Menggagas Kebijakan Daerah tentang Pengakuan dan Perlindungan Hak‐ hak Masyarakat (Hukum) Adat yang Lebih Operasional1
Oleh:
R. Yando Zakaria2
Pengantar
Boleh jadi, terlalu banyak energi yang dicurahkan selama ini untuk mempermasalahkan definisi dari terma yang digunakan, apakah masyarakat hukum adat atau bisa disebut dengan masyarakat adat saja.3 Di tengah
perdebatan yang mulai tidak produktif tu, satu hal yang bisa disimpulkan dari kecenderungan yang ada adalah bahwa para pihak terpaku pada pengertian bahwa terma masyarakat (hukum) adat itu – seolah‐olah ‐‐ merujuk pada suatu
1 Untuk pertama kali disampaikan pada Lokakarya Dua Hari “Forum Lingkar Belajar Bersama
Reforma Agraria (Forum LiBBRA), Sekolah Tinggi Pertanahan Nasional (STPN)”, bertajuk “Penyelesaian Permasalahan Sengketa dan Konflik Hak Atas Tanah di Kawasan Kehutanan dan Perkebunan”. Yogyakarta, 3 – 4 Juni 2015. Untuk selanjutnya tulisan ini dipergunakan juga dalam rangka advokasi pengakuan dan perlindungan hak‐hak masyarakat (hukum) adat di Indonesia pada berbagai kesempatan.
2 Praktisi antropologi. Fellow pada Lingkar pembaran Desa dan Agraria (KARSA), Yogyakarta;
dan pengajar tamu pada Jurusan Ilmu Politik dan Ilmu Pemerintahan, FISIPOL UGM.
3 Lihat misalnya Sirait, et.al., 2005., op.cit.; Sumardjono, Maria S.W., “Kedudukan Hak Ulayat dan
Pengaturannya dalam Berbagai Peraturan Perundang‐undangan” dan “Kasus‐kasus Pertanahan Menyangkut Tanah Ulayat dalam Pembangunan di Papua”, dalam Maria S.W. Sumardjono, 2008. Tanah dalam Perspektif Hak Ekonomi Sosial dan Budaya. Jakarta: KOMPAS; Yance Arizona, 2010. “Satu Dekade Legislasi Masyarakat Adat. Trend Legislasi Nasional tentang Keberadaan dan Hak‐ hak Masyarakat Adat Atas Sumberdaya Alam di Indonesia (1999 – 2009), dalam Yance Arizona,
ed., 2010. Antara Teks dan Konteks. Dinamika Pengakuan Hukum Terhadap Hak Masyarakat Adat
Atas Sumberdaya Alam di Indonesia. Jakarta: HuMa; Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN),
2011. Naskah Akademik untuk Penyusunan Rencana Undang‐Undang Pengakuan dan
Perlindungan Masyarakat Adat.; R. Yando Zakaria, 2012. “Makna Amandemen Pasal 18 Undang‐
Undang Dasar 1945 bagi Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Adat di Indonesia. Makalah
yang disampaikan pada Konferensi dan Dialog Nasional dalam rangka Satu Dasawarsa
Amandemen UUD 1945 dengan tema “Negara Hukum ke Mana Akan Melangkah?”.
Diselenggarakan di Jakarta, tanggal 9‐10 Oktober 2012. Setelah sempat berhenti untuk beberapa saat, baru‐baru ini pokok perhatian yang sama muncul kembali. Misalnya dalam Maria Rita Roewiastoeti, 2014. “Dampak Sosial Politik Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 35/PUU‐ X/2012”, dalam dalam WACANA, Jurnal Transformasi Sosial, Nomor. 33 Tahun XVI, 2014, dengan tajuk khusus tentang “Masyarakat Adat dan Perebutan Penguasaan Hutan”. Yogyakarta:
Indonesia Society for Social Transformation; Myrna A. Safitri & Luluk Uliyah, 2014. Adat dan Pemerintah Daerah. Panduan Penyusunan Produk Hukum Daerah untuk Pengakuan dan
realitas sosial yang tunggal dan tidak disertai bahasan tentang wujud kongkritnya
di tingkat lapangan (dengan sedikit pengecualian yang menyinggung secara
sambil lalu, tentunya).4
Hal yang demikian itulah yang dapat terbaca pada gelombang pengakuan masyarakat hukum adat ataupun masyarakat yang deras dalam kurun waktu 15 tahun terakhir, yang diawali oleh tersedianya Peraturan Menteri Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 5 Tahun 1999 tentang Pedoman Pengakuan Hak‐hak Masyarakat Hukum Adat atas Tanah Adat, disingkat Permenagraria 5/1999, yang kemudian dilanjutkan dengan beberapa kegiatan mendorong legislasi di tingkat daerah, dan makin gencar dalam 2 – 3 tahun terakhir ini. Pertanyaannya, apakah masyarakat hukum adat dan/atau masyarakat adat itu memang hanya merujuk pada suatu realitas sosial yang tunggal? Pengakuan semacam apa pula yang sudah dihasilkan yang berdasarkan konsepsi tentang masyarakat hukum adat yang demikian itu? Apakah hak masyarakat adat atas tanah hanya mencakup hak‐hak yang bersifat komunal saja? Apakah dalam sistem tenurial masyarakat adat itu tidak dikenal hak‐hak yang bersifat
4 Frasa masyarakat (hukum) adat memang sengaja ditulis dengan memberi tanda kurung pada
kata hukum, mengingat adanya persamaan dan perbedaan antara terma‐terma ‘masyarakat adat’, ‘masyarakat hukum adat’, ‘kesatuan masyarakat hukum adat’, dan juga ’persekutuan masyarakat hukum adat’. Dalam wacana akademik dan hukum di Indonesia, istilah masyarakat
hukum adat merupakan terjemahan dari rechgemeenschap atau ada pula yang menyebutnya
adatrechgemeenschap ataupun volksgemeenscappen. Konsep ini pertama kali disebut oleh Cristiaan Snouck Hurgronye, dan dikembangan lebih lanjut oleh Cornelius van Vollenhoven dan
para muridnya. Sebagaimana yang ditulis oleh Rikardo Simarmata, 2006. Pengakuan Hukum
Terhadap Masyarakat Adat di Indonesia (Jakarta: UNDP – Jakarta), Ter Haar, salah seorang murid
van Vollenhoven merumuskan bahwa persekutuan hukum adat (adatrechsgemeenschap) adalah
individual? Apakah hak ulayat selalu bersifat publik dan tidak bisa bersifat privat?
Kecuali untuk kasus ‘Pengakuan atas keberadaan MHA Baduy’, boleh jadi belum banyak perubahan yang dibawa oleh beberapa kasus pengakuan dan
penghormatan hak‐hak masyarakat di tingkat daerah cq. kabupaten lainnya.
Sebabnya adalah bahwa beberapa peraturan daerah yang bertajuk pengakuan dan perlindungan masyarakat hukum adat itu umumnya masih bersifat deklaratif dan generik yang belum mampu menentapkan subyek, objek, dan jenis hak masyarakat hukum adat yang lebih defenitif, sebagaimana yang dikenal
dalam sistem tenurial yang ada dalam masyarakat hukum adat yang
bersangkutan.5
Konstelasi Peraturan Perundang‐undangan Mutakhir terkait Pengakuan Hak‐hak Masyarakat (Hukum) Adat
Saat ini setidaknya telah tersedia 5 (lima) perangkat peraturan perundang‐ undangan yang dapat digunakan ‐‐ secara operasional – dalam memperoleh pengakuan hak‐hak masyarakat (hukum) adat secara hukum. Masing‐masing adalah, diurut berdasarkan tahun penetapannya, adalah: (1) Undang‐Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa; (2) Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 52 Tahun 2014 tentang Pedoman Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Hukum Adat; dan (3) Peraturan Bersama Menteri Dalam Negeri, Menteri Kehutanan, Menteri Pekerjaan Umum, dan Kepala Badan Pertanahan Republik Indonesia Noor 79 Tahun 2014; Nomor PB.3/Menhut‐11/2014; Nomor 17/PRT/M/2014; dan Nomor 8/SKB/X/2014 tentang Tata Cara Penyelesaian Penguasaan Tanah yang Berada di Dalam Kawasan Hutan; (4) Perturan Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 9 tahun 2015 tentang Tata Cara Penetapan Hak Komunal atas Tanah Masyarakat Hukum Adat dan Masyarakat yang Berada dalam Kawasan Tertentu; dan (5) Peraturan
5 Perlu disampikan di sini bahwa efektifnya Peraturan Daerah Kabupaten lebak Nomor 32 Tahun
Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor ... Tahun 2015 tentang Hutan Hak.6
Meski begitu, sebagaimana yang sudah pernah terjadi pada masa‐masa sebelum ini, nyatanya antara berbagai perangkat peraturan perundang‐undangan itu juga belum terjadi sinkronisasi (lihat Tabel 1 dan Diagram 1 berikut), baik yang berkenaan dengan rumusan kriteria yang harus dipenuhi, ketentuan pemenuhan yang akumulatif (harus memenuhi seluruh kriteria yang telah ditentukan) atau bisa fakultatif (memenuhi sebagian kriteria yang telah ditentukan), maupun berkenaan dengan mekanisme dan bentuk‐bentuk pilihan produk hukum yang dibutuhkan.
Tabel 1
6 Perlu dicatat bahwa Permen ATR 9/2015 ini adalah pengganti Permenagraria 5/1999.
Permenagraria 5/1999 adalah intrumen hukum pertama yang memberikan pedoman dalam pengakuan hak‐hak masyarakat hukum ada. Dalam hal ini adalah hak atas tanah. Namun kebijakan ini tidak efektif. Lihat Noer Fauzi, et.al., 2012. Kajian Kritis Atas Peraturan Menteri Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 5 Tahun 1999 tentang Pedoman Penyelesaian Permasalahan Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat. Kertas Kerja Epsitema, No. 01/2012. Jakarta: Epistema Institute. Perlu pula dicatatat dalam kesempatan ini bahwa meski prosedur pengakuan
Kontestasi)antar)Hukum:)Pilihan)Fakulta4f)atau)Akumula4f?!
Undang;Undang)Desa)No.)6/2014) Permendagri)52/2014) Permen)ATR)9/2015)
Pasal!6:!“Desa!adalah!desa!dan!desa)adat)
atau!yang!disebut!dengan!nama!lain,! ayat!(1)!huruf!a!harus!memiliki!wilayah)dan!
paling)kurang)memenuhi)salah)satu!atau! gabungan!unsur!adanya:!
a. masyarakat!yang!warganya!memiliki! perasaan!bersama!dalam!kelompok;!! b. pranata!pemerintahan!adat;! c. harta!kekayaan!dan/atau!benda!adat;!dan/
atau!
d. perangkat!norma!hukum!adat.! ! Propinsi)dan)Kab/kota!
“Masyarakat!Hukum!Adat!adalah!Warga! oleh)Keputusan)Kepala)Daerah!
Masyarakat!Hukum!Adat!adalah!sekelompok! (a) Masyarakat!masih!dalam!bentuk!
paguyuban;!
(b) Ada!kelembagaan!dalam!perangkat! penguasaan!adatnya;! (c) Ada!wilayah!hukum!adat!yang!jelas;! (d) Ada!pranata!dan!perangkat!hukum!yang!
Misalnya, Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 52 Tahun 2014 tentang Pedoman Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Hukum Adat mengambil jalur yang berbeda sama sekali dengan Putusan MK 35 Tahun 2012, dan makin lebih sulit dimengerti mengingat peraturan ini keluar dari kementerian yang sama dengan pengampu utama – setidaknya pada saat proses legislasi – Undang‐ Undang Nomor 6 Tahun 2012 tentang Desa.7
Diagram 1
Di samping itu, terkait logika pengakuan hak‐hak masyarakat (hukum) adat sebagaimana yang terdapat pada berbagai perangkat peraturan perundang‐ undangan yang dirujuk juga tidak berkesesuaian satu sama lainnya. Setidaknya ada 3 logika hukum yang berbeda satu sama lainnya (lihat Diagram 2 berikut). Pada Diagram 2 dimaksud terlihat bahwa, model pertama, adalah model penetapan MHA mendahului pengakuan hak; dengan pemenuhan kriteria MHA
7 Uraian tentang situasi pada tahun‐tahun sebelum ini, Yance Arizona, 2010. “Satu Dekade
Legislasi Masyarakat Adat. Trend Legislasi Nasional tentang Keberadaan dan Hak‐hak
Masyarakat Adat Atas Sumberdaya Alam di Indonesia (1999 – 2009), dalam Yance Arizona, ed.,
2010. Antara Teks dan Konteks. Dinamika Pengakuan Hukum Terhadap Hak Masyarakat Adat Atas
yang bersifat akumulatif, melalui penetapan dalam sebuah Peraturan Daerah. Logika pertama ini dianut oleh Putusan MK 35/2012, yang sebelumnya sudah dianut oleh UU 41/1999 tentang Kehutanan, Pasal 67; yang kemudian dikukuhkan oleh Perturan Menteri Dalam Negeri Nomor 52 Tahun 2014 tentang Pedoman Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Hukum adat; dan diteruskan oleh Peraturan Bersama Menteri Dalam Negeri; menteri Kehutanan; Menteri Pekerjaan Umum; dan Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia, Nomor 79 Tahun 2014; Nomor PB.3/Menhut‐11/2014; Nomor 17/PRT/M/2014; dan Nomor 8/SKB/X/2014 tentang Tata Cara Penyelesaian Penguasaan Tanah yang Berada di Dalam Kawasan Hutan.
Diagram 2
Logika kedua adalah model pengakuan hak dengan alat verifikasi kriteria MHA yang bersifat akumulatif, melalui mekanisme administratif, sebagaimana yang dianut oleh Permenagraria 5/1999 yang dilanjutkan oleh Permen ATR 9/2015 (pengakuan hak MHA atas tanah komunal).
Sementara logika ketiga adalah model pengakuan hak dengan alat verifikasi kriteria MHA yang bersifat fakultatif (tidak harus memenuhi seluruh kriteria yang ada), melalui peraturan daerah, sebagaimana yang diatur dalam Undang‐ Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa (menyangkut pengakuan hak MHA untuk menyelenggarakan pemerintahan dan pembangunan).
Tiga%Logika%hukum%pengakuan%hak/hak%masyarakat%(hukum)%adat%
Model%Penetapan%mendahului% pengakuan%hak;%dengan%kriteria% bersifat%akumua=f,%melalui%Perda:% MK%35/2012%(?)%;%sebelumnya%oleh%UU%
41/1999,%Pasal%67;%kemudian% dikukuhkan%oleh%Permendagri% 52/2014;%dan%diteruskan%oleh%Perber%4%
kementerian%
Model%pegakuan%hak%dgn%alat% verfikasi%kriteria%MHA%yang% bersifat%akumula=f,%melalui% mekanisme%adminitra=f:%
Permenagraria%5/1999;% dilanjutkan%oleh%Permen%ATR% 9/2015%=%Pengakuan%hak%MHA%
atas%tanah%
Model%pegakuan%hak%dgn%alat% verfikasi%kriteria%MHA%yang% bersif%fakulta=f,%melalui%Perda:% UU%Desa%6/2014%=%Pengakuan% hak%MHA%atas%pemerintahan%
Pada akhir Juni 2015 lalu Kementrian Lingkungan Hidup dan Kehutanan telah pula mengundangkan Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor .. Tahun 2015 tentang Hutan Hak. Harus diakui, rumusan dalam draf permen ini sedikit mengalami ‘kemajuan’ karena tidak lagi mensyaratkan Perda, sebagaimana yang dapat terlihat dalam pengaturan pada Pasal 5, ayat 2, butir a, yang berbunyi “terdapat masyarakat hukum adat atau hak ulayat yang telah diakui oleh pemerintah daerah melalui produk hukum daerah”. Namun, pasal dimaksud sekaligus menegaskan logika yang digunakan sama dengan Pasal 67 UU 41/1999, di mana pengakuan hak (dalam hal ini adalah hak atas hutan adat) harus didahului dengan penetapan keberadaan MHA yang bersangkutan, meski tidak lagi dalam bentuk Peraturan Daerah.8
Pada Pasal 5, ayat 2, butir a. memang tidak mengatur kebijakan Nasional mana yang harus dirujuk oleh produk hukum daerah yang dimaksud. Hal ini bisa positif karena bisa keluar dari jebakan ketidakcocokan antara‐kebijakan Tingkat Nasional yang ada (lihat Tabel dan Diagram terkait terdahulu). Namun juga bisa menjadi celah dan bahkan sasaran tembak dari pihak‐pihak yang merasa dirugikan. Misalnya pengusaha yang merasa ruang geraknya menjadi sempit untuk mendapatkan lahan usaha, lalu mencari kelemahan dari kebijakan daerah yang menghalanginya itu.
Uraian singkat di atas telah menunjukkan, di satu sisi, pada masa pasca‐ reformasi telah terdapat sejumlah instrument hukum yang dimaksudkan untuk mengakui dan melidungi hak‐hak masyarakat adat sebagaimana yang diamanatkan oleh konstitusi. Namun, pada saat yang bersamaan masing‐masing perangkat peraturan perundang‐undangan itu mengandung pengaturan yang berbeda satu sama lainnya.
Masyarakat (Hukum) Adat: unit sosial yang tunggal atau majemuk?
Lebih dari perdebatan ini semua, pertanyaan pokoknya adalah apakah konsep masyarakat hukum adat itu hanya merujuk pada suatu unit sosial yang tunggal,
8 Boleh jadi, pengaturan versi baru ini akan menyisakan persoalan tersednri. Pertanyaannya
sehingga jika ada Perda tentang unit sosial yang diasumsikan tunggal itu maka
selesailah ‘syarat penting’ bagi pengakuan dan perlindungan hak‐hak masyarakat
itu?
Mari kita uji pandangan umum itu. Secara sederhana dapat disimpulkan bahwa putusan pokok dari Putusan MK 35 Tahun 2012, kebijakan tertinggi dan termutakhir yang berkaitan dengan pengakuan atas hak‐hak masyarakat (hukum) adat, menyatakan bahwa ‘hutan adat bukan hutan negara; hutan adat adalah bagian dari wulayah adat masyarakat hukum adat; hak masyarakat adat diakui jika masyarakat hukum adat itu telah ditetapkan dalam Peraturan Daerah’.9
Pengaturan yang mirip juga sudah (pernah) terjadi pada Peraturan Menteri Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 5 Tahun 1999 tentang Pedoman Penyelesaian Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat.– biasa disingkat Permenagraria 5/1999. Menurut Peraturan Menteri ini, pada Pasal 2 ayat 2 diatur bahwa: Hak ulayat masyarakat hukum adat dianggap masih ada apabila: a. terdapat sekelompok orang yang masih merasa terikat oleh tatanan hukum adatnya sebagai warga bersama suatu persekutuan hukum tertentu, yang mengakui dan menerapkan ketentuan‐ketentuan persekutuan tersebut dalam kehidupannya sehari‐hari; b. terdapat tanah ulayat tertentu yang menjadi lingkungan hidup para warga persekutuan hukum tersebut dan tempatnya mengambil keperluan hidupnya sehari‐ hari; dan c. terdapat tatanan hukum adat mengenai pengurusan, penguasaan dan penggunaan tanah ulayat yang berlaku dan ditaati oleh para warga persekutuan hukum tersebut. Selanjutnya, pada Pasal 5 dikatakan bahwa: (1) Penelitian dan penentuan masih adanya hak ulayat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 dilakukan oleh Pemerintah Daerah dengan mengikut sertakan para pakar hukum adat, masyarakat hukum adat yang ada di daerah yang bersangkutan, Lembaga Swadaya Masyarakat dan instansi‐instansi
9 Bahasan yang relatif komprehensif pasca Putusan MK 35 Tahun 2012 ini, tepatnya tentang
yang mengelola sumber daya alam; dan (2) Keberadaan tanah ulayat masyarakat hukum adat yang masih ada sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dinyatakan dalam peta dasar pendaftaran tanah dengan membubuhkan suatu tanda kartografi, dan apabila memungkinkan, menggambarkan batas‐batasnya serta mencatatnya dalam daftar tanah.
Pada Permenagraria 5/1999 ini memang tidak terlalu jelas diatur bagaimana pengaturan dan/atau pengesahan atas keberadaan tanah‐tanah ulayat itu, apakah harus ditetapkan melalui sebuah Peraturan Daerah, sebagaimana yang kemudian disebutkan oleh Putusan MK 35 Tahun 2012 itu, atau bisa dengan jenis peraturan perundangan tingkat daerah yang lain, seperti Surat Keputusan Bupati misalnya. Permenagraria 5/1999 hanya mengatakan bahwa, pada Pasal 6 dikatakan: Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan Pasal 5 diatur dengan Peraturan Daerah yang bersangkutan.10
Mari kita coba menguji ketentuan yang demikian itu pada kasus ‘hutan adat’ yang dapat saja berupa dan/atau berada pada ‘tanah ulayat’ di Ranah Minang, sebagaimana yang diringkas pada Tabel 2 berikut.
Dari tabel dimaksud terlihat bahwa subyek hak atas obyek hak yang berupa tanah ulayat itu sangat beragam. Demikian pula, jenis tanah ulayat juga sangat beragam. Pertanyaannya adalah, dengan demikian, apakah dibutuhkan satu Peraturan Daerah untuk setiap kaum/buah gadang, suku, buek, atau pun nagari, agar masing‐masing pusako (baca: harta kekayaan bersama yang berupa tanah ulayat) dapat diakui oleh negara sebagaimana dimaksudkan oleh Putusan MK 35/2012, dan juga Permenagraria/Ka BPN 5/1999 itu?
10 Pasca pemberlakuan Permenagraria 5/1999 ada beberapa produk hukum daerah yang
Tabel 2
Atau, jika menggunakan logika Permenagraria 5/1999, apakah warga suatu
kaum/buah gadang, suku, atau buek harus mendorong suatu Peraturan Daerah
yang menetapkan keberadaan suatu nagari agar tanah adat/tanah ulayat suatu
kaum/buah gadang, suku, atau buek dapat diakui sebagaimana yang diatur
Permenagraria 5/1999 dimaksud?11
Jika jawabannya ‘ya’, maka bisa dibayangkan betapa berat dan sibuknya masyarakat adat dan Pemerintah di negeri ini untuk memenuhi amanat konstitusi yang memang mengakui hak‐hak masyarakat adat itu, termasuk hak‐ hak atas tanah adat, sebagaimana yang telah diatur pada Pasal 18B: ayat 2 UUD 1945 itu.
Jika bukan demikian yang dimaksudkan oleh kedua kebijakan itu, pertanyaan berikutnya adalah, Peraturan Daerah seperti apa yang sebenarnya dibutuhkan,
11 Perlu disampaikan dalam kesempatan ini bahwa apda pertengahan Mei 2015 lalu, Kementrian
Agraria dan Tata Ruang, telah menerbitkan Peraturan Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala
Subyek'Hak' Objek'Hak:' Tanah'dan'SDA'lainnya'
Jenis'hak/kewenangan'&'‘pemegang'kuasa>nya’'
Individu*!* sainduak/ samandeh*!* paruik*!*jurai* *
(genealogis)*
; Sakalian'nego'hutan'tanah'
(sekalian*nega*tanah*dan*hutan)* ; Mulai'dari'batu'jo'pasie'nan'
saincek'(mulai*dari*dari*batu*dan* pasir*yang*sebuGr)*
; Rumpuik'nan'sahalai'(rumput* yang*sehelai)*
; Jirek'nan'sabatang'(pohon*jarak* yang*sebatang)*
; Ka'atehnya'taambun'jantan'(ke* atasnya*terembun*jantan)* ; Ka'bawah'sampai'takasiak'bulan'
(ke*bawahnya*hingga*pasir*bulan)* ; Pangkek'panghulu'punyo'ulayat'
(pangkat*penghulu*punya*ulayat* batu,'bungo'karang*!*Zaman*Orba:* retribusi*kayu,*damar,*rotan,*karet,* cengkeh,*kulit*manis,*dsb.* *
; Panghulu*andiko*
; Kewenangan*untuk*mewakili,*mengatur*
pengelolaan,*mengumpulkan/memungut*hasil,*dan*
; Mamak*Kapalo*Warih*(yang*adalah*panghulu* andiko*yang*diangkat*menjadi*ketua*panghulu* andiko*yang*ada*pada*kaum*tertentu)*
Hindu/Suku* pusako*
; Mamak*Kapalo*Warih*
(taratak*!* dusun*!*koto)* !*Nagari* *
(genealogis*dan* teritorial)*
; ‘Pemerintah*nagari’*
; KAN*(Perda*No.*13*Tahun*1983*!*masa*Ordebaru,* pasca*UU*5/1979)*
; Wali*Nagari*(Perda*Nagari*Tahun*2000)*!*Perda* kembali*ke*nagari*
agar hak‐hak masyarakat adat itu terakui dan/atau terlindungi tanpa harus terperangkap kesibukan yang tidak berujung itu?
Pendekatan per persil tanah ulayat yang diatur dalam Permenagraria Nomor 5 Tahun 1999 cq. Permen ATR 9 Tahun 2015 mungkin jauh lebih realistis untuk diterapkan, sejauh persyaratan keberadaan masyarakat hukum adat yang diatur oleh Pasal 2 ayat (2), yang kemudian menjadi Pasal 3 dalam Permen ATR 5 Tahun 2015, dapat diubah/disesuaikan menurut kondisi riil masyarakat hukum adat itu saat ini.
Dengan demikian, yang sebenarnya dibutuhkan adalah kebijakan di tingkat daerah yang memuat siapa dan apa saja yang dapat disebut sebagai subyek dan
obyek hak masyarakat hukum adat dalam tatanan sosial dan budaya yang
bersangkutan yang akan diakui di kabupaten/kota yang bersangkutan. Jadi tidak
lagi peraturan daerah yang hanya sekedar berisikan definisi‐definisi yang bersifat generik itu.
Dalam konteks Minangkabau, misalnya, subyek itu bisa saja berupa kaum,12 buah
gadang, suku,13 buek/koto/jorong14 dan nagari.15 Adapun obyek hak yang akan
diakui, misalnya dalam kasus hak adat atas tanah, dapat berupa arato pancarian,
pusako kaum, pusako buah gadang, pusako suku, ulayat buek atau ulayat nagari.
(lihat Tabel 3 berikut). Atau juga apa yang disebut sebagai rimbo larangan, yang bisa saja dimiliki oleh berbagai jenis subyek yang ada.
Pusako kaum, pusako buah gadang, pusako suku, ulayat buek, ulayat nagari, dan
rimbo larangan berbentuk lahan atau tanah ataupun hutan yang ‘dikuasai secara
bersama’ oleh masing‐masing unit sosial yang bersangkutan. Namun, hanya
ulayat nagari dan rimbo larangan yang merupakan tanah ulayat yang bersifat
publik dalam arti tanah yang bersangkutan bisa dimanfaatkan oleh seluruh warga di nagari yang bersangkutan. Sedangkan Pusako kaum, pusako buah
12 Kaum di beberapa daerah disebut buah gadang, sekumpulan keluarga luas yang berpangkal
pada satu nenek moyang (perempuan) tertentu.
13 Suku dan/atau hindu adat (satuan kekerabatan yang lebih luas yang terdiri dari sejumlah
kaum.
14 Buek/Koto/Jorong adalah satuan organisasi sosial yang berbasis tempat dan aspek‐aspek
genealogis yang berada di bawah da/atau merupakan bagian dari nagari.
15 Nagari adalah satuan organisasi sosial yang berbasis tempat dan aspek‐aspek genealogis
gadang, pusako suku, ulayat buek adalah tanah ulaat yang bersifat privat, dalam arti hanya bisa dimanfaatkan oleh warga unit sosial yang bersangkutan saja. Adapun arato pancarian merujuk pada harta beda/kekayaan yang dimiliki oleh pribadi tertentu yang diperolehnya melalui aturan adat‐istiadat yang ada dalam komunitas itu. Maka, jelaslah bahwa hak adat atas tanah tidak hanya berbentuk tanah ulayat sebagaimana yang dipahami publik selama ini melainkan juga ada tanah‐tanah adat yang bersifat individual. Demikian pula, tidak seluruh tanah ulayat bersifat publik, melainkan ada juga ulayat yang bersifat privat.
Tabel 3
Membumikan konsep abstrak ke realitas lapangan
Jelaslah, seperti yang disebut Safitri & Uliyah (2014: 11 ‐ 12), istilah masyarakat hukum adat atau masyarakat adat atau desa adat itu adalah konsep, yaitu
pernyataan abstrak atau dikenal pula sebagai ‘abstraksi’ mengenai suatu realitas
yang diungkapkan melalui kata atau simbol untuk membangun pengetahuan
mengenai realitas tersebut. Dikatakan pula “Meskipun istilah yang digunakan
dalam peraturan perundang‐undangan beragam, dalam kenyataannya Masyarakat Hukum Adat atau masyarakat adat merujuk pada fakta komunitas yang sama. Dalam masyarakat pada umumnya tidak digunakan istilah masyarakat hukum adat atau masyarakat adat, melainkan istilah yang
!
Individu!!!Paruik! 1 Panghulu!andiko!!!Kewenangan!untuk!mewakili,!mengatur!pengelolaan,! mengumpulkan/memungut!hasil,!dan!pengelolaan!hasil!bagi!kepen>ngan!bersama! Kaum/Buah!gadang! 1 Mamak!Kapalo!Warih!(yang!adalah!panghulu!andiko!yang!diangkat!menjadi!ketua!
panghulu!andiko!yang!ada!pada!kaum!tertentu)! Hindu/Suku!pusako! 1 Mamak!Kapalo!Warih!
Buek/Jorong! 1 Kapalo!buek/Kapalo!jorong! Nagari! 1 ‘Pemerintah!nagari’!
1 KAN!(Perda!No.!13!Tahun!1983!!!masa!Orde!Baru,!pasca!UU!5/1979)! 1 Wali!Nagari!(Perda!Nagari!Tahun!2000)!!!Perda!kembali!ke!nagari!
1 Kembali!ke!KAN!menurut!versi!Perda!Nagari!No.!2!Tahun!2007!yang!hakekatnya!adalah! ‘Perda!kembali!ke!desa)!
1 Sakalian'nego'hutan'tanah'(sekalian!nega!tanah!dan!hutan)!
1 Mulai'dari'batu'jo'pasie'nan'saincek'(mulai!dari!dari!batu!dan!pasir!yang!sebu>r)! 1 Rumpuik'nan'sahalai'(rumput!yang!sehelai)!
1 Jirek'nan'sabatang'(pohon!jarak!yang!sebatang)! 1 Ka'atehnya'taambun'jantan'(ke!atasnya!terembun!jantan)! 1 Ka'bawah'sampai'takasiak'bulan'(ke!bawahnya!hingga!pasir!bulan)! 1 Pangkek'panghulu'punyo'ulayat'(pangkat!penghulu!punya!ulayat!cq.!kuasa)! Pengusahaan!>ngkat!
lapangan!
1 Berkorong,!berkampung;!berbalai,!bermesjid;!bersawah,!berladang;!bersuku,! bernagari;!berlabuh,!bertepian;!bermedan!yang!berpanas!(gelanggang);!berpandam,!
1 Pusako!>nggi! 1 Pusako!randah! 1!!!Arato!pancarian! ‘Status!ekonomi1poli>k’! 1!!!Miliik!
menunjukkan identitas lokal suatu komunitas. Misalnya, Kasepuhan, Orang Rimba, Nagari Sijunjung dan sebagainya”.16
Pernyataan Safitri dan Uliyah itu sebagian ada benarnya. Sebagian lainnya justru memunculkan pertanyaan‐pertanyaan berikutnya. Pertama, apakah ‘kasepuhan’,
‘orang’, dan ‘nagari’ merujuk pada ‘satuan sistem pengorganisasian’ yang sama?
Kedua, apakah ‘satuan‐satuan sistem pengorganisasian’ yang sudah disebutkan itu saja yang tercakup ke dalam konsep ‘masyarakat hukum adat’ dan/atau
‘masyarakat adat’ itu?
Oleh sebab itu, sebelum merumuskan kebijakan terkait dengan pengakuan dan penghormatan atas hak‐hak masyarakat adat itu perlu diketahui dan dipahami apa bentuk‐bentuk riel dari realitas yang dipresentasikan oleh konsep ‘hak’ dan
‘masyarakat hukum adat’ itu. Dengan kata lain, perlu diungkap ‘pandangan emik’
– sebagai anti tesis dari konsep yang sejatinya merupakan ‘pandangan etik’ ‐‐ dari komunitas‐komunitas yang bersangkutan terkait dengan apa yang kemudian dikonseptualisasikan sebagai ‘hak’ dan ‘masyarakat hukum adat’ itu. Inilah yang kurang – untuk tidak mengatakannya alpa – untuk dilakukan selama ini, dan untuk tujuan‐tujuan itulah Pedoman ini disusun.
(Hak) Ulayat: antara hak publik dan hak privat
Pandangan Roewiastoeti (2014) yang mengatakan bahwa Pasal 18B ayat 2 UUD 1945 tidaklah tepat untuk diacu sebagai dasar yang menjamin pengakuan atas wilayah hidup turun‐menurun (ancestral domain) dari sekelompok orang’ perlu diluruskan. Meski begitu, catatannya tentang perlunya membedakan pengakuan atas hak‐hak masyarakat adat sebagai hak publik dari satuan‐satuan masyarakat adat itu dalam konteks hubungannya dengan hak publik negara, dan hak perdata (kolektif) dari warga negara yang tercakup dalam satuan‐satuan masyarakat hukum adat itu, perlu untuk dipedomani.17
Terkait soal yang pertama, pandangan Roewiastoeti dikatakan kurang cermat atau terperangkap cara berfikir sangat legalistik. Jika dicermati perdebatan yang terjadi selama proses amandemen Pasal 18, sebagai terekam dalam risalah yang diterbitkan Mahkamah Konstitusi pada tahun 2010, khususnya dalam buku Jilid
5, jelas sekali terlihat original intended perubahan pasal itu, yang kemudian bermuara pada, antara lain, munculnya Pasal 18B ayat (2), tidak semata‐mata dalam konteks pengakuan hak publik masyarakat hukum adat dalam sistem pemirintahan di Indonesia sebagaimana disangkakan Roewiastoeti karena pasal ini berada di dalam Bab yang mengatur soal Pemerintahan Daerah. Dalam proses amandemen, justru ada yang mengatakan bahwa karena Pasal 18B ayat (2) ini juga mengatur apa yang disebut Roewiastoeti sebagai hak perdata dari sekelompok orang yang juga disebut sebagai masyarakat adat itu. Oleh sebab itu ada yang mengusulkan agar substansi yang diatur dalam Pasal 18B ayat (2) ini dipindah saja menjadi bagian dari Pasal 33 (tentang Kesejahteraan Rakyat).18
Dengan kata lain, dengan tafsir yang lebih luas, dapat dikatakan bahwa Pasal 18B ayat 2 tidak saja dimaksudkan untuk mengakui hak publik melainkan juga mengakui hak perdata kesatuan masyarakat hukum adat yang bersangkutan. Dengan demikian, berbeda dengan pandangan Roewiastoeti, penggunaan Pasal 18B ayat 2 ini oleh AMAN bukanlah sesuatu yang keliru sama sekali. Sebagaimana akan dibahas dalam bagian berikut, dengan demikian, baik hak publik maupun hak perdata dari masing‐masing hukum adat dapat saja merujuk pada pengertian (hak) ulayat sebagai kedaulatan di satu sisi (yang merujuk pada subyek hukum tertentu) maupun ulayat dalam pengertian hak bersama dari subyek‐subyek hukum yang lain lagi.19
Jenis dan subyek hak yang beragam
Agar tujuan pengakuan hak‐hak masyarakat hukum adat sebagaimana diamanatkan dalam konstitusi bisa optimal maka kemampun untuk melakukan
kajian yang mampu mengungkap realitas di lapangan kemudian dirasakan
18 Sayangnya, sepanjang yang data dibaca dalam risalah dimaksud, tidak ada penjelasan atau
pembicaraan lebih lanjut mengapa usul itu tidak dilaksanakan dan pada akhirnya PAsal 18B ayat (2) itu tetap di dalam Bab tentang Pemerintahan Daerah.
19 Perlu disampaikan bahwa Peraturan Menteri Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional
Nomor 5 Tahun 1999 merumuskan hak ulayat sebagai “Hak ulayat dan yang serupa itu dari masyarakat hukum adat, (untuk selanjutnya disebut hak ulayat), adalah kewenangan yang menurut hukum adat dipunyai oleh masyarakat hukum adat tertentu atas wilayah tertentu yang merupakan lingkungan para warganya untuk mengambil manfaat dari sumber daya alam, termasuk tanah, dalam wilayah tersebut, bagi kelangsungan hidup dan kehidupannya, yang timbul dari hubungan secara lahiriah dan batiniah turun temurun dan tidak terputus antara masyarakat hukum adat tersebut dengan wilayah yang bersangkutan.” (Pasal 1 ayat 1)
sebagai mendesak mengingat, sebagaimana ditunjukkan oleh tabel berikut, jenis
hak masyarakat hukum adat yang akan diakui itu juga beragam macamnya (lihat
tabel berikut).
Selain itu, masing‐masing jenis hak itu, sebagaimana telah ditunjukan sekilas dalam kasus tanah ulayat dalam konteks tatanan sosial‐budaya Minangkabau di atas, boleh jadi merujuk pada subyek dan jenis hak yang beragam pula.
Tabel 4
Suatu pendekatan yang sekedar berdasarkan prinsip self determination dan self
identification yang bersifat dogmatis, yang disertai pula dengan keengganan
untuk menyesuaikannya dengan situasi dan kondisi Indonesia, tentulah sangat tidak memadai dan boleh jadi kontra produktif. Sebab konstitusi telah mengatur bahwa pengakuan itu dalam konteks pengaturan negara Republik Indonesia yang merdeka. Artinya, pengakuan hak‐hak masyarakat adat itu tidak semata‐ mata pemahaman yang bersifat akademik melainkan merupakan pilihan‐pilihan politik yang harus dinegosiasikan oleh para pihak yang terlibat. Hanya saja pilihan‐pilihan politik itu juga tidak bisa diambil tanpa pengetahuan yang cukup tentang hal‐hal yang akan dinegosiasikan itu. Itulah sebabnya suatu pengetahuan dan ketrampilan yang mampu menjelaskan berbagai sobyek, obyek, dan jenis hak‐hak masyarakat hukum adat itu menjadi suatu keniscayaan.
Metodologi
Sebagaimana telah disinggung dalam bagian‐bagian terdahulu, sebelum merumuskan kebijakan terkait dengan pengakuan dan penghormatan atas hak‐
Berbagai(jenis(hak(masyarakat((hukum)(adat(menurut(Deklarasi(PPB(tentang( Hak9Hak(Masyara9(kat(Adat((United'Na*ons'Declara*on'on'The'Rights'of'
Indigenous'Peoples/UN9(DRIP)((
• Hak(untuk(menentukan(nasib(sendiri:(
– Masyarakat(adat(berhak(menentukan(pilihan(tentang(jalan(hidup((
– Masyarakat(adat(berhak(menentukan,(mengembangkan(rencana(dan(urutan( kepenDngan(bagi(pemanfaatan(tanah,(wilayah,(dan(sumber(daya(mereka( (Pembangunan).((
– Masyarakat(adat(berhak(menyatakan(atau(mengungkap(jaD(diri,(melestarikan(bahasa,( budaya,(dan(tradisi9tradisi,(serta(mengatur(dan(mengelola(hidup(sendiri(tanpa(terlalu( banyak(campur(tangan(pemerintah.(
– Masyarakat(adat(berhak(mendapatkan(otonomi(dan(atau(membangun(pemerintahan( sendiri.((
– Masyarakat(adat(berhak(mempertahankan(dan(membangun(lembaga9lembaga(poliDk,( hukum,(ekonomi,(sosial,(dan(budaya(sendiri.(
– Masyarakat(adat(berhak(untuk(Ddak(kehilangan(penghidupan(dan(mata(pencaharian.( – Masyarakat(adat(berhak(menentukan(hubungan(lembaga(pemerintahan(mereka(dengan(
pemerintah(pusat(atau(negara.((
• Hak(atas(tanah,(Wilayah,(dan(Sumberdaya(Alam(
• Hak(Turut(Serta((ParDsipasi)(dan(Hak(Untuk(Mendapat(Informasi(
• Hak(Budaya(
hak masyarakat adat itu perlu diketahui dan dipahami apa bentuk‐bentuk riel dari
realitas yang dipresentasikan oleh konsep ‘hak’ dan ‘masyarakat hukum adat’ itu.
Dengan kata lain, perlu diungkap ‘pandangan emik’ – sebagai anti tesis dari
konsep yang sejatinya merupakan ‘pandangan etik’ ‐‐ dari komunitas‐komunitas
yang bersangkutan terkait dengan apa yang kemudian dikonseptualisasikan sebagai ‘hak’ dan ‘masyarakat hukum adat’. Dari pada terjebak dalam perdebatan tentang definisi yang ‘baik dan benar’, maka lebih baik mencari sosok MHA/MA itu
di tingkat lapangan. Yakni, mengakaji bentuk‐bentuk persekutuan sosial yang
riel ada di lapangan, yang dapat dikategorikan sebagai subyek, obyek, dan jenis hak‐hak MHA/MA yang akan diakui itu.
Dalam upaya yang demikian itu, pendekatan yang di dalam disiplin Ilmu Antropologi disebut sebagai etnosains, akan sangat membantu. Pendekatan ini percaya bahwa perilaku fisik, melalui mana sesorang atau suatu komunitas secara langsung menciptakan perubahan dalam lingkungan fisiknya pada dasarnya adalah hasil dari mekanisme yang ada dalam suatu sistem pengetahuan
masyarakat yang bersangkutan.20
Maka, perbicangan soal pengakuan dan perlindungan hak masyarakat adat, termasuk dalam kaitannya dalam konteks subyek, objek, dan jenis hak masyarakat dimaksud, pada hakekatnya adalah bagian dari apa yang disebut sebagai sistem pengetahuan yang berkenaan dengan suatu lingkungan di mana suatu masyarakat atau komunitas tertentu itu berada.
Menurut Netting (1974); Ahimsa Putra, (1994 & 1997), sebagaimana disimpulkan Lahajir (2001), pendekatan etnosains akan membantu pengungkapan sistem pengetahuan‐pengetahuan yang dimaksudkan karena etnosains berasumsi bahwa effective environment itu bersifat kultural, karena lingkungan objektif yang sama dapat dilihat, dipahami, atau dirasakan secara berbeda‐beda oleh masyarakat yang berbeda latar belakang kebudayaannya.
20 Lihat H.S. Ahimsa‐Putra, “Antropologi Ekologi: Beberapa teori dan Perkembangannya”, dalam
Dengan demikian effective environment itu pada hakekatnya adalah cultural
environment.21
Menurut Ahimsa Putra (1994 dan 1997, dalam Lahajir 2001: 53 ‐ 54), cultural
environment dikodifikasi dalam bahasa, oleh karenanya, untuk memahaminya
perlu diungkap sistem taksonomi, klasifikasi, kategorisasi yang tercermin dalam
istilah‐istilah lokal karena di dalam taksonomi dan klalsifikasi itu terkandung
pernyataan‐pernyataan atau ide‐ide masyarakat tentang lingkungannya itu;. Taksonomi atau klasifikasi yang terungkap dalam berbagai istilah lokal itu berisikan juga informasi tentang makna‐makna referensial yang penting dalam memahami – dalam konteks ini ‐‐ hak‐hak masyarakat adat yang hendak diakui dan dilindungi itu.
Dalam situasi yang demikian, memahami bentuk‐bentuk kolektiva manusia penting untuk dipahami. Dalam kajian antropologi (dan sosiologi), konsep‐ konsep kolektiva manusia yang berdasarkan hubungan kekerabatan adalah sebagaimana yang dapat dilihat pada tabel berikut.
Tabel 5
Sedangkan bentuk‐bentuk kolektiva manusia yang terbentuk berdasarkan kesatuan tempat (tinggal) adalah sebagaimana dapat dilihat dalam tabel berikut.
21 R.M. Netting, 1974. “Agrarian Ecology”, dalam Annual Review of Anthropology, 3: 21 – 56;
Ahimsa‐Putra, 1994, ibid.; H.S. Ahimsa‐Putra, 1997. “Sungai dan Ciliwung. Sebuah Kajian Etnoekologi”, dalam Prisma, (1): 51 – 72, sebagaimana dikutip dari Lahajir, 2001, loc.cit., hal. 53.
Bentuk'bentuk)pengelompokan)sosial)berdasarkan)hubungan) kekerabatan)(Koentjaraningrat,)1980:)80)'))127))
Sebutan( Keterangan(
Keluarga)BaAh/Keluarga)InA) Sepasng)suami)istri)dan)anak'anaknya)(termasuk)anak)Ari)dan)anak)angkat))
yang)belum)kawin)
Rumah)Tangga) Satuan)ini)mengurus)ekonomu)rumah)tangga)sebagai)kesatuan,)yang)terwujud)
ke)dalam)sistem)dapur.)Sering)terdiri)dari)satu)keluarga)inA,)tetapi)juga)bisa) terdiri)dari)lebih)dari)satu.))
Kindred) Kesatuan)kaum)kerabat)yang)melingkari)seseorang)yang)memulai)suatu)
akAvitas)yang)biasanya)berkaitan)dengan)ritual)life%cycle.)
Keluarga)Luas) Kelompok)kekerabatan)ini)selalu)terdiri)dari)lebih)dari)satu)keluarga)inA,)tetapi)
seluruhnya)merupakan)suatu)kesatuan)sosial)yang)amat)erat,)dan)yang) baisanya)hidup)Anggal)bersaa)pada)satu)tempat)–)rumah/kompleks)rumah/ compound)atau)perkarangan)–)tertentu.)
Klen) Suatu)kelompok)kekerabatan)yang)terdiri)dari)gabungan)keluarga)luas)yang)
merasakan)diri)berasal)dari)seorang)nenek)moyang,)dan)yang)satu)dengan)lain) terikat)melalui)garis'garis)keturunan)tertentu)(patrilineal)atau)matrilenieal))
Fratri/Phratry) Gabungan)klen)
Moiety/Paroh)Masyarakat) Gabung)klen)yang)kemudian)membentuk)satu)masyarakat)bersama)satu)paroh)
masyarakat)yang)lain)!)SeperA)‘’kampung)islam/Ohoislam’)dan)‘kampung)
Tabel 6
Dalam kajian antropologi (dan sosiologi), bentuk‐bentuk kolektiva manusia yang disebutkan dalam dua tabel terdahulu adalah merupakan konsep‐konsep yang bersifat etik. Yakni suatu rumusan yang datang dari luar. Dalam kehidupan nyata berbagai bentuk kolektiva manusias itu memliki konsepsi emiknya, yakni suatu konsepsi sebagaimana yang dikonsepsikan sendiri oleh pelakunya, sebagaimana yang terwujud ke dalam sebutan‐sebutan yang menggunakan bahasa lokal, dengan makna yang bersifat lokal pula.
Jika diurut berdasarkan besaran populasi pada masing‐masing bentuk kolektiva manusia itu maka kita dapat membangun sebuah diagam berikut, yang menunjukkan betapa beragamnya bentuk‐bentuk kolektiva manusia itu.
Sebutan& Keterangan&
Komunitas&Kecil& Kelompok%kelompok&di&mana&warga%warganya& semuanya&masih&bisa&saling&mengenal&dan&saling& bergaul&dengan&frekwensi&yang&Hnggi&
Band% Kelompok%kelompok&berburu,&biasanya&merupakan& kelompok%kelompok&kercil&yang&berpindah%pindah& dan&yang&pada&umumnya&Hdak&melebihi&jumlah&80& sampai&100&individu.&
Desa&(village)& Merupakan&komunitas&kecil&yang&menetap&tetap&di& suatu&tempat&tertentu.&
!&Aspek%aspek&penHng&dalam&memahami&suatu&komunitas:&solidaritas&penggerak& komunitas,&sistem&pelapisan&sosial,&dan&kepemimpinan.&
Bentuk'bentuk)unit)sosial)yang)terkait)dengan)hak'hak)masyarakat)(hukum))adat)(e7k)atau)emik))!)Lihat)Zakaria) &)Arizona,)dalam)Arizona,)2014)(disempurnakan).)Lihat)juga)Koentjaraningrat,)1980:)46.) ‘anak)adat’)
Keluarga)
ba7h) keluarga)besar/ Gabungan)
‘desa)adat’)versi)uu)6/2014)Wg)Desa)
Sub)suku)Dayak)iban,)kenyah,)) batak)karo,)caniago,)koto,) jambak,)kaili)moma,)sistem) marga/Batak)&)Minahasa,)dll)
Penutup
Rincian bentuk‐bentuk konkrit dari obyek dan subyek hak, serta hubungan yang konkrit antara jenis hak dan subyek hak yang beragam inilah yang seharusnya sudah tercantum dalam peraturan daerah, atau perangkat peraturan tingkat daerah lainnya. BUKAN defenisi‐defenisi yang masih bersifat generik, sebagaimana yang umumnya terjadi pada beberapa peraturan daerah tentang pengakuan dan perlindungan hak‐hak masyaakat yang sudah ada.
Mudah‐mudahan, dengan catatan singkat ini, akan hadir peraturan daerah tentang pengakuan dan perlindungan hak‐hak masyarakat adat yang lebih opersional.