• Tidak ada hasil yang ditemukan

Islam Sasak Wetu Telu Vs Waktu Lima

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Islam Sasak Wetu Telu Vs Waktu Lima"

Copied!
16
0
0

Teks penuh

(1)

ISLAM SASAK: WETU TELU VERSUS WAKTU LIMA

M A K A L A H

Diajukan untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Metodologi dan Pendekatan Studi Islam di Indonesia

Disusun Oleh: A. ZAKY YUDHISTIRA

Dosen Pembimbing: HAMDANI, Ph. D.

PROGRAM MAGISTER SEJARAH PERADABAN ISLAM KONSENTRASI KAJIAN ISLAM NUSANTARA SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NAHDLATUL ULAMA

(2)

2013 BAB I MUKADDIMAH

A. Latar Belakang Masalah

Wetu Telu (bahasa Indonesia: Waktu Tiga) adalah praktik unik sebagian masyarakat suku Sasak yang mendiami pulau Lombok dalam menjalankan agama Islam. Ditengarai bahwa praktik unik ini terjadi karena para penyebar Islam di masa lampau, yang berusaha mengenalkan Islam ke masyarakat Sasak pada waktu itu secara bertahap, meninggalkan pulau Lombok sebelum mengajarkan ajaran Islam dengan lengkap.1

Islam Wetu Telu merupakan orang Sasak yang meskipun mengaku Muslim masih sangat percaya terhadap ketuhanan animistik leluhur (ancrestal animistic deities) maupun benda-benda antropomorfis (anthropomorphized inanimate objects). Sebaliknya, Waktu Lima adalah orang Muslim Sasak yang mengikuti ajaran syari’ah secara lebih utuh sebagaimana diajarkan Al-Qur’an dan Hadits. Mengikuti dikotomi Geertz (1960), agama Wetu Telu lebih mirip dengan Islam abangan yang sinkretik, walaupun Waktu Lima tidaklah juga seperti bentuk Islam santri.2

Berdasarkan kebiasaan keagamaan mereka, Sasak Waktu Lima ditandai dengan ketaatan yang tinggi terhadap ajaran-ajaran Islam. Komitmen mereka terhadap syari’ah lebih besar dibandingkan dengan Wetu Telu. Sehari-harinya ibadah mereka terwujud dalam ketaatan terhadap lima Rukun Islam. Sedangkan Wetu Telu adalah orang Sasak yang meskipun mengaku Muslim namun terus memuja roh para leluhur, berbagai dewa-dewa lainnya di dalam kepercayaan lokalitas mereka. Dalam pelaksanaan ibadah kesehariannya mereka

1http://id.wikipedia.org/wiki/Wetu_Telu/ diakses pada 3 Nopember 2013 pukul 23.34 WIB.

(3)

cenderung mengabaikan praktek rutin Islam yang dianggap wajib oleh kalangan Islam pada umumnya.

Adat memainkan peran yang sangat dominan di kalangan penganut Wetu Telu, dan dalam beberapa hal praktek adat tersebut bertentangan dengan Islam. Meskipun mereka menyadari, beberapa aturan-aturan adat tertentu3 jelas bertentangan dengan hukum

Islam, namun kalangan Wetu Telu tetap memeliharanya sebagai bagian dari tradisi keagamaan mereka. Dengan kata lain Wetu Telu tidak menggariskan suatu batas yang jelas antara adat dan agama, karenanya adat sangat bercampur aduk dengan agama lokal.4

B. Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas, penulis merasa perlu membatasi ruang lingkup kajian dalam pembahasan makalah ini agar lebih fokus dan tidak menjadi bias. Oleh karena itu, di sini penulis telah merumuskan permasalahan yang ingin dikaji lebih dalam terkait Islam Wetu Telu yang dianut oleh sebagian Suku Sasak yang mendiami Pulau Lombok, yaitu:

1. Bagaimana sejarah terbentuknya Islam Wetu Telu?

2. Bagaimana ritual dan praktek keagamaan yang dilaksanakan oleh penganut Islam Wetu Telu?

3. Bagaimana gerakan dakwah yang dilakukan terhadap penganut Wetu Telu dan apa dampak kulturalnya?

C. Tujuan dan Manfaat Penulisan Makalah

Tujuan disusunnya tulisan ini adalah untuk mengetahui lebih dalam tentang Islam Wetu Telu yang dianut oleh sebagian Suku Sasak terutama yang tinggal di daerah Bayan Pulau Lombok. Dengan pengetahuan tersebut maka diharapkan nantinya tidak akan ada stigma yang buruk terhadap mereka orang Bayan dan juga kita dapat merumuskan strategi dakwah yang tepat kepada mereka,

3 Aturan-aturan adat yang dimaksud adalah seperti memberi penghormatan dan memuja roh-roh para leluhur mereka.

(4)

sehingga diharapkan mereka mau menjalankan ajaran Islam yang sesuai dengan kebanyakan orang penganut Waktu Lima.

BAB II

ISLAM SASAK: WETU TELU VERSUS WAKTU LIMA

A. Sejarah Islam Wetu Telu

Sebelum masuknya Islam, masyarakat yang mendiami pulau Lombok berturut-turut menganut kepercayaan animisme, dinamisme kemudian Hindu. Islam pertama kali masuk melalui para wali dari pulau Jawa yakni Sunan Prapen pada sekitar abad XVI, setelah runtuhnya kerajaan Majapahit. Sunan Prapen merupakan raja ke 4 dari dinasti Giri Kedaton. Ia merupakan anak dari Sunan Dalem penerus Giri yg ke 2. Sunan Prapen lahir tahun 1432 saka atau 1510 Masehi. Pada umur 46 tahun menjadi raja Giri ke 4 bertepatan tahun 1556 M. Dan meninggal dunia tahun 2605 M. Umur Sunan Prapen 95 tahun. Dan memimpin kerajaan Giri Kedaton selama 49 tahun.5

Menurut Lalu Lukman dalam bukunya disampaikan juga dugaan bahwa praktik tersebut bertahan karena para wali yang menyebarkan Islam pertama kali tersebut, tidak sempat menyelesaikan ajarannya, sehingga masyarakat waktu itu terjebak pada masa peralihan. Para murid yang ditinggalkan tidak memiliki keberanian untuk mengubah praktik pada masa peralihan tersebut ke arah praktik Islam yang lengkap. Hal itulah salah satu penyebab masih dapat ditemukannya penganut Wetu Telu di masa modern.

Bahasa pengantar yang digunakan para penyebar tersebut adalah bahasa Jawa Kuno. Dalam menyampaikan ajaran Islam, para wali tersebut tidak serta merta menghilangkan kebiasaan lama

(5)

masyarakat yang masih menganut kepercayaan lamanya. Bahkan terjadi akulturasi antara Islam dengan budaya masyarakat setempat, karena para penyebar tersebut memanfaatkan adat-istiadat setempat untuk mempermudah penyam-paian dan penyebaran Islam. Kitab-kitab ajaran agama pada masa itu ditulis ulang dalam bahasa Jawa Kuno. Bahkan syahadat bagi para penganut Wetu Telu dilengkapi dengan kalimat dalam bahasa Jawa Kuno. Pada masa itu, yang diwajibkan untuk melakukan peribadatan adalah para kiai atau pemangku adat saja (sebutan untuk pewaris adat istiadat nenek tidak mengakui Sidharta Gautama atau Sang Budha sebagai figur utama pemujaannya maupun terhadap ajaran pencerahannya. Agama Boda dari orang Sasak asli terutama ditandai oleh animisme dan panteisme7. Pemujaan dan penyembahan terhadap roh-roh

leluhur dan berbagai dewa lokal lainnya merupakan fokus utama dari praktek keagamaan Sasak-Boda (Erni Budiwati, 2000).

Pasca kesuksesan Sunan Prapen mengislamkan masyarakat suku Sasak saat itu, Sunan Prapen bergegas meninggalkan Lombok untuk menyebarkan agama Islam ke wilayah Sumbawa dan Bima. Akan tetapi, sepeninggal Sunan Prapen timbul masalah baru di kalangan masyarakat suku sasak Yakni kaum wanita suku Sasak menolak memeluk agama Islam. Tak hanya itu, masyarakat Sasak juga terpecah menjadi 3 golongan yaitu golongan yanga memilih mempertahankan kepercayaan lamanya dan lari ke hutan (orang

6 Rasmianto, Interrelasi Kiai, Penghulu dan Pemangku Adat dalam Tradisi Islam Wetu Telu di Lombok. Jurnal el-Harakah, Vol. 11, No. 2, (Malang: UIN Malang, 2009), hal. 138.

(6)

Boda), golongan yang takluk dan memeluk Islam (Waktu Lima) dan golongan yang hanya takluk pada kekuasaan Sunan Prapen (Wetu Telu). Akibat dari adanya masalah ini Sunan Prapen akhirnya kembali lagi ke Lombok untuk meluruskan dan memperbaiki penyebaran Islam di Lombok.

Dari ketiga golongan tersebut, Islam Wetu Telu adalah golongan yang keberadaannya masih bertahan sampai sekarang. Hal ini disebabkan oleh proses Islamisasi yang belum tuntas sebagai penyebab utama munculnya Islam Wetu Telu. Adapun penjelasannya adalah sebagai berikut (1) kedatangan Islam pada saat kuatnya kepercayaan tradisional seperti animisme, dinamisme, dan Boda, (2) dominasi ajaran Hindu Majapahit yang telah berakar kuat di masyarakat, (3) para muballigh dan ulama yang menyampaikan ajaran agama Islam terburu-buru meninggalkan tempat tugasnya untuk menyebarkan agama Islam ke tempat lain seperti Sumbawa, Dompu, dan Bima, (4) para murid yang menjadi kepanjangan tangan para mubaligh dan ulama belum memiliki kemampuan menafsirkembangkan ajaran Islam secara rasional dan (5) metode dakwah yang sangat toleran dengan komitmen tidak akan merusak adat istiadat setempat.

B. Ritual dan Praktek Keagamaan Wetu Telu

Pada umumnya orang Bayan menghormati hari-hari besar Islam, ritus peralihan (rites of passage)8 dan siklus tanam padi.

Akibatnya sekalipun pada mulanya berasal dari Islam, ritus-ritus tersebut sangat diwarnai dengan ciri khas adat lokal. Orang Bayan menggunakan kalender qomariyah dan memperingati peristiwa-peristiwa penting berdasarkan penanggalan tersebut. Selain itu orang Bayan juga memperhitungkan waktu berdasarkan siklus 8 tahunan, suatu tata cara yang tidak dikenal dalam Islam. Dalam kehidupan beragama juga ditemukan sikap mensakralkan sesuatu,

(7)

baik tempat, buku, orang, benda tertentu, dan lain sebagainya. Kepercayaan kepada kesakralan sesuatu menuntut ia diperlakukan secara khusus baik berupa upacara keagamaan ataupun ritual lainnya.9

Islam Wetu Telu mempunyai pandangan hidup yang serba Telu (tiga), seolah-olah angka itu merupakan angka sakral. Inilah salah satu yang membedakan antara Islam Wetu Telu dengan Islam ortodok. Al Syahrastani juga menganggap penting al-adat (angka). Rukun Islam yang lima oleh penganut Islam Wetu Telu dipotong menjadi tiga yaitu syahadat, shalat dan puasa pada bulan Ramadhan. Sedangkan rukun ke empat dan lima yaitu haji dan zakat mereka tinggalkan, itupun tidak dilaksanakan dengan sempurna. Dalam hal puasa Ramadhan mereka puasa hanya tiga hari pertama, tiga hari pertengahan dan tiga hari terakhir. Selain itu juga kegiatan apapun yang berhubungan dengan daur hidup (kematian, kelahiran, penyembelihan hewan, selamatan dsb) juga harus diketahui oleh kiai atau pemangku adat dan mereka harus mendapat bagian dari upacara-upacara tersebut sebagai ucapan terima kasih dari tuan rumah.

Di Bayan ini terdapat mesjid kuno yang biasa dipakai untuk melaksanakan ibadah shalat bagi penganut Wetu Telu. Untuk memasuki mesjid ini tidak bisa sembarang memakai pakaian tapi harus memakai sarung dan kemeja putih. Selain itu juga di wilayah ini masyarakat melakukan berbagai upacara adat terutama dalam rangka bertani seperti upacara adat bonga padi. Masyarakat di sini juga sangat tabu melupakan leluhur karena bisa mengakibatkan terjadi bencana. Ada juga sebuah tempat yang digunakan oleh umat berbagai agama untuk berdoa. Namanya “Kemaliq” yang artinya tabu, suci dan sakral. Terletak di Desa Lingsar Kabupaten Lombok Barat yang setiap tahun mengadakan sebuah upacara adat yang

(8)

bernama “Upacara Pujawali dan Perang Topat” sebagai wujud rasa syukur atas hujan yang diberikan Tuhan YME pada umat manusia.

Penyebutan Islam Wetu Telu ini disangkal oleh Raden Gedarip, seorang pemangku adat Karangsalah. Menurutnya, Islam hanya satu, tidak ada polarisasi antara waktu tiga (Wetu Telu) dan Waktu Lima. “Sebenarnya Wetu Telu bukan agama, tetapi adat”, ucapnya. Lebih lanjut, ia menyatakan bahwa masyarakat adat Wetu Telu ini mengakui dua kalimah syahadat, “Allah Tuhan kami yang kuasa dan nabi Muhammad sebagai utusan Allah”. Dua kalimat syahadat pun diucapkan oleh penganut Wetu Telu ini, Setelah diucapkan dalam bahasa Arab, kata Gedarip, diteruskan dalam bahasa Sasak, misalnya: “Asyhadu Ingsun sinuru anak sinu. Anging stoken ngaraning pangeran. Anging Allah pangeran. Ka sebenere lan ingsun anguruhi. Setukhune nabi Muhammad utusan demi Allah. Allahhuma shali Allah sayidina Muhammad”. Artinya: “Kami berjanji (bersaksi) bahwa tidak ada Tuhan melainkan Allah, dan kami percaya bahwa nabi Muhammad adalah utusan Allah”. Disebut “berjanji” karena diakui sudah menerima agama Islam.10

Dalam kehidupan masyarakat penganut Islam Wetu Telu di mana dalam agamanya pun tidak lepas dari kebudayaan yang terakulturasi dalam agama yang mereka yakini sehingga terdapat pula ritual-ritual seperti halnya dalam ritual-ritual kepercayaan yang ada dalam menganut Islam waktu lima. Adapun bentuk-bentuk dialektika antara Islam dan Budaya dalam Wetu Telu tersebut yaitu:11

1. Adat Hidup dan Mati: semenjak kelahiran hingga kematian dalam kehidupan seseorang terdapat serentetan upacara-upacara adat sebagai berikut:

a.Buang Au, upacara dilaksanakan menjelang seorang bayi berumur 7 hari kemudian langsung diberi nama. Seperti halnya dalam Waktu Lima yang disebut Aqiqah.

10 http://as-salafiyyah.blogspot.com/2012/05/islam-wetu-telu-di-bayan-lombok.html. Diakses pada 4 Nopember 2013.

(9)

b.Ngurisan dan Nyunatan, upacara dilaksanakan apabila anak-anak mencapai umur tiga sampai enam tahun. Hal ini juga dilakukan dalam Islam.

c.Potong Gigi dan Ngawinan, merupakan upacara yang menandai peralihan dari kanak-kanak menjadi dewasa. Dalam upacara ini pemangku atau kiai menghaluskan gigi bagian depan anak laki-laki dan gadis remaja yang berbaring di berugak.12

Begitu pula dalam peristiwa kematian banyak sekali macam upacara bahkan terjadi pengorbanan yang luar biasa karena dianggap sebagai penghor-matan terakhir pada almarhum. Kegiatan upacaranya meliputi: penyelenggaraan jenazah seperti memandikan, mengafankan, menyalatkan dan menguburkan. Setelah keempat upacara tersebut selesai kemudian menyusul kegiatan lainnya, berupa upacara sebagai berikut:

a.Nelung, yaitu hari ketiga dari peristiwa kematian b.Mituq, yaitu hari ke tujuh dari peristiwa kematian.

c.Nyanga, yaitu hari kesembilan dari peristiwa kematian. Pada hari ini diserahkan sebagian harta benda almarhum kepada pihak petugas atau acara ini lazim disebut istilah nyelawat. d.Pelayaran, upacara ini dilaksanakan tiap-tiap minggu atau bulan

tepat pada hari kematian sesorang.

e.Matangpulu, Nyatus dan Nyiu; masing-masing diadakan pada hari yang ke empat puluh, keseratus dan keseribu.

2. Adat Agama; warna Islam juga ditemukan dalam ritual-ritual yang berkaitan dengan hari besar Islam, seperti:

a.Rowah Wulan dan Sampet Jum’at

Kedua upacara ini dimaksudkan untuk menyambut tibanya bulan puasa (Ramadlan). Rowah Wulan diselenggarakan pada hari pertama bulan Sya’ban, sedangkan Sampet Jum’at

(10)

dilaksanakan pada jum’at terakhir bulan Sya’ban. Tujuannya adalah sebagai upacara pembersihan diri menyambut bulan puasa, saat mereka diminta untuk menahan diri dari perbuatan yang dilarang guna menjaga kesucian bulan puasa.

Upacara-upacara ini tergolong unik, karena masyarakat Wetu Telu sendiri tidak melakukan puasa. Yang melaksanakan hanyalah para kiai, itupun tidak sama dengan tata cara berpuasa yang dilakukan oleh penganut Waktu Lima.

b.Maleman Qunut dan Maleman Likuran

Maleman Qunut merupakan peringatan yang menandai keberhasilan melewati separuh bulan puasa. Upacara ini dilaksanakan pada malam keenam belas dari bulan puasa. Bila dibandingkan dengan Waktu Lima, pada malam keenam belas dalam pelaksanaan rakaat terakhir shalat witir setelah shalat tarawih disisipkan qunut. Barangkali atas dasar ini kemudian Wetu Telu menyelenggarakan Maleman Qunut.

Sedangkan Maleman Likuran merupakan upacara yang dilaksanakan pada malam ke-21, 23, 25, 27, dan 29 bulan puasa. Perayaan tersebut dinamakan maleman selikur, maleman telu likur, maleman selae, maleman pitu likur, dan maleman siwak likur. Pada malam ini masyarakat Wetu Telu secara bergiliran menghidangkan makanan untuk para kyai yang melaksanakan shalat tarawih di masjid kuno. Adapun pada malam ke-22, 24, 26, dan 28 dirayakan dengan makan bersama oleh para kyai. Perayaan ini disebut sedekah maleman likuran. c.Maleman Pitrah dan Lebaran Tinggi

(11)

puasa dan hanya dibagikan di antara para kyai saja. Bentuk pitrahnya pun berbeda. Dalam ajaran Waktu Lima, yang juga mentradisi di kalangan Islam pada umumnya, zakat fitrah hanya berupa bahan makanan dengan jumlah tertentu dan hanya dikeluarkan untuk orang-orang yang hidup. Dalam tradisi Wetu Telu, Pitrahnya berupa makanan, hasil pertanian, maupun uang, termasuk uang kuno, dan berlaku baik untuk yang masih hidup maupun yang sudah meninggal. Untuk yang masih hidup Pitrah itu disebut Pitrah Urip, sedangkan untuk yang sudah meninggal disebut Pitrah Pati.

Sedangkan Lebaran Tinggi identik dengan pelaksanaan hari raya Idul Fitri bagi penganut Waktu Lima. Bedanya, dalam upacara Lebaran Tinggi diadakan acara makan bersama antara pemuka agama dan pemuka adat, serta masyarakat penganut Wetu Telu.

d.Lebaran Topat

Lebaran Topat diadakan seminggu setelah upacara Lebaran Tinggi. Dalam perayaan ini, seluruh Kyai dipimpin Penghulu melakukan Sembahyang Qulhu Sataq atau shalat empat rakaat yang menandai pembacaan surat Al-Ikhlas masing-masing seratus kali. Lebaran Topat berakhir dengan makan bersama di antara para kyai. Dalam perayaan ini, ketupat menjadi santapan ritual utama.

e.Lebaran Pendek

Lebaran Pendek identik dengan pelaksanaan hari raya Idul Adha di kalangan Waktu Lima. Pelaksanaannya dilakukan dua bulan setelah lebaran topat. Dimulai dengan shalat berjamaah di antara para Kyai disusul acara makan bersama dan setelah itu dilanjutkan dengan pemotongan kambing berwarna hitam.

f. Selametan Bubur Puteq dan Bubur Abang

(12)

Wetu Telu. Upacara ini untuk memperingati munculnya umat manusia dan beranak pinaknya melalui ikatan perkawinan. Bubur puteq (bubur putih) dan bubur abang (bubur merah) merupakan hidangan ritual utama yang dikonsumsi dalam upacara ini. Bubur putih melambangkan air mani yang merepresentasikan laki-laki, sedangkan bubur merah melambangkan darah haid yang merepresentasikan perempuan.

g.Maulud

Dari penyebutannya, terkesan bahwa upacara ini terkait dengan upacara peringatan kelahiran Nabi Muhammad Saw, sebagaimana dilaksanakan oleh Waktu Lima. Kendati waktu pelaksanaannya sama, yakni pada bulan Rabi’ul Awal, Wetu Telu merayakannya untuk memperingati perkawinan Adam dan Hawa. Seperti upacara-upacara lainnya, berdo’a dan makan bersama ditemukan dalam upacara ini.13

Menurut mereka persepsi masyarakat seringkali salah dalam mengartikan kepercayaan Wetu Telu. Umumnya orang beranggapan bahwa Wetu Telu adalah salah satu ajaran Islam yang bermakna keseluruhan ibadah dalam Islam yang disimbolkan dengan Wetu (waktu) dan Telu (tiga). Sebenarnya, Wetu Telu adalah sebuah konsep kosmologi kepercayaan leluhur yang berarti kehidupan ini tergantung 3 jenis reproduksi yakni beranak (manganak), bertelur (menteluk) dan berbiji (mentiuk). Ini merujuk pada keseimbangan alam yang harus senantiasa lestari sebagai cikal bakal kehidupan yang baik.

Islam Wetu Telu merupakan cermin dari pergulatan agama lokal atau tradisional berhadapan dengan agama dunia yang universal. Islam Wetu Telu yang banyak dipeluk oleh penduduk Sasak asli dipandang sebagai “tata cara keagamaan Islam yang salah, bahkan cenderung syirik” oleh kalangan Islam Waktu Lima.

(13)

Tak pelak, Islam Waktu Lima sejak awal kehadirannya disengaja untuk melakukan misi atau dakwah Islamiyah terhadap kalangan Wetu Telu.14 Saat ini para penganut Wetu Telu sudah sangat

berkurang, dan hanya terbatas pada generasi-generasi tua di daerah tertentu, sebagai akibat gencarnya para pendakwah Islam dalam usahanya meluruskan praktik tersebut.

Dalam perkembangan selanjutnya mereka merubah pola keyakinannya untuk mengikuti konsep ajaran Islam Waktu Lima. Sebagai bukti dari kesungguhan mereka untuk menjalankan Islam Waktu Lima adalah bahwa banyak di antara mereka yang belajar pada para kiai dan Tuan Guru untuk memperdalam ajaran Islam Waktu Lima yang sebenarnya dan banyak pula anak-anak mereka disekolahkan di Madrasah Tsanawiyah dan Madrasah Aliyah. Akhir-akhir ini para penganut Islam Wetu Telu sudah jarang ditemukan, kalaupun ada itu hanya beberapa orang saja di antara mereka dan umumnya bertempat tinggal di pelosok terpencil yang aksesnya jauh dari kota kecamatan dan kabupaten.

C. Gerakan Dakwah dan Dampak Kulturalnya

Di dalam Islam misi untuk menyebarkan ajaran Al Qur’an dan Hadits merupakan tugas tiada akhir. Kewajiban dakwah bukan hanya tanggung jawab ulama melainkan setiap orang Islam. Setiap muslim diwajibkan melaksanakan dakwah kapanpun dan di manapun ia berada. Meskipun demikian Islam tidak mengaharapkan mereka menjadi misionaris.

Sudah banyak sarjana

D. Kesimpulan

Islam Wetu Telu merupakan suatu kepercayaan masyarakat lombok. Asal usul terbentuknya Islam Wetu Telu di Bayan sampai saat ini juga masih merupakan misteri, kapan dan siapa yang menamakannya pertama kali. Ada beberapa versi tentang latar

(14)

belakang munculnya Islam Wetu Telu. Sebuah versi menyebutkan bahwa Islam Wetu Telu terbentuk bersamaan dengan penyebaran Islam di Lombok. Sebelum tuntas mengajarkan Islam, penyebarnya (wali atau muridnya) dengan sebab yang tidak diketahui meninggalkan Lombok, akibatnya masyarakat yang masih menganut agama Hindu dan Animisme tidak sepenunhnya mampu menyerap ajaran Islam. Maka mereka memadukan Animisme, Hindu dan Islam menjadi satu. Perpaduan inilah yang kemudian disebut dengan Islam Wetu Telu. Sesungguhnya penganut Islam Wetu Telu itu sebelah kakinya di Islam dan sebelah lagi Hindu dan Animisme.

Penyebutan istilah Wetu Telu mempunyai perspektif yang berbeda-beda. Komunitas Waktu Lima menyatakan bahwa Wetu Telu sebagai waktu tiga dan mengaitkan makna ini dengan reduksi seluruh ibadah Islam menjadi tiga. Orang Bayan sebagai penganut terbesar Islam Wetu Telu ini, menyatakan bahwa wetu telu bermakna semua makhluk hidup muncul melalui tiga macam sistem reproduksi, yaitu melahirkan (menganak), bertelur (menteluk) dan berkembang biak dari benih (mentiuk). Sumber lain menyebutkan bahwa ungkapan Wetu Telu berasal dari bahasa Jawa yaitu Metu Saking Telu yakni keluar atau bersumber dari tiga hal: Al-Qur’an, Hadis dan Ijma. Artinya, ajaran-ajaran komunitas penganut Islam Wetu Telu bersumber dari ketiga sumber tersebut.

(15)

Dialektika Islam dan Budaya Sasak meliputi beberapa hal seperti: Adat hidup dan mati terdapat upacara-upacara adat sebagai berikut: Buang Au (Aqiqah dalam Islam Waktu Lima), Ngurisan dan Nyunatan, Potong Gigi dan Ngawinan. Peristiwa kematian penyelenggaraan jenazah seperti memandikan, mengafankan, menyalatkan dan menguburkan. Dilanjutkan dengan upacara Nelung, Mituq, Nyanga, Pelayaran, Matangpulu, Nyatus dan Nyiu (diadakan pada hari yang ke empat puluh, keseratus dan keseribu). Adat Agama (Rowah Wulan dan Sampet Jum’at, Maleman Qunut dan Maleman Likuran, Maleman Pitrah dan Lebaran Tinggi, Lebaran Topat, Lebaran Pendek, Selametan Bubur Puteq dan Bubur Abang, Maulud). Wallahua’lam bi shawab.

DAFTAR PUSTAKA

Bustanudin Agus. Agama dalam Kehidupan Manusia, Pengantar Antropologi Agama. (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2007).

Erni Budiwanti. Islam Sasak: Wetu Telu versus Waktu Lima. (Yogyakarta: LKiS, 2000).

Lalu Lukman, Pulau Lombok dalam Sejarah, cet. 4, 2007.

Rasmianto, Interrelasi Kiai, Penghulu dan Pemangku Adat dalam Tradisi Islam Wetu Telu di Lombok. Jurnal el-Harakah, Vol. 11, No. 2, (Malang: UIN Malang, 2009).

(16)

http://as-salafiyyah.blogspot.com/2012/05/islam-wetu-telu-di-bayan-lombok.html.

http://kebudayaanindonesia.net/id/culture/958/islam-wetu-telu

Referensi

Dokumen terkait

Patut kiranya menjadi catatan, bahwa timbulnya luka berat dalam konteks Pasal 351 Ayat (2) KUHP bukanlah merupakan tujuan dari pelaku. Tujuan yang dituju oleh

Teknologi pencacahan daun pada anggrek phaleonopsis merupakan teknologi perbanyakan secara vegetatif yang dapat membantu dalam perbanyakan tanaman hias anggrek,

Pada langkah intervensi peneliti mengajukan beberapa intervensi yang sesuai dengan keadaan pasien yaitu DHF diantaranya adalah membuat keadaan pasien dan keluarga

Ekosistem merupakan salah satu materi pokok dalam kurikulum tingkat satuan pendidikan untuk mata pelajaran Biologi yang diajarkan kepada peserta didik SMP

Secara keseluruhan dilihat dari nilai rata-rata konsumsi energi di setiap tingkat pendapatan di daerah penelitian, maka rumah tangga petani responden telah mampu memenuhi

[r]

PHWRGH VXUYHL GL GHVDGHVD \DQJ PHQHUDSNDQ SROD SHUHPDMDDQ NDUHW SDUWLVLSDWLI 3HPLOLKDQ UHVSRQGHQGLODNXNDQVHFDUDDFDN\DLWXPHPLOLK VHSXOXKSHWDQLSHVHUWDSURJUDPGDQOLPDSHWDQL QRQ

Dalam beberapa tahun, sektor E&E mengalami pertumbuhan yang tinggi di dalam produktiviti. Nilai ditambah setiap buruh bagi sektor E&E telah berkembang dari RM18,562 dalam