghambat dan pemicu absorbsi besi, tingkat absorbsi, cara memasak, perdarahan saluran cerna.

H. Definisi Operasional Variabel 1. Balita

Menurut Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI), Balita atau anak pra sekolah adalah golongan anak dengan umur 1 – 5 tahun. Dipilih balita dalam kriteria sample mengacu pada prevalensi dari ADB yang banyak terjadi pada periode balita. Dari data terakhir survei kesehatan dari Dinas Kesehatan Kota Surakarta dari tahun 2001 – 2009 didapat sekitar 57,9% kasus anemia pada anak Balita dan 54,7% pada anak sekolah (Dinas Kesehatan Kota Surakarta, 2009).

(31)

2. Asupan zat besi

Asupan zat besi merupakan jumlah asupan zat besi heme dan non-heme yang dikonsumsi balita dari makanan dan minuman. Untuk menentukan kriteria jumlah asupan makan anak, diperlukan pengukuran konsumsi makanan menggunakan metode kualitatif, yaitu Food Frequency Quetionaire untuk mengetahui frekuensi konsumsi sejumlah makanan selama periode tertentu (Supariasa, 2002). Jumlah asupan yang diambil adalah asupan sebelum masuk rumah sakit.Angka kecukupan Gizi (AKG) zat besi untuk balita adalah 8 – 9 mg per hari.

Penilaian asupan besi dibagi menjadi dua golongan(Gibson, 2005): a. Normal : bila asupan zat besi per hari 77% AKG

b. Defisit : bila asupan zat besi per hari < 77% AKG Skala: nominal

3. Anemia defisiensi besi

ADB merupakan sutu keadaan dimana kadar hemoglobin kurang dari 11 µg/L untuk anak usia 12 – 59 bulan (Baker et al, 2010). Tahap awal sebelum terjadinya ADB adalah deplesi besi yang ditandai dengan berkurangnya besi dan feritin serum serta cadangan besi di sumsum tulang. Bila keadaan berlangsung terus-menerus sehingga mengganggu proses eritropoiesis disebut eritropoiesis defisiensi besi yang ditandai peningkatan free erythrocyte protoporphyrin, TIBC, serum transferin reseptor, dan

(32)

pembentukan Hb sehingga eritrosit menjadi kecil dan pucat disebut ADB (Lee, 2004).

Penilaian variabel ini digolongkan menjadi 2, yaitu:

a. ADB : bila dalam pemeriksaan lab didapatkan hasil Hb < 11µg/L, Anemia hipokromik mikrositer pada hapusan darah tepi, MCV < 80 fl, MCH < 27 pg/sel, MCHC < 31 %, besi serum < 50 mg/dL, TIBC > 350 mg/dL, feritin serum < 12 mg/L atau < 100 mg/L (bila disertai infeksi) (Theurl et al, 2009)

b. Tidak ADB : bila dalam pemeriksaan lab didapatkan Hb dalam batas normal (11 – 14 g/dL)

Skala: nominal

4. ASI Eksklusif

ASI eksklusif yaitu pemberian ASI sedini mungkin setelah persalinan, diberikan tanpa jadwal, dan tidak diberi makanan lain, walaupun hanya air putih (Purwanti, 2004). Pemberian ASI eksklusif dilakukan selama 6 bulan pertama karena pada masa tersebut ASI dapat memenuhi 100% kebutuhan bayi (Suradi, 2008). Dalam penelitian ini, riwayat ASI eksklusif berlaku sebagai variabel perancu yang terkendali (dikendalikan dengan análisis multivariat). Penggolongan variabel ini adalah sebagai berikut:

(33)

b. Tidak ASI eksklusif : bila sampai umur 6 bulan diberi susu formula saja atau ASI+susu formula

Skala: nominal

5. BBLR

Berat Badan Lahir Rendah (BBLR) merupakan bayi yang dilahirkan dengan berat badan kurang dari 2.500 gram. Dalam penelitian ini BBLR sebagai variabel perancu terkendali. Namun pada saat pengambilan sampel di lapangan, subjek yang memiliki riwayat BBLR tidak ada.

I. Teknik Analisis Data

Penelitian ini kedua variabelnya menggunakan jenis variabel kategorikal dengan skala nominal. Disain penelitian yang digunakan adalah studi case control sehingga memakai uji beda dengan rumus Chi-Square. Faktor perancu yang tidak diekslusi dikontrol menggunakan analisis multivariat. Faktor tersebut meliputi riwayat ASI eksklusif dan asupan zat besi. Untuk mengukur faktor resiko asupan besi dan beberapa faktor perancu terhadap insidensi ADB digunakan analisis regresi logistik ganda. Ukuran kekuatan hubungan antar variabel ditentukan dengan Odds Ratio (OR), dengan memperhatikan taraf signifikan = 0,05. Data dianalisis menggunakan program SPSS for window.

(34)

Menghitung Crude analysis dengan variabel bebas asupan zat besi, dan variabel terikat ADB:

Tabel 1. Uji Chi Ssquare

Variabel bebas Variabel terikat.

ADB Tidak ADB

Asupan besi defisit a b

Asupan besi normal c d

Rumus : OR= ad bc Keterangan :

a, b, c, d = frekuensi dari variabel bebas dan terikat serta variabel pembanding.

Menghitung Adjusted analysis dengan uji analisis multivariat dengan model regresi logistik ganda:

Rumus p = 1 1+ e - (a+ BnXn) OR = eksponen B a = konstanta

p = probabilitas untuk ADB

x1 = riwayat ASI eksklusif (0:Ya, 1:Tidak)

x2 = asupan zat besi (0:Normal, 1:Defisit)

(35)

BAB IV HASIL

Pengambilan data pada penelitian ini dilakukan mulai bulan April sampai bulan Juli 2011. Karakteristik dari 54 sampel yang telah dikumpulkan sebagai berikut:

A.Karakteristik sampel

1. Karakteristik sampel menurut insidensi ADB

Tabel 2. Karakteristik Sampel Menurut Insidensi ADB

Kelompok Jumlah %

ADB Tidak ADB

27 27

50 50

Total 54 100

Tabel 2 menjelaskan bahwa dari 54 sampel yang didapat, dibagi ke dalam 2 kelompok, yaitu kelompok kasus (ADB) dan kelompok kontrol (Tidak ADB). Setiap kelompok memiliki distribusi yang sama yaitu sejumlah 27 subjek atau sebesar 50 %

(36)

2. Karakteristik sampel menurut riwayat ASI eksklusif

Tabel 3. Karakteristik Sampel Menurut Riwayat ASI Eksklusif

Riwayat ASI Eksklusif Jumlah %

Ya eksklusif (Ya) dan tidak mendapatkan ASI eksklusif (Tidak) memiliki distribusi yang hampir sama, dimana kelompok yang mendapatkan ASI eksklusif sebesar 46,3% (25 sampel). Sedangkan kelompok yang tidak mendapatkan ASI eksklusif sedikit lebih tinggi (7,4%) yaitu sebesar 53,7 % (29 sampel).

3. Karakteristik sampel menurut asupan zat besi

Tabel 4. Karakteristik Sampel Menurut Asupan Zat Besi

Asupan Zat Besi Jumlah % besi yang defisit sebesar 44,4% (24 sampel).

(37)

4. Karakteristik sampel menurut penyakit yang menyertai a. Kelompok kasus

Tabel 5. Karakteristik Sampel Menurut Penyakit yang Menyertai pada Kelompok Kasus

Tabel 5 menjelaskan berbagai penyakit penyerta yang dimiliki kelompok kasus (Balita ADB) dimana kasus diare akut dehidrasi sedang memiliki jumlah terbanyak, yaitu 16 dari 27 sampel (59,26%) sedangkan diare akut tanpa dehidrasi, otitis mdia akut, tonsilofaringitis akut, asma, pangastritis, epilepsi fokal, dan kejang demam simplek masing-masing berjumlah 1 sampel.

Penyakit Penyerta Jumlah %

Pneumonia 2 7,40

Diare akut dehidrasi sedang 16 59,26

Diare akut tanpa dehidrasi 1 3,70

Otitis media akut 1 3,70

Infeksi saluran kemih 2 7,40

Tonsilofaringitis akut 1 3,70

Asma 1 3,70

Pangatritis 1 3,70

Epilepsi fokal 1 3,70

Kejang demam simplex 1 3,70

Total 27 100

(38)

b. Kelompok kontrol

Tabel 6. Karakteristik Sampel Menurut Penyakit yang Menyertai pada Kelompok Kontrol

Pada Tabel 6, menunjukkan penyakit penyerta terbanyak yang dimiliki kelompok kotrol (Balita non-anemia) adalah diare akut dehidrasi sedang yaitu 29,63% (8 sampel), urutan kedua dengan jumlah 5 sampel, yaitu faringitis akut, urutan ketiga dengan jumlah 4 sampel yaitu diare akut tanpa dehidrasi dan rhinofaringitis akut.

B. Analisis Bivariat

Hal yang pertama dilakukan dalam menganalisis data adalah mencari hubungan antara variabel bebas dan variabel terikat. Untuk mencarinya dapat digunakan analisis bivariat. Analisis bivariat juga merupakan salah satu

Penyakit Penyerta Jumlah %

Pneumonia 1 3,70

Diare akut dehidrasi sedang 8 29,63

Diare akut tanpa dehidrasi 4 14,82

Faringitis akut 5 18,52

Rhinofaringitis akut 4 14,82

Tonsilofaringitis akut 3 11,11

Bronkolitis 1 3,70

Dispepsia 1 3,70

Total 27 100

(39)

langkah untuk melakukan seleksi terhadap variabel yang akan masuk ke dalam analisis multivariat. Adanya hubungan secara statistik antara variabel bebas dan variabel luar terkendali dengan variabel terikat ditunjukkan dengan nilai p < 0,05 dan nilai OR>1. Variabel yang akan dianalisis secara bivariat yaitu status gizi dan riwayat ASI eksklusif.

1. Hubungan antara Riwayat ASI Eksklusif dengan Insidensi ADB

Tabel 7. Hubungan antara Riwayat ASI Eksklusif dengan Insidensi ADB ADB

Ya % Tidak %

Riwayat ASI Eksklusif

Tidak 17 63 12 44,4

Ya 10 37 15 55,6

Total 27 100 27 100

X2=1,862 ; p = 0,172;OR =2,125; 95%CI = 0,715 – 6,315

Tabel di atas menunjukkan dari 27 sampel pada kelompok kasus (ADB), 17 di antaranya (63%) termasuk kategori Balita yang tidak mendapatkan ASI eksklusif, dan 10 sampel (37%) merupakan kategori Balita yang tidak mendapatkan ASI eksklusif. Pada kelompok kontrol (tidak ADB), dari 27sampel terdapat 12 sampel (44,4%) yang mendapatkan ASI eksklusif, sedangkan ada 15 sampel (55,6%) yang tidak mendapatkan ASI eksklusif.

(40)

lebih tinggi dibanding yang mendapatkan ASI eksklusif. Namun, secara statistik tidak signifikan yang ditunjukkan dari nilai p > 0,05 yaitu 0,172.

2. Hubungan antara Asupan Zat Besi dengan Insidensi ADB

Tabel 8. Hubungan antara Asupan Zat Besi dengan Insidensi ADB

ADB

Ya % Tidak %

Asupan Zat Besi

Defisit 18 66,7 6 22,2

Normal 9 33,3 21 77,8

Total 27 100 27 100

X2=10,800; p =0,001 ; OR = 7,00; 95%CI = 2,088 –23,468

Tabel di atas menunjukkan dari 27 sampel pada kelompok kasus (ADB), 18 sampel (66,7%) memiliki asupan zat besi yang defisit, dan 9 di antaranya (33,3%) memilki asupan besi yang normal. Pada kelompok kontrol (Tidak ADB), dari 27 sampel, terdapat 6 sampel (22,2%) yang mempunyai defisit asupan besi, sedangkan yang memiliki asupan besi normal ada 21 sampel (56,25%).

Hasil analisis bivariat yang menggunakan Chi Kuadrat diperoleh nilai 10,800 dengan OR= 7. Dengan demikian berarti bahwa Balita dengan asupan besi yang defisit dapat menimbulkan insidensi ADB sebesar 7 kali lebih besar dari Balita yang asupan besinya normal.Atau bisa diintrepetasikan bahwa probabilitas pasien yang mengalami defisit asupan besi untuk menjadi ADB

(41)

adalah sebesar 87,5%. Secara statistik, hasil ini bermakna sangat signifikan karena diperoleh hasil p = 0,001.

C. Analisis Regresi Logistik Ganda

Analisis multivariat dilakukan untuk mengetahui seberapa besar sumbangan seluruh variabel bebas maupun variabel luar terkendali secara bersama – sama terhadap kejadian lama persalinan memanjang. Analisis ini menggunakan uji regresi logistik ganda dengan metode Enter pada tingkat kemaknaan 95%.

Tabel 9. Hasil analisis Regresi Logistik Ganda tentang Hubungan Asupan Zat Besi dengan Insidensi Anemia Defisiensi Besi (ADB) dengan

Mengontrol Pengaruh Riwayat ASI Eksklusif

Variabel Bebas OR

CI 95%

p Batas bawah Batas atas

Asupan zat besi defisit 6,46 1,89 22,05 0,003

Tidak ASI Eksklusif 1,53 0,46 5,15 0,492

N observasi = 54

-2 Log likelihood = 63,17 Nagelkerke R2 = 25,9%

Tabel tersebut menjelaskan bahwa terdapat hubungan yang signifikan secara statistik antara asupan zat besi dengan insidensi anemia defisiensi besi dengan p = 0,003. Balita dengan defisit asupan zat besi memiliki resiko untuk

(42)

mengalami anemia defisiensi besi 6,5 kali lebih besar dari asupan zat besi normal.Hasil ini telah mengontrol pengaruh dari riwayat ASI eksklusif.

Nagelkerke R2 = 25,9% mengandung arti bahwa asupan zat besi defisit dan tidak ASI eksklusif secara bersama mampu menjelaskan terjadinya ADB sebesar 25,9%.

(43)

BAB V PEMBAHASAN

Pengambilan sampel ADB pada penelitian ini dilakukan di Bangsal Anak RSUD Dr. Moewardi, sehingga keberadaan infeksi tidak dapat terabaikan. Kejadian ADB di rumah sakit memang kebanyakan disertai dengan kejadian infeksi. Junca et. al. (1998) pun pernah meneliti bahwa pasien anemia di rumah sakit seringnya disertai dengan infeksi sedangkan defisiensi besi merupakan penyebab tersering anemia. Oleh karena itu sangat sulit membedakan apakah anemia itu disebabkan murni karena defisiensi besi atau penyakit kronis. Banyak referensi yang menyatakan bahwa diagnosis ADB yang bersamaan dengan proses inflamasi memang cukup sulit untuk itu cutoff yang digunakan pun berubah. Untuk membedakan ADB yang tercampur infeksi dengan anemia karena penyakit kronis menggunakan cutoff feritin < 100 mg/L. Bila feritin lebih dari dari normal (> 100) maka kemungkinan besar penyebab anemia tersebut tidaklah lagi karena defisiensi besi melainkan penyakit kronis murni (Theurl et.al., 2009). Penelitian Kis dan Carnes (1998) juga menyebutkan bahwa cutoff < 100 mg/L sudah optimal untuk menentukan terjadinya defisiensi besi pada pasien anemia yang disertai dengan inflamasi, infeksi, dan keganasan.

Penyakit penyerta terbanyak pada kelompok baik kasus maupun kontrol adalah diare akut dehidrasi sedang, tetapi jumlah pada kelompok kasus lebih banyak (lebih dari setengahnya) dan perbandingan dengan kasus lainnya cukup jauh. Pada kelompok kontrol, walaupun jumlah Balita yang memiliki diare akut

(44)

dehidrasi sedang paling banyak tetapi perbedaan jumlah dengan penyakit penyerta lainnya tidak terpaut jauh. Dari hasil tersebut dapat diketahui bahwa kasus tersering yang mempengaruhi timbulnya ADB pada Balita adalah diare akut dehidrasi sedang. Hal ini bisa dijelaskan dengan teori, sistem pencernaan apabila mengalami suatu gangguan (diare) tentu saja akan mempengaruhi fungsinya dalam mengabsorbsi makanan yang masuk, dalam hal ini adalah zat besi. Bila terjadi diare, maka zat besi yang diabsorbsi akan semakin berkurang dan pengeluarannya meningkat. Selain itu, gangguan absorbsi dan pengeluaran besi yang meningkat juga merupakan salah satu faktor terjadinya ADB (Wahyuni, 2004; Masrizal, 2007). Namun, hal ini tidak mutlak demikian bila melihat pada kelompok kontrol juga teryata ada 8 dari 27 sampel yang memiliki penyakit penyerta tersebut. Hal ini bisa dipengaruhi oleh faktor yang mempercepat (enhancer) dan memperlambat (inhibitor) penyerapan dari zat besi tersebut.

Variabel bebas yang digunakan dalam penelitian ini adalah asupan zat besi dengan variabel luar terkendali adalah riwayat ASI eksklusif. Dari hasil analisis multivariat dengan regresi logistik ganda didapatkan hasil bahwa variabel asupan zat besi berhubungan dengan insidensi ADB pada Balita di Bangsal Anak RSUD Dr. Moewardi. Hubungan tersebut bernilai signifikan secara statistik yang ditunjukkan dengan nilai p = 0,003. Balita yang mengalami defisit asupan zat besi memiliki resiko untuk terjadinya ADB sebesar 6,46 kali lebih besar dibandingkan dengan yang memilki asupan zat besi normal (OR = 6,46; CI 95% = 1,89 – 22,05). Hasil demikian pun seperti penelitian Margiani (2006) yang menyebutkan bahwa terdapat hubungan antara tingkat konsumsi zat besi dengan status anemia

(45)

dengan tingkat signifikansi sebesar 0,032.Dimana kejadian anemia terbanyak disebabkan oleh anemia defisiensi besi.

Hasil tersebut menguatkan teori asupan zat besi sebagai salah satu faktor resiko ADB. Apabila jumlah zat besi yang dikonsumsi cukup maka cadangan zat besi dalam tubuh pun akan tercukupi dimana akan digunakan untuk pembentukan Hb dan eritrosit dengan asumsi tidak ada malabsorbsi dalam saluran pencernaan ataupun sekresi yang berlebihan dari zat besi tersebut. Namun, bila jumlah zat besi yang dikonsumsi tidak mencukupi AKG, maka cadangan besi akan berkurang karena digunakan untuk pembentukan Hb dan eriotrosit dan semakin lama akan habis sehingga mengganggu proses eritropiesis.

Faktor risiko yang lain dan menjadi variabel perancu dalam penelitian ini adalah riwayat ASI eksklusif. Dari hasil analisis multivariat didapatkan tidak ada hubungan dengan insidensi ADB ditunjukkan dengan hasil yang tidak signifikan (p = 0,492). Jika dilihat dari nilai OR yaitu 1,53 balita yang tidak mendapatkan ASI eksklusif akan mengalami ADB satu setengah kali lebih besar dari balita yang mendapatkan ASI eksklusif, tetapi dikatakan tidak bermakna karena nilai CI 95% tidak semua di atas 1 (OR = 1,53; CI 95% = 0,46 – 5,15).

Hasil tersebut jelas bertentangan dengan teori dimana riwayat ASI eksklusif ini merupakan faktor secara tidak langsung untuk terjadinya ADB. ASI disini sebagai asupan ketika bayi yang bisa menjadi cadangan besi dalam masa pertumbuhan. Menurut Schwartz (2000) besi dalam ASI diserap oleh tubuh sebanyak 48% sedangkan dalam makanan hanya sebesar 5 – 10%. Begitu juga menurut Wahyuni (2004), walaupun jumlah besi dalam ASI rendah, sebanyak

(46)

49% zat besi dalam ASI dapat diabsorbsi oleh bayi. Sedangkan susu sapi hanya dapat diabsorbsi sebanyak 10 – 12% zat besi. Dengan tingginya absorbsi dari zat besi tersebut dapat digunakan sebagai cadangan besi di dalam tubuh yang sangat diperlukan untuk pertumbuhan dan aktifitas yang lain.Teori ini ditunjang dengan penelitian yang dilakukan oleh Raj et. al. (2008) yang menyatakan bahwa pemberian ASI eksklusif sampai 6 bulan mencegah berkembangnya defisiensi besi ataupun anemia defisiensi besi. Penelitian yang sama juga dilakukan oleh Picasane et.al yang menyebutkan bahwa 30 bayi yang mendapatkan ASI eksklusif pada bulan ke tujuh dan seterusnya tidak mengalami defisiensi besi sedang 43% bayi yang tidak mendapatkan ASI eksklusif mengalami anemi pada umur 12 bulan.

Hasil yang berlainan ini dengan penelitian yang dilakukan oleh Raj et al dan Picasane et al ini bisa dikarenakan umur subjek yang berbeda dimana pada penelitian ini menggunakan subjek balita. ASI eksklusif diberikan sampai umur 6 bulan dan setelah itu kebutuhan akan ASI menurun dan digantikan oleh makanan pendamping. Dengan kondisi seperti ini bisa menjelaskan bahwa riwayat ASI tidak bisa menjadi faktor resiko timbulnya ADB untuk balita karena lebih banyak dipengaruhi oleh asupan makanan.Dalam buku ajar Ilmu Kesehatan Anak (Hasan et al, 2007) dijelaskan bahwa penyebab ADB untuk anak balita lebih banyak

disebabkan oleh infeksi yang berulang dan diet yang tidak adekuat.

Penilitian ini memiliki kekhususan dibandingkan penelitian yang lain, yaitu tempat pengambilan sampel dilakukan di Bangsal Anak RSUD Dr. Moewardi yang berarti bahwa sampel yang diambil adalah Balita yang sudah

(47)

memiliki riwayat sakit (memprhitungkan faktor infeksi) serta faktor sosio ekonomi yang sama, yaitu golongan menengah ke bawah sehingga jenis makanan yang dimakan kesehariannya tidak berbeda jauh. Untuk itu, hasil dari penelitian ini tidak dapat disamakan dengan penelitian pada anak-anak yang sehat (tidak memiliki penyakit penyerta saat pengambilan sampel). Namun, kelemahan yang terdapat dalam penelitian ini adalah tidak memperhitungkan jumlah asupan faktor enhancer (seperti vitamin C, dan berbagai jenis protein) dan inhibitor (seperti

tannin dalam teh, phytat, kalsium) dimana turut berperan serta dalam absorbsi zat besi di dalam tubuh, terutama untuk golongan besi non-heme.

(48)

BAB VI

SIMPULAN DAN SARAN

A. SIMPULAN

Terdapat hubungan antara asupan zat besi dengan insidensi anemia defisiensi besi dimana balita dengan asupan zat besi defisit memiliki risiko untuk mengalami anemia defisiensi besi 6,46 kali lebih besar daripada asupan zat besi normal. Hubungan tersebut secara statistik signifikan dan simpulan ini telah mengontrol pengaruh dari riwayat ASI eksklusif.

B. SARAN

1. Lebih memperhatikan kebutuhan mikronutrien (khusunya zat besi) untuk Balita.

2. Perlu dilakukan upaya yang lebih efektif dalam pengenalan faktor risiko yang bisa menyebabkan Anemia Defisiensi Besi (ADB) sehingga kejadian ADB dapat ditekan.

3. Menyajikan makanan sesuai dengan angka kecukupan gizi (AKG) yang dianjurkan untuk mencegah defisiensi zat gizi (khususnya besi). 4. Menggunakan Food Frequency Quetionaire yang lebih lengkap

dimana memperhitungkan faktor enhancer dan inhibitor penyerapan zat besi dalam penelitian selanjutnya.

(49)

DAFTAR PUSTAKA

Adnyana W.L., Bakta I.M., Suega K., Darmayuda T.G. 2007. Hubungan Feritin Serum dengan Kadar IL-2 Pada Penderita Anemia Defisiensi Besi. J Peny Dalam. 8(1): 14-15.

Almatsier S. 2004. Prinsip Dasar Ilmu Gizi. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, pp: 249-251.

Alton I. 2005. Iron Deficiency Anemia.

http://www.epi.umn.edu/let/pubs/adol_book.shtm. (7 Desember 2010)

Arief M. 2004. Pengantar Metodologi Penelitian Untuk Ilmu Kesehatan. Klaten: CSGF, p:68.

Argana G., Kusharisupeni, Utari D.M. 2004. Vitamin C Sebagai Faktor Dominan Untuk Kadar Hemoglobin Pada Wanita Usia 20 - 35 Tahun. J kedokteran Trisakti. 23:7;11-12.

Atmarita. 2005. Nutrition Problems in Indonesia. Paper presented at An Integrated International Seminar and Workshoop on Lifestyle Related Disease. Jogjakarta: UGM.

Azwar A. 2004. Kecenderungan Masalah Gizi dan Tantangan di Masa Datang. http://gizi.net/makalah/Makalah%20Dirjen-Sahid%202.PDF. (25 Februari 2011).

Baker R.D. et al. 2010.Diagnosis and Prevention of Iron Deficiency and Iron-Deficiency Anemia in Infants and Young Children (0 – 3 Years of Age).Pediatrics. 126:1040-1043.

Bakta I.M., Suega K., Dharmayuda T.G. 2007. Anemia Defisiensi Besi. Dalam: Sudoyo A.W., Setiyohadi B., Alwi I., Simadibrata M., Setiati S. (eds). Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta: Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, pp: 634-635.

(50)

Dinas Kesehatan Kota Surakarta. 2009. Profil Kesehatan Kota Surakarta tahun 2002. Surakarta: Dinas Kesehatan.

Gallagher M.L. 2008. The Nutrients and Their Metabolism. In: Mahan L.K., England: John Libbey & Company Ltd.

Husaini MA. 1989.Study Nutritional Anemia AnAssessment Of Information. Complication For Supporting And Formulating National Policy And Program. Jakarta: Direktorat Gizi dan PusatPenelitian dan Pengembangan Departemen Kesehatan RI.

Hasan R. et al. 2007. Buku Kuliah Ilmu Kesehatan Anak. Jakarta: Info Medika, p: 434.

IDAI. 2009. Mempersiapkan Anak Masuk Sekolah.

http://www.idai.or.id/kesehatananak/artikel.asp?q=1952317104122. (25 Februari 2011).

Kis M. et. al. 1998.Detecting Oron Deficiency in Anemic Ptients with Concomitant Medical Problems.JGen Intern Med. 13: 455 – 461.

(51)

Masrizal. 2007. Anemia Defisiensi Besi. J Kesehatan Masyarakat. 2:141-142.

Muchtadi D. 2009. Pengantar Ilmu Gizi. Bandung: Penerbit Alfabeta.

Murti B. 2006. Desain dan Ukuran Sampel untuk Penelitian Kuantitatif dan Kualitatif di Bidang Kesehatan. Yogyakarta : Gadjah Mada University Press, pp: 68; 136.

Picasane A. et. al.1995. Iron Status in Breastfed Infants. J Pediatric. 127: 429 – 431.

Pratiknya A.W. 2010. Dasar-Dasar Metodologi Penelitian Kedokteran dan Kesehatan. Jakarta: Rajagrafindo Persada, p: 176.

Pudjiadi S. 2000. Ilmu Gizi Klinis pada Anak. Edisi 4. Jakarta: Balai Penerbit FKUI, p: 190.

Purwanti H.S. 2004.Konsep Penerapan ASI Eksklusif. Jakarta : EGC. pp:3,621,30.

Raj S. et.al. 2008. A Prospective Study of Iron Status in Exclusively Breastfed Term Infant Up to 6 Months of Age. International Breastfeeding Journal.3:3.

Sacher R.A., McPherson R.A.; Pendit B.U., Wulandari D. (terj). 2004. Tinjauan Klinis Hasil Pemeriksaan Laboratorium. Edisi 11. Jakarta: EGC, p: 38;40;68-69.

Sastra N.N., Multasih S., Sunaryo. 2005. Biovailabilitas Zat Besi. Anemia Defisiensi Besi. Yogyakarta: Medika, pp:1-6.

Schwartz E. 2000. Anemia karena Kekurangan Produksi. Dalam: Nelson W.E., Behrman R.E., Kliegman R.E., Arvin A.M. (eds); Wahab A.S dkk (terj). Ilmu Kesehatan Anak. Edisi 15. Jakarta: EGC, p: 1691.

(52)

Strain J.J. dan Cashman K.R. 2002. Minerals and Trace Element. In: Gibney M.J., Vorster H.H, Kok F.J. (eds). Introductionto Human Nutrition. Oxford: Blackwell Science, pp:194-195.

Subeno, B.T. 2007. Anemia Defisiensi Besi pada Anak Sekolah.http://www.suaramerdeka.com/harian/0706/25/ragam01.htm. 17 Februari 2011. (8 Februari 2011).

Supariasa I.D.N., Bakri B., Fajar I. 2002. Penilaian Status Gizi. Jakarta: EGC, p:94.

Suradi R. 2008. Penggunaan Air Susu dan Rawat Gabung.Dalam : Saifuddin A. B. (ed). Ilmu Kebidanan. Jakarta : PT Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo. pp: 375-376.

Theurl I. et al. 2009.Regulation of Iron Homeostasis in Anemia of Chronic Disease and Iron Deficiency Anemia: Diagnostic and Therapeutic Implications. Blood J. 113: 5278.

Wahyuni A.S. 2004. Anemia Defisiensi Besi Pada Balita. http://library.usu.ac.id/download/fk/fk-arlinda%20sari2.pdf. (7 Desember 2010).

WHO. 2001. Iron Deficiency Anaemia Assessment, Prevention, and Control A

Guide for Programme Managers.

http://whqlibdoc.who.int/hq/2001/WHO_NHD_01.3.pdf. (25 Februari 2011).

WHO. 2008. Worldwide Prevalence of Anaemia 1993 – 2005

WHO Global atabase on Anaemia.

http://whqlibdoc.who.int/publications/2008/9789241596657_eng.pdf. (25 Februari 2011).

Wood RJ, Ronnenberg AG. Iron.In: Shils ME, Shike M, Ross AC, Caballero B, Cousins RJ, editors. Modern Nutrition In Health and Disease. 10th edition. Philadelphia: Lippicott Williams & Wilkins. 2006.pg.248-70.

Gambar

Tabel 3. Karakteristik Sampel Menurut Riwayat ASI Eksklusif .........................  25
Tabel 1. Uji Chi Ssquare
Tabel 2. Karakteristik Sampel Menurut Insidensi ADB
Tabel 4. Karakteristik Sampel Menurut Asupan Zat Besi
+6

Referensi

Dokumen terkait

Dapat dilihat pada gambar 4.21 ketika terjadi hubung singkat satu fasa ke tanah maka sudut rotor semua generator pada mengalami osilasi tetapi dapat kembali ke nilai awal,

Pilaantuneen koealueen ja vertailualueen haapojen juurien, lehtien ja varsien alumiini-, kadmium-, kromi- ja kupari- pitoisuudet vuosina 2004 ja 2005.. “Laatikot” kuvaavat ylä-

Dengan ini kami menyampaikan penyedia barang/jasa sebagai pemenang Penunjukan Langsung paket pekerjaan tersebut di atas adalah sebagai berikut :.. Nama Perusahaan/Perseorangan :

Pasha (juru bicara presiden) sebanyak satu kalimat; sedangkan pemberitaaan lainnya lebih banyak memuat keterangan Anas, KPK, dan pengacaranya (Firman dan Adnan

Berdasarkan hasil tersebut menunjukkan bahwa budaya organisasi yang diterapkan di Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional Provinsi Jawa Tengah secara

Belum lagi den gan data transaksional m iliter yan g tidak dapat sepen uhn ya valid karen a kerahasiaan dari tran saksi tersebut Sebelum n ya pen eliti telah m elakukan pen

Lalu dibuatkan tangan dengan menggunakan bilahan bambu diikatkan pada buwu, kemudian diberi baju kebaya warnanya apa saja tidak ada ketentuan, pembuat boneka Cingcowong ini

Penelitian terdahulu diantaranya, Diani (2014) yang menyimpulkan bahwa peran internal audit sebagai pengendalian internal berpengaruh positif signifikan terhadap kualitas