S K R I P S I
D A R M A D I D E W A N T O
P E R A N A N P O L I S D A L A M
P E R J A N J I A N A S U R A N S I
M l l l K PFRi’uS I A K a A 1>
" U N I V B A i i i A S A 1 R L A N G G A "
S U R A B A Y A
A y , 2 J f J 9 Z
-D u o
F A K U L T A S H U K U M U N I V E R S I T A S A I R L A N G G A
Ya Allah limpahkanlah daku dengan iltau pengetahuan dan hiasilah daku dengan sifat lapang dada dan kesabaran serta muliakanlah daku dengan kesehatan.
(’Aafiat)
Skripsi ini ku persembahkan kehadapan Ayahanda dan Ibunda
P E R A N A N P O L I S
D A L A M
S K RI PSI
D I AJUKAN UNTUK M ELEN GKAPI TUGA3
DAN MEMENUHI SYARAT- SYARAT UNTUK
MENCAPAI GELAR S ARJAN A HUKUM
DI SUSUN O LEH :
D ARM AD I DEW ANTO
0 3 8 8 3 2 8 5 7
FAK ULTAS H UK UM U N I V ERS I T A S AI RLAM GGA SURABAYA
< n n n
D i u j i k a n p a d a h a r i Kam is, 6 Fe b r u a r i 1992
T I H P E N 6 U J I
K e t u a :
S e k r e t a r i s :
A n g g o t a : 1
S K I .oJHL
.
5^Z«BJ-_!3QSE8XOj8«._-S..H*RATA PENGANTAR
Setelah melewati berbagai kesulitan dan hambatan, akhirnya
penyusunan skripsi yang merupakan tugas akhir dalam menempuh
jenjang kesarjanaan di Fakultas Hukum Universitas Airlangga
Surabaya dapat saya selesaikan dengan baik.
Kesemuanya tidaklah akan terwujud tanpa kehendak-NYA.
Karenanya sudah sepatutnyalah puji syukur saya panjatkan atas
segala limpahan rakhmatnya.
Atas bantuan berbagai pihak untuk mewujudkan penulisan
skripsi ini, tidak lupa saya sampaikan terima kasih yang sebesar-
besarnya khususnya kepada :
1. Bapak Samzari Boentoro, S.H., selaku dosen pembimbing yang
telah banyak membina dan mengarahkan untuk terwujudnya
penulisan skripsi ini;
2. Ibu Sri Woelan Azis, S.H., selaku Ketua tim dosen penguji
skripsi ini;
3. Ibu Dra. H. Soendari Kabat, S.H., selaku Sekretaris tim
dosen penguji skripsi ini;
4. Bapak A. Oemar Wongsodiwirjo, S.H., selaku dosen penguji
skripsi ini;
6. Ibu Dra. Ec. Sri Endah Nurhayati Executive Supervisor Agen
pada Asuransi Jiwa Bersama Bumiputera 1912 Kantor Rayon
Manyar Kertoarjo Surabaya, yang telah banyak membantu saya
dalam memperoleh informasi dan data untuk penelitian yang
saya lakukan;
7. Bapak Widodo Marjunanto, S.H. yang telah banyak memberikan
pengarahan dalam penyusunan skripsi ini;
8. Semua pihak yang tidak dapat saya sebutkan satu-persatu yang
telah raeinberikan sumbangan pemikiran baik secara langsung
maupun tidak langsung dalam penyusunan skripsi ini.
Akhirnya saya berharap semoga skripsi ini bermanfaat bagi
masyarakat, walaupun masih terdapat kekurangan disana-sini. Oleh
karena itu saya mengharapkan kritik dan saran dari semua pembaca.
Surabaya, 6 Februari 1992
DAFTAR ISI
halaman
HALAMAN JUDUL ... i
HALAMAN PER3EMBAHAN ...;... ii
HALAMAN PERSETUJUAN ... iii
HALAMAN PENGESAHAN ... ... iv
KATA PENGANTAR ... v
DAFTAR ISI ... vii
BAB I. PENDAKL'LUAN 1. Permasalahan : Latar Belakang dan Rumusannya ... 1
2. Penjelasan Judul ... ... 3
3. Alasan Perailihan Judul ... 4
4. Tujuan Penulisan ... ... ... 6
5. Metodologi : (1) Pendekatan Masalah ... 6
(2) Sumber Bata ... 6
(3) Prosedur Pengumpuian dan Peng-, olahan D a t a ... 7
6. Pertanggungjawaban Sisteniatika... 7
n « n T T T i T l M f P T T i r T O T T \ A X T T>71 * O l * HA T T <“* D r t h i i . b t i u u n , i ol b n v i r c i ' i b u ni . h i i r v u i o 1. Bentuk dan Isi Polis ... . 9
2. Pembuatan Polis ... 15
BAB III. AZAS KONSENSUAL DALAM PERJANJIAN ASURANSI
1. Azas Konsensual ... 20
2. Polis Sebagai Syarat Mutlak Dalam Perjanjian
Asuransi ... . 23
BAB IV. POLIS SEBAGAI DASAR PERJANJIAN ASURANSI
1. Polis Sebagai Akta Perjanjian Asuransi ... 27
2. Polis Sebagai Alat Pefubukti&n .,... 23
3. Terjadinya Resiko Sebelum Polis Ditandatangani,. 32
BAB V. PENUTUP
1, Kesimpulan ... ... 36
2 • Saran ...*... ... 37
DAFTAR BACAAN
r a o h * t • D ^nu nr t r > r v * r n * n u a m n n m n a n r \ r t \
L i A i u r i a r t i H i . r O h i ' i u L ’ i r v u n l n o n u v n r e ; u c v j r t n u r v j L i o / l £ i \ i A . N u u u n u
Untuk Pengisian Surat Penixntaan Asuransi.
LAMPIRAN II : POLIS STANDART KEBAKARAN INDONESIA , PT ASURANSI
CENTRAL ASIA.
LAMPIRAN III : TANDA TERIMA PENYERAHAN FOLIS, FT. ASURANSI CENTRAL
* n t *
rtOi A .
LAMPIRAN IV : POLIS KENDARAAN BERMOTOR INDONESIA, PT ASURANSI
BUMI PUTERA MUDA 1367.
LAMPIRAN V : -POLIS ASURANSI KUMPULAN, ASURANSI JIWA BERSAMA BUMI
ni impn * t n i o
r u i J i a . - i U X 6
LAMPIRAN VI : KUTIPAN SALINAN PUTUSAN MAHKAMAH AGUNG REPUBLIK
! S U R A B /> Y a BAB I
PENDAHULUAN
1. Pejaa3aIatian.j_JLa.taj:_BelaksT^.dfta-Kumusannya.
Seiring dengan perkembangan keberadaan manusia yang demikian
pesat, kemajuan-kemajuan dalam ilmu pengetahuan pada umumnya maupun
segala bentuk tekhnologi terasa terus meningkat. Kesemuanya itu
tidak lain hanyalah dimaksudkan sebagai upaya untuk meningkatkan
kesejahteraan kehidupan manusia pada umumnya.
Pada sisi lain kita patut menyadari pula bahwa segala upaya
manusia tidaklah luput dari kekurangan sebagaimana sifat kodratnya.
Tidak luput pula segala bentuk kemajuan tersebut dengan segala
macam pengamanan-pengamanannya masih belum cukup terjamin
kesempurnaannya, sehingga belum matnpu menutup kemungkinan akan
adanya resiko-resiko yang tidak dikehendaki oleh setiap manusia.
Atas dasar pemikiran itulah, manusia merasakan perlu untuk
mempertimbangkan tentang pentingnya sarana pertanggungan yang dapat
menjamin kesinambungan kehidupan yang layak apabila resiko -yang
tidak dikehendaki tersebut ternyata benar-benar terjadi padanya.
Pertanggungan, yang lazim pula disebut asuransi, di Indonesia telah
diatur dalam Kitab Undang-undang Hukum Dagang (selanjutnya disebut
KUHD) khususnya pada pasal 246 KUHD sampai dengan pasal 308 KUHD
dan pasal 592 KUHD sampai dengan pasal 695 KUHD.
Berdasarkan pasal 255 KUHD, perjanjian asuransi harus
dinyatakan dalam suatu akta yang disebut dengan polis. Didalam
polis itulah dituangkan segala hak dan kewajiban bagi pihak-pihak
pihak tertanggung atau ahli warisnya dapat mengajukan tuntutan
pemenuhan kewajiban untuk membayar sejumlah uang kepada tertanggung
atau ahli warisnya sebagaimana diperjanjikan dalam polis.
Dari ketentuan pasal 255 KUHD tersebut di atas, dapat kita
tarik kesimpulan bahwa polis asuransi adalah merupakan akta dari
perjanjian asuransi yang memuat hak-hak dan kewajiban-kewajiban
dari pihak-pihak dalam perjanjian asuransi. Untuk memahami lebih
jauh sehingga dapat diperoleh garabaran yang jelas dan menyeluruh
tentang polis kiranya perlu dipelajari sacara seksama tentang
bentuk, isi, maupun mekanisme pembuatan polis.
Pada sisi lain, dengan mengingat ketentuan pasal 257 KUHD
yang menyatakan diterapkannya azas konsensual dalam perjanjian
asuransi, maka kiranya patut dipertanyakan pula sampai sejauh mana
perjanjian asuransi harus menggunakan polis.
Sehubungan dengan pasal 257 KUHD itu pula, maka perlu untuk
diketahui dengan pasti sampai sejauh manakah polis dipakai sebagai
dasar dari perjanjian asuransi. Dalam hal ini, tentulah akan
nienjadi persoalan yang rumit apabila dalam suatu perjanjian
asuransi tidak terdapat polis dan ternyata resiko-resiko yang
dipertanggungkan benar-benar terjadi. Dengan dasar apakah
tertanggung atau ahli warisnya dapat mengajukan tuntutan kepada
pihak penanggung.
Dari uraian tersebut diatas, maka dalam penulisan skripsi
ini dapat diambil perumusan permasalahan sebagai berikut :
1. bagaimanakah bentuk, isi, dan mekanisme pembuatan polis ?;
2. apakah dalam setiap perjanjian asuransi harus selalu dibuat
3. sampai sejauh manakah polis dipakai sebagai dasar perjanjian
asuransi ?.
2 . P e iu e la s a i)L _ J -]id u l
Judul yang saya pakai dalam skripsi ini adalah "Peranan
Polis Dalam Perjanjian Asuransi'1.
Kata "Peranan" meneurut W.J.S. Poerwadarminta adalah yang
menjadi bagian1, sedangkan dalam skripsi ini yang dimakdsudkan
dengan peranan adalah bagian yang penting.
Kata "Polis” dalam skripsi ini berarti suatu akta yang
dimaksudkan untuk menuangkan isi dari perjanjian asuransi
sebagaimana dimaksud dalam pasal 255 KUHD.
Dengan demikian, yang saya maksudkan dengan "Peranan Polis"
adalah akta yang berisi tentang hak-hak dan kewajiban dari
tertanggung maupun penanggung.
Kata "Dalam" yang saya maksud dalam skripsi ini adalah
berkaitan dengan, sedangkan kata "perjanjian" menurut pengertian
hukumnya adalah suatu perbuatan seseorang atau untuk mengakibatkan
dirinya terhadap seseorang atau lebih yang lain2, atau dengan kata
lain berarti suatu pengikatan diri dari seseorang atau lebih kepada
seseorang atau lebih yang lainnya.
iW.J.S. Poerwadarminta, Kaaufl— limuJD_&a.ha&a_IMonasia, Cet. VIII, Balai Pustaka, Jakarta, 1985, hal.735.
2 Van Praia adya Puspa, K&flius.Hukua__ Edisi LenxjcaiL_Bahasa
Kata "Asuransi" yang dimaksud disini mempunyai pengertian
sebagaimana dimaksud dalam pasal 246 KUHD, yaitu pada pokoknya
suatu perjanjian dimana penanggung dengan menikmati premi
mengikatkan dirinya kepada tertanggung untuk menjamin dibebaskannya
dari kerugian, baik yang disebabkan karena kehilangan atau
ketiadaan keuntungan yang diharapkan, yang akan menimpa tertanggung
akibat suatu peristiawa tidak pasti.
Secara keseluruhan, judul skripsi ini dapat diartikan
keberadaan polis sebagai bagian yang penting dalam perjanjian
tentang pembebasan kerugian sebagai akibat timbulnya suatu
peristiwa tidak pasti.
Dunia perasuransian bagi masyarakat Indonesia bukanlah
merupakan hal yang baru. Asuransi telah dikenal oleh masyarakat
Indonesia sejak jaman penjajahan kolonial Belanda di Indonesia.
Salah satu bukti nyata telah dikenalnya asuransi oleh masyarakat
Indonesia pada jaman penjajahan pemerintah kolonial Belanda adalah
didirikannya perusahaan asuransi Jiwasraya.
Seiring dengan bertambahnya usia kemerdekaan bangsa
Indonesia, kehidupan perasuransianpun tumbuh berkembang dangan
suburnya, sehingga sebagaimana kita ketahui, pada tahun 1991 ini
seakan-akan telah sulit bagi kita untuk menghitung berapa jumlah
yang pasti dari perusahaan asuransi di Indonesia dengan berbagai
Dalam kaitan dengan permasalahan asuransi ini, terdapat
suatu elemen yang sangat esensial dari perjanjian asuransi yaitu
yang disebut dengan polis.
Sebagaimana diterangkan dalam pasal 255 KUHD, setiap
perjanjian asuransi harus diadakan secara tertulis dengan sepucuk
akta yang -disebut dengan polis. Dengan demikian dapat kita
simpulkan bahwa polis menpunyai perananan yang sangat penting dalam
perjanjian asuransi.
Dalam kerangka hukum asuransi, pembuat undang-undang
memandang perlu untuk memberikan perlindungan hukum yang cukup bagi
pihak tertangggung, agar dalam hal resiko yang dipertanggungkan
benar-benar terjadi, maka pihak tertanggung dapat mengharapkan
terbayarnya klaim asuransi tersebut kepada penanggung, untuk itu
maka tertanggunglah yang diberikan kewenangan sebagai pembuat
polis.
Namun demikian, untuk memenuhi kebutuhan tekhnis
administratif, perusahaan asuransi sebagai pihak penanggung tidak
mungkin menyerahkan pembuatan polis tersebut kepada pihak
tertanggung yang mana umunya adalah masyarakat awam. Karenanya
dalam praktek sehari-hari perusahaaan asuransilah yang selalu
menyediakan polis yang untuk selanjutnya ditandatangani oleh
tertanggung.
Kenyataan praktek demikian tentu akan sengat merugikan bagi
masyarakat (i.e. tertanggung) apabila ketidak pahamannya tentang
peranan polis dalam perjanjian asuransi diabaikan begitu saja,
sehingga harapan akan terbayarnya klaim asuransi tidak dapat
Sehubungan dengan hal tersebut diatas, saya memandang perlu
untuk mengkaji permasalahan tentang peranan polis dalam perjanjian
asuransi, sehingga dapat diperoleh suatu gambaran yang jelas dan
pasti tentang peranan polis dalam perjanjian asuransi, dengan
harapan kajian tersebut dapat menjadi sumbangan pemikiran yang
berguna bagi masyarakat luas.
4. Tujuan..PejiuIi3an
Tujuan utama dalam penulisan skripsi ini adalah untuk
memenuhi salah satu syarat guna mencapai gelar Sarjana Hukum pada
Fakultas Hukum Universitas Airlangga.
Disamping itu, tujuan yang tidak kalah pentingnya adalah
untuk menyumbangkan buah pikiran, khususnya tentang persoalan yang
berkaitan dengan peranan polis dalam perjanjian asuransi, sehingga
dapat berguna bagi masyarakat, setidak-tidaknya sebagai informasi
hukum yang sangat diperlukan bagi masyarakat pada umumnya.
5 . I 'l& .t.0 d .Q l.0 g i
( 1 ). Pendekatan Masalah
Pendekatan masalah yang saya pergunakan dalam penulisan
skrisi ini adalah pendekatan yuridis sosiologis, yaitu dengan
membahas persoalan yang timbul dalam masyarakat dari tinjaauan
hukum, khususnya hukum asuransi.
( 2 }. Sumber Data
Data yang saya pergunakan dalam penyusunan skripsi ini saya
peroleh dari berbagai literatur dan perkuliahan di Fakultas Hukum
( 3 ). Prosedur Pengumpulan dan Pengolahan Data
Perolehan data untuk penulisan skripsi ini saya lakukan
dengan cara mengutip beberapa bahasan permasalahan yang terkait
baik dari literatur maupun dari perkuliahan. Disamping itu,
beberapa data lain saya kumpulkan untuk penulisan skripsi ini
dengan cara melakukan penelitian dan survey serta wawancara dengan
pihak-pihak yang terkait, khususnya perusahaan Asuransi Jiwa
Bersama Bumiputera 1912.
Data yang saya peroleh kemudian saya kumpulkan dengan batas
keterkaitan pada permasalahan yang saya bahas, dengan memepelajari
literatur maupun wawancara. Keseluruhan data tersebut kemudian
saya kelompokkan dalam masing-masing keperluan pada setiap bab
pembahasan, agar tidak terjadi kekacauan pada pembahasan dalaa
setiap bab.
Data-data yang saya peroleh dan terkumpul menurut bata3
keterkaitan pada bab-bab permasalahan kemudian saya analisa dengan
menggunakan metode deduktif yaitu berpangkal tolak dari hal umum
yang bersifat teoritis (dari peraturan perundangan yang beriaku)
untuk kemudian diterapkan pada permasalahan yang kasuistis.
Selanjutnya hasil analisa tersebut sayauraikan secara sistematis
sehingga dapat dipertanggung jawabkan secara ilmiah.
Dalam penulisan skripsi ini, saya meletakkan Bab Pendahuluan
pada Bab I dengan makdud untuk memberikan gambaran secara garis
besar tentang isi keseluruhan dari skripsi ini dengan menguraikan
hal-hal tentang latar belakang, dan rumusan permasalahan,
penulisan, metodeloginya serta dengan menguraikan pertanggung-
jawaban sistematikanya.
Dalam bab II, saya uraikan terlebih dahulu tentang bentuk,
isi, dan pembuatan polis berikut tata cara dan tenggang waktu
penandatanganan polis. Hal-hal yang berkaitan dengan permasalahan
tentang pembuatan polis serta bentuk maupun bentuknya saya bahas
dalam bab II, oleh karena itu pembahasan hal tersebut perlu
diperoleh lebih dulu agar dapat dipakai sebagai landasan pada
pembahasan bab-bab berikutnya.
Demikian pula halnya pada bab III yang membahas tentang azas
konsensual dalam perjanjian asuransi. Permasalahan tentang azas
konsensual ini pada pokoknya membahas tentang keharusan oleh
undang-undang untuk adanya polis bagi perjanjian asuransi tertentu.
Pemahaman mengenai hal ini perlu diperoleh terlebih dahulu untuk
mendasari kajian tentang peranan dari polis sebagai dasar
perjanjian asuransi.
Berdasarkan dari pemahaman tentang bentuk, isi*, serta
pembuatan polis berikut tenggang waktu penandatanganannya, maupun
pemahaman tentang azas konsensual, maka pada bab IV dalam skripsi
ini saya lebih jauh menguraikan tentang peranan polis sebagai dasar
perjanjian asuransi, maupun sebagai akta dari perjanjian asuransi,
maupun sebagai alat pembuktian adanya perjanjian asuransi.
Disamping itu, akan dikaji pula tentang akibat hukum apabila dalam
suatu perjanjian asuransi yang polisnya belum ditandatangani, telah
terjadi resiko..
Akhirnya, saya akhiri penulisan skripsi ini pada bab V
BAB II
BENTUK, ISI, DAN PEMBUATAN POLIS
Sebagaimana kita ketahui, pasal 255 KUHD telah menentukan
keharusan adanya akta dalam setiap perjanjian asuransi, yaitu yang
disebut polis. Namun demikian apabila disimak lebih jauh, maka
seolah-olah terdapat ketidaksesuaian antara pasal 255 KUHD tersebut
dengan pasal 257 KUHD yang pada pokoknya menyatakan bahwa
perjanjian pertanggungan telah terjadi sejak terdapatnya
kesepakatan antara pihak penanggung dengan pihak . tertanggung,
sekalipun polis belum ditandatangani. Berdasarkan pasal 257 KUHD
ini nampak bahwa keberadaan polis bukanlah merupakan syarat mutlak
untuk terjadinya perjanjian asuransi. Perjanjian asuransi itu
sendiri telah sah sejak terdapatnya kesepakatan antara penanggung
dengan tertanggung.
Dengan menyiraak pasal 258 (1) KUHD yang pada pokoknya
menyatakan bahwa polis dapat dipakai untuk membuktikan adanya
perjanjian asuransi, di samping alat bukti yang lain, maka dapat
kita simpulkan bahwa adanya polis bukanlah merupakan syarat mutlak
dari perjanjian asuransi. Namun oleh karena perjanjian asuransi
adalah merupakan perjanjian tentang harta dalam jumlah yang besar,
maka tidaklah berlebihan dan akan lebih bijaksana apabila
penanggung maupun tertanggung selalu membuat polis dalam perjanjian
Dalam hukum asuransi di Indonesia, tidak ada satu peraturan
perundangan yang mengatur tentang bentuk polis secara tegas dan
terinci. Hal tersebut membuka peluang yang sebesar-besarnya bagi
perusahaan-perusahaan asuransi untuk menentukan sendiri bagaimana
bentuk polis bagi perusahaan asuransinya.
Dalam praktek sehari-hari banyak perusahaan asuransi di
Indonesia yang mempergunakan polis standard yang bersifat
internasiona.3 Sebagai contoh penggunaan polis standard
internasional adalah Amsterdam Bourse Fire Policy dan Amsterdam
Bourse Godds Policy for Marine Transport yang kedua-duanya telah
dipergunakan oleh perusahaan-perusahaan asuransi Indonesia.4 Di
samping penggunaan polis standart internasional sebagaimana
dikemukakan di atas, perusahaan-perusahaan asuransi Indonesia juga
telah menggunakan standard polis yang ditetapkan oleh Dewan
Asuransi Indonesia yaitu, Polis Kebakaran Indonesia dan Polis
Kendaraan Bermotor Indonesia.5
Dengan bentuk yang bagaimanapun polis itu dibuat, polis
tetap memuat hak-hak dan kewajiban tertanggung dan penangung. Hak-
hak dan kewajiban tersebut adalah merupakan isi dari polis yang
pada umumnya memuat klausula-klausula yang menjadi dasar ditutupnya
suatu perjanjian asuransi.
3Emmy Panggaribuan Simanjuntak, Hiik3M^ejJ^ggiili^ll_EQii^-Cet. X, Seksi Hukum Dagang Fakultas Hukum Universitas Gajahmada, Jogjakarta, 1990, hal. 21.
Ukid.
Klausula-klausula dasar termaksud di atas seperti misalnya Free
From Particular Avarage (FFA) yang berarti pembebasan bagi
penanggung terhadap tanggung jawab untuk membayar ganti rugi kapada
tertanggung sebagi akibat terjadinya sebab-sebab tertentu.
Disaraping itu dikenal pula klausula With Particular Avarage (WPA)
yaitu pembebanan bagi penanggung terhadap ganti rugi sebagai akibat
terjadinya peristiwa yang ditimbulkan oleh sebab khusus.
Selanjutnya dikenal pula adanya klausula All Risk yaitu, penanggung
berkewajiban untuk membayar seluruh kerugian yang diderita oleh
tertanggung (jadi bukan sebagian dari kerugian yang diderita), dan
atau penanggung bertanggung jawab untuk membayar seluruh kerugian
yang timbul akibat dari peristiwa apapun, kecuali karena
kesengajaan yang dilakukan oleh tertanggung sendiri.
Pasal 256 (KUHD) menentukan bahwa dalam setiap polis
asuransi harus dimuat adanya 8 hal sebagai berikut :
1. hari pertanggungan dibuat;
2. nama orang yang mengadakan pertanggungan, untuk dirinya
sendiri atau pihak ketiga;
3. rumusan yang jelas tentang benda yang dipertanggungkan;
4. jumlah dipertanggungkan;
5. bahaya yang dipertanggungkan;
6. jangka waktu pertanggungan;
7. premi;
8. keterangan tambahan bagi penanggung dan janji-janji
khusus.
Sedangkan menurut pasal 256 pada ayat 2 KUHD ditentukan pula satu
S i R ^ B ^ V A 1 2
Isi polis sebagaimana disebutkan pada pasal 256 tersebut di
atas adalah merupakan syarat-syarat umura yang harus dipenuhi untuk
suatu polis pada semua jenis asuransi. Sedangkan disamping syarat
umum tersebut diatas masih terdapat syarat-syarat khusus yang
berlaku terhadap polis dari jenis-jenis pertanggungan tertentu.
Khusus untuk polis kebakaran diharuskan adanya syarat-syarat
tambahan sebagaimana diatur dalam pasal 287 KUHD. Syarat-syarat
tambahan tersebut adalah sebagai berikut :
1. letak dan perbatasan dari benda-benda yang diper-
tanggungkan;
2. pemakaiannya;
*
3. sifat pemakaian gedung yang berbatasan dengan benda yang
dipertanggungkan, apabila hal tersebut berpengaruh ter
hadap benda yang dipertanggungkan;
4. harga benda yang dipertanggungkan;
5. letak dan batas-batas dari gedung-gedung atau tempat-
tempat untuk meletakkan, menyimpan atau menimbun barang-
barang bergerak yang dipertanggungkan.
Syarat -syarat tambahan yang harus terdapat dalam polis
perjanjian pertanggungan hasil pertanian diatur dalam psal 299
KUHD. Syarat-syarat tersebut adalah sebagai berikut :
1. letak dan batas tanah yang hasilnya dipertanggungkan;
2. pemakaian.
Syarat kedua tentang pemakaian ini dimaksudkan untuk mengetahui
dengan cara yang sungguh-sungguh dan dapat dipertanggungjawabkan
untuk mendatangkan hasil yang baik atau tidak.
Persyaratan khusus untuk isi polis pada pertanggungan jiwa
ditetapkan dalaa pasal 304 KUHD sebagai berikut :
1. hari pertanggungan diadakan;
2. nama tertanggung;
3. nama orang yang jiwanya di pertanggungkan;
4. jangka waktu pertanggungan;
5. jumlah pertanggungan;
6. premi.
Pada pasal sub 3 pasal 304 KUHD ini terdapat satu hal khusus
yang tidak ada pada jenis asuransi yang lain, yaitu orang yang
jiwanya dipertanggungkan. Dalam hal ini pihak-pihak dalam
perjanjian asuransi hanyalah tertangung dengan penanggung.
Tertanggung menpunyai kewajiban untuk membayar premi, sedangkan
penanggung berkewajiban membayar klaim tertanggung. Klaim atau
tuntutan tertanggung didasarkan pada jiwa dari orang lain yang
dipertanggungkan, Apabila orang lain yang di pertanggungkan oleh
tertanggung tersebut meninggal dunia, maka tertanggung berhak
menuntut pembayaran pertanggungan kepada penanggung.
Khusus untuk polis pada pertanggungan terhadap bahaya laut
menurut pasal 5S2 KUHD diharuskan menyebutkan syarat-syarat khusus
sebagai berikut :
1. nama nakhoda, nama kapal, jenis kapal, apakah kapal ter
sebut terbuat dari kayu cemara, atau persyaratan bahwa si
2. tempat pembuatan barang;
3. pelabuhan pemberangkatan;
4. pelabuhan tempat pembuatan atau tempat pembongkaran;
5. pelabuhan tempat kapal harus masuk;
6. tempat mulai terjadinya bahaya;
7. nilai kapal yang dipertanggungkan.
Pada pasal 686 KUHD ditentukan adanya syarat-syarat khusus
untuk polis pada pertanggungan pengangkutan darat dan sungai dengan
rincian sebagai berikut :
1. batas waktu akhir perjalanan, bilamana hal ini ditentukan
dalam surat angkutan;
2. apakah perjalanan harus dilanjutkan terus-menerus atau
tidak;
3. nama nakhoda, pengangkut, atau ekspeditur yang telah mem-
borong pengangkutan.
Disamping ketentuan-ketentuan tambahan pada isi polis untuk
jenis asuransi-asuransi tertentu sebagai tersebut diatas, masih
terdapat beberapa ketentuan tentang hal-hal yang harus disebutkan
dalam polis pada semua perjanjian asuransi dengan ancaman batal.
Ketentuan-ketentuan tersebut adalah sebagai berikut :
1. pasal 272 KUHD, mengenai pertanggungan dengan nama
tertanggung;
dapat membebaskan penanggung dari segala kewajibannya untuk
waktu yang akan datang;
2. pasal 280 KUHD, mengenai tertanggung yang mempertanggungkan
sesuatu benda lalu mempertanggungkan benda yang sama itu
3* pasal 603 KUHD, nsengenai pertanggungan atas kapal-kapal dan
barang-barang yang sudah berangkat dari tenipat dari mana
bahaya seharusnya mulai berjalan;
4. pasal 606 KUHD, mengenai pertanggungan terhadap kapal yang
belua berada di' tempat darimana bahaya seharusnya mulai
berjalan;
5. pasal 615 KUHD, mengenai pertanggungan atas sesuatu
keuntungan yang diharapkan akan didapat.6
2. Eemb.uatm^P-Qlis
Sebagaimana telah disebutkan pada bagian pendahuluan,
pembuat undang-undang menunjuk undang-undang, (dalam hal ini pasal
259 KUHD) raenunjuk tertanggung sebagai pembuat polis. Polis yang
dibuat tertanggung tersebut diajukan kepada penanggung untuk
ditandatangani. Selanjutnya sesudah polis ditandatangani oleh
penanggung, polis tersebut harus diserahkan kembali kepada
tertanggung dalam waktu 24 jam.
Tujuan pembentukan undang-undang dalam menetapkan tertanggung
sebagai pembuat polis adalah untuk memberikan perlindungan hukum
bagi tertanggung yang pada umumnya awam hukum, dan yang keadaan
sosial ekonominya pada umumnya lebih rendah daripada penanggung.
Selanjutnya sesudah polis ditandatangani oleh penanggung, dalam
hal perjanjian asuransi dibuat secara langsung antara penanggung
6H.M.N. Poerwosutjipto, Eengsxtian__£oMk--^EuimiD.__H&gmg
dengan tertanggung, polis tersebut harus dikembalikan kepada
tertanggung dalam waktu 24 jam.
Dalam hal perjanjian asuransi dibuat dengan perantaraan
makelar, maka tenggang waktu pengembalian polisnya adalah 8 hari
sejak ditandatangani,
Apabila dalam pengembalian polis tersebut terjadi
keterlasibatan karena kelalaian penanggung, maka penanggung harus
bertanggungjawab atas tuntutan ganti rugi tertanggung sebagai
akibat dari kelalaiannya tersebut.
Dalam praktek yang diterapkan oleh perusahaan-perusahaan
asuransi, polis tidaklah dibuat oleh tertanggung malainkan oleh
penanggung. Apabila disimak lebih jauh, nampaknya penerapan
praktek demikian mempunyai alasan yang cukup -wajar, oleh karena
sebagairaana telah ditentukan di atas, pihak tertanggung pada
umumnya adalah mereka yang awam hukum uan mempunyai strata sosial
ekonomi yang lebih rendah daripada penanggung, sedangkan perusahaan
asuransi sebagai penanggung mempunyai kemampuan yang meniadai untuk
keperluan pembuatan polis. Dengan demikian, wajar apabila pembuatan
polis tersebut diserahkan penanganannya kepada pihak penanggung,
Untuk tidak mengurangi jaminan perlindungan hukum bagi
tertanggung, seyogyanya tertanggung memperoleh kesempatan yang
cukup untuk mempelajari dan memberikan koreksi bilamana perlu,
terhadap polis yang telah dibuat oleh penanggung tersebut.
Namun demikian dalam praktek pelaksanaannya tertanggung tidak
diberi kesempatan yang cukup untuk mempelajari polis. Sebagai
contoh dapat dikemukakan di sini keterangan Dra. Ec. Sri Endah
Bumiputera 1912 kantor Rayon Manyar Kertoarjo, yang antara lain
mengatakan :
Setelah calon tertanggung sepakat untuk menutup perjanjian asuransi, premi pertama dibayar oleh tertanggung; segera setelah itu polis ditandatangani penanggung dan kemudian diserahkan kepada tertanggung; hal-hal yang berkaitan dengan tekhnis pertanggungan serta hak dan kewajiban tertanggung disampaikan oleh agen melalui wawancara, maupun proposal sebelum surat permintaan dibuat;7
Metode pembuatan polis yang dikenal dalam hukum asuransi di
Indonesia adalah metode tradisional dan metode atau pendekatan
semua resiko (all risk approach).
Dalam pendekatan tradisional, polis asuransinya dibuat dengan
merinci bahaya-bahaya yang dipertanggungkan penanggung dan
tertanggung. Dalam metode atau pendekatan tradisional ini para
pihak bebas menentukan apa saja bahaya yang dipertanggungkan,
termasuk segala bahaya-bahaya oleh undang-undang telah dengan
tegas-tegas dilarang dipertanggungkan. Sebagai contoh bahaya-
bahaya yang tidak boleh dipertanggungkan menurut undang-undang
adalah bahaya sebagai akibat kesalahan sendiri atau bahaya-bahaya
akibat cacat sendiri,
Pada pendekatan semua resiko, polis asuransi tidak berisi
uraian tentang bahaya-bahaya yang dipertanggungkan, melainkan
berisi tentang bahaya-bahaya yang tidak dipertanggungkan.
Penanggung bertanggung jawab terhadap semua resiko atau bahaya
bahaya yang timbul pada tertanggung, kecuali terhadap bahaya-bahaya
yang disebutkan secara terinci dalam polis.
H.M.N. Purwosutjipto memberikan istilah pada pendekatan
tradisional dengan cara negatif, dan pendekatan all risk (semua
resiko) dengan cara positif.8
Secara tegas pasal 256 ayat 2 KUHD menyatakan bahwa, setiap
polis asuransi harus ditandatangani oleh penanggung. Setelah polis
asuransi ditandatangani oleh penanggung, raaka polis tersebut harus
segera diserahkan kepada tertanggung.
Undang-undang telah menyatakan dengan tegas bahwa dalam hal
perjanjian asuransi dibuat secara langsung antara tertanggung atau
kuasanya dengan penanggung, tenggang waktu yang diperkanankan
antara pengajuan penandatanganan polis, dan penyerahannya kembali
kepada tertanggung adalah 24 jam. Dalam hal ini perlu diingat
bahwa bentuk undang-undang menganggap bahwa pembuat polis adalah
tertanggung dan karenanya polis tersebut diajukan oleh tertanggung
kepada penanggung. Setelah penanggung menyetujui ketentuan-
ketentuan yang merauat dalam polis, maka penanggung berkewajiban
menandatangani polis tersebut, dan segera menyerahkan kembali
kepada tertanggung.
Dalam hal perjanjian asuransi dibuat antara tertanggung
dengan penanggung dengan melalui seorang perantara atau makelar,
maka tenggang waktu yang diperkenankan adalah 8 hari sejak
perjanjian asuransi ditutup.
1 8
Tampaknya ketentuan tentang tenggang waktu pengembalian polis
kepada tertanggung ini dalam praktek tidak diterapkan sebagaimana
mestinya oleh penanggung.
H.M.N. Purwosutjipto menyatakan bahwa :
Sedangkan waktu, kapan polis itu harus dikembalikan kepada tertanggung menurut para penanggung di Jakarta, tidak perlu ditentukan batas waktunya, sebab penanggung akan berusaha secepat
mungkin mengembalikan polis itu kepada tertanggung. Saya
berpendapat bahwa pembatasan waktu' sebagai ditetapkan oleh pasal 259 KUHD dan 260 KUHD tidak mempunyai keburukan-keburukan, malahan saya berpendapat bahwa pembatasan waktu itu perlu bagi tertanggung yang menghadapi seorang penanggung yang kurang bertanggung jawab terhadap pengembalian polis itu kepada tertanggung.9
Mengenai tenggang waktu penyerahan polis kepada tertanggung,
Asuransi Jiwa Bersama Bumiputera 1912 menerapkan sistem sebagai
berikut ;
Setelah premi pertama dibayar, surat permintaan ditandatangani
calon tertanggung, penanggung menandatangani polis kemudian
menyerahkannya kepada tertanggung dalam jangka waktu lebih kurang dua minggu.10
Dengan menyimak pandangan H.M.N. Purwosutjipto tersebut
diatas, kiranya perlu dipikirkan upaya-upaya untuk mewujudkan
perlindungan hukura bagi masyarakat yang berkedudukan atau akan
berkedudukan sebagai tertanggung, misalnya dengan memberikan
kewenangan kepada Dewan Asuransi Indonesia untuk memberikan sanksi-
sanksi tertentu kepada perusahaan asuransi yang melanggar ketentuan
pasal 259 KUHD dan 260 KUHD tersebut di atas.
9IMd. hal. 63.
BAB III
AZAS KONSENSUAL DALAM PERJANJIAN ASURANSI
I. A&aaJfonsensH&l
Perjanjian asuransi sebagaimana lazimnya perjanjian pada
umumnya, tunduk pada ketentuan tentang perjanjian sebagaimana
dimaksud pada pasal 1320 Kitab Undang-undang Hukum Perdata
(selanjutnya disebut KUH Perdata).
Pasal 1320 KUH Perdata ini adalah merupakan ketentuan dasar
dari segala bentuk perjanjian. Dalam pasal tersebut diuraikan
adanya 4 syarat pokok untuk adanya perjanjian, yaitu :
a. kesepakatan pihak-pihak;
b. kecakapan pihak-pihak;
c. suatu hal tertentu;
d. causa yang diperbolehkan.
Dengan menunjuk pada syarat kesepakatan pihak-pihak (sub a
pasal 1320 KUH Perdata) dapat disimpulkan bahwa bentuk perjanjian
menurut pasal 1320 KUH Perdata menganut azas konsensual.
Azas konsensual dalam suatu perjanjian adalah suatu azas
yang menyatakan bahwa suatu perjanjian dianggap telah terjadi sejak
terdapatnya kesepakatan atau konsensus antara pihak-pihak yang
mengikatkan dirinya dalam perjanjian.
Dalam kaitan' dengan hukum asuransi, tampaknya pembuat
undang-undang merasa perlu untuk mempertegas azas apa yang dianut
tegas pada pasal 257 KUHD yang pada pokoknya menyatakan bahwa
perjanjian asuransi telah ada sejak terjadinya kesepakatan, bahkan
sebeluro polis ditandatangani.
Apabila disimak ketentuan yang terurai dalam pasal 255 KUHD,
dapat disimpulkan bahwa setiap perjanjian asuransi harus dituangkan
secara tertulis dalam bentuk polis.
Ketentuan dalam pasal 255 KUHD ini seakan-akan memberikan syarat
mutlak adanya polis dalam setiap perjanjian asuransi. Namun
demikian, oleh karena dalam ketentuan pasal 255 KUHD tersebut tidak
dicantumkan syarat batal apabila ketentuan untuk adanya polis
dilanggar, maka dapat disimpulkan bahwa polis tersebut bukan
merupakan syarat mutlak untuk terjadinya perjanjian asuransi.
Dengan mengkaitkan pada ketentuan pasal 257 KUHD, maka tidak ada
satu keraguanpun untuk menyatakan bahwa dalam perjanjian asuransi
tidak diterapkan azas konsensual, sehingga hak-hak dan kewajiban
pihak-pihak dalam perjanjian dimaksud dianggap telah ada dan harus
dipenuhi sejak terdapatnya kesepakatan, meskipun hak-hak dan
kewajiban tersebut belum dituangkan dalam polis.
Menurut H.M.N. Purwosutjipto, keharusan adanya polis sebagaimana
diatur dalam pasal 255 KUHD lebih dititik beratkan pada fungsi
polis sebagai alat pembuktian.11
Dalam hal ini H.M.N. Purwosutjipto mendasarkan daiilnya pada
ketentuan yang tertuang dalam pasal 258 (1) KUHD yang pada pokoknya
menyatakan bahwa untuk membuktikan adanya perjanjian asuransi
diperlukan adanya bukti tertulis, dengan tidak menutup kemungkinan
dipakainya alat bukti lain asalkan sudah ada bukti permulaan dengan
tulisan.
Berkaitan dengan dianutnya azas konsensual dikenal adanya
dua permulaan dalam perjanjian asuransi, yaitu permulaan formil dan
permulaan materiil.
Permulaan formil adalah saat terbentuknya konsensus yang
merupakan syarat mutlak terbentuknya perjanjian asuransi.
Permulaan materiil adalah saat mulai dilaksanakannya hak-hak dan
kewajiban pihak-pihak.
Timbulnya perbedaan antara permulaan formil dan permulaan
materiil ini disebabkan adanya kehendak dari pihak-pihak untuk
menentukan sendiri jatuh tempo atau saat dimulainya pelaksanaan hak
dan kewajiban pihak-pihak, Dalam hal ini, sekalipun perjanjian
asuransi dianggap telah terjadi sejak terjadinya kata sepakat
diantara pihak-pihak sebagaimana ditentukan dalam azas konsensual,
namun pihak-pihak dapat menentukan sendiri saat dimulainya
pelaksanaan hak dan kewajiban masing-masing pihak. Sebagai contoh,
pihak-pihak dapat menentukan sendiri dimulainya pelaksanaan hak dan
kewajiban pihak-pihak sejak dibayarnya premi pertama, atau sejak
diserahkannya polis.
Apabila pihak-pihak menentukan sendiri saat dimulainya
pelaksanaan hak dan kewajiban, maka saat yang ditentukan dan
diperjanjikan secara tersendiri tersebut disebut dengan permulaan
materiil, sedangkan permulaan formilnya adalah sejak terdapatnya
Apabila pihak-pihak tidak menentukan secara tersendiri kapan
dimulainya pelaksanaan hak dan kewajiban, maka permulaan formil dan
permulaan materiilnya adalah sama, yaitu sejak terjadinya
kesepakatan diantara pihak-pihak.
Sebagaimana telah diuraikan dalam pembahasan tentang azas
konsensual, perjanjian asuransi dianggap telah ada sejak dicapainya
kesepakatan oleh pihak-pihak, sedangkan polis bukanlah serupakan
syarat mutlak dalam perjanjian asuransi.
Namun demikian, tidaklah dapat diartikan bahwa semua
perjanjian asuransi menganut azas konsensual; oleh karena dalam
kenyataannya masih terdapat perjanjian asuransi-perjanjian asuransi
tertentu yang mengharuskan adanya polis.
Perjanjian asuransi yang mengharuskan adanya polis secara
mutlak dengan ancaman batal adalah perjanjian asuransi sebagaimana
dimaksud dalam pasal 272 KUHD, 280 KUHD, S03KUHD, 606 KUHD dan 615
KUHD.
Berdasarkan pasal 272 KUHD, tertanggung dapat meng-
asuransikan untuk yang kedua kalinya atas waktu yang sama dan untuk
resiko yang sama pula.
Apabila tertanggung membebaskan penanggung pertama untuk
waktu yang akan datang dari kewajibannya kepada tertanggung dengan
putusan pengadilan, maka putusan pengadilan tentang pembebasan
kewajiban kepada penanggung pertama tersebut harus dimuat dalam
polis sehingga penanggung kemudian mengetahui dan menyetujui
pemuatan dalam polls perjanjian asuransi kemudian tersebut adalah
merupakan kewajiban (keharusan) mutlak. Apabila hal tersebut
diatas tidak dimuat dalam polis, maka perjanjian asuransi dianggap
tidak pernah ada. Dengan demikian maka dapat disimpulkan bahwa
perjanjian asuransi yang diatur dalam pasal 272 KUHD harus dibuat
dengan polis. Tanpa dibuatnya polis, perjanjian asuransi tersebut
dianggap tidak pernah ada.
Pada perjanjian asuransi yang mempertanggungkan suatu benda
kepada dua penanggung sekaligus sebagaimana diniaksud dalam pasal
280 KUHD juga harus dibuatkan polis.
Dalam hal ini, keharusan adanya polis adalah pada perjanjian
asuransi yang kemudian. Keharusan adanya polis tersebut disebabkan
karena tertanggung berkewajiban menyatakan dengan tegas bahwa
penanggung yang kemudian berkewajiban memenuhi tuntutan tertanggung
hanya apabila penanggung terdahulu tidak memenuhi kewajibannya.
Pernyataan bahwa tertanggung hanya dapat melakukan haknya terhadap
penanggung yang kemudian bilamana tertanggung tidak dapat menuntut
kerugian kepada penanggung yang terdahulu tersebut harus dituangkan
dalam polis. Oleh karena keharusan tersebut dilekatkan dengan
ancaman batal, maka dapat disimpulkan bahwa polis tersebut harus
ada dalam perjanjian asuransi sebagaimana diatur dalam pasal 280
KUHD. Apabila perjanjian asuransi tersebut dibuat tanpa polis,
maka perjanjian asuransi demikian dianggap tidak pernah terjadi.
Pada pasal 603 KUHD, ditentukan adanya keharusan pembuatan
polis dalam perjanjian asuransi untuk kapal-kapal dan barang-barang
yang sudah berangkat dari tempat' dimulainya kemungkinan timbulnya
resiko yang dipertanggungkan. Folis untuk asuransi demikian harus
memuat tentang saat yang tepat dari keberangkatan kapal atau dari
pengangkutan barang-barang atau dalam hal tidak dapat diketahui
tentang saat pemberangkatannya, maka ketidak tahuan tertanggung
harus dinyatakan tegas dalam polis, kesemuanya dengan ancaman
batal.
Tidak dibuatnya polis dalam perjanjian asuransi sebagaimana
dimaksud dalam pasal 603 KUHD tersebut sama halnya dengan tidak
dinyatakannya saat pemberangkatan maupun ketidak tahuan tertanggung
tentang saat pemberangkatan. Karenanya tidak adanya polis dalam
asuransi demikian dapat membatalkan perjanjian asuransinya.
Disamping pasal 272 KUHD) 280 KUHD dan 603 KUHD, keharusan
adanya polis juga beriaku bagi pasal 606 KUHD dan 615 KUHD.
Dalam pasal 606 KUHD ditentukan bahwa untuk asuransi
terhadap kapal yang belum berada ditempat yang diperjanjikan
sebagai tempat dimulainya pertanggungan, harus dibuatkan polis yang
menguraikan dengan tegas mengenai keadaan itu atau mengenai ketidak
tahuan tertanggung tentang keadaan itu. Tanpa adanya polis yang
menguraikan hal-hal tersebut diatas, perjanjian asuransi tersebut
batal.
Dalam pasal 615 KUHD ditentukan bahwa keharusan adanya polis
beriaku bagi pertanggung atas keuntungan yang diharapkan. Dalam
perjanjian asuransi demikian harus dibuat polis yang memuat tentang
penganggaran laba yang diharapkan serta penyebutan khusus dari
barang-barang yang dipertanggungkan.
Tanpa penyebutan hal diatas pada polis, maka asuransi
Dari uraian diatas, dapat diambil satu kesimpulan barang
dalam perjanjian asuransi berlaku azas konsensual kecuali terhadap
perjanjian asuransi-perjanjian asuransi sebagaimana diatur dalam
pasal 272 KUHD, 280 KUHD, 603 KUHD, 606 KUHD dan 615. KUHD.
Sekalipun Undang-Undang menetapkan azas konsensual dalam
asuransi, tidaklah berlebihan apabila didalam praktek perasuransian
sebagaimana terjadi dewasa ini dalam perjanjian asuransi selalu
dibuat polis.
BAB IV
POLIS SEBAGAI DASAR PERJANJIAN ASURANSI
1.
Fungsi polis sebagai akta dari perjanjian asuransi telah
dirumuskan secara tegas pada pasal 255 KUHD. Dalam uraian pasal
255 KUHD ditegaskan bahwa setiap perjanjian asuransi harus dibuat
secara tertulis dalam suatu akta yang disebut polis. Perumusan
pasal 255 KUHD secara tegas menyebutkan adanya suatu akta yang
berbentuk polis. Secara a contrario peristilahan akta yang
berbentuk polis dapat diartikan bahwa polis adalah merupakan akta
dari perjanjian asuransi.
Polis merupakan akta dari perjanjian asuransi tersebut
memuat segala hak dan kewajiban penanggung dan tertanggung.
Pada bab terdahulu telah diuraikan bahwa salah satu unsur
penting yang tidak dapat dikesaapingkan dalam polis adalah adanya
keterangan tambahan bagi penanggung dan janji-janji khusus
sebagaimana disebutkan pada pasal 256 (1) sub 8 KUHD. Janji-janji
khusus termaksud diatas adalah segala hak dan kewajiban tertanggung
dan penanggung serta ketentuan dan atau syarat-syarat yang terkait
pada pelaksanaan hak dan kewajiban tertanggung dan penanggung.
Ketentuan dan syarat-syarat sebagaimana tersebut dalam akta
yang disebut polis adalah merupakan dasar dari perjanjian asuransi.
Ketentuan dan syarat-syarat tersebut biasanya telah tercetak dalam
terhadap keteledoran tertanggung,12 yaitu tertanggung lalai untuk
membaca ketentuan dan syarat-syarat diatas. Akibatnya tertanggung
merasa dirugikan pada saat tuntutan ganti ruginya tidak dapat
dikabulkan penanggung oleh karena telah diatur demikian dalam
syarat-syarat dan ketentuan-ketentuan dalam akta (polis).
Kasus yang terjadi pada P.T. Maskapai asuransi Nasuha dalam
perkara nornor 3726K/Pdt/1985 tertanggal 30 Juni 1987 yang telah
diputus Mahkamah Agung Republik Indonesia menunjukkan contoh nyata
terjadinya keteledoran tertanggung dan ahli warisnya dalam memahami
ketentuan dan syarat-syarat yang tertuang dalam polis.
Dalam kasus asuransi Nasuha ini, telah diperjanjikan dalam
polis sebagai akta perjanjian bahwa tertanggung dan atau ahli
warisnya mempunyai hak untuk mengajukan tuntutan daiara waktu 3
(tiga) bulan sejak terjadinya resiko. Namun oleh karena ketentuan
dalam polis tersebut diuraikan daiara bahasa Inggris yang tidak
mudah dipahami oleh ahli waris tertanggung, maka ahli waris
tertanggung tidak dapat mengajukan tuntutannya sesuai dengan
ketentuan waktu yang disepakati oleh tertanggung dan penanggung.
Ketentuan tentang tenggang waktu mengajukan tuntutan yang
tertuang dalam polis pada kasus diatas merupakan dasar dari
tertanggung atau ahli warisnya untuk mengajukan tuntutan hukura.
Dalam hal ini fungsi polis sebagai akta dari perjanjian asuransi
tarapak jelas oleh karena ketentuan,dalam polis tersebut menjadi
dasar tuntutan dari tertanggung.
2 8
Dengan menyimak contoh kasus diatas, dapat diperoleh suatu
gambaran nyata bahwa polis sebagai akta dari perjanjian asuransi
raerailiki fungsi yang cukup menentukan untuk dapat dilaksanakannya
hak-hak dan kewajiban masing-masing pihak.
Pada pembahasan terdahulu telah diuraikan dengan jelas bahwa
polis adalah merupakan 3uatu akta dari perjanjian asuransi.
Disamping sebagai akta perjanjian, berdasarkan ketentuan pasal 258
(1) KUHD polis juga dapat berfungsi sebagai alat pembuktian tentang
adanya perjanjian asuransi.
Fasal 258 (1) KUHD menyatakan pada pokoknya bahwa untuk
raerabuktikan telah ditutupnya suatu perjanjian asuransi, diperlukan
pembuktian dengan tulisan, namun demikian alat pembuktian yang lain
dapat juga dipakai apabila sudah ada permulaan pembuktian dengan
tulisan.
Mengenai pengertian permulaan pembuktian dengan tulisan,
tidak lepas kaitannya dengan ketentuan pasal 1902 (2) KUH Perdata
yang pada pokoknya menyatakan bahwa yang dinamakan permulaan
pembuktian dengan tulisan adalah segala akta tertulis yang berasal
dari orang terhadap siapa tuntutan diajukan, atau dari orang yang
diwakili olehnya, dan yang memberikan dugaan tentang benarnya
peristiwa-peristiwa yang diajukan oleh salah satu pihak.
Ketentuan dalam pasal 258 (1) KUHD diatas sekaligus
menunjukkan bahwa disamping polis, dimungkinkan adanya alat bukti
adanya perkecualian yang diberlakukan pasal-pasal 272 KUHD, 280
KUHD, 603 KUHD, 606 KUHD dan 615 KUHD, maka ketentuan pasal 258 (1)
KUHD tidak dapat diberlakukan terhadap pasal-pasal perkecualian
diatas. Dalam hal ini, satu-satunya alat bukti tentang adanya
perjanjian asuransi bagi pasal-pasal 272 KUHD, 280 KUHD, 603 KUHD,
606 KUHD dan 615 KUHD adalah polis, oleh karena apabila tidak
terdapat polis dalam perjanjian asuransi sebagaimana dimaksud dalam
pasal-pasal diatas, perjanjian asuransi tersebut dianggap tidak
pernah ada.
Dengan mengingat pandangan pembuat undang-undang bahwa polis
dibuat oleh tertanggung dan ditandatangani oleh penanggung (pasal
256 KUHD}, maka tampak jelas bahwa fungsi alat pembuktian pada
polis dimaksudkan untuk kepentingan tertanggung. Hal ini
dimaksudkan untuk menjamin serta memberikan perlindungan bagi
tertanggung atas kepastian pemenuhan tuntutan ganti ruginya kepada
penanggung.
Dalam kaitan dengan masalah pembuktian ini ada dua pembagian
jangka waktu pembuktian yaitu, jangka waktu pertama yang uimulai
sejak saat ditutupnya perjanjian asuransi sampai diserahkannya
polis, dan jangka waktu kedua yaitu sejak diserahkannya polis
kepada tertanggung.
Pembuktian jangka waktu pertama meliputi keperluan
pembuktian terhadap adanya ketentuan dan syarat-syarat perjanjian
dalam jangka waktu antara ditutupnya perjanjian asuransi dengan
diserahkannya polis.
Sebagaimana diketahui, pada jangka waktu pertama ini polis
belum diserahkan kepada tertanggung. Oleh karenanya jelas
tertanggung belum mempunyai (dalam arti menguasai) polis. Dengan
demikian tidaklah mungkin tertanggung dapat mempergunakan polis
sebagai alat bukti sebagaimana dikehendaki oleh pasal 258 (1) KUHD.
Dalam jangka waktu pertama ini, pasal 258 (2) KUHD
memberikan alternatif pembuktian dengan segala macam alat bukti
selain polis, kecuali terhadap perjanjian asuransi yang memberikan
keharusan adanya polis dengan ancaman batal sebagaimana disebutkan
dalam pasal-pasal 272 KUHD, 280 KUHD, 603 KUHD, 606 KUHD dan 615
KUHD.
Salah satu contoh yang dapat dipergunakan sebagai alat bukti
selain polis adalah catatan harian makelar yang dibuat berdasarkan
pasal 66 KUHD.
Bahkan secara tegas pasal 67 dan 68 KUHD menyatakan bahwa
catatan harian makelar adalah merupakan alat bukti yang mempunyai
kekijatan hukum.
Sesuai dengan ketentuan pasal 1902 (2) KUH Perdata, oleh
karena catatan harian makelar tersebut dapat pula dipakai sebagai
suatu permulaan pembuktian dengan tulisan sebagaimana dikehendaki
oleh pasal 258 (1) KUHD.
Dalam jangka waktu kedua, yaitu sesudah polis diserahkan,
yang dapat dipergunakan sebagai alat bukti adalah polis, alat bukti
tulisan selain polis, serta alat bukti yang lain. Dalam hal pada
jangka waktu kedua ternyata tertanggung tidak dapat mempergunakan
polis sebagai alat bukti, misalnya karena polis tersebut hilang,
maka masih dapat dipergunakan alat bukti tertulis selain polis
apabila tertanggung mendaliikan bahwa polisnya telah hilang, maka
kebenaran dalilnya tersebut harus dibuktikan dengan keputusan
pengadilan.
Mengingat bahwa perjanjian asuransi sebagaimana diatur dalam
pasal-pasal 272 KUHD, 280 KUHD, G03 KUHD, GOG KUHD dan 615 KUHD
dikecualikan dari azas konsensual, maka satu-satunya alat bukti
yang dapat dipakai sebagai dasar untuk inengajukan tuntutan ganti
rugi kepada penanggung dalam perjanjian asuransi sebagaimana
tersebut dalam pasal-pasal diatas adalah polis. Dengan demikian,
apabila dalam perjanjian asuransi sebagaimana tersebut pada pasal-
pasal diatas telah terjadi resiko sebelum polis ditandatangani,
maka tertanggung tidak dapat mengajukan tuntutan hak ganti ruginya
kepada penanggung oleh karena belum adanya polis berakibat hukum
belum terjadinya perjanjian asuransi.
Sepanjang tidak menyangkut pasal-pasal yang dikecualikan
diatas, perjanjian asuransi berlandaskan pada azas konsensual.
Dalam hal demikian perjanjian asuransi tersebut dianggap telah
terjadi sejak dicapainya kesepakatan tertanggung dengan penanggung.
Hak-hak dan kewajiban tertanggung dan penanggung telah ada sejak
perjanjian ditu'tup, sekalipun polisnya belum ditandatangani.
Dalam hal terjadi resiko sebelum polis ditandatangani,
tertanggung dapat mengajukan tuntutan ganti ruginya kepada
penanggung oleh karena perjanjian asuransi tersebut dianggap telah
terjadi sejak ditutupnya asuransi. Untuk membuktikan telah
ditutupnya perjanjian asuransi, tertanggung dapat mendasarkan pada
alat bukti selain polis. Hal ini dapat dimengerti oleh karena
apabila polis belura ditandatangani dan diserahkan kepada
tertanggung, tidaklah mungkin tertanggung dapat mendasarkan
dalilnya pada polis.
Sebagaimana telah diuraikan diatas, azas konsensual pada
prinsipnya beriaku dalam setiap perjanjian asuransi. Namun
demikian, berlakunya azas konsensual tersebut tidak raenutup
kemungkinan apabila pihak-pihak bersepakat untuk menentukan sendiri
bahwa saat terjadinya asuransi ditetapkan tersendiri, misalnya pada
saat dibayarnya premi pertama. Dalam hal yang demikian, timbulnya
hak-hak dan kewajiban pihak-pihak adalah sejak dibayarnya premi
pertama. Pertanggungjawaban penanggung atas terjadinya resiko yang
menimpa tertanggung dimulai sejak dibayarnya premi pertama oleh
tertanggung. Sebelum premi pertama dibayar oleh tertanggung, hak
untuk menuntut ganti rugi kepada penanggung oleh tertanggung tidak
dapat dilaksanakan oleh karena perjanjian asuransinya itu sendiri
dianggap belum pernah terjadi.
Apabila tertanggung telah membayar premi pertama, kemudian
resiko yang dipertanggungkan benar-benar terjadi, sedangkan polis
asuransinya belum ditandatangani oleh penanggung, maka tertanggung
tetap dapat mengajukan tuntutan ganti rugi sekalipun polis belum
ditandatangani. Dalam hal ini tertanggung dapat mempergunakan
tanda teriraa pembayaran premi sebagai alat bukti telah ditutupnya
perjanjian asuransi.
Pada uraian diatas telah dijelaskan bahwa dalam setiap
saat pembayaran premi pertama sebagai saat dimulainya
pertanggungan.
Asuransi Jiwa Bersama Bumiputra 1912 menentukan saat
dimulainya pertanggungan diperhitungkan sejak diterbitkannya polis.
Tanggal penerbitan polis adalah merupakan tanggal dimulainya
pertanggungan.13
Dengan ditetapkannya tanggal penerbitan polis sebagai
tanggal dimulainya pertanggungan, maka apabila tertanggung tertimpa
resiko pada saat polis belum diterbitkan, penanggung tidak dapat
dituntut untuk memenuhi hak ganti rugi tertanggung, sekalipun premi
pertama telah dibayar dan surat permintaan telah ditandatangani.
Dalam hal yang demikian, penanggung akan mengembalikan uang
pembayaran premi pertama saja.14
Pelaksanaan praktek perasuransian sebagaimana tersebut di
atas tampaknya membuka kemungkman terhadap kesesatan masyarakat
pemakai jasa asuransi terhadap perusahaan asuransi dalam aspek
kepercayaan. Masyarakat awam asuransi akan beranggapan bahwa
dengan telah dibayarnya premi pertama, jaminan perlindungan
asuransi bagi dirinya telah terpenuhi. Namun ternyata, setelah
resiko benar-benar terjadi penanggung menoiak membayar jumlah
pertanggungan oleh karena pada saat terjadi resiko polis belum
diterbitkan sehingga belum memasuki tenggang waktu pertanggungan.
3 4
13nawancara dangan Dra. Ec. Sri Endah Nurhayati, op.cit. tanggal 23 Desember 1991.
Untuk menghindari terjadinya hal-hal sebagaimana tersebut di
atas, kiranya telah tepat pendapat H.M.N. Purwosutjipto yang
mengatakan bahwa pembatasan waktu pengembalian polis kepada
tertanggung sangat perlu untuk melindungi hak-hak dan kepentingan
BAB V P E N U T U P
1 • Kesju^&l&o
Berdasarkan pembahasan sebagaimana diuraikan pada bab-bab
terdahulu, dapat saya tarik beberapa kesimpulan sebagai berikut •
a. Dalam praktek hukum perasuransian ui Indonesia tidak mengtur
tentang bentuk polis, akan tetapi mengatur tentang isi polis
seperti diuraikan dalam pasal 256 (1) KUHD serta pasal lain
yang mengatur tentang i s i polis untuk asuransi-asuransi
tertentu. Dalam prektek, polis dibuat oleh penanggung,
sekalipun dalam prinsip formalitas hukumnya dibuat oleh
tertanggung;
b. Berdasarkan azas konsensual perjanjian asuransi dianggap
telah terjadi sejak adanya kesepakatan antara penanggung dan
tertanggung sekalipun polis belum dibuat, kecuali untuk
jenis-jenis asuransi tertentu sebagaimana diatur dalam pasal
272 KUHD, 280 KUHD, 603 KUHD, 606 KUHD dan 615 KUHD yang
mensyaratkan mutlak adanya polis dengan ancaman batal.
c. Folis sebagai akta perjanjian asuransi, berisi tentang hak-
hak dan kewajiban-kewajiban tertanggung dan penanggung,
sekaligus berfungsi sebagai alat bukti adanya hak-hak dan
kewajiban-kewajiban tertanggung dan penanggung. Apabila
terjadi resiko sebelum polis dibuat, tertanggung dapat
mengajukan tuntutan ganti rugi kepada penanggung dengan
2. aarjui
Sebagai akhir d a n penulisan skripsi ini, kiranya tidaklah
terlalu berlebihan apabila saya sampaikan beberapa saran-saran
dalam kaitan dengan upaya raeningkatkan kesadaran masyarakat dalam
berasuransi, khususnya d a n tinjauan hukuni sebagai berikut :
a. Mengingat fungsi polis yang sangat pentmg dalam perjanjian
asuransi, maka seyogyanya setiap perjanjian asuransi selalu
dibuat polis, sekalipun undang-undang tidak ffiengharuskannya;
b. Penyerahan polis merupakan masalah yang sangat rawan oleh
karena berkaitan dengan hak-hak tertanggung untuk mengajukan
tuntutan ganti rugi kepada penanggung, karenanya penertiban
penerapan ketentuan tentang penyerahan polls akan lebih
meniberikan kepastian hukuis bagi pihak-pihak dalam perjanjian
" U N I V f c K S H ' A S A i K L A N O O A
S U R A B A Y A
DAFTAR BACAAN
A . Abbas Sal im, ,
Cet* Ij CV. Rajawali, Jakarta, 1383.
Mahkamah Ag'ung Repubiik Indonesia, .Y.u.r:i.5.w-C.u.ci.exj,s,i__Iudun.6£.i.a, J_ „ .,4. _ -t no<7 ciftai ua., i jo I •
Poerwadarminta, W.J.3. , _Cet. VIII,
Balai Pustaka, Jakarta,1385.
Purwosutjipto, H.M.N1. , E&ng££tJ^&ll_Eokok_
..(— RukwiH_E&r-t^riSo-UIi^&n__ i) Jiiid 6, Cet. II, Djambatan,
Jakarta, 1386.
Simanjuntak, Emmy * Panggaribuan, H.uk:uia___F££timsS_Ufl£aiL_._d&Q
E.erkc;iiuAiia.9lDllx3r, Cet. I, Euisi II, Seksi Hukum Dagang Fakuitas Hukum Universitas Gadjah Mada, Jogjakarta, 1383.
--- » H.ukjjiiL-P.arlAr)^£im£^n.--(_^Qk^-JiQkol.^extanggiing.ari_Kerugian> ivcjjjikarilil_dan Jiwa ),, Cet. X, Seksi Hukum Dagang Fakuitas Hukum Universitas Gadjah Mada, Jogjakarta, 1330.
Siti Soemarti Hartono, M i a b__Uxid£ut^iind.an^.,..„.H.ilk.im„i;,a^.ai)S__& £Kllii.t..li.r..an_J.\Kpa.iXltiUl, Cet. VI, Seksi Hukum Dagang Fakuitas Hukum Universitas Gadjah Mada, Jogjakarta, 1383.
Subekti, H.yJi.um...E.e.rj..an ji.au, Cet. VI, Interioasa, Jakarta, 1973.
Subekti dan Tjitrosudibio, KUab^uiiu^zmdii^H;Uaira.EejcdaJLa, Cet. XVI, Pradnya Paramita, Jakarta, 1983.
P I A S U R A N S I C E N T R A L A S I A C A B A N G S U R A B A Y A
N o l 8 ? 5 / X / 8 9 / S B / S P
K e p a d a Y th,
Tn.Harley Prabowo Jl« Son^rfclave 14 Surabaya.
SURAT PENGaN TaR
Bersama ini kami sampaikan kepada Saudara barang-barang/dokumen-dokumen se bagaimana tersebut di bawah ini :
criminal & dupliiiat Ilo.CI— 001^3k/X/LS a/a Tn«Pandii Sedianto Sastroamidjojo
Copy x e c e i p t U o . 0 i - 3 i- B s - 0 0 1 5 2 2 / X / Lt i. . . . S i j _ i5 ^ . ?2 i; i9 9
(Lida puiuh enanj ribu tujuh ratUi-. limt* pulua rupi
Setelah diterima, mohon -tindasan '^surat pengarvtar_5jii_-diiaruiatangani dan di-
ksmbalikan k&pada kami*
PT ASUKaNSI CENTRAL ASIA CABAWQ S P R A Bm
SURAT PENGANTAR
Kepada Tth.
Tn.Hailey Prabovo Jl.Ronggolawe 1^ Surabaya*
No. 2lO?A'l/39/SB/SP
Bersaaa ini ka®i sampaikan kepada Saudara barang-barang/dokunezi-dokumeiv eebagai* mana tersebut di bawab ini :
Receipt original Ko.03-J1-89-001522/XXI*^ a/a Tn.Pandu Sedianto Sastroaraodjo;jo*
Setelah diterima, mohon txndaean surat pengantar ini ditandatangani dan dikem- balikan kepada kaoi.
Surabayat 2^ Nopember 19&9
e.x. a s u ?j j h s : asia*
Kepada rth.
Tn.^azley Prsibowo Jl#Ponc£oi*ivc Surabaya-SURAT PENGANTAR
Bersama ini kanii sampaikan kepada Saudara barang-barang/dokumen-dokumen sebagai* mana tersebut di bawah ini i
P T A S U R A N S I C E N T R A L A S I A N o . 2 1 0 7 / X I / 8 9 / S B / S P
CABANG SBRABaTa
Receipt original No.0^-3J1-89-001522/XXU> a/n Tn.Pandu Sedianto Sastroamodjojo.
K A N T O R PU SA T : W i s m a Bu m i p u t e r a Su i t e 60 1 , Ja l a n Je n d e r a l Su d i r m af t K a v 75
Yam: KtiariI:i i;ut>:in >li hawali itii •■•laniutnvrt diu'l'iii: \la\kapni, im.unrr.vm'". atas d.i'ar kcici:ir.j;a«i-kcicr.im'an di dalaiii w i j i ivuniiiia.r
vi.iu' -luiuJ.il. .! n.il i.i..-; .ik.n; iiak.m U'l'tli .
I v V o i j . m . . . _. . . *. . . . M>'luii]uui>d Jiwliui: 1i iian^juti^ OjUui kcJudukanujj M-liac-ii pcnulik ikiiuxj ii^ J j i i kcudaruaii licrmuior wbuwai diivran^kan di huwah in: w-rma>uk ju^a aUi*.d.*; jvili-n^kupati v a n ; i>i.i«uii>.i di'Cdukuii |>utiiik;ui puda n n ln lm u btl luiru di Ind.iin.-M.i, U\u.ili jika diadjkaii pcTM.-iiijiiai- lain, u-lanjutnya Ji'chui: Kcudaraan Ucrniuior, icrhadap:
A . Kcriiiiian KvruMk.ni kcndaraati tkrinutuf M.-hu>/ui diiciau^Lui dulain lai vul I dari Polis im liin ^ a iuinlali •.i-iin^i-iiiix^inya uiuuk liap jwriMiu. u-fr.iuiak K(>.. . . . 3 5 , 0 0 0 . 0 0 0 ...
yaim jumlali ih/nain^miKan ..any diusulkan uLh I'vi ( j uml al i maualidak liarux w in a dengan liar^a yan$ sclicium ya. Ki-sikoM.ndiri iniuil liap pcrM iua Kp...1 - 7 5 . 0 0 0 - , - - ...
H. Kcrugian. Kausakan lvi.*l :aan I'cniioi. r scha^ai diu-ranjikun dalam laoa l II dari Polis ini liiuc^a jumlali '.cti«iyti-iiiiyv‘ n>"u umuk liar jwnviiwu wbainak l i p . . .. 35.».QQ.Q,.QO.O.fcr r .... . ' yaiiti jtia'.lali ivnaiijyjuiH'au yanu diy>ulkan oM i
jumlali inana lidak harm Mina di-ngon liar^a yant ^chctianiya.
K L A U S U L A R E N C U R I A N D E N G A N K E K E R A S A N
:J2n ~ :n i f t i ^ i . c 2 l & l _ d a a - d l S 5 p a k s t i , ^ a ! t a a - i j i u n y i - - a y a t - v V C - f a i s a l 1 - d a r l
pol is, djr 'L05n : .ienj cdi
P5 n cur ian- u er. MSuk p e ncu ria n yang d i d ah ul u i, t i i s er t a i .at au d i ' ik u t i
fc : p a c : i n v n ij a i j n - t u j u
AS U R A N S I JI W A B E R S A M A
S E R T 1 P I K A T A S U R A N S I J I W A K U M P U L A N
N O . P O L I S : 0 7 7 9 6 N O . P E SE R T A : 0 0 0 0 1 1
Fem . p o l i s P A G U Y U B A N I I I - 1 7 S U R A B A Y A
Nama T a n g g a l Lah i r
M a c a m A su r a n si
U . Pe r t a n g g u n g a n :
Pr e m i :
M u l a i A su r a n si
Se r a k h i r n y a M a sa A su r a n si
P A N D O E S E D I A N T O
3 1 * 0 1 * 3 1
E K A H A R S A
E C E L A K A
1, 0 0 0* 0 0 0 , 0 0 2 5 . 2 0 0 , 0 0
1 . 0 6 . 1 9 9 0
1 . 0 6 . 1 9 9 1
* K
R P . R P .
A N K1
NM
T A H U N A i N
A ^ B B U M I P J iT £ R A j(9 1 2
BUi.llPUTERA
1912
A SU RA N SI J IW A B ER SA M AS E R T 1 P I K A T A S U R A N S I J I W A K U M P U L A N
NO. P O L IS : 0 7 7 9 6 NO. P E SE R T A : 0 0 0 0 1 2
Pem. p« iis : P A G U Y U B A N I I I - 1 7 S U R A B A Y A
Nama T a n g g a l Lah i r
M a c a n A su r a n si : C K
& K
U. Pe r t a n g g u n g a n: R P *
Pr e m i t R P . .
M u l a i A su r a n si
Be r a k h i r i t y a M a sa A su r a n si
: N Y Y E T T Y P S
8 . 0 4 . 3 8
A W A R S A
E C E L A K A A N K 1
1 . 0 0 0 . 0 0 0 , 0 0 N H
1 6 . 3 0 0 t 0 0 \ T A H U N A t o
1 . 0 6 . 1 9 9 0 Am u m i pW ^ .
1 . 0 6 . 1 9 9 1 V ' K ^
,yu m \ bu" i w S b * « 2
? 9 1