• Tidak ada hasil yang ditemukan

8 D iktat Kimia Koordinasi

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "8 D iktat Kimia Koordinasi"

Copied!
8
0
0

Teks penuh

(1)

PENGANTAR

Garam Rangkap dan Garam Kompleks

Suatu senyawa adisi atau senyawa molekular terbentuk jika sejumlah stoikiometris dua atau lebih senyawa yang stabil direaksikan dan bergabung membentuk suatu senyawa yang baru. Pembentukan sejumlah senyawa adisi diberikan dalam beberapa contoh berikut :

KCl + MgCl2 + 6H2O  KCl.MgCl2.6H2O

carnallite

K2SO4 + Al2(SO4)3 + 24H2O  K2SO4.Al2(SO4)3.24H2O

kalium alum

CuSO4 + 4NH3 + H2O CuSO4.4NH3.H2O

tetraammintembaga(II) sulfat monohidrat

(NH4)2SO4 + FeSO4 + 6H2O FeSO4.(NH4)2SO4.6H2O

Garam Mohr

` Fe(CN)2 + 4KCN  Fe(CN)2.4KCN

kalium ferosianida

Ada dua jenis senyawa adisi: 1. garam rangkap

2. garam kompleks

1. Garam Rangkap

Suatu garam rangkap cukup stabil dalam fase padatannya. Jika garam rangkap ini dilarutkan dalam air, maka garam ini akan terurai menjadi ion-ion penyusunnya.

Misalnya jika kristal carnallite dilarutkan dalam air, maka dalam larutan akan terdapat ion-ion penyusun kristal karnalit tersebut, yaitu K+, Mg+, dan Cl-.

2. Garam Kompleks

(2)

akan terurai menjadi ion Cu2+, tetapi akan menghasilkan spesi terlarut berupa

ion kompleks [Cu(H2O)2(NH3)4]2+ yang stabil. Senyawa-senyawa yang

mengandung ion kompleks semacam ini disebut sebagai senyawa kompleks.

Kimia koordinasi adalah salah satu cabang dari kimia anorganik yang mempelajari tentang senyawa-senyawa kompleks. Senyawa kompleks terdiri atas suatu logam yang berperan sebagai atom pusat, ion logam ini dikelilingi sejumlah ligan yang berikatan langsung dengannya hingga membentuk suatu geometris tertentu.

Sifat-sifat kimiawi dari suatu senyawa kompleks ditentukan oleh konfigurasi elektron dari logam pusat, sifat-sifat ligan, dan interaksi yang terjadi antara logam dengan ligan.

SEJARAH KIMIA KOORDINASI

Pada awal perkembangannya, senyawa kompleks banyak mengundang pertanyaan bagi para ilmuwan disaat itu akan sifatnya yang stabil. Kestabilan dari senyawa tersebut tidak dapat dijelaskan dengan menggunakan teori-teori mengenai struktur dan valensi atom yang dikenal saat itu. Misalnya saja, bagaimana CoCl3 yang merupakan suatu garam yang

stabil dapat bereaksi dengan sejumlah senyawa seperti NH3 dan

menghasilkan sejumlah senyawa baru : CoCl3.6NH3; CoCl3.5NH3 dan

CoCl3.4NH3 ? Struktur semacam apa yang dimiliki oleh senyawaan tersebut?

Bagaimana ikatan yang terbentuk antar atom dalam senyawaan itu?

Untuk meneliti sifat dan struktur dari senyawa semacam itu, para ilmuwan membuat berbagai macam senyawa dengan reaksi kimia yang sederhana untuk mencari suatu pola tertentu dari senyawa-senyawa tersebut.

A. Teori Jorgensen

(3)

Co NH3

Jorgensen mengajukan teorinya berdasarkan reaksi pengendapan AgCl oleh CoCl3.xNH3. Jorgensen mengusulkan struktur untuk CoCl3.6NH3, CoCl3.5NH3, CoCl3.4NH3

masing-masing sebagai berikut :

Menurut Jorgensen, atom Cl yang terikat langsung pada Co terikat sangat kuat sehingga tidak dapat diendapkan, sementara atom Cl yang terikat pada NH3 mudah lepas sehingga dapat diendapkan oleh perak nitrat. Hasil

eksperimen untuk reaksi CoCl3.6NH3, CoCl3.5NH3, CoCl3.4NH3 sesuai dengan

struktur teoritis yang diajukan. Akan tetapi teori Jorgensen ini tidak dapat menjelaskan struktur yang sesuai untuk senyawa CoCl3.4NH3.

CoCl3.6NH3

CoCl3.5NH3

(4)

B. Teori Alfred Werner

Pada tahun 1893, ilmuwan berkebangsaan Swiss, Alfred Werner mengajukan suatu teori mengenai ikatan yang terbentuk dalam suatu kompleks.

Postulat-postulat dari teori Werner adalah sebagai berikut :

1. Dalam senyawa kompleks, ion logam yang menjadi atom pusat dapat memiliki dua macam valensi, yaitu valensi primer dan valensi sekunder.

2. Logam pusat memiliki kecenderungan untuk menjenuhkan baik valensi primer maupun valensi sekudernya.

3. Valensi primer diisi oleh anion, dan tidak menentukan geometri dari kompleks. Spesi yang mengisi valensi primer dapat diionkan sehingga dapat diendapkan.

4. Valensi sekunder dapat diisi baik oleh anion maupun spesi netral. Spesi yang mengisi valensi sekunder terikat dengan kuat dan memiliki kedudukan khusus dalam ruang

5. Banyaknya spesi yang mengisi valensi sekunder menentukan bentuk geometri dari kompleks

Dalam pengertian modern, valensi primer dalam Teori Werner adalah tingkat oksidasi dari logam pusat. Spesi yang mengisi valensi sekunder adalah ligan, dan jumlah valensi sekunder dalam istilah modern disebut sebagai bilangan koordinasi.

Berdasarkan postulat-postulat di atas, Werner dapat meramalkan struktur dari CoCl3.xNH3.

Misalnya pada senyawa CoCl3.6NH3, Werner menyatakan bahwa struktur

senyawa tersebut adalah sebagai berikut:

NH3

NH3

NH NH3

NH3 Co

Cl

(5)

Dalam struktur di atas, Co memiliki 6 valensi sekunder (----) dan memiliki bentuk geometris oktahedral. Kesemua valensi sekunder diisi oleh NH3. Co

masih memiliki tiga valensi primer ( ) dan ketiganya diisi oleh Cl. Karena Cl terikat pada valensi primer, maka Cl dapat terionkan dan diendapkan menjadi AgCl dengan larutan perak nitrat.

Untuk senyawa CoCl3.3NH3, Werner mengajukan struktur sebagai berikut:

Pada CoCl3.3NH3, Cl terikat pada valensi primer dan pada valensi

sekunder, sehingga tidak dapat terionkan dan diendapkan oleh perak nitrat. Dalam teori modern, maka valensi primer pada Teori Werner menunjukkan bilangan oksidasi dari logam pusat, sementara valensi sekunder adalah bilangan koordinasi yang menunjukkan banyaknya ligan yang dapat diikat oleh logam pusat.

BILANGAN ATOM EFEKTIF (EFFECTIVE ATOMIC NUMBER)

Pada tahun 1916, Lewis mengemukakan bahwa suatu ikatan kovalen terbentuk antara dua atom dalam suatu molekul melalu pemakaian bersama suatu pasangan elektron. Konsep Lewis ini selanjutnya dikembangkan oleh Sidgwick. Sidgwick mengemukakan suatu teori untuk pembentukan ikatan koordinasi (kadang-kadang juga disebut sebagai ikatan polar atau ikatan datif). Menurut Sidgwick, ligan mendonorkan pasangan elektron kepada ion logam, sehingga membentuk suatu ikatan koordinasi. Arah pemberian elektron dari ligan kepada ion logam ditunjukkan dengan tanda panah dari arah ligan menuju logam. Ikatan koordinasi tidak jauh berbeda dengan ikatan kovalen, karena sama-sama menyangkut pemakaian bersama pasangan elektron, perbedaannya hanya terletak pada pembentukan ikatan tersebut.

Co NH3

NH3 NH3

Cl

(6)

Co

satu pasang elektron untuk membentuk ikatan koordinasi dengan ion Co3+

sebagai ion pusat.

Kompleks [Co(NH3)6]3+, enam buah ligan NH3 yang mengelilingi Co3+ masing-masing

mendonorkan sepasang elektron pada Co3+ untuk membentuk ikatan, ditunjukkan dari arah

panah yang menuju Co3+ dari NH 3

Dalam konsepnya mengenai ikatan koordinasi ini, Sidgwick menyatakan bahwa jumlah elektron yang mengelilingi ion pusat, termasuk yang didonorkan oleh ligan disebut sebagai bilangan atom efektif (Effective Atomic Number, EAN) dari logam tersebut. Pada sebagian besar senyawa kompleks, jumlah elektron yang mengelilingi ion pusat sama dengan nomor atom dari gas mulia setelah logam tersebut dalam sistem periodik unsur. Fenomena ini disebut sebagai Aturan Bilangan Atom Efektif.

Untuk menghitung EAN suatu ion logam dalam kompleks tertentu dapat dilakukan dengan menggunakan rumus berikut :

EAN = (

Z

x

) + (

n

x

y

)

Dimana Z adalah nomor atom logam pusat, x adalah tingkat oksidasi dari logam pusat tersebut, n adalah jumlah ligan, dan y menunjukkan jumlah elektron yang disumbangkan oleh satu ligan.

Dalam kenyataannya, ternyata banyak senyawa-senyawa kompleks yang tidak mengikuti aturan EAN ini. Tetapi berdasarkan EAN tersebut sifat kemagnetan dari suatu senyawa dapat diramalkan. Kompleks yang mengikuti Aturan EAN (EAN sama dengan nomor atom gas mulia terdekat dari logam) bersifat diamagnetik. Sebaliknya, kompleks yang tidak mengikuti aturan EAN bersifat paramagnetik. Hal ini telah dibuktikan melalui ekperimen.

Misalnya saja, untuk ion Co3+ (nomor atom Co = 27) dalam kompleks

(7)

kompleks tersebut, Co3+ dikelilingi oleh 6 ligan NH

3. Maka EAN dari Co3+

dalam kompleks tersebut dapat dihitung sebagai berikut.

(27 - 3) + (6 x 2) = 36 (sama dengan nomor atom Kripton, gas mulia setelah Co dalam SPU.

Harga EAN dari Co3+ dalam kompleks tersebut mengikuti Aturan EAN,

sehingga dapat diramalkan bahwa kompleks tersebut bersifat diamagnetik Sebaliknya, sejumlah kompleks yang tidak mengikuti Aturan EAN ternyata bersifat paramagnetik. Misalkan untuk kompleks [Cu(NH3)4]2+. Nomor atom Cu

adalah 29, ion Cu2+ dalam kompleks tersebut dikelilingi 4 ligan NH

3 yang

masing-masing menyumbangkan dua buah elektron. Dengan demikian harga EAN dari Cu2+ dalam kompleks tersebut adalah : (29 – 2 ) + ( 4 x 2 ) = 35.

Harga ini tidak sesuai dengan aturan EAN. Dengan demikian kompleks [Cu(NH3)4]2+ dapat diramalkan bersifat paramagnetik. Jumlah elektron tidak

berpasangan yang ada dalam kompleks ini dapat dihitung dari selisih antara nomor atom gas mulia sesudah atom logam dengan harga EAN dari logam pada kompleks tersebut. Untuk kasus kompleks [Cu(NH3)4]2+ seperti di atas,

jumlah elektron tidak berpasangan yang ada dalam kompleks adalah 36 (nomor atom Kr) – 35 (EAN dari Cu2+) = 1

Harga momen magnetik (μ) suatu kompleks dapat dihitung dengan menggunakan rumus berikut :

μ = { n ( n + 2) }

½

(8)

LATIHAN

1. Larutan FeSO4 yang direaksikan dengan larutan (NH4)2SO4 dengan

perbandingan molar 1:1) memberikan hasil positif atas uji keberadaan ion Fe2+. Akan tetapi larutan CuSO

4 yang dicampurkan dengan NH3

cair (dengan perbandingan molar 1:4) tidak memberikan hasil positif atas uji keberadaan ion Cu2+. Jelaskan mengapa!

2. Jelaskan mengapa [Pt(NH3)2Cl2] dan [Pt(NH3)6]Cl4 memiliki

konduktivitas elektrolit yang berbeda!

3. Urutkan kompleks-kompleks berikut berdasarkan kenaikan konduktivitas elektrolitnya : [Co(NH3)3Cl3]; [Co(NH3)5Cl]Cl2;

[Co(NH3)6Cl3; dan [Co(NH3)5Cl]Cl!

4. Tentukan jumlah elektron tidak berpasangan dan momen magnetik dari : (a) [Cu(NH3)4]2+

(b) [Cr(NH3)6]Cl3

Referensi

Dokumen terkait

Data penelitian yang digunakan adalah data sekunder, yaitu data yang berasal dari rekam medis penderita kanker paru primer Rumah Sakit Umum Pusat Haji Adam Malik.. Jumlah

Data yang dibutuhkan dalam penelitian ini meliputi data primer dan data sekunder, data primer berupa jumlah Tempat Penampungan Sementara (TPS) resmi dan TPS liar di

Dalam penelitian kualitatif, karena permasalahan yang dibawa oleh peneliti masih berssifat sementara, maka teori yang digunakan dalam penyusunan proposal penelitian

Data-data dan informasi yang tel- ah diperoleh kemudian terkumpul baik dari data primer maupun data sekunder akan di analisa sesuai kebutuhan perancangan bangunan Pusat