• Tidak ada hasil yang ditemukan

Perwujudan Konsep Watak Hukum Islam Nila

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Perwujudan Konsep Watak Hukum Islam Nila"

Copied!
13
0
0

Teks penuh

(1)

1

Perwujudan Konsep Watak Hukum Islam-Nilai

„Wasathiyah‟

- dalam Etika Perniagaan (Bisnis) Berbasis

Syariah*

oleh: Asep Koswara

Mahasiswa Pascasarjana Program Ekonomi Islam di Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Gunung Djati Bandung 2015 e-mail: sepp.idealiz@gmail.com–www.asepkoswara.com

Abstract:

Islamic law is the law or regulations governing all aspects of Muslim life. It has a character as

affecting the inner nature of all thoughts and behavior commonly called as „Wasathiyah‟. Linguistically, wasathiyah means balance or harmony. It can be defined also as fair, simple, and best thing. To find out the embodiment of the concept of value in a variety of Islamic law, the writer analyzed it deeply. Analysis applied in this embodiment wasathiyah values in Islamic business ethics. The approach taken in the analysis is to use the method of philosophy. Found suitability of this value in several business ethics according to Islam. First Ethics: To be honest, trustful, no lie, no treason and not sworn false. Second ethics: shows solidarity, not deceptive and no hiding disabled. Third Ethics: Do not hoard and not applying high rates. Fourth Ethics: Generous and tolerant. Fifth Ethics: sympathy on religion. There is the compatibility between businesses ethics are governed by Islamic concept wasathiyah as the character of Islamic law. Those what there is in the Islamic ethics, it is solely for the continuity of life in harmony.

Keywords: Islamic Law, Characteristic of Islamic Law, Wasathiyah Values, Business Ethics, Islamic Business

I. Pendahuluan

Banyak klaim yang menyatakan jika Islam adalah agama yang sempurna[1] yang berlaku sepanjang masa. Dari masa ke masa, Islam memang selalu bisa menjadi pemecah masalah (problem solver) atas kedinamisan hidup manusia. Dari mulai masalah individual, sosial, politik, hukum, dan juga ekonomi –semuanya bisa diselesaikan dan dijalankan dengan baik selama berpegang teguh pada sumber hukumnya yakni al-qur‟an dan hadis. Kedua sumber tersebut adalah apa yang harus dipegang teguh khususnya oleh umat Islam sebagai acuan dan panduan dalam menjalani hidup ini.

“Sesungguhnya telah datang kepadamu keterangan yang nyata dari Tuhanmu sebagai

petunjuk dan rahmat”. (QS Al An‟am : 157) [2]

(2)

2 Dalam prakteknya, kedua sumber hukum Islam tersebut tidak bisa diterapkan hanya dengan cara tekstual dalam mengimbangi perkembangan jaman. Salah satunya dalam menjawab permasalahan ekonomi yang cenderung bersifat dinamis mengikuti perkembangan jaman. Oleh karenanya, dalam seluruh aktivitas yang dilakukan dalam bidang ekonomi perlu metode pendekatan lain. Selain berpegang pada Al-qur‟an dan Hadits, juga perlu menafsirkan ayat-ayat dan hadis-hadis tersebut melalui proses ijtihad dengan tetap berpegang pada nilai yang terkandung.

Dalam hal watak dan karakteristik hukum, Islam memiliki watak hukum yang dinamis[3] –menjawab masalah sesuai dengan perkembangan jaman. Artinya, hukum Islam dapat membentuk diri sesuai dengan perkembangan dan kemajuan zaman dimanapun dan kapanpun saja. Kedinamisan hukum Islam itu akhirnya melahirkan kaidah usuliah yang menyatakan perubahan hukum menurut perubahan zaman, tempat, serta keadaan.

Dengan wataknya yang dinamis itu, hukum islam cukup sesuai[4] dengan perkembangan kehidupan manusia termasuk dalam etika bisnis. Cara berbisnis dalam Islam tentu berbeda dengan cara berbisnis orang selain islam. Selama ini, prilaku berbisnis para pengusaha berpegang pada konsep kapitalis yang membolehkan mereka menguasai kekayaan sebanyak-banyaknya. Akibatnya, siapa yang kuat dna punya modal (capital) yang besar, dialah yang akan semakin kaya. Hal itu tentu berbeda dengan konsep berbisnis dalam islam yang lebih mempriotaskan pada kesejahteraan bersama bukan kesejahteraan individu.

Dalam paper ini, penulis akan menghubungkan antara karakteristik dan watak hukum Islam yakni konsep „wasathiyah‟ dengan perkembangan praktek bisnis. Sebagai umat Islam yang baik, sudah sebaiknya menjalankan setiap apa yang dikerjakannya dengan bersandar / berdasar pada hukum Islam. Itu karena apa yang harus dilakukan umat Islam sudah tercantum dalam al-qur‟an meski tidak secara detail disebutkan. Meski tidak detail, namun ada konsep nilai tertentu yang perlu diterapkan, salah satunya konsep wasathiyah.

Dalam hal ini, penulis akan meneliti perwujudan konsep nilai tersebut dalam beberapa etika Islam dalam aktivitas bisnis. Ini bertujuan untuk menemukan bukti bahwa apa yang ada dalam etika bisnis Islam adalah sesuai dengan konsep wasathiyah sebagaimana yang ada dalam hukum islam. Diharapkan agar etika bisnis Islam itu bisa diikuti oleh seluruh umat Islam, bahkan diluar umat Islam karena apa yang digariskan dalam hukum Islam adalah untuk kesejahteraan umat manusia bukan hanya untuk umat Islam sendiri. Dengan pemaparan paper ini, penulis berharap bisa memberikan sumbangan analisis secara ontologi, epistemologi dan juga aksiologi.

II. Watak Hukum Islam: Apa itu Konsep Nilai ‘Wasathiyah’?

(3)

3 khas, watak serta tabiat tersendiri yang membedakan hukum Islam dengan hukum yang lainnya. Watak hukum Islam adalah salah satu bagian dari hukum Islam yang menjadi pedoman dalam upaya menentukan hukum terhadap sesuatu hal di masa depan.

Pengertian watak berdasarkan ilmu sosiologi adalah sifat batin yang mempengaruhi segenap pikiran dan tingkah laku; budi pekerti[7]. Dalam hal ini hukum Islam bisa diartikan sebagai sifat-sifat yang dimiliki oleh hukum dan mencerminkan apa yang dimilikinya. Watak ini yang kemudian memberikan efek terhadap prilaku manusia dalam kehidupannya. Apabila dipedomani dengan baik, maka hal ini akan berdampak pada kualitas hidup yang kita jalani juga.

Ada tiga watak hukum Islam yang menjadi pedoman hukum Islam yaitu takamul, wasathiyah dan harakah.[8] Ketiganya merupakan watak dari hukum Islam yang tidak dapat dihindarkan karena hal ini memberikan dampak pada pikiran, tingkah laku serta budi pekerti umat Islam yang menjalankannya. Ketiganya tersebut adalah takamul, wasathiyah dan harakah. Konsep wasathiyah menjadi bagian penting dalam watak hukum Islam karena perwujudannya sangat berpengaruh pada etika hukum yang muncul dalam kehidupan manusia khususnya dalam Islam.

Menurut Bahasa, wasathiyah berarti keseimbangan atau keharmonisan. Dalam bahasa Arab, kata al wasathiyah (ةي طس و لا) berasal dari kata al wasath (طس و لا) yang diterjemahkan secara bahasa dengan makna pertengahan[9]

. Selanjutnya, istilah tersebut juga bisa diterjemaahkan dengan maksud adil, sederhana, dan terbaik. Dari pengertian tersebut, maka bisa dikatakan jika hukum Islam ini memiliki watak keseimbangan yaitu tidak berat sebelah tidak condong ke kanan maupun sebaliknya. Keseimbangan ini tergambar dari keselarasan hukum yang ada termasuk dimana Allah tidak menyukai orang yang berlebihan dan menghamburkan hartanya.

Berdasarkan sejarah, Islam datang ditengah-tengah penyimpangan agama, membawa Aqidah Tauhid mengesakan Allah dalam ibadah dan cara hidup. Islam juga menempatkan manusia menurut konsep wasathiyah dimana manusia tidak baik seutuhnya seperti malaikat dan buruk seutuhnya seperti setan.[10]

Firman Allah:

Dan

demikianlah Kami jadikan kamu (umat Islam) sebagai umat yang pertengahan (umat pilihan dan adil) agar kamu menjadi saksi atas (perbuatan) ma nusia dan agar Rasul (Muhammad SAW) menjadi saksi atas (perbuatan) kamu.‟ (Al-Baqarah: 143) [11]

III. Etika Bisnis Syariah: Aturan Bisnis dalam Islam

Dalam upaya memahami etika bisnis syariah, penting kiranya untuk mengetahui

definisi dari „Etika‟ itu sendiri. Kata Etika berasal dari kata Yunani yaitu „Ethos‟, atau

„ta etha‟ dalam bentuk jamaknya. Arti dari kata tersebut adalah adat istiadat atau kebiasaan.[12] Etika ini memiliki kaitan erat dengan nilai-nilai serta tata cara hidup atau

(4)

4 yang mengatakan jika etika adalah kajian moralitas yakni kajian pedoman yang dimiliki individu atau kelompok mengenai apa itu benar dan salah, atau baik dan jahat suatu perbuatan.[13] Pada umumnya, etika ini bisa mencakup segala hal kebiasaan yang

diwariskan dari satu generasi ke generasi selanjutnya.

Sementara itu, yang dimaksud dengan „Etika bisnis‟ adalah seperangkat nilai baik,

buruk, benar dan salah dalam dunia bisnis. Prinsip ini, erat hubungannya atau didasarkan pada prinsip-prinsip moralitas.[14] Dengan adanya etika bisnis, maka para

pelaku usaha (bisnis) harus mematuhi dan berkomitmen dalam setiap kegiatan yang dilakukan dalam proses bisnis tersebut. pengusaha harus berpegang pada nilai-nilai dan etika yang luhur untuk mengelakkan kesalahan seperti penyedian produk yang tidak berkualitas.[15] Beberapa hal yang dilakukan diantaranya berprilaku, berelasi serta

bertransaksi dengan baik dengan mementingkan kepuasan pelanggan.

Kemudian, etika bisnis syariah bisa diartikan sebagai seperangkat nilai baik, buruk, benar dan salah dalam prilaku bisnis dengan berpegang pada nilai-nilai yang ada dalam hukum Islam (syariah).[16]Jika etika bisnis umum, hanya perpegang pada

nilai-nilai adat kebiasaan dan juga kebenaran normatif, namun dalam bisnis Islam, etika yang ada merupakan perwujudan dari nilai-nilai hukum yang sudah tercantum dalam

al-qur‟an dan hadis. Lebih jauh lagi bahwa, bisnis dalam Islam harus bersandar pada halal

dan haram yang ada pada prinsip-prinsip moralitas dalam hukum syariah. Islam menginginkan seorang pebisnis muslim mempunyai hati yang tanggap, dengan menjaganya dengan memenuhi hak-hak Allah dan manusia. [17]

IV. Nilai Wasathiyah dalam Etika Bisnis: Sebuah Pendekatan Filsafat

Salah satu pendekatan yang dilakukan dalam analisis paper ini adalah dengan menggunakan metode filsafat. Saat ini, filsafat menjadi ilmu wajib bagi semua disiplin ilmu karena filsafat adalah ibunya segala ilmu[18]

. Beberapa masalah ilmu pengetahuan seperti bisnis dna ekonomi bisa didekati dengan metode filsafat. Filsafat adalah pencarian sebuah jawaban atas sejumlah pertanyaan mengenai apa yang dapat kita ketahui, bagaimana kita dapat mengetahuinya, hal-hal apa yang ada dan bagaimana hubungannya satu dengan yang lainnya. Selain itu, filsafat juga bisa mengkaji mencari pendapat yang telah diterima, mencari ukuran-ukurannya serta mengkaji nilainya. [19]

Khusus dalam bisnis Islam, filsafat ini digunakan untuk mengkaji beberapa permasalahan. Ada beberapa hukum yang mengatur prihal bagaiman umat seharusnya menjalankan kehidupan ekonomi mereka. Beberapa hukum, ada yang diatur langsung dari sumber hukum Al-qur‟an dan hadits, dan beberapa lagi perlu upaya ijtihad untuk memutuskannya. Dalam hal ini, penulis mencoba mengkaji perwujudan nilai wasathiyah dalam etika bisnis Islam melalui pendekatan filsafat. Hal itu bertujuan untuk mengetahui hubungan antara konsep yang satu dengan nilainya, sehingga kemudian didapatkan hasil dari hubungan tersebut secara komprehensif.

(5)

5 dengan manusia, ada banyak hal yang harus diselesaikan terlebih dahulu sebelum kemudian tuhan mengampuni apa yang dilakukannya. Maka dari itu, untuk menjaga hubungan semua itu, maka diperlukan etika yakni aturan yang dimanifestasikan dari aturan yang ada dalam hukum Islam.

Salah satu hal yang bisa diambil dari aturan hukum Islam yang bisa dijadikan etika adalah konsep watak wasathiyah. Ini menjadi salah satu tolak ukur sebuah etika apakah layak untuk diterapkan dan dijalankan dalam sebuah aktivitas bisnis atau tidak. Jika memang layak, maka penting kiranya untuk mendeteksinya terlebih dahulu dalam perwujudan secara langsung. Dalam hal ini, sebagai upaya mengetahui perwujudan tersebut, maka diperlukan sebuah pendekatan. Dalam kesempatan kali ini, pendekatan yang digunakan adalah pendekatan filsafat yang bisa membantu menyusun dan membuatnya dalam sebuah urutan berfikir yang sistematis.

V. Konsep Wasathiyah dalam Perniagaan

Dalam mencari harta, Islam cukup ketat dalam aturannya karena ini akan berdampak pada banyak hal nantinya termasuk status harta dan kemaslahatan harta tersebut ketika digunakan dan di konsumsi tidak hanya oleh pribadi namun juga oleh anak dan istri. Dalam hal ini, hukum Islam menegaskan agar manusia tidak menghalalkan yang haram dan tidak mengharamkan yang halal.

Firman Allah:

“Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kamu makan (gunakan) harta -harta

kamu di antara kamu dengan jalan yang salah ( tipu, judi dan sebagainya ), kecua li dengan (jalan) perniagaan yang di lakukan secara suka sama suka di antara kamu. (al-Nisa': 29)

Dalam ayat diatas disebutkan bahwa cara yang dilakukan dalam mencari harta harus cara yang baik yang tidak merugikan pihak lain. Tipu-daya, judi dan sebagainya adalah cara yang dilarang dalam hukum Islam karena hal ini bisa membuat pihak lain dirugikan. Maka dari itu, solusi yang ditawarkan Islam dalam mencari rizki adalah perniagaan (jual beli). Bahkan banyak sekali hadis yang mewajibkan setiap manusia untuk melakukan perniagaan karena itulah harta yang halal yang bisa dikonsumsi oleh manusia.

Ada hadis nabi yang mengatakan bahwa "Hendaklah kalian melakukan perniagaan, karena 9 dari sepuluh rezeki (yg diturunkan kepada manusia) adanya dalam

perniagaan.”[21] Jelas dari hadis tersebut disebutkan bahwa perniagaan adalah sesuatu

kewajiban yang harus dijalankan oleh manusia. Bahkan dalam hadis lain juga

disebutkan bahwa “9/10 rezeki diturunkan lewat perniagaan, sedangkan 1/10 ada pada

peternakan”.[22] Jika memang kedua hadis tersebut menjadi acuan, maka bisa dikatakan

bahwa benar „Hidup itu Dagang‟.[23]

(6)

6 Namun perniagaan juga harus dilakukan dengan cara yang baik yakni suka sama suka tidak ada pihak yang dirugikan. Dari Abu Sa'id al Khudri bahwa Rasulullah SAW. bersabda, "Sesungguhnya jual beli itu harus dilakukan suka sama suka" (HR. Al Baihaqi dan Ibnu Majah).[24] Dari sini, terlihat jelas jika Islam berada di posisi pertengahan,

seimbang dan tidak melampaui. Dalam hukum Islam prihal mencari rizki, umat tidak boleh menggunakan cara-cara yang salah dan harus senantiasa berpegang teguh pada sumber hukum yakni al-qur‟an dan juga hadis. Dalam hal perekonomian, umat juga boleh menggunakan hasil ijtihad para ulama karena bidang ekonomi adalah hal yang dinamis yang senantiasa berubah.

VI. Perwujudan Nilai Wasathiyah dalam Etika Bisnis

Dalam setiap aktivitas yang dilakukan, umat Islam diatur oleh seperangkat hukum dan etika termasuk dalam aktivitas bisnis dan ekonomi. Setidaknya ada 5[25] prinsip etika

Islam yang harus diterapkan dalam aktivitas bisnis. Dalam hal ini, penulis akan mencoba melihat bagaimana perwujudan konsep wasathiyah (watak hukum Islam) dalam etika Islam dalam melakukan perniagaan (bisnis). Analisis mendalam kiranya akan lebih objektif didapatkan dengan cara menghubungan beberapa etikan yang sudah ada dengan konsep wasathiyah satu per satu.

Etika Pertama: Jujur, Amanah, Tidak Berbohong, Tidak Berkhianat dan Tidak Bersumpah Palsu.

Dalam etika bisnis yang pertama, seorang pembisnis haruslah bersikap jujur atau tidak berbohong pada setiap aktivitas berniaga yang dilakukan termasuk dalam takaran (quantity).[26] Jujur ini menjadi sifat yang harus dimiliki oleh setiap muslim karena

memang sudah diperintahkan dalam al-qur‟an serta dicontohkan oleh nabi Muhammada SAW. Kenapa etika ini masuk pada pokok etika pertama? Hal itu dikarenakan Jujur menjadi fondasi utama dalam berbisnis. Tanpa kejujuran segala hubungan bisnis pastinya tidak akan langgeng. Kegiatan bisnis akan berhasil jika dikelola dengan prinsip kejujuran.[27]

“Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah, dan hendaklah

kamu bersama orang-orang yang jujur” (Q.S. al-Taubah: 119)

Sifat jujur ini tidak hanya diwajibkan oleh Islam, namun beberapa teori modern[28]

juga mewajibkan hal itu. (Business ethic build trust, trust is the basic of modern business). Ini menunjukan bahwa etika bisnis yang berasal dari hukum Islam ini menjadi salah satu hal menjadi acuan banyak teori bisnis di dunia modern saat ini. Islam sudah sejak lama mengenalkan dan mendidik umatnya agar bisa memiliki sifat jujur sebagaimana yang telah dicontohkan oleh nabi dan rasul sebelumnya.

Ini bisa direfleksikan dan diwujudkan kedalam aktivitas bisnis dengan mengungkapkan secara apa adanya baik itu mengenai barang, harga, kualitas dan lainnya yang bisa membuat bisnis bertahan lama.[29] Dengan kejujurannya itu, maka

akan melahirkan sifat „amanah‟. Namun memang untuk menghasilkan seseorang yang

(7)

7 seharusnya diikuti oleh semua umat Islam yang mengaku beragama Allah serta mengaku Nabi Muhammad SAW adalah utusan Allah.

“Dan orang-orang yang memelihara amanat-amanat (yang dipikulnya) dan janjinya”(Q.S. al-Mu‟minun: 8) Ketika pembisnis diharuskan memiliki sifat „jujur‟, maka tujuannya adalah supaya pembisnis itu dihindarkan dari kebohongan, khianat dan sumpah palsu. Sesorang yang jujur, sebetulnya tidak perlu punya modal untuk berbisnis (berdagang) karena dia tau bagaimana cara menumbuhkan citra positif melalui pengelolaan yang strategis dan sutainable.[30]

Dengan kejujuran, mereka akan mendapatkan banyak sekali kepercayaan dari banyak orang. Namun pastikan agar tidak menghianati kepercayaan ini apapun kondisi dan alasannya. Kepercayaan dari orang lain adalah sebuah amanah yang harus dipegang erat dan dijaga dengan baik agar tidak mudah kebelinger.

Dalam praktek perniagaan saat ini, sangat mudah ditemui kebohongan misalnya mengungkapkan harga (manipulasi/mark up) yang tidak sebenarnya bahkan berani

mengucapkan „sumpah palsu‟.[31] Dalam sebuah hadis riwayat Bukhari, Nabi bersabda,

“Dengan melakukan sumpah palsu, barang-barang memang terjual, tetapi hasilnya tidak

berkah”. Hal ini tentu bertentangan dengan etika berbisnis dalam hukum syariah.

Dengan bersumpah palsu, mungkin akan bisa membuat orang percaya dan mau membeli produk yang dijual, namun jika ketahuan misalnya dengan membandingkannya dengan harga yang ditawarkan oleh penjual, kita akan ketahuan bohong dan tidak dipercaya lagi.

Apabila dilihat dari perwujudan „wasathiyah‟, etika pertama ini menjadi sesuatu yang cukup sesuai. Dalam konsep wasathiyah, perilaku harus berpegang pada

„kesesuaian, keseimbangan, kharmonisan‟. Sifat jujur ini dibutuhkan dalam dunia bisnis

agar kehidupan manusia bisa selalu harmonis. Apabila ada salah satu pembisnis yang berbohong, dan kemudian diketahui oleh salah satu partner bisnisnya, maka ini akan berdampak pada hubungan mereka. Tidak jarang ada yang mengambil jalur hukum dan akhirnya menciptakan kebencian yang diwariskan ke generasi selanjutnya.

Etika Kedua: Menunjukan Solidaritas, Tidak Menipu dan Tidak Menyembunyikan Cacat

Etika bisnis yang kedua mengharuskan setiap pelaku usaha untuk menunjukan solidaritas sebagai wujud keseimbangan (balance).[32] Adapun solidaritas yang

ditunjukan adalah kepada sesama pembisnis sepertinya serta kepada masyarakat di sekitarnya. Selain itu, para pembisnis juga diharapkan menjual barang-barang yang memang tidak berbahaya serta dalam kondisi yang baik. Maka dari itu, muncul sub etika tidak boleh menipu dan juga tidak boleh menyembunyikan cacat. Keduanya merupakan perilaku yang cukup menodai solidaritas dalam berbisnis baik terhadap pelanggan ataupun para pembisnis lainnya.

Karenanya, munculah konsep keadilan yang memang harus menjadi bagian penting dalam proses berbisnis. Adapun keadilan disini adalah yakni adanya keseimbangan antara keuntungan yang didapatkan dengan pemenuhan norma dasar masyarakat berupa hukum, etika maupun adat.[33] Kesemua itu harus ditunjukan melalui

(8)

8 Tidak menipu dan menyembunyikan cacat adalah bagian penting dalam upaya mencapai solidaritas. Apabila pelaku bisnis melakukan kedua hal tersebut, itu artinya dia tidak memiliki solidaritas karena tidak bisa memberikan sumbangan keadilan kepada para pembelinya.[34] Kedua perbuatan tersebut bahkan masuk dalam penindasan

terhadap terhadap pembeli. Bahkan hal ini bertentangan dengan ajaran Islam. Perlakukan menyembunyikan cacat dan menipu merupakan sebuah sifat kedzaliman yang sangat dibenci oleh Allah. Maka dari itu, kenapa sifat tersebut harus dihindari.

Dalam praktek bisnis, konsep solidaritas ini perlu dijungjung tinggi setelah berlaku jujur. Selama ini, banyak ditemui para pelanggan yang kecewa terhadap pedagang tertentu karena ternyata barang yang mereka beli tidak sesuai dengan yang mereka inginkan. Barang palsu bisa menjadi salah satu kasus yang sering terjadi saat ini, apalagi semakin maraknya bisnis melalui media online. Ada para pedagang yang menjual barang palsu atau tiruan sama dengan harga barang asli, dengan cara mereka melakukan upaya untuk menipu dan menutupi kekurangan barang yang mereka jual tersebut.

Nilai etika ini cukup sesuai dengan perwujudan nilai wasathiyah hukum Islam karena memang jika hal ini tidak dilakukan, maka akan berdampak pada keharmonisan hubungan manusia. Perlu ditekankan bahwa apabila praktek perdagangan sudah tidak lagi memprioritaskan pada nilai solidaritas, maka ini akan berdampak pada keharmonisan kehidupan bukan hanya pembisnis, namun bisa berimbas pada orang lain seperti keluarga.

Etika Ketiga: Tidak Menimbun dan Tidak Menerapkan Tarif Tinggi

Sudah jelas disebutkan dalam hukum Islam bahwa menimbun barang (ikhtikar) untuk mendapatkan keuntungan adalah sesuatu hal yang dilarang. Perbuatan tersebut menimbulkan keresahan dan merugikan masyarakat.[35] Bahkan rasulullah bersabda

“Sejahat-jahat hamba adalah orang yang suka menimbun: ketika harga turun ia bersedih

dan jika Allah menetapkan naik, ia senang”(H.R Ath-Thabrani dan al-Baihaqi). Jelas dikatakan sebagai orang yang paling jahat karena mereka hanya berfokus pada keuntungan pribadi. Padahal ada banyak efek negatif untuk masyarakat ketika penimbunan itu terjadi seperti terjadinya kelangkaan barang.

Dikatakan juga bahwa seorang yang menimbun barang dagangan akan dianggap sebagai seorang yang dzalim karena seharusnya pedagang bisa menyediakan barang dan/atau jasa kebutuhan masyarakat dengan harga yang wajar, jumlah yang cukup serta kegunaan dan manfaat yang memadai.[36]

(9)

9 Salah satu tujuan dari penimbunan adalah untuk menjual barang yang ditimbun dengan harga yang tinggi. Penentuan harga yang terlalu tinggi tidak sesuai dengan etika bisnis dalam Islam. Bahkan dalam hadis rasulullah sendiri tidak punya hak akan

penetapan harga pasar. Menurutnya, “Sesungguhnya Allah-lah yang menetapkan harga;

dia yang menahan, dia yang membentangkan lagi memberikan rezeki.” (At-Tirmidzi,

Abu Dawud, dan Ibn Majah). Jelas memang, bahwa tujuan utama pedagang melakukan penimbunan barang adalah untuk menentukan harga sesuai dengan yang mereka inginkan. Ketika barang itu langka di pasaran, maka mereka yang memiliki stok barang bisa menawarkan harga sesuai dengan keinginan mereka dengan laba yang sebesar-besarnya.

Penentuan harga terlalu tinggi ini juga ditentang dan tidak dibolehkan menurut agama Islam. Tiada lain, hal ini dilakukan untuk menjaga keseimbangan pasara antara permintaan dan penawaran. Ketika barang tersumbat, maka akan ada pihak yang tidak bisa berlaku adil. Jika ini terjadi, maka proses perdagangan hanya akan memunculkan kedzaliman terhadap salah satu pihak. Apabila hal itu terjadi, maka ini akan memberikan ketidakseimbangan sehingga tidak baik untuk masyarakat. Selain bisa memudarkan kepercayaan pembeli terhadap penjual, ini juga akan membuat pembeli merasa keberatan dengan apa yang mereka harus bayar tidak sesuai dengan yang mereka dapatkan.

Menimbun dan menetapkan harga terlalu tinggi bertentangan juga dengan konsep

nilai „wasathiyah‟. Penimbunan barang mengandung makna azh-zhulm (aniaya) dan

isa‟ah al-mu‟asyirah (merusak pergaulan).[37] Maka dari itu, etika bisnis Islam sudah

cocok dan seimbang dengan mengedepankan konsep „keseimbangan dan kesesuaian‟

harga. Jika ada salah satu yang melakukan penimbunan, maka barang akan langka. Dan barang siapa yang melakukan monopoli harga, maka selain berdosa juga akan berdampak pada ketidakseimbangan perekonomian warga dimana yang kaya (penjual) makin kaya, sedangkan si miskin (pembeli) makin miskin dan tidak bisa memenuhi kebutuhan mereka.

Etika Keempat: Murah Hati dan Toleran

Dalam etika selanjutnya, pembisnis diharuskan memiliki sikap murah hati dan juga toleran. Ini menunjukan bahwa berbisnis dalam Islam tidak hanya mengejar keuntungan semata, namun harus bermanfaat bagi sesasama.[38] Kebermanfaatan ini bisa

dilakukan dengan cara bersikap murah hati terhadap rekan bisnis dan juga pelanggannya. Selain itu, tolerasi juga perlu dikedepankan bukan hanya terhadap sesama muslim, namun juga terhadap non muslim dalam bertransaksi. Bahkan, apabila barang yang diperjualbelikan itu adalah yang bernyawa dan hidup seperti binatang, maka sebaiknya dirawat binatang itu dengan baik.

Murah hati disini bisa diartikan sebagai sikap ramah tamah, sopan santun, murah senyum, suka mengalah dan lainnya.[39] Meski demikian, sikap tersebut harus diikuti

(10)

10 Dalam prakteknya dalam bisnis, prilaku ini bisa diterapkan pada keramahan pada saat berinteraksi dengan rekan bisnis. Bahkan ini bisa menjadi salah satu strategi bagi pembisnis untuk meraih kesuksesan dengan bisnis mereka. Salah satu syarat bisa sukses dalam bisnis adalah banyak relasi dengan banyak orang. Selain relasi, citra baik di mata para rekan bisnis dan juga pembeli adalah hal yang bisa mempercepat seorang pembisnis meraih puncak kesuksesan mereka.

Selain murah hari, penting juga bagi pembisnis memiliki sikap toleran agar kemudian tidak memberikan efek negatif terhadap proses bisnis. Toleran dalam berBisnis berarti sikap memudahkan dan berlapang dada dalam menjalin kerjasama Bisnis. “Allah merahmati seseorang yang ramah dan toleran dalam berbisnis” (HR Bukhari dan Tarmizi). Sikap toleran ini bisa dipraktekan dalam aktivitas berjualan setiap hari serta sikap terhadap pembeli. Ada ungkapan jika pembeli itu adalah raja, maka layani dengan sebaik-baiknya. Jika ada yang berhutang, maka tagihlah dengan baik-baik dan jangan dengan kekerasan. Pikirkan bahwa mereka adalah sama seperti kita yang memiki hati dan harus dihargai.

Hal ini tentunya sesuai dengan konsep nilai wasathiyah yang ada pada hukum Islam. Bahkan ini tidak hanya sekedar untuk menjaga keseimbangan dan keharmonisan, namun juga untuk mencapai kesuksesan dalam berbisnis. Jika etika ini tidak dipenuhi, maka kemudian ini akan berdampak pada kemampuan serta kemajuan dari bisnis yang dijalani. Murah hati dan toleran bisa membuka kunci rezeki dan sarana hidup tenang.[40]

Selain itu, kedua sifat tersebut juga bisa mempermudah pergaulan, mempermudah urusan jual beli, mempercepat kembalinya modal dan menambah laba keuntungan.[41]

Etika Kelima: Simpati Pada Agama

Etika Islam selanjutnya adalah memprioritaskan agama dibanding dengan

bisnisnya. Ada ungkapan yang mengatakan “love your god more than trade and

business” [42]

(cintai tuhanmu melebihi perdagangan dan bisnis!). Ini bisa menjadi rem sekaligus kritik terhadap sistem ekonomi kafitalis yang terlalu memprioritaskan keuntungan sebanyak-banyaknya tanpa mempedulikan aturan bahkan tuhan. Semua aktivitas termasuk bisnis memang harus didasarkan pada aturan yang telah Allah gariskan.

Sebetunya, setiap agama memerintahkan umatnya untuk memiliki moral yang baik. Prinsip-prinsip agama tersebut harus diterapkan dalam setiap aspek kehidupan salah satunya dalam bebisnis. Sesorang yang memiliki pemahaman agama yang baik biasanya akan memiliki moral yang baik pula. Begitupun dalam berbisnis, orang yang mendasarkan bisnisnya pada agama, maka ia akan memiliki moral yang terpuji dalam melakukan bisnis.[43]

Ini juga yang harus dijalankan dalam kehidupan umat Islam dimana ada beberapa aturan agama yang memang harus dipegang erat dibanding dengan bisnis.

(11)

11 diri pada yang haram, pastikan juga untuk menghindari beberapa hal lain seperti yang syubhat dan gharar.

Allah adalah tujuan dari setiap aktivitas manusia termasuk berbisnis. Dalam hal ini harus ada keseimbangan antara kehidupan dunia dan juga akherat. Jadi bukan hanya mencari keuntungan sebanyak-banyaknya, namun juga harus ada bekal untuk kehidupan setelahnya. Kita bisa berkaca pada Rasulullah yang merupakan seorang pedagang bereputasi international, namun tetap mendasarkan bangunan bisnisnya kepada nilai-nilai ilahi (transenden).[44]

Ini sesuai dengan perwujudan konsep wasathiyah yang mana setiap aktivitas hukum aturan dan etika ini memiliki nilai keseimbangan dan keharmonisan. Jelas memang sesuai dengan ayat yang menyebutkan agar manusia menyeimbangkan antara kebutuhan dunia dan bekal untuk akherat. Kita berbisnis hanya untuk memenuhi kebutuhan dunia, maka dari itu jangan sampai lupakan tugas-tugas manusia di dunia yakni untuk beribadah kepada Allah. Perlu diketahui bahwa ibadah ini dilakukan tidak hanya dengan melakukan shalat, zakat dan lainnya, namun bisnis juga bisa menjadi lahan ibadah. Hal itu bisa didapatkan apabila kita memulainnya dengan niat serta segala yang dilakukan dalam transaksi tidak melenceng dari aturan yang ada dalam agama yakni pedoman hukum Islam (al-qur‟an dan hadis).

VII. Penutup

Perniagaan memang menjadi salah satu cara yang paling direkomenasikan bagi manusia mencari rizki. Namun disisi lain, proses perniagaan ini perlu dilakukan dengan berpegang teguh pada aturan yang ada dalah hukum Islam. Hukum Islam tersebut kemudian tersintesa menjadi etika yang kemudian terkait pada beberapa aktivitas kehidupan manusia termasuk dalam ekonomi dan bisnis. Semua itu menjadi pedoman yang harus dipegang teguh agar proses perniagaan tersebut berjalan dengan seimbang.

Keseimbangan tersebut sudah menjadi salah satu watak yang dimiliki oleh hukum Islam. Dari pemaparan diatas, ditemukan adanya kesesuaian antara etika bisnis yang diatur oleh Islam dengan konsep wasathiyah yang ada pada watak hukum Islam. Apa yang ada pada etika Islam ini semata-mata adalah untuk keberlangsungan kehidupan yang harmonis saat ini dan masa yang akan datang. Terlihat dari pengertian keduanya, hubungan antara keduanya dan juga manfaat yang bisa didapatkan dari kedua hubungan erat tersebut.

(12)

12 Footnote:

[1] „… Pada hari ini telah Aku sempurnakan untukmu agamamu, dan telah Aku cukupkan kepadamu

nikmat-Ku, dan telah Aku ridhai Islam sebagai agama bagimu ...‟ [Al-Maa-idah: 3]

[2]Surat Al An‟am : 157

[3] dinamis disini adalah watak hukum Islam harakah‟

[4] sesuai dalam hal ini adalah watak hukum Islam wasathiyah‟ yang juga akan dibahas lebih lanjut

terkait hubungannya dengan perkembangan ekonomi

[5]

dikutip dari http://id.wikipedia.org/wiki/Syariat_Islam

[6] Dikutip dari bukunya Atang Abdul Hakim, Fiqh Perbankan Syariah [7] pengertian watak ini diambil dari dictionary online glosarium.org

[8] Dikutip dari bukunya Hasbi Ash Shiddieqy yang berjudul Falsafah Hukum Islam [9]

Pengertian wasathiyah dalam karya Abu Saif Kuncoro Jati. 2012. Konsep Al-wasathiyah

[10] M. Zain Djambek & Sari Alimin. 1985. Kuliah Islam. Jakarta: PT: Tintamas Indonesia [11] Al-Baqarah: 143

[12] Asyraf Muhammad Dawwabah. 2008. Meneladani Keungulan Bisnis Rasulullah, (Imam GM, Nahwa Rajul A‟mal Islam), Semarang: Pustaka Nuun

[13] Ahmad, Mustaq, 2001. Etika Bisnis dalam Islam. Jakarta: Pustaka Al-Kautsar [14] Agus Arijanto. 2011. Etika Bisnis Bagi Pelaku Bisnis. Jakarta: Raja Grafindo Persada [15] Sofyan S Harahap. 2011. Etika Bisnis dalam Perspektif Islam. Jakarta : Salemba Empat [16]

Faisal Badroen, et al, 2006. Etika Bisnis Dalam Islam, Jakarta: Kencana

[17] Ahmad, Mustaq, OpCit

[18] Anthoillah, Anton and Bambang Q Annes. 2010. Filsafat Ekonomi Islam. Bandung: Sahifa Press [19] Ibid hlm 5

[20]

Surat An-Nisa': 29

[21] Yusuf bin Ismail an-Nabhani. 2004. Dalil at-Tujjar ila Akhlak al-Akhyar. terj: Saifuddin Zuhri. “Sudah Untung, Masuk Surga Lagi: Panduan Moral dan Etis Bisnis Islami” Bandung: Pustaka Hidayah

[22] Ibid hlm 105 [23]

Ricky Ruchdiat. 2010. Hidup Itu dagang PT Bukan 100% Jaminan Hidup Sukses. Bandung: Rohim Agency

[24] Wahbah al Zuhaili. 1989. Fiqhu al-Islam wa Adilahuhu: Jilid IV. Beirut: Dar al Fikr, hlm: 346 [25] Yusuf bin Ismail an-Nabhani, Op.Cit. hlm 115

[26]

Muhammad Djakfar. 2010. Etika Bisnis: Menangkap Spirit Ajaran Langit dan Pesan Moral Ajaran Bumi. Jakarta: PenebarPlus, hlm: 34

[27] Budi Untung. 2012. Hukum dan Etika Bisnis. Yogyakarta: CV Andi Offset

[28] David Stewart. 1996. Business Ethic. New York: The Mc Grow Hill Companies Inc. hlm: 47 [29]

Mahmoedin. 1996. Etika Bisnis. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan

[30] Yusuf Wibisono. 2009. Membedah Konsep dan Aplikasi CSR. Gresik: Fascho Publishing [31] Sony Keraf. 1996. Etika Bisnis: Tuntunan dan Relevansinya.Jakarta: Kanisius

[32] George Chryssider. 1993. An Introduction to Business Ethic. London: Chapman & Hall [33]

M. Amin Abdullah. 1997. Etika Muamalah. Malang: Program Pascasarjana UMM

[34] M. Nejatullah Siddiqi. 1991. Kegiatan Ekonomi dalam Islam. terj. Anas Sidiq. Jakarta: Bumi Aksara,

hlm 46

[35] Achmat Subekan. 2015. Mengenal Etika Dagang Syariah. Jakarta: Badan Pendidikan dan Pelatihan

Kementerian Keuangan. hlm: 2

[36] Yusuf Qardhawi. 1995. Peran Nilai dan Moral Dalam Perekonomian Islam. Jakarta: Robbani Press [37] Fakhrul Rozi. 2014. 14 Etika Bisnis Nabi Muhammad. Jakarta: Sudut Hukum

[38] Asep Koswara. 2015. The Rule of Business: Strategi Bisnis dalam Prinsip Etika Hukum Islam.

Bandung: AllegiancePublishing

[39] Maulana, Muhammad Hatta. 2014. Berbisnis Dengan Meneladani Rasulullah SAW. Jakarta: Abatasa [40] Ahmad Asyhar Syafwan. 2010. Perdagangan Dalam perpektif Theologi, Etika, dan Hukum Islam.

Jakarta: NahdlyinPress

[41]

Malahayati. 2010. Rahasia Sukses BisnisRasulullah. Yogyakarta: GreatPublisher

[42]Asep Koswara, Op.Cit. hlm: 5

[43] Farid Setiawan. 2013. Etika Bisnis Utilitarianisme. Jakarta: KedaiIlmu

(13)

13 REFERENSI:

Abdullah, M. Amin. 1997. Etika Muamalah. Malang: Program Pascasarjana UMM

Ahmad, Mustaq, 2001. Etika Bisnis dalam Islam. Jakarta: Pustaka Al-Kautsar

Anthoillah, Anton and Bambang Q Annes. 2010. Filsafat Ekonomi Islam. Bandung: Sahifa Press

Arijanto, Agus. 2011. Etika Bisnis Bagi Pelaku Bisnis. Jakarta: Raja Grafindo Persada

Ash Shiddieqy, Hasbi. 1975. Falsafah Hukum Islam. Bandung: Bulan Bintang

Badroen, Faisal. et al, 2006. Etika Bisnis Dalam Islam, Jakarta: Kencana

Budi Untung. 2012. Hukum dan Etika Bisnis. Yogyakarta: CV Andi Offset

Chryssider, George. 1993. An Introduction to Business Ethic. London: Chapman & Hall

David Stewart. 1996. Business Ethic. New York: The Mc Grow Hill Companies Inc.

Dawwabah, Asyraf Muhammad. 2008. Meneladani Keungulan Bisnis Rasulullah, (Imam GM, Nahwa

Rajul A‟mal Islam), Semarang: Pustaka Nuun

Djakfar, . 2010. Etika Bisnis: Menangkap Spirit Ajaran Langit dan Pesan Moral Ajaran Bumi. Jakarta: PenebarPlus

Hakim, Atang Abdul. Fiqih Perbankan Syariah: Transformasi Fiqih Muamalah kedalam perundang-undangan. Bandung: PT. Rafika Aditama

Harahap, Sofyan S. 2011. Etika Bisnis dalam Perspektif Islam. Jakarta : Salemba Empat

Koswara, Asep. 2015. The Rule of Business: Strategi Bisnis dalam Prinsip Etika Hukum Islam. Bandung: AllegiancePublishing

M. Zain Djambek & Sari Alimin. 1985. Kuliah Islam. Jakarta: PT: Tintamas Indonesia

Mahmoedin. 1996. Etika Bisnis. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan

Malahayati. 2010. Rahasia Sukses BisnisRasulullah. Yogyakarta: GreatPublisher

Maulana, Muhammad Hatta. 2014. Berbisnis Dengan Meneladani Rasulullah SAW. Jakarta: Abatasa

Qardhawi, Yusuf. 1995. Peran Nilai dan Moral Dalam Perekonomian Islam. Jakarta: Robbani Press.

Rozi, Fakhrul. 2014. 14 Etika Bisnis Nabi Muhammad. Jakarta: Sudut Hukum

Ruchdiat, Ricky. 2010. Hidup Itu dagang PT Bukan 100% Jaminan Hidup Sukses. Bandung: Rohim Agency

Setiawan, Farid. 2013. Etika Bisnis Utilitarianisme. Jakarta: KedaiIlmu

Siddiqi, M. Nejatullah. 1991. Kegiatan Ekonomi dalam Islam. terj. Anas Sidiq. Jakarta: Bumi Aksara

Sony, Keraf. 1996. Etika Bisnis: Tuntunan dan Relevansinya. Jakarta: Kanisius

Subekan, Achmat. 2015. Mengenal Etika Dagang Syariah. Jakarta: Badan Pendidikan dan Pelatihan Kementerian Keuangan

Syafwan, Ahmad Asyhar. 2010. Perdagangan Dalam perpektif Theologi, Etika, dan Hukum Islam. Jakarta: NahdlyinPress

Wahbah al Zuhaili. 1989. Fiqhu al-Islam wa Adilahuhu: Jilid IV. Beirut: Dar al Fikr

Wibisono, Yusuf. 2009. Membedah Konsep dan Aplikasi CSR. Gresik: Fascho Publishing

Referensi

Dokumen terkait

Berdasarkan hasil penelitian dan wawancara penulis mengenai kinerja pegawai dalam pelaksanaan pelayanan publik di Puskesmas Maridan Kecamatan Sepaku Kabupaten

Pada halaman utama jika button kelas Ip dan prefix diklik maka akan menuju tampilan halaman informasi kelas Ip dan prefix.. Gambar 9 merupakan tampilan kelas Ip dan

Namun disaat tertentu karyawan yang telah bekerja pada malam hari dan disaat hari libur kerja diharuskan untuk bekerja lagi pada pagi hari dengan beban kerja berlebih

1 研究の目的

 Pembentukan Satuan Tugas Sapu Bersih Pungutan Liar (Satgas Saber Pungli) Kabupaten Banjarnegara sesuai dengan Keputusan Bupati Banjarnegara Nomor: 700/1290

Abstrak: Penelitian yang bertujuan untuk mempelajari dampak kegiatan siswa dan hasil belajar dengan penerapan model pembelajaran Problem Based Learning (PBL) dalam

Sehubungan dengan permohonan penghentian penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan sesuai dengan ketentuan Pasal 44B ayat (2) Undang- Undang Nomor 6 Tahun 1983

Ruang lingkup yang dibahas mencakup perencanaan dan perancangan apartemen konsep Urban Farming sebagai hunian dan tempat bercocok tanam di kawasan perkotaan.