• Tidak ada hasil yang ditemukan

MAKALAH MASYARAKAT DAN KESENIAN INDONESI

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "MAKALAH MASYARAKAT DAN KESENIAN INDONESI"

Copied!
14
0
0

Teks penuh

(1)

MAKALAH MASYARAKAT DAN KESENIAN INDONESIA

SENI TAYUB GROBOGAN

 

Disusun oleh:

Milzam Rifqi 13030114130058 Muhammad Fadhilah Ihsan 13030114140065 Mohammad Nur Faiz 13030114140066 Riyana Damayanti 13030114130062 Suci Fajaryanti 13030114140067

PROGRAM STUDI ILMU SEJARAH FAKULTAS ILMU BUDAYA UNIVERSITAS DIPONEGORO

(2)

KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kepada Allah SWT , atas Rahmat dan Karunia-Nya kami dapat menyelesaikan makalah ini dengan baik. Shalawat dan salam selalu tercurah kepada baginda kita Nabi Agung Muhammad SAW.

Kedua kami ucapkan terimakasih kepada Dosen Pengampu Program Studi Masyarakat dan Kesenian Indonesia, bapak Rabith Jihan Amaruli, S.S, M.Hum. Karena telah memberikan ilmu, bimbingan dan arahan kepada kami, sehingga kami dapat menyelesaikan makalah yang berjudul “Seni Tayub Grobogan” .

Dengan selesainya makalah ini semoga dapat memberikan ilmu yang bermanfaat bagi yang membaca pada umumnya dan bagi penulis khususnya. Serta dapat mengambil nilai-nilai positif yang ada di dalamnya .

Penulis menyadari bahwa makalah ini jauh dari sempurna karena kami masih dalam tahap pembelajaran. Oleh karena itu, penulis membutuhkan kritik dan saran dari rekan pembaca maupun dari dosen mata kuliah ini agar dapat menjadi pembelajaran kami di lain hari.

Semarang, 4 Desember 2014

(3)

DAFTAR ISI

Halaman

HALAMAN JUDUL ... I

KATA PENGANTAR ... II

DAFTAR ISI ... III

BAB I PENDAHULUAN ... 1

1.1. Latar Belakang ... 1

1.2. Rumusan Masalah ... 2

1.3. Tujuan ... 2

1.4. Manfaat ... 2

BAB II PEMBAHASAN ... 3

2.1. Sejarah Seni Tayub Grobogan dan Pengertiannya ... 3

2.2. Pementasan Seni Tayub Grobogan ... 6

2.3. Perkembangan di Era Sekarang “Penyimpangan” ... 8

BAB III PENUTUP ... 10

(4)

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Budaya atau kebudayaan berasal dari bahasa Sanskerta yaitu buddhayah, yang merupakan bentuk jamak dari buddhi (budi atau akal) diartikan sebagai hal-hal yang berkaitan dengan budi dan akal manusia. Dalam bahasa Inggris, kebudayaan disebut culture, yang berasal dari kata Latin Colere, yaitu mengolah atau mengerjakan. Bisa diartikan juga sebagai mengolah tanah atau bertani. Kata culture juga kadang diterjemahkan sebagai “kultur” dalam bahasa Indonesia.

Budaya adalah suatu cara hidup yang berkembang dan dimiliki bersama oleh sebuah kelompok orang dan diwariskan dari generasi ke generasi. Budaya terbentuk dari banyak unsur yang rumit, termasuk sistem agama dan politik, adat istiadat, bahasa, perkakas, pakaian, bangunan, dan karya seni. Bahasa, sebagaimana juga budaya, merupakan bagian tak terpisahkan dari diri manusia sehingga banyak orang cenderung menganggapnya diwariskan secara genetis. Ketika seseorang berusaha berkomunikasi dengan orang-orang yang berbeda budaya dan menyesuaikan perbedaan-perbedaannya, membuktikan bahwa budaya itu dipelajari.

Kebudayaan adalah sesuatu yang akan memengaruhi tingkat pengetahuan dan meliputi sistem ide atau gagasan yang terdapat dalam pikiran manusia, sehingga dalam kehidupan sehari-hari, kebudayaan itu bersifat abstrak. Sedangkan perwujudan kebudayaan adalah benda-benda yang diciptakan oleh manusia sebagai makhluk yang berbudaya, berupa perilaku dan benda-benda yang bersifat nyata, misalnya pola-pola perilaku, bahasa, peralatan hidup, organisasi sosial, religi, seni, dan lain-lain, yang kesemuanya ditujukan untuk membantu manusia dalam melangsungkan kehidupan bermasyarakat. Dalam makalah ini akan dijelaskan wujud kebudayaan seni atau kesenian tari tradisional khususnya tari tayub atau yang disebut ledek.

(5)

1.2. Rumusan Masalah

Adapun yang ingin penulis bahas dalam makalah mata kuliah Masyarakat dan Kesesnian Inodnesia yang berjudul “Seni Tayub Grobogan” adalah sebagai beriku;

1. Bagaimakah asal-usul dan proses munculnya seni tayub Grobogan? 2. Bagaimana pementasan seni tayub Grobogan?

3. Bagaimana perkembangan seni tayub Grobogan di era sekarang “penyimpangan”?

1.3. Tujuan

Penulis mempunyai beberapa tujuan dalam menyususn makalah yang berjudl “Seni Tayub Grobogan” yang ingin dicapai secara maksimal. Adpun tujuan penulis adalah sebagai berikut;

1. Menggali lebih dalam tentang seni tayub Grobogan yang masih dipentaskan hingga sekarang.

2. Untuk mengetahui ciri khas seni tayub Grobogan yang msaih menjadi primadona hiburan bagi masyarakat (masyarakt Grobogan pada khusunya).

3. Mendeteksi perkembangan seni tayub Grobogan di era sekarang seiring dengan masuknya budaya-budaya asing yang sangat deras mengalir.

1.4. Manfaat.

Adapun manfaat yang ingin dicapai oleh penulis dalam menyusun makalah yang berjudl “Seni Tayub Grobogan”, adalah sebagai berikut;

1. Untuk menambah pengetahuan tentang asal-usul dan sejarah seni tayub Grobogan. 2. Sebagai referensi dalam pembuatandalam mengetahui perkembangan seni tayub

Grobogan.

(6)

BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Sejarah Seni Tayub Grobogan dan Pengertiannya

Tayub mulai dikenal sejak zaman Kerajaan Singasari. Pertama kali digelar pada waktu Jumenengan Prabu Tunggul Ametung. Kemudian Tayub berkembang ke Kerajaan Kediri dan Majapahit. Kemudian Raja Kediri menjadikan tayub sebagai tarian kerajaan dan mementaskannya untuk penyambutan tamu agung kerajaan. Pada abad XII, tayub digunakan untuk penobatan Raja Jenggala. Dia mewajibkan para permaisuri menari tayub saat menyambut kedatangan raja di pringgitan.

Pada Zaman Kerajaan Demak, kesenian Tayub jarang dipentaskan. Pada zaman Wali

Sanga, tayub digunakan untuk syiar agama Islam sehingga nilai-nilai agamis pun dimasukkan dalam tarian. Di masyarakat agraris yang masih kental dengan kultur animisme dinamisme, tayub adalah bentuk ritual ketika terjadi peristiwa penting, seperti panen dan menyembuhkan orang sakit. Pada waktu zaman Kerajaan Demak, kesenian Tayub hanya dapat dijumpai di daerah pedesaan-pedesan yang jauh dari pusat kota kerajaan. Seiring berjalannya waktu, sejak berdirinya kerajaan Pajang dan Mataram, kesenian ini mulai digali kembali. Malahan pada waktu itu Tayub dijadikan Tarian Beksan di Keraton yang digelar hanya pada waktu acara-acara khusus.

Namun disayangkan, penjajah Belanda memasukkan unsur negatif yang dikenal dengan 3C, Cium, Ciu dan Colek. Tayub yang telah terkena pengaruh negatif dari penjajah belanda terus terpelihara hingga pemerintahan dipegang oleh Sunan Pakubuwono III. Sewaktu pemerintahan dipegang oleh Sunan Pakubuwono ke IV, beliau tidak berkenan dengan adanya pengaruh negatif tersebut. Akhirnya Tayub ditetapkan sebagai tari Pasrawungan di masyarakat. Selanjutnya kesenian tayub mengalami perkembangan di daerah Sragen, Wonogiri dan Purwodadi.

(7)

kesan bahwa penayub itu ”murahan”. Tetapi, di era sekarang hal semacam itu sudah amat jarang terjadi.

Ledhek, konon merupakan jarwa-dhosok dari “Elek ben angger gelem medhek-medhek” (biar jelek asal mau mendekat). Seperti kebanyak ledhek di daerah kabupaten Grobogan, modal kecantikan tak begitu penting, meski juga berpengaruh dalam hal pemasaran. Modalnya cukup dengan dandanan yang seronok dengan vokal yang lancar selama semalam suntuk ditambah dengan keberanian mendekati kaum lelaki. Dan, agaknya mereka tampil seperti layaknya menawarkan kodrat profesi, tanpa merasa dihimpit beban dosa.

Pekerjaan, apa pun bentuk dan macamnya, kalau sudah cocok dengan kehendak nurani, memang kadang-kadang tak pandang soal etika. Ledhek barangkali bisa disamakan dengan keberadaan cokek di Sragen, atau tandak di Surabaya yang diterjuni secara wajar-wajar saja tanpa adanya perangkat upacara perangkat penobatan. Akan tetapi, berbeda dengan ronggeng di daerah Banyumas yang mengenal adanya tradisi bukak klambu, yang harus rela menyerahkan kehormatannya sebelum dinobatkan sebagai ronggeng. Ledhek di Grobogan, seperti layaknya profesi yang lain, diterjuni secara wajar-wajar saja. Asal ada niat dan sanggup, meluncurlah mereka ke tengah-tengah masyarakat sebagai ledhek.

Tarian tayub merupakan kesenian gerak tari para penari serta nyanyian diiringi diatur bersama supaya serempak berdasarkan kesepakatan dari para pemain dengan para penonton. Sehingga terwujudlah suatu keakraban dan persaudaraan. Tayub berasal dari kata “Tata dan Guyub” yang artinya bersahabat dengan rasa persaudaraan tanpa persaingan dan tanpa aturan menari yang dibakukan.

Tayub dalam istilah Jarwo Dhoso yaitu “ditata ben guyub”, yang merupakan sebuah filosofi yang ditanamkan pada tayub sebagai kesenian untuk pergaulan. Nilai dasarnya adalah kesamaan kepentingan untuk mengapresiasikan kemampuan jiwa dan bakat seni, baik penabuh gamelan maupun penarinya. Kesamaan kepentingan ini akan melahirkan keserasian Tayub sebagai suatu bentuk tarian, mereka menari sesuai dengan kreativitas yang seirama dengan diiringi musik gamelan.

(8)

dan saling berpasangan. Kegiatan muda-mudi yang terjadi secara spontan, ketika itu sangat membekas dan berkesan dalam hati mereka. Apa yang mereka alami seakan memiliki arti tersendiri dan menjadi momen penting dalam kehidupannya. Seiring dengan berjalannya waktu mereka mengulangi untuk menyenggarakan perayaan panen dan waktu terus berjalan yang akhirnya tercipta suatu tari pergaulan yang dinamakan Tayub. Tayub sendiri telah berkembang di beberapa daerah di Jawa Tengah, yaitu Blora dan Pati. Tayub didaerah Pati dan Blora berbeda dengan Tayub Grobogan.

Di daerah Kabupaten Blora tarian tayub menggambarkan penyambutan para tamu atau pimpinan yang dihormati oleh masyarakat menurut jenjang kepangkatan mereka masing-masing. Penyambutan oleh penari wanita dengan menyerahkan selendang yang dipakai penari atas petunjuk pemimpin. Tamu yang menerima selendang mendapatkan kehormatan untuk menari bersama-sama dengan penari.

Sedangkan di daerah Kabupaten Pati tari Tayub memberikan spirit kesuburan, yang dimaknai bersatunya “bapa angkasa (bapak langit) dan Ibu Bumi (ibu pertiwi). Persatuan keduanya menimbulkan hujan yang mendatangan kesuburan. Bergesernya wajah geografis Jawa dari yang bernuansa agraris ke era industrialisasi mengubah wajah seni tradisi. Tayub tidak lagi menjadi perangkat budaya sebagai seni ritual kesuburan, melainkan lebih condong kearah perangkat komersial. Dengan kata lain, Tayub bergeser dari seni yang berpijak pada filosofi ke arah fungsional dan pragmatis.

Masyarakat Pati selatan juga merumuskan syarat yang harus dipenuhi oleh seseorang penari Tayub adalah Rupa, Suara, Wiraga, dan Trapsila. Berparas cantik, bersuara merdu, pandai menari dan bermuka ramah harus dimiliki oleh setiap perempuan yang ingin menjadi seorang penari Tayub. Sederet persyaratan yang tidak mudah dipenuhi oleh kebanyakan perempuan dimanapun. Kalau pandai menari dan bersuara merdu masih bisa dilakukan melalui belajar olah gerak tubuh dan gurah, tetapi cantik dan berwatak ramah lebih merupakan pemberian atau bawaan sejak lahir.

(9)

Tayub selalu berjalan dengan lancar dan aman dan etika pun terjaga dengan bai karena jarak antara penari pri dan wanita diatur yaitu dengan jarak satu meter.

Didalam kelompok seni pertunjukan, tarian tayub dapat digolongkan dari tari masyarakat tradisional, sifat masyarakat yang menonjol, tampak sebagai gambaran dari jiwa masyarakat pendukungnya. Karena kesenian Tayub sudah memasyarakat dan juga merupakan hiburan segar dan murah bagi semua kalangan maka tari Tayub dipentaskan pada setiap acara perkawinan, khitanan, memenuhi nadar, diterima kerja, upacara adat dan sebagainya.

2.2 Pementasan Seni Tayub Grobogan

Tari Tayub atau acara Tayuban. merupakan salah satu kesenian Jawa yang mengandung unsur keindahan dan keserasian gerak. Unsur keindahan diiikuti dengan kemampuan penari dalam melakonkan tari yang dibawakan. Tari tayub mirip dengan tari Gambyong yang lebih populer dari Jawa Tengah. Tarian ini biasa digelar pada acara pernikahan, khitan, sedekah bumi serta acara kebesaran misalnya hari kemerdekaan Republik Indonesia. Perayaan kemenangan dalam pemilihan kepala desa, serta acara bersih desa.

Penari tarian tayub ini lebih dikenal dengan sebutan ledek.Anggota yang ikut dalam kesenian ini terdiri dari sinden, penata gamelan (niyaga) serta penari khususnya wanita (ledek). Penari Tayub mengenakan kostum yang realistis yaitu rambut di sanggul gaya Jawa, kain biasa dan kain selendang sebagai penutup dada (kemben). Penari tersebut masih memakai selendang (sampur) untuk menari. Seiring perkembangan zaman sekarang para ledek menggunakan kostum kebaya yang modern, tidak selalu memekai kemben (dapat disebut juga dengan basahan). Tampil dengan kostum yang kontras sebatas dada dihiasi make up yang medhok-merok dan bau parfum yang menyengat hidung, kemudian berlenggang-lenggok di atas gelaran tikar merupakan ciri khas sripanggung pertunjukan tayub.

(10)

Demikian seterusnya higga tujuh kali sesuai dengan arah yang disebutkan. Setelah sang ledhek selesai mengucapkan mantra dalam bentuk tembang, tamatlah pertunjukan sebagai pertanda bahwa nazar telah dilaksanakan. Mereka yakin, musibah tak mungkin muncul sekaligus sang empunya nazar terhindari dari segala petaka.

Pelaksanaan acara dilaksanakan pada tengah malam antara jam 21.00-03.00 pagi. Dari jam 21.00 sampai jam 24.00 itu waktu diisi dengan klenengan sebagai pra-tontonan sebelum pertunjukan Tayub yang sebenarnya dimulai. Setelah beberapa gending (lagu) pemanasan didendangkan, saat yang ditunggu-tunggu para lelaki yang duduk di barisan depan (biasanya tamu kehormatan lebih dahulu) datang. Sang penari mengajak pria dengan cara mengalungkan selendang yang disebut dengan sampur kepada pria kemudian diajak untuk menari bersama. Para Tamu pria kemudian menari berpasangan dengan ledhek, seirama dengan iringan gamelan, sesuai dengan gending (lagu jawa) yang dipesan.

Umumnya mereka cuma mendapat bagian jatah satu lagu karena banyak lelaki lain yang menunggu untuk mendapat giliran menjadi pengibing, menari bersamaledek. Lenggak-lenggok tangan dan pinggul ledekmengikuti irama gamelan membius mereka. Lagu yang didendangkan tak melulu gending Jawa seperti Caping Gunung, tapi juga lagu-lagu campur sari dan bahkan lagu dangdut semacam Sinden Panggung. Kendati gendingnya dipungut dari berbagai jenis musik, pengiringnya tetap gamelan.Tari tayub merupakan tarian pergaulan yang disajikan untuk menjalin hubungan sosial masyarakat.

Beberapa tokoh agama islam menganggap tari tayub melanggar etika agama, dikarenakan tarian ini sering dibarengi dengan minum minuman keras. Pada mulanya pelaksanaan Tayuban tidak lebih dari kontes atau pameran keluwesan dan keterampilan menari berpasangan tanpa meninggalkan unggah-ungguh atau sopan santun ketimuran. Karena minum-minuman keras ini sering terjadi persaingaan antara para tamu pria, persaingan ini ditunjukkan dengan cara memberi uang kepada Ledek atau yang lebih dikenal dengan sawer.

(11)

bumi, berwujud turunnya hujan. Orang lelaki disimbolkan sebagai langit, dan wanita menjadi buminya. Itu sebabnya tayub selalu ditarikan laki-laki dan perempuan.

2.3 Perkembangan di Era Sekarang “Penyimpangan”

Tayub pada zaman dahulu, hanyalah sebuah tontonan perlengkapan seremoni nazar bagi warga desa yang kebetulan punya uni alaias nazar. Masyarakat Grobogan meyakini adanya mitos, jika pernah punya nazar, tetapi tidak segera dilaksanakan setelah niatnya tercapai, maka yang bersangkutan akan dirundung malapetaka. Misalnya, ada anggota keluarga yang sakit parah, bahkan sampai meninggal dunia atau dapat pula berubah musibah fatal yang lain.

Sebagai medium pengabulan nazar, diundanglah ledhek untuk menolak musibah yang bakal datang. Selain itu, juga sebagai pengucapan rasa syukur kepada Hyang Widhi atas niat dan maksudnya yang telah terkabul. Lama pertunjukan cukup singkat sekitar 1-2 jam. Konon, mantra-mantra yang diucapkan sang ledhek itulah yang sanggup meredam segala musibah.

Namun, seirama perkembangan seni hiburan di daerah pelosok pedesaan, seni tayub kini berubah fungsi, suasana, dan temponya. Dari fungsinya sebagai perlengkapan seremonial nazar beralih fungsi sebagai hiburan semata. Suasana sakral pun sirna berganti suasana hingar-bingar di tengah musik gamelan yang membubung ditingkah ketipak kendang yang keras membentak. Tempo pertunjukannya pun berlangsung semalam suntuk alias byar klekar seperti hiburan lain pada umumnya.

Pertunjukan tayub yang melibatkan ± lima pria sebagai penayub dengan dua atau tiga ledhek sebagai sripanggungnya, kalau ditata dan diatur nyaris mampu menampilkan suasana paguyuban yang kuyup akan nilai persaudaraan, kerukunan, dan kekeluargaan. Namun, pada akhirnya makna harfiah yang kuyup nilai itu jadi sirna lantaran dibikin sendiri oleh ulah penayubnya yang kadang seronok, hampir-hampir menjurus ke tingkah pornografi.

(12)

Bagi para pemuda yang terampil menari, mereka memilih cara yang pertama dengan mengundang teman-temannya –istilahnya sambatan—untuk bersama-sama menari di tengah pertunjukan. Mereka bebas memilih gending-gending Jawa yang keras dan hingar-bingar dengan suara hentakan kendang yang cukp dominan, seperti gumbul thek, kijing miring, godril, celeng mogok, goyang semarang, dan semacamnya. Sambil menari, mereka mulai bertingkah. Tubuhnya mulai menghimpit, memeluk, bahkan mencium. Penonton dari semua tingkatan usia pun bersorak tempik. Mereka bergumul tanpa malu-malu, meski dilihat oleh sanak saudara dan kerabatnya. Barangkali ini sebagai kompensasi bagi para pemuda desa yang haus hiburan di sela-sela rutinitas kesehariannya yangmaton.tanpa variasi.

Sedangkan, bagi para pemuda yang tak becus menari, cukup dengan ngepos, yakni duduk di kursi panjang sambil memangku sang ledhek. Mereka mirip benar dnegan insan manusia yang tengah dimabuk asmara. Dengan diiringi gending-gending Jawa yang rata-rata halus-romantis, semacam sida asih, lara branta, rujak jeruk, yen ing tawang ana lintang, dan sebagainya, mereka mulai bertingkah seronok seolah-olah benar-benar ingin melampiaskan rupa birahinya yang menggelora.

Bisa dipastikan, apabila ada orang yang mempunyai hajat, jauh-jauh hari mereka mengumpulkan uang. Namun begitu, mengintip pertunjukan tayub Grobogan yang rata-rata menampilkan adegan seronok, perlu diadakan garis kebijaksanaan yang tegas dari pihak yang berwenang, mengingat pertunjukan ini ditonton oleh seluruh lapisan masyarakat tanpa mengenal tingkatan usia. Hal ini bisa menimbulkan dampak negatif yang lebih runyam jika tidak segera mendapatkan uluran kebijakan. Apa kata anak-anak jika melihat sanak saudaranya bergumul bersama ledhek tanpa ada jarak yang memisahkan. Para orang tua seolah meneladani anak-anaknya dengan petingkah yang seronok.

Beranjak dari sisi ini, haruskah pertunjukan tayub yang nyaris hanya memburu segi tontonan dan menihilkan unsur tuntunan, mesti diuri-uri?. Mungkin perlu adanya penegasan yang manusiawi tanpa menyinggung perasaan dan harkat warga desa yang rata-rata lugu dan polos. Paling tidak, jarak antara ledhek dan penayub perlu dibatasi.

(13)

BAB III

PENUTUP

3.1. Kesimpulan

Adapun kesimpulan yang dapat diambil dari uraian-uraian diatas, adalah sebagai berikut;

1. Nilai edukasi yang dapat diambil dari tari tayub ini adalah nilai kebersamaan dari warga desa, kebahagiaan yang tidak hanya dinikmati sendiri tetapi dibagi dengan warga sekitar masyarakat. Sebagai ungkapan rasa syukur dengan mengundang (tanggapan = dalam bahasa jawa) ledek.

2. Seni tayub grobogan yang merupakan warisan budaya Nusantara, yang seharusnya dilestarikan, namun memberikan seni yang menghadirkan citra buruk.

3. Selain itu tari tayub adalah upaya melestarikan budaya dengan cara mengenalkan kepada generasi muda tentang macam-macam budaya jawa, dengan mengubah citra tayub Grobogan menjadi seni yang positif.

3.2. Saran

1. Tari Tayub tetap dipertahankan tapi harus sesuai dengan aturan tayub yangsebenarnya.

2. Menari berpasangan dengan sewajarnya menari berpasangan, menggunakan gending-gending jawa, menggunakan kebaya yang sopan dan tidak tertbuka, menggunakan iringan gamelan yang dari dulu tetap dipertahankan. Tidak perlu dengan dibarengi minum-minuman keras.

(14)

DAFTAR PUSTAKA

http://infopurwodadi.com/2013/10/tayub-grobogan.html

http://sawali.info/2007/12/12/pertunjukan-tayub-di-grobogan-2

http://traditionaljava.wordpress.com/about/perkembangan-musik-iringan-tayub-di-desa-kunden-kabupaten-grobogan-jawa-tengah/

http://entertainment.kompas.com/read/2010/11/27/04314969/Mengembalikan.Eksistensi.Tay ub

https://dewiedena.wordpress.com/2014/01/07/132/

   

Referensi

Dokumen terkait

Berdasarkan dari hasil keseluruhan aspek sumber ide yang telah diamati, ternyata hiasan bordir yang paling tinggi di pusat perbelanjaan di Surabaya Utara yaitu hiasan bordir

Mengenal teks cerita diri/personal tentang keberadaan keluarga dengan bantuan guru atau teman dalam bahasa Indonesia lisan dan tulis yang dapat diisi dengan kosakata bahasa

Tahapan penelitian yang dilakukan pertama adalah identifikasi permasalahan yang ada pada gempabumi dan cuaca pelayaran yang didapatkan dari berita-berita terkait

Penelitian yang dilakukan ini bertujuan untuk mengetahui dan mendeskripsikan bentuk LKS yang digunakan dan kegiatan praktikum yang dilakukan di SMP Negeri 2

Pada sebuah penelitian pada tahun 1978 dikatakan bahwa nitrit dapat mengakibatkan kangker pada tikus percobaan karena pada kondisi tertentu akan terjadi reaksi antara nitrit

Seperti yang dijelaskan oleh De Porter dan Hernacki dalam bukunya Rachmawati dan Daryanto Teori Belajar dan Proses Pembelajaran yang mendidik : ” bahwa orang

Responden ibu hamil yang mempunyai perilaku diet yang negatif dalam pencegahan hiperemesis gravidarum penyebab utamanya ibu hamil mempunyai perilaku diet yang

This work was conducted to study of kaolin modification with sulfonate group and their influence as filler in chitosan matrix on cation exchange capacity, swelling degree