KENDALA DALAM PELAKSANAAN
UNDANG-UNDANG HAK TANGGUNGAN - HT
(Materi Diskusi Perkuliahan Magister Hukum Bisnis, UPH)
Oleh : Antonius Ketut
I. PENDAHULUAN
Sebagaimana diketahui bahwa ketentuan hukum yang mengatur mengenai hak jaminan
atas tanah dan benda-benda yang merupakan satu kesatuan dengannya, jauh hari
sebelum diberlakukannya Undang-undang No.4 Tahun 1996, tersebar dalam banyak
peraturan, baik yang diatur dalam KUHPerdata, maupun yang berbentuk
Undang-undang maupun yang setingkat dengan Undang-Undang-undang, Peraturan pemerintah,
Peraturan Menteri, sampai yang berbentuk surat keputusan. 1)
Bahkan apabila di cermati, dalam hukum adat dikenal juga ada lembaga jaminan
sebagai sarana pengamanan piutang atau pinjaman, hanya saja dalam hukum adat
kedudukan dan hak kreditur terhadap obyek jaminan itu tidak tegas seperti yang diatur
dalam KUHPerdata. Didalam hukum adat, yang menjadi obyek jaminan dapat berupa
tanah atau benda bukan tanah dengan lembaganya, baik berupa jonggolan bagi tanah
dan berupa gadai untuk jaminan yang bukan tanah. Di dalam kehidupan masyarakat
dapat, dikenal istilah ‘ngegade’ atau yang berarti menggadaikan atau menjaminkan
benda, akan tetapi bukan berarti jual gade atau gadai tanah, karena gadai tanah bukan
perbuatan menjaminkan tetapi perbuatan jual untuk waktu tertentu. Jual gade
merupakan perjanjian yang berdiri sendiri, sedangkan gade atau ‘ngegade’ merupakan
perjanjian assessor terhadap perjanjian pokoknya yaitu perjanjian hutang piutang. 2)
________________
II. LATAR BELAKANG
Dengan mempertimbangkan bahwa asas-asas Hukum Tanah Nasional dalam
kenyataannya tidak dapat menampung perkembangan yang terjadi dalam bidang
perkreditan dan jaminan sebagai akibat dari kemajuan perkembangan ekonomi yang
mengakibatkan timbulnya perbedaan pandangan dan penafsiran mengenai berbagai
masalah dalam pelaksanaan hukum jaminan atas tanah, maka dirasakan perlu adanya
peraturan perundang-udangan yang dapat mengatur secara sistematis serta dapat
memberikan jaminan kepastian hukum dalam kegiatan perkreditan.
Dengan telah disahkannya UU No.4/1996 tentang Hak Tanggungan (selanjutnya
disebut UUHT), maka ketentuan-ketentuan tentang hak jaminan atas tanah yang
berlaku sebelumnya, terutama ketentuan-ketentuan tentang hipotik dan creditverband
sepanjang yang sudah diatur dalam UUHT khususnya pasal 26 dan pasal 29 menjadi
hapus. Demikian juga peraturan lain yang sekalipun secara tidak tegas dinyatakan,
dengan menganut prinsip Lex Poteriori Derogat Legi Priori tidak berlaku lagi,
maksudnya adalah bahwa peraturan lama yang merupakan pelaksanaan dari ketentuan
Pasal 51 Jo Pasal 57 UUPA, yang sekarang sudah diatur dalam Pasal 25 UUHT.
Sebaliknya ketentuan hipotik yang berkaitan dengan kapal laut dan pesawat udara tetap
III. PEMBAHASAN
Salah satu aspek yang penting di dalam hukum tanah adalah tentang hubungan antara
tanah dengan benda lain yang melekat padanya. Kepastian hukum akan kedudukan
hukum dari benda yang melekat pada tanah itu sangat penting karena hal itu
mempunyai pengaruh yang luas terhadap segala hubungan hukum yang menyangkut
tanah dan benda yang melekat padanya.
Dalam hukum tanah dikenal ada dua asas yang satu sama lain bertentangan, yaitu
meliputi :
a) Asas pelekatan vertical dan b) Asas pemisahan horizontal.
Asas pelekatan vertical adalah asas yang mendasarkan pemilikan tanah dan benda yang
melekat padanya sebagai satu kesatuan tertancap menjadi satu. Sedangkan Asas
pemisahan horizontal justru memisahkan tanah dari segala benda yang melekat pada
tanah tersebut. 3)
Sejak di berlakukannya KUHPerdata kedua asas ini diterapkan secara berdampingan
sesuai dengan tata hukum yang berlaku pada masa itu, pada masa sebelum adanya
kesatuan hukum dalam hukum pertanahan, yaitu sebelum berlakunya UUPA. Setelah
berlakunya UUPA maka ketentuan Buku II KUHPerdata sepanjang mengenai bumi, air
serta kekayaan didalamnya telah dicabut, kecuali tentang hipotik. Dengan demikian
pengaturan tentang hukum tanah dewasa ini telah merupakan satu kesatuan hukum
(unifikasi hukum) yaitu hanya ada satu hukum tanah saja yang berlaku yaitu yang
diatur dalam UUPA dan berasaskan hukum adat.
_________________
Pasal 5 UUPA mengatakan bahwa hukum agrarian yang berlaku adalah hukum adat,
maka lebih lanjut disimpulkan, bahwa UUPA mengenai tanah menganut prinsip
pemisahan tanah secara horizontal.
Sehubungan dengan prinsip pemisahan horizontal antara tanah dan benda-benda yang
ada diatas tanah yang bersangkutan, dapat disimpulkan menurut hukum adat bahwa :
a) Tanah dan benda-benda lain yang ada diatas tanah tersebut sekalipun mempunyai
keterkaitan yang erat dengan tanah diatas mana benda-benda itu berada, tetap
merupakan dua benda yang lain yang berdiri sendiri-sendiri.
b) Pemilik tanah bisa menjual atau menjaminkan tanahnya tan[pa meliputi
benda-benda yang berkaitan erat dengan tanah yang bersangkutan.
c) Penjual atau penjamin dengan tanah tidak dengan sendirinya meliputi benda-benda
yang berkaitan erat dengan tanah yang bersangkutan.
d) Pemilik tanah tidak harus sama dengan pemilik benda-benda yang berkaitan errata
dengan tanah yang bersangkutan.
Dalam prakteknya, dapat dilihat bahwa jarang sekali terjadi, bahkan bisa dikatakan
tidak pernah terjadi ada pembebanan hipotik atau credit verband (CB) tanpa
memperjanjikan bahwa jaminan itu meliputi bangunan dan yang sudah ada ataupun
akan ada diatas tanah yang bersangkutan. Pada umumnya kreditur memperjanjikan
bahwa jaminan meliputi pula semua benda yang bersatu atau dipersatukan dengan tanah
yang bersangkutan, sudah menjadi suatu janji yang selalu diperjanjikan.
Apabila disimak Pasal 5 UUPA yang menyebutkan bahwa hukum agraria yang berlaku
atas bumi air dan ruang angkasa adalah hukum adat sepanjang tidak bertentangan
Dengan demikian jelas sekali bahwa pengaturan hukum tanah didalam UUPA
berlandaskan hukum adat. Lebih lanjut atas Pasal 5 UUPA itu sendiri dikatakan bahwa
hukum adat dijadikan dasar dari hukum agrarian yang baru. Mengingat asas pemisahan
horizontal adalah asas yang dianut dalam hukum adat, maka akan menimbulkan
kesimpulan bahwa UUPA mengenai tanah menganut prinsip pemisahan tanah secara
horizontal.
Permasalahan pertama timbul setelah ada pandangan ahli (Srie Soedewi Masychum
Sofyan) yang mengatakan bahwa UUPA tidak mengenal asas accesi, namun sebaliknya
menganut asas horizontal scheiding. Oleh karenanya terhadap bangunan-bangunan
yang ada diatas Hak Milik, HGU dan HGB serta juga berdiri diatas tanah Hak tanah
orang lain dapat dijaminkan secara terpisah dari tanahnya, sedangkan bangunan
tersebut tidak dapat dijaminkan dengan hipotik tetapi dengan fidusia. 4)
Berikut ini beberapa contoh praktek yang terjadi beberapa Negara sehubungan dengan
pelaksanaan Undang-undang yang mengatur mengenai pemisahan kepemilikan tanah
dan bangunan atau apapun yang berdiri diatas.
Di Negara Jepang pemilikan atas tanah dan atas bangunan atau tanaman dapat terpisah,
karena itu di Jepang rumah dan tanaman mempunyai identitas tersendiri dengan
sertifikat yang terpisah dari sertifikat tanahnya. Menurut Immovables Regristration
Law pendaftaran benda tetap, pendaftaran atas tanah tidak meliputi benda yang melekat
padanya, karena itu di Jepang tanah dan bangunan didaftar secara terpisah, bahkan
tanaman dapat menjadi benda terdaftar dan dilakukan pendaftaran tersendiri terpisah
dari tanahnya.”
_______________
“The most significant practical result of this distinction between land and structures
there on is that buildings may be owned separately from the land on which may be
owned separately from the land on which they stand and may be separately disposed
of. In addition, the land and buildings may separately use as collateral securing
obligations of the owner”.
Pada beberapa Negara termasuk Australia, New Zealand, Singapura, Malaysia dan
Hongkong problema penyediaan pemilikan tanah bagi pembangunan rumah secara
horisontal dipecahkan dengan pembangunan gedung bertingkat dengan penggunaan
system strata title yaitu system yang mengatur tentang bagian tanah yang terdiri dari
lapisan-lapisan ( strata ) yaitu lapisan bawah dan atas, dengan strata. ( Strata adalah
bentuk plural dari stratum ) diartikan sebagai berikut :
Stratum means any part of land consisting of a space of any shape below, on or above
the surface of the land, dimensions of which are delineated.
Di Singapura dalam pembangunan rumah susun atau strata units dengan system strata
title rumah susun terdiri dari atas subdivided building, dan setiap satuan rumah susun
adalah flat. Pengertian flat adalah : Flat means a horizontal stratum of any building or
part there of, whether such stratum is one or more levels or is partially or wholly below
the surface of the ground, whichis used or intended to be used as a complete and
separate unit for the purpose of habitation or business or for any other purpose, and
may comprised in a lot, or in part of any subdivided building not shown in a registered
strata title. 5)
________________
Di Singapura bangunan strata title ini dapat berdiri di atas tanah Hak milik ( freehold )
atau tanah sewa ( Leasehold ). Tetapi hak atas tanah tersebut oleh developer harus
didaftarkan berdasarkan Land Titles Act.
Dalam jual beli rumah susun berdasarkan the Land Title ( strata ) Act, dapat berupa
system rumah susun di mana setiap strata unit dimiliki oleh pembeli, sedangkan sarana
umum ( common areas of the development ) dimiliki semua pemilik strata unit sebagai
co owners. Strata title semacam ini di Amerika dan di Canada dikenal sebagai
Condominium.
Namun demikian tidak semua bangunan strata title di Singapura yang dibangun
berdasarkan the Land title Act itu dapat dinamakan condominium. Dikatakan oleh
Gangatharan bahwa dalam condominium terdapat common property, common property
means in relation to subdivided building shown in an approved plan bearing the title
condominium so much of the land for the time being not comprised in any unit shown
in strata title plan. Untuk itu beberapa uraian perlu untuk menjelaskan istilah
condominium, karena istilah tersebut tidak ditemukan dalam peraturan di Singapura.
Ketentuan tentang condominium dapat diketahui berdasarkan guidelines yang
dikeluarkanoleh the Ministry of National Development :
a) the condominium type of housing development is only allowed on a site that has an
area of 1 acre or 0,4 hectare and if the site is less than 1 acre or 0,4 hectare, the
development will be termed a flat development.
b) a condominium in Singapore is a strata title scheme development in which ( a ) the
development and ( b ) open landscaped spaces with share garden and recreational
facilities occupythe remainder.
Apabila dalam system condominium selalu ada kaitan dengan tanah dimana bangunan
itu berdiri, maka di dalam system strata title, pemilikan flat tidak ada kaitan dengan
pemilikan atas tanahnya. Hak atas tanah disini merupakan hak yang dimiliki oleh para
developer atau milik pemilik bangunan atau strata title secara keseluruhan ( pemilik
multi storey building ). Di Singapura apabila akan dibangun bangunan strata title, para
developer harus mendaftarkan haknya, dan setelah didaftarkan haknya baru dapat
dikeluarkan sertifikat pemilikan flat bagi para pemilik flat.
Kembali kepada pokok permasalahan atas pelaksanaan asas pemisahan horizontal,
mungkin dapat dipakai sebagai pertimbangan adalah putusan R.v.J dalam kasus di
bawah ini :
Dalam suatu transaksi antara orang adat sebagai penjual dengan orang bukan adat
sebagai pembeli R.v.J Surabaya pernah memberikan pertimbangan, “ bahwa karena
penjualan rumah batu diatas tanah tidak dapat dipisahkan dari tanahnya, maka terkena
larangan, S.1875:179 ( T.85:449 ), pendirian mana juga disetujui oleh R.v.J Batavia.
Dari keputusan HgH Batavia 6 Oktober 1927 dapat disimpulkan oleh Ter Haar bahwa
menurut HgH, barang siapa membeli rumah gedung, dengan disertai pelepasan hak atas
tanahnya dianggap membeli juga tanah diatas mana rumah itu berdiri. Landraad
Padangsidempuan dalam keputusannya tanggal 14 Oktober 1933 yang dikuatkan oleh
R.v.J Padang dengan keputusannya tanggal 14 Oktober 1933 antara lain memberikan
a) Bahwa menurut pendapat Landraad, juga transaksi atas rumah yang disengketakan
harus dianggap tidak sah, mengingat sebagaimana dari surat perjanjiannya, pada
pengoperan rumah, tidak dipisahkan dari pengoperan itu, hak-hak yang dipunyai
oleh tergugat atas tanahnya hal mana telah disepakati harga pembelian untuk
seluruh persil.
b) Bahwa menurut pengetahuan Landraad, pada transaksi seperti ini menurut hukum
paham hukum adat, tidak dapat dipisahkan antara pelaksanaan hak-ahak atas rumah
dan tanahnya.
Dalam hal ini Boedi Harsono mengatakan bahwa di dalam akta jual beli tanah perlu
dinyatakan dengan tegas, apakah jual beli itu meliputi bangunan dan tanaman yang ada
diatasnya. Sebab kalau tidak disebutkan tidak dengan sendirinya bangunan dan tanaman
itu beralih kepada pembeli.
Dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwa apabila tidak secara tegas diperjanjikan,
maka penjualan rumah gedung dianggap dengan sendirinya sudah meliputi tanah di atas
mana rumah atau gedung itu berdiri. Dengan demikian perbedaan antara asas
pemisahan horizontal sebagaimana yang dikenal dalam prinsip hukum adat dan asas
vertical telah dapat diselesaikan dengan konsep sebagai berikut :
“Tanah dan segala sesuatu yang bersatu dengan tanah adalah terpisah, kecuali para pihak menentukan lain”.
Permasalahan kedua adalah apabila dalam rangka pembebanan Hak Tanggungan
pemilik tanah dan pemilik bangunan atau gedung di atas tanah tersebut adalah berbeda.
(4). Hak Tanggungan dapat juga dibebankan pada hak atas tanah berikut bangunan,
tanaman, dan hasil karya yang telah ada atau akan ada yang merupakan satu
kesatuan dengan tanah tersebut, dan yang merupakan milik pemegang hak atas
tanah yang pembebanannya dengan tegas dinyatakan di dalam Akta Pemberian
Hak Tanggungan yang bersangkutan.
(5). Apabila bangunan, tanaman, dan hasil karya sebagaimana dimaksud pada ayat (4)
tidak dimiliki oleh pemegang hak atas tanah, pembebanan Hak Tanggungan atas
benda-benda tersebut hanya dapat dilakukan dengan penandatanganan serta pada
Akta Pemberian Hak Tanggungan yang bersangkutan oleh pemiliknya atau yang
diberi kuasa untuk itu olehnya dengan akta otentik.
Penjelasan atas pasal tersebut di atas mengatakan sebagai konsekuensi dari ketentuan
termaksud pada ayat (4), pembebanan Hak Tanggungan atas bangunan, tanaman, dan
hasil karya yang merupakan satu kesatuan dengan tanah yang pemiliknya lain daripada
pemegang hak atas tanah yang bersangkutan dan dinyatakan dalam satu akta pemberian
hak Tanggungan , yang ditandatangani bersama pemiliknya dan pemegang hak atas
tanahnya, keduanya sebagai pihak pemberi tanggungan.
Bunyi penjelasan atas ketentuan Pasal 4 ayat (5) dapat menimbulkankesan, bahwa
kalau pemilik benda-benda yang bersatu dengan tanah yang bukan pemilik daripada
tanah tersebut dengan mana benda-benda itu bersatu ataupun sepakat untuk hendak
menjaminkan dengan Hak Tanggungan, maka pemilik tanah harus turut
Ketentuan ini tidak logis dan tidak mungkin hidup ditenga-tengah masyarakat.
Pemegang hak atas tanah yang belum mempunyai kepentingan yang sama dengan
pemilik bangunan yang membutuhkan kredit dan menjaminkan bangunannya, wajib
serta menandatangani Akta Pemberian Hak Tanggungan. Dengan demikian pemegang
hak atas tanah menjadi penjamin dlam perjanjian kredit. Jika pemilik bangunan ingkar
janji dengan sendirinya pemegang hak atas tanah harus merelakan tanahnya untuk
dilelang dalam rangka melunasi kredit dari pemilik bangunan.
Kepentingan pemilik bangunan belum tentu sama dengan kepentinganpemegang hak
atas tanah. Setiap orang mempunyai kepentingan yang berbeda. Kepentingan penerima
kredit/pemilik bangunan tidak selalu sama dengan kepentingan pemegang hak atas
tanah. Jika pemegang hak atas tanah diwajibkan menyerahkan tanahnya sebagai
jaminan, berarti yang bersangkutan dikorbankan untuk kepentingan penerima
kredit/pemilik bangunan tidak mampu melunaskan kreditnya, maka pemegang hak atas
tanah wajib merelakan hak atas tanahnya dilelang untuk melunasi kredit yang tidak
dinikmatinya. Dalam hal ini tidak memberikan perlindungan hukum kepada pemegang
hak atas tanah yang memiliki kedudukan yang lebih penting daripada pemilik
bangunan,karena hak atas tanahnyalah yang dapat dijadikan obyek Hak Tanggungan.
Mariam darus Badrulzaman berpandangan oleh karenanya sangat penting peranan
pendaftaran untuk dipergunakan sebagai sarana kepastian hukum dalam rangka
penerapan asas pemisahan horizontal. Melalui pendaftaran tersebut, maka benda-benda
yang ada kaitannya dengan tanah dapat diciptakan dengan hak-hak kebendaannya baik
Sedangkan jalan keluar terhadap penyelesaian masalah di atas adalah dengan mengikuti
pola BOT ( Build Operation Transfer ) yang banyak dipergunakan oleh investor dan
pemilik tanah yang tidak ingin hak atas tanahnya digusur.
Sutan Remy Syahdeini berpandangan bahwa penerapan pasal tersebut yang
menyiratkan terciptanya asas pemisahan horizontal yang tidak mutlak telah
menimbulkan polemik. Seharusnya UUHT secara konsisten memberlakukan asas
pemisahan horizontal dan tidak mendua. Beliau juga sekaligus mengusulkan agar
dibuat Undang-undang tersendiri mengenai hak jaminan atas benda-benda yang
berkaitan dengan tanah. Didalam Undang-undang tersebut agar ditentukan adanya
benda-benda yang berkaitan dengan tanah yang diharuskan dan yang tidak diharuskan
untuk didaftarkan dan bagi yang didaftarkan diberikan sertifikat hak atas benda-benda
tersebut.
Aspek Kepastian Jumlah hutang, Dikaitkan Jaminan Hutang Yang Baru Akan Ada.
Menurut Pasal 3 ayat (1) UUHT, Hak Tanggungan dapat dijadikan jaminan untuk ;
(1) Hutang yang telah ada
(2) Hutang yang baru akan ada tetapi telah diperjanjikan sebelumnya dengan jumlah
tertentu
(3) Hutang yang baru akan ada tetapi telah diperjanjikan sebelumnya dengan jumlah
yang pada saat permohonan eksekusi Hak Tanggungan diajukan ditentukan
berdasarkan perjanjian hutang piutang atau perjanjian lain yang menimbulkan
Menurut Yahya Harahap ketentuan Pasal 3 ayat(1) UUHT, maupun penjelasannya belum
mampu mengatasi kesulitan menentukan jumlah hutang yang pasti (fixed loan0 dalam
pemberian suatu “fasilitas kredit” tanpa memberi pedoman atau patokan yang bersifat
clear outline. Beliau berpandangan bahwa Pasal sebagaimana dimaksud boleh dikatakan
merupakan transfer bulat-bulat dari pasal 1176 KUHPerdata. Hal ini mengakibatkan pada
pelaksanaannya menimbulkan kendala yang paling besar yaitu perselisihan penafsiran
jumlah hutang tertentu baik dari pihak kreditur maupun debitur. Bahkan pada waktu yang
lalu, ada ketidakcocokan pendapat antara pihak pengadilan , termasuk Mahkamah
Agung, mengenai besarnya jumlah hutang. Pihak pengadilan berpendapat bahwa jumlah
hutang harus sudah pasti (fixed). Akibat dari hal ini maka akan terjadi bahwa syarat
materil eksekusi tidak tercapai mengingat jumlah hutang tidak pasti dan mengakibatkan
Grosse Akta Hipotik dinyatakan ”cacat materil” sehingga title eksekutorialnya menjadi
gugur.
Sutan Remy menjelaskan bahwa dalam praktek perbankan penentuan jumlah kredit yang
pasti hamper tidak mungkin dilakukan. Untuk fasilitas kredit investasi yaitu kredit-kredit
yang diberikan guna kepentingan penambahan modal, rehabilitasi, perluasan usaha
ataupun mendirikan suatu proyek baru termasuk penambahan barang modal, jumlah
kredit akan selalu menurun dari waktu ke waktu apabila debitur secara teratur melakukan
angsuran kredit sesuai dengan jadwal angsurannya. Namun apabila kemudian, setelah
angsuran terakhir, kredit tidak diangsur lagi dan bunga tidak dibayar, maka jumlah kredit
Sedangkan apabila kredit berbentuk R/C (Rekening Koran), maka kredit akan
berfluktuasi dari waktu ke waktu mengikuti waktu dan jumlah-jumlah setoran dan
pengambilan kredit dari Rekening Koran dari debitur tersebut.
Dengan ketentuan Pasal 3 ayat (1) UUHT tersebut, diharapkan perbedaan pendapat ini
akan tidak ada lagi. Bank mengharapkan agar pengadilan dapat menerima bahwa jumlah
hutang yang akhirnya harus dibayar kembali oleh debitur pada waktu eksekusi Hak
Tanggungan adalah jumlah yang tercantum pada rekening kredit dari debitur tersebut. Di
dalam Surat Kuasa Memasang hak Tanggungan (SKMHT) atau Akta Pemberian hak
Tanggungan cukuplah apabila dicantumkan bahwa jumlah kredit adalah jumlah
maksimum kredit ditambah dengan biaya dan bunga yang masih akan diperhitungkan
oleh bank sampai dengan saat eksekusi Hak Tanggungan dilakukan.
Dalam praktek perbankan, dapat diberikan contoh lain yaitu hutang yang timbul sebagai
akibat non payment L/C ekspor oleh paying bank di luar negeri atas penyerahan
dokumen-dokumen ekspor yang mengandung discrepancies (dokumen-dokumen yang
diserahkan tidak sesuai dengan syarat-syarat yang ditentukan dalam LC), sedangkan
sementara itu opening bank di dalam negeri telah mengambil alih dokumen-dokumen
tersebut dan telah membayarkan uangnya kepada eksportir.
Apabila karena non payment tersebut, eksportir tidak mampu dengan seketika membayar
kembali dana yang telah dibayarkan oleh opening bank kepadanya itu dan terpaksa di
hutang, maka hutang yang timbul itu adalah hutang yang muncul kemudian setelah Hak
Mengingat ketentuan Pasal 3 ayat (1) UUHT tersebut, haruslah antara bank dan nasabah
diperjanjikan di muka terlebih dahulu atas hutang yang baru akan ada di kemudian hari
yang timbul sebagai akibat pencairan bank garansi yang merupakan fasilitas dari bank
yang diterima oleh nasabah, ataupun yang timbul sebagai akibat terjadinya non payment
atas L/C ekspor yang diterima oleh nasabah dari luar negeri melalui bank yang
bersangkutan. Dengan demikian perjanjian kredit tersebut merupakan stand by loan
agreement.
Ketentuan bahwa Hak tanggungan dapat dijadikan jaminan hutang yang baru akan ada
tersebut di atas berbeda dengan ketentuan Hipotik khususnya Pasal 1176 KUHPerdata
yang menyatakan bahwa : “Suatu Hipotik hanyalah sah, sekadar jumlah uang untuk mana
ia telah diberikan, adalah tentu dan ditetapkan dalam akta. Jika hutangnya bersyarat
ataupun jumlahnya tidak tertentu, maka pemberian Hipotik senantiasa adalah sah sampai
jumlah harga taksiran, yang para pihak diwajibkan menerangkannya didalam aktanya”.
Keputusan H.R.30 Januari 1953 N.J.1953, 578 membenarkan bahwa Hipotik boleh
diberikan untuk menjamin utang yang pada saat Hipotik itu dipasang, belum seluruhnya
diserahkan oleh kreditur kepada debitur atau digunakan oleh debitur.
Jumlah maksimum utang debitur dicantumkan didalam Akta Hipotik. Jumlah itu
merupakan batas maksimum yang dapat digunakan oleh debitur. Apabila dalam
pinjaman fasilitas kredit investasi atau rekening koran debitur mengambil sebagian demi
sebagian sesuai dengan keperluannya, dan setelah sebagian hutang dibayar lunas hipotik
tidak hapus, tetapi dibiarkan berlangsung terus untuk keperluan pengambilan kredit
bagian berikutnya sampai jumlah maksimum yang tercantum dalam perjanjian kredit
Dengan demikian, untuk setiap kali dilakukan pengambilan sebagian kredit tidak perlu
pembebanan hipotik baru, tidak perlu pembuatan akta baru. Hipotik tersebut berjalan
terus menerus untuk menjamin kredit tersebut sampai seluruhnya dilunasi. Hipotik yang
demikian disebut Hipotik yang doorlopend. Terhadap permasalahan-permasalahan
sebagaimana diuraikan di atas Yahya Harahap berpendapat, bahwa pertama perlu diatur
lebih jelas, patokan atau acuan untuk menentukan jumlah hutang pokok yang dapat di
eksekusi. Untuk itu perlu juga ditentukan patokan prioritas secara alternative. Sebagai
patokan pokok dapat diambil sebagai acuan adalah jumlah hutang yang disebut dalam
Akta Pemberian Hak Tanggungan. Apabila debitur beranggapan bahwa jumlah hutang
yang telah dinikmati tidak sesuai dengan jumlah dalam Akta Pemberian Hak
Tanggungan, maka debitur dapat membantah dengan mengajukan fakta-fakta, namun bila
tidak cukup fakta atau bukti-bukti maka tetap dipertahankan secara definitif jumlah yang
disebut dalam Akta Pemberian Hak Tanggungan. Kedua, dapat dipergunakan patokan yang direalisir. Maksudnya apabila debitur dapat menunjukkan fakta-fakta ataupun
bukti-bukti yang menunjukkan jumlah yang direalisir lebih kecil dari yang disebutkan dalam
Akta Pemberian Hak tanggungan, maka jumlah yang dapat di eksekusi adalah yang
benar-benar dapat direalisir. Namun karena pembuktian yang demikian bukan dalam
proses peradilan sesuai dengan system “adversarial” kebenarannya kurang dapat
dipegang sebagai jumlah definitive diluar sidang, akan tetapi untuk kelancaran eksekusi
pelaksanaan eksekusi tidak perlu ditunda. Ketiga, dapat juga dipakai sebagai patokan
jumlah hutang pasti adalah jumlah hutang definitive berdasarkan rekening, namun hal
tersebut harus terlebih dahulu ditentukan sebagai satu klausula dalam Akta Pemberian
IV. KESIMPULAN
a) Undang-undang No. 4 Tahun 1996 Tentang Hak Tanggungan ternyata dalam
praktek pelaksanaannya masih mengandung beberapa kelemahan dan juga belum
mengakomodir permasalahan-permasalahan dalam praktek dan pelaksanaannya,
yaitu mengenai hubungan antara tanah dengan benda lain yang ada diatasnya,
serta aspek kepastian jumlah hutang dikaitkan dengan jaminan hutang yang baru
akan ada, sesuai ketentuan Pasal 3 ayat (1) UU No.4/1996 tentang Hak
Tanggungan. Sebagaimana yang dikenal dengan asas pemisahan horizontal.
b) Perlindungan terhadap kepentingan pemegang hak atas tanah yang berbeda
dengan pemilik tanaman atau bangunan diatas tanah tersebut apabila dikaitkan
dengan pembebanan Hak Tanggungan ternyata belum jelas, terlebih apabila
pemegang hak atas tanah tidak memiliki kepentingan atas pembebanan tersebut
sehingga perlu diatur lebih lanjut.
c) Kepastian hukum akan kedudukan hukum dari benda yang melekat pada tanah itu
sangat penting karena hal itu mempunyai pengaruh yang luas terhadap segala
hubungan hukum yang menyangkut tanah dan benda yang melekat padanya.
d) Di Negara lain seperti Jepang pemilikan atas tanah dan atas bangunan atau
tanaman dapat terpisah, karena itu di Jepang rumah dan tanaman mempunyai
identitas tersendiri dengan sertifikat yang terpisah dari sertifikat tanahnya.
e) Di dalam akta jual beli tanah perlu dinyatakan dengan tegas, apakah jual beli itu
meliputi bangunan dan tanaman yang ada diatasnya, sebab kalau tidak disebutkan
dengan jelas, tidak dengan sendirinya bangunan dan tanaman itu beralih kepada
Daftar Pustaka
1. J.Satrio, Hukum Jaminan Kebendaan, Hak Tanggungan (buku 1 Citra Aditya
Bakti Bandung, 2002) hal.9.
2. Ter Haar, Asas-asas dan susunan hukum adat (Pradnya Paramita 1960) hal.88.
3. Mahadi, Hukum Benda Dalam Sistem Hukum Perdata Nasional, (Bina Cipta,
1983) hal. 46.
4. Srie Soedewi Masychun Sofyan, Hukum Jaminan Di Indonesia (BPHN, 1980)
hal.16.
5. Djuhaendah Hasan, Lembaga Jaminan kebendaan Bagi Tanah dan Benda Lain
yang melekat pada tanah dalam konsepsi penerapan asas pemisahan horizontal,