• Tidak ada hasil yang ditemukan

KONSOLIDASI TANAH DI INDONESIA Implement (1)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "KONSOLIDASI TANAH DI INDONESIA Implement (1)"

Copied!
10
0
0

Teks penuh

(1)

KONSOLIDASI TANAH DI INDONESIA:

Implementasi yang membutuhkan keteguhan hati ---Oleh: Oloan Sitorus dan Tonny Pardomuan Purba*

---Implementasi Konsolidasi Tanah (KT) sebagai kebijakan pertanahan partisipatif dalam merestorasi atau mengembangkan wilayah tampaknya belum mendapat komitmen yang kuat dari otoritas pertanahan. Terkesan ada kegamangan untuk mengintensifkan pelaksanaan KT, oleh karena praksis KT selama ini pun belum mencapai hasil yang maksimal, akibat belum ditindaklanjutinya hasil pelaksanaan KT dengan pembangunan prasarana jalan dan pembangunan fisik lainnya. Padahal tanahnya sudah disediakan oleh kegiatan KT itu. Kealpaan tindaklanjut yang diharapkan dari instansi yang memiliki otoritas dalam pembangunan fisik itu bahkan tidak jarang sampai lebih dari 5 (lima) tahun setelah diserahkannya sertipikat tanah kepada peserta KT. Komitmen yang tidak memadai juga tampak ketika melakukan penataan kembali wilayah yang mengalami kerusakan akibat tsunami di Aceh. Kerusakan wilayah yang masif, termasuk kerusakan pertanahan di wilayah itu, dalam kebijakan pertanahan pada umumnya hanya direspon dengan rekontruksi batas bidang tanah.

Namun, perkembangan terakhir ini tampak sedikit menggembirakan. Kebangkitan kembali KT sebagai konsep kebijakan pertanahan dapat dilihat pada beberapa praksis. Di tengah-tengah minimnya pelaksanaan kegiatan KT, masih ada beberapa keberhasilan yang tampaknya memberi harapan, seperti KT dalam menyelesaikan sengketa pertanahan di Kota Solo, Jawa Tengah dan di Desa Perkebunan Sei Bala, Kecamatan Sei Balai, Kabupaten Asahan, Sumatera Utara serta KT sebagai solusi terhadap kerusakan wilayah akibat tsunami di salah satu desa di Kota Aceh, Banda Aceh. Success story

di ketiga lokasi pelaksanaan KT itu kiranya dapat dijadikan pelajaran, betapa konsep KT masih dapat diandalkan untuk menyelesaikan persoalan penguasaan dan pemilikan tanah yang tidak tertib dan penggunaan tanah yang tidak teratur serta persoalan minimnya ketersediaan infrastruktur dalam suatu wilayah karena keterbatasan tanah.

*

* Dr. Oloan Sitorus, S.H., M.S. adalah Staf Pengajar ‘Hukum Agraria’ pada Sekolah Tinggi Pertanahan Nasional-Badan Pertanahan Nasional R.I., Yogyakarta ‘Kebijakan Agraria’ pada Program Magister Bisnis IPB, Bogor, dan ‘Konsolidasi Tanah’ pada Program Doktor Ilmu Hukum USU, Medan. Tonny Pardomuan Purba, S.ST adalah staf Kanwil Badan Pertanahan Nasional Provinsi Sumatera Utara.

(2)

Solusi konflik pertanahan

KT yang dilakukan Kelurahan Kadipiro, Kampung Kragilan, di Kota Surakarta, Jawa Tengah ditujukan untuk mengatasi konflik pertanahan antara okupan sebanyak 54 Kepala Keluarga (KK) dengan pemegang Hak Milik (HM) atas tanah sebanyak 16 orang. Okupasi itu berlangsung sejak 1997 dan luas tanah yang diokupasi adalah 2.300 M2. Okupasi dimungkinkan, oleh karena pemegang HM secara fisik tidak menguasai dan/atau menggunakan tanahnya, sehingga para okupan yang umumnya merupakan golongan ekonomi lemah itu, bahkan telah memiliki bangunan tempat tinggal yang tidak teratur di atas tanah yang didudukinya. Bangunan-bangunan yang tidak teratur dan miskin prasarana itu akhirnya menjadi permukiman kumuh. Namun, dengan dukungan Walikota, instansi terkait lainnya, dan pihak perbankan, masyarakat yang menduduki tanah milik orang lain itu memungkinkan untuk diberdayakan.1

Sesuai dengan semangat reforma agararia, konflik pertanahan antara para okupan dengan para pemilik tanah di atas diselesaikan dengan cara mediasi. Kedua belah pihak menyadari kekuatan dan kelemahan posisi masing-masing, sehingga memudahkan untuk mencapai titik temu. Kesepakatan yang dibangun adalah bahwa tanah konflik tersebut diberikan kepada para okupan, dengan catatan para okupan memberikan semacam ganti kerugian (yang sangat kecil) kepada para empunya tanah. Para pemilik tanah pun menerima tawaran itu oleh karena telah lama meninggalkan tanah tersebut. Kealpaan penguasaan fisik oleh pemiliknya itulah sebagai faktor utama yang memungkinkan tanah hak itu diduduki oleh para okupan. Akhirnya, sebelum tanah yang menjadi objek konflik tersebut diberikan kepada ke 54 KK okupan, maka tanah tersebut terlebih dahulu dikonsolidasi. Dengan demikian, sebagian dari luas tanah itu dipotong untuk digunakan sebagai jalan. Dengan fasilitas jalan tersebut, diharapkan kekumuhan lokasi permukiman dapat diatasi, karena setiap persil tanah telah mempunyai jalan. Bahkan, kualitas jalan tersebut sudah diperkeras dengan melakukan pengkonblokan.

Pelaksanaan KT di atas, menghasilkan beberapa capaian berikut ini.

Pertama, diperoleh 54 bidang tanah yang telah mempunyai fasilitas jalan di depan setiap kavling. Artinya, luas tanah yang seluas 2.300 M2, yang dimiliki oleh 16 orang, dijadikan untuk dapat dimiliki 54 orang. Sebagian dari tanah tersebut sudah dialokasikan bagi pembangunan jalan di depan setiap kavling tanah yang sudah tertata tersebut. Kedua, tanah permukiman 54 orang

(3)

tersebut, selain telah mempunyai fasilitas jalan, juga mempunyai berbagai fasilitas lingkungan lainnya seperti diperolehnya tanah bagi pembangunan gedung serba guna seluas 80 M2. Bahkan, gedung serba guna itu juga sudah selesai dibangun dalam 1 tahun anggaran pelaksanaan kegiatan reforma agraria dengan pola KT tersebut. Selain itu, ada juga fasilitas saluran air yang sudah permanen (batu bata), dan tanah untuk pembangunan 10 toilet (di samping 11 toilet yang sudah ada sebelum KT). Ketiga, terbangunnya kelompok sosial yang memiliki semangat kebersamaan untuk meningkatkan pendapatan mereka, seperti 15 orang yang mampu menjahit (garment), 4 kelompok yang berkreasi melalui kegiatan home industry (kue), dan 1 orang menjadi penjual makanan (nasi liwet). Peningkatan ekonomi peserta KT ini semula Rp 600.000,-, setelah KT meningkat menjadi Rp 900.000,- per bulan per KK. Kegiatan garment, home industry, dan usaha penjuaan makanan di atas dalam birokrasi pertanahan saat ini lebih dikenal masyarakat dengan istilah access reform. Dengan berbagai tindakan dalam access reform

dimungkinkan bagi masyarakat untuk meningkatkan kesejahteraannya.

Kehandalan KT sebagai solusi terhadap konflik pertanahan juga dapat dicermati pada rangkaian pelaksanaan reforma agraria di Desa Perkebunan Sei Balai, Kecamatan Sei Balai, Kabupaten Asahan, Sumatera Utara. Dalam semangat reforma agraria, KT dilaksanakan untuk menyelesaikan konflik pertanahan antara PT. PUSKOPAD DAM I Bukit Barisan (di Kabupaten Asahan) dengan masyarakat. Perusahaan tersebut adalah pemegang Hak Guna Usaha (HGU) No. 1/Desa Sungai Balai yang akan berakhir tahun 2006. Luas areal perkebunan PT. PUSKOPAD itu adalah seluas 1.797,4 Ha. Ketika ingin mengajukan perpanjangan, sebagian di antara areal perkebunan itu, yakni seluas 568 Ha diklaim oleh masyarakat (355 KK), dengan rincian: 296 Ha oleh Kelompok Tani Mandiri, dan 272 Ha oleh Kelompok Tani Tenera. Sengketa itu telah berlangsung hampir 15 tahun. Berbagai upaya penyelesaian yang melibatkan Pemerintah Daerah setempat, DPRD Tingkat I Sumatera Utara dan DPR Pusat telah dilakukan, namun belum berhasil.2

Untuk menyelesaikan konflik itulah, maka pihak Kanwil BPN Provinsi Sumatera Utara mengambil inisiatif untuk melakukan mediasi antara perusahaan dan masyarakat. Setelah dilakukan dialog, pihak perkebunan Pusat Koperasi Angkatan Darat (PUSKOPAD) bersedia melepaskan areal yang dipermasalahkan itu untuk selanjutnya diserahkan kepada Kelompok Tani Tenera dan Mandiri. Setelah dilepaskan timbul lagi masalah pembagian areal kepemilikan masing-masing tanah tersebut. Untuk menyelesaikan masalah

(4)

itu, pihak BPN menawarkan pembagian tanah secara adil dengan cara melakukan penataan melalui KT Lebih lanjut, dengan pola KT, bidang tanah akan semuanya ‘menghadap ke jalan’, sehingga semua bidang tanah akan mempunyai prasarana jalan.

Sesungguhnya, pelaksanaan reforma agraria dengan pola KT di Kabupaten Asahan ini merupakan kelanjutan dari upaya otoritas pertanahan untuk menyelesaikan sengketa pertanahan antara PUSKOPAD dengan masyarakat penggarap, yang sudah berlangsung sebelum dijadikan sebagai lokasi reforma agraria. Sebagai hasil mediasi pihak Kanwil BPN Provinsi Sumatera Utara, akhirnya dikeluarkan Keputusan Kepala BPN No. 11-V.B-2005 tanggal 28 Maret 11-V.B-2005 tentang Pemberian Ijin Pelepasan Sebagian Hak Guna Usaha Atas Tanah Terletak di Kabupaten Asahan. Surat Keputusan itu berisi peringatan kepada pihak PUSKOPAD agar membuat pernyataan pelepasan hak tanah yang tidak diperpanjang itu kepada pihak Koperasi Karya Mandiri seluas 296 Ha dan Koperasi Tenera seluas 272 Ha. Tindak lanjut dari Keputusan Kepala BPN di atas adalah dibuatnya Surat Pernyataan Pelepasan Hak No. 550-1738/PH/12/2005 tanggal 28 Oktober 2005. Surat pernyataan ini ditandatangani oleh pengurus PUSKOPAD di hadapan Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten Asahan. Secara sukarela Pihak PUSKOPAD melepaskan hak dari tanah yang diklaim itu untuk selanjutnya diberikan kepada kedua koperasi di atas tanpa diberikan ganti kerugian. Namun ternyata, permasalahan belum tuntas dengan pelepasan hak itu, sebab kemudian timbul masalah berkaitan dengan bagaimana cara pembagian tanah secara adil kepada para petani penggarap. Inti persoalannya adalah bagaimana membagi 568 Ha tanah garapan kepada 355 KK penggarap yang tergabung dalam 2 koperasi. Untuk itulah, maka pihak Kanwil BPN Provinsi Sumatera Utara menawarkan pembagian tanah secara adil dengan cara penataan kembali sekaligus melengkapi tanah itu dengan prasarana jalan di semua bidang tanah yang diklaim masyarakat itu, dengan konsep KT dalam bingkai dan semangat reforma agraria.

(5)

SK tersebut didaftarkan untuk memperoleh sertipikat sebagai bukti kepemilikan tanah.

Upaya pemberian access reform pada pelaksanaan KT dalam bingkai dan semangat reforma agraria di lokasi ini direncanakan dalam bentuk bantuan dari pihak perbankan (BRI) untuk permodalan; sedangkan pemasaran produksi dilakukan dengan harapan dukungan dari PT. Bakrie Sumatera Plantation (BSP) yang berkedudukan di Kisaran. Kesediaan dukungan itu dikonkritkan dalam suatu nota kesepahaman kerjasama (MOU). Dalam pelaksanaannya, BRI dapat memberikan bantuan pinjaman Rp 5.000.000,- bagi tanah seluas 1 Ha dan Rp 10.000.000,- bagi tanah yang seluas 2 Ha. Sayangnya, kerjasama dengan BSP belum berjalan sebagaimana mestinya.3

Restorasi kerusakan wilayah

KT yang dilaksanakan sebagai upaya untuk merestorasi kerusakan wilayah akibat tsunami terdapat di Desa Lambung, Kecamatan Meuraxa, Kota Aceh, Banda Aceh. Desa ini merupakan salah satu desa (gampong) yang memiliki letak sangat strategis di antara desa-desa lain karena letaknya yang menghubungkan keseluruhan gampong dalam Kecamatan Meuraxa. Istilah ‘Lambung’ dapat diartikan sebagai sebuah kapal yang memiliki lambung yang terletak pada bagian bawah kapal yang selalu tenggelam di bawah permukaan air, sehingga kebanyakan masyarakat menyebutnya daerah “Lambung”. Posisi letak geografis tersebut menyebabkan jika musim hujan datang, Desa Lambung selalu tergenang (menjadi tampungan air hujan) karena drainase tidak tertata dengan baik. Apalagi letaknya berada di bawah permukaan jalan.4

Selain masalah ketergenangan tersebut, kondisi permukiman tidak tertata dengan baik. Jika masuk ke dalam gampong, umumnya berupa jalan setapak (lorong-lorong kecil) dengan kondisi berliku-liku, sehingga terkesan kumuh. Kalaupun ada, akses/jalan terbatas pada rumah warga besar-besar (banyak bangunan permanen). Bahkan terdapat pengalaman menyedihkan, yakni ketika warga-masyarakat membawa jenazah yang akan dikebumikan terpaksa melewati pinggiran rumah-rumah warga (melipir) karena sempitnya gang/jalan waktu itu (sebelum gempa bumi dan tsunami). Tegasnya, tidak semua rumah memiliki akses yang memadai.5

3 Ibid. hlm. 102-103

4 Letak Desa Lambangu memang berada di bawah permukaan jalan, yakni Jl. Iskandar Muda, Banda Aceh.

(6)

Gempa bumi yang diiringi tsunami yang sangat dahsyat pada tanggal 26 Desember 2004 mengakibatkan Desa Lambung kehilangan penduduk sebanyak 1.037 jiwa dari 1368 jiwa penduduk sebelum tsunami6. Berarti hanya tersisa 331 jiwa yang masih hidup. Selain korban jiwa, Desa Lambung juga mengalami kehancuran fisik rumah warga dan semua fasilitas umum (meunasah, TPA, sarana air bersih, pelayanan kesehatan, dan sebagainya) yang amat dahsyat. Semua fasilitas umum itu rata dengan tanah.7 Desa Lambung menjadi kawasan yang ”mati”.

Dalam sektor perumahan dan permukiman, dampak bencana tentu juga sangat luar biasa. Hampir semua warga Desa Lambung kehilangan tempat tinggal.8 Sesungguhnya, pasca tsunami tersebut berbagai institusi berencana untuk membantu pembangunan kembali perumahan warga. Hanya saja bantuan pembangunan perumahan oleh berbagai institusi tersebut akhirnya batal, karena masyarakat menghendaki dilakukan penataan desa terlebih dahulu. Dalam 1 (satu) bulan setelah tsunami, tidak boleh ada orang luar yang membersihkan puing atau reruntuhan bangunan, dengan maksud menghindari hilangnya batas-batas pemilikan tanah.9

Kerasnya pendirian masyarakat, agar tidak langsung membangun permukiman, sebelum dilakukan penataan desa, karena suatu alasan bahwa mereka berusaha untuk mempunyai perumahan dan permukiman yang baik, dengan fasilitas lingkungan yang memadai, serta memungkinkan untuk cepat menyelamatkan diri jika suatu ketika bencana alam datang lagi. Penataan desa yang dimaksud akan dilakukan dengan KT (land consolidation).

Pelaksanaan KT di Desa Lambung pada hakikatnya dilakukan dalam 2 (dua) tahap, yakni: (a) tahap perencanaan dan sosialisasi kegiatan; dan (b) tahap pembuatan block plan dan desain KT serta penerapannya di lapangan.

6 Gampong Lambung, Profil Gampong Lambung Kecamatan Meuraxa, Kota Banda Aceh, 2009, hlm. 1

7 Kecuali 1 (satu) bangunan rumah yang masih tersisa, namun tidak bisa digunakan lagi. Bangunan rumah yang sudah rusak itu dibiarkan menjadi semacam monumen, untuk mengingatkan kedahsyatan tsunami 26 Desember 2004.

8 Tentu, disamping itu orang-orang yang kehilangan anggota keluarga, maupun kehilangan/kerugian material dan fisik lainnya.

(7)

Pada tahap pertama, dilakukan perencanaan dan sosialisasi kegiatan oleh Bank Dunia melalui Program ReKompak, yang bertugas mendampingi pembangunan rumah pada Oktober-Desember 2005. Pada tahap ini, ada Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) yang berniat membangun rumah, tanpa sebelumnya melakukan penataan desa. Akan tetapi, sebagaimana dikemukakan di atas, pimpinan desa dan perangkatnya, beserta sebagian warga desa melarang untuk pembangunan rumah tersebut, sebelum dilakukan penataan desa. Penataan desa/gampong secara menyeluruh dimaksudkan agar kondisi lingkungan tidak seperti sebelum tsunami. Penataan desa/gampong tersebut didasarkan pada hasil musyawarah yang disepakati oleh warga pasca tsunami. Inti kesepakatan adalah dilakukannya pembuatan/penataan jalan dan drainase sebelum dilakukan pembangunan rumah. Secara formal persetujuan pemilik tanah untuk mengikuti KT dibuat dalam surat pernyataan.10

Tahap kedua, adalah fase pembuatan block plan, desain KT serta penerapannya di lapangan. Pembuatan block plan dan desain KT adalah pekerjaan teknis yang pada umumnya tidak berbeda dengan KT pada umumnya. Hal menarik adalah ketika menerapkan KT tersebut di lapangan, sebab ditemukan hal nonteknis yang harus diakomodasi, seperti pemindahan makam para leluhur masyarakat. Awalnya masyarakat tidak mau melakukan pemindahan, namun dengan keteladanan Kepala Desa yang mencontohkan lebih dahulu pelaksanaan pemindahan makam keluarganya, akhirnya masyarakat juga mengikuti keteladanan Kepala Desa tersebut.11

10 Untuk memperoleh persetujuan dari masyarakat, berbagai sugesti positif dilakukan oleh Geuchiek, termasuk dengan memanfaatkan dimensi sosial masyarakat Aceh yang pekat dengan nilai-nilai keagamaan. Pada suatu kesempatan sosialisasi Geuchiek secara verbal bertutur: “tanah yang kita miliki bukan dari pembelian, bukan dari hasil bekerja keras kita, melainkan merupakan warisan dari orang tua. Kalau saya dan pemilik tanah lainnya mau menyumbang untuk jalan dan bangunan fasilitas lainnya serta untuk sedekah bagi pemilik tanah yang luasnya kurang dari 100 meter, maka sesungguhnya yang melakukan sedekah atau yang menyumbang adalah orang tua kita, leluhur kita. Sumbangan tanah ini berarti untuk memberikan pahala (yang mendapatkan pahala kebaikannya) bagi orang tua yang sudah meninggal atau para leluhur.”

(8)

Selama penyelesaian administrasi pertanahan berjalan, dimungkinkan pula berlangsungnya pekerjaan konstruksi, seperti: pembuatan badan jalan, penimbunan genangan jalan, dan pembuatan saluran/drainase oleh Badan Rehabilitasi dan Rekonstruksi (BRR); pengerasan jalan dengan aspal, pembangunan fasilitas umum seperti sekolah TK, SD, SMP, dan SMA oleh RCTI Peduli; pembangunan fasilitas sosial seperti Puskesmas (1 gedung) oleh Bulan Sabit; pembangunan 1 (satu)

escape building oleh JICS; dan penghijauan desa oleh Dinas Kehutanan dan BRR.12 Pekerjaan konstruksi lainnya adalah pembangunan rumah warga berdasarkan atas bantuan/hibah dari Bank Dunia (MDF) yang pembangunannya dilakukan oleh masyarakat dan diawasai atau didampingi oleh Re-Kompak dari P2KP.13

Dengan demikian, KT di areal bencana tsunami tersebut menghasilkan administrasi pertanahan yang tertib kembali, dan pembangunan fisik yang dilengkapi dengan berbagai fasilitas infrastruktur jalan, fasilitas sosial dan fasilitas umum lainnya sebagaimana dikemukakan di atas. Dengan KT, kebijakan pertanahan dapat dilaksanakan secara tuntas dan pembangunan fisik di atas lokasi KT pun dapat diarahkan dan dikondisikan untuk segera dibangun kembali, setelah dituntaskan penataan kembali aspek pertanahannya. Bahkan dalam pelaksanaan KT di lokasi bencana tsunami tersebut, pembangunan fisik dalam hal tertentu, dapat dilakukan bersamaan dengan penataan aspek pertanahan.

Memetik pelajalaran dari ketiga pelaksanaan

KT sebagai konsep pertanahan partisipatif mampu dikembangkan sebagai instrumen kebijakan untuk menyelesaikan konflik pertanahan, sarana untuk menyediakan kembali berbagai infrastruktur pertanahan yang rusak atau hilang pada lokasi bencana tsunami, dan ruang untuk mendorong otoritas pembangunan fisik wilayah segera menyelesaikan pembangunan fisiknya di atas tanah yang sudah ditata oleh KT.

Pelaksanaaan KT di ketiga lokasi di atas, kiranya sejalan dengan gagasan untuk mulai mengintensifkan pengelolaan pertanahan yang

12 Rambat Sakwan, Laporan Pelaksanaan Konsolidasi Tanah Desa Lambung Kecamatan Meuraksa Banda Aceh, Tim ReKompak, 2006, hlm. 12

(9)

berbasis wilayah (fisik dan sosial).14 Dengan pendekatan yang berbasis wilayah ini akan lebih memungkinkan penyusunan program pertanahan yang dapat mewujudkan tanah bagi sebesar-besar kemakmuran rakyat. Sebab dengan pengelolaan pertanahan yang berdasarkan kewilayahan (fisik dan sosial) akan dapat ditangkap realitasi sosial dan akan dapat dibangun suatu konsep pertanahan yang lebih komprehensif, sehingga mampu mengakomodasi berbagai persoalan lebih variatif. Dengan demikian, bentuk-bentuk kegiatan yang dilakukan dalam rangka penyelesaian berbagai masalah di lokasi pelaksanaan KT tidak berhenti pada tindakan rehabilitasi dan rekonstruksi fisik semata, melainkan terus berlangsung berkelanjutan dalam rangka memenuhi kebutuhan dasar masyarakat untuk pada akhirnya meningkatkan kesejahteraan masyarakat.

Kebijakan pertanahan sesuai amanah konstitusi itu, memang bukanlah sekedar melaksanakan administrasi pertanahan dalam arti sempit, yang merasa selesai setelah melakukan legalisasi hubungan tenurial. Lebih daripada itu, kebijakan pertanahan harus mengkondisikan keberadaan tanah yang dimiliki masyarakat dapat meningkatkan kesejahteraannya. Tindak lanjut berbagai kegiatan access reform, tentulah bukan domein otoritas pertanahan. Namun, membangun atmosfir atau kondisi awal untuk melakukan berbagai kegiatan ekonomi misalnya, di atas tanah yang ditata dengan kegiatan pertanahan seperti KT, yang ditujukan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat dapat diperankan oleh otoritas pertanahan. Membangun atmosfir atau kondisi awal inilah yang oleh sebagian aparatus pertanahan masih dipandang sebagai ”something beyond the call of duty”.

Oleh karena itu upaya penyadaran bahwa legalisasi hubungan tenurial bukanlah tugas akhir pertanahan, kiranya masih perlu terus dibangkitkan mengingat selama pemerintahan Orde Baru, otoritas pertanahan secara sadar atau tidak sadar telah direduksi untuk sekedar melakukan administrasi pertanahan. Otoritas pertanahan seakan kehilangan ide, gagasan, dan kreativitas untuk mengkondisikan peningkatan kesejahteraan rakyat melalui tanah yang dimilikinya. Namun, kesadaran tentang pentingnya membangun berbagai kegiatan yang dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat di atas tanahnya semakin disadari oleh BPN RI yang dibentuk dan dikembangkan berdasarkan Perpres No. 10 Tahun 2006 jo Peraturan Kepala BPN RI No. 3 Tahun 2006. Oleh karena di dalam struktur BPN RI yang baru, mulai dari otoritas pertanahan pusat, provinsi, dan kabupaten kota, telah secara khusus dibentuk bagian dari struktur organisasi yang menangani pemberdayaan masyarakat. Langkah

(10)

awal sebagai indikasi peningkatan keteguhan hati jajaran pertanahan sudah tampak jelas dalam kebijakan pertanahan pasca Perpres No. 10 Tahun 2006. Dalam pada itu, agar pada tataran implementasi kesungguhan BPN RI itu membuahkan hasil yang optimal, kiranya diskusi yang mendalam dan koordinasi yang intensif pada jajaran internal pertanahan, seperti antara otoritas penataan pertanahan dan pemberdayaan masyarakat harus terus dibangun. Gagasan yang kuat dan komitmen yang teguh di jajaran internal otoritas pertanahan akan memperluas resonansi pentingnya kebijakan pertanahan yang ditujukan pada peningkatan kesejahteraan rakyat. Gema kebijakan pertanahan yang bertumpu pada upaya peningkatan kesejahteraan masyarakat itu perlu terus disuarakan agar tercipta melek agraria yang meluas pada seluruh komponen bangsa. Bukankah critical mass

penting dicapai untuk mengimplementasikan suatu kebijakan?

Yogyakarta, 2 Oktober 2011

Daftar Pustaka

Badan Pertanahan Nasional R.I, 2009,Pidato Kepala Badan Pertanahan Nasional R.I Pada Perayaan UUPA Tahun 2009.

Gampong Lambung, 2009, Profil Gampong Lambung Kecamatan Meuraxa, Kota Banda Aceh.

Kantor Pertanahan Kota Surakarta, 2008, Model Reforma Agraria Perkotaan – bekerjasama dengan Pemkot, Perbankan dan Swasta. Bahan Kuliah Umum di STPN, Yogyakarta.

Saragih, Ethika Rahmawaty, 2008, Pelaksanaan Reforma Agraria di Kabupaten Langkat dan Kabupaten Asahan Provinsi Sumatera Utara, Skripsi pada Program Diploma IV Pertanahan, Sekolah Tinggi Pertanahan Nasional, Yogyakarta.

Sakwan, Rambat, 2006, Laporan Pelaksanaan Konsolidasi Tanah Desa Lambung Kecamatan Meuraksa Banda Aceh, Tim ReKompak.

Referensi

Dokumen terkait

yang akhirnya menghasilkan makna kepada mereka. Justeru, makalah ini menyimpulkan bahawa kepelbagaian aktiviti dan warisan ketara yang wujud di petempatan tradisional

Seluruh dosen Program Studi Pendidikan Ekonomi, Universitas Sebelas Maret Surakarta yang telah memberikan ilmu pengetahuan yang bermanfaat dalam mendukung

Na fotografiji so magellanov, varljivi in močvirski šotni mah ( Sphagnum magellanicum , S. palustre ), vmes je tudi togi lasasti kapičar ( Polytrichum strictum ). Rastoči

karena kehidupan Orang Sakai ikut berubah dengan perubahan lingkungan.. ekologi tempat

c. Kebutuhan ruang untuk pengembangan kegiatan sosial ekonomi dan lingkungan; d. Ketentuan peraturan perundang-undangan terkait. Rencana pola ruang wilayah kabupaten Bangli

Leverage operasi dapat didefinisikan sebagai employment aset dengan biaya tetap dengan harapan bahwa pendapatan yang cukup akan dihasilkan untuk menutup semua biaya tetap dan