• Tidak ada hasil yang ditemukan

DAMPAK SOSIAL BUDAYA PARIWISATA docx

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "DAMPAK SOSIAL BUDAYA PARIWISATA docx"

Copied!
14
0
0

Teks penuh

(1)

DAMPAK SOSIAL BUDAYA PARIWISATA

OLEH : KELOMPOK 4

ARVINNI DWI OKTAVIA DANNI ANGGRIANI DESY INDAHSWARI IBNU ABDUH REZA UUN LESTARI ANNA DARA SUARDI FARID AZIZ

FAHMIL ALAMSYAH

PROGRAM STUDI SOSIAL EKONOMI PERIKANAN JURUSAN PERIKANAN

FAKULTAS ILMU KELAUTAN DAN PERIKANAN UNIVERSITAS HASANUDDIN

(2)

BAB I

PENDAHULUAN

LATAR BELAKANG

Pariwisata adalah fenomena kemasyarakatan, yang menyangkut manusia, masyarakat, kelompok

organisasi, kebudayaan, dan sebagainya, yang merupakan objek kajian sosiologi. Namun demikian kajian sosiologi belum begitu lama dilakukan terhadap pariwisata, meskipun pariwisata sudah mempunyai sejarah yang sangat panjang. Hal ini terkait dengan kenyataan bahwa pariwisata pada awalnya lebih dipandang sebagai kegiatan ekonomi, dan tujuan utama pengembangan pariwisata adalah untuk mendapatkan keuntungan ekonomi, baik bagi masyarakat maupun daerah (negara).

Sebagaimana halnya dengan pembangunan secara umum, ada beberapa hal yang menyebabkan aspek-aspek sosial-budaya atau aspek-aspek sosiologis kurang mendapat perhatian. Dengan mengikuti teori

modernisasi klasik, pembangunan di dunia ketiga umunya memberikan penekanan pada aspek ekonomi. Paradigma dan program-program yang memfokuskan perhatian pada aspek ekonomi seringkali

bertentangan dengan program-program dengan penekanan aspek sosial. Dalam konflik kepentingan ini, aspek sosial lebih sering dikalahkan. Masih dalam kaitan dengan focus ekonomi, salah satu tujuan setiap program pembangunan adalah untuk mengejar produktivitas, dan dalam usaha ini manusia (tenaga kerja) dipandang sebagai 'faktor produksi' yang mekanis, maka berbagai aspek sosial-budaya kurang mendapatkan perhatian.

Faktor lain yang memarginalisasi aspek sosial-budaya adalah karena performance indicator (kinerja atau keberhasilan) umumnya diukur secara statistika atau kuantitatif. Sementara itu sebagian besar dari isu sosial-budaya bersifat kualitatif, sehingga tidak termasuk dalam indikator keberhasilan 'pembangunan'. Dengan demikian, pelaksanaan pembangunan tidak memberikan perhatian serius terhadap aspek sosial-budaya ini. Apalagi aspek sosial sosial-budaya memang sangat sulit diukur. Kesulitan mengukur ini ditambah lagi dengan kesulitan menentukan 'hasil' dari program-program dalam bidang sosial-budaya sangat sulit diisolisasi, sehingga sulit juga untuk menentukan secara pasti adanya hubungan sebab-akibat (cause and effect), apalagi dalam waktu yang singkat.

(3)
(4)

BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian Pariwisata Dalam Dimensi Sosial Budaya

Definisi pariwisata dari dimensi sosial budaya menitikberatkan perhatian pada:

1) upaya memenuhi kebutuhan wisatawan dengan berbagai karakteristiknya, seperti definisi yang dikemukakan oleh Mathieson and Wall, 1982 (Gunn, 2002: 9) berikut ini:

“Tourism is the temporary movement of people to destinations outside their normal places of work and residence, the activities undertaken during their stay in those destinations, and the facilities created to cater to their needs”.

Definisi lainnya juga dikemukakan oleh Chadwick, 1994 (ibid) sebagai berikut:

“…identified three main concepts: the movement of people; a sector of the economy or industry; and a broad system of interacting relationship of people, their needs, and services that respond to these needs”.

2) interaksi antara elemen lingkungan fisik, ekonomi, dan sosial budaya, seperti yang dikemukakan oleh Leiper, 1981 (Gartner, 1996: 6) yang mendefinisikan pariwisata sebagai

(5)

Definisi lain yang lebih sederhana dikemukakan oleh Hunziker, 1951 (French, Craig-Smith, Collier, 1995: 3), yang mendefinisikan pariwisata sebagai berikut

“.. the sum of the phenomena and relationship arising from the travel and stay of non-residents, in so far as the do not lead to permanent residence and are not connected with any earning activity”.

3) kerangka sejarah dan budaya, seperti yang dikemukakan oleh MacCannell, 1992 (Herbert, 1995: 1) berikut ini :

“Tourism is not just an aggregate of merely commercial activities; it is also an ideological framing of history, nature and tradition; a framing that has the power to reshape culture and nature to its own needs”.

Definisi pariwisata dimensi sosial budaya yang memandang pariwisata secara lebih luas, di Indonesia dikenal dengan istilah kepariwisataan (UU No. 10 tahun 2009 tentang Kepariwisataan), yaitu keseluruhan kegiatan yang terkait dengan pariwisata dan bersifat multidimensi serta multidisiplin yang muncul sebagai wujud kebutuhan setiap orang dan negara serta interaksi antara wisatawan dan masyarakat setempat, sesame wisatawan, pemerintah, pemerintah daerah, dan pengusaha.

B. DAMPAK SOSIAL BUDAYA PARIWISATA

Secara teoritikal-idealistis, antara dampak sosial dan dampak kebudayaan dapat dibedakan. Namun demikian, Mathieson and Wall (1982:37) menyebutkan bahwa there is no clear distinction between social and cultural phenomena, sehingga sebagian besar ahli menggabungkan dampak sosial dan dampak budaya di dalam pariwisata ke dalam judul 'dampak sosial budaya' (The sosiocultural impact of tourism in a broad context).

Studi tentang dampak sosial budaya pariwisata selama ini lebih cenderung mengasumsikan bahwa akan terjadi perubahan sosial-budaya akibat kedatangan wisatawan, dengan tiga asumsi yang umum, yaitu: (Martin, 1998:171):

1. perubahan dibawa sebagai akibat adanya intrusi dari luar, umumnya dari sistem sosial-budaya yang superordinat terhadap budaya penerima yang lebih lemah;

2. perubahan tersebut umumnya destruktif bagi budaya indigenous;

3. perubahan tersebut akan membawa pada homogenisasi budaya, dimana identitas etnik lokal akan tenggelam dalam bayangan sistem industri dengan teknologi barat, birokrasi nasional dan multinasional, a consumer-oriented economy, dan jet-age lifestyles.

(6)

(kebudayaan daerah), atau melalui objek perantara (broker kebudayaan). Dalam hal ini tersirat juga asumsi bahwa kebudayaan adalah sesuatu yang diam, tidur, atau pasif, dan seolah-olah kebudayaan tersebut adalah sesuatu yang homogen. Pendekatan seperti ini mengingkari dinamika masyarakat dimana pariwisata mulai masuk, dan tidak mampu melihat berbagai respons aktif dari masyarakat terhadap pariwisata.

Wood selanjutnya menganjurkan, di dalam melihat pengaruh pariwisata terhadap masyarakat (kebudayaan) setempat, harus disadarai bahwa kebudayaan adalah sesuatu yang secara internal

terdeferensiasi, aktif, dan selalu berubah. Oleh karena itu pendekatan yang kiranya lebih realistis adalah dengan menganggap bahwa pariwisata adalah 'pengaruh luar yang kemudian terintegrasi dengan masyarakat', dimana masyarakat mengalami proses menjadikan pariwisata sebagai bagian dari

kebudayaannya, atau apa yang disebut sebagai proses 'turistifikasi' (touristification). Di samping itu perlu juga diingat bahwa konsekuensi yang dibawa oleh pariwisata bukan saja terbatas pada hubungan langsung host-guest. Pengaruh di luar interaksi langsung ini justru lebih penting, karena mampu menyebabkan restrukturisasi pada berbagai bentuk hubungan di dalam masyarakat (Wood, 1984). Secara teoritis, Cohen (1984) mengelompokkan dampak sosial budaya pariwisata ke dalam sepuluh kelompok besar, yaitu:

1) dampak terhadap keterkaitan dan keterlibatan antara masyarakat setempat dengan masyarakat yang lebih luas, termasuk tingkat otonomi atau ketergantungannya;

2) dampak terhadap hubungan interpersonal antara anggota masyarakat; 3) dampak terhadap dasar-dasar organisasi/kelembagaan sosial;

4) dampak terhadap migrasi dari dan ke daerah pariwisata; 5) dampak terhadap ritme kehidupan sosial masyarakat; 6) dampak terhadap pola pembagian kerja;

7) dampak terhadap stratifikasi dan mobilitas sosial; 8) dampak terhadap distribusi pengaruh dan kekuasaan;

9) dampak terhadap meningkatnya penyimpangan-penyimpangan sosial; dan 10) dampak terhadap bidang kesenian dan adat istiadat.

Sifat dan bentuk dari dampak sosial-budaya dipengaruhi oleh berbagai faktor. Pitana (1999)

menyebutkan bahwa faktor-faktor yang ikut menentukan dampak sosial budaya tersebut adalah sebagai berikut:

(7)

2) Objek dominan yang menjadi sajian wisata (the tourist gaze) dan kebutuhan wisatawan terkait dengan sajian tersebut;

3) Sifat-sifat atraksi wisata yang disajikan, apakah alam, situs arkeologi, budaya kemasyarakatan, dan seterusnya;

4) Struktur dan fungsi dari organisasi kepariwisataan di DTW;

5) Perbedaan tingkat ekonomi dan perbedaan kebudayaan antara wisatawan dengan masyarakat lokal; 6) Perbedaan kebudayaan atau wisatawan dengan masyarakat lokal;

7) Tingkat otonomi (baik politik, geografis, dan sumberdaya) dari DTW; 8) Laju/kecepatan pertumbuhan pariwisata;

9) Tingkat perkembangan pariwisata (apakah awal, atau sudah jenuh); 10) Tingkat pembangunan ekonomi DTW;

11) Struktur sosial masyarakat lokal;

12) Tipe resort yang dikembangkan (open ataukah enclave resorts) 13) Peranan pariwisata dalam ekonomi DTW.

Lebih jauh Douglass mengetengahkan bahwa ada hubungan paralel antara tinggi dan makna dampak sosial-budaya pariwisata dengan variabel-variabel di bawah:

1) Besarnya perbedaan sosial, ekonomi, dan budaya antara wisatawan dengan masyarakat lokal. 2) Perbandingan antara jumlah wisatawan dengan masyarakat lokal.

3) Distribusi dan kenampakan dari pembangunan pariwisata. 4) Laju dan intensitas perkembangan pariwisata.

5) Tingkat kepemilikan investasi asing dan tenaga kerja asing di DTW. Kesenian, Adat Istiadat, dan Agama

(8)

Sementara banyak yang khawatir dengan terjadinya proses kehilangan otentisitas dalam kebudayaan lokal, bagi Urry (1990), kebudayaan memang selalu beradaptasi, termasuk dalam mengahadapi

pariwisata, dan di dalam proses tersebut tidak berarti makna atau otentisitas otomatis hilang. Akulturasi merupakan proses yang wajar dalam setiap pertemuan antarbudaya. Namun demikian ia juga mengakui adanya komoditisasi dari berbagai aspek keagamaan, yang memunculkan konflik, karena pengaruh pariwisata. Pendapat ini didukung oleh Burns and Holden (1995), yang melihat perubahan fungsi kebudayaan, karena kebudayaan dipandang sebagai sumberdaya komersial. Mengenai hal ini, Cohen (1988) melihat ada kesan terjadinya dampak negatif akibat adanya komoditisasi.

Berbagai penelitian menunjukkan bahwa pariwisata telah merusak atau 'menghancurkan' kebudayaan lokal. Pariwisata secara tidak langsung 'memaksa' ekspresi kebudayaan lokal untuk dimodifikasi, agar sesuai dengan kebutuhan pariwisata. Ekspresi budaya dikomoditifikasi agar dapat 'dijual' kepada wisatawan. Hal ini antara lain dikatakan oleh Britton (1977):

'Cultural expression are bastardized in order to be more comprehensible and therefore saleable to mass tourism' (Britton, 1977: 272).

Untuk pariwisata Indonesia khususnya daerah Bali banyak yang mengkhawatirkan akan terjadi

pengikisan kebudayaan akibat kebudayaan asing yang menyerbu masuk yang menyebabkan terjadinya pendangkalan terhadap kualitas kebudayaan Bali serta hilangnya bentuk-bentuk sosial yang telah terbukti mampu menopang integritas masyarakat Bali.

Dalton (1990, dalam Picard, 1990: 26) mengatakan:

"Karena gejala komersialisasi, sebagai salah satu dampak pariwisata, telah menyusupi semua aspek kehidupan orang Bali, maka jelaslah sekarang bahwa jalinan sosial dan keagamaan Bali yang begitu kompleks, ketat dan rapi, akhirnya tercerai berai di bawah pengaruh pariwisata".

Namun tidak semua pengamat pesimis terhadap keberlanjutan kebudayaan Bali. Bahkan cukup banyak ahli sosiologi dan antropologi yang melihat sebaliknya. McKean (1978: 94) menyatakan bahwa

perubahan sosial ekonomi sedang terjadi di Bali terjadi secara bergandengan tangan dengan usaha konservasi kebudayaan tradisional. Pariwisata pada kenyataanya telah memperkuat proses konservasi, reformasi, dan penciptaan kembali berbagai tradisi. McKean menilai bahwa pariwisata secara selektif telah memperkuat tradisi lokal, melalui suatu proses yang disebut cultural involution (involusi kebudayaan). Stephen Langsing (1974) secara tegas mengatakan bahwa lembaga tradisional Bali mempunyai vitalitas dan kemampuan yang tinggi untuk beradaptasi terhadap kondisi-kondisi baru. Dikatakannya bahwa dampak pariwisata di Bali adalah bersifat aditif, dan bukan substitutif. Artinya, dampak tersebut tidak menyebabkan transformasi secara struktural, melainkan terintegrasi dengan kehidupan tradisional masyarakat.

(9)

Perkembangan pariwisata di Objek Wisata Pantai Senggigi telah memberikan dampak positif dan negatif terhadap sosial budaya masyarakat lokal. Dampak-dampak positif yang timbul antara lain; pelestarian budaya, adat istiadat, cara hidup, kesenian, penyediaan lapangan pekerjaan, dan membangkitkan kegiatan perekonomian masyarakat lokal. Sedangkan dampak-dampak negatif yang timbul antara lain; terjadinya praktek prostitusi, kebiasaan mmeminum minuman beralkohol, dan tindak kejahatan. · Dampak Positif Sosial Budaya Pariwisata di Objek Wisata Pantai Senggigi

Sehubungan dengan pengembagan pariwisata di Objek Wisata Pantai Senggigi, secara umum

kebudayaan-kebudayaan masyarakat lokal seperti cara hidup, adat istiadat, agama, dan kesenian yang diwariskan oleh nenek moyangnya masih terjaga kelestariannya. Artinya, walaupun sudah berbaur dan dipengaruhi oleh budaya-budaya asing namun kebudayaan masyarakat tersebut masih dapat ditemukan dengan mudah dan dilakukan secara rutin oleh masyarakat setempat, seperti upacara pernikahan, perayaan hari besar nasional.

Dengan adanya pengembangan pariwisata di Objek Wisata Pantai Senggigi juga ditemukan adanya revitalisasi pada beberapa jenis budaya dan kesenian masyarakat lokal. Organisasi keagamaan “Remaja Masjid” merupakan salah satu contoh budaya masyarakat lokal yang masih ditemukan di era

pengembangan pariwisata di Objek Wisata Pantai Senggigi. Organisasi generasi muda muslim ini

melakukan berbagai kegiatan yang berhubungan dengan budaya dan agama seperti; pengajian, dakwah, belajar membaca dan menulis Bahasa Arab, diskusi tentang isi dan makna yang tertera dalam kitab suci Al-qur’an. Kegiatan-kegiatan tersebut merupakan kegiatan yang sudah ditekuni oleh masyarakat lokal sebagai upaya melindungi diri dari pengaruh budaya dari luar (industri pariwisata) dan telah dilakukan sejak dahulu kala sampai sekarang. Organisasi kemasyarakatan ini juga menjadi media pemersatu antar umat muslim di Nusa Tenggara Barat khususnya di Senggigi.

Organisasi kemasyarakatan lain yang melakukan kegiatan sebagaimana tersebut di atas adalah pondok pesantren. Di pondok pesantren, para santri (orang yang secara khusus menuntut ilmu keagamaan di pondok pesantren) diberikan pelajaran lebih terfokus pada keagamaan dan etika dalam kehidupan. Pesertanya juga tinggal di dalam pondok pesantren sehingga tertanam rasa bakti kepada agama secara lebih mendalam dan diberikan situasi yang nyata tentang bagaimana kehidupan muslim dan muslimah yang sebenarnya yang diharapkan setelah keluar dari pondok pesantren bisa diterapkan dalam

kehidupan masyarakat.

Model pendidikan yang diberikan di organisasi pemuda Remaja Masjid dan Pondok Pesantren

merupakan cara pembelajaran budaya dan agama yang sangat efektif karena sesuai dengan karakteristik budaya masyarakat lokal. Sehubungan dengan pengembangan pariwisata di Objek Wisata Pantai

(10)

Masjid dan Mushola atau gedung dan pengadaan sarana dan alat yang diperlukan untuk memperlancar jalannya kegiatan-kegiatan yang dilaksanakan.

Perkembangan pariwisata di Objek Wisata Pantai Senggigi juga turut serta dalam melestarikan budaya-budaya masyarakat yang lainnya seperti kesenian dan adat istiadat. Kesenian tradisional masyarakat lokal yang masih terjaga kelestarianya adalah Tari Rudat dan Gendang Beleq.

Tari Rudat merupakan kesenian tradisional dalam bentuk seni tari (gerakan tubuh) diiringi dengan musik tradisional gambelan yang dimainkan oleh tujuh sampai sebelas orang. Fungsi kesenian ini adalah sebagai penyambutan terhadap wisatawan dan sering kali dipersembahkan untuk penghargaan terhadap tamu kenegaraan. Secara singkat, Tari Rudat mengisahkan sepasang muda-mudi yang saling jatuh cinta yang berlanjut hingga ke pernikahan. Pesan-pesan yang disampaikan berupa nasihat-nasihat hidup yang membangkitkan rasa saling mencintai dan menyayangi sesama dan lingkungan, sehingga dengan

pertunjukan kesenian ini diharapkan dapat meningkatan persaudaraan dan persahabatan antar manusia dan lingkungan hidup.

Tokoh kesenian Tari Rudat yang masih menekuni dan mengembangkan secara aktif adalah Haji Rusdi, seorang tokoh masyarakat lokal dari Desa Senggigi Dusun Kerandangan. Beliau menuturkan bahwa di tengah gencarnya perkembangan pariwisata di Objek Wisata Pantai Senggigi, Tari Rudat sama sekali tidak surut keberadaannya. Sebaliknya, tari tersebut semakin lestari dan terjaga keberadaanya karena

dijadikan sebagai salah satu daya tarik wisata yang ditampilkan pada acara-acara yang diorganisir oleh hotel-hotel dan event organizer yang berada di Objek Wisata Pantai Senggigi.

Gendang Beleq merupakan kesenian tradisional yang dimainkan dengan alat musik tradisional Gendang Beleq yang berfungsi sebagai musik penyambutan. Makna yang terkandung dalam pertunjukan kesenian ini adalah adanya kebersamaan antara umat yang tinggal di Lombok Barat yaitu antara umat Suku Sasak Lombok yang beragama Islam dengan umat Hindu dari Bali yang tinggal menentap di Lombok.

Sebelum berkembangnya pariwisata di Objek Wisata Pantai Senggigi, kedua kesenian tradisional ini hanya dipentaskan pada saat-saat tertentu saja khususnya pada upacara adat dan keagamaan sehingga tidak banyak dikenal oleh masyarakat umum di luar daerah Senggigi. Pertumbuhan pariwisata yang semakin pesat dari tahun ke tahun turut serta membangkitkan dan merevitalisasi kesenian tradisional tersebut dan sekarang ini sering kali dipertunjukan di hadapan para wisatawan sebagai atraksi wisata yang bercirikan kedaerahan yang dipentaskan langsung oleh masyarakat asli.

Seni tari tradisional lain yang sering dipentaskan sebagai atraksi wisata di Objek Wisata Pantai Senggigi adalah Tari Topeng. Tari ini mengisahkan pengembala beberapa jenis ternak seperti; sapi, kerbau, dan kambing yang dengan bangga dan berbahagia mengembalakan ternaknya di kebun yang juga

menunjukan tingkat status sosial dan martabat seseorang di Desa Senggigi. Tari ini dimainkan oleh empat sampai delapan orang dengan menggunakan pakaian khas Adat Sasak, topeng dengan beberapa

karakter, dan pecut.

(11)

tarik wisata dan atraksi wisata untuk menambah keanekaragaman daya tarik wisata yang salah satunya adalah kesenian tradisional Tari Topeng. Sejak dijadikan sebagai salah satu atraksi wisata, Tari Topeng terus direvitalisasi dan dikembangkan dengan membangun sanggar-sanggar tari yang dilakukan oleh perorangan dan ada juga yang merupakan hasil kerjasama antara para pengelola industri pariwisata di sekitar Objek Wisata Pantai Senggigi dengan masyarakat lokal.

Pementasan kesenian-kesenian tradisional tersebut di atas sudah dilakukan sejak bulan Maret 2005, biasanya diadakan setiap hari Jumat sore (jam 16.00-selesai) yang bertempat di Pasar Seni Senggigi. Pementasan ini terselenggara atas kerjasama antara Qunci Villas, Sundancer Hotel, dan pemerintahan desa. Pertunjukan ini disajikan tanpa dipungut biaya sehingga banyak dikunjungi wisatawan baik wisatawan nusantara maupun manca negara.

Selain bentuk positif tersebut di atas, terjadi juga akulturasi budaya yaitu perpaduan antara budaya asli masyarakat yang mendapatkan pengaruh dari budaya asing, namun kedua unsur budaya tersebut sama-sama terlihat dan menonjol. Salah satu bentuk akulturasi budaya yang terjadi adalah gaya hidup

terutama dalam penampilan dan berpakaian. Sebelum dikembangkan pariwisata di Objek Wisata Pantai Senggigi, jenis pakaian yang dipakai oleh masyarakat lokal sehari-hari berupa sarung dan baju kaos bagi kalangan laki-laki, sedangkan perempuan umumnya memakai sarung, baju lengan panjang, dan

kerudung atau jilbab.

Sekarang ini beberapa masyarakat lokal telah mengadopsi pola penampilan dan cara berpakaian para wisatawan. Sebagai contoh, seorang sopir yang merangkap sebagai pemandu wisata freelance telah mengubah penampilannya sejak tahun 1998 dengan begitu juga dengan cara berpakaiannya. Sebelum dipengaruhi oleh model berpakaian para wisatawan, cara berpakaiannya seperti layaknya masyarakat lokal pada umumnya. Motivasinya untuk mengubah cara berpenampilan dan berpakaian adalah agar lebih percaya diri dalam berkomunikasi dengan wisatawan asing.

Perubahan cara berpenampilan dan berpakaian tersebut hanya dilakukan apabila sedang berhubungan dengan wisatawan saja. Tetapi pada saat mengikuti kegiatan adat dan keagamaan masih menggunakan pakaian khas masyarakat lokal seperti; sarung dan batik (khas muslim), begitu juga dengan cara

berpenampilannya. Budaya-budaya yang diserap dari budaya wisatawan memang benar-benar dilepaskan pada saat mengikuti kegiatan keagamaan dan adat. Jadi, kedua budaya tersebut (budaya masyarakat lokal dan budaya wisatawan) dapat berjalan secara harmonis sesuai dengan waktu, situasi, dan kondisi.

(12)

yang direbus dan dibumbui dengan bumbu-bumbu tradisional, biasanya disuguhkan dengan beberuk (terong berwarna hijau atau ungu yang mentah dan diiris tipis-tipis).

Contoh lain makanan tradisional yang disajikan kepada wisatawan adalah sate balayag, terbuat dari lima belas sampai dua puluh tusuk daging ayam atau sapi berbumbu kacang. Sate ini biasanya disuguhkan dengan sepuluh biji balayag (beras dibungkus dengan daun kelapa muda yang dibentuk memanjang, kemudian direbus sampai matang menyerupai ketupat). Selain disuguhkan di restoran dan hotel, sate balayag juga dapat ditemukan di sepanjang Pantai Senggigi dengan harga yang relatif murah sehingga banyak warga masyarakat yang menikmati makanan tradisional ini khususnya pada akhir pekan (hari Sabtu dan Minggu) di sore hari pada saat matahari terbenam. Para penjual sate balayag ini merupakan warga masyarakat lokal yang bermukim di wilayah Desa Senggigi sehingga secara tidak langsung penjualan makanan tradisional ini kepada wisatawan mancanegara maupun wisatawan nusantara ikut serta membangkitkan perekonomian masyarakat lokal.

· Dampak Negatif Sosial Budaya Pariwisata di Objek Wisata Pantai Senggigi

Perkembangan pariwisata di Objek Wisata Pantai Senggigi tidak hanya berdampak secara positif terhadap kehidupan sosial dan budaya masyarakat lokal, tetapi juga mengakibatkan dampak negatif. Bentuk-bentuk dampak negatif yang dapat dilihat dengan jelas yang timbul sehubungan dengan pengembangan pariwisata di Objek Wisata Pantai Senggigi adalah pendatang yang bekerja sebagai penjaja seks komersial (PSK) dan pelaku tindak kriminal.

Usaha yang dilakukan pemerintah (Dinas Ketentraman dan Ketertiban) dan masyarakat (lembaga swadaya masyarakat Lang-lang Senggigi) untuk menekan jumlah penjaja seks komersial adalah dengan mengadakan razia secara rutin di tempat-tempat hiburan malam yang ada di Objek Wisata Senggigi. Bagi penjaja seks komersial yang terjaring dalam razia selanjutnya diberikan pembinaan agar tidak beroperasi kembali.

Bentuk lain dampak negatif yang muncul sehubungan dengan pengembangan pariwisata di Objek Wisata Pantai Senggigi adalah adanya peraktik perjudian yang dilakukan dalam skala kecil berupa permainan kartu domino yang dilakukan oleh para pedagang asong, pedagang kaki lima, dan sopir freelance sambil menunggu wisatawan yang menggunakan jasanya. Uang yang dipertaruhkan berkisar antara Rp.500 sampai Rp.1.000. Kecilnya uang yang dipertaruhkan sering kali dianggap bukan kegiatan perjudian bagi para pemainnya. Mereka hanya menganggap sebagai kegiatan hiburan semata sambil menghabiskan waktu luangnya untuk menunggu para wisatawan. Kegiatan perjudian ini diadakan di bawah pohon-pohon yang digunakan sebagai post tunggu di beberapa ruas Jalan Raya Pantai Senggigi.

(13)

Dari dampak negatif tersebut, masyarakat dan tokoh masyarakat yang ada di Objek Wisata Pantai Senggigi lebih mengaktifkan organisasi keagamaan yang mana para pemuda tersebut selalu

diikutsertakan dalam berbagai kegiatan keagamaan, hasilnya jumlah para pemuda yang telah terbiasa minum minuman beralkohol tersebut mulai sadar dan mengurangi minum minuman yang mengandung alkohol, begitu juga dengan terserapnya para penduduk lokal lebih banyak ke usaha pariwisata secara formal juga dapat mengurangi kegiatan-kegiatan yang berdampak negatif.

Berdasarkan temuan dampak-dampak yang timbul sebagaimana dijelaskan di atas dan melihat fakta yang ada, maka pengembangan pariwisata di Objek Wisata Pantai Senggigi lebih banyak memberikan dampak positif daripada dampak negatif terhadap sosial budaya masyarakat lokal Desa Senggigi. Oleh karena itu, keberadaan pariwisata di Objek Wisata Pantai Senggigi masih mendapat sambutan yang positif dari masyarakat lokal, ini tidak terlepas dari upaya pemerintah dan pengusaha yang bergerak dalam bidang industri pariwisata untuk melibatkan masyarakat lokal dalam setiap perencanaan, pengembangan, dan pengevaluasian kegiatan pariwisata di Objek Wisata Pantai Senggigi.

Dilihat dari sambutan masyarakat yang positif ini, maka dapat dikatakan bahwa pada saat ini Objek Wisata Pantai Senggigi berada pada fase involvement / local control yaitu adanya keterlibatan

masyarakat lokal dalam pengembangan pariwisata, keikutsertaan masyarakat lokal dalam menyediakan berbagai keperluan yang dibutuhkan oleh wisatawan, dan adanya komunikasi yang baik antara

masyarakat lokal dengan wisatawan.

Hubungan yang baik dan harmonis antara masyarakat lokal dengan wisatawan yang diimplementasikan pada keakraban dan keramah-tamahan turut serta dalam upaya untuk mempromosikan Objek Wisata Pantai Senggigi oleh wisatawan dari mulut ke mulut (word of mouth) kepada wisatawan lain di

(14)

BAB III PENUTUPAN

KESIMPULAN

Dampak sosial budaya dari pariwisata memberikan gambaran tentang pengaruh-pengaruh yang muncul terhadap komunitas “tuan rumah” dalam hal ini masyarakat lokal sekitar daerah wisata, baik secara langsung maupun tidak langsung dalam berinteraksi dengan wisatawan (nusantara maupun asing), dan interaksinya dengan Industri pariwisata. Dampak sosial budaya pariwisata ini juga

memberikan dampak positif dan negatif kepada masyarakatnya.Dampak negatif tersebut muncul ketika pariwisata mulai mempengaruhi sistem nilai dan perilaku masyarakat lokal, dengan demikian ancaman terhadap keberadaan identitas asli masyarakat dapat diidentifikasi. Lebih jauh lagi, perubahan tersebut cenderung terjadi terhadap struktur masyarakat, hubungan antar keluarga, pola hidup kolektif yang tradisional, upacara-upacara adat dan sebagainya, meskipun industri pariwisata dapat juga memberikan dampak positif seperti pertukaran budaya antara suku dan negara, membantu perlindungan terhadap tradisi budaya dan membantu menciptakan lapangan pekerjaan lokal serta pemasukan devisa bagi negara.

DAFTAR PUSTAKA

http://elissanindia.wordpress.com/2012/10/09/pariwisata/ (Diakses pada tanggal 8/05/2013, pukul 22:00)

http://bookadvertistment.blogspot.com/2010/08/analisis-dampak-sosial-pariwisata-di.html (Diakses pada tanggal 8/05/2013, pukul 22:00)

Referensi

Dokumen terkait

43

Hasil penelitian mendapatkan frekuensi buang air besar sembarangan sebesar 37.1%, tidak melakukan cuci tangan pakai sabun sebanyak 19.9%, seluruh responden telah

bahwasanya Ruang terbuka hijau yang ada di UIN Raden Intan Lampung Pada saat ini masih mampu mereduksi atau menyerap hasil emisi yang dikeluarkan oleh kendaraan bermotor

Lidah buaya dapat dimanfaat sebagai produk pangan yang bermanfaat

Ketika ia berbicara tentang perhatian Foucault, melainkan sistem kebenaran saintifik, maka bukan status pengetahuan yang menunjukkan kebenaran dari sains itu sendiri

Permasalahan yang akan dibahas dalam penelitian ini adalah, melakukan suatu studi kelayakan untuk menentukan bentuk model organisasi CSIRTs yang sesuai pada perusahaan

Sehat selain sebagai salah satu hak dasar manusia, juga merupakan salah satu faktor yang sangat menentukan dalam pengembangan Sumber Daya Manusia (SDM), yang

Kajian ini juga bagi menentukan sama ada dimensi-dimensi yang terdapat dalam organisasi pembelajaran iaitu mewujudkan peluang belajar berterusan, menggalakkan