• Tidak ada hasil yang ditemukan

Perkembangan Pola Pikir dan Sikap Masyar

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Perkembangan Pola Pikir dan Sikap Masyar"

Copied!
14
0
0

Teks penuh

(1)

Daya Wijaya Page 1 Nasionalisme dan Lingkungan:

Perkembangan Pola Pikir dan Sikap Masyarakat Malang pada Sendang1

Daya Negri Wijaya Dayawijaya15@yahoo.com

Jurusan Sejarah Universitas Negeri Malang

Abstrak

Tulisan ini terangkat oleh skeptisisme penulis terhadap tulisan singkat berjudul

“Kondisi 577 Sumber Air Terancam” dalam salah satu kolom Radar Malang tanggal 23 Januari 2014. Artikel tersebut menguraikan bagaimana sumber air yang ada di Malang Raya tidak diketahui kejelasannya apakah masih ada debit air yang dikeluarkan oleh sendang (mata air atau sumber air) serta satu hal yang mengundang rasa prihatin adalah kesimpang-siuran pemilik sendang apakah menjadi milik pemerintah atau warga. Kenyataan ini tentu saja menggambarkan kepedulian orang pada lingkungan yakni sendang yang didasarkan pada kepentingan dan cenderung melupakan upaya pelestarian sendang padahal dalam pengalaman historis pemerintah dan masyarakat bekerjasama dalam melestarikannya.

Pergeseran bentuk dan tata ruang lingkungan dalam hal ini sendang ternyata begitu banyak dipengaruhi oleh pola pikir dan sikap masyarakat. Dalam perjalanan masa lalu Malang, sebuah kerajaan akan terlegitimasi kekuasaannya bila telah melewati berbagai rangkaian ritual dan air serta sumber air yang menjadi salah satu komponen ritual yang tentunya dianggap sebagai simbol kehidupan bagi sebuah kerajaan. Disini air memiliki fungsi yang sakral dalam masyarakat sehingga mereka cenderung menjaga keberadaan sumber air untuk berbagai aktivitas keseharian. Namun, pergeseran begitu banyak terjadi ketika pemerintah kolonial Belanda mencengkeram Malang hingga kini. Pemerintah menjaga dengan baik seluruh mata air yang ada di penjuru malang. Hal ini sangat bermanfaat dengan kebijakan politik ethis yang memerlukan banyak air untuk pertanian dan perkebunan. Air terlihat sebagai hal yang profan bagi masyarakat saat itu. Sehingga proses pelestarian sendang ini sangat terkait pada kepentingan sang pemilik tanah yang terdapat sendang di dalamnya.

Terlihat menarik untuk mengelaborasikan bagaimana keterkaitan antara sumber air dan masyarakat disekitarnya secara historis. Penulis akan menggunakan metode sejarah untuk memahami sikap dan pola pikir masyarakat terhadap sendang dalam pengalaman historis masyarakat Malang.

Kata-Kata Kunci: Sejarah Kota, Sumber Air, Sakral, Profan, Budaya Air

Sendang merupakan sebuah kata yang tentunya tidak terlalu asing di telinga

masyarakat Jawa. Sendang dipahami sebagai kolam yang biasanya terletak di pegunungan

yang mata airnya muncul dalam kolam tersebut. Namun, istilah sendang akan semakin

membingungkan jika dipahami oleh masyarakat luar Jawa, sebagai contoh jika kata sendang

terucap di daerah Lampung pasti kata tersebut akan dipahami bukan sebagai sumber air tetapi

1

(2)

Daya Wijaya Page 2

sebagai sebuah kampung atau kompleks pemukiman karena nama kampung disana memiliki

kata sendang seperti Sendangmulyo, Sendangdadi, Sendangagung, atau Sendangsari. Lebih

lanjut, kata sendang juga berbeda dengan mbelik, patirtan, dan segaran. Mbelik adalah mata

air yang sering dijumpai di tengah ladang dan umumnya berada di dekat sungai maupun

pohon besar. Sedangkan sendang adalah mata air yang lebih besar dan menggenang. Patirtan

atau petirtaan adalah tempat pemandian suci yang sering digunakan oleh kalangan istana

kerajaan dan segaran merupakan kolam besar yang difungsikan sebagai tempat rekreasi raja

atau tempat perjamuan tamu kerajaan.

Malang secara geografis berada di dataran tinggi Jawa Timur yang dikelilingi oleh

beberapa gunung: di utara terdapat gunung Penanggungan, di timur terdapat gunung Semeru

dan Bromo, di barat terdapat gunung Kelud dan gunung Kawi, serta di selatan terdapat

Samudera Hindia. Menjadi wajar apabila terdapat banyak sendang yang muncul di Malang.

Salah satu kolom dalam radar Malang tertanggal 23 Januari 2014 merekam setidaknya

terdapat 577 sumber air yang masih eksis hingga kini namun berada dalam ancaman. Namun

mengapa dalam keadaan terancam? Bukankah pergantian musim di Indonesia selalu berputar

dengan stabil dan apabila terdapat gangguan dalam siklus hidrologi maka hal ini terjadi

karena pola pikir serta sikap manusia terhadap lingkungan yang telah berubah.

Diamond (2014:4-5) menjelaskan lima faktor yang bisa mempengaruhi kelestarian

dan keruntuhan peradaban yakni kerusakan lingkungan; perubahan iklim; pengaruh

peradaban musuh; pengaruh peradaban sahabat; dan yang terpenting adalah tanggapan

masyarakat pada masalah lingkungan. Lingkungan menjadi aspek penting bagi kelangsungan

kehidupan manusia. hal ini dapat dijadikan pelajaran bagaimana masyarakat baik perorangan,

badan usaha, atau negara dapat menemukan cara mencegah peradaban ambruk karena dunia

tak kuat menanggungnya. Lebih lanjut diungkapkan bahwa keruntuhan misterius berbagai

peradaban dipicu oleh berbagai masalah ekologis dimana manusia secara tidak sengaja

menghancurkan sumber daya lingkungan yang diandalkan masyarakat mereka. Proses-proses

perusakan lingkungan ini terbagi dalam berbagai kasus seperti penggundulan hutan dan

penghancuran habitat, masalah tanah, masalah pengelolaan air, perburuan berlebihan, dan

pertumbuhan populasi penduduk. Memang dampak kerusakan ini tidak bersifat langsung

namun jika rusaknya ekologis terjadi di masa kini maka masyarakat di masa depan akan

merasakan dampaknya.

Terlihat bahwa manusia dan lingkungan memiliki hubungan timbal balik dan saling

mempengaruhi satu sama lain. Jika manusia merawat lingkungan maka lingkungan akan

(3)

Daya Wijaya Page 3

pikir dan sikapnya berpengaruh pada lestari atau rusaknya lingkungan. Susilo (2008:48)

mengilustrasikan kisah menarik tentang hubungan timbal balik antara masyarakat dan

lingkungan dengan pola pikir maju masyarakat Jepang. Masyarakat Jepang belum banyak

mengetahui relasi antara kelestarian hutan dan lingkungan laut termasuk biota didalamnya.

Kemudian para nelayan Jepang banyak yang menebangi pohon di hutan dan di daerah aliran

sungai. Perusakan ini tidak lepas dari kepentingan industri yang sedang maju pesat dalam

tahun 1970-an dan dampaknya banyak biota laut yang punah serta semakin sedikitnya

tangkapan ikan nelayan. Dari hal ini dapat disimpulkan bahwa watak alam yang sering kali

kejam pada kita tidak lepas dari perbuatan manusia yang semena-mena diatasnya.

Hal ini sejalan dengan pemikiran Diamond (2014:478) bahwa rusaknya lingkungan di

Cina karena merupakan dampak langsung dari industrialisasi disana. Berbagai kelebihan dan

pencapaian Cina dalam perekonomian dan industri menimbulkan

permasalahan-permasalahan lingkungan diantaranya seperti pencemaran udara, hilangnya lahan pertanian,

lenyapnya lahan basah, kerusakan padang rumput, berhentinya aliran sungai, salinisasi, erosi

tanah, penumpukan sampah, dan kekurangan air. Hal ini tentu saja berdampak pada

timbulnya bencana alam, kerugian ekonomi yang besar karena terhambatnya proses industri,

dan masalah kesehatan. Sikap manusia pada lingkungan diatas tidak dapat dipungkiri sangat

terkait dengan faktor kepentingan manusia itu sendiri. Suwarno (2012:27) menjelaskan

bahwa kepentingan dapat dimaknai sebagai tujuan-tujuan yang diinginkan untuk dicapai.

Setiap individu, pemerintahan, atau rezim yang berkuasa jelas memiliki kepentingan.

Kepentingan mereka sebagai pihak yang memiliki kekuasaan (penguasa atau pejabat)

umumnya adalah untuk mempertahankan kekuasaannya selama mungkin. Kecenderungan

yang semacam ini disebabkan oleh kenyataan bahwa kekuasaan merupakan sumber daya dari

berbagai macam nilai yang diperebutkan dalam politik misalnya kehormatan, penghargaan,

kekayaan, atau kenikmatan.

Bagi seseorang atau instansi yang memiliki sebidang tanah dan terdapat sendang di

dalamnya maka mereka memiliki kekuasaan untuk memanfaatkan sendang tersebut untuk

kepentingan mereka sendiri. Mereka juga sangat mungkin untuk mengerahkan segala cara

untuk mencapai kepentingannya dan disisi lain melupakan tugasnya untuk melestarikan

sendang. Seringkali sumber daya air termasuk sendang dicemari oleh bahan-bahan kimia dan

biologis hasil dari limbah pabrik. Hal ini juga ditambah oleh kesadaran warga kota Malang

yang rendah dalam menjaga kelestarian air dengan membuang sampah dan dampaknya

bermunculan wabah penyakit-penyakit yang berbasis air (Kurniawan, 2012:1). Seharusnya

(4)

Daya Wijaya Page 4

penting sebagai sumber kehidupan masyarakat sehingga secara tidak langsung mereka akan

menjaga air seperti merawat hal yang bernyawa.

Walaupun banyak pola dari gerak sejarah mulai dari yang berbentuk siklus, regresi,

ataupun progresif namun khalayak umum tentunya berharap bahwa sejarah dapat membantu

sejarawan untuk menuliskan masa lalu sebagai cermin dan pelajaran untuk berubah ke masa

depan yang baik. Pada dasarnya manusia diberikan akal untuk berpikir dan kemampuan

untuk mencegah sesuatu yang buruk yang akan terjadi di masa depan melalui pola-pola masa

lalu. Masa lalu menjadi kajian yang sangat luas bagi seorang sejarawan. Masa lalu setidaknya

memiliki tiga dimensi yakni manusia, tempat, dan waktu. Manusia dalam perjalanan waktu

tersebut berpikir dan beraktivitas di sebuah tempat tertentu. Tentunya manusia berpikir untuk

memenuhi setiap kebutuhan dan keinginannya. Kebutuhan dan keinginan tersebut dipenuhi

manusia dengan menjalankan berbagai macam aktivitasnya. Ketika seorang manusia

membutuhkan tempat untuk berteduh, berarti manusia akan berpikir tentang bagaimana

caranya dia dapat memperoleh dan membuat tempat berteduh, kemudian dia akan membuat

tempat berteduh tersebut bersama orang-orang disekitarnya. Pada saat manusia berpikir

tersebut tentunya dia berdiskusi dengan orang lain dan ada kalanya dia menuliskannya

disebuah media atau diberitakan pada orang lain dan mungkin juga pada generasi setelahnya

tersebut (Wijaya, 2013:22).

Dalam konteks ini setidaknya salah satu gagasan yang dapat dijadikan penggerak

roda-roda sejarah adalah nasionalisme. Nasionalisme dapat dipahami sebagai pengetahuan

atau wawasan kebangsaan yang menyadarkan masyarakat bahwa lingkungan atau aspek

geografis memiliki arti penting dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Rasa nasionalis

atau memiliki bangsa ini dapat mendorong setiap warga untuk mengubah sikap dan perilaku

mereka pada lingkungan. Dengan mengubah pola pikir warga maka akan mengubah pula

sikap warga negara pada lingkungan seperti yang dicita-citakan Mokoginta (2009:123) dalam

karyanya yang berjudul “Bumi bukan Milik Kapitalis”. Dengan pola pikir nasionalis mereka akan menjaga lingkungan yang mereka cintai dan bersikap praktis untuk melestarikan

lingkungan sekitar mereka seperti menanam pohon di halaman rumah mereka; memilah

sampah dan menempatkannya di tempat yang tepat; dan membersihkan MCK atau saluran air

di rumah (Mokoginta, 2009:126).

Di era dewasa inipun kiranya air dan sumber air juga menjadi faktor penting dalam

membangun sebuah bangsa. Secara filosofis, ternyata keberadaan sumber air bagi manusia

tidak terlepas dari nasionalisme. Nasionalisme dalam makna yang luas bukan hanya

(5)

Daya Wijaya Page 5

membangun bangsanya melalui pelestarian sumber-sumber air tersebut. Tulisan ini

dimaksudkan sebagai penelitian awal dalam proses penggalian informasi tentang

perkembangan pola pikir dan sikap masyarakat Malang terhadap sendang sehingga uraian ini

dapat dijadikan model untuk berpikir dan bertindak dalam menjaga serta melestarikan

sendang dan lingkungan secara umum.

Metode Penelitian

Sejarah kota merupakan seluruh perkembangan kebijakan pemerintah dan aktivitas

masyarakat kota beserta pengaruhnya pada masyarakat maupun pada tata ruang kota

termasuk unsur ekologisnya. Kuntowijoyo (2003:64) menjelaskan bahwa ekologi merupakan

interaksi antara manusia dan alam sekitarnya serta perubahan ekologi terjadi bila salah satu

dari komponen itu mengalami perubahan. Dalam konteks ini bagaimana perkembangan pola

pikir dan sikap masyarakat berpengaruh pada kelestarian atau punahnya sendang di Malang

menjadi fokus penelitian awal ini. Penelitian ini mencerminkan nasionalisme masyarakat

dalam membangun kota dan bangsanya. Secara sederhana, peneliti memulai penelitian

dengan menentukan topik penelitian yakni perkembangan pola pikir dan sikap masyarakat

Malang pada Sendang. Hal ini dipilih karena rasa keprihatinan penulis pada terancamnya

sendang yang penulis duga karena faktor sikap manusia pada lingkungan.

Kedua, peneliti megumpulkan berbagai sumber yang terkait dengan tema atau topik

ini terutama artikel-artikel dalam koran sezaman serta literatur penunjang yang menjelaskan

keterkaitan manusia dengan lingkungan. Ketiga, peneliti menguji validitas data yang ada

dengan mengobservasi beberapa sendang yang berada di Malang Raya dan mewawancarai

beberapa warga terkait dengan pandangan mereka pada aktivitas warga di sekitar sendang.

Keempat, peneliti menginterpretasikan data yang didapat dengan melakukan analisis dan

analogi serta mengaitkannya dengan rasa nasionalisme. Terakhir, peneliti menulis dengan

gaya deskriptif-naratif sehingga dapat dikemukakan perkembangan yang jelas dari pola pikir

dan sikap masyarakat pada sendang tersebut.

Pola Pikir dan Sikap terhadap Sendang pada masa Kerajaan

Malang masuk dalam arus sejarah dimulai ketika ditemukan prasasti Dinaya

tertanggal 760 yang menjelaskan terdapat sebuah kerajaan bernama Kanjuruhan yang berada

di dekat Kota Malang kini. Secara eksplisit, dapat disimpulkan setidaknya sejak saat itulah

masyarakat Malang mendapat pengaruh Hinduisme namun Hinduisme di Jawa Timur tidak

(6)

Daya Wijaya Page 6

pertengahan abad kesepuluh barulah Hinduisme berakar kuat di Jawa Timur termasuk

Malang dengan berpindahnya Mataram Kuno dari Jawa Tengah. Pada mulanya Hinduisme

hanya dikenal di lingkungan keraton tetapi lambat laun masuk juga ke desa-desa, bertemu

dengan masyarakat Jawa asli, yang memuja arwah leluhur. Pertemuan ini mengakibatkan

proses akulturasi budaya Hindu dengan kebudayaan Jawa asli di pedesaan. Sebaliknya

masyarakat ibu kota hampir seluruhnya dipengaruhi oleh Hinduisme karena budaya asli

sangat lemah disana. Hal ini kemudian terus mengakar ketika Malang berada dalam

kekuasaan Kahuripan, Janggala, Daha, Singhasari serta Majapahit yang berwatak Hindu.

Walaupun pada masa Majapahit terdapat empat agama besar mulai dari agama Siwa, Brahma,

Wisnu, dan Budha namun Hinduisme memiliki pengaruh besar pada mayoritas masyarakat

Malang dalam spektrum kerajaan (Muljana, 2006:233-234).

Bukti lain bahwa mayoritas masyarakat kerajaan berbasis pada Hinduisme adalah

banyak candi yang difungsikan sebagai makam dan didharmakan sebagai Siwa serta banyak

prasasti yang dikeluarkan oleh kerajaan dimulai dengan kata-kata pemujaan pada dewa-dewa

dalam Hinduisme. Setidaknya pola pikir dan sikap umat Hindu pada masa itu dapat ditelusuri

dalam kehidupan masyarakat Hindu Bali karena masyarakat Hindu Bali dipercaya berasal

dari Jawa. Disaat masyarakat Hindu Majapahit terdesak oleh Islam maka mereka bergerak

untuk menjauh baik yang menyingkir ke pedalaman atau pegunungan (Tengger) serta ke Bali.

Titib (2001:77) menjelaskan beberapa pandangan masyarakat Hindu pada mata air yang

berlandaskan pada ajaran agama.Salah satu tempat yang dianggap suci oleh umat Hindu

adalah mata air. Umat Hindu sangat pantang untuk melakukan hal yang bertentangan dengan

ajaran agama di kawasan suci tersebut. Setiap hulu sungai yang diyakini suci karena ada mata

air pasti terdapat bangunan suci sebagai sarana pemujaan. Bangunan ini disebut orang Hindu

Bali sebagai Tirtha sehingga seringkali ditemui beberapa situs dengan menggunakan Tirtha

seperti Tirtha Empul atau Tirthanganga. Kata Tirtha dapat dipahami sebagai air, sungai,

danau, air suci, tempat untuk mendapatkan atau memperoleh air suci, kesucian, atau kesucian

diri (Titib, 2001:79).

Air dalam Hinduisme adalah sarana menyucikan, unsur yang memberikan

kemakmuran, arus kehidupan yang dapat diseberangi di dalam realisasi diri dan perjalanan

Tirthayatra dapat menyeberangkan seseorang menju pantai (kebahagiaan yang sejati).

Tirthayatra dipahami sebagai melakukan perjalanan mengunjungi tempat-tempat suci untuk

melakukan sembahyang, mohon air suci, dan melaksanakan meditasi. Pandangan ini

mengarahkan pada makna Tirthayatra yang sesungguhnya yakni mencari diri ke dalam diri.

(7)

Daya Wijaya Page 7

berpikir secara jernih dan masyarakat Hindu percaya mereka yang mandi di tempat suci ini

melihat kebenaran dari segala sesuatunya. Klostermaeir (dalam Titib, 2001:83) menyatakan

bahwa Tirthayatra adalah salah satu bentuk pelaksanaan tapa (pertapaan) dan penyucian diri

dengan jalan ziarah ke tempat-tempat suci. Tirthayatra memiliki kedudukan yang amat

penting dalam ajaran agama Hindu sehingga bagi orang kaya yang tidak pernah bersuci maka

mereka disebut orang miskin secara rohaniah.

Dengan demikian, sebuah kerajaan akan terlegitimasi kekuasaannya bila telah

melewati berbagai rangkaian ritual dan air serta sumber air yang menjadi salah satu

komponen ritual tentunya dianggap sebagai simbol kehidupan bagi sebuah kerajaan. Mereka

cenderung menjaga keberadaan sumber air untuk berbagai aktivitas keseharian, termasuk

mandi, minum, bersuci dan sebagainya. Walaupun tampak masih terlihat memiliki makna

magis religius, dapatlah dipahami bahwa sebenarnya air adalah komponen utama bagi

manusia dengan segala aktivitasnya. Mereka selalu memperebutkan wilayah yang dekat

dengan air karena dipandang daerah yang subur dan mereka cenderung mengembangkan

budaya mereka dalam suasana spasial yang agraris. Daldjoeni (1984:85) menjelaskan bahwa

air yakni sungai Brantas yang mengalir melewati Malang adalah sumbu kekuatan politik saat

itu karena hampir semua aktivitas perekonomian melalui jalur tersebut. Jika sebuah kerajaan

menguasai seluruh aliran sungai brantas dari hulu hingga hilir maka mereka akan mejadi

kerajaan agraris-maritim yang sejahtera.

Mata air atau sumber air atau sendang begitu disakralkan oleh masyarakat pendukung

kebudayaan tersebut. Sakral merupakan suatu kondisi dimana masyarakat memiliki suatu

aturan yang ditaati oleh anggota masyarakat itu. Durkheim (dalam Ritzer & Goodman,

2008:104) menjelaskan sesuatu yang sakral tercipta melalui ritual-ritual yang mengubah

kekuatan moral masyarakat menjadi simbol-simbol religius yang mengikat individu dalam

suatu kelompok. Ikatan moral inilah menjadi ikatan kognitif atau pengetahuan dalam

masyarakat dari satu generasi ke generasi yang lain. Kesakralan ini akan memunculkan sikap

hormat, kagum, dan bertanggung jawab. Dengan demikian dalam konteks pola pikir

masyarakat pada sendang, mereka akan cenderung menjaga dan melestarikan sendang serta

menentang seseorang yang merusak kawasan suci tersebut.

Susilo (2008:97-98) memandang kondisi tersebut sebagai zaman ekologis dimana

manusia berperan sebagai bagian dari alam dan penjaga alam. Hubungan manusia dan alam

lebih bersifat biodiversitas dan melindungi keutuhan ekosistem. Lebih lanjut, manusia

cenderung beranggapan bahwa alam termasuk mata air sebagai benda yang bernyawa dan

(8)

Daya Wijaya Page 8

umumnya dan Malang pada khususnya masih berkeyakinan kuat pada unsur-unsur animisme

dan dinamisme. Jika kawasan suci begitu dijaga karena proses sakralisasi maka banyak dari

raja-raja Hindu yang kemudian melegitimasikan dirinya sebagai titisan dari dewa sehingga

membuatnya dipuja rakyat atau umat seperti memuja dewa itu sendiri. Pengetahuan akan

kawasan yang dijaga dalam konteks kerajaan inilah yang kiranya memunculkan nasionalisme

yang religius. Nasionalisme religius ini berkaitan erat dengan pengetahuan kebangsaan rakyat

yang berlandaskan nilai-nilai agama (Hinduisme).

Pengaruh Hinduisme dalam masyarakat Malang mulai memudar ketika Majapahit

runtuh yang dilanjutkan dengan perebutan kekuasaan diantara para penguasa lokal (bhre) di

Malang. Banyak kemudian masyarakat Majapahit yang berpindah ke selatan yakni ke daerah

Malang Selatan yang kini dikenal sebagai daerah Jenggala atau Sengguruh Kecamatan

Kepanjen (di wilayah ini terdapat mata air Sumber Songo). Namun, eksistensi mereka tidak

berlangsung lama sebab kesultanan Demak dibawah pimpinan Arya Blitar berhasil

menyingkirkan orang-orang pelarian Majapahit di Malang. Hal ini kiranya juga didukung

oleh banyaknya masyarakat Jawa termasuk Malang yang cenderung untuk beralih pada

agama Islam (Vlekke, 2008:xix). Uraian sub-bab ini hanya membahas pola pikir dan sikap

masyarakat pada lingkungan dan air pada masa kerajaan yang berbasis pada agama Hindu

dan tidak membahas masyarakat Islam karena kesultanan Islam secara historis datang dan

berpengaruh bersamaan dengan pengaruh barat di Malang.

Pola Pikir dan Sikap terhadap Sendang masa Kolonial

Seperti apa yang dikemukakan dimuka bahwa Islam masuk dan menyebar bersamaan

dengan mulai mencengkeramnya kekuasaan barat di Indonesia yang dimulai dari Portugis

hingga Belanda maka terdapat dua sumbu budaya yang mulai menyebar ke seluruh nusantara

yakni Islam serta Liberalisme Barat. Walaupun Islam mulai masuk dan menyebar di

Nusantara mulai abad ke-7 melalui selat Malaka namun ketika Islam menyebar di Jawa

mereka menemui perbenturan dengan penetrasi barat di Jawa (Poesponegoro, 2008:335).

Islam dengan masyarakat pendukungnya seringkali menggunakan tanah pesisir sebagai

daerah utama kesultanan seperti Demak, Banten, Cirebon, atau Tuban. Mereka mencoba

untuk menguasai seluruh pesisir utara Jawa untuk menangkal penetrasi barat walaupun

nantinya juga mendapat tentangan dari Mataram Islam di satu sisi dan VOC di sisi yang lain.

Sedangkan, Malang berada dalam kekuasaan Mataram Islam setelah mereka berhasil

menguasai Pajang yang merupakan kelanjutan dari kesultanan Demak yang menguasai

(9)

Daya Wijaya Page 9

Mataram Islam kemudian mulai terpecah karena intrik politik di dalamnya yang kini

dikenal menjadi empat kesultanan yakni Ngayogyakarta, Kasunanan, Mangkunegaran, dan

Pakualaman dalam perjanjian Giyanti. VOC melihat celah intrik politik perebutan kekuasaan

ini kemudian diundang dan melakukan kerjasama dengan menggulingkan raja yang berkuasa.

Sebagai balasannya VOC diperbolehkan untuk mengelola beberapa bidang tanah dan

diijinkan untuk berdagang dengan masyarakat Jawa khususnya yang bermukin di kekuasaan

Mataram. Soekiman (2011:2) menjelaskan bahwa pada awalnya masyarakat Eropa tinggal di

kota-kota yang berada di hilir sungai yang berarti di daerah pesisir seperti Batavia, Surabaya,

dan Semarang. Namun, orang Belanda menganggap rumah-rumah itu kurang sehat karena

dibangun di atas bekas rawa-rawa. Kemudian mereka memindahkan tempat tinggal mereka

ke permukiman baru ke daeerah pedalaman Jawa termasuk Malang. Kini jejak-jejak mereka

masih tersisa pada perumahan di jalan Ijen. Mereka beranggapan bahwa ke daerah pedalaman

lebih baik dan sehat.

Ketika Mataram mulai melemah seperti yang diungkap dimuka serta hancurnya VOC

karena banyak anggotanya yang memilih untuk mementingkan diri mereka sendiri, kemudian

pemerintah kolonial Belanda yang pada waktu itu menjadi negara boneka Napoleon

mengambil alih Nusantara. Mereka mendapat tugas untuk menghalau Inggris di Jawa

walaupun pada akhirnya Inggris berhasil menguasai Jawa. Namun, ketika Belanda merdeka

serta berhasil mengadakan perundingan dengan Inggris maka Nusantara berada dalam

cengkeraman Belanda. Di Jawa sendiri sedang berkecamuk gerakan menentang kolonialisme

di bawah Pangeran Diponegoro. Pemerintah kolonial Belanda menghabiskan banyak dana

untuk memadamkan gerakan tersebut kemudian mereka membuat kebijakan untuk menutup

semua defisit negara. Kebijakan tersebut dikenal sebagai Tanam Paksa yang dilanjutkan

dengan Politik Pintu Terbuka dan Politik Ethis.

Malang sendiri mulai diperhatikan pemerintah ketika tanah disana cocok untuk

pengembangan perkebunan kopi sejak 1827 serta pengembangan industri Gula yang

beroperasi sejak 1870 (Hudiyanto, 2011:43-45). Dalam ketiga kebijakan diatas sumber daya

air termasuk mata air atau sendang digunakan untuk mengairi kepentingan ekonomi mereka

bukan hanya pertanian dan perkebunan namun juga industrialisasi. Disinilah air serta mata air

yang sebelumnya dipandang sakral mengalami proses profanisasi. Profanisasi atau

sekularisasi adalah suatu pemisahan antara agama dengan politik atau antara aspek rohani

dengan aspek duniawi. Aspek rohani adalah hubungan antara manusia dengan Tuhan dan

hal-hal diluar hubungan tersebut tidak seharusnya dikaitkan dengan agama. Sehingga semua hal-hal

(10)

Daya Wijaya Page 10

termasuk air serta mata air. Ironisnya dalam masa kolonial tersebut para pegawai pemerintah

tidak hanya berasal dari barat namun juga berasal dari pribumi yang meliputi pengawas

perkebunan, para pengontrol pekerja, hingga bupati.

Nampak kehadiran orang Belanda di Indonesia yang kemudian menjadi penguasa

mempengaruhui gaya hidup, bentuk rumah tradisional serta fungsi ruangannya dan lebih jauh

mempengaruhi tujuh unsur-unsur dalam kebudayaan Indonesia (Soekiman, 2011:2). Mata air

yang kini telah menjadi hal yang bersifat profan membuat manusia sebagai penakluk alam

dan cenderung mendominasi serta mengatur alam seisinya. Dengan kata lain, alam dianggap

hal yang menakutkan dan harus dieksploitasi agar berguna bagi pembangunan ekonomi

walaupun tidak memperhitungkan dampak negatifnya pada alam. Susilo (2008:97-98)

menyebut kondisi ini sebagai zaman industrial yang membuat manusia merasa lebih tinggi

posisi dibanding alam. Rasa nasionalisme yang nampak pada masyarakat Malang dan

Indonesia saat itu berbasis pada tujuan yang sama yakni sejahtera dengan memiliki basis

ekonomi yang cukup. Inilah yang kemudian menjadi embrio pragmatisme masyarakat

Indonesia yang tentunya terpengaruhi oleh Barat.

Pola Pikir dan Sikap terhadap Sendang masa Republik

Pada awal abad ke-20, industrialisasi barat telah mencapai puncaknya dengan

kapitalisme modern, mereka membutuhkan daerah pasar yang menjadi konsumen dari

barang-barang produksinya. Barang-barang yang murah dan berkualitas inilah yang masuk

pada masyarakat Indonesia. Barang murah dan berkualitas selalu menjadi buruan masyarakat

yang nantinya membuat usaha dalam negeri mati dan pemerintah tidak memiliki kekuasaan

apapun didalamnya. Walaupun Soekarno dengan kekuasaan terpusat mencoba

menasionalisasikan begitu banyak perusahaan asing namun hal ini tidak berjalan lama karena

kran ekonomi liberal yang menjadi embrio pasar bebas terbuka. Hal ini terus terjalin dengan

berkuasanya Orde Baru walaupun terus mengampayekan ekonomi pancasila namun dalam

prakteknya masih menggunakan ekonomi liberal.

Kini pasar bebas menggunakan media teknologi dalam proses penyebarluasaan

barang dan jasa. Online shopping dan copyright industries adalah beberapa contoh dari

bentuk kapitalisme kontemporer sekaligus pasar bebas modern yang nyata dalam kehidupan

sehari-hari. Hal ini terbukti bahwa di Amerika Serikat, industri yang mengekspor dan meraih

devisa terbesar tahun 1997 adalah copyright industries (Haryanto, 2006:65). Sebagai contoh,

jika sebagai penggemar Manchester United maka akan ditahui bahwa di sekitar stadion

(11)

Daya Wijaya Page 11

dan berbagai pernak-pernik lainnya. Saat mendekat dan mengamati kostum klub tanpa diduga

kostum tersebut made in Indonesia atau dibuat di Indonesia. Nampaknya telah terjadi

industrialisasi global disini dimana untuk menekan biaya produksi suatu barang dan menekan

upah pekerja yang murah maka diputuskan untuk membuat pabrik di negara berkembang

yang kiranya dipandang lebih murah dan hasil produksinya didistribusikan dengan harga

yang berkali-kali lipat dan disebarkan ke seluruh penjuru dunia.

Hal ini juga didukung dengan berbagai kenyataan di lapangan yang menggunakan air

untuk kepentingan pribadi dan kelompok. Setidaknya terlihat dalam praktek dari

Undang-Undang Republik Indonesia No 7 Tahun 2004 tentang sumber daya air juga memberikan

peluang merusak lingkungan, terutama ketika privatisasi akan disalahgunakan pemeruntah

sebagai policy untuk mencerabut hak-hak kolektif atas air yang merupakan milik masyarakat

karena undang-undang ini secara fundamental merekonstruksi prinsip penggunaan dan

penguasaan air di masyarakat. Penerapan UU tersebut akan memiliki konsekuensi yang

berpihak pada kepentingan segilintir orang. Air yang merupakan milik umum dan diperoleh

secara bebas akan dikuasai oleh negara dengan mensyaratkan perizinan. Penguasaan oleh

negara ini bisa didelegasikan pada pihak swasta dengan motif-motif komersial (Susilo,

2008:96).

Di malang kepemilikan sendang masih banyak yang belum jelas apakah dimiliki oleh

warga atau pemerintah seperti yang diulas dalam artikel Radar Malang “kondisi 577 sumber

air terancam”. Dinas pengairan belum dapat memastikan mana sendang yang dimiliki perhutani dan warga bahkan terdapat penawaran tanah dan mata air di daerah Batu yang

dijual di situs rumahdijual.com. Sumber air yang seharusnya dijaga pemerintah dan

masyarakat malah diperjualbelikan. lebih lanjut, Pemerintah Kota Malang melalui Dinas

Pengairan tidak terlau menaruh perhatian pada keadaan sendang. Hal ini nampak dari

ketidakadaan data tentang mana sendang yang masih mengeluarkan air dan mana yang tidak.

Walaupun dalam uraian tersebut dijelaskan akan ada sebuah pemetaan serta tindak lanjut

konservasi sendang berupa penghijauan dan penjagaan lingkungan, namun hal ini tentunya

tidak akan menjadi optimal apabilatidak didukung oleh masyarakat sekitar. Hal ini

menggambarkan bagaimana karakter masyarakat yang sangat pragmatis.

Pragmatis disini bukanlah bertujuan pada kebermanfaatan secara umum namun pada

kepentingan secara ekonomis dan bersifat rekreatif. Hal ini nampak dari beberapa sendang

yang dimiliki pemerintah dalam Perhutani dan PDAM dialihfungsikan bukan sebagai cagar

budaya namun menjadi pemandian seperti apa yang terjadi pada sendang di Wendit milik

(12)

Daya Wijaya Page 12

serta demikian pula yang terjadi pada sendang di Sumber Awan. Kini nampaknya makna

pelestarian sendang mengalami penyempitan makna dari yang hanya dijaga menjadi

dimanfaatkan.

Penutup

Pola pikir dan sikap manusia selalu berkembang sesuai dengan keadaan masyarakat

dan bisa jadi dipengaruhi oleh keadaan politik suatu pemerintahan. Begitu pula pola pikir

masyarakat Malang berubah dari masa kerajaan, masa kolonial, hingga masa republik pada

sendang dan lingkungan. Pola pikir yang seharusnya dimiliki yakni nasionalisme dalam

upaya membangun Malang dan bangsanya juga mengalami pergerakan yang fluktuatif.

Nasionalisme sebagai pengetahuan, strategi, dan tujuan dalam menjaga lingkungan dan

membangun bangsanya. Masyarakat Malang yang berjiwa nasionalis sewajarnya menjadi

perancang keberlanjutan lingkungan sendang serta yang terpenting adalah mengubah pola

(13)

Daya Wijaya Page 13 Daftar Pustaka

Anshory, Nasruddin. Bangsa Inlander: Potret Kolonialisme di Bumi Nusantara. Yogyakarta: LkiS, 2008

Berger, Peter L & T. Luckmann. Tafsir Sosial atas Kenyataan: Risalah tentang Sosiologi Pengetahuan. Jakarta: LP3ES, 1990

Daldjoeni, N. Geografi Kesejarahan II Indonesia. Bandung: Alumni, 1984

Diamond, Jared. Collapse: Runtuhnya Peradaban-Peradaban Dunia. Jakarta: KPG, 2014 Grosby, Steven. Nasionalisme: Makna Bangsa dan Tanah Air di Antara Konflik dan Bangsa.

Surabaya: Portico Publishing, 2010

Haryanto, Ignatius. Menimbang Kembali Imperialisme Kultural dalam Konteks Globalisasi Kebudayaan Awal Abad 21. Dalam Mudji Sutrisno. Cultural Studies: Tantangan Bagi Teori-Teori Besar Kebudayaan. Depok: Koekoesan, 2006

Hudiyanto, Reza. Menciptakan Masyarakat Kota: Malang di Bawah Tiga Penguasa 1914-1950. Yogyakarta: Lilin, 2011

Hudiyanto, Reza. Mengungkap Unsur Air dalam Sejarah Kota Malang: Pengelolaan Asenering, dan Gorong-Gorong Kota 1914-1949. Makalah disampaikan pada Seminar Sejarah Kota Malang tanggal 29 April 2012 di Aula Utama A3 Lt.2 Universitas Negeri Malang

Kuntowijoyo. Metodologi Sejarah. Yogyakarta: Tiara Wacana, 2003

Kurniawan, Hery. Ancaman Bahaya Air yang Tercemar. Makalah disampaikan pada Seminar Sejarah Kota Malang tanggal 29 April 2012 di Aula Utama A3 Lt.2 Universitas Negeri Malang

Mokoginta, Lukman. Bumi Bukan Milik Kapitalis.Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 2009 Muljana, Slamet. Tafsir Sejarah Nagarakretagama. Yogyakarta: LkiS, 2006

Poesponegoro, MD & N. Notosusanto. Sejarah Nasional Indonesia III: Zaman Pertumbuhan dan Perkembangan Kerajaan-Kerajaan Islam di Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka, 2008

Radar Malang. Kondisi 577 Sumber Air Terancam. 23 Januari 2014

Ritzer, George & Douglas Goodman. Teori Sosiologi: Dari Teori Sosiologi Klasik sampai Perkembangan Mutakhir Teori Sosiologi Postmodern. Yogyakarta: Kreasi Wacana, 2008

Soekiman, Djoko. Kebudayaan Indis: Dari Zaman Kompeni sampai Revolusi. Jakarta: Komunitas Bambu, 2011

Suprapta, Blasius. “Kilas Balik Lintasan Sejarah di Kawasan Dataran Tinggi Malang: Masa Prasejarah hingga Akhir Masa Kerajaan Singhasari”. Nur Hadi & Dewa Agung (Eds). Seabad Kebangkitan Nasional: Perubahan dan Kesinambungan da lam Sejarah Indonesia.Malang: Penerbit Cakrawala, 2008

Susilo, Rachmad. Sosiologi Lingkungan. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2008 Suwarno. Sejarah Politik Indonesia Modern.Yogyakarta: Ombak, 2012

Titib, I Made. Teologi dan Simbol-Simbol dalam Agama Hindu. Surabaya: Paramita, 2001 Vlekke, Bernard. Nusantara: Sejarah Indonesia. Jakarta: Freedom Institute, 2008

Wibisono, Gunawan. Sejarah Sanitasi Kota Malang. Makalah disampaikan pada Seminar Sejarah Kota Malang tanggal 29 April 2012 di Aula Utama A3 Lt.2 Universitas Negeri Malang

(14)

Referensi

Dokumen terkait

Dalam ertikata lain, konsep pewarisan yang memberi maksud mewarisi daripada generasi yang lain atau terdahulu menunjukkan bahawa, adalah tidak mustahil akan

Setelah terjadi transaksi penjualan antara pelanggan dan perusahaan (digambarkan dengan blok PENJUALAN) maka didapat laba (digambarkan sebagai blok LABA) sebagai hasil

unhe nibhana aasan nahin pyar mein dil sabhi jeet lete hain magar dil har ke jeetna aasan nahin zindagi mein to sabhi pyar karlete hain pyaar mein ise qurban karna aasan nahin. teri

Area 4rioritas rumah sakit adalah Instalasi $a9at Ina4 denan area 4elayanan utama yaitu 4elayanan 4enyakit dalam, anak, ke0idanan dan kandunan, 0edah, dan saraf. $S' )iradadi

Dari analisis data juga dapat diketahui bahwa hasil belajar siswa dari tes awal yang dilakukan masih rendah, maka dilakukan pembelajaran melalui variasi pembelajaran pada

Prosedur yang harus ditempuh memperoleh ijin perceraian bagi Pegawai Negeri Sipil adalah harus ada ijin dari atasannya yaitu mereka yang membawahi Pegawai Negeri

Pada penelitian terhadap tumbuhan benalu parasit di Kebun Raya Eka Karya telah ditemukan 4 jenis benalu (suku Loranthaceae) yang memarasiti 32 jenis tanaman inang (tanaman

Dalam pemahaman Nietzsche tentang kosmologi adalah bahwa kosmologi merupakan sesuatu yang kekal dan abadi. Yang melandasi pernyataan tersebut adalah bersandar