• Tidak ada hasil yang ditemukan

Perempuan dan Politik Peran Legislator P

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Perempuan dan Politik Peran Legislator P"

Copied!
11
0
0

Teks penuh

(1)

1

Perempuan dan Politik

(Peran Legislator Perempuan dalam Politik Legislasi DPRD Kota

Mataram, Nusa Tenggara Barat Periode 2009-2014)

Ayu Pratiwi Wulandari, S.IP1

Mar’atul Makhmudah, S.IP, M.Si2 dan Juwita Hayyuning, S.IP, M.IP2

1) Alumni Jurusan Ilmu Politik

2) Staff Pengajar Jurusan Ilmu Politik

Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik – Universitas Brawijaya

Berdasarkan hasil sensus Badan Pusat Statistik (BPS) jumlah perempuan lebih dari separuh jumlah seluruh penduduk Indonesia yaitu 49,63% dan jumlah laki-laki yaitu 50,37%. Dari angka tersebut tentunya menjadi penting untuk dikaitkan dengan potensi Sumber Daya Manusia (SDM) untuk mendukung pembangunan. Pada kenyataannya pula potensi perempuan dalam pembangunan memang luar biasa, khususnya dibidang pertanian dan lingkungan. Akan tetapi pembangunan itu sendiri tidak memberikan timbal balik terhadap peran perempuan. Selain itu juga, masih adanya ketidakadilan terhadap perempuan di

Indonesia dalam bidang politik.

The research entitled “Woman and Politics (The Role of Women Legislators in

Politics Legislative DPRD of Mataram, West Nusa Tenggara Period of 2009-2014)”.

It is a study using qualitative descriptive. This study is intended to see how far the role of women legislators in decision making process of legislative. This study is intended to see how far the role of women legislators in legislation politics DPRD of Mataram, period of 2009-2014. This qualitative research use the research framework of the role women in political arena with untilizing some of thinking framework of the number of political representation in the legislatur, Mataram City, member of DPRD, legislation function and local regulation.

Keyword: Local regulation, number of women representation, role of women legislators

(2)

2

Representasi politik perempuan merupakan salah satu tolak ukur sampai tahap mana sebuah proses demokrasi membuahkan hasil. Fakta yang dapat diamati di parlemen saat ini baik secara kuantitatif maupun kualitatif menjadi pertanyaan yang menyerang balik gerakan perempuan Indonesia mengenai sejauh mana gerakan berhasil mendorong terbangunnya kesadaran akan representasi politik perempuan.

Representasi perempuan pada pemilu 2009 secara kuantitatif menunjukkan peningkatan. Diawali dengan naiknya representasi jumlah calon legislatif (caleg) nasional peremouan untuk Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPRD RI) 32,2% pada

pemilu 2004 menjadi 34,7% atau 3.895 orang pada pemilu 2009. Tercatat pula delapan partai politik memajukan lebih dari 40% caleg perempuan, yaitu: Partai Pengusaha dan Pekerja Indonesia (PPPI) sebanyak 49,3%; Partai Keadilan dan Persatuan Indonesia (PKPI) sebanyak 45,7%; Partai Persatuan Nadhlatul Ummuh Indonesia (PNUI) sebanyak 41,3%; Partai Demokrasi Pembaruan (PDP) sebanyak 41%; Partai Matarahari Bangsa (PMB) sebanyak 40,9%; dan Partai Bintang Reformasi (PBR) sebanyak 40,8%.

Fakta tentang jumlah keterwakilan perempuan tersebut harus diamati secara kuantitatif dan kualitatif. Artinya, peningkatan jumlah anggota perempuan dari hasil pemilu sebelumnya (pemilu 2004), meski belum mencapai kuota 30%, diharapkan mampu membawa perubahan positif bagi penanganan isu-isu gender yang belum terselesaikan dengan baik di negeri ini.

Pada era Demokrasi Terpimpin, terlihat dengan fenomena dimana Presiden pada waktu itu dapat membubarkan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan mengangkat anggota-anggota Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) sebagai menteri. Hal itu menunjukkan bahwa lembaga perwakilan rakyat tersebut dapat dikendalikan pihak eksekutif. Hal ini sudah tentu menyimpang dari UUD 1945.

Pemilu tahun 1999 yang merupakan era transisi demokrasi, agak berbeda dari pemilu tahun-tahun sebelumnya. Pada masa pemerintahan Presiden Habibie misalnya, sudah mulai tumbuh kembali harapan terhadap berfungsinya kedaulatan rakyat dengan sesungguhnya, sebagaimana harapan yang timbul pada awal berdirinya pemerintahan Republik Indonesia.

(3)

3

DPR tidak hanya melaksanakan fungsinya secara formalitas yaitu sekedar mengesahkan Rancangan Undang-Undang (RUU) yang berasal dari pemerintah menjadi UU. Karena jika DPR tidak dapat berfungsi optimal sebagai lembaga perwakilan rakyat, maka bisa diprediksi bahwa eksekutif akan berjalan menurut persepsi dan kemauannya sendiri. Selain itu juga diharapkan agar pihak eksekutif tidak lebih dominan dari pihak legislatif.

Sebelum Pemilu 2004, harapan akan membaiknya fungsi lembaga legislatif makin bertambah dengan berlakunya sistem pemilu yang menetapkan bahwa calon anggota legislatif jadi tidak ditentukan oleh partai politik, akan tetapi diseleksi sendiri oleh pemilih. Selain itu,

keluar pula keputusan yang menetapkan agar partai-partai politik mengajukan calon anggota DPR/Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) dengan memperhatikan keterwakilan perempuan sekurang-kurangnya 30% sebagaimana UU Nomor 12 Tahun 2003 pasal 61 Ayat 1 tentang Pemilu.

Adanya sistem kuota bagi calon politisi perempuan ini menyebabkan perhatian masyarakat luas mulai terarah pada masalah keberadaan perempuan di kancah politik Indonesia. Pendapat anggota masyarakat pun berbeda-beda. Ada yang setuju, dan menyatakan bahwa hal itu memang sudah sepatutnya dilakukan. Ada yang kurang setuju, dan menyatakan bahwa keberadaan di dewan tersebut haruslah atas dasar kualitas serta usaha calon anggota itu sendiri tanpa perlu diadakan kuota.

Ada pula yang masih mempertanyakan hal tersebut sehingga belum membuat kesimpulan tentang patut kuota 30% tersebut. Jadi, reaksi atas usul peningkatan jumlah keterwakilan perempuan di dunia politik ini berlainan. Alasan bagi yang kontra adalah bahwa kuota berlawanan dengan prinsip kesempatan yang sama bagi semua orang, serta mempermasalahkan kualitas dari para calon perempuan. Alasan bagi mereka yang pro kuota adalah bahwa kuota bukanlah diskriminasi melainkan kompensasi bagi kendala nyata yang dihadapi perempuan untuk secara adil bisa berpartisipasi dalam kehidupan politik.

Jika ditinjau dari sejarah, dari sudut budaya atau tradisi masyarakat Indonesia pada berbagai suku di Indonesia, umumnya tidak mendukung kaum perempuan untuk menempati posisi sebagai pengambil keputusan. Namun demikian sejak awal abad 20, ada sejumlah

tokoh perempuan yang berpikiran maju seperti Kartini, walau tidak dapat berbuat banyak

karena hidup dalam lingkungan feudal yang mengungkung. Di Aceh, ada Cut Nya’ Dhien

(4)

4

pula dengan Cut Meutia, Cut Malahayati dan yang lainnya yang telah berjasa dalam berjuang mengisi kemerdekaan bangsa.

Dalam bidang pendidikan, perempuan Indonesia telah melangkah sama dengan kaum lelaki, akan tetapi dalam bidang politik kaum perempuan Indonesia sangat jauh ketinggalan. Dalam UU partai politik dan pemilu Tahun 2004 pasal 60E, disebutkan bahwa calon anggota DPR, DPRD dan Dewan Perwakilan Daerah (DPD) berpendidikan serendah-rendahnya Sekolah Lanjut Tingkat Atas (SLTA) atau sederajat. Oleh karena itu, ditinjau dari segi pendidikan, perempuan tidak bermasalah dalam hal itu. Walaupun dalam kenyataannya

banyak calon legislatif (caleg) baik laki-laki maupun perempuan yang bermasalah karena diduga memalsukan ijazah.

Walaupun dalam hal pendidikan perempuan Indonesia masa kini tidak mengalami kendala yang berarti, namun dari segi nilai budaya masih terdapat kendala yang dihadapi oleh kaum perempuan. Pada umumnya, diseluruh Indonesia sistem patrilineal sangat mewarnai budaya masyarakat. Adat dan tradisi sangat kuat mengikat serta membatasi kebebasan sebagian besar perempuan di Indonesia.

Walaupun ada sedikit perbedaan antara berbagai suku di Indonesia, namun pada umumnya perempuan hanya dianggap sebagai konco wingking, pendamping hidup lelaki tetapi dengan kedudukan yang tidak setara. Perempuan berada pada posisi di belakang. Pihak lemah yang dilindungi. Hal ini berpengaruh pada sikap dan perilaku perempuan, dan sudah tentu hal ini menghambat kemajuan perempuan tersebut.

Dari hasil pemilu 2004, jumlah perempuan Indonesia yang berada dalam bidang legislatif sangat sedikit. Padahal untuk memperjuangkan kepentingan yang berhubungan dengan perempuan, sudah tentu harus melibatkan perempuan itu sendiri yang lebih mengerti akan permasalahan yang dihadapi oleh mereka. Ada banyak sekali masalah-masalah perempuan yang harus dibahas, yang membutuhkan UU atau peraturan mengikat, agar tidak melanggar rambu-rambu hukum. Masalah-masalah tersebut Antara lain: masalah kesehatan reproduksi, masalah aborsi, kekerasan terhadap perempuan, bahaya penyakit kelamin atau penyakit menular yang disebabkan oleh hubungan seks, mensosialisasikan pendidikan seks

(5)

5

Pada penelitian ini peneliti menggunakan metode penelitian deskriptif kualitatif, dimana penelitian kualitatif ini sumber datanya berasal dari interview dan data yang dihasilkan dalam wawancara merupakan data primer. Peneliti mengambil konsep fenomenologi sebagai dasar fokus penelitian.

Fokus penelitian dari penelitian ini yaitu termasuk penelitian berbasis peran legislator perempuan dalam pengambilan keputusan, yaitu menekankan pada kajian yang dilaksanakan untuk memahami peran legislator perempuan dalam politik legislasi. Untuk menentukan sumber data yang akan digunakan dalam penelitian ini peneliti memilih teknik nonprobability

yaitu teknik purposive.

Dalam penelitian ini teknik pengumpulan data yang peneliti gunakan yaitu; wawancara, observasi, studi literatur, dan dokumentasi. Pemilihan informan dari penelitian ini terdiri dari informan kunci dan informan pendukung, dimana informan kunci ini terdiri dari anggota DPRD perempuan dan informan pendukung terdiri dari anggota DPRD laki-laki di Kota Mataram. Sumber data yang digunakan pada penelitian ini adalah sumber data primer dan sekunder.

Penelitian ini pada dasarnya ingin mengkaji tentang peran perempuan yang bertujuan

untuk melihat sejauh mana peran legislator perempuan dalam politik legislasi DPRD Kota Mataram periode 2009-2014.

Analisis Kondisi Perempuan di Kota Mataram

Seperti yang kita ketahui bahwa SDM dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor salah satunya adalah pendidikan. Dari data yang diperoleh terlihat bahwa persentase perempuan yang belum pernah bersekolah lebih tinggi (9,51%) dibandingkan dengan laki-laki (2,73%) sehingga lowongan pekerjaan berdasarkan pendidikan untuk perempuan menjadi kurang.

Dengan persentase penduduk 15 tahun ke atas yang bekerja menurut lapangan usaha dan jenis kelamin 2012, data hasil survei angka kerja nasional pada NTB dalam angka menunjukan bahwa pekerja pada bidang pertanian laki-laki sebesar (44,32%) perempuan sebesar (44,17%); pertambangan dan penggalian laki-laki sebesar (3,75%) perempuan sebesar (0,71%); industri laki-laki sebesar (6,83%) perempuan sebesar (10,80%); listrik, gas

(6)

6

dan air laki-laki sebesar (0,32%) perempuan sebesar (0,03%); konstruksi laki-laki sebesar (8,11%) perempuan sebesar (0,14%); perdagangan laki-laki sebesar (11,96%) perempuan sebesar (28,24%); angkutan dan komunikasi laki-laki sebesar (5,97%) perempuan sebesar (0,26%); keuangan laki-laki sebesar (1,69%) perempuan sebesar (0,98%); dan jasa laki-laki sebesar (17,05%) perempuan sebesar (14,68%).

Pekerjaan perempuan seperti yang dituangkan dari teori fungsional bahwa perempuan harus tinggal dilingkungan rumah tangga karena ini merupakan pengaturan yang paling baik dan berguna bagi keuntungan masyarakat secara keseluruhan. Pernyataan demikian ditambah

oleh Talcot Parson dalam Ritzer George yang mengatakan bahwa kegunaan perempuan harus bekerja di dalam rumah tangga, maka ditiadakan kemungkinan terjadi persaingan antara suami istri.

Keterlibatan perempuan dalam ranah politik di Kota Mataram masih sangat rendah hal ini dapat dilihat dari rendahnya jumlah anggota DPRD perempuan yaitu sebesar 8,57% (3 orang). Adapun hambatan dari keberhasilan partisipasi dan keterwakilan perempuan untuk terlibat di bidang politik antara lain adalah:

1. Faktor manusianya sendiri, dalam hal ini karena memang perempuan sedari kecil dibiasakan dalam lingkup kehidupan rumah tangga dan keluarga saja, dan pekerjaan perempuan selalui dinilai lebih rendah dari laki-laki. Hal itu pun yang membuat perempuan hanya sebagai pelaksana dan tidak memiliki kesempatan untuk berperan sebagai pengambil keputusan.

2. Faktor struktural mencakup dari budaya dan agama, kondisi ekonomi, pendidikan, dan pekerjaan. Dimaksudkan disini adalah sebagaiman kita lihat bahwa perempuan itu memiliki kedudukan di bawah laki-laki dan dari segi pendidikan, perempuan sekarang memang sudah terbilang setara dengan laki-laki namun dalam hal pekerjaan terutama kita lihat pada buruh, upah perempuan nominalnya selalu dibawah laki-laki, karena perempuan dianggap pekerjaannya tidak setara dengan pekerjaan laki-laki.

Perempuan dalam politik jelas mempunyai banyak kelebihan, ia tidak hanya akan bisa mengontrol keinginan laki-laki yang sering mau benar sendiri, rasional dan tanpa kompromi.

(7)

7

pada politik untuk mencapai keadilan pada akhirnya muaranya apa lagi kalau bukan usaha menciptakan keseimbangan tersebut.

Legislator Perempuan DPRD Kota Mataram

DPRD terdiri atas anggota partai politik peserta pemilihan umum yang dipilih berdasarkan hasil pemilihan umum Tahun 2009. Jumlah anggota DPRD Kota Mataram ditetapkan sebanyak 35 orang, dimana jumlah laki-laki sebesar 32 orang (91,43%) dan jumlah perempuan sebesar 3 orang (8,57%).

Perolehan kursi DPRD Kota Mataram Hasil Pemilu 2009-2014, dapat dilihat

pada Gambar 1.

Gambar 1

Perolehan Kursi DPRD Kota Mataram Hasil Pemilu 2009-2014

Sumber: Data diolah 2014

Sesuai dengan Gambar 1 bahwa perolehan jumlah kursi DPRD Kota Mataram hasil pemilu 2009-2014 dimenangkan oleh Partai Demokrat, pada perolehan kursi yang kedua diduduki oleh Partai Golkar, pada perolehan kursi yang ketiga diduduki oleh Partai PDIP, pada perolehan kursi yang keempat diduduki oleh Partai PPP, pada perolehan kursi yang kelima diduduki oleh Partai PKS, pada perolehan kursi yang keenam diduduki oleh Partai

(8)

8

Seperti yang kita ketahui DPRD merupakan lembaga perwakilan rakyat daerah yang berkedudukan sebagai unsur penyelenggaraan pemerintahan daerah bersama-sama dengan pemerintah pusat. DPRD sebagai unsur lembaga pemerintahan daerah memiliki tanggungjawab yang sama dengan pemerintah daerah dalam membentuk peraturan daerah untuk kesejahteraan rakyat. 3 fungsi dari lembaga legislatif diantaranya legislasi, anggaran dan pengawasan.

Sesuai dengan dasar hukum fungsi legislasi adapun beberapa landasan hukum fungsi legislasi antaranya, a. Undang-undang 22 tahun 2003 tentang Susduk MPR, DPD, DPR/D; b.

Undang-undang 32 tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah; c. Undang-undang 10 tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan dan d. Peraturan Pemerintah 25 tahun 2004 tentang Pedoman Penyusunan Tata Tertib DPRD. Tidak hanya landasan hukum, makna dari fungsi legislasi itu sendiri adalah pertama, untuk membentuk Peraturan Daerah (Perda) bersama Kepala Daerah (DPRD adalah policy maker, bukan policy implementor). Kedua,

strategis yang menempatkan DPRD sebagai “lembaga terhormat” dalam mengemban amanah

dan memperjuangkan aspirasi rakyat. ketiga, merupakan “fungsi perjuangan” untuk

menentukan keberlangsungan serta masa depan daerah. Keempat, merupakan suatu proses untuk mengakomodasi berbagai kepentingan para pihak/Stakeholders (Menurut Pusat Informasi Proses Legislasi Indonesia).

Dari ketiga fungsi legislatif tersebut peneliti lebih berfokus pada fungsi legislasi berdasarkan peran legislator perempuan yang terjadi baik di DPRD sendiri maupun di masyarakat. Adapun proses fungsi legislasi dapat dilihat Gambar2.

(9)

9

 Raperda tentang APBD/Perubahannya, Pajak Daerah, Retribusi Daerah, dan Tata Ruang Daerah perlu mendapat evaluasi pejabat berwenang terlebih dahulu sebelum bisa

ditetapkan menjadi Perda.

Sumber: Buku KPK 2008

Gambar 2 ini merupakan alur bagaimana pemerintah daerah merancang peraturan daerah atau biasa disebut Raperda lalu bagaimana Raperda tersebut diajukan dalam rapat Pleno lalu disosialiasikan kepada anggota DPRD lalu setelah disetujui dalam rapat Pleno maka barulah Raperda tersebut berubah menjadi Perda, lalu setelah itu Perda ini disosialisasikan kepada masyarakat.

Gambar di atas merupakan gambaran alur pembuatan dari peraturan daerah yang mana memang DPRD memiliki kekuasaan atas pembentukan atau rancangannya, keterlibatan perempuan dalam ranah politik di Kota Mataram masih sangat rendah. Jumlah anggota perempuan pun hanya 3 orang saja, tetapi dengan jumlah yang terbilang sedikit ini ternyata mereka mampu menyaingi kedudukan anggota laki-laki yang mana pada periode ini mereka

mampu menginisiatif Perda terkait tentang perempuan dan Perda tersebut sudah diterapkan pada tahun 2012 yang lalu.

Menurut Azza Karam dan Joni Lovenduski menekankan bahwa kendati hanya satu kehadiran perempuan pun di dalam parlemen, maka diyakini ia mampu membawa suatu perubahan, namun tentunya untuk perubahan yang signifikan diperlukan juga keterwakilan perempuan dalam jumlah yang signifikan. Azza Karam dan Joni Lovenduski beranggapan bahwa keterwakilan perempuan merupakan hal penting, karena diyakini dapat memberikan perubahan positif dalam proses pembuatan kebijakan yang lebih baik untuk masyarakat. Azza Karam dan Joni Lovenduski tidak hanya sekedar melihat pentingnya jumlah perempuan di parlemen saja, sebaliknya mengalihkan ketitik apa yang sebenarnya dapat kaum perempuan lakukan diparlemen (bagaimana mereka dapat mempengaruhi), berapa pun jumlah mereka. Menurut keduanya, perempuan mempelajari aturan main, dan menggunakan pengetahuan dan pemahaman ini untuk mengangkat isu dan persoalan perempuan dari dalam dibadan pembuat UU (legislatur) dunia.

(10)

10

dalam rangka untuk dapat menggunakan pengetahuannya sehingga dapat bekerja secara lebih efektif. Tahap kedua, yakni dengan mempelajari bagaimana menggunakan aturan-aturan yang ada, sehingga perempuan dapat meraih peluang untuk ikut serta dalam posisi dan komite-komite kunci, membuat diri mereka didengar dalam pembahasan dan debat-debat, dan dapat menggunakan sepenuhnya keahlian dan kemampuan mereka.

Sesuai dengan uraian pembahasan sebelumnya yang menjelaskan tentang apa saja

tugas dari DPRD Kota Mataram dan sudah sesuai atau belum pelaksanaan fungsi mereka dengan tatib yang sudah ada. Skripsi dengan judul “Perempuan dan Politik (Peran Legislator Perempuan dalam Politik Legislasi DPRD Kota Mataram, Nusa Tenggara barat Periode 2009-2014)”, membahas mengenai bagaimana peran legislator perempuan DPRD Kota Mataram dalam hal peran mereka atas pembuatan Raperda yang terkait tentang perempuan.

Terlihat dalam penelitian ini bahwa pertama, perempuan di Kota Mataram masih sangat rendah minatnya untuk terjun keranah politik. Adapun diantara mereka yang terjun ke dunia politik memang kebanyakan mengikuti jalur keluarga entah itu paman, kakak, bahkan ayah mereka.

Kedua,walaupun hanya berjumlah 3 orang dari 35 orang, namun anggota dewan

perempuan pada periode 2009-2014 berhasil menghasilkan produk Perda terkait tentang perempuan.

Dari hasil tersebut dapat direkomendasikan:

1. Memperhatikan isu/bahan dasar penyusunan Perda. 2. Menambahkan Perda yang terkait tentang perempuan.

3. Lebih memperhatikan aspirasi masyarakat dan lebih merangkul masyarakat yang ada di Kota Mataram.

4. Memberikan pendidikan politik bagi para anggota dewan secara keseluruhan.

5. Tidak ada batasan antara anggota dewan laki-laki dengan perempuan dalam hal pengambilan keputusan.

(11)

11

Anonim. 2009. Persentase Penduduk Menurut Provinsi dan Jenis Kelamin. Badan Pusat Statistik. http://ntb.bps.go.id/index.php, diakses 2 Oktober 2013.

Hanim, R. 2010. Perempuan dan Politik, Studi Kepolitikan Perempuan di DKI Jakarta. Madani Institute. Jakarta: hlm 18.

Komisi Pemberantasan Korupsi, 2008. Meningkatkan Kapasitas Fungsi Legislasi dan

Pengawasan DPRD dalam Konteks Pencegahan Korupsi. KPK: hlm 4.

Rimbani, S.K. 2013. Efektivitas Sosialisasi Politik Humas DPR Dalam Meningkatkan

Partisipasi Pemilih Pemula. Skripsi. Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik.

Universitas Brawijaya.

Septri, S. 2010. Peranan Anggota Legislatif Perempuan Dalam Pengawasan Implementasi

Perda No. 6 Tahun 2004 Tentang Penghapusan Perdagangan Perempuan Dan Anak

(Studi Kasus Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Sumatera Utara). Universitas

Sumatra Utara.

Soetjipto, A.W dan S. Adelina. 2012. Partai Politik dan Strategi Gender Separuh Hati. Parentesis Publisher. Jakarta: hlm 1.

Sugiyono, 2008. Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif dan R & D. ALFABET. Bandung: hlm 218.

Gambar

Gambar 1
Gambar 2 Proses Fungsi Legislasi

Referensi

Dokumen terkait

1) Pada tanggal 10 Januari 2017, Satgas Waspada Investasi mengundang Direksi PT Royal Sugar Company untuk dapat menjelaskan legalitas dan kegiatan usaha dalam

struktur yang digunakan oleh Organ Perusahaan untuk meningkatkan keberhasilan usaha dan akuntabilitas Perusahaan guna mewujudkan nilai Pemegang Saham dalam jangka panjang

Hasil penelitian menunjukkan pengetahuan ibu tentang Posyandu sebagian besar dikategorikan baik sebanyak 19 orang (63,33%), keaktifan ibu mengikuti Posyandu sebagian

Berdasarkan pengujian ini dapat disimpulkan bahwa cara yang paling ampuh untuk melindungi lontar dari pengaruh radiasi cahaya bukan menggunakan bahan konservasi, tetapi dengan

1) Meningkatkan kepercayaan dan kepuasan pelanggan melalui jaminan kualitas yang terorganisasi dan sistematik. Proses dokumentasi dalam ISO 9001:2000 menujukan bahwa kebijakan,

Adalah rencana, proses, kebijakan , prosedur dan pengetahuan berdasarkan penggunaan spesifik dan digunakan untuk melakukan organisasi, Seperti artifact, praktik atau pengetahuan

Dalam perancangan buku album fotografi ini mengenai informasi aktivitas suasana di kawasan jalan ABC dan nilai-nilai bangunan Cagar Budaya bagi masyarakat di kota

Observasi yang akan dilakukan adalah observasi terhadap subjek, perilaku subjek selama wawancara, interaksi subjek dengan peneliti dan hal-hal yang dianggap