• Tidak ada hasil yang ditemukan

Problematika Pelaksanaan Putusan Pengadi. docx

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Problematika Pelaksanaan Putusan Pengadi. docx"

Copied!
20
0
0

Teks penuh

(1)

UNIVERSITAS INDONESIA

Problematika Pelaksanaan Putusan Pengadilan Administrasi Negara Yang Berkekuatan Hukum Tetap Dalam Sengketa Kepegawaian

Disusun Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Peradilan Administrasi Negara

Dosen Pengampu: Prof. Dr. Anna Erliyana, S.H., M.H.

Fazari Zul Hasmi Kanggas

NPM : 1706084424

KELAS HTN PAGI

FAKULTAS HUKUM

PROGRAM MAGISTER ILMU HUKUM

(2)

DAFTAR ISI

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah 1

1. Negara Hukum 1

2. Kewenangan Pengadilan Tata Usaha Negara 3

3. Bentuk-Bentuk Putusan 5

B. Rumusan Masalah 7

BAB II PEMBAHASAN A. Kendala-kendala dalam menjalankan putusan pengadilan 7

A.1. Pelaksanaan Putusan Bersifat Sukarela 9

A.2. Lembaga Eksekutorial Khusus 12

B. Analisis Putusan Pengadilan Tata Usaha Negara Surabaya Nomor: 152/G/2009/PTUN.SBY Tentang Pemberhentian Sekretaris Daerah 12 BAB III PENUTUP (SIMPULAN DAN SARAN) A. Simpulan 16

(3)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Sudah seharusnya Badan/Pejabat Tata Usaha Negara mematuhi putusan pengadilan jika gugatan dikabulkan oleh Hakim Pengadilan Tata Usaha Negara, karena putusan tersebut telah memiliki kekuatan hukum tetap. Jika gugatan

dikabulkan, tentunya mengandung unsur kewajiban-kewajiban yang harus dilakukan oleh Badan/Pejabat Tata Usaha Negara yang bersangkutan. Tetapi yang terjadi justru berbagai kesulitan timbul dalam pelaksanaan putusan Pengadilan Tata Usaha Negara tersebut. Bagaimana jika Badan/Pejabat Tata Usaha Negara tersebut enggan untuk menjalankan putusan? Apa yang dapat dilakukan pihak pengadilan untuk memaksa Badan/Pejabat Tata Usaha Negara yang bersangkutan untuk menjalankan putusan? Kesulitan tersebut serasa semakin kompleks khususnya dalam sengketa kepegawaian, karena dalam sengketa tersebut ada kewajiban rehabilisasi. Faktor yang paling mempengaruhi terhadap tidak terlaksananya Putusan Pengadilan Tata Usaha Negara karena pengadilan tidak memiliki lembaga eksekotorial secara khusus.

1. Negara Hukum

Dibentuknya Pengadilan Tata Usaha Negara merupakan salah satu konsekuensi negara yang mengakui dirinya sebagai negara hukum1. Berdasarkan

Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945 menegaskan bahwa negara indonesia adalah negara hukum. Beberapa sarjana hukum memberikan penjelasan secara mendalam akan unsur-unsur negara hukum di dalam teori-teorinya. Menurut Freidrich Julius Stahl dalam konsep negara hukum (rechtsstaat) memiliki beberapa unsur-unsur, yaitu (1) perlindungan akan hak asasi manusia, (2) adanya pemisahan atau pembagian kekuasan untuk menjamin hak-hak tersebut, (3) pemerintahan

(4)

berdasarkan peraturan perundang-undangan, (4) adanya peradilan administrasi dalam menyelsaikan perselisihan. Adapun negara hukum (rule of law) menurut A.V Dicey memiliki unsusr-unsur; (1) supremasi aturan-aturan hukum (supremacy of the law), (2) kedudukan yang sama dalam menghadapi hukum (equality before the law), (3) terjaminnya hak-hak manusia oleh undang-undang atau undang-undang dasar, serta dalam putusan-putusan pengadilan.2

Ada persamaan dan perbedaan unsur-unsur negara hukum dalam konsep

rechtsstaat milik Stahl dengan konsep rule of law milik Dicey. Diantara persamaanya adalah unsur pemerintahan berdasarkan peraturan perundang-undangan (dalam

rechtsstaat) dengan unsur supremasi aturan-aturan hukum (supremacy of the law)

yang berangkat dari persamaan keinginan untuk memberikan perlindungan dan peghormatan terhadap hak asasi manusia.3 Itu artinya segala bentuk tindakan yang dilakukan oleh pemerintah yang mencangkup tindakan pemerintah dalam lapangan pengontrolan dan lapangan pelayanan harus berlandaskan dengan hukum (asas legalitas) atau harus memilki dasar hukum, pemerintah tidak akan dapat melakukan tindakan pemerintahan tanpa adanya kewenangan.

Asas legalitas dalam menjalankan pemerintahan terkadang tidak dapat dijalankan sepenuhnya dalam negara yang menganut negara kesejahteraan (walfare state). Secara alamiah, terdapat perbedaan pergerakan dalam negara hukum dan negara kesejahteraan. Dalam negara hukum segala bentuk tindakan pemerintah harus berlandaskan pada undang-undang atau peraturan yang ada, tetapi dalam negara kesejahteraan pemerintah dituntut untuk melakukan pelayanan publik dalam menyelsaikan berbagai persoalan di masyarakat. Pembuatan undang-undang atau peraturan membutuhkan waktu yang relatif lama dan berjalan lambat, sedangkan persoalan yang ada di masyarakat terus berkembang dan berjalan sangat pesat.

2 Miriam Budiardjo, Dasar-dasar Ilmu Politik ,(Jakarta: Gramedia, 1982), hal 57-58

3 S.F. Marbun, Peradilan Administrasi Negara Dan Upaya Administrasi Di Indonesia,

(5)

Maka di dalam negara kesejahteraan (walfare state), pemerintah terkadang melakukan tindakan freies emessen, yaitu kewenangan pemerintah yang bebas dan sah untuk ikut campur dalam kegaitan sosial guna menjalankan tugas-tugasnya menyelenggarakan kepentingan umum. Adanya freies emessen atau kewenangan bebas (discresionare power) merupakan bentuk yang wajar dalam konsekuensi negara kesejahteraan, tetapi hal tersebut juga akan menimbulkan permasalah baru,

Kewenangan bebas jika tidak adanya batasan-batasan yang jelas akan menimbulkan penyalahgunaan wewenang dan tindakan sewenang-wenang yang dilakukan

pemerintah, sehingga akan merugikan warga negara. Guna membatsi akan freies emessen tersebut, dalam konsep negara hukum, membutuhkan pengawasan yang dijalankan oleh lembaga peradilan. Lembaga peradilan tesebut haruslah bebas dan mandiri, dalam artian benar-benar tidak memihak dan tidak dibawah pengaruh eksekutif. 4

2. Kewenangan Pengadilan Tata Usaha Negara

Dibentuknya Peradilan Tata Usaha Negara merupakan perwujudan dari konsep negara hukum.5 Peradilan Tata Usaha Negara mempunyai peranan yang

menonjol yaitu sebagai lembaga kontrol (pengawas) terhadap jalannya fungsi eksekutif, lebih khususnya terhadap tindakan Pejabat Tata Usaha Negara agar tetap berada dalam koridor aturan hukum, di lain sisi, Peradilan Tata Usaha Negara juga sebagai wadah untuk melindungi hak individu dan warga masyarakat dari perbuatan melanggar hukum yang dilakukan oleh para Pejabat Tata Usaha Negara.6 Sehingga

tercapainya keserasian, selarasan, keseimbangan, serta dinamisasi dan harmonisasi hubungan warga negara dengan negara dalam hal ini Pejabat Tata Usaha Negara. Harmonisasi yang mencangkup anatara negara dan warga negara akan adanya

4 Ismail Rumadan, “Problematika Eksekusi Putusan Pengadilan Tata Usaha Negara,” Jurnal Hukum dan Pembangunan 1 (November 2012): 442

5 Lihat kondiserran butir (a) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara

(6)

jaminanan nilai-nilai keadilan dalam sebuah Keputusan Tata Usaha Negara yang dikeluarkan oleh pejabat publik terhadap warga negara.

Sebagai lembaga yang menjalankan fungsi yudisial (judicial control), Peradilan TUN memiliki ciri-ciri pengawasan sebagai berikut:7

1) Pengawasan yang dilakukan bersifat “extra control” karena Peradilan TUN merupakan lembaga yang berada di luar kekuasaan pemerintahan. 2) Pengawasan yang dilakukan lebih menekankan pada tindakan represif atau

yang lazim disebut dengan “control a posteriori”, karena selalu dilakukan sesudah terjadinya perbuatan yang dikontrol.

3) Pengawasan itu bertitik tolak pada segi legalitas, karena hanya menilai dari segi hukum (rechmatigheid)-nya saja.

Landasan akan adanya Peradilan Tata Usaha Negara adalah Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara, yang kemudian diubah menjadi Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2004 tentang Perubahan UU No. 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara, selanjutnya dilakukan perubahan ke dua melalui Undang-Undang Nomor 51 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua atas UU No. 5 Tahun 1986 Tentang Peradilan Tata Usaha Negara. PTUN merpukan salah satu pelaksana kekuasaan peradilan bagi masyarakat pencari keadilan terhadap sengketa tata usaha negara. Para masyarakat yang mencari keadilan ini dapat berupa

perseorangan atau badan hukum perdada yang merasa telah dirugikan

kepentinggannya oleh suatu Keputusan Tata Usaha Negara (selanjutnya disebut KTUN). Para pencari keadilan tersebut akan secara resmi membuat gugatan tertulis kepada PTUN yang mengharapkan agar keputusan yang disengketakan tesebut dinyatakan tidak sah atau dibatalkan melalui putusan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap.

Gugatan tertulis yang diajukan oleh para pencari keadilan di PTUN harus berdasarkan pada alasan; (1) KTUN yang digugat bertentangan dengan peraturan

(7)

perundang-undangan yang berlaku, (2) Badan atau Pejabat TUN pada waktu mengeluarkan keputusan tersebut, telah menggunakan wewenangnya untuk tujuan lain dari maksud diberikannya wewenangn tersebut, (3) Badan atau Pejabat TUN tidak mengeluarkan keputusan setelah mempertimbangkan semua kepentingan yang bersangkutan dengan keputusan itu sebenarnya tidak sampai pada pengambilan atau tidak pengambilan keputusan tesebut.8 Karena jika dilihat dari segi ruang lingkup

kompetensi mengadilinya, Pengadilan TUN hanya melakukan penilaian (toetsing) terhadap surat KTUN saja, yang harus dikaitkan dengan ketentuan Pasal 1 butir ke-3 dan Pasal 2 serta Pasal 3 UU Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara.

3. Bentuk-Bentuk Putusan

Putusan hakim terhadap suatu perkara merukapan hal yang diharapkan oleh orang yang bersengkata untuk menyelesaikan perkaranya. Ada dua macam bentuk putusan di PTUN yakni: putusan akhir dan putusan bukan akhir.

Putusan bukan akhir (sela/schorsing), meskipun diucapkan dalam sidang namun tidak dibuat sebagai putusan tersendiri, melainkan hanya dicantumkan dalam Berita Acara persidangan dan jika para pihak memerlukannya, pengadilan dapat memberikan salinan resminya. Dalam salinan putusan tersebut harus dibubuhi keterangan bahwa putusan tesebut belum memperoleh kekuatan hukum tetap.9 Hal

tersebut harus dicantumkan, sebab hanya putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetaplah yang dapat dilaksanakan.10 Putusan bukan akhir tidak dapat diajukan

permintaan pemeriksaan banding secara tersendiri, melainkan hanya dapat dimohonkan pemeriksaan bandingnya bersama-sama putusan akhir.11

Putusan yang dapat dikeluarkan Hakim Pengadilan Tata Usaha Negara antara lain:

8 Indonesia, Undang-undang tentang Peradilan Tata Usaha Negara, UU No. 5 Tahun 1986, LN No. 77 Tahun 1986, TLN No. 3344, Pasal 53, ayat (2).

9 Pasal 113 beserta Penjelasannya UU Nomor 5 Tahun 1986

10 Pasal 115 UU Nomor 5 Tahun 1986

(8)

1) Putusan atau Penetapan yang dikeluarkan oleh Ketua Pengadilan Tata Usaha Negara sebelum pokok sengketa diperiksa. Putusan atau Penetapan tersebut diputuskan dalam acara Rapat Permusyawaratan yang berisi suatu gugatan dinyatakan tidak diterima atau tidak berdasar.12

2) Putusan atau Penetapan yang dikeluarkan oleh Hakim PTUN sebelum pokok sengketa diperiksa. Putusan atau Penetapan diputuskan dalam acara Pemeriksaan Persiapan.13

3) Putusan yang dikeluarkan pada saat pemeriksaan pokok sengketa dilakukan dan merupakan putusan akhir. Putusan tersebut dapat berisi menyatakan gugatan gugur, gugutan tidak diterima, gugutan ditolak, atau gugutan dikabulkan.14

Jika gugatan gugur, tidak diterima atau gugatan ditolak, maka tidak ada kewajiban yang harus dijalankan oleh Badan/Pejabat Tata Usaha Negara. Tetapi Jika gugatan dikabulkan, maka putusan pengadilan tersebut merupakan sebuah kewajiban yang harus dipatuhi oleh Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara yang telah

mengeluarkan Keputusan Tata Usaha Negara. Kewajiban tersebut dapat berupa; (1) pencabutan Keputusan Tata Usaha Negara yang bersangkutan, (2) pencabutan Keputusan Tata Usaha Negara dan mengeluarkan Keputusan Tata Usaha yang baru, (3) kewajiban tersebut dapat juga berupa pembebanan ganti rugi, (4) adapun jika putusan tersebut dalam sengketa kepegawaian, maka kewajiban tersebut dapat berupa rehabilisasi.15

Jika permohonan dikabulkan oleh Hakim Pengadilan Tata Usaha Negara, maka sudah semestinya Badan/Pejabat Tata Usaha Negara mematuhi putusan pengadilan tersebut dengan menjalankan kewajiban yang telah dijelaskan

sebelumnya, karena putusan tersebut telah mempunyai kekuatan hukum tetap. Jika

12 Untuk alasan-alasan tersebut dapat dilihat dalam Pasal 2, 3, 49, 55, 62 UU Nomor 5 Tahun 1986 tentang Pengadilan Tata Usaha Negara

13 Dapat dilihat pada Pasal 63 UU Nomor 5 Tahun 1986 tentang Pengadilan Tata Usaha Negara

14 Dapat dilihat lebih lanjut pada Pasal 97 UU Nomor 5 Tahun 1986 tentang Pengadilan Tata Usaha Negara

(9)

secara sengaja dan sukarela tidak bersedia menjalankan putusan tersebut, maka diambillah tindakan secara paksa, tindakan inilah yang disebut dengan pelaksanaan putusan atau eksekusi. Tetapi walaupun telah ada pelaksanaan putusan atau eksekusi, tetap saja timbul berbagai kesulitan dalam pelaksanaan putusan Pengadilan Tata Usaha Negara tersebut. Kesulitan tersebut serasa semakin kompleks dalam sengketa kepegawaian, karena dalam sengketa tersebut ada kewajiban rehabilisasi. Faktor yang paling mempengaruhi terhadap tidak terlaksananya Putusan Pengadilan Tata Usaha Negara karena pengadilan tidak memiliki lembaga eksekotorial secara khusus. Dalam tulisan ini akan menjalaskan berbagai Problematika Pelaksanaan Putusan

Pengadilan Administrasi Negara Yang Berkekuatan Hukum Tetap Dalam Sengketa Kepegawaian.

B. Rumusan Masalah

1. Mengapa kerap terjadi putusan hakim pengadilan tata usaha yang memiliki kekuatan hukum tetap tidak dilajankan?

2. Bagaimana seharusnya sistem hukum yang diberlakukan agar pelaksanaan putusan hakim pengadilan tata usaha negara dapat berjalan efektif?

BAB II PEMBAHASAN

A. Kendala-kendala dalam menjalankan putusan pengadilan

Pelaksanaan putusan/eksekusi terhadap Putusan Pengadilan Tata Usaha Negara telah diatur dalam Pasal 116 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara, selanjutnya Pasal 116 tersebut telah mengalami perubahan dua kali perubahan pada Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2004 dan Undang Nomor 51 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 Tentang Peradilan Tata Usaha Negara. Berdasarkan Pasal 116 yang telah mengalami dua kali perubahan mengatur mekanisme

(10)

1) Putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap dikirimkan kepada kedua pihak atas perintah ketua pengadilan selambat-lambatnya dalam waktu 14 hari kerja.16

2) Apabila tergugat tidak melaksanakan putusan (tidak melaksanakan kewajibannya yang berupa mencabut Keputusan Tata Usaha Negara yang dipersengketakan) setelah 60 hari kerja, maka keputusan tata usaha negara yang disengketakan tersebut tidak mempunyai kekuatan hukum lagi.17

3) Apabila putusan pengadilan berupa kewajiban pencabutan Keputusan Tata Usaha Negara dan menerbitkan Keputusan Tata Usaha yang baru tapi keputusan tersebut tidak dilaksanakan, penggugat dapat mengajukan permohonan kepada ketua pengadilan, agar pengadilan memerintahkan tergugat melaksanakan putusan pengadilan tersebut.18

4) Pejabat yang bersangkutan akan dikenakan upaya paksa berupa pembayaran sejumlah uang paksa atau sanksi administratif, jika tidak bersedia

melaksanakan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap.19

5) Jika pejabat tersebut masih tidak melaksanakan putusan pengadilan, maka akan diumumkan pada media masa cetak setempat oleh panitera.20

6) Selain diumumkan di media masa, ketua pengadilan harus mengajukan hal tersebut kepada Presiden untuk memerintahkan pejabat tersebut melaksanakan putusan pengadilan, dan mengajukan juga kepada lembaga perwakilan rakyat untuk menjalankan fungsi pengawasan.21

A.1. Pelaksanaan Bersifat Sukarela

Sulitnya eksekusi terhadap putusan Pengadilan Tata Usaha Negara yang telah berkekuatan hukum tetap dikarenakan eksekusi putusan tersebut bersifat sukarela. Sudah seharunya Pejabat/Badan Tata Usaha Negara yang dihukum untuk mencabut surat keputusannya, ataupun kewajiban menerbitkan surat keputusan yang baru, tetapi

(11)

dalam prakteknya (dalam beberapa kasus) hal tersebut tidak dilakukan, karena hanya bersifat sukarela. Putusan Pengadilan Tata Usaha menyerahkan kepada Pejabat Tata Usaha Negara untuk menjalankan putusan secara sukarela inilah yang menjadi penyebab tidak berjalannya secara efektif pelaksanaan putusan Pengadilan Tata Usaha Negara. Dalam dunia Peradilan Tata Usaha Negara, memang telah ada Jurusita, tetapi peran dan fungsi Jurusita pada Pengadilan Tata Usaha Negara hanyalah sebatas menyampaikan pemberitahuan isi putusan pengadilan kepada Pejabat/Badan Tata Usaha Negara, dan tidak mempunyai unsur pemaksaan dalam menjalankan eksekusi putusan tersebut, sebab objek yang dieksekusi tersebut berbeda dengan eksekusi putusan perdata atau eksekusi riel yang dapat dijalankan secara paksa oleh jurusita atas perintah Ketua Pengadilan.22

Menjalankan putusan pengadilan secara sukarela (eksekusi sukarela) yang berisi pencabutan terhadap keputusan yang disengketakan dilakukan oleh pejabat Tata Usaha Negara selambat-lambatnya 60 hari. Jika pencabutan itu tidak dilakukan, maka keputusan yang disengketakan tidak mempunyai kekuatan hukum lagi. Tetapi jika putusan pengadilan mengandung kewajiban akan pencabutan dan/atau penerbitan keputusan baru tidak dijalankan setelah 90 hari oleh pejabat tergugat, maka penggugat dapat mengajukan permohonan kepada ketua pengadilan agar memerintahkan badan/pejabat yang bersangkutan untuk melaksanakan putusan Hakim PTUN. Jika badan/pejabat administrasi tersebut tidak juga melaksanakannya, maka pejabat tergugat tersebut dikenakan upaya paksa berupa pembayaran uang paksa dan/atau sanksi administratif. Dan jika upaya paksa tersebut tidak dijalankan, maka akan di umumkan di media masa setempat dan juga ketua pengadilan

mengajukan hal tersebut kepada presiden. Presiden sebagai pemegang kekuasaan pemerintahan tertinggi untuk memerintahkan pejabat tersebut melaksanakan putusan Pengadilan Tata Usaha Negara.23 Tetapi jika ternyata Presiden tidak berkenan

melaksanakan putusan Pengadilan untuk memberikan perintah kepada Pejabat/Badan

22 Ismail Rumadan, Problematika Eksekusi Putusan Pengadilan Tata Usaha Negara, Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 1, Nomor 3 (November 2012) Hal.438

(12)

Tata Usaha Negara yang bersangkutan, secara yuridis tidak ada konsekuensi, resiko atau sanksi bagi Presiden, hanya saja Presiden dibayangi sanksi moral sesuai dengan semangat dan keinginan untuk mewujudkan pemerintahan yang bersih dan

berwibawa.24

Dalam sengketa kepegawaian, akan berkaitan dengan kompensasi dan rehabilitasi bagi pegawai. Rehabilitasi merupakan pemulihan hak bagi seorang pegawai negeri dalam kemampuan, kedudukan, harkat dan martabatnya sebagai pegawai negeri seperti semula, sebelum ada keputusan yang disengketakan. Dalam pemulihan hak tersebut termasuk juga hak-haknya yang ditimbulkan oleh

kemampuan keududukan dan harkatnya sebagai pegawi negeri. Dalam hal haknya menyangkut suatu jabatan dan pada waktu putusan pengadilan jabatan tersebut ternyata telah diisi pejabat lain, maka yang bersangkutan dapat diangkat dalam jabatan lain yang setingkat dengan jabatan semula. Akan tetapi apabila hal itu tidak mungkin maka yang bersangkutan akan diangkat kembali pada kesempatan pertama setelah ada formasi dalam jabatan yang setingkat atau dapat ditempuh dengan cara memberikan kompensasi.25

Kompensasi dilakukan jika rehabilitasi tidak dapat dilaksanakan atau tidak dapat dengan sempurna dilaksanakan, maka Badan/Pejabat Tata Usaha Negara yang bersangkutan harus memberitahukan hal tersebut kepada Pengadilan Tata Usaha Negara dengan tembusan kepada penggugat dalam tenggang waktu tiga puluh hari sejak diterimanya putusan Pengadilan.26

Seluruh pelaksanaan putusan Pengadilan Tata Usaha Negara tetaplah bersifat sukarela, walaupun telah ada upaya paksa berupa pembayaran uang paksa atau sanksi administratif. Karena uang paksa dan sanksi administratif bukanlah substansi yang diinginkan dari adanya gugatan. Substansi yang diinginkan penggugat adalah batalnya Keputusan Tata Usaha Negara dan/atau diterbitkannya Keputusan Tata

24 S.F. Marbun, Peradilan Administrasi ...,Op.Cit, hal. 362

25 Indonesia, Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 1991 Tentang Ganti Rugi Dan Tata Cara Pelaksanaanya Pada Peradilan Tata Usaha Negara, Pasal 9 dan 10.

(13)

Usaha Yang Baru. Ditambah, uang paksa yang dimaksud diambil dari APBN/APBD, bukan dari uang pribadi Pejabat yang tergugat. Adapun upaya paksa yang berupa sanksi administratif jugalah bersifat sukarela. Bedasarkan Pasal 72 ayat (1) Undang-Undang 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan bahwa pejabat yang tidak melaksanakan Putusan Pengadilan Tata Usaha Negara yang telah berkekuatan hukum tetap dapat dikenai sanksi administratif sedang, yang berupa 1) pembayaran uang paksa dan/atau ganti rugi; 2) pemberhentian sementara dengan memperoleh hak-hak jabatan; atau 3) pemberhentian sementara tanpa memperoleh hak-hak jabatan.27

Penjatuhan sanksi administratif tersebut dilakukan oleh pejabat atasan.28 Mekanisme

penjatuhan sanksi administratif tetaplah bersifat sukarela, karena tidak ada paksaan bagi pejabat atasannya untuk melaksanaakan putusan pengadilan dalam memberikan sanksi administratif kepada pejabat bawahaannya.

Pelaksanaan yang sukarela ini berhubungan dengan benda-benda publik yang secara teoritis merupakan kekayaan negara yang tidak dapat diletakkan sita jaminan di atasnya. Alasan selanjutnya, telah dianut asas bahwa seorang pejabat tidak

mungkin dikenai tahanan karena tidak melaksanbakan putusan PTUN, sesuai dengan asas bahwa kebebasan yang dimiliki pejabat pemerintah tidak diperkenankan

dirampas. 29

Pelaksanaan putusan Pengadilan Tata Usaha Negara tidak lagi bersifat sukarela, seandainya perbuatan Badan/Pejabat Tata Usaha Negara yang tidak mau tunduk dan tidak mau melaksanakan putusan pengadilan dapat dikatgorikan sebagai delik atau perbuatan melanggar hukum, sehingga Badan/Pejabat yang tidak

melaksanakan putusan Pengadilan Tata Usaha Negara dapat dinyatakan sebagai perbuatan melanggar hukum.30

A.2. Tidak Adanya Lembaga Eksekutorial Khusus

27 Indonesia, Peraturan Pemerintah Nomor 48 Tahun 2016 tentang Tata Cara Pengenaan Sanksi Administratif Kepada Pejabat Pemerintahan, Pasal 9 ayat (2)

28 Ibid., Pasal 12

29 Philipus M Hadjon, Pengantar Hukum Administrasi, hal. 375

(14)

Berdasarkan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 telah dibentuk Komisi Aperatur Sipil Negara (KASN) yang salah satu kewenangannya mengawasi setiap tahapan proses pengisian Jabatan Pimpinan Tinggi mulai dari pembentukan panitia seleksi instansi, pengumuman lowongan, pelaksanaan seleksi, pengusulan nama calon, penetapan, dan pelantikan Pejabat Pimpinan Tinggi31. Tapi sayangnya, KASN

tidak memiliki kewenangan untuk mengawasi Putusan Pengadilan Tata Usaha Negara yang tidak dijalankan oleh Badan/Pejabat Tata Usaha Negara, khsusnya dalam sengketa kepegawaian yang berkaitan dengan rehabilitasi dan kompensasi. Jika sandainya kewenangan KASN ditambah untuk mengawasi atau menerima aduan dari Pengadilan Tata Usaha Negara tentang putusan yang tidak mau dijalankan oleh Pejabat/Badan Tata Usaha Negara. Diperkirakan akan mengurangi putusan pengadilan yang tidak dijalankan, karena KASN mempunyai kewenangan untuk merekomendasikan kepada Presiden atau Menteri untuk menjatuhi sanksi tegas.

B. Analisis Putusan Pengadilan Tata Usaha Negara Surabaya Nomor: 52/G/2009/PTUN.SBY Tentang Pemberhentian Sekretaris Daerah

Putusan Pengadilan Tata Usaha Negara Surabaya dengan nomor perkara 52/G/2009/PTUN.SBY merupakan putusan tentang sengketa kepegawaian di Pemda Pamekasan. Sengketa ini dilatarbelakangi oleh tindakan Bupati Pamekasan yang telah mengeluarkan SK pemberhentian sementara Sekretaris Daerah Pamekasan dan mengalihtugaskan menjadi staf ahli bidang Kemasyarakatan dan SDM tanpa adanya persetujuan dari Gubenur Jawa Timur. Dalam sengketa tersebut, Pengadilan Tata Usaha Negara Jawa Timur telah memutuskan untuk mengabulkan seluruh gugatan penggugat (mantan Sekda Kabupaten Pamekasan) dan membatalkan serta mencabut SK Bupati Pamekasan. Tetapi sampai saat ini putusan Pengadilan Tatat Usaha Negara Surabaya belum dapat dilaksanakana oleh pejabat yang berwenang.

Objek sengketa dalam perkara ini adalah Surat Keputusan Tergugat Nomor : 821.2/292/441.409/2009 tanggal 02 November 2009 tentang Pengangkatan Dalam Jabatan atas nama DR. A. DJAMALUDIN KARIM, M. Si. Di dalam surat tersebut,

(15)

Tergugat memberhentikan sementara Penggugat dari jabatan Sekretaris Daerah Kabupaten Pamekasan. Hal tersebut bertentangan dengan Pasal 122 ayat (3) Undang-Undang Nomor : 8 tahun 2005 tentang Pemerintahan Daerah jo Undang-Undang-Undang-Undang Nomor: 12 tahun 2008, yang berbunyi:

Ayat (1) Sekretaris Daerah diangkat dari pegawai negeri sipil yang memenuhi persyaratan”

Ayat (2) Sekretaris Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) untuk provinsi diangkat dan diberhentikan oleh Presiden atas usul Gubernur sesuai dengan peraturan perundang-undangan”

Ayat (3) “Sekretaris Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) untuk kabupaten / kota diangkat dan diberhentikan oleh Gubernur atas usul Bupati/Walikota sesuai dengan peraturan perundangundangan

Dari ketentuan Pasal 122 ayat (3) tersebut di atas, tampak jelas bahwa Surat Keputusan Bupati Pamekasan (Tergugat) Nomor : 821.2/292/441.409/2009 tanggal 02 Nopember 2009 tentang Pengangkatan Dalam Jabatan atas nama Dr. A.

Djamaludin Karim, M.Si, yang substansinya adalah memberhentikan Penggugat dari jabatan Sekretaris Daerah Pamekasan adalah cacat yuridis (cacat wewenang) karena yang berwenang memberhentikan Penggugat sebagai Sekretaris Daerah adalah Gubernur Jawa Timur, sedangkan Bupati hanya berwenang mengusulkan saja.

Surat Keputusan Bupati Pamekasan tersebut jelas merugikan hak kepegawainya penggugat. Dalam surat tersebut, memindah tugaskan Dr. A.

Djamaludin Karim, M.Si yang semula sebagai Sekretaris Daerah menjadi Staf Ahli Bupati Bidang Kemasyarakatan dan Sumber Daya Manusia. Karena “Sekretaris Daerah merupakan jabatan struktural eselon II a”32 sedangkan “... Stafahli

bupati/walikota merupakan jabatan structural eselon II b”33

Dalam Putusan Pengadilan Tinggi Tata Usaha Surabaya dengan Nomor Perkara 152/G/2009/PTUN.SBY, mengadili;

32 Pasal 35 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor : 41 tahun 2007 tentang Organisasi Perangkat Daerah

(16)

1) Mengabulkan gugatan Penggugat untuk seluruhnya.

2) Menyatakan batal Surat Keputusan Bupati Pamekasan (Tergugat) Nomor : 821.2/292/441.409/2009 tanggal 2 Nopember 2009 tentang Pengangkatan Dalam Jabatan atas nama Dr. A. Djamaludin Karim, M.Si

3) Mewajibkan Tergugat untuk mencabut Surat Keputusan Bupati Pamekasan (Tergugat) Nomor : 821.2/292/441.409/2009 tanggal 2 Nopember 2009 tentang Pengangkatan Dalam Jabatan atas nama Dr. A. Djamaludin Karim, M.Si

4) Mewajibkan Tergugat untuk menerbitkan Keputusan Tata Usaha Negara yang baru tentang rehabilitasi Penggugat, yaitu memulihkan hak

Penggugat.

5) Menghukum Tergugat untuk membayar biaya perkara ini sebesar Rp.171.000,- (Seratus Tujuh Puluh Satu Ribu Rupiah)

Dikarenan Bupati Pamekasan tidak menjalankan putusan pengadilan tersebut, kasus tersebut telah termuat oleh media atas permohonan dari Penggugat. Adapun muatan media adalah sebagai berikut

Bupati Tolak Putusan PTUN34

Sabtu, 03/09/2011 | 10:49 WIB

PTUN meminta bantuan Presiden RI agar Bupati mengangkat kembali Djamaludin sebagai Sekdakab

PAMEKASAN - Pemecatan Djamaludin Karim dari jabatan Sekretaris Daerah Kabupaten (Sekdakab) Pamekasan oleh Bupati Kholilurrahman berlanjut. Proses hukum di Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Surabaya memang dimenangkan oleh Djamaludin. Namun, hingga sekarang Bupati masih mengabaikan putusan itu.Karena itu, PTUN Surabaya meminta Presiden RI sebagai pemegang kekuasaan eksekutif tertinggi untuk memerintahkan Bupati Pamekasan melaksanakan putusan PTUN itu. Permintaan PTUN itu

dituangkan dalam surat PTUN Surabaya bernomor

W3.TUN1/1780/K.Per.01.06/VIII/2001 tanggal 2 Agustus 2011. Surat ini merupakan petunjuk dari PTUN Surabaya tentang tindak lanjut pelaksanaan putusan perkara nomor 152/G2009/PTUN.SBY. Selain akan meminta bantuan Presiden, sesuai dengan Pasal 116 ayat 5 dan 6 Undang- Undang (UU) Nomor 51 Tahun 2009, maka pengadilan juga dapat menindaklanjuti dengan

mengumumkan di media massa bahwa Bupati Pamekasan tidak bersedia melaksanakan putusan Nomor 152/G2009/PTUN.SBY yang telah berkekuatan hukum tetap itu. Namun, M Suli Faris, Ketua Komisi A DPRD Kabupaten Pamekasan menilai keputusan PTUN itu sulit untuk dilaksanakan secara hukum, utamanya perintah pengembalian lagi Djamaludin Karim kepada kedudukannya sebagai Sekdakab Pamekasan. Karena yang digugat oleh

(17)

Djamaludin Karim adalah soal SK Bupati Pamekasan tentang pemberhentian sementara Djamaludin Karim.

“Saat ini posisi Sekdakab Pamekasan sudah berubah.Sesuai dengan kewenangannya Gubernur Jatim juga sudah mengeluarkan keputusan tata usaha negara baru, yakni mengangkat Hadisuwarso sebagai Sekdakab Pamekasan.Makanya kami katakan keputusan PTUN itu sulit untuk

dilaksanakan. Sebab yang digugat SK pemberhentian sementara oleh Bupati bukan SK pengangkatan Sekdakab oleh Gubernur,” katanya, Sabtu (3/9). Bupati Pamekasan melalui Surat Keputusan (SK) Bupati Pamekasan Nomor 821.2/292/441.409/2009 tangal 2 Januari 2009 memberhentikan sementara Djamaludin Karim dari jabatannya sebagai Sekdakab Pamekasan. Karena merasa tidak prosedural dan tidak dilandasi alasan yang tepat maka

Djamaludin Karim menggugat Bupati Pamekasan ke PTUN Surabaya.Dalam putusannya, PTUN mengabulkan gugatan Djamaludin Karim.PTUN juga menyatakan batal SK Bupati Pamekasan tentang tentang pemberhentian sementara Djamaludin Karim. Selain itu PTUN juga mewajibkan Bupati untuk menerbitkan keputusan tata usaha negara yang baru tentang rehabilitasi penggugat, yaitu memulihkan hak penggugat dalam kemampuan, kedudukan, harkat dan martabatnya sebagai Sekretaris Daerah Kabupaten Pamekasan. PTUN juga menghukum Bupati untuk membayar biaya perkara sebesar Rp 171.000.Tapi, Bupati tidak mau melaksanakan eksekusi seperti yang

diperintahkan oleh PTUN Surabaya. Dalam suratnya ke PTUN Surabaya yang bernomor 181/1013/441.131/2011 tanggal 16 Juni 2011 Bupati Pamekasan menyatakan tidak dapat melaksanakan putusan PTUN karena telah terbit SK Gubernur Jatim Nomor 821/86/212/2010 tanggal 18 Januari 2010 tentang permberhentian Djamaludin Karim sebagai Sekdakab Pamekasan.

Setelah diterbitkan penetepan permohonan pelaksanaan putusan ternyata Tergugat juga tidak mau melaksanakan putusan dan Tergugat menanggapi Penetapan itu pada tanggal 16 Juni 2011 dengan alasan dikarenakan telah diangkatnya Sekretaris Daerah Kabupaten Pamekasan yang baru serta bukan merupakan kewenangan Bupati Pamekasan untuk melaksanakan putusan tersebut melainkan kewenangan Gubernur yang dapat menerbitkan surat keputusan tentang pengangkatan atau pemberhentian sekretaris daerah Kabupaten Pamekasan.

BAB III PENUTUP (SIMPULAN DAN SARAN)

(18)

Kerap terjadi hambatan dalam pelaksanaan Putusan Pengadilan Tata Usaha Negara dikarenakan 1) pelaksanaan putusan Pengadilan Tata Usaha Negara dapat dikatakan masih berbersifat sukarela. Walaupun telah ada pembaharuan mekanisme pelaksanaan pututsan dengan menggunakan upaya paksa yang berupa uang paksa dan sanksi administratif, tapi tetap, upaya-upaya tersebut masih bersifat sukarela dan kurang tegas. 2) Tidak adanya lembaga eksekutorial khusus. Dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 memang telah dibentuk Komisi Aperatur Sipil Negara (KASN) yang mempunyai berbagai kewenangan, diantarnya pengawasan terhadap pengisian jabatan ASN. Tapi sayangnya, kewenangan yang diberikan KASN tersebut tidak diintegrasikan dengan pengawasan pejabat ASN dalam menjalankan Putusan Pengadilan Tata Usaha Negara.

B. SARAN

Dengan melihat alasan-alasan dalam tulisan ini, yang menyebabkan hambatan dalam pelaksanaan Putusan Pengadilan Tata Usaha Negara. Tulisan ini memberikan beberapa saran untuk mengurangi hambatan-hambatan tersebut, diantaraya: 1) diberlakukan sanksi yang lebih tegas lagi dan yang tidak bersifat sukarela dalam menjalankan putusan, seperti penundaan atau pengurangan gaji atau honor, skorsing dari jabatan, atau penundaan keniakan jabatan bagi pejabat yang tidak mau

melaksanakan putusan pengadilan. 2) dibentuknya komisi atau lembaga khusus untuk mengawasi jalannya putusan atau yang menerima aduan dari Pengadilan Tata Usaha Negara. Yang mana lembaga atau komisi tersebut mempunyai kewenangan untuk memberikan sanksi admistratif bagi pejabat yang tidak menjalankan putusan

(19)

DAFTAR PUSTAKA

Buku

Budiardjo, Miriam. Dasar-dasar Ilmu Politik. Jakarta: Gramedia, 1982.

Marbun, S.F. Peradilan Administrasi Negara Dan Upaya Administrasi Di Indonesia. Yogyakarta: FH UII Press. Cetakan ke-4. 2015.

Hadjon, Philipus M. Pengantar Hukum Administrasi Negara. Surabaya: Bina Ilmu. 1987

Lotulung, Paulus Effendie, Beberapa Sistem Tentang Kontrol Segi Hukum Terhadap Pemerintah. Jakarta: Buana Ilmu Populer. 1986

HR., Ridwan. Hukum Administrasi Negara. Jakarta: PT RajaGrafindo. 2016

(20)

Rumadan, Ismail. Problematika “Eksekusi Putusan Pengadilan Tata Usaha Negara,”

Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 1, Nomor 3 (November 2012) : 437-462

Perundang-Undangan dan Putusan Pengadilan

Indonesia, Undang-undang tentang Peradilan Tata Usaha Negara, UU Nomor 5 Tahun 1986. LN No. 77 Tahun 1986. TLN. No. 3344

Indonesia, Undang-undang tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986, UU Nomor 51 Tahun 2009. LN No. 160 Tahun 2009. TLN. No. 5074

Indonesia, Undang-undang tentang Administrasi Pemerintahan, UU Nomor 30 Tahun 2014. LN No. 292 Tahun 2014. TLN. No. 5601

Indonesia, Peraturan Pemerintahtentang Organisasi Perangkat Daerah, PP Nomor 41 tahun 2007

Putusan Pengadilan: 152/G/2009/PTUN.SBY

Internet

Referensi

Dokumen terkait

Konsep daulat, mahkota dan keris menjadi fokus kajian ini merujuk kepada pembacaan terhadap teks Hikayat Hang Tuah dan melihat bagaimana konsep-konsep tersebut boleh dijadikan

cicilan pertama pada 3 bulan setelah penjualan produk, nilai yang didapat dihitung dengan cara 45% dikali dengan persentase kredit sesuai dengan waktu penjualan,

Kesimpulan: Dari perspektif gender, wanita lebih takut mengoperasikan komputer jka dibandingkan dengan pria; Kegelisahan atau ketakutan menggunakan komputer dapat menyebabkan

Novel tersebut menceritakan tentang perjalanan seorang manusia yang mencari hakikat hidup.Oleh karena itu, penelitian ini akan mengkaji (a) Bagaimana nilai perilaku terpuji

Skripsi ini berjudul “Persepsi Pengusaha UKM Muslim Terhadap Perbankan Syariah di Kota Sibolga” ini merupakan karya ilmiah akhir bagi penulis dalam rangka menyelesaikan

Jones (2009, h.52) menyatakan bahwa kebiasaan menunda atau mengerjakan tugas dengan prioritas rendah terjadi karena manajemen waktu yang buruk, dan hal tersebut

Perbedaan yang menjadikan penelitian penulis orisinil yakni menekankan pada faktor-faktor yang memengaruhi sikap abstain Amerika Serikat dalam Sidang DK PBB pada

Keinginan Suriah mewujudkan Suriah Raya dengan menjadikan Lebanon masuk dalam wilayah Suriah dengan tidak membuka hubungan diplomatik dengan Lebanon dan putusnya