• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kepemimpinan RMG di tanah Batak

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Kepemimpinan RMG di tanah Batak"

Copied!
13
0
0

Teks penuh

(1)

KEPEMIMPINAN MISI RMG DI TANAH BATAK (1861 – 1930)

Pendahuluan

1. Berbicara mengenai strategi kepemimpinan misi RMG di tanah Batak, nampaknya ini harus dilihat dari sudut pekerjaan Nomensen dan rekan-rekannya. Nomensen dan rekan-rekan yang dimaksudkan di sini adalah para misionaris RMG yang bekerja di tanah Batak dari tahun 1861-1930. Sebenarnya Nomensen adalah misionaris RMG ke lima yang bekerja di tanah Batak. Gustav van Asselt telah mendahuluinya tahun 1857, Betz tahun 1859, Klammer dan Heine tahun 1862 yang hingga tahun 1930 mereka bertambah-tambah sehingga pernah mencapai sebanyak 50 orang. Sekedar menjadi pegangan bahwa arti strategi pekabaran Injil, hal ini menyangkut cara yang terbaik dijalankan dalam pemberitaan itu di tanah Batak. Dalam mencapai satu tujuan tertentu, seorang misionaris telah memikirkan dan mencari lebih dahulu cara terbaik yang akan dia pakai. Dalam hal ini, cara dan tujuan sangat rapat hubungannya bahkan tidak terpisahkan satu dengan yang lain. Dalam menentukan satu tujuan pun, penentuan itu termasuk pada metode atau cara tadi. Dalam hubungan pernyataan di atas dengan tema ini, penulis mengalami kesulitan khusus, sebab yang paling pertama adalah di samping bahan-bahan literatur pendukung sangat sedikit ditemukan, tema ini tidak mungkin dikerjakan pada ruang yang singkat ini. Namun, walau demikian penulis tetap mencoba menelusurinya dari sudut karya Nomensen. Akhirnya, penulis menekankan penelitian tema ini bagi gereja-gereja Batak umumnya dan HKBP khususnya. Artinya, ada hasil dapat dipetik dan ditawarkan dari strategi kepemimpinan para misioanris RMG di tanah Batak.

(2)

Berdirinya Serikat Misi RMG Dan Perkembangan Teologi Pietismenya

3. Untuk melihat corak, bentuk dan type pelayanan misi RMG di tanah Batak, penting dipahami munculnya RMG sebagai lembaga misi. Secara umum, munculnya gerakan rohani baru di dalam gereja adalah lebih sebagai reaksi terhadap sikap gereja baik secara positif maupun secara negatif yakni berupa sikap melepaskan diri dari gereja. Terhadap kasusnya di Jerman, pertentangan antara pihak Kontra Reformasi (RK) dengan pengikut Reformasi mengakibatkan terjadinya penderitaan rakyat Jerman sendiri secara tidak terperikan. Dampaknya, kepemimpinan gereja akhirnya di pegang oleh pemerintahan sipil Negara. Akibat dari kondisi umum ini, bangkitlah orang-orang otonom yang tidak mau diperintah oleh kekuatan lain atas dirinya yang secara umum mereka tidak mengindahkan gereja (agama). Kekakuan gereja terhadap keadaan ini menghasilkan suatu kecenderungan baru yakni Injil diterima secara moralis sehingga akhirnya muncul suatu gerakan rohani baru yang sangat menekankan pertobatan dan penyucian. Di kalangan pengikut-pengfikut Lutheran di Jerman, Philip Jakob Spener(1635-1705), August Herman Francke (1663-1727) dan Nikolaus Ludwig von Zinzendorf (1700-1760) merupakan perintis semangat ini.1 Dapat dikatakan selanjutnya bahwa refleksi konsep dogma dan teologi sebagaimana uraian Luther semakin hidup oleh implementasi praksis beberapa tokoh ini dalam kehidupan gereja secara praksis. Artinya konsep mereka tentang pietisme sebagai kesalehan, kekudusan, dan ketaatan yang terlatih melalui komitmen hidup semakin disadari sangat mendukung dalam mewujudkan cita-cita reformasi Luther abad 16. Johan Hasselgren2 menegaskan pernyataan ini mengemukakan bahwa berdirinya (tahun 1829 di Barmen: Jerman) lembaga misi RMG (Rheinische Missiongesellschaft), awalnya lembaga ini merupakan hasil penggabungan (merger) dari beberapa serikat misi Kristen Protestan di Jerman pada masanya. Sebagai serikat misi, awalnya RMG sangat kuat terkait dengan Jerman Pietisme (anak Pietisme Jerman) di mana umumnya aliran Pietisme sangat menekankan kebutuhan bagi iman emosional, personal dan individual yang merupakan interpretasi harafiah Injil dan kebutuhan bagi semua jemaat yang sungguh berdedikasi untuk bersama-sama berkarya. Pada posisi ini, para penganut Pietisme mengembangkan teologi misi mereka dalam hubungannya dengan para pendukung: “confessional Lutheranisme”. Para pendukung “confessional Lutheranisme” inilah yang kemudian mengembangkan/merepresentasikan teologi-teologi misi RMG di dalam pengaruh tradisi Pietisme termasuk di tanah Batak3. Beberapa tokoh itu di antaranya, yakni:

a. J.C Wallmann (1811-1865)4 adalah seorang inspektur RMG tahun

(3)

dikombinasikan dengan kelekatan yang kuat dengan pentobatan Lutheran. Teologi misi Wallmann sangat menekankan kebutuhan akan “para durjana yang tinggal di kegelapan” yang harus diselamatkan (sebuah tema khas dari jamannya). Meskipun Wallmann adalah seorang nasionalis Jerman yang konservatif, ia membuat pembedaan jelas antara prinsip ajaran Kristen dengan peradaban Barat, artinya bagi wallmann: “tujuan misi dalam cara apa pun tidak melibatkan gagasan tentang Eropanisasi”. Bangsa non-Eropa dalam konteks misi harus diberi kesempatan untuk menjadi jemaat Kristen dalam kerangka kerja tentang kebudayaan mereka sendiri. Para misionaris seharusnya mendekati jemaat non-Kristen dengan cinta bukan merendahkan kebudayaan dan agama mereka. Pemikiran tentang misionaris seharusnya bebas dari maksud-maksud memegahkan diri untuk meng-Eropa-kan. Sebagai bukti dari minatnya dalam kebudayaan-kebudayaan non Barat, Wallmann menghasilkan banyak karya dalam antropologi missioner. Jelaslah bahwa pembedaan mendasar Wallmann antara Injil dan kebudayaan Barat berimplikasi pada ketertarikan antropologis dan evaluasi positif tentang kerangka kerja kebudayaan RMG di wilayah pelayanan misi di mana orang-orang dipertobatkan agar memeluk ajaran Kristiani.

(4)

Kanselir Bismarck untuk berusaha mendirikan koloni-koloni, akibatnya Fabri dijuluki Bapak Kolonialisme Jerman. Ketika dari tahun 1880-an, Jerman mulai mendirikan koloni-koloninya sendiri, RMG melaksanakan tugasnya sebagai misi colonial Jerman di Namibia dan New-Guniea. Jelaslah bahwa, Fabri mengembangkan teologianya dalam sebuah arah yang berlawanan dengan pembedaan Wallmann yang jelas antara Injil dan kebudayaan Barat. Munculnya era imperialisme yang besar-besaran sebuah era yang tidak dialami Wallmann, memiliki poengaruh kuat pada garis pemikiran Fabri. Pemikiran ini memiliki akibat bahwa minat positif Wallmann bahwa kerangka kerja kebudayaan tentang pertobatan-pertobatan diganti oleh sebuah penekanan pada: “misi yang beradab dari Barat”. Pada akhir abad ke19, aliran pemikiran Baru mulai mempengaruhi RMG.

c. Gustav Warneck (1834-1910)7 adalah seorang teoris misi yang paling

(5)

menjadi subjek terhadap rumusan-rumusan konvensional yang kaku dari gereja-gereja Eropa, atau mengambil alih bentuk-bentul liturgy dan aturan gereja Eropa yang rapi dan teratur. Jauh lebih penting bagi jemaat Kristen pribumi utnuk menerjemahkan Injil ke dalam bahasa mereka sendiri daripada menghafal bentuk-bentuk pengakuan dan peribadatan Eropa.

d. August Schreiber (1839-1903)8 adalah seorang misionaris RMG pertama

yang lulus dari universitas jurusan teologi dan ia berkarya di Sumatera dari tahun 1889-1893. Tahun 1874, ia menggantikan Warneck sebagai guru di seminari dan tahun 1889, ia menjadi misionaris pertama yang memimpin RMG. Ia bertugas sebagai inspektur sampai wafat sampai tahun 1903. Schreiber termasuk sebagai seorang pemimpin RMG yang paling berpengaruh. Dalam cara yang sama dengan Warneck, Schreiber menerima bahwa kebudayaan-kebudayaan pribumi merupakan “sebuah persiapan bagi Injil” dan bahwa tujuan misi adalah mendirikan gereja-gereja umat yang otonom. Schreiber membagikan sebuah pandangan negative tentang kemampuan-kemampuan intlektual tentang “si kafir” tetapi tidak menekankannya sebanyak Fabri dan Warneck. Selama studinya di Iggris, pada tahun 1864 – 1865, ia dipengaruhi secara langsung oleh rumus: “Tiga Mandiri”. Oleh karena itu, ia menerima sebuah versi yang lebih murni tentang rumus tersebut daripada yang diterima Warneck. Berlawanan dengan Warneck, Schreiber dengan kuat menekankan pentingnya mengalihkan kekuasaan kepada orang pribumi secepat mungkin dan tidak usah menunggu sampai orang-orang pribumi tersebut cukup matang.

(6)

Pelayanan Misi RMG di Tanah Batak

4. Awal pekerjaan misi RMG di Indonesia secara umum, ini dimulai ketika lembaga misi ini mulai mengutus para misionarisnya ke Kalimantan (Borneo) tahun 1834. Dua tahun kemudian, para misionaris RMG (pusat misi di Kalimantan adalah Banjarmasin) mulai meneruskan pelayanan misi di antara suku pedalaman Kalimantan yakni suku Dayak. Ketika pengaruh politik kolonial Belanda berperilaku tidak adil kepada para penguasa lokal di Kalimantan (termasuk kepada para Sultan di Banjarmasin) maka keadaan ini memicu terjadinya perang Hidayat (1830-1864) di sana. Akhirnya, atas keadaan ini Belanda berhasil dipaksa keluar dari Kalimantan dan RMG mulai mencari wilayah misi lain dalam koloni Belanda. Bulan Oktober 1860, keputusan penting bagi RMG dalam pelayanan misi di Sumatera yakni dengan menetapkan tanah Batak sebagai lapangan misi yang baru. Selanjutnya, tahun 1861 dua orang misionaris pertama RMG pertama tiba di Sipirok yakni: “Heine dan Klammer”. Saat awal tibanya dua orang ini di Sipirok, mereka langsung mengadakan kontak dengan dua orang misionaris lembaga misi Ermelo (Belanda) yang sudah mendahului di Sipirok yakni: “van Asselt dan Betz”. Di Sipirok, tidak sedikit penduduk mereka baptis menjadi Kristen namun akibat tantangan dari pihak Islam akhirnya mereka murtad menjadi Islam. Ketika RMG mengembangkan misi ke Utara, menuju wilayah Batak Toba (di mana agama Islam belum masuk) barulah sejumlah besar orang bergabung dengan agama yang baru yakni Kristen.9 Artinya ke empat orang misionaris inilah (atas prakarsa Van Asselt) pertama sekali mengadakan rapat koordinasi kerja misi tanggal 7 Oktober 186110 di Sipirok membicarakan tentang: “metode kerja misi di tanah Batak sekaligus membagi wilayah kerja mereka”.11 Penting diingat bahwa ada dua momen sangat penting berlangsung saat rapat koordinasi ini diadakan, yakni: oleh RMG melalui pimpinannya Fabri di Jerman, peristiwa itu merupakan penggabungan kerja badan misi Belanda dengan RMG-Jerman dan sekaligus sebagai penyerahan badan misi Belanda ke RMG di tanah Batak. Melalui pembagian wilayah ini, dan setelah kedatangan Dr. Ingwer Ludwig Nomensen, mereka kemudian sepakat untuk mengutusnya (Nomensen) ke daeran Utara yakni daerah lembah Silindung untuk misi. Nyata selanjutnya bahwa pekerjaan Nomensenlah yang jauh paling berhasil sekaligus mencirikan identitas perkembangan gereja Batak selanjutnya.

Stategi Kepemimpinan Misi Para Misionaris RMG di Tanah Batak

(7)

Batak), yang walau pemberian ijin ini tidak sesuai dengan cita-cita misi Nomensen sejak awal, namun ia menganggap situasi ini sebagai langkah awal memasuki pedalaman Tapanuli ketika itu.

a. Perjalanan misi pertama di mulainya dari Barus ke Sipirok tanggal 25 Oktober 1862, dan setibanya di Sipirok, pekerjaannya sangat mendapat simpatik dari banyak orang ketika itu. Modal yang sangat tajam bagi Nomensen sejak awal dalam mengembangkan misi adalah sikap dan kepribadiannya yang dinampakkannya melalui dedikasinya melayani. Inidikasi ini nampak ketika ia mendirikan lembaga pendidikan zending di Prau Sorat, walau akhirnya sekolah ini tidak berkembang karena beratnya tantangan dialami dari pihak Islam.

b. Perjalanan misi kedua dilakukannya tahun 1863 menuju daerah pedalaman yakni Silindung, perjalanan ini dimulainya setelah Nomensen mendapat dukungan semangat dari Van Asselt dan Klammer di mana tahun sebelumnya (1862) dua orang misionaris ini sudah mengunjungi Silindung.

Setibanya di Silindung, Nomensen awalnya disambut baik oleh masyarakat Silindung namun ketika pertama sekali ia berkunjung ke Sipoholon, ia mengalami perlawanan yang sesungguhnya dari penduduk setempat sebab Nomensen dianggap sebagai mata-mata Belanda untuk daerah Silindung. Namun oleh sikapnya yang sangat menarik simpatik banyak orang Batak

(8)

menganugerahinya gelar: “Ephorus” (overseer: pengawas) di mana kemudian nama ini dipertahankan HKBP sebagai gelar jabatan tertinggi di dalam gereja dan tahun 1904, ia diberi gelar kehormatan Dr. Teologia oleh Universitas Bonn.13

Setelah melihat perkembangan misi yang sangat pesat, selanjutnya RMG mengutus para misionaris lainnya seperti: P.H.Johansen, Meerwalt, J. Warneck dan lain-lain untuk membantu pekerjaan misi di tanah Batak.14 Dari metode dan dedikasi kerja misi yang tajam berikut diuraikan tahap demi tahap hasil yang diperoleh dalam usaha pembentukan dan perkembangannya gereja Batak kemudian yakni:

a. Bidang Kerohanian. Usaha-usaha dalam bidang ini sangat berhubungan dengan pembinaan kehidupan kerohanian orang-orang Kristen Batak melalui: “ibadah, khotbah, persekutuan-persekutuan Kristen dan evanggelisasi, penerjemahan Alkitab ke dalam bahasa Batak, serta pengadaan buku-buku bacaan yang berisikan pengajaran Kristen dan lain-lain”.

b. Bidang pendidikan umum dan teologi. Para misionaris awalnya sangat memahami bahwa tidak mungkin gereja berdiri di tengah masyarakat yang buta huruf (aksara) sebab membina kerohanian saja tidaklah mungkin membentuk manusia seutuhnya. Melalui pendidikan mereka sadar bahwa ini adalah sarana utama bagi penunjang berhasilnya PI yang sesungguhnya, melalui pendidikan inilah para pribumi kemudian sangat mendukung berhasilnya PI.15

c. Bidang kesehatan.16 Sejak awal bahwa keberhasilan misi di tanah Batak sangat didukung oleh pelayanan para misionaris di bidang kesehatan (penyembuhan dan kebersihan lingkungan, penyuluhan giji yang baik). Pelayanan ini mempengaruhi masyarakat Batak akhirnya meninggalkan ketergantungan mereka kepada peran datu dalam kehidupan sehari-hari. Perkembangan selanjutnya pelayanan ini, memotivasi para misionaris mendirikan lembaga pelayanan kesehatan seperti pendirian beberapa rumah sakit yang lebih besar.

d. Bidang Sosial Ekonomi.17Adalah merupakan fakta sebelum kekristenan di tanah Batak, bahwa masyarakat Batak hidup dalam penggolongan (pengkastaan) derajat hidup akibat: kemiskinan, kebodohan, kemalasan, kebiasan berjudi, system perbudakan (parhatobanon) dan system pinjam-meminjam (rentenir) yang gawat masih dominan. Maka untuk mengatasi keadaan ini para misionaris sangat berjuang meningkatkan taraf hidup masyarakat melalui bidang pelayanan ekonomi.18

6. Indikasi awal yang sangat menentukan bagi warisan para misionaris terhadap bentuk kepemimpinan gereja Batak yang sudah terbentuk adalah:19

(9)

“menyepakati bersama tempat atau daerah yang akan mereka layani”. Ini berarti mereka tidak ingin bekerja secara terpisah bekerja untuk misi namun secara terpadu menentukan arah pelayanan misi demi pembentukan gereja Batak. Untuk selanjutnya mereka mengadakan rapat tahunan, di mana mereka membicarakan segala sesuatu yang berkaitan dengan usaha PI di tanah Batak. Hal inilah yang semakin dirasa perlu apabila tiba waktunya bahwa setiap misionaris dibebani oleh serba macam tugas yang harus dikerjakan oleh seorang misionaris waktu itu. Dengan adanya konferensi tahunan itu, para pekabar Injil telah mempunyai satu tonggak yang demikian kuat untuk dijadikan tumpuan berbagai jaringan atau tali yang dimunculkan selama masa pelayanan mereka di tanah Batak. Peranan konferensi itu bukan saja mengatur komunikasi antara RMG di Barmen dan PI di tanah Batak, tetapi yang terpenting adalah rapat itu menjadi bagian yang sangat menentukan bagi arah perkembangan gereja Batak selanjutnya.

b. Jemaat yang telah berdiri di tanah Batak, oleh kesadaran para misionaris RMG tentu ini sangat membutuhkan pelayan. Pelayan yang dibutuhkan harus berasal dari jemaat asal dan warga masyarakat setempat. Untuk itu, Nomensen memilih beberapa orang terbaik dari orang Batak (jemaatnya) yang disegani sebab wibawanya dalam masyarakat, mereka ini kemudian disebut sebagai “sintua“ (penatua). Di samping itu, dipilih juga orang yang ditugaskan untuk mengunjungi dan merawat yang sakit, menghubungi orang-orang Kristen di desa-desa dalam rangka memungut iuran (guguan) dan membersihkan gereja serta sekolah setiap harinya. Kemudian beberapa orang wanita untuk mengumpulkan anak-anak kecil yang belum dapat pergi ke sekolah dan yang belum dapat mengikuti ibunya ke sawah dan ladang. Para wanita itu menjaga dan bercerita serta mengajarkan nyanyian-nyanian gerejawi kepada anak-anak itu. Sesuai dengan kemampuan para pekabar Injil RMG, untuk mendidik pelayan-pelayan pribumi maka jabatan gerejawi seperti guru jemaat, pendeta, bibelvrouw dimunculkan untuk mendampingi misionaris RMG.

(10)

pengarahan para misionaris RMG. Namun dalam proses PI selanjutnya, nampak partisipasi gereja pribumi dari para misionaris RMG.

c. Nomensen dan para misionaris lainnya meninggalkan satu warisan pada saat ini tidak kurang pentingnya bagi pemasyuran Injil di dalam dan di luar jemaat. Kesatuan mereka yang terorganisir dan terpadu melalui rapat tahunan mereka, kesatuan yang mampu mendelegasikan kharisma-kharisma setiap pekabar Injil, kesatuan yang menampakkan kerja sama yang erat dan kokoh dan rencana yang matang dan terarah dalam tahap demi tahap. Cara kerja yang demikian lebih nampak kegunaannya di tengah-tengah masyarakat yang terpecah-pecah dalam satuan kecil dan berdiri sendiri yaitu desa. Secara sosiologis setiap orang Batak melihat desanya adalah buminya sebagai tumpuan loyalitas teratas. Dalam keadaan yang demikian, kesatuan itu dibawakan pula oleh Nomensen dalam pribadinya yang berperan sebagai “Ompu” bagi setiap orang Batak. Di dalam pribadinya, terdapat satu type kepemimpinan yang dapat memupuk kesatuan jemaat-jemaat Kristen Batak20.

d. Walter Lempp21 mengindentifikasikan bahwa latarbelakang Nomensen sangat kuat didukung oleh falsapah aliran romantic, theologia Pietisme dan theologia Pekabaran Injil yang bernafas pengkristenan bangsa-bangsa seluruhnya. Dalam hubungan hikmat ini dengan kepemimpinannya dalam misi di tanah Batak, ini berarti bahwa bagi Nomensen tentu sekali melihat suatu harapan besar dalam kemanusiaan orang Batak apabila dididik tantang pengetahuan menyeluruh dan ilmu pengetahuan. Totalitas hidup dan pengabdiannya merupakan kekuatan perjuangan yang mengadu dalam berbagai aspek mulai dari kepercayaan, kesadaran, keterampilan yang pada akhirnya merobah motivasi, sikap pandang, sikap mental dan hubungan social. Penembusan Nomensen pertama sekali memadukan kekuatan Iniil, pengetahuan dan keberanian sehingga benteng kebodohan, keterbelakangan dan kemiskinan ditaklukkan. Inilah cerminan paling penting bagi corak kepemimpinan gereja Batak yang sangat relevan pada masa kini.

Kesimpulan

7. Beberapa kesimpulan dapat dipetik dari uraian ini, yakni:

a. Berdirinya lembaga misi RMG (Rheinische Missiongesellschaft), awalnya lembaga ini sangat kuat hubungannya bangkitnya gerakan Pietisme Eropa abad 19. Ini dibuktikan dengan berdirinya RMG sebagai hasil penggabungan beberapa serikat misi Kristen Protestan di Jerman pada masanya.

(11)

misionaris selanjutnya mengadakan rapat tahunan di mana mereka membicarakan segala sesuatu yang berkaitan dengan usaha PI di tanah Batak.

c. Sebagai pemimpin, Nomensen sejak semula cenderung memberi jawaban bahwa sebaiknya jemaat-jemaat pribumi menghimpun diri dalam satu gereja pribumi. Untuk inilah mereka telah menyusun suatu bata gereja yang memadukan jemaat-jemaat pribumi secara synodal sehingga secara structural gereja Batak telah mempunyai bentuk sendiri.

d. Nomensen dan para misionaris lainnya meninggalkan satu warisan pada saat ini bagi kepemimpinan jemaat yakni kesatuan para misionaris menyangkut semua aspek perencanaan dan pelaksanaan misi. Para misionaris yang terorganisir dan terpadu yang melaluinya kesatuan misi menyeluruh misi tercipta sekaligus keadaan itu membentuk kharisma-kharisma setiap misionaris.

(12)

1

2

Catatan-Catatan

1 Lih. Carter Lindberg, The Third Reformation ? (Georgia: Mercer, University, 1983) hl. 131

Lih. Johan Hasselgren, Batak Toba di Medan Perkembangan Identitas Etno-Religius Batak Toba di Medan, 1912-1965 (Medan: Penerbit Bina Media Perintis, 2008) hl. 76-77

3 Ibid., hl. 78-84 4 Ibid., 78-79 5 Ibid., hl. 80-81

6 Lih. Andar Lumbantobing, Makna Wibawa Jabatan Dalam Gereja (Jakarta: BPK-GM,1996) hl. 96-98.

R. Fabri datang ke Amsterdam menemui pemerintah Belanda guna membicarakan masalah misi selanjutnya di Kalimantan akibat bergejolaknya perang Hidayat tahun 1859 di sana. Akibat perang itu juga para misionaris RMG turut terbunuh sebab ketika itu Kalimantan juga merupakan wilayah kerja misi RMG yang dirintis sejak tahun 1835. Masa kunjungan inilah awalnya Fabri menemukan kesan yang sangat mendalam baginya terhadap awal pengenalannya kepada orang Batak sehingga merupakan inspirasi awal bagi masuknya RMG di tanah Batak.

7 Hasellgren, Ibid., hl 82-83 8 Ibid., 83-84

9 Lih. P.B. Pedersen, Darah Batak Dan Jiwa Protestan: Perkembangan Gereja-Gereja Batak di Sumatera Utara (BPK, Jakarta, 1975) hl. 52-54

10 Di rumah seorang penduduk setempat bernama Bondannalotot Nasution di Prau Sorat-Sipirok. Tanggal

rapat koordinasi kerja mereka inilah yang kemudian oleh badan zending RMG ditetapkan sebagai hari lahirnya gereja-gereja Batak (HKBP). Secara kebetulan, orang Kristen Batak melihat bahwa huruf pertama dari masing-masing nama ke empat misionaris ini (Heine, Klammer, Betz dan V(P)an Asselt) dianggap sebagai ilham dan nubuatan kemudian untuk nama gereja HKBP (Huria Kristen Batak Protestan). Lih. Andar Tobing, hl. Op.Cit., 100

11 Lih. J.R. Hutauruk, Kemandirian Gereja (BPK, Jakarta, 1992) hl. 24-30. Realitas selanjutnya, wilayah bagian Selatan Tapanuli, Islam sudah sangat dominan bagi masyarakat setempat, sementara di bagian Utara agama tradisionil Batak juga masih sangat dominan (masih belum disentuh oleh pengaruh apapun) bagi masyarakatnya. Demi pengembangan misi selanjutnya, rapat koordinasi ke empat orang misionaris ini tetap memutuskan bahwa Van Asselt bersama Heine keduanya bekerja untuk wilayah Utara khususnya daerah Pahae sedangkan Klammer dan Betz bekerja untuk wilayah Selatan khususnya daerah Bungabondar (Sipirok).

12 Lih. P.B. Pedersen, Ibid., hl. 54-64 Lih. Juga: Lothar Scheiner, Telah Ku Dengar Dari Ayahku,

Perjumpaan Adat Dengan Iman Kristen di Tanah Batak (Jakarta: BPK: 1978) Ia lahir di pulau Nordstand

(daerah Schleswig-Holstein sebuah daerah antara Denmark dan Jerman) tanggal 6 Pebruari 1834 (pada tahun terbunuhnya Munson dan Lyman di Lobupining) dan bulan Oktober 1861 (setelah menjalani pendidikan teologi di bawah bimbingan RMG) ia ditahbiskan menjadi seorang pendeta. Tiba di Padang tanggal 14 Mei 1862 (masa 142 hari pelayaran dari Jerman hingga ke Padang).

13 P.B.Pedersen, Ibid., hl. 64

14 Lih. J.R. Hutauruk (Koord), Tuhan Menyertai Umatnya, Sejarah 125 Tahun HKBP, Pearaja Tarutung, 1988. hl. 147 ff

15 Lih. Hutauruk, 125 tahun HKBP, Ibid., hl 148 Bidang Pendidikan Umum. Untuk membaca dan berhitung

(13)

Hingga tahun 1934, pengembangan pendidikan teologia terus dilakukan hingga berdirinya:”sekolah penginjil khusus wanita (Bibelvrouw) di Laguboti. Sekolah ini pertama sekali di bawah pimpinan Schwester Elfriede Harder. Mula-mula sekolah ini didirikan di Narumonda-Porsea (1934-1936) tetapi tahun 1837 dipindahkan ke Laguboti. Sejak awal, produk sekolah ini diharapkan mampu menjadi pelayan gereja khusus bagi pekerjaan wanita seperti: pembinaan wanita dalam gereja, mengajar anak-anak dan muda/i, pelayanan pastoral lainnya para wanita ke rumah-rumah. Masa pendudukan Jepang (1940-1945) sekolah ini ditutup, namun oleh Pdt. K. Sirait mantan Ephorus HKBP pertama, sekolah ini dibuka kembali.

16 Lih. Hutauruk, 125 tahun HKBP, Ibid. RS RMG pertama didirikan di Tarutung (1900) yang dipimpin oleh Dr. med. J. Schreiber. Hingga tahun 1940, pelayanan kesehatan telah berlangsung denganbaik melalui berdirinya 14 RS penolong di: Ambarita; Butar; Dolok Sanggul; Nainggolan; Pakantan; Pakkat; Pangaribuan; Pangururan; Pargarutan; Parsoburan; Sayurmatinggi; Sihorbo; Sipirok; Sitorang. RS penolong ini kemudian didukung oleh berdirinya 12 Poliklinik, yakni di: Janjimatogu; Laguboti; Lintongnihuta; Lumban Julu; Onanhasang; Parsoburan; Porsea; Salak; Sarulla; Simarangkir; Sigumpar; Sipahutar.

17 Lih. Pedersen, Op.Cit., hl. 61 Dalam usaha memperbaiki sistem social masyarakat ini, para misionaris RMG menerapkan metode kerja misi sebagai berikut: pertama, memberantas sistem “parhatobanon” (system budak) melalui menebus utang “hatoban” kepada para pemiutang (tuan-tuan/raja). Membasmi system utang-piutang (pinjam meminjam) dengan bunga yang sangat tinggi dengan menggiatkan system perkoperasian yang pengelolaannya dipercayakan kepada para guru sending yang sekaligus berfungsi sebagai guru jemaat setempat. Untuk pelayanan bidang ini, Nomensen memberi modal kepada jemaat untuk dipinjamkan dengan bunga sangat rendah. Ketiga, mengurangi beban kerja para wanita menumbuk padi dengan mengajari mereka membuat kincir air (losung aek) yang berfungsi sebagai gilingan padi. Keempat, mengajari para petani Batak dengan system pertanian modern. Sistem ini ditambah dengan pengefektipan lahan pekarangan rumah guna meningkatkan pendapatan dan giji keluarga seperti tanaman sayuran dan buah-buahan. Pola ini diterapkan pertama sekali dengan mengembangkan penataan

“pargodungan” (kompleks gereja sekaligus kompleks perumahan pelayan: Pdt dan guru sending/jemaat). Kelima, untuk membina system perekonomian masyarakat Batak yang lebih luas, I.L. Nomensen mengusulkan kepada pemerintah mengatur hari pekan (Onan) di tiap daerah di Tapanuli Utara. Tujuannya supaya hasil panen penduduk dapat dipasarkan dengan baik melalui lancarnya roda perputaran uang di tanah Batak (misalnya: Onan Senin - Laguboti ; Selasa-Narumonda ; Rabu – Porsea ; Kamis–Silaen ; Jumat–Balige ; Sabtu – Sigumpar ; Rabu – Siborongborong dan daerah daera lainnya di Silindung).

18 Lih. Lance Castle, Kehidupan Politik Suatu Keresidenan di Sumatera: Tapanuli, 1915-1940

(Gramedia, Jakarta, 2001) hl. 31-33. Suatu hal dapat dikatakan bahwa keberhasilan misi di tanah Batak sangat ditentukan oleh cara pendekatan para misionaris yang sesuai dengan norma yang berlaku di masyarakat Batak pada masanya. Pernyataan inilah yang dilakukan secara khusus oleh Nomensen, dan nampak dalam hal: Pertama, ketika pertama sekali orang Batak memberi gelar “Ompui” kepadanya, pemberian gelar ini tidak semata-mata karena keberhasilannya membentuk dan membina sebuah perkampungan Huta Dame di lembah Silindung yang sekaligus ia memberi pengajaran Alkitab dan pengetahuan agama Kristen kepada mereka. Lebih dari itu, nasehatnya dalam memutuskan persoalan adat, tata laksana kehidupan antar kampung, demikian perselisihan antara keluarga, keadilan pertimbangannya memperdamaikan perselisihan antar penganut agama suku semuanya menjadi corak kepemimpinan dan kepribadiannya yang sangat tanguh memberhasilkan misi di tanah Batak. Kedua, wibawa (sahala) dirinya yang ditunjukkannya ketika pertemuan para raja di setiap berlangsungnya Onan nampak kecerdasan, ketangkasan dan ketajamannya berpikir terhadap soal-soal hikmat ke-Batak-an dan melampaui raja-raja Batak sendiri. Sikap seperti inilah inilah dapat dijadikan sebagai teladan yang sangat kuat bagi pelayan dan pelayanan (kepemimpinan gereja Batak) masa kini guna dimanfaatkan bagi perkembangan gereja sebagaimana diharapkan ke depan.

19 Lih. J.R. Hutauruk, Nomensen dan Metode Pekabar Injil, dalam: Bidang Penelitian dan Pengembangan STT-HKBP Bagian Ilmu Sejarah Gereja dan Pekabar Injil, Benih Yang Berbuah (Hari Peringatan 150 Tahun Ompu I Ephorus Dr. Ingwer Ludwig Nomensen Almarhum (Pematangsiantar : STT-HKBP, 1984) hl. 37 20 Lih. J.R. Hutauruk, Nomensen dan Metode Pekabaran Injil dalam: Bagian Ilmu Sejarah dan Pekabaran Injil

Referensi

Dokumen terkait

TAPM yang berjudul Evaluasi Pelaksanaan Program Bantuan Operasional Sekolah untuk Peningkatan Mutu Pendidikan SMP di Kacamatan Tanah Grogot Kabupaten Paser Tahun 2017 adalah basil

Dosen dan rekan-rekan penulis di Program Studi Magister Manajemen Fakultas Ekonomi Universitas Muria Kudus yang telah banyak memberikan bantuan atau ikut berperan

Rencana pembelajaran yang telah dibuat selanjutnya diaplikasikan dalam proses pembelajaran yang merupakan inti dari kegiatan Pendidikan Agama Islam di sekolah, oleh sebab itu

Ramai pelajar Islam Sarawak dan institusi pendidikan Islam di Sarawak seperti Sekolah Agama Rakyat dan SEDAR mendapat bantuan kewangan daripada institusi zakat (Tabung Zakat dan