• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kesenian Ebleg sebagai Ekspresi Estetis Masyarakat Jawa Tengah: Kajian Filsafati di Dua Daerah Kebumen dan Brebes

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Kesenian Ebleg sebagai Ekspresi Estetis Masyarakat Jawa Tengah: Kajian Filsafati di Dua Daerah Kebumen dan Brebes"

Copied!
8
0
0

Teks penuh

(1)

Kesenian Ebleg sebagai Ekspresi Estetis Masyarakat Jawa Tengah:

Kajian Filsafati di Dua Daerah Kebumen dan Brebes

Suharto

Universitas Negeri Semarang, Kampus Unnes Sekarann Gunungpati Semarang 50229

Pendahuluan

Kesenian ebleg atau sejenisnya seperti kuda lumping, jatilan, dan kuda kepang sudah dikenal di masyarakat Jawa. Kesenian ini sudah menjadi kesenian Nusantara yang berasal dari Jawa di masa silam yang pekat mistik (ndadi, atau kesurupan) sebagai salah satu daya tariknya. Bahkan, bisa dikatakan di mana saja di dunia, jika ada kelompok orang Jawa, hampir selalu ada grup kuda lumping (Suara Merdeka, 15 September 2012).

Jika dilihat dari properti yang digunakan, bentuk pertunjukan, serta latar belakang makna di balik kesenian ebleg dengan yang lainnya ada kemiripannya. Ebeg dan ketiga jenis kesenian sejenisa para pemainnya/penarinya menggunakan kuda tiruan yang terbuat dari anyaman bambu yang dikepang, kulit binatang/lumping, kemudian menari membentuk formasi tertentu seperti pasukan berkuda, dengan memberikan unsur magis/ atau seperti magis sebagai salah satu daya daya tariknya. Kadang di beberapa daerah seperti Kemumen, Brebes, dan di tempat lain menambah barongan dan penthul sebagai bagian yang tak terpisahkan.

Kesenian ini sudah ada dan terus dilestarikan para pendukungnya secara turun temurun tanpa diketahui siapa dan kapan pertama kali dimainkan. Namun demikian, kesenian ini ada karena masyarakat pendukungnya menganggap kesenian ini adalah bagian dari kehidupnnya sebagai ekspresi estetis, ekspresi kegembiraan, kemarahan, rasa gotong royong, bahkan rasa nasionalisme atau heroisme.

Dari bentuk pertunjukannya kesenian ini mencerminkan ekspresi masyarakat yang egaliter namun juga berjiwa patriotis. Seperti juga kesenian rakyat lainnya kesenian ini tidak bersifat feodal karena justru kesenian ini muncul sebagai penghormatan dan pengabdian rakyat pada pimpinannya (raja). Kesenian ini muncul seolah-olah para pendukungnya sudah menyadari posisi mereka hanyalah sebagai rakyat jelata. Ini bisa dilihat dari makna-makna di setiap bagian-bagian pertunjukannya yang penuh dengan simbolik. Peran Barongan (atau Barong, di Brebes) menyimbolkan seorang raja atau pemimpin yang punya hak untuk menerima uang (upeti) dari

(2)

para penonton, dan peran penthul sebagai simbol penasihat raja, yang walaupun kecil orangnya tetapi sangat dihargai “raja” atau pemain lainnya.

Yang menarik dari seni pertunjukan ini adalah peristiwa ndandi setelah dilakukan ritual bakar dupa. Orang yang melakukan ritual ini pun haruslah orang yang dianggap mumpuni karena ritual ini dianggap para pendukungnya sebagai bagian penting yang tidak main-main. Ritual bakar dupa ini menyimbolkan keyakinan masyarakat Jawa yang dahulu masih percaya pada animism/dinamisme dan ada yang menganut Hindu. Di daerah tertentu sebagai simbol bakti hamba pada Tuhannya sehingga harus berdoa untuk keselamatan. Bahkan, di kesenian Kuda Lumping di Brebes sebagai arena untuk memanggil arwah. Arwah itu bisa berupa arwah leluhur maupun arwah binatang. Sementara di daerah yang masih dekat dengan keraton Surakarta dan Yogyakarta, pembakaran dupa adalah sebagai simbol doa minta bantuan pada jin atau mahluk halus (terutama yang baik) untuk membantu perjuangan seperti dalam cerita pertunjukan itu. Pasukan kuda yang menggambarkan pasukan tentara Mataran yang gagah berani masih harus mendapat bala bantuan dari tentara yang tak terlihat dari “sahabatnya” Nyi Rara Kidul dalam setiap pertempuran. Setidaknya itulah mitos yang diyakini masyarakat Jawa sehingga dalam pertunjukan kesenian ebleg pun diekspresikan dalam adegan bakar dupa itu.

Permasalahan

Dari latar belakang masalah yang digambarkan di atas, kesenian ebleg sebagai salah satu jenis kesenian mengandung banyak makna filosofinya. Apa makna kesenian ebleg dilihat dari segi ontologis, epistemologis, dan aksiologinya?

Pembahasan

Seni seperti halnya ilmu dan agama adalah pengetahuan. Sebagai bagian dari pengetahuan, seni pun memiliki landasan-landasan ontologis, epistomologis, dan aksiologis sebagai bagian-bagian yang tak terpisahkan terutama jika ingin menjelaskan hakikat seni, bagaimana seni itu dimunculkan/diciptakan, dan untuk apa seni itu bagi kehidupan manusia. Estetika sebagai cabang filsafat yang mengkaji seni juga tidak lepas dari tiga landasar tersebut.

(3)

Pengertian seni sering ditafsirkan berbeda-beda, ada yang saling mendukung dan ada yang saling bertentangan. Aristoteles menyebut seni adalah peniruan terhadap alam tetapi sifatnya harus ideal. Plato dan Rousseau, seni adalah hasil peniruan alam dengan segala seginya. Sementara itu Ki Hajar Dewantara menganggap seni sebagai perbuatan manusia yang timbul dari perasaan dan sifat indah, sehingga menggerakan jiwa perasaan manusia. Dan, masih banyak istilah lain yang berhubungan dengan pengertian seni. Jadi hakikat seni tidak lepas dari sifat seni yang dianggap indah, menyenangkan, halus. Namun demikian, karena seni juga bisa berupa hasil peniruan maka seni juga bisa menimbulkan rasa lain seperti ngeri, kagum, dan nikmat.

Wujud perasaan pengamat karya seni adalah perasaan keindahan yang muncul karena melihat karya seni, sehingga menimbulkan rasa kagum, hormat, nikmat, senang, dan menghargai. Hubungan antara karya seni (objek) dan daya tangkap manusia dapat menimbulkan rasa senang, sedih, marah, gembira, ngeri, dan seterusnya.

Ebleg, kuda lumping, kuda kepang, dan jatilan adalah kesenian yang merupakan karya ciptaan manusia yang diserap oleh indera mata, telinga, atau gabungan keduanya. Wujud penciptaan karya seni yang berupa kesenian tersebut merupakan aktivitas kreatif, sebagai pernyataan suatu emosi atau perasaan yang dalam dan mencerminkan ide yang bergejolak. Gejolak itu bisa berupa kebutuhan rohaninya akan pengabdiannya kepada Tuhannya, rajanya, atau ungkapan kebahagiannya. Kesenian ini ada dan terus dipelihara juga karena diyakini memiliki nilai fungsional seperti sebagai penolak bala, bencana, wabah, dan sebagainya. Itulah sebabnya kesenian ini muncul saat ada acara-acara yang bersifat ritual maupun hiburan seperti hajatan, dan acara penyambutan tamu. Bebarapa puluh tahun lalu di daerah Brebes, kesenian kuda lumping digunakan sebagai pengiring upacara melarung ari-ari anak laki-laki yang baru dikhitan. Masyarakat setempat percaya dengan melarung ari-ari ke sungai yang diiringi oleh ”pasukan berkuda” maka sifat-sifat pasukan kuda yang gagah berani akan menurun pada anaknya kelak. Itulah sebabnya, banyak orang tua yang menyimpan ari-ari anak-laki-laki yang baru lahir dengan menggantungnya di atas /langit-langit rumah yang terbungkus rapat di dalam bakul yang kelak akan dilarung di sungai dengan diiringi seni kuda lumping dan diarak keliling desa.

(4)

Menurut Gie (1983) proses terjadinya seni dapat ditinjau dari teori tiru dan teori cipta. Teori tiru berasal dari metafisika. Plato mengatakan bahwa karya seni dibuat manusia hanyalah merupakan mimesis (tiruan) dari realita Ilahi (dunia ide pada taraf tinggi). Schopenhouer menjelaskan bahwa seni merupakan pemahaman suatu realita, sejati atau keinginan (will) yang semesta. Seni dapat dilahirkan jika pikiran diarahkan pada ide-ide dan merenungkannya demi ide-ide itu sendiri. Teori inilah yang melahirkan karya naturalis dan realis, meniru alam setepat-tepatnya (Sumaryadi, 2008).

Jika diamati keempat seni seperti ebleg, jatilan, kuda lumping, dan kuda kepang maka hampir ada kesamaan di dalam penyajiannya, properti yang digunakan, cerita yang melatar belakanginya. Mereka merefleksikan heroisme pasukan berkuda yang muncul dalam gerakan ritmis-dinamis-agresif kuda-kudaan anyaman bambu, atau kulit lembu/lumping (di daerah Brebes), yang menirukan gerak pasukan kuda berperang, menggambarkan pertarungan dengan lawan jahat dengan memadukan olah tari, musik dan magis.

Perbedaan-perbedaan terletak pada gaya, jenis properti yang digunakan dan versi cerita yang melatarbelakanginya. Hal ini karena latar belakang masyarakat pendukungnya memiliki persepsi, pandangan tentang seni tersebut berbeda. Aktivitas mencipta dapat terjadi karena pengaruh gejolak jiwa seniman itu sendiri atau pun pengaruh estetik dari rangsangan luar (melihat, merenungkan sesuatu, dan sebagainya). Fenomena ndadi (kesurupan) bisa dipandang sebagai upaya merefleksikan sebagai ekses dari akibat kita main-main dengan sesuatu yang sakral magis. Tetapi ada juga sengaja memanggil roh-roh leluhur sebagai penghormatan pada roh-roh tersebut agar selalu melindungi para pemain. Dalam ebleg pemanggilan roh para leluhur akan menyebabkan roh yang merasukpun akan bersikap baik baik yang disusupinya. Menurut para pemain ebleg dari Kebumen, kesenian ini adalah akar dari kesenian sejenis sperti kuda lumping, jatilan, dan lain-lainnya. Mereka telah mengembangkan fenomena ndadi/kesurupan ini dengan menyalahgunakan sebagai pertunjukan memanggil arwah baik manusia, binatang, atau jin. Tentu saja ini sangat dipengaruhi oleh sikap guru-pawang masing-masing kelompok yang mengendalikan pertunjukan ini. Dengan dasar magis, seni sejenis ini mempunyai kaidah, pantang larang, pitutur, dan ritual yang berbeda satu kelompok dengan kelompok lainya sehingga kesenian ini menjadi ”eksklusif” dan sangat otonom. Di daerah tertentu pertunjukan trance dengan memperagakan aksi pemain kuda lumping memakan pecahan kaca, menginjak

(5)

bara api, mengupas kelapa dengan mulut, dan lain-lain. Ada juga pemain yang meperagakan seperti binatang melata karena roh yang dipanggil sang pawang adalah roh binatang.

Musik pengiring adalah bagian tak terpisahkan dalam kesenian ebleg dan sejenisnya. Setiap kelompok dapat menyajikannya sesuai dengan fungsi musik dalam pertunjukan tersebut dan juga sesui dengan makna, dan nuansa yang ingin ditunjukannya. Gending yang ditampilkan dalam pertunjukan salah satu grup ebleg Singa Mataram, Kebumen, misalnya, menyimbolkan kitab Sastra Gendhing Sultan Agung Hanyakrasuma yang di dalamnya berisi ilmu politik/pemerintahan dan strateginya. Kitab ini berfungsi sebagai aturan yang telah disepakati dan dijadikan pedoman militer dan pemerintahan di masa Sultan Agung Hanyakrkusuma. Sehingga ini digambarkan dalam kesenian Ebleg semua pemain harus mematuhi dan bergerak sesuai dengan gendhing tanpa terkecuali (Ananda, 2011). Sementara itu di Brebes, musik pengiring hanya berupa satu kempul, seperangkat kendhang Sunda dan slompret. Jumlah instrumen musik pengiring sangat dipengaruhi kelompok dan daerah di mana kelompok kesenian ini berasal. Di Banyumas misalnya, kesenian sejenis ini disebut ebeg, dengan jenis iringan gendhing yang terbuat dari bambu, yang biasa disebut gamelan calung.

Jika dicermati mengapa musik pengiring bisa berbeda-beda dan dihubungkan ceritera yang melatarbelakangi terjadinya kesenian ebleg dan sejenisnya terutama di daerah tersebut maka dapat ditarik benang merahnya. Kesenian ebleg yang merefleksikan pasukan berkuda Raja Mataram, Sultan Agung, memang diceritakan dalam sejarah bahwa Sultan Agung melawan penjajah di Batavia selalu membangun lumbung-lumbung pangan sekaligus sebagai basis pasukan dan tempat istirahat. Di dalam waktu istirahat itulah pasukan itu disambut masyarakat setempat dan sekaligus bersosialisasi. Perasaan bangga, bahagia, dan herosime itu kemudian diekspresikan masyarakat setempat dengan membentuk kesenian ebleg setelah pasukan tersebut meninggalkan daerahnya dengan iringan musik seadanya atau yang dimiliki daerah tersebut. Dengan demikian bentuk iringan atau gendhing atau jenis musik ini sangat tergantung pada musik yang hidup di masyarakat setempat. Masyarakat Brebes misalnya, memang sangat minim dengan alat musik tradisional terutama gamelan, karena letak georafisnya yang jauh dari pusat budaya/keraton di samping terletak di perbatasan dua budaya yang berbeda, budaya Sunda dan Jawa.

(6)

Ditinjau dari segi mediumnya, suatu karya seni memiliki nilai bentuk, nilai indrawi, nilai pengetahuan, dan nilai kehidupan. Berdasarkan nilai-nilai tersebut, seni dapat berhubungan dengan masyarakat, menunjukkan tinggi nilai seni itu kepada pengamat, membuat orang sadar akan realita subjektif, serta pemahaman terhadap segenap tahap kehidupan dan pengetahuan yang terkandung di dalamnya.

Kesenian ebleg, kuda lumping, kuda kepang, atau jatilan adalah kesenian hasil proses budaya setelah mereka para pendukungnya memaknai tentang kesenian itu. Kesenian ini bersifat subyektif karena mereka para pendukung berusaha memberi makna sepenuhnya kepada kesenian ini. Dengan demikian peran para guru-pawang, dan masyarakat pendukung sangat besar untuk menentukan makna yang diciptakannya. Makna ini sangat penting bagi pencipta seni, penanggap, pemain, dan penikmatnya/pendukungnya.

Seni ebleg yang juga sudah bersifat fungsional seperti media untuk tolak bala dalam acara-acara ritual tertentu, persembahan pada Sang Pencipta, dan sekaligus hiburan adalah hasil dari sesuatu yang memang diciptakan atau diharapkan oleh mereka sehingga dengan demikian kesenian ini terus hidup. Sebab, jika sudah tidak fungsional lagi bagi masyarakat pendukungnya maka kesenian itu akan mati dengan sendirinya (Ambarwangi & Suharto, 2004).

Penutup

Ebleg, Ebeg, Reog, Jatilan, Kudang Kepang, Kuda Lumping adalah gambaran atau simbol masyarakat Indonesia, khususnya masyarakat Jawa. Sejak dahulu sampai sekarang simbol itu tidak hilang yang artinya budaya Jawa itu terus eksis sampai sekarang.

Masyarakat Jawa suka berkumpul, bekerjasama, dan toleran. Munculnya nama-nama kesenian itu yang pada hakikatnya sama menunjukan itulah kebiasaan masyarakat Jawa. Di mana pun ada kumpulan komunitas orang Jawa, termasuk di negeri orang, maka di situlah muncul kesenian yang berkarakter orang Jawa, salah satunya adalah Kuda Lumping itu. Yang unik adalah mengapa Kuda lumping dan sejenisnya dan mengapa namanya bermacam-macam. Dalam Kuda lumping banyak mewakili beberapa budaya Jawa dan kepercayaannya seperti sesaji,

kepercayaan pada yang gaib, kebanggaan kepada sejarah bangsanya dan lain-lain. Penunggang kuda yang digambarkan dalam kuda lumping adalah kebanggan masyarakat Jawa dengan

(7)

Sementara itu musik yang mengiringi disesuaikan dengan seni musik tradisi yang hidup di wilayah tersebut.

Reference

Ambarwangi, S., & Suharto, S. (2014). REOG AS MEANS OF STUDENTS’ APPRECIATION AND CREATION IN ARTS AND CULTURE BASED ON THE LOCAL

WISDOM. Harmonia: Journal Of Arts Research And Education, 14(1), 37-45. doi:http://dx.doi.org/10.15294/harmonia.v14i1.2789

Ambarwangi, S., & Suharto, S. (2013). PENDIDIKAN MULTIKULTURAL DI SEKOLAH MELALUI PENDIDIKAN SENI TRADISI. Harmonia: Journal Of Arts Research And Education, 13(1). doi:http://dx.doi.org/10.15294/harmonia.v13i1.2535 Ananda. 2011. “Ebleg Akar Kesenian Kuda Lumping”. http://adisulistyo.wordpress.

com/2011/05/06/ebleg-akar-kesenian-kuda-lumping-ebleg-the-root-of-traditional-kuda-lumping-dancing/

Depdikbud.1983.Materi Dasar Pendidikan Program Akta V, Buku IA Filsafat Ilmu. Jakarta: Depdikbud

Gie, The Liang. 1983. Garis Besar Estetika. Yogyakarta: Supersukses. Hartoko, Dick. 1984. Manusia dan Seni. Yogyakarta: Yayasan Kanisius. Herbert, Read. 1962. The Meaning of Art. London: Faber and Faber.

Mohammad, Goenawan. 1983. Seni dan Teknologi. Kertas kerja pada Simposium Seni Rupa dan Teknologi. Bandung.

Program Akta Mengajar V. 1982/1983. Filsafat Ilmu. Jakarta: Ditjendikti Depdikbud. Sastrapratedja, M. 1983. Manusia Multi Dimensional. Jakarta: Gramedia.

Suara Merdeka. 2012.”Globalisasi Jaran Kepang” Edisi Tanggal 15 September 2012.

Sumaryadi. ”Seni dan Ilmu: sebuah catatan Kecil.” http://soemarjadi.multiply. com/ journal/ item/12 diakses 3 Oktober 2012.

Suharto, S. (2016). Banyumasan Songs As Banyumas People’s Character Reflection. Harmonia: Journal Of Arts Research And Education, 16(1), 49-56. doi:http://dx.doi.org/10.15294/harmonia.v16i1.6460

(8)

Suriasumantri, Jujun S. 1983. Ilmu dalam Perspektif. Jakarta: Gramedia.

---. 1983. Ilmu dalam Perspektif Moral, Sosial, dan Politik. Makalah Inti dalam KIPNAS III, LIPI, Jakarta.

---. 1984. Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Populer. Jakarta: Sinar Harapan. The Encyclopedia Americana, Vol. II, 1974. New York: Americana Corporation.

Wahid, Abdul Kahar. 1979. Apresiasi Seni Sebuah Pengantar. Proyek Peningkatan/Pengembangan Perguruan Tinggi. Ujung Pandang: IKIP Ujung Pandang.

Zen, M.T. 1983. Apa Kata Ganesha. Kertas kerja pada Simposium Seni Rupa dan Teknologi. Bandung.

Referensi

Dokumen terkait

Dari aspek pendapatan dan pengeluaran rumahtangga usahatani kelapa dapat dinyatakan bahwa: Pertama , pendapatan rumahtangga dari luar usahatani kelapa tidak responsif

Sejalan dengan pendapat narasumber, (Sukmadinata dalam Abdul Majid, dalam buku Pembelajaran Tematik Terpadu 2014:183) Untuk menyajikan dan menyampaikan materi

Tujuan penelitian disusun untuk menguji hipotesis yaitu panjang badan lahir, berat badan lahir, usia kehamilan, lama ASI eksklusif, usia pengenalan MP-ASI dan

Kode supplier Completeness Check Field harus terisi (tidak boleh kosong). Redundansi Tes Sistem akan menolak jika

Micro informal economic activity, particularly operated by poor households, will have to deal with challenges to prosper in the future. In this case, poor home-based

Sumbe : Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia No.. Tahapan-tahapan penegakan pelanggaran kode etik yang dilakukan. anggota kepolisian berpedoman pada Peraturan

Write S or A next to each word pair to show whether the words are synonyms (words with a similar meaning) or antonyms (words with opposite meanings).. _____ previous

Penyebaran angket yang peneliti lakukan terhadap 95 responden, tentu memiliki perbedaan karateristik baik itu secara jenis kelamin, usia, banyaknya karyawan di