• Tidak ada hasil yang ditemukan

Peran Pemerintah Daerah Dalam Pengembang

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Peran Pemerintah Daerah Dalam Pengembang"

Copied!
31
0
0

Teks penuh

(1)

Peran Pemerintah Daerah Dalam Pengembangan

Kesenian Reog Sebagai Identitas Adat Dan Ritual

Agama Di Ponorogo

Penyusun

:

Budi Santoso

Bunga Lailatul S.

Mega P. Chalida

Nadya Gita Zaviera

Rizka Ayu Ratnasari

Jurusan Seni Tari

Fakultas Bahasa dan Seni

UNIVERSITAS NEGERI JAKARTA

(2)

1

KATA PENGANTAR

Puji syukur kita panjatkan kehadirat Allah SWT, karena berkat Rahmat dan

Hidayah-Nya yang tercurah, maka laporan penelitian yang berjudul ―Peran Pemerintah Daerah Dalam

Pengembangan kesenian Reog Sebagai Identitas Adat Dan Ritual Agama Di Ponorogo‖ dapat

terselesaikan tepat pada waktunya.

Laporan penelitian ini disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah antropologi tari.

Ucapan terima kasih kepada dosen pembimbing mata kuliah ini, serta pihak semua yang turut

serta membantu dalam penelitian ini. Peneliti menyadari bahwa manusia tidak ada yang

sempurna. Untuk itu apabila terdapat kesalahan dalam penulisan laporan ini merupakan

murni dari kesalahan peneliti sendiri. Peneliti berharap laporan ini akan berguna di kemudian

hari bagi semua pembacanya.

Terima Kasih.

Jakarta, 02 Januari 2012

(3)

2

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ...1

DAFTAR ISI ...2

ABSTRAK ...4

BAB I PENDAHULUAN ...5

A. Judul ...5

B. Latar Belakang ...5

C. Rumusan Masalah ...7

D. Tujuan Penelitian ...7

E. Manfaat Penelitian ...8

F. Teori dan Konsep ...8

1. Teori ...8

2. Konsep ...9

G. Metode Penelitian ...9

1. Desain Penelitian ...9

2. Setting Penelitian ...9

i. Tempat Penelitian ...9

ii. Waktu Penelitian ...10

iii. Unit Analisis ...10

3. Sumber Data ...10

i. Narasumber dan Informan ...10

ii. Objek Penelitian ...10

(4)

3

iv. Dokumen ...11

4. Teknik Pengumpulan Data ...11

i. Wawancara ...11

ii. Pengamatan ...11

iii. Studi Pustaka ...11

iv. Studi Dokumen ...12

5. Teknik Analisis Data ...12

6. Teknik Kaliberasi dan Keabsahan Data ...12

BAB II GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN ...13

A. Letak Geografis Kota Ponorogo ...13

B. Sejarah Berdirinya Ponorogo ...13

C. Legenda dan Sejarah Reog Ponorogo ...15

BAB III PERDA PONOROGO DALAM MENGEMBANGKAN KESENIAN REOG PADA SAAT INI DALAM RANAH UPACARA TRADISI, IKON PARIWISATA, MAUPUN IDENTITAS KOTA PONOROGO ...17

A. Pemerintah Daerah sebagai Pembuat Pedoman Kesenian dari Masa ke Masa ...17

B. Pemerintah Daerah sebagai Pelestari Kesenian ...19

C. Pemerintah Daerah dan Perubahan yang Terjadi pada Kesenian Reog...20

BAB IV KESIMPULAN ...25

DAFTAR PUSTAKA ...26

(5)

4

ABSTRAK

Penelitian ini membahas tentang peran pemerintah daerah untuk melestarikan

kesenian Reog di daerah Kabupaten Ponorogo yang diadakan didalam acara Grebek Suro

yang diadakan setiap setahun sekali untuk merayakan tahun baru islam (1 Muharam/1 Suro).

Rangkaian yang mengikuti acara Grebek Suro mulai dari ziarah makam , kirap pusaka,

Festival Reog Nasional, Larungan malam, Larungan pagi, dan yang terakhir Tumpeng Purak.

Pemerintah Daerah sangat mendukung kegiatan Grebek Suro dan memerintahkan

kepada seluruh instansi-instansi pemerintah juga swasta untuk turut andil dalam acara Grebek

Suro pada tiap tahunnya untuk turut serta dalam melakukan prosesi acara Grebek Suro.

Kesenian Reog sangat berperan penting didalam acara Grebek Suro dan merupakan inti acara

dalam Grebek Suro. Terbukti dari pengadaan penampilan Reog pada Festival Reog Nasional

yang diikuti oleh peserta tidak hanya dari Ponorogo namun dari daerah-daerah lainnyah dan

mengisi acara pada ritual Larungan pagi.

Dengan adanya festival tersebut, Ponorogo lebih memperkenalkan Reognya sebagai

identitas kesenian khas Ponorogo. Pemerintah juga sudah mengupayakan agar Reog dikenal

oleh penjuru dunia dengan mengadakan tari jatilan yang ditarikan ribuan orang hingga

mendapatkan rekor MURI. Selain rangkaian acara Grebek Suro, Pemerintah Daerah juga

(6)

5

BAB I

PENDAHULUAN

A. Judul

―Peran Pemerintah Daerah dalam Pengembangan Kesenian Reog sebagai Identitas

Adat dan Ritual Agama di Ponorogo‖

B. Latar Belakang

Setidaknya ada lima versi cerita populer yang berkembang di masyarakat tentang

asal-usul Reog1. Beberapa yang terkenal adalah cerita tentang pemberontakan Ki Ageng Kutu, seorang abdi keRajaan pada masa Bhre Kertabhumi, Raja Majapahit terakhir yang

berkuasa pada abad ke-15 dan kisah Raja Ponorogo yang berniat melamar putri Kediri, Dewi

Ragil Kuning, namun di tengah perjalanan ia dicegat oleh Raja Singabarong dari Kediri2. Meski terdapat berbagai sejarah munculnya Reog di Ponorogo, tetapi telah terbukti bahwa

Reog merupakan identitas dari Ponorogo. Berdasarkan SK Bupati nomor 425/1995 tentang

penetapan semboyan daerah Kabupaten Tk. II Ponorogo maka Reog ditetapkan sebagai

semboyan kota, sebagai identitas supra lokal. Reog dimaknai sebagai Resik, Endah, Omber, Girang-Gumirang (bersih, indah, lapang, dan menyenangkan).

Pemerintah Indonesia menetapkan tahun 1998 adalah Tahun Seni dan Budaya sebagai

sebuah identitas bangsa dan mengembangkan pariwisata Indonesia. Legitimasi penetapan itu

diwujudkan pula dengan dibentuknya Departemen Pariwisata, Seni, dan Budaya. Realitas itu

menjadikan kebudayaan berada dalam dua label yang berbeda, yakni lebel ―Pendidikan‖

dalam Departemen Pendidikan dan Kebudayaan sedang yang lain berlebel ―Kepribadian

1

Reog di Jawa Timur, Departmen Pendidikan dan Kebudayaan, Jakarta, 1978-9

2 Reog Po orogo

(7)

6 Nasional‖ dan ―Pariwisata‖ yang diwadahi oleh Departemen Pariwisata. Hubungan tarik

-menarik antara kepentingan ideologi tersebut dialami oleh kesenian tradisional, salah satunya

adalah Reog Ponorogo3.

Berdasarkan konteks dan bentuk pementasannya, terdapat dua klasifikasi pementasan

Reog yang diselenggarakan oleh Pemda Ponorogo, yakni Reog desa yang diadakan

bersamaan dengan hajat seperti selametan, bersih desa, sunatan, dan lain sebagainya; serta Reog Kabupaten yang telah menggunakan panggung, pola lantai, dan kelengkapan unsur

tarian sebagai upaya Pemda mengikuti peraturan pemerintah pusat untuk kepentingan

pariwisata. Upaya yang dilakukan Pemda ini, tidak hanya mendapat dukungan namun juga

kritikan terutama dari praktisi Reog. Dalam jurnal yang bertajuk Reog Ponorogo: Antara

Identitas, Komoditas, dan Resistensi, menuliskan bahwa para praktisi Reog mengatakan Reog

Kabupaten sudah tidak murni.

Secara politis, Reog Kabupaten berada dalam tataran supra lokal mampu mengingkari

identitas ‗yang lain‘ (Reog desa). Sedangkan di tingkat lokal, eksistensi para praktisi Reog

diwakili oleh penampilan pementasan Reog desa sehingga kebijakan pariwisata Pemda

Ponorogo yang melahirkan bentuk Reog Kabupaten dianggap beroposisi dengan Reog desa

yang merupakan identitas dan komoditas lokal para praktisi Reog. Konstruksi identitas dan

pengemasan seni dan kebudayaan tradisional oleh pemerintah lewat labelisasi ‗keaslian‘ seringkali menjauhkan posisi seni dan kebudayaan tradisional itu dari masyarakat

pendukungnya.

3)a za Fauza afi, Esti A a tasari, A i Hi awati. Reog Po orogo: A tara Ide titasKo oditas, da

(8)

7

C. Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian pada latar belakang, maka pokok permasalahan yang akan dibahas

pada penelitian ini adalah:

1) Bagaimana upaya Pemerintah Daerah dalam mengembangkan kesenian Reog

pada saat ini, baik dalam ranah upacara tradisi, ikon pariwisata, maupun

sebagai identitas Ponorogo?

2) Bagaimana Pemerintah Daerah menjembatani perbedaan kesenian Reog

sebagai kemasan pariwisata dengan Reog di pedesaan? Bagaimana Perda

menanggapi beberapa perubahan tradisi di dalam pertunjukkan Reog?

3) Bagaimana upaya Pemda mensosialisasikan Reog sebagai identitas Ponorogo

ke berbagai lapisan masyarakat Ponorogo terutama cendikia agama?

D. Tujuan Penelitian

Adapun tujuan penelitian ini adalah:

1) Mengetahui upaya yang dilakukan Perda dalam mengembangkan Reog baik

pada upacara tradisi, ikon pariwisata, maupun sebagai identitas Kota

Ponorogo.

2) Mendapatkan pemahaman yang lebih komprehensif mengenai permasalahan

Reog sebagai kemasan pariwisata dan Reog desa, serta tindakan Perda dalam

mengatasi permasalahan tersebut.

3) Mengetahui proses sosialisasi yang dilakukan Pemda atas Reog sebagai

(9)

8

E. Manfaat Penelitian

Manfaat melalui penelitian ini dapat berupa informasi atas aplikasi dari Peraturan

Pemerintah dalam hal pengembangan pariwisata tradisional sejak 1998, bagaimana

permasalahan yang mengikuti peraturan tersebut pada seni-seni tradisi, dan upaya-upaya

yang dilakukan oleh Pemerintah Daerah untuk menyatukan misi pemerintah dengan idealis

seniman daerah – khususnya Kesenian Reog di Ponorogo pada penelitian ini.

F. Teori & Konsep

1. Teori

Teori merupakan alat yang terpenting dari suatu pengetahuan. Tanpa teori hanya ada

pengetahuan tentang serangkaian fakta saja, tetapi tidak akan ada ilmu pengetahuan

(Koentjaraningrat,1973:10). Sebagai pedoman dalam menyelesaikan tulisan ini penulis

menggunakan beberapa teori yang berhubungan dengan pokok-pokok permasalahan yang

akan dibahas dalam penelitian ini.

Teori identitas dapat dijabarkan menjadi beberapa bagian yaitu: teori identitas sosial,

identitas kelompok, dan identitas budaya. Identitas social merupakan suatu proses, bukan

tindakan atau perilaku. Teori identitas kelompok lebih banyak didasari untuk menentukan

cirri-ciri etnik pada kelompok masyarakat. Identitas dikatakan sebagai sebuah proses dan

sesuatu yang dibentuk, dengan kata lain identitas tidak bersifat inheren tetapi timbul sebagai

sebuah proses pemberian lebel. Memberikan suatu identitas kepada suatu budaya dapat

(10)

9

2. Konsep

Konsep adalah rancangan ide atau pengertian yang diabstrakkan dari pengertian

konkret, gambaran mental dari objek atau apapun yang ada di luar bahasa yang digunakan

oleh akal budi untuk memahami hal-hal lain (Kamus Besar Bahasa Indonesia,1990:456).

Dalam konsepnya, identitas menurut Kathryn Woodward, dibentuk lewat ‗penandaan perbedaan‘. Penandaan perbedaan ini terjadi baik lewat sistem simbolis bernama representasi, maupun lewat bentuk-bentuk tertentu dari ‗pengecualian sosial‘.

G. Metode Penelitian

1. Desain Penelitian

Pada penelitian ini menggunakan desain Etnografi. Kata etnografi berasal dari Yunani

yaitu ethnos yang berarti rakyat dan graphia yang berarti tulisan. Jadi, etnografi adalah strategi penelitian ilmiah yang mempelajari masyarakat, kelompok etnis dan formasi etnis

lainnya, etnogenesis, komposisi, perpindahan tempat tinggal, karakteristik kesejahteraan

sosial, juga budaya material dan spiritual mereka4. Peneliti mengumpulkan informasi melalui pengamatan partisipan dan wawancara.

2. Setting Penelitian

i. Tempat Penelitian

Penelitian ini dilakukan di daerah Ponorogo, Jawa Timur. Tepatnya di Kabupaten

Ponorogo dan Desa Ngebel, Kecamatan Ngebel.

4 Et ografi http://id.wikipedia.org/wi

(11)

10

ii. Waktu Penelitian

Penelitian ini dilakukan pada tanggal 26 – 28 November 2011.

iii. Unit Analisis

Studi kasus terhadap kebijakan Pemda Ponorogo yang dikaji dalam penelitian ini

adalah:

Pelaksanaan Ziarah Makam Bataro Katong.

Penyelenggaraan Kirab Pusaka dan Tumpeng Purak.

Penyelenggaraan Festival Reog tingkat Nasional yang dihubungkan dengan acara

grebek suro.

Penyelenggaraan upacara Larungan dan pertunjukkan Reog desa yang dihubungkan

dengan acara grebek suro.

3. Sumber Data

i. Narasumber dan Informan

Guna mendapatkan informasi yang dapat dipertanggungjawabkan namun juga

mewakili semua lapisan masyarakat, maka Bupati Ponorogo dan Dinas Kebudayaan

Ponorogo merupakan narasumber pada penelitian ini. Sedangkan pimpinan RT, RW, Lurah,

Camat, dan panitia Larungan merupakan informan bagi penelitian ini.

ii. Obyek Penelitian

Materi pada penelitian ini adalah peran Pemerintah Daerah dalam ritual agama dan

(12)

11

iii. Pustaka

Referensi dan bahan-bahan tertulis yang akan dikaji untuk memperoleh data

penelitian ini berupa peraturan-peraturan yang dibuat Pemerintah Daerah dalam mengelola

Kesenian Reog.

iv. Dokumen

Benda-benda fisik yang dikaji untuk memperoleh data penelitian ini berupa surat

keputusan Pemerintah Pusat prihal mempariwisatakan kesenian daerah maupun situs-situs

yang terkait dengan eksistensi kesenian Reog.

4. Teknik Pengumpulan Data

i. Wawancara

Kegiatan wawancara yang dilakukan pada penelitian ini menggunakan metode

indepth interview yakni wawancara terbuka secara mendalam dengan pedoman wawancara (interview guide). Wawancara juga dilaksanakan secara tim/panel dengan Focus Group Discussion (FGD).

ii. Pengamatan

Kegiatan pengamatan dilakukan dengan observasi partisipasi di wilayah Ngebel

dimana peneliti mengikuti aktifitas upacara Ngebel pada tanggal 27 November 2011.

iii. Studi Pustaka

Referensi kepustakaan yang digunakan berupa Buku Pedoman Dasar Kesenian Reog

(13)

12

iv. Studi Dokumen

Dokumen yang digunakan pada penelitian ini adalah surat Keputusan Pemerintah

Pusat yang merujuk agar tiap kesenian tradisi dikemas untuk dijadikan pariwisata nasional.

5. Teknik Analisis Data

Analisis data penelitian ini menggunakan analisis data kualitatif yang disajikan melalui

analisis deskriptif yang menekankan bahwa perilaku manusia merupakan perilaku simbolik

yang memiliki makna.

6. Teknik Kaliberasi dan Keabsahan Data

Untuk keabsahan data yang diperoleh, pada penelitian ini menggunakan trianggulasi

data, yakni menggunakan berbagai sumber yang berbeda, metode-metode, dan teori-teori

untuk menyediakan informasi yang benar. Dilakukan pula pengecekan sejawat, yakni

menanyakan pertanyaan-pertanyaan tentang makna dan intepretasi penelitian kepada rekan

(14)

13

BAB II

GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN

A. Letak Geografis Kota Ponorogo

Kabupaten Ponorogo mempunyai luas 1.371,78 km² yang terletak antara 111° 17‘ -

111° 52‘ Bujur Timur dan 7° 49‘ - 8° 20‘ Lintang Selatan dengan ketinggian antara 92

sampai dengan 2.563 meter diatas permukaan laut, yang berbatasan dengan sebelah utara

Kabupaten Madiun, Magetan dan Nganjuk, sebelah Timur Kabupaten Tulungagung dan

Trenggalek, sebelah Selatan Kabupaten Pacitan, dan sebelah Barat Kabupaten Pacitan dan

Wonogiri (Jawa Tengah).

Adapun jarak Ibu Kota Ponorogo dengan Ibu Kota Propinsi Jawa Timur (Surabaya)

kurang lebih 200 Km arah Timur Laut dan ke Ibu Kota Negara ( Jakarta ) kurang lebih 800

Km ke arah Barat. Dilihat dari keadaan geografisnya, Kabupaten Ponorogo dibagi menjadi 2

sub area, yaitu area dataran tinggi yang meliputi kecamatan Ngrayun, Sooko dan Pulung serta

Kecamatan Ngebel sisanya merupakan daerah dataran rendah. Sungai yang melewati ada 14

sungai dengan panjang antara 4 sampai dengan 58 Km sebagai sumber irigasi bagi lahan

pertanian dengan produksi padi maupun hortikultura. Sebagian besar dari luas yang ada

terdiri dari area kehutanan dan lahan sawah sedang sisanya digunakan untuk tegal pekarangan

Kabupaten Ponorogo mempunyai dua iklim yaitu penghujan dan kemarau5.

B. Sejarah Berdirinya Ponorogo

Menurut Babad Ponorogo (Purwowidjoyo;1997), setelah Raden Katong sampai di

wilayah Wengker, lalu memilih tempat yang memenuhi syarat untuk pemukiman ( yaitu di

5

(15)

14

dusun Plampitan Kelurahan Setono Kecamatan Jenangan sekarang). Melalui situasi dan

kondisi yang penuh dengan hambatan, tantangan, yang datang silih berganti, Raden Katong,

Selo Aji, dan Ki Ageng Mirah beserta pengikutnya terus berupaya mendirikan pemukiman.

Sekitar 1482 M eng konsulidasi wilayah mulai di lakukan.

Tahun 1482 – 1486 M, untuk mencapai tujuan menegakkan perjuangan dengan menyusun kekuatan, sedikit demi sedikit kesulitan tersebut dapat teratasi, pendekatan kekeluargaan

dengan Ki Ageng Kutu dan seluruh pendukungnya ketika itu mulai membuahkan hasil.

Dengan persiapan dalam rangka merintis mendirikan kadipaten didukung semua pihak,

Bathoro Katong (Raden Katong) dapat mendirikan Kadipaten Ponorogo pada akhir abad XV,

dan ia menjadi adipati yang pertama.

Mengutip buku Babad Ponorogo karya Poerwowidjojo (1997). Diceritakan, bahwa

asal-usul nama Ponorogo bermula dari kesepakatan dalam musyawarah bersama Raden Bathoro

Katong, Kyai Mirah, Selo Aji dan Joyodipo pada hari Jum'at saat bulan purnama, bertempat

di tanah lapang dekat sebuah gumuk (wilayah katongan sekarang). Didalam musyawarah

tersebut di sepakati bahwa kota yang akan didirikan dinamakan ―Pramana Raga‖yang

akhirnya lama-kelamaan berubah menjadi Ponorogo.

Pramana Raga terdiri dari dua kata: Pramana yang berarti daya kekuatan, rahasia hidup,

permono, wadi sedangkan Raga berarti badan,j asmani. Kedua kata tersebut dapat ditafsirkan

bahwa dibalik badan, wadak manusia tersimpan suatu rahasia hidup(wadi) berupa olah batin

yang mantap dan mapan berkaitan dengan pengendalian sifat-sifat amarah, aluwamah,

shufiah dan muthmainah. Manusia yang memiliki kemampuan olah batin yang mantap dan

mapan akan menempatkan diri dimanapun dan kapanpun berada.

Kadipaten Ponorogo berdiri pada tanggal 11 Agustus 1496 Masehi, tanggal inilah yang

(16)

15

kajian mendalam atas dasar bukti peninggalan benda-benda purbakala di daerah Ponorogo

dan sekitarnya, juga mengacu pada buku Hand book of Oriental History, sehingga dapat

ditemukan hari wisuda Bathoro Katong sebagai Adipati Kadipaten Ponorogo. Bathoro

Katong adalah pendiri Kadipaten Ponorogo yang selanjutnya berkembang menjadi

Kabupaten Ponorogo6.

C. Legenda dan Sejarah Reog Ponorogo

Reog merupakan salah satu kesenian tradisional dari sekian banyak kesenian

tradisional yang dimiliki oleh Indonesia. Dalam buku milik Dinas Pendidikan Ponorogo

berjudul mengenal Reog Ponorogo, kesenian ini lahir dan besar di kota yang sekarang dikenal

dengan nama Ponorogo. Dalam proses terciptanya kesenian Reog ini terdapat dua sudut

pandang yaitu menurut legenda dan menurut sejarah.

Kata Reog diambil dari bebunyian atau suara yang dikeluarkan oleh gamelan

pengiring ketika tarian ini dipentaskan, pencetus nama Reog adalah Ki Ageng Surya Alam

(kumpulan kliping tari-tarian daerah) ada pula sumber yang mengatakan kata ―Reog‖ atau

―reyog‖ memiliki arti cukup ilmu, berwibawa serta luhur budinya Menurut legenda

masyarakat Ponorogo kesenian Reog ini menceritakan tentang perjuangan seorang Raja yang

akan melamar seorang permaisuri namun pada akhirnya sang Raja gagal untuk meminang

sang putri dan terciptalah pertunjukan yang belum pernah ada sebelumnya.

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (2009) legenda adalah sebuah cerita rakyat

pada zaman dahulu yang berhubungan dengan peristiwa sejarah. Sedangkan, menurut

sejarahnya awal terciptanya kesenian ini sekitar tahun 1200 masehi oleh seorang patih

Bantarangin bernama Raden Klana Wijaya atau biasa disebut Pujonggo Anom adalah sebuah

pertunjukan satir yang mana di tujukan untuk seorang Raja bernama Raden Klono

6 “ejarah Po orogo

(17)

16

Sewandono yang terlalu tunduk kepada permaisurinya yang mengakibatkan sang Raja lalai

dalam memimpin negerinya.

Ada pula sumber lain yang diperoleh dari buku mengenal Reog Ponorogo (Dinas

Pariwisata Ponorogo) menceritakan hal yang mendasari terciptanya kesenian Reog ini adalah

inisiatif dari sang patih keRajaan Bantarangin yaitu patih Pujangga Anom dalam menghibur

Rajanya yaitu Raja Kelono Sewandono yang ditinggal pergi oleh istrinya yaitu Putri Dwi

Songgo Langit ketika diketahui sang istrinya tidak dapat memiliki anak. Sesungguhnya sang

Raja berkali-kali mencoba menahan kepergian sang permaisuri yang berkeinginan kembali

kenegerinya yaitu Kediri untuk menjadi seorang petapa. Akan tetapi keingin sang permaisuri

sudah bulat dan Raja pun melepas kepergian sang permasurinya dengan kesedihan. Karena

itulah sang patih mementaskan sebuah pertunjukan tari-tarian yang menggunakan kepala

harimau dan seekor merak yang hinggap diatasnya, hal ini dimaksudkan untuk mengenang

kembali masa-masa perjuangan sang Raja dalam mempersunting Putri Dwi Songgo Langit.

Akan tetapi dari setiap pementasan maupun pagelaran yang disajikan oleh para

seniman Reog saat ini menggunakan versi dari R. Klana Wijaya atau biasa disebut dengan

Pujangga Anom. Yang berceritakan tentang perjuangan Raja Bantarangin Klono Sewandono

(18)

17

BAB III

PERDA PONOROGO DALAM MENGEMBANGKAN KESENIAN REOG PADA

SAAT INI DALAM RANAH UPACARA TRADISI, IKON PARIWISATA, MAUPUN

IDENTITAS KOTA PONOROGO

A. Pemerintah Daerah sebagai Pembuat Pedoman Kesenian dari Masa ke Masa

Berubah-ubahnya pemegang kekuasaan politik seiring dengan zaman sangat

mempengaruhi keberadaan sebuah kesenian. Hal ini pun berlaku untuk kesenian Reog

Ponorogo. Asal usul Reog Ponorogo yang semula disebut Barongan merupakan satire

(sindiran) dari Demang Ki Ageng Kutu Suryongalam terhadap Raja Majapahit Prabu

Brawijaya V (Bre Kertabumi). Pada masa kekuasaan Batoro Katong, oleh Ki Ageng Mirah,

memandang perlunya pelestarian kesenian Barongan tersebut sebagai alat pemersatu dan

pengumpul massa sekaligus sebagai media informasi dan komunikasi langsung dengan

masyarakat.

Kuatnya posisi Reog Ponorogo dalam kehidupan keseharian masyarakat Ponorogo

membuat partai-partai politik memanfaatkan kesenian ini untuk mencapai tujuan mereka.

Tahun 1963, Reog dimanfaatkan oleh PKI dengan dibentuknya BRP (Barisan Reog

Ponorogo). Oleh Ahmad Tobroni seorang pengurus Nadhatul Ulama dibentuk CAKRA

(Cabang Reog Utama)n dan kemudian diikuti oleh kaum nasionalis dengan memebentuk

(19)

18

menjadi cikal bakal INTI ( Insan Takwa Ilahi) yang berisi aktivitas Reog dan orang-orang

terkemuka (pejabat) di Ponorogo.7

Perubahan kembali terjadi ketika usai peristiwa G30S/PKI. Kesenian Reog Ponorogo

dibina secara utuh dan terencana oleh Pemerintahan Orde Baru. Upaya pembinaan yang

ditempuh Pemda II Ponorogo dengan merealisasikan satu unit Reog di setiap desa dan

dibangunnya sarana kegiatan berupa padepokan. Langkah selanjutnya, Pemerintah Daerah

Tingkat II Ponorogo menyelenggarakan saresehan Reog Ponorogo pada tanggal 24 November 1992 di Pendopo Agung Kabupaten Ponorogo. Dari kegiatan ini, diperoleh

masukan dari berbagai kalangan praktisi, ilmuwan dari berbagai disiplin ilmu, maupun pakar

tari dan tata busana sehingga terwujud ―Pedoman Dasar Kesenian Reog Ponorogo dalam Pentas Budaya Bangsa‖ atau terkenal dengan sebutan ―Buku Kuning‖. Terbitnya buku

pedoman ini di susun pada 1 April 1996 pada masa Bupati Markoem Singodimedjo8.

Pada pengertian istilah dalam judul disebutkan alinea pertama: Pedoman dasar adalah

kerangka landasan, membuat rambu-rambu yang harus ditaati dalam setiap penyajian

Kesenian Reog Ponorogo dari alur cerita sampai pada instrument dan aransemennya (alur

cerita, seni tari, tata busana/rias, instrument, aransemen, dan peralatan lainnya).

Seiring jatuhnya Orde Baru, Pemerintah Indonesia menetapkan tahun 1998 adalah

Tahun Seni dan Budaya sebagai sebuah identitas bangsa dan mengembangkan pariwisata

Indonesia. Legitimasi penetapan itu diwujudkan pula dengan dibentuknya Departemen

Pariwisata, Seni, dan Budaya. Realitas itu menjadikan kebudayaan berada dalam dua label

yang berbeda, yakni lebel ―Pendidikan‖ dalam Departemen Pendidikan dan Kebudayaan

sedang yang lain berlebel ―Kepribadian Nasional‖ dan ―Pariwisata‖ yang diwadahi oleh

7)a za Fauza afi, Esti A a tasari, A i Hi awati. Reog Po orog

o: Antara Identitas, Komoditas, dan

Resiste si http://i-lib.ugm.ac.id/jurnal/download.php?dataId=1306 )

(20)

19

Departemen Pariwisata. Hubungan tarik-menarik antara kepentingan ideologi tersebut

dialami oleh kesenian tradisional, termasuk Reog Ponorogo. Maka, Reog Ponorogo memulai

eranya sebagai kesenian yang menjadi ―identitas‖ namun juga sebagai ―komoditas‖.

B. Pemerintah Daerah sebagai Pelestari Kesenian

Reog berasal dari kata Riyoqun yang berarti walaupun seluruh perjalanan hidup manusia dilumuri berbagai dosa dan noda, bilamana sadar dan beriman yang pada akhirnya

bertakwa pada Tuhan Yang Maha Esa maka jaminanya adalah manusia sempurna, baik, dan

muslim sejati (Pedoman Dasar Kesenian Reog Ponorogo, Pemda Tk. II Ponorogo:1996).

Berdasarkan SK Bupati Nomor 425/1995 tentang penetapan semboyan daerah Kabupaten Tk.

II Ponorogo, maka Reog ditetapkan sebagai semboyan kota, sebagai identitas supra lokal.

Reog dimaknai sebagai Resik, Endah, Omber, Girang-gumirang (bersih, indah, lapang menyenangkan).

Seiring dengan pergantian pemegang kekuasaan politik, Reog Ponorogo mendapatkan

perhatian untuk dilestarikan oleh Pemerintah Daerah. Beberapa rencana kerja sebagai upaya

pelestarian kesenian ini menjadi fokus utama pada Departemen Pariwisata Ponorogo. Perda

memiliki rencana induk sendiri yaitu membiayai desa atau setiap kecamatan yang mampu

membuat reog (seniman reog). Perda juga mempunyai rencana untuk membuat pusat

pengrajin Reog agar wisatawan tidak kesulitan untuk mencari informasi kesenian Reog.

Perda mempunyai beberapa program yang sudah dan masih berjalan saat ini, seperti:

1. Setiap sebulan sekali menampilkan Reog di panggung pada saat bulan purnama dan

di biayai oleh Dinas Pariwisata Pemda Ponorogo bekerjasama dengan Polres

Ponorogo.

2. Setiap satu tahun sekali setiap 11 Agustus diadakan festival Reog oleh Perda.

(21)

20

4. Setiap 2 bulan sekali menampilkan Reog dan tari-tarian khas Ponorogo.

5. Pelestarian makam Batoro Katong oleh Badan Pemerintah Pengawasan Benda

Purbakala.

Pemerintah juga berperan mananamkan jiwa seni kepada generasi muda dan staf

pemerintahan Kabupaten Ponorogo untuk andil dan juga terlibat dalam pengambangan

kesenian tradisi setempat. Untuk generasi muda pemerintah yaitu melibatkan siswa/siswi

yang masih dudk di bangku pelajar untuk ikut serta dalam pagelaran kesenian ( penari larungan, kirab pusaka, festival), selain itu pemerintah juga mewajibkan ekstrakulikuler disetiap sekolah yang masing-masing dibimbing oleh guru mengenal tradisi kesenian

Ponorogo.

C. Pemerintah Daerah dan Perubahan yang Terjadi pada Kesenian Reog

Kebijakan pariwisata Pemda Ponorogo melahirkan sebuah bentuk Reog yang disebut

Reog Kabupaten yang berdimensi supra lokal dan beroposisi dengan Reog Desa yang

merupakan identitas dan komoditas lokal para praktisi Reog. Reog Kabupaten merupakan

upaya untuk membuat penataan kembali penayjian Reog Ponorogo. Hasilnya menjadi

semacam panduan seni pertunjukkan yang digunakan untuk keperluan festival dan

pertunjukkan di tingkat Kabupaten. Materinya diambil dari penonjolan ciri khas Reog Desa,

yaitu pukulan kendang, tiupan slompret, dan senggakan. Unsur lain yang dimasukkan adalah

penambahan tokoh Klana Sewandana, Penthul, dan Tembem. Elemen tata busana juga

mengalami penambahan yaitu dengan mengadopsi dari istana Surakarta dan budaya

perkotaan. Sedangkan Reog Desa berlangsung jika ada hajat seperti slametan, bersih desa,

maupun sunatan. Penari dan penonton bebas menggerakan tubuh, arena pentas bebas, di

(22)

21

tarian masing-masing tokoh disebut juga dengan iker. Tari lepas pada Reog Desa tidak selalu Bujangganongnya saja, atau Barongannya saja9.

Berbagai fungsi seni pertunjukkan bagi masyarakat menunjukkan bahwa dalam

tiap-tiap individu terdapat pemahaman yang sama terhadap konsep penyelenggaraannya. Pilihan

pementasan terhadap versi Reog desa menunjukkan alasan bahwa versi tersebut lebih

memberikan media penuangan ekspresi dan kebersamaan antar warga melalui nilai-nilai yang

tercermin dalam kesenian sesuai dengan kepribadian masyarakat pendukungnya.

Representasi identitas akhirnya dapat diketahui melalui penelusuran pementasan terutama

pada Reog desa sesuai dengan fungsinya, dilakukan pada acara-acara adat yang diperlukan

oleh anggota masyarakat dalam budaya tersebut. Pedoman yang dibuat oleh Perda untuk

pementasan Reog merupakan bentuk representasi identitas budaya. Upaya ini tidak

sepenuhnya salah, tetapi terjadi penolakan secara tidak langsung dari masyarakatnya. Pemda

Ponorogo sebagai pemegang otoritas mencoba membuat tatanan agar Reog dan praktisinya

mematuhi peraturan itu, namun senantiasa masih terdapat perlawanan (resistensi) meskipun tidak frontal.

Bentuk-bentuk resistensi yang muncul sebenarnya sulit dikenali karena tersembunyi

dalam keseharian para praktisi atau semacam protes di dalam hati. Para praktisi Reog yang

lebih berhak mewarisi tafsir sendiri terhadap kesenian Reog hanya bisa berkata: “Sebenarnya

9

(23)

22

Reog (Kabupaten) sudah tidak murni, karena ini keinginan pemerintah, hanya kalau gitu-gitu

saja tidak menarik, ya saya ikut saja” (Mbah Wo, dalam layar Horison, Indosiar, 14 Agustus

1998). Strategi para praktisi dalam menghadapi kenyataan tadi adalah dengan memunculkan

identitas ganda. Secara politis, Reog Kabupaten berada dalam tataran supra lokal sedangkan

tingkat lokal, eksistensi para praktisi Reog diwakili oleh penampilan pementasan Reog desa.

Bukan hanya dari bentuk pertunjukkan yang berubah antara Kabupaten dan Desa,

seiring waktu kesenian Reog Ponorogo memiliki perubahan-perubahan, seperti penari kuda

jatilan yang semula laki-laki berubah ditarikan oleh wanita dan tidak ada lagi istilah gemblak. Warok sendiri selain merupakan prajurit atau orang yang memiliki kekuatan kanuragan,

biasanya dijadikan sebagai pemimpin suatu desa pada masa-masa penjajahan. Selain itu

tradisi gemblak mulai dihilangkan oleh para Warok sekitar tahun 1980. Tradisi gemblak

merupakan sebuah tradisi dimana para Warok menjaga ilmu kanuragannya dengan

memelihara anak kecil yang tampan untuk dijadikan teman teman tidurnya. Dikarenakan para

Warok mendapat pantangan untuk tidak melakukan hubungan dengan wanita atau istrinya.

Dikarenakan norma di masyarakat sudah berubah maka tradisi ini digantikan menjadikan

para gemblak sebagai anak asuh dari para Warok, mereka disekolahkan dan dirawat seperti

anak mereka sendiri. Biasanya para gemblak adalah para penari jathilan atau biasa disebut

juga penari kuda kepang. Semenjak saat itu para penari jathilan dapat dimainkan oleh anak

perempuan.

(24)

23

saat ini sudah tidak ada dan saat ini istilah gemblak lebih dikenal dengan anak asuh. Kalau dulu gemblak digunakan untuk mengukur status sosial, semakin banyak gemblak maka status sosial seseorang semakin tinggi.

Festival Reog Nasional yang menjadi perubahan utama Reog Obyok (Reog Desa), diselenggarakan setiap 1 Muharram dalam acara Grebeg Suro. Dalam acara tersebut pihak

Pemda Ponorogo berupaya mengerahkan seluruh potensi kelompok Reog yang ada di setiap

desa. Dalam menjembatani antara Reog Festival dengan Reog Obyok agar tidak ada kesenjangan, Pemerintah Daerah Tk. II Ponorogo memiliki penangan pelestarian yang

berbeda. Melalui wawancara dengan Bapak Satria selaku Kepala Dinas Pariwisata Ponorogo,

ia kembali menjelaskan “Masing-masing Reog mempunyai jalur sendiri-sendiri. Adanya reog festival karena adanya upaya pemerintah untuk melestarikan reog di kancah nasional seperti halnya Pemerintah Daerah Kabupaten Ponorogo mengadakan festival reog nasional setiap tahunnya dan untuk Reog Obyok pemerintah mempunyai paguyuban Reog di setiap kecamatan yang totalnya 21 kecamatan. Dari paguyuban tersebut Reog Obyok bisa berlatih dan melestarikan Reog Obyok. Dan antusias masyarakat untuk kedua reog tersebut sangat luar biasa.Sebagai pemerintah daerah kita hanya bisa memfasilitasi kegiatan tersebut.

Selain pertentangan antara Reog Kabupaten dan Desa, Reog pun menjadi permasalahan

di antara kaum muslim Ponorogo. Para praktisi Reog di Kabupaten Ponorogo disebut

golongan tiyang ho’e, yaitu golongan yang lekat dengan kesenian tradisional Reog dan religi

kejawen. Sedang golongan tiyang mesjid adalah golongan yang sibuk dalam aktivitas masjid dan melaksanakan kehidupan berdasarkan Al-Quran dan Al-Hadist.

Golongan tiyang ho’e merupakan abangan yang acuh tak acuh terhadap doktrin islam. Warok-warok yang memiliki kekuatan supranatural mengasihi orang papa, membela

(25)

24

streotip identitas tiyang ho’e di masa lampau. Orang-orang itu bisa dikenali saat pementasan Reog desa; mereka mengenakan pakaian penadon, minum-minuman keras, menari bersama jathil, dan mengikuti upacara sesaji meskipun sebagian dari mereka sudah tidak tahu maksud

dan tujuannya.

Pedoman pelaksanaan kesenian Reog yang telah dibuat oleh Perda pun merupakan

bentuk upaya pemerintah mengatasi masalah ini. Selain itu, untuk menjembatani

permasalahan ini, Perda bekerja sama dengan Pesantren Gontor untuk melakukan kesenian

Reog islami. Perda memberikan kelonggaran dalam hal berbusana, seperti membiarkan

(26)

25

BAB IV

KESIMPULAN

Kabupaten Ponorogo yang merupakan bagian dari Provinsi Jawa Timur, tidak dapat

dipisahkan dengan keseniannya yang telah melekat menjadi identitasnya, yaitu Kesenian

Reog Ponorogo. Seiring berjalannya zaman dan pergantian tampuk kekuasaan, Reog Ponorogo pun mengalami berbagai perubahan. Dari dimanfaatkan oleh partai politik hingga

menjadi komoditas.

Pemerintah daerah Tk. II Ponorogo dalam upaya pelestarian kesenian Reog yang telah

menjadi identitas Kabupaten tersebut, menerbitkan Pedoman Dasar Kesenian Reog Ponorogo

dalam Pentas Budaya Bangsa sebagai rambu-rambu yang harus ditaati dalam setiap penyajian

Kesenian Reog Ponorogo dari alur cerita sampai pada instrument dan aransemennya (alur

cerita, seni tari, tata busana/rias, instrument, aransemen, dan peralatan lainnya). Niatan baik

Perda Ponorogo tersebut mendapatkan penolakan secara tidak langsung dan perlawanan

meskipun tidak frontal dari para praktisi kesenian Reog Ponorogo. Adanya pedoman tersebut

membagi pertunjukkan menjadi dua, yaitu Reog Kabupaten dan Reog desa (Obyok).

Seiring berkembangnya zaman pun beberapa hal dalam pementasan Reog Ponorogo

mengalami perubahan, seperti penggantian penari jathilan yang semula laki-laki menjadi

wanita dan tidak digunakannya lagi istilah gemblak. Hal ini disebabkan, masyarakat merasa

gemblak yang biasa menarikan jathilan dan juga menjadi pasangan Warok sudah tidak sesuai dengan norma dan nilai yang berlaku—terutama masyarakat islam Ponorogo. Dan kesenian ini pun tak luput dari pertentangan antara masyarakat agamais dengan praktisi yang acuh tak

acuh dengan norma agama. Sebagai penengah, Perda bekerjasama dengan Pesantren Gontor

untuk mensosialisasikan Reog islami dengan berbagai perubahan baik dalam kostum maupun

(27)

26

DAFTAR PUSTAKA

BUKU/JURNAL

Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. 1978. Reog di Jawa Timur. Jakarta: DEPDIKBUD.

Fauzanafi, Zamzam, Esti Anantasari, Ani Himawati. 1999. ―Reog Ponorogo: Antara

Identitas, Komoditas, dan Resistensi‖ dalam Bulletin Penalaran Mahasiswa UGM Yogyakarta: Universitas Gajah Mada. Vol. VI/01 Oktober.

Susanto, A. Budi. 2007. Sisi Senyap Politik Bising. Yogyakarta: Kanisius.

Tim Estetika Fakultas Bahasa dan Seni Universitas Negeri Jakarta. 2008. Estetika sastra, seni, dan budaya. Jakarta: UNJ Press.

INTERNET

Dokumentasi Foto Kegiatan Grebeg Suro 2011. http://www.facebook.com/pages/GREBEG-SURO-PONOROGO-PHOTOS/198831152298? sk=wall&filter=2. Diunduh pada 6 Desember 2011.

―Etnografi‖ http://id.wikipedia.org/wiki/Etnografi. Diunduh pada 6 Desember 2011.

―Letak Geografi dan Sejarah Ponorogo‖ http://www.ponorogo.go.id/. Diunduh pada 2 Januari 2012.

(28)

27

LAMPIRAN

Hasil Wawancara Daftar Pertanyaan

No Daftar Pertanyaan Jawaban Narasumber

A. 1. Apakah pemerintah daerah mempunyai rencana induk

1. Pemerintah daerah mempunyai rencana induk sendiri yaitu pengrajin reog agar wisatawan tidak kesulitan untuk mencari kesenian reog.

2.Pemerintah juga mempunyai program yang sudah berjalan dan masih berjalan hingga saat ini yaitu

- Setiap sebulan sekali menampilkan reog di panggung pada setiap bulan purnama dan di biayai oleh pemerintah

- Setiap satu tahun sekali pemerintah daerah setiap

- Setiap 2 bulan sekali menampilkan reog dan tari-tarian khas ponorogo, agar reog selalu mempunyai eksistensi di ponorogo

3.Ya, di desa ngebel selalu diadakan larungan setiap tahunnya pada

1. Bupati Ponorogo

(29)

28 acara larungan di desa ngebel ?

6. Apakah ada peran pemerintah dalam

melestarikan makam Betoro Katong ? Dan apakah aparat pemerintah ikut mendoakan makam betoro katong atau hanya sekedar datang berkunjung ?

tanggal 1 muharam.

4. Karena pada zaman dahulu danau ngebel ini sering meminta korban jiwa, maka perangkat desa serta tokoh-tokoh desa bermusyawarah dan memutuskan untuk melakukan ritual larungan sebagai pengganti adanya korban jiwa.Larungan diadakan 2 kali yaitu siang dan malam, yang malam ialah ritual sakralnya dan yang siang oleh

kabupaten dikemas sedemikian rupa hingga menjadi sebuah pariwista untuk masyarakat ponorogo.

5. Peran pemerintah baik kecamatan maupun kabupaten memfasilitasikan peninggalan betoro katong di jaga dan di rawat oleh BP3 ini, dan setiap satu suro benda-benda pusaka tersebut di kirap dan disemayamkan ke makam ini.Para aparat pemerintah juga turut mendoakan makam betoro katong.

B. 1. Apakah masih terdapat reog obyok di ponorogo ?

2. Bagaimana pemerintah menjembatani antara reog festival dengan reog obyok ?

1. Justru reog obyok banyak di sukai oleh masyarakat karena reog obyok sering diadakan di desa dalam perayaan seperti perkawinan, khitanan, serta bersih desa yang sering memanggil reog obyok sebagai pelengkap acara-acara tersebut.

(30)

29

nasional setiap tahunnya dan untuk reog obyok pemerintah mempunyai paguyuban reog di setiap kecamatan yang totalnya 21 kecamatan dari paguyuban tersebut reog obyok bisa berlatih dan melestarikann reog obyok. Dan antusias masyarakat untuk kedua reog tersebut sangat luar biasa.

Sebagai pemerintah daerah kita hanya bisa memfasilitasi kegiatan tersebut. 3. Dulu didalam kesenian reog

terdapat istilah gemblak,

3. Gemblak pada saat ini mungkin sudah tidak ada dan saat ini istilah gemblak lebih dikenal dengan anak asuh, kalau dulu gemblak digunakan untuk mengukur status social,

semakin banyak gemblak maka status social seseorang semakin tinggi.Pada zaman dulu warok sering melakukan tirakat dan didalam tirakat sang warok dilarang dilayani oleh istri baik kebutuhan jasmani maupun rohani. Maka gemblak ini yang menggantikan posisi sang istri.

4. Disaat diadakan tari jatilan yang tercatat sebagai rekor di muri kita kekurangan penari laki-laki. Maka di putuskan penari jatilan diperankan oleh perempuan lagi pula gerakan penari jatilan seharusnya agak keperempun-perempuanan jadi sulit untuk penari laki-laki memeragakan sebagai penari jatilan maka dari itu penari jatilan digantikan oleh perempuan dan jika ditarikan oleh perempuan terlihat lebih indah dan cantik.

5.Sebenarnya kita juga agak kecewa kenapa kostum penari-penari reog di ubah-ubah tidak sesuai dengan reog asli dari ponorogo, seperti halnya didalam festival reog yang diikuti oleh penjuru daerah di Indonesia, ada beberapa daerah yang menggunakan kostum yang jauh dari kesan penari

(31)

30

Referensi

Dokumen terkait

- Edema di kapiler terjadi bila terjadi peningkatan permeabilitas dinding kapiler yang memungkinkan lebih banyak protein plasma keluar dari kapiler ke cairan intersitium di

Babak Penyisihan akan berlangsung secara online dengan mengirimkan desain dan penjelasan web yang telah diselesaikan ke situs web resmi Falcon Project 10.. Hasil

terdapat di Pura dan Kongco Batu Meringgit yang bisa dikembangkan menjadi sumber belajar sejarah antara lain; (1) Aspek Historis (Sejarah), di mana seorang guru

Bagi sukan individu kemahiran asas sesuatu permainan amat penting supaya kemahiran asas ini dapat diperkukuhkan lagi dengan teknik yang lebih kompleks.. Oleh itu diperingkat

62 Tahun 2016 Tentang Sistem Penjaminan Mutu, sebagaimana juga tercantum dalam Kebijakan Sistem Penjaminan Mutu Internal Universitas Sanata Dharma Tahun 2017, yang

2. Isolat jamur endofit Trichoderma sp. viride), dan jamur endofit Rhizoctonia spp. isolat ENDO-07 batang Timbenuh dan ENDO-08 batang Selebung dapat meningkatkan ketahanan

 Zona perdagangan dan jasa pendukung kegiatan pendidikan tinggi dan pusat pemerintahan serta sebagai pusat pelayanan lingkungan.  Ruang terbuka hijau di sub pusat

Hasil penelitian menunjukkan bahwa: (1) desain program mengacu pada kurikulum (2) implementasi di lapangan tidak selalu sama dengan desain yang telah dibuat (3) kendala utama adalah