• Tidak ada hasil yang ditemukan

VALUASI EKONOMI PENGGUNAAN LAHAN PERTANI

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "VALUASI EKONOMI PENGGUNAAN LAHAN PERTANI"

Copied!
12
0
0

Teks penuh

(1)

Bab 1. dan Bab 2.

VALUASI EKONOMI PENGGUNAAN LAHAN PERTANIAN: Lahan Sawah Sebagai Sumberdaya Alam dan Lingkungan

SUHERMAN

emanagoge@gmail.com suherman.umpar@ymail.com

BAB 1. PENDAHULUAN

Pertumbuhan populasi manusia yang cepat maupun aktivitasnya yang signifikan mengakibatkan perubahan dalam penggunaan lahan. Pengaruh ini memberi dampak terhadap penurunan kualitas lingkungan seperti meningkatnya lahan marginal, peningkatan tanah terserosi, terjadinya sedimentasi, dan memungkinkan terjadinya banjir pada musim hujan, bahkan kekeringan pada musim kemarau. Penggunaan lahan pertanian di Indonesia sangat memprihatinkan. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) di tahun 2004 ada sekitar 180.000 ha tahun-1 lahan

pertanian yang dikonversi menjadi lahan non pertanian.

Dengan melakukan pengalihan lahan pertanian ke non pertanian dapat menimbulkan terjadinya krisis air dan merusak siklus hidrologi, selain itu juga dapat menurunkan produktivitas pertanian. Bila hal ini terus dibiarkan dan berlanjut, ketahanan pangan akan semakin rapuh, dan yang paling memprihatinkan adalah Indonesia sebagai negara agraris sekaligus menjadi pengimpor pangan secara besar-besaran akan terus dilakukan. Sedangkan untuk memenuhi kebutuhan pangan tersebut, lahan pertanian diupayakan pengelolaannya secara intensif dengan penambahan input teknologi dan lainnya.

(2)

orientasi ekonomi yang mementingkan keuntungan jangka pendek tanpa ikut memperhitungkan nilai manfaat yang hilang atau kerugian yang mungkin terjadi akibat berkurang atau hilangnya fungsi lingkungan lahan pertanian.

Perubahan dalam penggunaan dan pengelolaan lahan mencerminkan aktivitas yang dinamis dari masyarakat sehingga semakin cepat dinamika tersebut berlangsung, semakin cepat pula perubahan dalam penggunaan dan pengelolaan lahan (Sandy, 1992 dalam Soemarno, 2010). Menurut Soemarno (2010), hal tersebut memberi arti bahwa pola penggunaan dan pengelolaan lahan di suatu daerah dapat menggambarkan kehidupan ekonomi dari suatu daerah yang bersangkutan dan sekaligus dapat digunakan sebagai indikator perubahan kualitas lahan.

Perubahan penggunaan dan pengelolaan lahan yang berlangsung secara cepat dalam memenuhi kebutuhan pangan masyarakat, memberi dampak pada penurunan kualitas lingkungan. Menurut Bonnieux dan Goffe (1997) dalam Sihite (2005), perubahan ini juga berdampak pada perubahan manfaat yang dapat diperoleh baik perseorangan maupun kelompok masyarakat, manfaat lingkungan tersebut menjadi terbatas baik nilai barang maupun nilai jasa lingkungan yang tersedia. Akibat kondisi tersebut menyebabkan fungsi lingkungan yang dihasilkan dari kegiatan sistem pertanian tidak dihitung atau diabaikan dalam pengambilan kebijakan (Soemarno, 2010).

(3)

Selatan, 2005). Sedangkan kandungan bahan organik tanah dalam kondisi normal sekitar 3-5% (Deptan, 2008).

Kebijakan pengelolaan lahan pertanian tersebut berdampak buruk terhadap kelestarian lahan pertanian, termasuk lahan sawah. Kerusakan lingkungan produksi akibat praktek intensifikasi pada lahan sawah perlu mendapat perhatian serius, agar produktivitas lahan dapat dipertahankan bahkan ditingkatkan. Namun pemanfaatan dan pengelolaan lahan sawah sering terkesan kontradiktif dengan upaya pelestarian sumberdaya alam (Soemarno, 2010).

Pemanfaatan dan pengelolaan lahan untuk kepentingan ekonomi seharusnya dilakukan tanpa merusak lingkungan agar keseimbangan antara kedua komponen tersebut setidaknya diupayakan dapat mendekati kondisi ideal. Penggunaan dan pengelolaan lahan yang ideal untuk setiap unit lahan ialah pada satu sisi aspek ekonomi terpenuhi, namun pada sisi lain fungsi ekologi lahan masih dapat dipertahankan (Yakin, 1997). Penerapan aspek ekonomi sebagai instrument yang mengatur alokasi sumberdaya alam secara rasional menurut Steer (1996) dalam Soemarno (2010) akan tercapai keseimbangan antara kondisi ekologi dan ekonomi dalam pengelolaan sumberdaya alam dan lingkungan.

Untuk mengurangi suatu dampak lingkungan diperlukan kebijakan dalam penggunaan dan pengelolaan lahan. Kebijakan untuk mengurangi dampak lingkungan akan dipengaruhi oleh perhitungan biaya yang harus dikeluarkan untuk mengurangi atau memperbaiki dampak lingkungan dan manfaat yang akan diperoleh kemudian (Spash, 1997 dalam Soemarno, 2010). Kebijakan tersebut bertujuan agar penggunaan dan pengelolaan lahan akan menjadi lebih efisien, efektif dan lestari jika diketahui nilai lahan tersebut dalam satuan moneter.

(4)

Sebagian dari fungsi tersebut dapat dinilai secara perhitungan ekonomi tidak langsung (indirect valuation), namun sebagian besar lainnya tidak dapat dinilai secara ekonomi karena keterbatasan metode valuasi yang tersedia. Sehubungan dengan hal itu maka penilaian (valuasi) ekonomi terhadap penggunaan lahan pertanian dilakukan, sehingga pada akhirnya nanti kita dapat memperkirakan berapa nilai ekonomi secara total dari pengelolaan lahan pertanian tersebut.

Tujuan Penulisan

Tujuan penulisan ini adalah untuk mempelajarai bagaimana mengidentifikasi dan menilai perubahan yang terjadi dalam penggunaan dan pengelolaan lahan pertanian.

Metode Penulisan

(5)

BAB 2. KONSEP VALUASI EKONOMI SUMBERDAYA ALAM DAN LINGKUNGAN

Berdasarkan metode valuasi ekonomi sumberdaya lahan yang diabstraksikan oleh Prof. Dr. Ir. Soemarno, MS. (2010), bahwa sumberdaya alam merupakan bagian dari ekosistem, yaitu lingkungan tempat berlangsungnya reaksi timbal balik antara makhluk hidup dengan faktor-faktor alam. Oleh karena itu, pemanfaatan sumberdaya alam pada hakekatnya melakukan perubahan-perubahan di dalam ekosistem, sehingga perencanaan penggunaan sumberdaya alam dalam rangka proses pembangunan tidak dapat ditinjau secara terpisah, melainkan senantiasa dilakukan dalam hubungannya dengan ekosistem yang mendukungnya.

Selain menghasilkan barang dan jasa yang dapat dikonsumsi, sumberdaya alam juga menghasilkan jasa-jasa lingkungan yang memberikan manfaat lain, misalnya manfaat keindahan, rekreasi. Mengingat pentingnya manfaat dari sumberdaya alam tersebut, maka manfaat tersebut perlu dinilai. Misalnya nilai lahan sawah sebagai sumber air tanah yang dibutuhkan oleh petani dan masyarakat di sekitarnya. Oleh karena itu menurut Fauzi (2004) dalam Soemarno (2010), output yang dihasilkan dari pengelolaan sumberdaya alam dan lingkungan berupa barang dan jasa, perlu diberi nilai/harga (price tag).

(6)

Valuasi ekonomi merupakan upaya untuk memberikan nilai kuantitatif terhadap barang dan jasa yang dihasilkan oleh sumberdaya alam dan lingkungan, baik atas dasar nilai pasar (market value) maupun nilai non-pasar (non market value). Valuasi ekonomi sumberdaya merupakan suatu alat ekonomi (economic tool) yang menggunakan teknik penilaian tertentu untuk mengestimasi nilai uang dari barang dan jasa yang dihasilkan oleh sumberdaya alam dan lingkungan. Pemahaman tentang konsep valuasi ekonomi memungkinkan para pengambil kebijakan dapat menentukan penggunaan sumberdaya alam dan lingkungan yang efektif dan efisien. Hal ini disebabkan aplikasi valuasi ekonomi menunjukkan hubungan antara konservasi SDA dengan pembangunan ekonomi. Oleh karena itu, valuasi ekonomi dapat dijadikan alat yang penting dalam meningkatkan kesadaran masyarakat terhadap penggunaan dan pengelolaan sumberdaya alam dan lingkungan (Soemarno, 2010).

Menurut panduan KNLH, (2007) dalam Soemarno, (2010) valuasi ekonomi sumberdaya alam dan lingkungan adalah pengenalan nilai moneter terhadap sebagian atau seluruh potensi sumberdaya alam sesuai dengan tujuan pemanfaatannya. Sedang menurut FAO (1996) dalam Rukmana dan Hasyim (2010), nilai-nilai yang berhubungan dengan sumberadya alam atau nilai-nilai yang berkaitan dengan ukuran keuangan (moneter measure) yang dapat diperoleh dari sumberdaya alam merupakan nilai ekonomi, termasuk nilai sosial, etika budaya, dan religius.

(7)

serta pencegahan pencemaran/kerusakan. Berdasarkan dari berbagai macam teknik yang dapat digunakan untuk mengkuantifikasi konsep nilai. Namun konsep dasar dalam penilaian ekonomi yang mendasari semua teknik adalah kesediaan untuk membayar dari individu untuk jasa-jasa lingkungan atau sumberdaya (Munasinghe, 1993 dalam Soemarno, 2010). Pearce dan Turner (1991) dalam Soemarno (2010) menilai jasa-jasa lingkungan pada dasarnya dinilai berdasarkan ”willingness to pay” (WTP) dan ”willingnes to accept” (WTA). Willingness to pay dapat diartikan sebagai berapa besar orang mau membayar untuk memperbaiki lingkungan yang rusak (kesediaan konsumen untuk membayar), sedangkan willingness to accept adalah berapa besar orang mau dibayar untuk mencegah kerusakan lingkungan (kesediaan produsen menerima kompensasi) dengan adanya kemunduran kualitas lingkungan. Kesediaan membayar atau kesediaan menerima merefleksikan preferensi individu, kesediaan membayar dan kesediaan menerima adalah parameter dalam penilaian ekonomi (Pearce dan Moran, 1994 dalam Soemarno, 2012). Pada Gambar 1 berikut menjelaskan tentang willingness to pay dan willingness to accept dapat dijelaskan pada gambar berikut (Pearce dan Turner, 1991 dalam Soemarno, 2012).

Gambar 1. Perubahan nilai akibat perubahan kualitas lahan

Gambar 1 menunjukkan bahwa jika tingkat kerusakan kualitas lahan meningkat dari Q1 menjadi Q2, maka harga/nilai lahan akan turun

Price

P1

P2

(8)

dari P1 menjadi P2. Willingness to pay (WTP) menunjukkan berapa yang bersedia dibayar oleh konsumen jika harga P1 turun menjadi P2 (compensating variation) dengan tingkat kesejahteraan tetap sama seperti harga P1. Selanjutnya willingness to accept (WTA) menunjukkan berapa banyak yang mau diterima sebagai ganti rugi (equivalent variation) agar harga tidak turun ke P2 dengan tingkat kesejahteaan yang sama. Kedua pendekatan tersebut dijadikan dasar untuk menghitung nilai pasar utamanya untuk barang dan jasa lingkungan.

Ada empat pendekatan dalam penggunaan WTP dan WTA yang dapat digunakan sebagai pedoman untuk memperoleh informasi dari masyarakat menurut Pearce dan Turner (1991) dalam Soemarno (2010), 1. WTP to secure a benefit, menunjukkan berapa nilai yang bersedia

dibayar oleh konsumen untuk memperbaiki kualitas lingkungan.

2. WTA to forego a benefit, menunjukkan berapa besar nilai kerugian yang bisa diterima jika diadakan perbaikan lingkungan.

3. WTP to prevent a loss, menunjukkan upaya pencegahan, penduduk diberi gambaran tentang kerugian yang dapat terjadi akibat lingkungan yang kotor.

4. WTA to tolerate a loss menunjukkan nilai kerugian yang dapat dicegah. Berdasarkan sumberdaya alam dibedakan berdasarkan nilai atas dasar penggunaan (instrumental value) dan nilai tanpa penggunaan secara intrinsik melekat dalam aset sumberdaya alam (intrinsic value). Selanjutnya berdasarkan atas penggunaannya, nilai ekonomi suatu sumberdaya dapat dikelompokkan ke dalam nilai atas dasar penggunaan (use values) dan nilai yang terkandung di dalamnya atau nilai intrinsik

(9)

nilai keberadaan (existence values) dan nilai warisan (bequest values). Nilai ekonomi total atau total economic value (TEV) diperoleh dari penjumlahan nilai atas dasar penggunaan dan nilai atas dasar penggunaan tidak langsung (Pearce dan Turner, 1991 dalam Soemarno, 2010).

Total Economic Value (TEV) dapat ditulis dengan persamaan matematis sebagai berikut:

TEV = UV + NUV

UV = DUV + IUV + OV NUV = EV + BV

TEV = UV + NUV = (DUV + IUV + OV) + (EV + BV) Dimana:

TEV = Total Economic Value (Nilai Ekonomi Total) UV = Use Values (Nilai Penggunaan)

NUV = Non Use Value (Nilai Intrinsik)

DUV = Direct Use Value (Nilai Penggunaan Langsung)

IUV = Inderect Use Value (Nilai Penggunaan Tidak Langsung) OV = Option Value (Nilai Pilihan)

EV = Existence Value (Nilai Keberadaan)

BV = Bequest Value (Nilai Warisan/Kebanggaan)

Uraian dari masing-masing konsep nilai ekonomi yang diabstraksikan oleh Soemarno (2010) adalah sebagai berikut:

(10)

memanfaatkan atau berharap akan memanfaatkan di masa mendatang.

2. Nilai penggunaan langsung (direct use values) dihitung berdasarkan kontribusi sumberdaya alam dan lingkungan dalam membantu proses produksi dan konsumsi saat ini (Munasinghe, 1993). Nilai penggunaan langsung tersebut mencakup seluruh manfaat sumberdaya alam dan lingkungan yang dapat diperkirakan langsung dari konsumsi dan produksi melalui satuan harga berdasarkan mekanisme pasar. Nilai penggunaan langsung berkaitan dengan output yang langsung dapat dikonsumsi, misalnya makanan, kesehatan, rekreasi.

3. Nilai penggunaan tidak langsung (indirect use values) ditentukan oleh manfaat yang berasal dari jasa-jasa lingkungan dalam mendukung aliran produksi dan konsumsi (Munasinghe, 1993). Nilai guna tidak langsung diperoleh dari fungsi pelayanan lingkungan hidup dalam menyediakan dukungan terhadap proses produksi dan konsumsi saat ini, misalnya nilai berbagai fungsi ekologi terhadap daur ulang unsur hara dalam tanah. Dengan demikian, nilai penggunaan tidak langsung merupakan manfaat-manfaat fungsional dari proses ekologi dari proses ekologi yang secara terus menerus memberikan kontribusinya terhadap masyarakat dan ekosistem. Misalnya sumberdaya lahan sawah yang cukup luas memberikan udara bersih, tempat rekreasi dengan pemandangan yang indah, pengendali banjir dan erosi serta memberikan sumber air tanah untuk petani dan masyarakat sekitarnya.

(11)

digunakan (Irawan, 2005) dengan alasan untuk menghindari resiko karena tidak dapat lagi memanfaatkannya di masa mendatang. Dengan demikian nilai guna pilihan meliputi manfaat sumberdaya alam dan lingkungan yang tidak dieksploitasi pada saat ini, tetapi disimpan demi kepentingan yang akan datang.

5. Nilai intrinsik atau nilai non-penggunaan (non use values) nilai yang diberikan pada sumberdaya alam dan lingkungan atas dasar keberadaannya, meskipun tidak dikonsumsi secara langsung. Nilai yang diberikan tersebut sebenarnya sulit diukur dan dianalisis, karena lebih didasarkan pada preferensi terhadap lingkungan (berkaitan dengan motif atau sifat dermawan) daripada pemanfaatan langsung (Munasinghe, 1993). Nilai intrinsik berhubungan dengan nilai kesediaan membayar positif jika seseorang tidak bermaksud memanfaatkannya (Pearce dan Moran, 1994), kemudian nilai tersebut dibedakan atas nilai keberadaan (existence values) dan nilai warisan (bequest values).

6. Nilai keberadaan (existence values) mempunyai nilai karena adanya kepuasan seseorang atau komunitas atas keberadaan suatu asset, walaupun yang bersangkutan tidak ada keinginan untuk memanfaatkannya. Nilai keberadaan diberikan seseorang atau masyarakat kepada sumberdaya alam dan lingkungan semata-mata sebagai bentuk kepedulian karena telah memberikan manfaat estetika, spiritual dan budaya. Misalnya masyarakat memberikan nilai terhadap budaya ritual dalam prosesi panen raya di Sulawesi Selatan agar budaya tersebut tetap lestari.

(12)

Konsep tentang nilai atas dasar penggunaan (use values) dan nilai bukan penggunaan atau nilai intrinsik (non use values) dipandang perlu untuk dipahami sebagai petunjuk untuk menilai atau mengukur nilai ekonomi total. Pengelompokan secara skematik terhadap nilai ekonomi total sumberdaya alam dan lingkungan ditampilkan pada Gambar 2.

Gambar 2. Klasifikasi Nilai Ekonomi Lahan Pertanian (Munasinghe, 1993). Total Nilai Ekonomi Sumberdaya Lahan

Nilai Penggunaan Nilai Bukan Penggunaan

Langsung dapat dikonsumsi

Manfaat

Fungsional Nilai Penggunaan langsung & tidak langsung masa depan

Semakin berkurang nilai atau manfaat nyata bagi individu

Penggunaan

Gambar

Gambar 1. Perubahan nilai akibat perubahan kualitas lahan
Gambar 2. Klasifikasi Nilai Ekonomi Lahan Pertanian (Munasinghe, 1993).

Referensi

Dokumen terkait

adalah menjadikan elemen vernakular sebagai identitas pada tata ruang kawasan, melalui penerapan teori regionalisme kritis. Lokasi penelitian berada di Desa

Berdasarkan observasi yang dilakukan, untuk tempat penyimpanan buah, kebersihan gerobak, bak cuci, bak sampah, cara penyajian buah, kebersihan alat yang

Berdasarkan hasil pada penelitian ini presentase responden yang menyatakan peran petugas baik dan status pemberian imunisasi dasar lengkap yaitu 18 (62.1%) dari 29 orang

“Wajib Pajak Orang Pribadi atau Badan, baik yang melakukan pembayaran pajak sendiri maupun yang ditunjuk sebagai pemotong atau pemungut Pajak Penghasilan, Pajak

Ketentuan Pasal 9 Peraturan Daerah Nomor 17 Tahun 2011 tentang Retribusi Pemakaian Kekayaan Daerah (Lembaran Daerah Kabupaten Paser Tahun 2011 Nomor 17) sebagaimana

EUNIKE MISELIA EVA WANDITA SMP Johannes Bosco Yogyakarta Diterima.. ASAL SMP NO

&ang dimaksud faktor alat alat pendidikan3, adalah segala usaha atau tindakan dengan sengaja yang digunakan untuk mencapai tujuan pendidikan. 0lat pendidikan ini

Dalam pengungkapan sejarah diperlukan fakta dan bukti, hal ini dapat dibuktikan dengan adanya peninggalan masa pendudukan Jepang yang masih ada di Sumatera Timur pada