• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pengaruh proteksi Vitamin C Terhadap Kadar Ureum, Kreatinin Dan Gambaran Histopatologis Ginjal Mencit Yang Dipapar Plumbum

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Pengaruh proteksi Vitamin C Terhadap Kadar Ureum, Kreatinin Dan Gambaran Histopatologis Ginjal Mencit Yang Dipapar Plumbum"

Copied!
98
0
0

Teks penuh

(1)

PENGARUH PROTEKSI VITAMIN C TERHADAP

KADAR UREUM, KREATININ DAN GAMBARAN

HISTOPATOLOGIS GINJAL MENCIT

YANG DIPAPAR PLUMBUM

TESIS

Oleh

BERNIKE DOLOKSARIBU

067008003/BM

S

E K O L A H

P A

S C

A S A R JA

NA

SEKOLAH PASCASARJANA

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

(2)

PENGARUH PROTEKSI VITAMIN C TERHADAP

KADAR UREUM, KREATININ DAN GAMBARAN

HISTOPATOLOGIS GINJAL MENCIT

YANG DIPAPAR PLUMBUM

TESIS

Untuk Memperoleh Gelar Magister Kesehatan

dalam Program Studi Ilmu Biomedik pada

Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara

Oleh

BERNIKE DOLOKSARIBU

067008003/BM

SEKOLAH PASCASARJANA

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

(3)

Judul Tesis : PENGARUH PROTEKSI VITAMIN C TERHADAP KADAR UREUM, KREATININ DAN GAMBARAN HISTOPATOLOGIS GINJAL MENCIT YANG DIPAPAR PLUMBUM

Nama Mahasiswa : Bernike Doloksaribu Nomor Pokok : 067008003

Program Studi : Ilmu Biomedik

Menyetujui Komisi Pembimbing :

dr. Datten Bangun, M.Sc.Sp.FK ( dr.H. Delyuzar, Sp.PA ) Ketua Anggota

Ketua Program Studi, Direktur,

(dr. Yahwardiah Siregar, Ph.D.) (Prof. Dr. Ir. T. Chairun Nisa B.,M.Sc.)

(4)

Telah diuji pada

Tanggal 19 September 2008

____________________________________________________________________

PANITIA PENGUJI TESIS

Ketua : dr. Datten Bangun, M.Sc., Sp.FK Anggota : 1. dr. H. Delyuzar, Sp.PA

(5)

ABSTRAK

Plumbum (Pb) adalah logam berat yang termasuk dalam kelompok B3 ( yang berbahaya dan beracun ) yang terdapat dalam kehidupan kita sehari-hari. Plumbum terdapat secara luas di lingkungan. Pb di lingkungan kebanyakan berasal dari pembakaran bahan bakar minyak kendaraan bermotor dan industri. Pb banyak terdapat di biosphere dan diketahui sebagai nephrotoksik. Orang dewasa dan anak-anak dapat terpapar oleh plumbum melalui makanan, udara dan air.

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui Pengaruh proteksi vitamin C pada ureum, kreatinin dan gambaran histopatologi ginjal mencit yang dipapari plumbum.

Penelitian ini adalah merupakan studi eksperimental laboratorium dengan uji Mann Whitney Study. Sebanyak 30 ekor mencit jantan ( Mus musculus L ) strain DDW ( Double Distsch Webster ) di bagi dalam 5 kelompok perlakuan yang masing-masing terdiri atas 6 ekor mencit jantan. Untuk itu mencit dibagi dalam kelompok kontrol (aquadest dan Pb asetat) dan kelompok perlakuan. Kelompok perlakuan adalah kelompok yang diberi proteksi vitamin C dalam tiga dosis (200 mg/kgBB, 500mg/kg dan 1000mg/kg) secara oral sekali sehari selama tujuh hari. Mencit kemudian diberi Pb asetat (20 mg/kgBB) secara intraperitoneal pada hari ke tujuh satu jam setelah pemberian vitamin C. Dua hari kemudian dilakukan pengambilan darah dan organ ginjal kemudian dilakukan pemeriksaan untuk menilai kadar ureum, kreatinin dan perubahan pada gambaran histopatologi ginjal mencit.

Diperoleh hasil bahwa pemberian Pb 20 mg/kgBB dosis tunggal tidak mempengaruhi kadar ureum dan kreatinin. Namun gambaran histopatologi ginjal dengan dosis tersebut sudah menunjukkan kerusakan yang bermakna. Sedangkan untuk proteksi vitamin C dengan dosis 500mg/kgBB dapat menurunkan kadar ureum. Dan pemberian vitamin C 200 dan 500 mg/kgBB dapat menurunkan kadar kreatinin.

Pada pemeriksaan histopatologis menunjukkan vitamin C 1000 mg merupakan pelindung ginjal terbaik untuk tidak terjadinya perdarahan intertubuler, degenerasi dan nekrosis bila dibandingkan dengan dua dosis vitamin C lainnya.

(6)

ABSTRACT

Lead ( Pb ) acetate is a heavy metal classified as a B3 group ( that means it is dangerous & poisonous ). It is used and found in daily life. Lead is a ubiquitous element detected in all environmental media. Lead intake in adults and children mostly from foods, air and water. The majority of lead in the environment arises from burning fossil fuels in automobiles, and industrial emissions. Lead occurs widely in the biosphere and is found to be a potent nephrotoxic.

This study was performed to investigate the protective role of vitamin C (ascorbic acid) against lead acetate intoxication in mice as measured by ureum, creatinine and renal histology. This is a laboratory experimental study, the results were analysed with the Mann Whitney Test. A group of 30 mice (Mus musculus) strain Double Distsch Webster ( DDW ) was divided into five groups. Mice were randomized into control (aquadest and lead acetate) and experimental groups. Mice of the experimental groups were administered vitamin C in 3 doses (200 mg/kgBW, 500 mg/kgBW and 1000 mg/kg BW ) orally once a day for 7 consecutive days. Mice were then treated with lead acetate (20 mg/kgBW intraperitoneally) on the 7th day, one hour after vitamin C administration.

Two days afterward, the mice were sacrificed. Blood was taken intracardially and analyzed for ureum and creatinine levels . The kidney was examined histologically.

The results indicated that administration of vitamin C at 500 mg/kgBW reduced ureum levels in plasma but not to a statistically significant level. Administration of vitamin C at 200 and 500 mg/kgBW reduced creatinine plasma levels. Histologically, lead produced damage to the kidney like necrosis, degeneration and intertubuler haemorrhage bleeding ( control lead acetate group ). Vitamin C at 1000mg/kgBW protected the kidney from this damage as compared to the quantitive and qualitative renal changes observed in the other two vitamin C treatment groups.

(7)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas berkat dan karuniaNya

penulis dapat menyelesaikan penelitian dengan judul, “Pengaruh Proteksi Vitamin C

TerhadapKadar Ureum,Kreatinin Dan Gambaran Histopatologis Ginjal Mencit Yang

Dipapar Plumbum “.

Tesis ini merupakan salah satu syarat yang harus dilaksanakan penulis dalam

rangka memenuhi persyaratan untuk meraih gelar Magister pada Sekolah

Pascasarjana Universitas Sumatera Utara.

Dengan selesainya tesis ini perkenankanlah penulis mengucapkan terima kasih

yang sebesar-besarnya kepada:

Rektor Universitas Sumatera Utara, Prof. dr. H. Chairuddin P. Lubis, Sp.A(K)

dan seluruh jajarannya yang telah memberikan kesempatan pada penulis untuk

mengikuti pendidikan di Sekolah Pascasarjana USU Medan.

Direktur Sekolah Pascasarjana USU Medan, Prof. Dr. Ir. T. Chairun Nisa B,

M.Sc dan Ketua Program Studi Ilmu Biomedik dr. Yahwardiah Siregar,Ph.D., atas

kesempatan, fasilitas dan dorongan yang diberikan kepada penulis untuk mengikuti

dan menyelesaikan pendidikan program magíster di Sekolah Pascasarjana USU

Medan.

Terima kasih yang tidak terhingga dan penghargaan setinggi-tingginya penulis

(8)

pembimbing dan dr. H. Delyuzar, Sp.PA (sebagai anggota komisi pembimbing) serta

Prof.Dr. Burhanuddin Nasution,Sp.PK dan Mahdiah, DCN, M.Kes (sebagai komisi

pembanding) yang dengan penuh perhatian memberikan dorongan, bimbingan,

semangat, bantuan serta saran-saran yang bermanfaat kepada penulis dari persiapan

penelitian sampai pada penyelesaian tesis ini. Terima kasih juga disampaikan kepada

semua dosen yang telah membimbing penulis selama mengikuti program magister

ini.

Pada kesempatan ini secara khusus terima kasih kepada Direktur Poltekkes

Medan, Ir. Zuraidah Nasution, M.Kes dan Ketua Jurusan Gizi, Dra.Ida Nurhayati,

M.Kes yang telah memberikan izin kepada penulis untuk mengikuti pendidikan

magister di Sekolah Pascasarjana USU Medan.

Persembahan terima kasih yang tulus, rasa hormat dan sembah sujud kepada

ayahanda ( H.Doloksaribu (alm) dan ibu E br.Pardosi ) yang telah membesarkan

dengan penuh kasih sayang dan dengan jasa mereka penulis dapat menjalani

pendidikan hingga pascasarjana.

Kepada bapak dan ibu mertua ( St.Prof.Drs.D.Manurung dan Raden Ayu

Moersyarah Djenadini ), suamiku tercinta St. M.Manurung, SE, ananda tersayang

Yudith Andini, Alexander Nikita dan Dian Michael, tiada kata yang setara untuk

mengutarakan terima kasih dan penghargaan setinggi-tingginya atas cinta, kasih

sayang, pengertian, pengorbanan, kesabaran dan dorongan serta doa yang diberikan

kepada penulis. Serta seluruh keluarga yang telah memberikan dukungan moril dan

(9)

Terima kasih juga penulis sampaikan kepada seluruh teman-teman

seperjuangan, mahasiswa Pascasarjana USU Program Studi Ilmu Biomedik angkatan

2006 atas segala kerjasama dan kekompakan yang telah terjalin selama ini. Terima

kasih atas dua tahun yang indah dan penuh kenangan. Kepada seluruh pihak yang

telah membantu selama penulis mengikuti pendidikan ini tak lupa penulis sampaikan

rasa terima kasih yang tidak terhingga.

Akhirnya, penulis menyadari bahwa hasil penelitian ini masih jauh dari

sempurna. Oleh karena itu penulis berharap adanya kritik dan saran yang membangun

demi perbaikan tulisan ini. Semoga penelitian ini dapat bermanfaat bagi kita semua.

Medan, 19 September 2008

Penulis,

(Bernike Doloksaribu)

(10)

RIWAYAT HIDUP

1. Nama : Bernike Doloksaribu

2. Tempat/Tanggal Lahir : Lubuk Pakam, 26 Desember 1968

3. Agama : Kristen Protestan

4. Status : Menikah

5. Alamat : Jl. Bahagia By Pass No. 1 Medan

6. Telp/HP : 061-7862738/081396708279

7. Pendidikan

SD Kristen VIII Medan : 1975 – 1981

SMP Negeri VII Medan : 1981 – 1984

SMA Negeri V Medan : 1984 – 1987

Sekolah Pembantu Ahli Gizi (SPAG)

Persagi Lubuk Pakam : 1987 – 1988

Akademi Gizi Jakarta : 1994 – 1996

Akta III, IKIP Medan : 1998 – 1999

D-IV Gizi Klinik FK Universitas Brawijaya Malang: 1999 – 2000

Sekolah Pascasarjana, Program Biomedik, USU : 2006 – 2008

8. Riwayat Pekerjaan

Pengatur Gizi Rumah Sakit Umum Herna Medan : 1988 – 1989

Staf SPAG Dep Kes RI Lubuk Pakam : 1989 – 1991

(11)

DAFTAR ISI

Halaman

ABSTRAK ... i

ABSTRACT... ii

KATA PENGANTAR ... iii

RIWAYAT HIDUP... vi

DAFTAR ISI... vii

DAFTAR TABEL... x

DAFTAR GAMBAR ... xi

DAFTAR LAMPIRAN... xii

BAB I PENDAHULUAN ... 1

1.1 Latar Belakang ... 1

1.2 Perumusan Masalah ... 6

1.3 Kerangka Teori ... 6

1.4 Tujuan Penelitian ... 7

1.5 Hipotesis... 8

1.6 Manfaat Penelitian ... 8

BAB II TINJAUAN PUSTAKA... 9

2.1 Plumbum (Pb) ... 9

2.1.1 Gambaran Umum ... 9

(12)

2.1.3 Toksisitas Pb ... 14

2.1.4 Efek Plumbum Pada Ginjal... 17

2.1.5 Radikal Bebas dan Anti Oksidan ... 18

2.2 Ginjal... 21

2.2.1 Anatomi Umum... 21

2.2.2 Gambaran Histologi ... 22

2.3 Pemeriksaan Biokimia Ginjal ... 24

2.3.1 Ureum... 24

2.3.2 Kreatinin... 25

2.4 Biologi Mencit ... 26

BAB III METODOLOGI PENELITIAN... 28

3.1 Desain Penelitian... 28

3.2 Tempat dan Waktu Penelitian ... 28

3,3 Rancangan Penelitian ... 28

3.4 Populasi Penelitian ... 29

3.5 Sampel Penelitian... 29

3.6 Variabel Yang Diteliti ... 30

3.6.1 Variabel Independent ... 30

3.6.2 Variabel Dependent... 30

3.6.3 Variabel Kendali ... 30

3.7 Bahan ... 30

(13)

3.9 Pelaksanaan Penelitian ... 32

3.9.1 Pemeliharaan Hewan Percobaan ... 32

3.9.2 Persiapan Hewan Percobaan ... 32

3.9.3 Perlakuan Hewan Percobaan... 33

4. Prosedur Pemeriksaan Ureum ... 36

5. Prosedur Pemeriksaan Kreatinin ... 37

6. Analisa Data ... 39

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN ... 41

4.1 Deskripsi Hasil Penelitian ... 41

4.2 Berat Badan Mencit... 44

4.3 Kadar Ureum Darah Mencit ... 48

4.4 Kadar Kreatinin Darah Mencit ... 49

4.5 Gambaran Histologis Ginjal Mencit ... 51

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN... 55

5.1 Kesimpulan ... 55

5.2 Saran... 56

(14)

DAFTAR TABEL

No. Judul Halaman

1. Gambaran Anatomi Pada Keracunan Plumbum ... 15

2. Data Biologi Mencit (Fox, 1984) ... 27

3. Gambaran Hematologi Mencit (Mitruka, 1981;dan Loeb, 1989) ... 27

4. Berat Badan Rata-Rata Mencit Kelompok Kontrol dan Perlakuan Yang Diberi Pb Asetat 20 mg/kgBB dan Vitamin C Dosis Berbeda ... 45

5. Berat Badan (X± SD) Pada Lima Kelompok Perlakuan ... 46

6. Kadar Ureum (X± SD) Pada Lima Kelompok Perlakuan ... 48

(15)

DAFTAR GAMBAR

No. Judul Halaman

1. Kerangka Teori ... 7

2. Kerangka Kerja ... 36

3. Pemeliharaan Hewan Coba ... 40

4. Penimbangan Berat Badan Hewan Coba ... 41

5. Pemberian Vitamin C Secara Oral ... 41

6. PemberianPlumbum Asetat Secara Intraperitoneal... 42

7. Pengambilan Darah Secara Intracardial ... 43

8. Pembedahan Laparatomi Untuk Pengambilan Jaringan Gimjal ... 44

9. Kadar Ureum Darah Mencit Pada Kelompok dan Perlakuan ... 48

10. Kadar Kreatinin Darah Mencit Pada Kelompok dan Perlakuan ... 50

11. Kelompok Kontrol Sel Ginjal ... 51

12.A.Kelompok Perlakuan 20 mg Pb Asetat ... 51

12.B.Kelompok Perlakuan 20 mg Pb Asetat... 52

13. Kelompok Pemberian Pb 20 mg dan Vitamin C 200 mg... 52

14. Kelompok pemberian Pb 20 mg dan vitamin C 500 mg ... 53

(16)

DAFTAR LAMPIRAN

No Judul Halaman

1. Master Data Kadar Ureum dan Kreatinin ... 61

2. Hasil Analisa Statistik Dengan SPSS 12... 62

3. Persetujuan Komite Etik Tentang Pelaksanaan Penelitian Bidang Kesehatan ... 83

(17)

BAB I

PENDAHULUAN

1.1Latar Belakang

Plumbum (Pb) adalah logam berat yang secara alami terdapat di alam dalam

konsentrasi kecil, di dalam air, tanah dan tumbuh-tumbuhan. Intoksikasi plumbum

melalui lingkungan sudah di kenal sejak lebih dari 2000 tahun yang lalu. Plumbum

berbahaya bagi struktur jaringan tumbuh-tumbuhan, hewan dan manusia.

Gejala-gejala yang ditimbulkan akibat intoksikasi plumbum pertama sekali ditemukan oleh

dokter dari Yunani ( Nikander ).

Pada tahun 370 SM Hipocrates menemukan serangan kolik yang berat

akibat termakan logam berat plumbum. Bahkan kaisar Romawi meninggal akibat

minum anggur yang mengandung plumbum yang tinggi. Dan saat ini polusi plumbum

merupakan masalah serius di negara-negara berkembang dan maju.

Masyarakat di kota besar dan berdiam di pinggir jalan dengan transportasi

kendaraan bermotor yang padat serta di lingkungan industri adalah merupakan

kelompok yang rentan terhadap pencemaran timah hitam. Salah satunya adalah

terpajannya masyarakat tersebut dengan plumbum melalui pernafasan bersama asap,

debu dan gas. ( Ardyanto, 2005 )

Plumbum dan senyawanya masuk ke dalam tubuh manusia melalui saluran

pernafasan dan saluran pencernaan, sedangkan absorbsi melalui kulit sangat kecil

(18)

partikelnya. Partikel yang lebih kecil dari 10 µg dapat tertahan di paru-paru,

sedangkan partikel yang lebih besar mengendap di saluran nafas bagian atas.

Rata-rata 10-30 % Pb yang terinhalasi diabsorbsi melalui paru-paru, dan 5 – 10 % dari

yang tertelan diabsorbsi melalui saluran cerna (Palar,1994). Selanjutnya plumbum

yang diabsorbsi diangkut oleh darah ke organ-organ tubuh sebanyak 95 %. Dan

didistribusikan ke jaringan lunak (sum-sum tulang, system saraf, ginjal dan hati ), ke

jaringan keras ( tulang, kuku, rambut dan gigi), (Palar, 1994).

Plumbum sebagian besar diekskresikan melalui ginjal dan saluran cerna.

Ekskresi Pb melalui urin sebanyak 75-80%, melalui feces 15 % dan lainnya melalui

empedu, keringat, rambut dan kuku ( Palar,1994). Pada umumnya ekskresi Pb

berjalan sangat lambat. Timah hitam mempunyai waktu paruh di dalam darah kurang

lebih 25 hari, pada jaringan lunak 40 hari sedangkan pada tulang 25 tahun. Ekskresi

yang lambat ini menyebabkan Pb mudah terakumulasi dalam tubuh, baik pada

pajanan okupasional maupun non okupasional ( Nordberg,1998).

Mekanisme logam berat meracuni tubuh menyebabkan kerusakan oksidatif.

Logam berat yang toksik menghasilkan radikal bebas dan menurunkan ketersediaan

zat antioksidan tubuh. Patogenesa intoksikasi plumbum adalah multifaktor antara lain

dapat mempengaruhi aktivitas enzim, menghambat absorbsi mineral runutan,

mengikat protein, merubah homeostatis kalsium, menurunkan ketersediaan zat

antioksidan tubuh ( Ercal, 2001 ).

Nefrotoksik akibat intoksikasi Pb pertama sekali di temukan oleh Lancereaux

(19)

seorang seniman yang kerab sekali memasukkan kuas yang digunakan untuk melukis

ke dalam mulutnya (Kathuria, 2008).

Anak-anak di Australia yang mengalami keracunan Pb juga mengalami

nefropati. Tiga jenis nefropati akibat Pb adalah keracunan akut dengan berbagai

gejala klasik seperti kolik, enchepalopathy, anemia, neurofati dan fanconi. Yang

kedua keracunan kronik terjadi nephritis intertisial progresif dan kerab sekali

berhubungan dengan hipertensi dan gout. Ketiga adalah hipertensi.

Hasil penelitian, Pinto de Almeida, dkk,1987 pekerja yang terpapar plumbum

kadar plumbum darah mengalami peningkatan, dan kreatinin darah juga meningkat.

Penelitian yang dilakukan pada wanita di Belgia kadar Pb meningkat sepuluh kali

lipat dan terjadi penurunan klirens kreatinin. (Kathuria,2008).

Hasil penelitian Hariono (2005) dengan pemberian 0,5 g Pb asetat netral/kg

BB/oral/hr pada tikus putih ( Rattus Norvegicus ) selama 16 minggu terjadi

penurunan BB yang signifikan ( P<0,05). Begitu juga rata-rata berat absolute hati,

ginjal dan limpha terjadi penurunan signifikan dibandingkan kelompok kontrol.

Namun, tidak terlihat perbedaan yang signifikan terhadap kadar kreatinin, Blood

Urea Nitrogen (BUN) dan enzim alanin aminotransferase (ALT) tikus perlakuan

maupun kontrol. Pada penelitian tersebut juga dihasilkan kadar plumbum dalam

ginjal lebih tinggi dari hati dan limpa. Hal ini dapat menyebabkan ginjal lebih

beresiko daripada jaringan tubuh lain.

Selanjutnya hasil pemeriksaan secara makroskopik pada minggu ke 14 dan 16

(20)

pada minggu ke 12-16 epitel tubulus konvulatus proksimal ginjal terlihat degenerasi,

hyperplasia, kariomegali dan pada minggu ke 8 terlihat benda-benda inklusi dalam

inti sel. Terlihat pula vakuolisasi duktus kolektivus, dilatasi lumen disertai akumulasi

sel debris dan pelebaran ruangan Bowman.

Sedangkan penelitian yang dilakukan Anggraini (2008) menunjukkan

kerusakan ginjal terlihat pada minggu ke 8 dengan pemberian Pb asetat 100 mg/kg

BB/oral/hr.

Aktivitas senyawa Pb dalam tubuh seringkali dikaitkan dengan stress

oksidatif, melalui pembentukan molekul Reactive Oxygen species (ROS)

(Aykin,2003). Toksisitas Pb dalam pembentukan radikal bebas adalah melalui dua

cara berbeda berhubungan yaitu dengan pembentukan ROS dan penekanan langsung

cadangan antioksidan tubuh ( Ercal, 2001).

Antioksidan merupakan senyawa-senyawa yang dapat meredam dampak

negatif sutau oksidan, termasuk di dalamnya enzim-enzim dan protein-protein

pengikat logam. Kemampuan menetralisir senyawa oksidan sebenarnya sudah

dimiliki oleh tubuh/sel itu sendiri namun tidak cukup untuk menetralisir senyawa

oksidan yang diakibatkan oleh paparan bahan-bahan beracun yang berasal dari

lingkungan yang bersifat radikal, termasuk salah satunya timbal dari pembakaran

mesin mobil, pestisida, nitrat,radioaktif,merkuri, dan lain sebagainya.

Vitamin C (L-ascorbic acid) merupakan senyawa alami yang bersifat

(21)

segi fungsinya vitamin C dapat mencegah terjadinya reaksi berantai terutama yang

disebabkan radikal bebas yang paling berbahaya.

Vitamin C adalah vitamin larut air yang dibutuhkan untuk fungsi metabolik

tubuh dan mencegah oksidatif stres pada jaringan tubuh. Selain itu vitamin C dapat

menghambat ambilan Pb dan menurunkan sitotoksisitas Pb. Dan terbukti efektif

mengurangi nephrotoksik dan dapat sebagai pelindung ginjal (Kathuria,2008). Pada

tikus yang diberi vitamin C minimal 500 mg/L pada air minumnya mampu

menurunkan kadar ROS 40% (Hsu,1998). Penelitian tentang efek toksik Pb pada

produksi hem dapat diperbaiki dengan pemberian vitamin C 100 mg/kg BB (Vij

AG,1998).

Penelitian yang dilakukan pada ibu hamil dengan memberi vitamin C 1000

mg/hari dapat menurunkan kadar Pb darah 1,1-5,1 µg/dL selama kehamilan (West

WL,1994). Efek vitamin C dapat menurunkan kadar Pb darah adalah dikarenakan

vitamin C menurunkan absorbsi Pb di usus halus.

Pekerja yang terpapar Pb dengan diberi 1000 mg vitamin C/hari selama 30

hari kadar Pb darah turun 0,4-1,8 µg/dL mulai minggu pertama sampai penelitian

berakhir (Dawson EB,1999).

Berdasarkan uraian diatas, dapat diketahui bahwa plumbum sangat berbahaya

bagi kesehatan dan bahkan dapat merusak organ tubuh termasuk ginjal dan yang

paling cepat menerima efek toksik logam berat tersebut. Sebagai parameter gangguan

fungsi ginjal dilihat dari hasil pemeriksaan kadar ureum, kreatinin dan histopatologis

(22)

mencegah atau mengurangi kerusakan tersebut. Oleh karena itu penelitian ini melihat

bagaimana pengaruh proteksi vitamin C terhadap kadar ureum kreatinin dan

gambaran histopatologis ginjal mencit jantan ( Mus musculus L ) yang dipapar

plumbum.

1.2. Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas, maka masalah dapat di rumuskan sebagai

berikut:

“Apakah ada pengaruh proteksi vitamin C terhadap fungsi ginjal mencit (Mus

musculus L ) yang dipapar Pb ? “

1.3. Kerangka Teori

Polutan Pb di udara secara kronis akan masuk ke tubuh melalui inhalasi,

kontak kulit dan mukosa yang kemudian berakumulasi dalam darah. Pemaparan

kronis ini akan memberi gejala yang sama dengan senyawa Pb yang

termakan/terminum ( masuk melalui saluran cerna). Toksisitas yang ditimbulkan Pb

akan menyebabkan kerusakan jaringan dari tingkat yang ringan ( perubahan proses

biokimia normal) sampai pada kematian sel. Perubahan proses biokimia akan terlebih

dulu terjadi di darah, sebagai jaringan yang terlebih dahulu terpapar. Sebagai proteksi

diberi vitamin C dengan dosis yang berbeda pada waktu yang sama. Dalam hal untuk

melihat adanya gangguan fungsi ginjal dilakukan pemeriksaan kadar ureum,kreatinin

dan gambaran histopatologis jaringan ginjal. Selanjutnya dianalisa kadar vitamin C

(23)

PLUMBUM

STRES OKSIDATIF

GINJAL

UREUM / KREATININ VITAMIN C

HISTOPATOLOGIS GINJAL

FAKTOR YANG BERPENGARUH:

UMUR, MAKANAN, LINGKUNGAN

Gambar 1. Kerangka Teori

1.4.Tujuan penelitian

Tujuan Umum

Untuk mengetahui pengaruh proteksi vitamin C secara oral terhadap kadar

ureum, kreatinin dan gambaran histopatologis ginjal mencit ( Mus musculus L ) yang

dipapar plumbum.

Tujuan khusus

1. Untuk mengetahui kadar ureum, kreatinin darah mencit yang dipapar

plumbum.

2. Untuk mengetahui kadar ureum, kreatinin darah mencit yang dipapar

(24)

3. Untuk mengidentifikasi gambaran histopatologis ginjal mencit yang dipapar

plumbum dengan proteksi vitamin C pada berbagai dosis.

4. Untuk menentukan kadar vitamin C yang paling berpengaruh terhadap fungsi

ginjal mencit yang dipapar plumbum

1.5. Hipotesis

Pemberian vitamin C dapat mempengaruhi fungsi ginjal mencit yang dipapar

plumbum

1.6. Manfaat Penelitian

1. Memberikan informasi kepada masyarakat tentang toksisitas plumbum

terhadap fungsi ginjal.

2. Memberikan informasi bahwa vitamin C sebagai salah satu antioksidan yang

(25)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 PLUMBUM (Pb)

2.1.1 Gambaran Umum

Plumbum merupakan salah satu unsur logam berat yang konsistensinya lunak

dan berwarna kelabu kebiruan. Timbal dapat berasal secara alami seperti dari

bebatuan, air telaga dan air sungai, udara dan tumbuh-tumbuhan. Selain itu timbal

juga dapat bersumber dari industri yang memakai Pb sebagai bahan baku maupun

bahan penolong pada industri pengecoran maupun pemurnian, industri baterai,

industri bahan bakar, industri kabel, industri cat dan industri kimia yang

menggunakan bahan pewarna. ( Palar, 1994).

a. Sumber dari alam

Kadar Pb yang terdapat secara alami pada bebatuan sekitar 13mg/kg. Khusus

Pb yang tercampur dengan batu fosfat dan terdapat di alam batu pasir ( sand stone )

kadarnya lebih besar yaitu 100 mg/kg. Pb yang terdapat di tanah sekitar5-25 mg/kg

dan air di bawah tanah ( ground water ) berkisar antara 1-60 µg/liter.

Kandungan Pb yang terdapat di air permukaan seperti air telaga dan air sungai

adalah 1-10 µg/liter. Sedangkan kandungan Pb di udara secara alami adalah

0,0001-0,001 µg/m3. Hasil penelitian yang dilakukan di USA pada sayuran dan padi-padian

(26)

Logam berat Pb yang berasal dari tambang dapat berubah menjadi PbS

(golena), PbCO3 (cerusite) dan PbSO4 (anglesite) dan ternyata golena merupakan

sumber utama Pb yang berasal dari tambang. ( WHO, 1992)

b. Sumber dari Industri

Sumber pencemaran Pb dari industri berasal dari semua industri yang

menggunakan Pb sebagai bahan baku atau penolong seperti :

1. Industri pengecoran maupun pemurnian

Menghasilkan timbal konsentrat ( primary lead ) maupun secondary lead

yang berasal dari potongan logam ( scrap )

2. Industri baterai

Menggunakan logam pb terutama lead antimony alloy dan lead oxides

sebagai bahan dasarnya

3. Industri bahan bakar

Pb berupa tetra ethyl lead dan tetra methyl lead yang banyak di pakai

sebagai anti knock pada bahan bakar, sehingga baik industri maupun

bahan baku yang dihasilkan merupakan sumber pencemaran Pb

4. Industri kabel

Industri kabel memerlukan Pb untuk melapisi kabel. Saat ini pemakaian

Pb di industri kabel mulai berkurang, walaupun masih digunakan

campuran logam Cd, fe, Cr, Au dan arsenic yang juga berbahaya untuk

kehidupan makhluk hidup

(27)

Pada industri kimia Pb sering sekali digunakan karena toksisitasnya lebih

rendah dari logam pigmen yang lain. Sebagai pewarna merah pada cat

biasanya di pakai red lead, sedangkan untuk warna kuning di pakai lead

chromate.

6. Sumber dari transportasi

Pb yang di gunakan sebagai bahan tambahan pada bahan bakar kendaraan

bermotor menghasilkan emisi inorganik. Selanjutnya ia akan bercampur

dengan oli dan melalui proses di alam bensin akan keluar dari knalpot

bersama dengan gas buang lainnya (Mukono, 2002 ).

Menurut WHO pajanan timbal yang diperkenankan untuk pekerja laki-laki 40

µg/dL dan untuk pekerja perempuan adalah 30 µg/dL ( de Roos,1997 dan OSHA,

2005).

2.1.2 Metabolisme Pb

a. Absorbsi

Absorbsi Pb terjadi melalui saluran pernafasan, saluran pencernaan, dan

sedikit melalui kulit.

Absorbsi Pb melalui saluran pernafasan di pengaruhi oleh tiga proses yaitu

deposisi, pembersihan mukosiliar, dan pembersihan alveolar. Deposisi terjadi di

nasofaring, saluran trakeabronkhial, dan alveolus. Deposisi tergantung pada ukuran

partikel Pb, volume pernafasan dan daya larut. Partikel yang lebih besar di deposit

lebih banyak di saluran pernafasan bagian atas di banding partikel yang lebih klecil.

(28)

Sedangkan absorbsi plumbum melalui saluran cerna tergantung pada ukuran

partikel logam berat tersebut, waktu transit gastrointestinal, status gizi dan usia.

(Kathuria,2008)

Absorbsi plumbum anorganik melalui saluran pencernaan pada hewan

percobaan dan manusia berkisar 10% ( Kehoe,1965;Rabinowitz et al.,1973).

Alexander et al.,(1973) melaporkan bahwa tingkat absorbsi yang tinggi (sekitar 53 %)

pada anak-anak berumur 5 bulan sampai 8,5 tahun. Hal ini mendukung penelitian

bahwa absorbsi plumbum menurun dengan meningkatnya usia dan berat badan

(Kostial et al.,1971;Forbes dan Reina,1972;Conrad dan Barton,(1978).

Plumbum organik seperti tetraethyl lead (TEL) yang di pakai sebagai bahan

additive pada bahan bakar bensin dan tetramethyl lead (TML) hampir seluruhnya di

absorbsi melalui kulit dan traktus gastrointestinal karena mempunyai kemampuan

mudah larut dalam substansi lemak (Bartik, 1981). Demikian juga TEL mudah di

absorbsi melalui kulit ( Lang dan Kunze, 1948 ) dan melalui epithel paru (Mortensen,

1942). Dalam tubuh TEL, akan di ubah menjadi triethyl lead dan diakumulasikan

pada jaringan yang kaya lemak seperti hati, ginjal dan otak (Bolanowska et al.,1967)

Pembersihan mukosiliar membawa partikel di saluran pernafasan bagian atas

ke nasofaring kemudian di telan. Rata-rata 10-30% dari yang tertelan di absorbsi

melalui saluran cerna (Palar, 1994 ).

b. Distribusi dan Penyimpanan

Timah hitam yang di absorbsi di angkut oleh darah ke organ-organ tubuh

(29)

bentuk yang dapat berdifusi dan diperkirakan dalam keseimbangan pool Pb tubuh

lainnya. Yang di bagi menjadi dua yaitu ke jaringan lunak (sum-sum tulang, system

syaraf , ginjal, hati ) dan jaringan keras (tulang,kuku,rambut,gigi) (Palar,1994). Gigi

dan tulang panjang mengandung Pb yang lebih banyak di bandingkan tulang lainnya.

Pada gusi dapat terlihat lead line yaitu pigmen berwarna abu-abu pada perbatasan

antara gigi dan gusi.(Goldstein & Kipen,1994). Hal itu merupakan ciri khas

keracunan Pb. Pada jaringan lunak sebagian Pb di simpan dalam aorta,hati,ginjal,otak

dan kulit. Timah yang ada di jaringan lunak bersifat toksik.

c. Ekskresi

Ekskresi Pb melalui beberapa cara yang terpenting adalah melalui ginjal dan

saluran cerna. Ekskresi Pb melalui urin sebanyak 75-80%, melalui feces 15% dan

lainnya melalui empedu, keringat,rambut dan kuku ( Palar, 1994 ).

Ekskresi Pb melalui saluran cerna di pengaruhi oleh saluran aktif dan pasif

kelenjar saliva,pancreas, dan saluran lainnya di dinding usus,regenerasi sel epitel dan

ekskresi empedu. Sedangkan ekskresi Pb melalui ginjal adalah melalui filtrasi

glomerulus. Kadar Pb dalam urin merupakan cerminan pajanan baru sehingga

pemeriksaan Pb urin di pakai untuk pajanan okupasional (Goldstein & Kippen,1994).

Pada umumnya ekskresi Pb berjalan sangat lambat. Timah hitam waktu paruh

di dalam darah kurang lebih 25 hari, pada jaringan lunak 40 hari sedangkan pada

tulang 25 tahun. Ekskresi yang lambat ini menyebabkan Pb mudah terakumulasi

dalam tubuh, pada pajanan okupasional (Nordberg, 1998). Ukuran keracunan suatu

(30)

2.1.3 Toksisitas Pb

Saluran pencernaan, susunan saraf, system hemopoietik dan ginjal merupakan

alat-alat tubuh yang paling sensitive terhadap efek toksik Pb. Logam berat Pb dapat

meracuni tubuh manusia baik secara akut maupun kronis. Senyawa Pb organik

mempunyai daya racun yang lebih kuat dibandingkan dengan senyawa Pb anorganik.

a. Intoksikasi Pb Akut

Intoksikasi Pb akut jarang terjadi, biasanya bersifat accidental poisoning yaitu

termakannya senyawa Pb akut yang mengenai saluran pencernaan dengan gejala

haus, nausea, vomitus, diare, konstipasi, sakit perut dan rasa logam ( metallic taste ).

Sedangkan gejala yang berhubungan dengan susunan saraf pusat berupa insomnia,

tremor, halusinasi dan gejala pada anak yang menonjol yaitu ataxia, konvulsi, koma

dan ensefalopati. Gejala intoksikasi Pb terhadap susunan saraf perifer dapat berupa

parastesi perasaan, sakit dan lemah pada otot terutama pada kaki.

Anak-anak dan dewasa dengan keracunan Pb akut dapat menderita disfungsi

tubuli proximal dengan gejala-gejala seperti sindroma de Toni fanconi (aminosiduria,

glikosuria dan hiperfosfaturia). Hal ini dapat disebabkan oleh gangguan enzim tubuli

atau defek mitokondria yang dapat kembali normal sesudah di obati dengan chelating

(31)

b. Intoksikasi Pb kronik

Intoksikasi Pb kronik di dapatkan melalui exposed terhadap Pb secara terus

menerus sehingga akumulasi Pb makin meningkat dalam jaringan, yang suatu saat

melampaui safety level dan menimbulkan keluhan dan gejala intoksikasi.

Perubahan anatomik terutama akibat keracunan Pb dapat terlihat pada tabel

[image:31.612.108.534.275.608.2]

berikut ( Robinson & Kumar,1995 )

Tabel 1. Gambaran Anatomi Pada Keracunan Plumbum

No. Target Kelainan

1. Darah • Anemia biasanya mikrositik,

hipokromik(berhubungan dengan rusaknya sintesa hemoglobin dan meningkatnya kerapuhan sel-sel darah merah )

• Basophilic stippling pada sel-sel darah

merah(berhubungan dengan mitokondria dan luka-luka ribosom dengan penyatuan ribosom)

2. Sistem saraf • Ensefalopati ( pada anak-anak) dengan

membengkaknya otak, kemungkinan dieliminasi otak dan otak kecil yang putih sebelah belakang, kematian pad sel-sel saraf, cabang-cabang halusnya dan

perkembangbiakan astrositik

• Inflamasi saraf dengan demielinasi

3. Rongga Mulut • Garis plumbum ginggiva terdapat pada orang dewasa dengan gingivitis ( deposit berwarna biru/hitam dari plumbum sulfide )

4. Ginjal • Inklusi intranuklear tahan asam, terutama dalam sel-sel tubulus proksimal ( terdiri dari bagian kompleks plumbum-protein)

5. Sistem rangka • Endapan plumbum yang radiopak pada epifise anak-anak

Hasil penelitian Osamah (2006), kerusakan ginjal dapat terjadi apabila

terpapar Pb 40 µg/dL, kerusakan saraf dan anemia apabila Pb darah > 60µg/dL.

(32)

konstipasi, sakit perut, diare dan anoreksia. Konvulsi dan paralisa dapat juga terjadi

bahkan bisa mengakibatkan kematian.

Menurut Jones, dkk.,(1997) toksisitas Pb terhadap hewan dapat dipengaruhi

oleh beberapa faktor antara lain :

1. Umur ; lebih peka pada usia muda

2. Spesies ; adanya variasi individu dalam kepekaan dan jumlah plumbum yang

di ekskresikan

3. Keadaan reproduksi

4. Kadar plumbum yang masuk ke dalam tubuh; pada kasus keracunan akut,

kadar plumbum yang masuk cukup besar dapat menimbulkan kematian

mendadak Sedangkan pada kasus kronis masuknya plumbum dengan kadar

rendah dan secara terus menerus dalam jangka waktu lama tidak

menimbulkan kematian mendadak, walau jumlah total plumbum yang masuk

lebih besar dibandingkan pada kasus keracunan yang akut

5. Bentuk plumbum; bentuk padat atau PbO2 yang tidak larut dalam air, kurang

toksik di banding Pb asetat yang dapat larut dalam air

6. Jumlah dan kecepatan absorbsi; hanya 1-2 % dari plumbum yang masuk dapat

diabsorbsi melalui pencernaan sedangkan melalui inhalasi relatif besar.

Plumbum organik seperti TEL dan TML diabsorbsi lebih cepat melalui kulit

(33)

8. Pengaruh hormonal; plumbum yang berada di dalam tulang di pengaruhi oleh

hormon yang bekerja pada metabolisme kalsium tulang.

2.1.4 Efek Plumbum pada Ginjal

Mekanisme toksisitas Pb asetat masih kontroversi, diduga plumbum berikatan

secara kovalen dengan preparat besi (III) pada asam nukleat dan protein, menghambat

penggabungan besi menjadi hem, mengganggu sintesa globin, menghambat asam

delta aminolevulenat dehidratase dalam sel adarh merah serta mempengaruhi sintesa

DNA in vitro ( Robin dan Kumar, 1995).

Toksisitas Pb menimbulkan pembentukan radikal bebas dengan melalui dua

cara yaitu : 1. pembentukan reactive oxygen species (ROS) seperti hydroperoksida,

singlet oxygen dan hydrogen peroksida 2. secara langsung menurunkan ketersediaan

antioksidan tubuh.

Patogenesa toksisitas plumbum asetat merupakan multifaktor yaitu plumbum

secara langsung mempengaruhi aktifitas enzim, menghambat absorbsi mineral

runutan, mengikat sintesa struktur protein, merubah homeostatis kalsium dan

menurunkan zat antioksidan tubuh

Beberapa penelitian mengenai efek Pb terhadap ginjal antara lain penelitian

Valverde (2002) pemberian Pb asetat 0,0068 g/cc inhalasi pada mencit

menunjukkan peningkatan migrasi DNA pada ginjal setelah pemaparan.

Hasil penelitian Hariono (2005) dengan pemberian 0,5 g Pb asetat netral/kg

(34)

penurunan BB yang signifikan ( P<0,05). Begitu juga rata-rata berat absolute hati,

ginjal dan limpha terjadi penurunan signifikan dibandingkan kelompok kontrol.

Namun, tidak terlihat perbedaan yang signifikan terhadap kadar kreatinin, Blood

Urea Nitrogen (BUN) dan enzim alanin aminotransferase (ALT) tikus perlakuan

maupun kontrol. Pada penelitian tersebut juga dihasilkan kadar plumbum dalam

ginjal lebih tinggi dari hati dan limpa. Hal ini dapat menyebabkan ginjal lebih

beresiko daripada jaringan tubuh lain.

Selanjutnya hasil pemeriksaan secara makroskopik pada minggu ke 14 dan 16

organ hati dan ginjal tampak pucat sedangkan organ lain normal. Secara mikroskopik

pada minggu ke 12-16 epitel tubulus konvulatus proksimal ginjal terlihat degenerasi,

hyperplasia, kariomegali dan pada minggu ke 8 terlihat benda-benda inklusi dalam

inti sel. Terlihat pula vakuolisasi duktus kolektivus, dilatasi lumen disertai akumulasi

sel debris dan pelebaran ruangan Bowman.

Implikasi klinik akibat paparan plumbum pada ginjal menyebabkan tidak

berfungsinya tubulus renal, nefropati irreversibel, sklerosis vaskuler , sel tubulus

atrofi, fibrosis dan sklerosis glomerulus. Akibatnya dapat menimbulkan

aminoaciduria dan glukosuria, dan jika paparannya terus berlanjut dapat terjadi

nefritis kronis (Mukono J, 2006)

2.1.5 Radikal Bebas dan Antioksidan

Suatu radikal bebas dapat dinyatakan sebagai spesies yang terdiri dari satu

atau lebih electron yang tidak berpasangan. Radikal bebas ini dapat bereaksi dengan

(35)

yang tidak berpasangan tadi akan bergabung membentuk ikatan kovalen ( Halliwell,

1994 ).

Radikal bebas di anggap berbahaya karena menjadi sangat reaktif dalam

upaya mendapatkan pasangan elektronnya, sehingga dapat bereaksi dengan berbagai

biomolekul penting seperti enzim, DNA dan juga merusak sel lainnya yang akhirnya

dapat menimbulkan berbagai penyakit. Radikal bebas yang berbahaya bagi kesehatan

dapat di hambat dengan penggunaan antioksidan ( Ivanova, et.,2000).

Ketidakseimbangan antara radikal bebas dengan antioksidan menghasilkan

stress oksidatif. Stres oksidatif merupakan pemicu patogenesa keracunan Pb. Stres

oksidatif adalah suatu keadaan dimana tingkat kelompok oksigen reaktif (ROS) yang

toksik melebihi pertahanan antioksidan endogen. Keadaan ini mengakibatkan

kelebihan radikal bebas yang akan bereaksi dengan lemak,protein dan asam nukleat

seluler sehingga terjadi terjadi kerusakan lokal dan disfungsi organ tertentu ( Arief,

2006 ) seperti hati, ginjal dan jaringan otak. ROS yang terbentuk akibat paparan Pb

asetat dapat diidentifikasi di paru-paru, jaringan endotel, testis, sperma, hati , otak dan

ginjal.

Antioksidan adalah senyawa pemberi electron yang dapat menetralkan radikal

bebas, atau suatu bahan yang berfungsi mencegah system biologi tubuh dari efek

yang merugikan yang timbul dari proses ataupun reaksi yang menyebabkan oksidasi

(36)

Packer ( 1995 ), mengatakan bahwa sebagai bahan penetral dari radikal bebas,

maka antioksidan yang di kenal ada yang berupa enzim dan ada yang berupa

mikronutrien.

Enzim antioksidan dibentuk dalam tubuh, yaitu superoxide dismutase (SOD),

glutation peroksidase, katalase, dan glutation reduktase. Sedangkan antioksidan yang

berupa mikronutrien adalah vitamin A, C dan E (Shahidi, 1997). Vitamin A/b-caroten

merupakan scavengers (pemulung) oksigen tunggal, vitamin C pemulung superoksid

dan radikal bebas lain. Vitamin C berdasarkan fungsinya merupakan tipe pereduksi

yaitu mentrasfer atom H atau oksigen. Sedangkan vitamin E pemutus rantai peroksida

lemak ( Krisnamurthy (1983),Watson dan Leonard,(1986);Packer(1995).

Vitamin C bekerja sebagai suatu koenzim dan pada keadaan tertentu

merupakan reduktor dan antioksidan. Absorpsi vitamin C dari usus berlangsung

secara cepat dan sempurna (90%), tapi menurun pada dosis di atas 1 gram.

Distribusinya ke seluruh jaringan baik. Persediaan tubuh untuk sebagian besar

terdapat dalam korteks anak ginjal. Dalam darah sangat mudah dioksidasi secara

reversible menjadi dehidroascorbat yang hampir sama aktifnya. Sebagian kecil di

rombak menjadi asam oksalat dengan jalan pemecahan ikatan antara C2 dan C3.

Ekskresi berlangsung terutama sebagai metabolit dehidronya dan sedikit sebagai

asam folat (Tjay,2002)

Mekanisme kerja berbagai aktifitas asam askorbat masih belum jelas. Dalam

beberapa proses asam askorbat tidak terlibat secara langsung, tapi di perlukan untuk

(37)

satu fungsi dari asam askorbat adalah sebagai antioksidan umum yang larut dalam air,

dan bekerja pada sitosol dan cairan ekstraseluler. ( Murray et al.,2003)

Dari berbagai penelitian menunjukkan bahwa pemberian vitamin C dengan dosis

tinggi dapat menanggulangi beberapa proses penyakit. Dengan pemberian vitamin C

500 mg bahkan 1000 mg dapat mengatasi infeksi virus. Dan dosis 200-500 mg juga

dapat mengatasi kerusakan jaringan akibat berbagai logam berat ( Klenner, 1997).

Penelitian Dawson, dkk menunjukkan vitamin C 1000 mg secara signifikan dapat

menurunkan kadar Pb darah pada perokok. Adapun dosis optimal vitamin C sebagai

antioksidan sangat tergantung derajat paparan radikal bebas ( Sanjoto,2001 )

2.2. Ginjal

2.2.1. Anatomi Umum

Ginjal adalah suatu kelenjar yang terletak pada dinding posterior abdomen, di

daerah lumbal, di sebelah kanan dan kiri tulang belakang, di bungkus lapisan lemak

yang tebal, di belakang pertonium. Ginjal jumlahnya ada dua buah kiri dan kanan,

ginjal kanan lebih tebal dari yang kiri.Masing-masing ginjal memiliki facies anterior

dan posterior, margo medialis dan lateralis, ekstremitas posterior dan inferior.

Kedua ginjal bersama-sama mengandung kira-kira 2.400.000 nefron dan tiap

nefron dapat membentuk urin sendiri. Pada dasarnya nnefron terdiri dari :

a. Suatu glomerulus dari mana cairan difiltrasikan

b. Suatu tubulus panjang di mana cairan yang difiltrasikan di ubah menjadi urin

dalam perjalannnya ke pelvis ginjal

(38)

Fungsi Ginjal

1. Memegang peranan penting dalam pengeluaran zat-zat toksik atau racun

2. Mempertahankan suasana keseimbangan cairan tubuh

3. Mempertahankan keseimbangan kadar asam dan basa cairan tubuh

4. Mempertahankan keseimbanagan garam-garam dan zat-zat lain dalam tubuh

seperti ion natrium, ion kalium, ion klorida dan ion hydrogen yang cenderung

terkumpul di dalam tubuh dalam jumlah berlebihan.

5. Mengeluarkan sisa-sisa metabolisme hasil akhir dari protein ureum, kreatinin,

amoniak, asam urat dan garam-garam asam urat.

6. Mengatur aktifitas metabolik: hormone, glukoneogenesis.

Ginjal di perdarahi oleh arteri renalis, sedangkan glandula suprerenalis di

darahi oleh arteri supra renalis.

2.2.2 Gambaran Histologi

Setiap ginjal terdiri atas 1-4 juta nefron. Setiap nefron terdiri atas bagian yang

melebar, korpuskulus renal; tubulus kontorus proksimal; segmen tipis dan tebal ansa

Henle; dan tubulus kontortus distal. Tubulus dan duktus koligens, menampung urin

yang di hasilkan oleh nefron dan menghantarnya ke pelvis renalis. Nefron dan duktus

koligens merupakan tubulus urniferus sebagai satuan fungsional ginjal.

Setiap korpuskulus renal berdiameter 200µm dan terdiri atas seberkas kapiler

yaitu glomerulus, dikelilingi oleh kapsula epitel berdinding ganda yang di sebut

(39)

lamina parietalis yang terdiri atas epitel selapis gepeng yang di tunjang lamina basalis

dan selapis tipis serat retikulin. Lapisan dalam ( lamina visceralis ) meliputi kapiler

glomerulus yang terdiri dari sel-sel podosit.

Pada katub urinarius dari korpuskulus renal, epitel gepeng dari lapisan parietal

kapsula Bowman, berhubungan langsung dengan epitel silindris dari tubulus

kontortus proksimal. Tubulus ini lebih panjang dari kontortus distal dan karenanya

tampak lebih banyak dekat korpuskulus renalis dalam labirin korteks. Tubulus ini

memiliki lumen lebar dan di kelilingi oleh kapiler peritubuler.

Lengkung Henle adalah struktur berbentuk U terdiri atas ruas tebal descenden

dengan struktur yang sangat mirip tubulus kontortus proksimal, ruas tipis descenden;

ruas tipis ascenden; dan ruas tebal ascenden, yang strukturnya sangat mirip dengan

tubulus kontortus distal. Lebih kurang sepertujuh dari semua nefron terletak dekat

batas korteks –medula yang di sebut nefron jukstamedula. Nefron lainnya di sebut

nefron kortikal. Semua nefron turut serta dalam proses filtrasi, absorpsi dan sekresi.

Bila ruas ascenden lengkung Henle menerobos korteks, struktur histologisnya

tetap terpelihara tetapi menjadi berkelok-kelok dan di sebut tubulus kontortus distal,

yaitu bagian terakhir nefron yang di lapisi oleh epitel selapis kuboid. Lumen tubulus

distal lebih besar karena sel-sel tubulus distal lebih gepeng dan lebih kecil dari

tubulus proksimal, maka tampak lebih banyak sel dan inti pada dinding tubulus distal.

Urin mengalir dari tubulus kontortus distal ke tubulus koligens, yang saling

bergabung dan membentuk duktus koligens yang lebih besar dan lebih lurus yaitu

(40)

pyramid. Tubulus koligens yang lebih kecil di lapisi oleh epitel kuboid dan

berdiameter kurang lebih 40 µm. Dalam medulla, duktus koligens merupakan

komponen utama dari mekanisme pemekatan urin (Junquiera, 1995 ).

2.3 Pemeriksaan Biokimia Ginjal

Beberapa uji pemeriksaan ginjal yang sering di lakukan, meliputi pemeriksaan

kadar albumin, pre albumin, Blood Urea Nitrogen (BUN), kreatinin,

magnesium,nitrogen,fosfor, kalium, & serum bikarbonat (Hartono, A 2000).

Sedangkan untuk menguji fungsi ginjal secara sederhana sering di lakukan:

1. Test untuk protein (albumin)

Bila ada kerusakan pada glomerulus atau tubulus maka protein dapat bocor masuk

ke urine

2. Mengukur konsentrasi urea darah

Bila ginjal tidak mampu mengeluarkan ureum, maka ureum darah naik di atas

kadar normal

3. Test Konsentrasi

Pada pemeriksaan ini tidak di perkenankan makan atau minum selama 12 jam

untuk melihat sampai berapa tinggi kenaikan berat jenis.

2.3.1 Ureum

Ureum adalah hasil akhir metabolisme protein, berasal dari asam amino yang

telah di pindah amonianya di dalam hati dan mencapai ginjal. Ureum bersifat racun di

dalam tubuh, pengeluarannya dari tubuh melalui ginjal berupa air seni ( urine ).

(41)

Kadar ureum normal dalam darah adalah 30 mg/100 ml darah, tetapi hal ini

tergantung dari jumlah normal protein yang di makan dan fungsi hati dalam

pembentukan ureum. Bila ginjal rusak atau kurang baik fungsinya maka kadar ureum

darah dapat meningkat dan meracuni sel-sel tubuh, keadaan tersebut disebut uremia.

Rata-rata tubuh membentuk 25-30 gram ureum tiap hari ( lebih banyak pada

orang-orang dengan diet tinggi protein dan lebih kecil pada orang-orang diet rendah

protein ). Semua ureum ini harus di ekskresikan ke dalam urine, kalau tidak maka

akan terkumpul di dalam cairan tubuh. Konsentrasi normal di dalam plasma kira-kira

26 mg/100 ml, tetapi dalam keadaan abnormal, kadang-kadang dapat mencapai 800

mg/ 100 ml (penderita gagal ginjal ).

Ekskresi ureum ditentukan oleh 2 faktor utama, yaitu :

1. Konsentrasi ureum dalam plasma

2. Laju filtrasi glomerulus

Umumnya jumlah ureum yang keluar melalui tubulus ke dalam urine kira-kira

sesuai dengan muatan ureum yang memasuki tubulus proksimal, rata-rata 50-60 %.

2.3.2 Kreatinin ( serum & urine )

Kreatinin adalah suatu zat sisa metabolisme yang terbentuk dari hasil

pemecahan kreatin dalam rangkaian proses perubahan makanan menjadi energi.

Jumlah produksi kreatinin sesuai dengan masssa otot.

Kreatinin dikeluarkan dalam tubuh melalui ginjal. Oleh karena itu jika kadar

(42)

ginjal. Jika 50 % atau lebih nefron rusak kadar kreatinin menjadi meningkat.

Kreatinin serum secara khusus berguna dalam mengevaluasi fungsi glomerulus.

Kreatinin serum di nilai lebih sensitive dan merupakan indikator penyakit

ginjal yang lebih spesifik dari pada BUN. Kreatinin serum ini kemudian meningkat

dan tidak di pengaruhi oleh diet atau masukan cairan. Rasio normal BUN/kreatinin

adalah 10 : 1. Nilai rasio yang lebih tinggi dari normal menunjukkan adanya

gangguan pre renal.

Kadar normal serum kreatinin pada orang dewasa adalah 0,5-1,5 mg/dl;

45-132,5 µmol/L (unit SI ). Pada wanita kadarnya sedikit lebih rendah akibat massa otot

yang kurang. (Le Fever Kee,1997).

2.4 Biologi Mencit

Mencit termasuk dalam genus Mus, subfamily Murinae, family Muridae,

order Rodentia. Mencit yang sudah di pelihara di laboratorium sebenarnya masih satu

famili dengan mencit liar. Sedangkan mencit yang paling sering di pakai untuk

penelitian biomedis adalah Mus musculus. Berbeda dengan hewan-hewan lainnya,

mencit tidak memiliki kelenjar keringat.

Pada umur empat minggu berat badannya mencapai 18-20 gram. Jantung

terdiri dari empat ruang dengan dinding atrium yang tipis dan dinding ventrikel yang

lebih tebal. Peningkatan temperatur tubuh tidak mempengaruhi tekanan darah,

sedangkan frekuensi jantung, cardiac output berkaitan dengan ukuran tubuhnya.

(43)

Di antara spesies-spesies hewan lainnya, mencitlah yang paling banyak

digunakan untuk tujuan penelitian medis ( 60-80 % ) karena murah dan mudah

[image:43.612.161.468.218.438.2]

berkembang biak.

Tabel 2. Data biologi mencit ( Fox, 1984 )

Berat badan

Jantan (gram) : 20 - 40

Betina (gram ) : 18 - 35

Lama hidup ( tahun ) : 1 – 3

Temperatur tubuh (oC) : 36,5

Kebutuhan air : ad libitum

Kebutuhan makanan (g/hari) : 4 – 5

Tabel 3. Gambaran Hematologi Mencit ( Mitruka, 1981; dan Loeb,1989)

Eritosit ( RBC) (x 10 6/mm3) : 6,86 – 11,7

BUN ( mg/dl) : 13,9 – 28,3

Kreatinin ( mg/dl ) : 0,30 – 1,00

Bilirubin ( mg/dl) : 0,10 – 0,90

Kolesterol (mg/dl) : 26,0 – 82,4

Total protein (g/dl) :4,00 – 8,62

[image:43.612.166.463.470.654.2]
(44)

BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

3.1 Desain Penelitian

Desain penelitian yang digunakan pada penelitian ini adalah studi

experimental dengan desain Rancangan Acak Lengkap (RAL). Sebanyak 30 ekor

mencit jantan (Mus musculus L) strain Double Distsch Webster (DDW) di bagi ke

dalam 5 kelompok perlakuan terdiri atas 6 ekor mencit jantan.

3.2Tempat dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium FMIPA Biologi USU, Balai

Penyidikan dan Pengujian Veteriner (BPPV) Medan, dan Laboratorium Klinik

Pramita Medan selama 3 bulan yaitu 09 Juni – 15 Agustus 2008.

3.3Rancangan Penelitian

Pada penelitian ini sampel terdiri dari 30 ekor mencit jantan yang di bagi

secara acak dalam 5 kelompok masing-masing tiap kelompok dengan nama K, P, C1,

C2, dan C3

a. Penentuan dosis plumbum

Dalam penelitian ini dosis Pb asetat yang diberikan adalah 20 mg/kgBB/hari

dalam bentuk serbuk kemudian di larutkan dengan aquadest kemudian di masukkan

(45)

b. Penentuan dosis vitamin C

Dalam penelitian ini dosis vitamin C yang diberikan bervariasi yaitu 200, 500,

dan 1000 mg/kgBB/hari dalam bentuk serbuk kemudian dimasukkan langsung ke

lambung mencit dengan menggunakan jarum gavage peroral.

3.4Populasi Penelitian

Populasi dalam penelitian ini adalah mencit ( Mus musculus L ), jenis kelamin

jantan, dewasa.

3.5Sampel Penelitian

Sampel yang digunakan adalah mencit ( Mus musculus L ), jenis kelamin

jantan, dewasa, usia 6 – 8 minggu, dengan berat badan berkisar 20 – 30g dan

kondisi sehat fisik.

Penentuan sampel pada penelitian ini di gunakan rumus Federer (1963) :

(t-1) (n-1) ≥ 15 t = kelompok perlakuan ( 5 kelompok )

n = jumlah sampel tiap kelompok

Banyaknya sampel yang di butuhkan dalam penelitian ini adalah :

(t-1) (n-1) ≥ 15

4n-4 ≥ 15

n ≥ 5

Jumlah sampel yang digunakan dalam penelitian ini sebanyak 30 ekor yang

(46)

3.6Variabel Yang Diteliti

3.6.1 Variabel Independent

1. Vitamin C

2. Plumbum

3.6.2 Variabel Dependent

1. Kadar Ureum

2. Kadar Kreatinin

3. Gambaran histopatologis ginjal

3.6.3 Variabel Kendali

1. Hewan coba

2. Jenis kelamin hewan coba

3. Umur hewan coba

4. Berat badan hewan coba

5. Kesehatan fisik hewan coba

6. Faktor lingkungan laboratorium untuk pemeriksaan

3.7 Bahan

1. Sediaan timbal asetat dalam bentuk bubuk (C4H6O4Pb) produksi Merc,

Jerman diencerkan dengan aquadest hingga mencapai konsentrasi 1,6 mg/ml

diberikan dengan dosis 20 mg/kgBB

2. Vitamin C dalam bentuk bubuk produksi Merc, Jerman diencerkan dengan

aquadest dengan dosis 200 mg/kgBB (konsentrasi 10 mg/ml) , 500 mg/kgBB

(47)

3. Buffer Neutral Formalin (BNF)

4. Pellet Produksi PT. Mabar, Medan

5. Sekam

6. Parafin

7. Reagen pemeriksaan Ureum :

a. Capso Buffer : 5 mmol/l, pH 9,65 ; NADH ≥0,23 mmol/L

b. Bicin Buffer : 1000 mmol/l, pH 7,6; Urease ≥120 ukat/L; GLDH ≥ 150

ukat/L; -ketoglutarat ≥ 8,3 mmol/L

8. Reagen Pemeriksaan Kreatinin :

a. Sodium Hydroxide : 0,20 mol/L

b. Asam pikrat : 25 mmol/L

3.8 Alat

1. Kandang pemeliharaan mencit berupa kandang plastik dengan penutup berupa

kawat

2. Spektrofotometer (Microlab-300) produksi Merck yang telah diprogram.

3. Alat sentrifugasi : Hitachi 912

4. Pipet 20 – 200 l

5. Pipet 100 – 1000 l

6. Cup Serum

7. Perangkat pembuatan sediaan histopatologi

8. Mikroskop cahaya

(48)

10.Timbangan hewan

11.Timbangan analitik

12.Spuit 1 cc dan 10 cc merk Terumo

13.Peralatan bedah hewan

14.Vial

15.Objek dan cover glass

16.Waterbath

3.9 Pelaksanaan Penelitian

3.9.1 Pemeliharaan Hewan Percobaan

Mencit jantan, umur 6-8 minggu, sehat dengan berat badan 20 – 40 gr.

Kandang percobaan di bersihkan setiap hari untuk mencegah infeksi yang dapat

terjadi akibat kotoran mencit tersebut. Kandang di tempatkan dalam suhu kamar

dan cahaya menggunakan sinar matahari tidak langsung. Makanan hewan

percobaan diberikan dalam bentuk pellet. Makanan dan minuman di berikan

secukupnya dalam wadah terpisah dan dig anti setiap hari.

3.9.2 Persiapan Hewan Percobaan

Masing-masing kelompok hewan percobaan di persiapkan dalam

kandang yang terpisah. Mencit di pilih dan di pisahkan secara random dalam

keadaan baik, disiapkan untuk beradaptasi selama 1 minggu sebelum dilakukan

penelitian. Sebelum perlakuan, terhadap setiap mencit ditimbang berat badannya

(49)

minum ). Jika ada mencit yang sakit pada saat adaptasi maka diganti dengan

mencit yang baru dengan kriteria yang sama dan di ambil secara acak.

3.9.3. Perlakuan Hewan Percobaan

Setelah persiapan selesai maka binatang percobaan kelompok K, P,

C1, C2, dan C3 diberikan perlakuan sebagai berikut :

a. Kelompok K adalah kelompok Kontrol yang tidak di induksi apapun, hanya di

beri aquabidest

b. Kelompok P adalah kelompok yang dipapar timbal asetat 20 mg/kg BB secara

intraperitoneals

c. Kelompok C1 adalah kelompok yang di beri vitamin C dengan dosis 200

mg/kg BB secara oral selama 7 hari. Satu jam seteleh pemberian vitamin C

pada hari ke tujuh dilanjutkan dengan pemberian timbal asetat 20 mg/kg BB

secara intraperitoneal.

d. Kelompok ke C2 adalah kelompok yang diberi vitamin C dengan dosis 500

mg/kg BB secara oral selama 7 hari. Satu jam setelah pemberian vitamin C

pada hari ke tujuh dilanjutkan dengan pemberian timbal asetat 20 mg/kg BB

secara intraperitoneal.

e. Kelompok ke C3 adalah kelompok yang diberi vitamin C dengan dosis 1000

mg/kg BB secara oral selama 7 hari. Satu jam setelah pemberian vitamin C

pada hari ke tujuh dilanjutkan dengan pemberian timbal asetat 20 mg/kg BB

(50)

f. Selanjutnya di lakukan pemeriksaan kadar ureum dan kreatinin darah pada

mencit tiap kelompok penelitian, setelah dua hari pemberian Pb asetat, dan

hari kedua percobaan untuk kelompok kontrol.

g. Setelah itu hewan coba tersebut di bunuh secara dislokasi leher. Kemudian

dilakukan pembedahan laparatomi untuk mengambil ginjal dan dibuat sediaan

Patologi Anatomi (PA)

h. Pemeriksaan histologis organ ginjal dilakukan untuk melihat adanya

tanda-tanda degenerasi dengan metode Parafin dengan menggunakan pewarnaan

Hematoksilin – Eosin (HE) . Jaringan ginjal diambil, kemudian segera

difiksasi dalam larutan Buffer Neutral Formalin (BNF). Selanjutnya dibuat

sediaan dengan metode parafin, lalu jaringan dipotong dengan mikrotom

setebal 3-5 mikron, kemudian dilakukan pengecatan dengan hematoksilin

Eosin yang akan menyebabkan inti berwarna kebiruan dan sitoplasma

berwarna merah. Setelah itu dilakukan pemeriksaan histopatologis dengan

menggunakan mikroskop cahaya dengan pembesaran 200 dan 400 kali untuk

setiap sediaan. Preparat difoto dengan mikroskop kamera.

i. Pengamatan histologis dilakukan secara mikroskopis, dalam hal ini peneliti di

bantu oleh ahli Patologi Anatomi .

(51)

Kriteria normal bila tidak ditemukan :

1. perdarahan intertubuler

2. kongesti

3. degenerasi pada tubuli

4. nekrosis

5. glomerulus menempel pada Capsula Bowman

Selanjutnya kriteria tersebut dikuantifikasikan dengan skala sebagai

berikut :

0 = tidak terjadi kerusakan jaringan ginjal

+ = ringan (terdapat sedikit tanda pada salah satu kriteria normal )

++ = Sedang (terdapat beberapa tanda pada salah satu kriteria di atas)

(52)

KERANGKA KERJA

PEMELIHARAAN HEWAN COBA (TUJUH HARI)

Klp.I AQUADEST

Klp. II Pb 20mg/kg

Klp. III Vit.C 200mg/kg

Klp. IV Vit. C 500mg/kg

Klp. V VitC 1000mg/kg

Pb 20 mg/kg TUJUH HARI

DUA HARI

DUA HARI

PEMERIKSAAN UREUM, KREATININ & HISTOPATOLOGIS

[image:52.612.116.510.119.465.2]

UJI STATISTIK

Gambar 2. Kerangka Kerja

4. Prosedur Pemeriksaan Ureum

Sampel darah pertama dikalibrasi dengan NaCl 0,9 % dan C.f.a.s ( Calibrator

for automated systems ). Kalibrator dilarutkan dengan aquabidest dan di campur

sampai homogen, dibagi dalam cup @ 200 l kemudian disimpan di freezer pada

suhu 2 – 8ºC. Selanjutnya tekan Panel ” Calibration ”, tekan panel ” Status ” pilih

parameter yang dikalibrasi ( BUN ), pilih metode kalibrasi ( 2 point ), tekan ”Ok”,

dan tekan ”Start” 2 kali.

Setelah dikalibrasi sampel di lakukan ” Quality Control ” dengan Bio Rad

(53)

1. Pipet 300 l Bio-Rad ke dalam cup serum dan letakkan pada rak

kontrol yang telah di tentukan

2. Tekan panel ”QC”

3. Tekan panel ” Instal ”

4. Pilih jenis kontrol ( Bio-Rad)

5. Pilih parameter yang akan di kontrol ( BUN ), aktifkan

6. Tekan panel ” Active Test ”

7. Tekan ”Start ” 2 kali

Selanjutnya untuk pemeriksaan kadar ureum, sampel yang telah diberi kode

diletakkan pada raknya masing-masing ( Hitachi 912). Lalu tekan Start 2 kali, lalu

dilakukan program yaitu dengan menekan panel “ WORKPLACE “, lalu tekan panel ”

Test Selection ” dan tandai setiap sampel, lalu tekan “ Enter “ kemudian tekan panel

pemeriksaan “BUN” , tekan panel “ Accept “, tekan “Start” 2 kali lalu Hitachi 912

secara otomatis menghitung konsentrasi BUN dalam darah dengan faktor konversi :

a. mg/dl x 0,357 = mmol/l

b. mg/dl urea x 0,467 = mg/dl ( BUN )

5. Prosedur Pemeriksaan Kreatinin

Sampel darah pertama dikalibrasi dengan NaCl 0,9 % dan C.f.a.s ( Calibrator

for automated systems ). Kalibrator dilarutkan dengan aquabidest dan di campur

sampai homogen, dibagi dalam cup @ 200 l kemudian disimpan di freezer pada

(54)

parameter yang dikalibrasi ( Kreatinin), pilih metode kalibrasi ( 2 point ), tekan ”Ok”,

dan tekan ”Start” 2 kali.

Setelah dikalibrasi sampel di lakukan ” Quality Control ” dengan Bio Rad

(Level 1 dan level 2) dengan program kontrol sebagai berikut :

1. Pipet 300 l Bio-Rad ke dalam cup serum dan letakkan pada rak kontrol

yang telah di tentukan

2. Tekan panel ”QC”

3. Tekan panel ” Instal

4. Pilih jenis kontrol ( Bio-Rad)

5. Pilih parameter yang akan di kontrol (Kreatinin ), aktifkan

6. Tekan panel ” Active Test

7. Tekan ”Start ” 2 kali

Selanjutnya untuk pemeriksaan kadar kreatinin, sampel yang telah diberi kode

diletakkan pada raknya masing-masing (Hitachi 912). Lalu tekan Start 2 kali, lalu

dilakukan program yaitu dengan menekan panel “ WORKPLACE “, lalu tekan panel ”

Test Selection ” dan tandai setiap sampel, lalu tekan “ Enter “ kemudian tekan panel

pemeriksaan “Kreatinin” , tekan panel “ Accept “, tekan “Start” 2 kali lalu Hitachi

912 secara otomatis menghitung konsentrasi Kreatinin dalam darah dengan faktor

(55)

6. Analisa Data

Data yang diperoleh di analisa dengan menggunakan program computer SPSS

12. Selanjutnya dilakukan pengujian apakah ada perbedaan pengaruh proteksi vitamin

C terhadap nilai kadar ureum dan kreatinin darah antara kelompok perlakuan dan

kontrol dengan menggunakan “ Mann- Whitney Test “ dikarenakan data tidak

(56)

BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1. Deskripsi Hasil Penelitian

Pemeliharaan mencit di mulai tanggal 09 Juni 2008 di Laboratorium

FMIPA Biologi USU. Aklimatisasi mencit dilakukan selama 7 hari, selanjutnya

diberi perlakuan baik pada kelompok kontrol maupun kelompok perlakuan. Pada

pelaksanaan penelitian terdapat satu mencit hilang pada kelompok empat, tapi karena

[image:56.612.115.528.336.647.2]

tidak mengganggu sampel yang dibutuhkan maka yang hilang tersebut tidak diganti.

(57)

Selama pemeliharaan , berat badan dan aktifitas fisik setiap hewan coba terus

[image:57.612.162.457.159.391.2]

diperhatikan. Untuk membedakan setiap mencit diberi tanda spidol pada ekornya.

Gambar 4. Penimbangan Berat Badan Hewan Coba

Berat badan mencit di timbang setiap hari selama pelaksanaan penelitian.

Gambar 5. Pemberian Vitamin C Secara Oral

Pemberian Vitamin C secara oral dengan dosis berbeda diberikan selama 7

[image:57.612.164.461.427.633.2]
(58)
[image:58.612.116.518.109.417.2]

Gambar 6. Pemberian Plumbum Asetat Secara Intraperitoneal

Pemberian larutan Plumbum Asetat dosis 20 mg/kgBB secara intraperitoneal

dilakukan 1 jam setelah pemberian vitamin C. Setelah 48 jam pemberian larutan Pb

Asetat dilakukan pengambilan darah secara intraperitoneal, kemudian darah di

campur dengan heparin dan dibiarkan ± 30 menit.

Selanjutnya dilakukan laparatomi untuk mengambil ginjal. Setelah itu ginjal

(59)
[image:59.612.160.463.110.371.2]

Gambar 7. Pengambilan Darah Secara Intracardial

Semua perlakuan tersebut dilaksanakan di laboratorium FMIPA Biologi USU.

Selanjutnya pemeriksaan kadar ureum dan kreatinin darah hewan coba langsung

dibawa ke Laboratorium Klinik Pramita sedangkan pemeriksaan histopatologi

dilaksanakan di Balai Penyidikan dan Pengujian Veteriner (BPPV) Medan dengan di

(60)
[image:60.612.138.519.116.404.2]

Gambar 8. Pembedahan Laparatomi Untuk Pengambilan Jaringan ginjal

4.2. Berat Badan Mencit

Pada penelitian ini berat badan hewan coba ditimbang mulai dilakukan

(61)
[image:61.612.109.532.156.259.2]

Tabel 4. Berat Badan Rata-Rata Mencit Kelompok Kontrol dan Perlakuan Yang diberi Pb Asetat 20 mg/kgBB dan Vitamin C Dosis Berbeda

No. Kelompok Berat Badan

Aklimatisasi ( g)

Berat Badan Awal ( g)

Berat Badan Akhir (g)

1. Kontrol ( K ) 26 31 32

2. Perlakuan ( P ) 26 32 30

3. Vitamin C 200 (C1) 26 32 30

4. Vitamin C 500 (C2) 24 29 29

5. Vitamin C 1000 (C3) 32 33 35

Berat badan aklimatisasi adalah berat badan awal mencit dilakukan

aklimatisasi. Setelah tujuh hari diaklimatisasi berat badannya ditimbang kembali yang

disebut berat badan awal. Dari data berat badan awal terlihat bahwa terjadi

peningkatan yang signifikan yang berarti mencit yang dipilih adalah sehat. Data berat

badan akhir adalah data berat badan setelah di berikan perlakuan. Mencit pada

kelompok kontrol mengalami peningkatan berat badan 1 kg selama 1 minggu. Mencit

yang di beri plumbum asetat 20 mg/kg BB/hr dan vitamin C 200 mg mengalami

penurunan 2 kg. Sedangkan mencit yang di beri vitamin C 500 mg berat badannya

(62)
[image:62.612.97.556.169.337.2]

Selanjutnya data berat badan dianalisis dengan data diperoleh sebagai berikut:

Tabel 5. Berat Badan ( X ± SD ) Pada Lima Kelompok Perlakuan

Berat Badan dan SD

No Kelompok Perlakuan n Sebelum Perlakuan

( X ± SD )

Setelah Perlakuan

( X ± SD )

Nilai p

1 Kontrol Negatif 6 31,25 ± 3,30 31,95 ± 3,25 0,59

2 Kontrol Positif 6 29,74 ± 3,40 29,62 ± 2,78 1,00

3 Vitamin C 200 mg + Pb 20 mg 6 29,57 ± 4,04 30,70± 4,50 0,75

4 Vitamin C 500 mg + Pb 20 mg 5 29,22 ± 4,01 28,77 ± 4,29 0,92

5 Vitamin C 1000 mg + Pb 20

mg 6

33,38 ± 3,05 35,63 ± 2,02 0,15

Dari tabel 5 dapat disimpulkan bahwa variabel yang dikendalikan yaitu berat

badan tampak merata pada setiap kelompok perlakuan. Perbedaan rata-rata berat

badan pada tiap kelompok perlakuan terjadi bukan karena perlakuan yang dilakukan

tetapi pada saat aklimatisasi berat badan masing-masing mencit sudah berbeda.

Rata-rata berat badan mencit kontrol negatif : 31,25 gram. Rata-Rata-rata berat badan mencit

kelompok kontrol positif sebelum perlakuan 29,738 gram dan pada akhir penelitian:

29,617 gram (turun 0,121 gram). Rata-rata berat badan mencit kelompok yang diberi

200 mg/kgBB dan Pb 20 mg sebelum perlakuan: 29,567 gram dan pada akhir

penelitian 30,7 gram (naik 1,133 gram). Rata-rata berat badan mencit kelompok yang

diberi 500 mg/kgBB dan Pb 20 mg sebelum perlakuan: 29,22 gram dan pada akhir

penelitian 28,766 gram (turun 0,454 gram). Rata-rata berat badan mencit kelompok

yang diberi 1000 mg/kgBB dan Pb 20 mg sebelum perlakuan: 33,383 gram dan pada

(63)

Hasil penelitian Hariono (2005) dengan pemberian 0,5 g Pb asetat netral/kg

BB/oral/hr pada tikus putih ( Rattus Norvegicus ) selama 16 minggu terjadi

penurunan BB yang signifikan ( P<0,05). Begitu juga rata-rata berat absolute hati,

ginjal dan limpha terjadi penurunan signifikan dibandingkan kelompok kontrol. Pada

penelitian tersebut juga dihasilkan kadar plumbum dalam ginjal lebih tinggi dari hati

dan limpa. Hal ini dapat menyebabkan ginjal lebih beresiko daripada jaringan tubuh

lain.

Selanjutnya hasil pemeriksaan secara makroskopik pada minggu ke 14 dan 16

organ hati dan ginjal tampak pucat sedangkan organ lain normal. Secara mikroskopik

pada minggu ke 12-16 epitel tubulus konvulatus proksimal ginjal terlihat degenerasi,

hyperplasia, kariomegali dan pada minggu ke 8 terlihat benda-benda inklusi dalam

inti sel. Terlihat pula vakuolisasi duktus kolektivus, dilatasi lume

Gambar

Gambar 1. Kerangka Teori
Tabel  1. Gambaran Anatomi Pada Keracunan Plumbum Target Kelainan
Tabel 2. Data biologi mencit ( Fox, 1984 )
Gambar 2. Kerangka Kerja
+7

Referensi

Dokumen terkait

bermakna dalam penurunan kadar kreatinin dan ureum sebelum dan sesudah hemodialisis pada penderita gagal ginjal di RSUD.. Hasil Penelitian : Berdasarkan uji statistik T-Paired

kadar kreatinin dan ureum penderita gagal ginjal kronik dengan hemodialisis. Rawat Jalan di RSU

EFEK PEMBERIAN VITAMIN C TERHADAP MIKROSKOPIS GINJAL TIKUS WISTAR YANG TERPAPAR PLUMBUM

Peningkatan kadar asam urat yang disertai dengan peningkatan kadar ureum dan kreatinin pada penderita gagal ginjal kronik disebabkan oleh, sintesis purin berlebih dalam

Simpulan yang dapat diambil dari penelitian ini adalah terdapat perbedaan gambaran histopatologi ginjal mencit Balb/c berupa degenerasi dan nekrosis antara kelompok

Ureum dan Kreatinin Darah pada Pasien Gagal Ginjal Kronik yang Menjalani. Universitas

Sehingga dapat disimpulkan bahwa kadar ureum dan kreatinin pada pasien gagal ginjal kronik berdasarkan lama menjalani terapi hemodialisa di RS PKU Muhammadiyah

Keluaran outcome yang dinilai adalah terdapat perbedaan gambaran histopatologi kerusakan otak dan ginjal tikus wistar dengan peningkatan kadar ureum kreatinin terhadap cipermetrin dalam