• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II KAJIAN PUSTAKA - Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Penerapan Problem Based Learning Berbantuan Video untuk Meningkatkan Hasil Belajar IPA Siswa Kelas 4 SD N 5 Sindurejo Kecamatan Toroh Kabupaten Grobogan Semester II Tahu

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "BAB II KAJIAN PUSTAKA - Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Penerapan Problem Based Learning Berbantuan Video untuk Meningkatkan Hasil Belajar IPA Siswa Kelas 4 SD N 5 Sindurejo Kecamatan Toroh Kabupaten Grobogan Semester II Tahu"

Copied!
27
0
0

Teks penuh

(1)

8

BAB II

KAJIAN PUSTAKA

Teori yang dikaji dalam penelitian ini diantaranya yaitu model Problem Based Learning, media video, pembelajaran IPA dan hasil belajar dimana tiap-tiap teori akan dikaji secara lebih terperinci didalam pembahasan berikut ini. 2.1 Model Problem Based Learning (PBL)

Problem Based Learning (PBL) merupakan suatu reformasi kurikulum yang dapat menolong siswa untuk meningkatkan keterampilan baik pada aspek kognitif, afektif maupun psikomotrotik. Problem Based Learning (PBL) pertama kali dilakukan di Fakultas Kedokteran Universitas Case Western Reserve pada akhir tahun 1950-an, selanjutnya Problem Based Learning (PBL) dikembangkan oleh Prof. Howard Barrows dalam pembelajaran ilmu medis di Fakultas Kedokteran McMaster University Canada pada tahun 1968 (Taufiq, 2009:12). Problem Based Learning (PBL) ini menyajikan suatu masalah yang nyata bagi siswa sebagai awal pembelajaran kemudian diselesaikan melalui penyelidikan dan diterapkan dengan menggunakan model pemecahan masalah.

Ada beberapa definisi dan interpretasi Problem Based Learning (PBL) yang dikemukakan oleh beberapa ahli pendidikan, diantaranya yaitu menurut Dutch 1995 (Taufiq, 2009:21), “Problem Based Learning (PBL) adalah model

pembelajaran yang menantang siswa untuk “belajar bagaimana belajar”

bekerjasama dalam kelompok untuk mencari solusi dari masalah yang nyata”. Masalah ini digunakan untuk mengaitkan rasa keingintahuan serta kemampuan

(2)

mengajarkan permasalahan yang autentik dengan maksud untuk menyusun pengetahuan mereka sendiri, mengembangkan inquiri dan ketrampilan berfikir tingkat lebih tinggi, mengembangkan kemandirian, dan percaya diri.

Menurut Tan (Rusman, 2013:229) “Problem Based Learning (PBL) merupakan inovasi dalam pembelajaran karena dalam Problem Based Learning (PBL) kemampuan berpikir siswa betul-betul dioptimalkan melalui proses kerja kelompok atau tim yang sistematis, sehingga siswa dapat memberdayakan, mengasah, menguji, dan mengembangkan kemampuan berpikirnya secara

berkesinambungan”. Margetson (Rusman, 2013:230) mengatakan bahwa

Problem Based Learning (PBL) membantu meningkatkan perkembangan keterampilan belajar sepanjang hayat dalam pola pikir yang terbuka, reflektif, kritis, dan belajar aktif. PBL memfasilitasi keberhasilan memecahkan masalah,

komunikasi, kerja kelompok dan ketrampilan interpersonal dengan baik”.

Dari beberapa uraian mengenai pengertian Problem Based Learning (PBL) dapat disimpulkan bahwa Problem Based Learning (PBL) merupakan pembelajaran yang menghadapkan siswa pada masalah nyata untuk memulai pembelajaran dan merupakan salah satu strategi pembelajaran inovatif yang dapat memberikan kondisi belajar aktif kepada siswa sehingga siswa dapat belajar untuk berpikir kritis serta analitis dalam mencari solusi pemecahannya secara berkelompok. Problem Based Learning (PBL) dirancang dengan menampilkan masalah-masalah yang menuntut siswa untuk mengeksplor pengetahuannya agar dapat memperoleh pengetahuan yang baru dari hasil penemuannya sendiri sehingga siswa menjadi terbiasa dan mahir dalam memecahkan suatu masalah yang sering terjadi di dalam kehidupan sehari-hari.

(3)

mandiri (self-direct learning), f) pemanfaatan sumber pengetahuan yang beragam, g) pembelajaran kolaboratif, komunikatif, dan kooperatif yaitu pembelajar bekerja dalam kelompok, berinteraksi, saling mengajarkan (peer teaching), dan melakukan presentasi.

Arends 1997 (Trianto, 2011:93) berpendapat bahwa Problem Based Learning (PBL) memiliki karakteristik meliputi:

a) pengajuan pertanyaan atau masalah. Problem Based Learning dimulai dengan pengajuan masalah, bukan mengorganisasikan materi di sekitar prinsip-prinsip atau ketrampilan akademik tertentu. Masalah yang diajukan berhubungan dengan situasi kehidupan nyata pembelajar untuk menghindari jawaban sederhana dan memungkinkan adanya berbagai macam solusi terhadap masalah tersebut,

b) fokus pada interdisiplin ilmu. Meskipun pembelajaran berbasis masalah berpusat pada mata pelajaran tertentu (IPA, matematika, dan ilmu-ilmu sosial), masalah yang dipilih harus benar-benar nyata agar dalam pemecahannya siswa dapat meninjau masalah itu dari banyak mata pelajaran,

c) penyelidikan autentik. Problem Based Learning mengharuskan siswa melakukan penyelidikan autentik untuk mencari penyelesaian nyata terhadap masalah nyata.

d) menghasilkan produk dan memamerkannya. Pembelajaran berbasis masalah menuntut siswa untuk menghasilkan produk tertentu dalam bentuk karya nyata dan peragaan yang menjelaskan atau mewakili bentuk penyelesaian masalah yang mereka temukan. Bentuk karya siswa tersebut dapat berupa laporan, model fisik, dan video. Karya nyata tersebut kemudian didemosntrasikan kepada siswa yang lain.

e) Kerja sama. Pembelajaran berdasarkan masalah dicirikan oleh siswa yang bekerja sama satu sama lain, secara berpasangan atau secara berkelompok.

Menurut Ngalimun (2014: 89-90) PBL memiliki karakteristi-karaktristik sebagai berikut: (1) belajar dimulai dengan suatu masalah, (2) memastikan bahwa masalah yang diberikan berhubungan dengan dunia nyata siswa, (3) mengorganisasikan pelajaran diseputar masalah, bukan diseputar disiplin ilmu, (4) memberikan tanggung jawab yang benar kepada pembelajar dalam membentuk dan menjalankan secara langsung proses belajar mereka sendiri, (5) menggunakan kelompok kecil, (6) menuntut pembelajar untuk mendemonstrasikan apa yang telah mereka pelajari dalam bentuk suatu produk atau kinerja

(4)

Problem Based Learning (PBL) yaitu adanya suatu permasalahan, pembelajaran berpusat pada siswa, dan belajar dalam kelompok kecil.

Problem Based Learning (PBL) tidak dirancang untuk membantu guru memberikan informasi sebanyak-banyaknya kepada siswa. Menurut Arends (Trianto, 2011:94-96) PBL memiliki tujuan untuk membantu siswa dalam beberapa hal berikut ini: (1) mengembangkan kemampuan berpikir dan keterampilan pemecahan masalah, (2) pemodelan peranan orang dewasa, artinya pembelajaran berdasarkan masalah dapat mendorong terjadinya pengamatan dan

dialog antara siswa dengan narasumber sehingga secara bertahap siswa dapat memahami peran orang yang diamati atau narasumber (ilmuwan, guru, dokter, dan sebagainya), (3) pembelajar yang otonom dan mandiri.

Agar Problem Based Learning dapat berjalan dengan baik, maka dalam pelaksanaan kegiatan model Problem Based Learning diperlukan upaya perencanaan yang benar-benar matang. Menurut Sugiyanto (2010:156-159) dalam merancang Problem Based Learning harus memperhatikan beberapa faktor, yaitu:

a. Memutuskan sasaran dan tujuan

Problem Based Learning dirancang untuk membantu mencapai tujuan-tujuan seperti meningkatkan keterampilan intelektual dan investigasi, memahami peran orang dewasa, dan membantu siswa untuk menjadi pembelajar yang mandiri.

b. Merancang situasi bermasalah yang tepat

Sebuah situasi bermasalah yang baik harus memenuhi lima kriteria penting, yaitu: (1) situasi yang autentik. Hal ini berarti masalah yang dipakai harus dikaitkan dengan pengalaman nyata siswa, (2) masalah tersebut semestinya menciptakan misteri atau teka-teki, (3) masalah tersebut seharusnya bermakna bagi siswa dan sesuai dengan tingkat

perkembangan intelektual, (4) masalah haruslah memiliki cakupan yang luas sehingga memberikan kesempatan bagi guru untuk memenuhi tujuan instruksionalnya, (5) masalah yang baik harus mendapatkan manfaat dari usaha kelompok.

(5)

PBL mendorong siswa untuk bekerja dengan bahan dan alat. Sebagian beralokasi diruang kelas, sebagian lainnya di perpustakaan atau laboratorium komputer dan sebagian diluar sekolah.

Dalam pelaksanaan pembelajaran Problem Based Learning (PBL) dapat dilakukan dengan tahap-tahap tertentu. Adapun beberapa tahapan pembelajaran Problem Based Learning menurut beberapa ahli pendidikan, diantaranya yaitu menurut Solso (Wena, 2011:56) tahapan Problem Based Learning (PBL) adalah : (1) identifikasi permasalahan, (2) representasi atau penyajian permasalahan, (3)

perencanaan pemecahan masalah, (4) menerapkan atau mengimplementasikan perencanaan pemecahan masalah, (5) menilai perencanaan pemecahan masalah, (6) menilai hasil pemecahan masalah. Menurut Hosnan (2014: 301) penerapan model pembelajaran berbasis masalah terdiri dari lima langkah utama yang dimulai dengan guru memperkenalkan siswa dengan situsai masalah dan diakhiri dengan penyajian dan analisis hasil kerja siswa. Adapun tahapanya sebagai berikut: (1)orientasi siswa pada masalah, (2) mengorganisasi siswa untuk belajar, (3) membimbing penyelidikan individual dan kelompok, (4) mengembangkan dan menyajikan hasil karya, (5) menganalisis dan mengevaluasi proses pemecahan masalah.

(6)

Tabel 1

Tahap Pelaksanaan Problem Based Learning

No Fase Perilaku Guru

1. Orientasi

permasalahan kepada siswa

Guru membahas tentang tujuan pembelajaran, menyampaikan masalah, dan memotivasi siswa untuk terlibat aktif dalam proses pembelajaran. 2. Mengorganisasikan

siswa untuk mandiri

Guru membentuk kelompok (@kelompok terdiri dari 4-6 anggota), membantu mengidentifikasi masalah dan mengorganisasi tugas siswa terkait dengan permasalahannya

3. Membantu investigasi mandiri dan kelompok

Guru memotivasi tiap kelompok untuk mengumpulkan data, menyusun hipotesis, melakukan penyelidikan, menyimpulkan pemecahan masalah dan uji hasil dari pemecahan masalah.

4. Mengembangkan dan mempresentasikan hasil

Guru membantu merencanakan dan menyiapkan hasil investigasi yang telah dilakukan seperti laporan, rekaman, video atau sebuah model (alat peraga).

5. Menganalisis dan mengevaluasi proses pemecahan masalah

Guru membantu siswa untuk melakukan refleksi terhadap investigasinya dan proses-proses yang mereka gunakan

Berdasarkan penjelasan Trianto (2011: 96-97) model Problem Based Learning (PBL) memiliki kelebihan dan kelemahan. Kelebihan model Problem Based Learning (PBL) sebagai model pembelajaran adalah: (1) realistic dengan kehidupan siswa, (2) konsep sesuai dengan kebutuhan siswa, (3) memupuk sifat inquiri siswa, (4) retensi konsep jadi kuat, dan (5) memupuk kemampuan problem solving. Sedangkan kelemahan model Problem Based Learning (PBL) antara lain: (1) persiapan pembelajaran (alat, masalah, konsep) yang kompleks, dan (2) konsumsi waktu yang cukup lama dalam proses penyelidikan. Menurut Smith (Amir, 2010: 27) terdapat beberapa manfaat yang akan diperoleh pembelajar apabila menerapkan Problem Based Learning diantaranya yaitu: (1) menjadi lebih ingat dan meningkat pemahamannya terhadap materi ajar yang sedang dipelajari, (2) meningkatkan fokus pada pengetahuan yang relevan, (3) mendorong untuk

(7)

keterampilan sosial, (5) membangun kecakapan belajar (life-long learning skills), (6) memotivasi pembelajar

Menurut Sanjaya (2011:220-221) model Problem Based Learning (PBL) memiliki kelebihan dan kelemahan. Kelebihan model Problem Based Learning (PBL) sebagai model pembelajaran adalah: 1) teknik yang cukup bagus untuk lebih memahami isi pelajaran, 2) dapat menantang kemapuan siswa serta memberikan kepuasan untuk menemukan pengetahuan baru bagi siswa, 3) meningkatkan aktifitas siswa, 4) dapat membantu siswa bagaimana mentransfer

pengetahuan mereka untuk memahami masalah dalam kehidupan nyata, 5) dapat memberikan kesempatan pada siswa untuk mengaplikasikan pengetahuan yang mereka miliki dalam dunia nyata, dan 6) dapat mengembangkan kemampuan siswa untuk berfikir kritis dan mengembangkan kemapuan mereka untuk menyesuaikan dengan pengetahuan baru. Sedangkan kelemahan model Problem Based Learning (PBL) antara lain: 1) siswa tidak memiliki minat atau tidak mempunyai kepercayaan bahwa masalah yang dipelajari sulit untuk dipecahkan, maka mereka akan enggan untuk mencoba, 2) keberhasilan pembelajaran membutuhkan cukup waktu untuk persiapan, dan 3) tanpa pemahaman mereka berusaha memecahkan masalah yang sedang dipelajari, maka mereka tidak akan belajar apa yang mereka ingin pelajari.

2.2 Media Video

2.2.1 Pengertian Media

Media berasal dari bahasa latin merupakan bentuk jamak dari ”medium”

yang secara harfiah berarti ”perantara” atau ”pengantar” yaitu perantara atau pengantar sumber pesan dengan penerima pesan. Education Association (Suparni dan Ibrahim, 2012:111) mendefinisikan “media sebagai benda yang dapat

dimanipulasikan, dilihat, didengar, dibaca, dibicarakan beserta instrumen yang dipergunakan dengan baik dalam kegiatan belajar mengajar, dapat mempengaruhi efektifitas progam pembelajaran”.

(8)

menggunakan media secara tepat”. Digunakanya media dalam pembelajaran yaitu

agar dapat menjembatani antara konsep konsep materi yang abstrak menjadi konkrit, sehingga anak dapat memahami materi yang disajikan guru. Untuk itu, maka penggunaan media dalam proses pembelajaran diperlukan demi terciptanya tujuan pembelajaran secara optimal.

Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan, Bab VII Standar Sarana dan Prasarana, pasal 42 menegaskan bahwa 1) Setiap satuan pendidikan wajib memiliki sarana yang meliputi perabot,

peralatan pendidikan, media pendidikan, buku dan sumber belajar lainnya, bahan habis pakai, serta perlengkapan lain yang diperlukan untuk menunjang proses pembelajaran yang teratur dan berkelanjutan

2) Setiap satuan pendidikan wajib memiliki prasarana yang meliputi lahan, ruang kelas, ruang pimpinan satuan pendidikan, ruang pendidik, ruang tata usaha, ruang perpustakaan, ruang laboratorium, ruang bengkel kerja, ruang unit produksi, ruang kantin, instalasi daya dan jasa, tempat olahraga, tempat beribadah, tempat bermain, tempat berkreasi, dan ruang/ tempat lain yang diperlukan untuk menunjang proses pembelajaran yang teratur dan berkelanjutan.

Media pendidikan memegang peranan penting dalam pembelajaran. Penggunaan media pembelajaran yang tepat akan lebih mudah dalam memahami materi pelajaran yang disampaikan. Sebagai salah satu komponen pembelajaran, media tidak bisa luput dari pembahasan sistem pembelajaran secara menyeluruh. Pemanfaatan media seharusnya merupakan bagian yang harus mendapatkan

perhatian guru dalam setiap kegiatan pembelajaran. Namun kenyataannya bagian inilah yang masih sering terabaikan dengan berbagai alasan. Alasan yang sering

muncul antara lain: terbatasnya waktu untuk membuat persiapan mengajar, sulit mencari media yang tepat, tidak tersedianya biaya, dan lain-lain. Hal ini sebenarnya tidak terjadi jika setiap guru telah membekali diri dengan pengetahuan dan keterampilan dalam hal media pembelajaran.

Menurut Suparni & Ibrahim (2012:112) jenis Media pembelajaran meliputi 3 bentuk :

1. Media visual

Media visual dapat dikelompokkan menjadi media media visual yang materinya tidak diproyeksikan seperti foto, garis, model, realita,dan media visual yang diproyeksikan yaitu OHP,LCD,dll

(9)

Media audio dibagi menjadi media yang menggunakan alat perekam dan audio yang menggunakan pemancaran gelombang radio.

3. Media audio visual

Media audio visual terdiri dari paduan foto dan suara, paduan slide dan suara, film suara.

Media pada hakekatnya merupakan salah satu komponen sistem pembelajaran. Sebagai komponen, media hendaknya merupakan bagian integral dan harus sesuai dengan proses pembelajaran secara menyeluruh. Akhir dari pemilihan media adalah penggunaaan media tersebut dalam kegiatan pembelajaran, sehingga memungkinkan siswa dapat berinteraksi dengan media yang kita pilih. Apabila kita telah menentukan alternatif media yang akan kita gunakan dalam pembelajaran, jika sudah tersedia maka kita tinggal meminjam atau membelinya saja. Itupun jika media yang ada memang sesuai dengan tujuan pembelajaran yang telah kita rencanakan, dan terjangkau harganya. Jika media yang kita butuhkan temyata belum tersedia, mau tak mau kita harus membuat sendiri program media sesuai keperluan tersebut.

Jadi, pemilihan media itu perlu kita lakukan agar kita dapat menentukan media yang terbaik, tepat dan sesuai dengan kebutuhan dan kondisi sasaran didik. Untuk itu, pemilihan jenis media harus dilakukan dengan prosedur yang benar, karena begitu banyak jenis media dengan berbagai kelebihan dan kelemahan masing-masing.

Menurut Santyasa dalam Fenti (2012:12) media memiliki beberapa fungsi diantaranya :

a. Menyaksikan benda yang ada atau peristiwa yang terjadi pada masa lampau. Dengan perantaraan gambar, potret, slide, film, video, atau media yang lain, siswa dapat memperoleh gambaran yang nyata tentang benda/ peristiwa sejarah.

b. Mengamati benda atau peristiwa yang sukar dikunjungi baik karena jaraknya jauh, berbahaya, atau terlarang. Misalnya, video tentang kehidupan harimau di hutan, keadaan dan kesibukan di pusat reaktor nuklir, dan sebagainya.

(10)

pembangkit listrik, dengan slide dan film siswa memperoleh gambaran tentang bakteri, amuba, dan sebagainya.

d. Mendengar suara yang sukar ditangkap dengan telinga secara langsung. Misalnya, rekaman suara denyut jantung dan sebagainya.

e. Mengamati dengan teliti binatang-binatang yang sukar diamati secara langsung karena sukar ditangkap. Dengan bantuan gambar, potret, slide, film atau video siswa dapat mengamati berbagai macam serangga, burung hantu, kalelawar, dan sebagainya.

f. Mengamati peristiwa-peristiwa yang jarang terjadi atau berbahaya untuk didekati. Dengan slide, film, atau video siswa dapat mengamati pelangi, gunung meletus, pertempuran, dan sebagainya.

2.2.2 Pengertian Video

Video merupakan salah satu jenis media audio visual. Media audio visual adalah media yang mengandalkan indera pendengaran dan indera penglihatan. Media ini dapat menambah minat siswa dalam belajar karena siswa dapat menyimak materi sekaligus melihat gambar. Sadiman dkk (2008:74) “video adalah media audio-visual yang menampilkan gerak, media yang menyajikan pesan yang berisi fakta (kejadian/peristiwa penting, berita) maupun fiktif (seperti misalnya cerita), bisa bersifat informatif edukatif maupun instruksional”.

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, “video merupakan rekaman gambar hidup atau program televisi untuk ditayangkan lewat pesawat televisi,

atau dengan kata lain video merupakan tayangan gambar bergerak yang disertai dengan suara”. Video sebenarnya berasal dari bahasa Latin, video-vidivisum yang

artinya melihat (mempunyai daya penglihatan); dapat melihat.

Menurut Nugent (Smalldino, 20112:404), banyak guru menggunakan video untuk memperkenalkan sebuah topik, menyajikan isi materi, menyediakan perbaikan (termasuk evaluasi), dan meningkatkan pengayaan. Penggunaan video bisa digunakan di seluruh lingkungan pengajaran di kelas, baik dalam kelompok kecil, klasikal, maupun siswa orang-perorangan.

(11)

tersendiri. Video dapat menyajikan informasi, memaparkan proses, menjelaskan konsep-konsep yang rumit, mengajarkan keterampilan, menyingkat atau memperpanjang waktu, dan mempengaruhi sikap.

2.2.3 Media Video dalam Pembelajaran

Ronal Anderson, (Riyana, 2007) mengemukakan tentang beberapa tujuan dari pembelajaran menggunakan media video yaitu mencakup tujuan kognitif, afektif, dan psikomotor. Ketiga tujuan ini dijelaskan sebagai berikut :

a. Tujuan Kognitif

1) Dapat mengembangkan kemampuan kognitif yang menyangkut kemampuan mengenal kembali dan kemampuan memberikan rangsangan berupa gerak dan sensasi.

2) Dapat mempertunjukkan serangkaian gambar diam tanpa suara sebagaimana media foto dan film bingkai meskipun kurang ekonomis.

3) Video dapat digunakan untuk menunjukkan contoh cara bersikap atau berbuat dalam suatu penampilan, khususnya menyangkut interaksi manusiawi.

b. Tujuan Afektif

Dengan menggunakan efek dan tekhnik, video dapat menjadi media yang sangat baik dalam mempengaruhi sikap dan emosi. c. Tujuan Psikomotorik

1) Video merupakan media yang tepat untuk memperlihatkan contoh keterampilan yang menyangkut gerak. Dengan alat ini diperjelas baik dengan cara memperlambat ataupun mempercepat gerakan yang ditampilkan.

2) Melalui video siswa langsung mendapat umpan balik secara visual terhadap kemampuan mereka sehingga mampu mencoba keterampilan yang menyangkut gerakan tadi.

(12)

pembelajaran yang efektif. Pada ranah psikomotorik, video memiliki keunggulan dalam memperlihatkan bagaimana sesuatu bekerja, video pembelajaran yang merekam kegiatan motorik atau gerak dapat memberikan kesempatan pada siswa untuk mengamati dan mengevaluasi kembali kegiatan tersebut. Sebagai bahan ajar non cetak, video kaya akan informasi untuk diinformasikan dalam proses pembelajaran karena pembelajaran dapat sampai ke peserta didik secara langsung. Selain itu, video menambah dimensi baru dalam pembelajaran, peserta didik tidak hanya melihat gambar dari bahan ajar cetak dan suara dari program audio, tetapi

di dalam video, peserta didik bisa memperoleh keduanya, yaitu gambar bergerak beserta suara yang menyertainya.

Manfaat media video menurut Andi Prastowo (2012 :302), antara lain : a) memberikan pengalaman yang tak terduga kepada peserta didik, b) memperlihatkan secara nyata sesuatu yang pada awalnya tidak mungkin bisa dilihat, c) menganalisis perubahan dalam periode waktu tertentu, d) memberikan pengalaman kepada peserta didik untuk merasakan suatu keadaan tertentu, dan e) menampilkan presentasi studi kasus tentang kehidupan sebenarnya yang dapat memicu diskusi peserta didik.

Berdasarkan penjelasan di atas, keberadaan media video sangat tidak disangsikan lagi di dalam kelas. Dengan video siswa dapat menyaksikan suatu peristiwa yang tidak bisa disaksikan secara langsung, berbahaya, maupun peristiwa lampau yang tidak bisa dibawa langsung ke dalam kelas. Siswa dapat memutar kembali video tersebut sesuai kebutuhan dan keperluan mereka. Pembelajaran dengan media video menumbuhkan minat serta memotivasi siswa untuk selalu memperhatikan pelajaran.

2.3 Pembelajaran Ilmu Pengetahuan Alam (IPA)

(13)

pengetahuan yang berupa fakta, konsep, atau prinsip saja tetapi juga merupakan suatu proses penemuan (KTSP Standar Isi 2006).

Pembelajaran IPA di Sekolah Dasar diharapkan dapat memberi berbagai pengalaman pada siswa dengan cara melakukan berbagai penelusuran ilmiah yang relevan. Sehingga pembelajaran Ilmu Pengetahuan Alam (IPA) dapat menjadi wahana bagi siswa untuk mempelajari diri sendiri dan alam sekitar, serta prospek pengembangan lebih lanjut dalam menerapkannya di kehidupan sehari-hari. Proses pembelajarannya menekankan pada pemberian pengalaman langsung

untuk mengembangkan kompetensi agar siswa mampu menjelajahi dan memahami alam sekitar secara ilmiah (KTSP Standar Isi 2006).

Ilmu pengetahuan Alam diperlukan dalam kehidupan sehari-hari untuk memenuhi kebutuhan manusia melalui pemecahan masalah-masalah yang dapat diidentifikasikan. Sehingga dengan adanya pembelajaran Ilmu Pengetahuan Alam di SD, siswa dapat menumbuhkan kemampuan berpikir, bekerja, dan bersikap ilmiah serta mengkomunikasikannya sebagai aspek penting kecakapan hidup. Oleh karena itu pembelajaran Ilmu Pengetahuan Alam di SD menekankan pada pemberian pengalaman belajar secara langsung melalui penggunaan dan pengembangan ketrampilan proses dan sikap ilmiah (KTSP Standar Isi 2006). 2.3.1 Tujuan Pembelajaran Ilmu Pengetahuan Alam di SD

Pembelajaran IPA di sekolah selalu mengacu pada kurikulum IPA yang berlaku di Indonesia sejak tahun 2006 yaitu KTSP (Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan). Kurikulum ini diberlakukan agar tujuan pembelajaran IPA dapat tercapai. Di dalam kurikulum IPA yang telah berlaku di Indonesia, tujuan pembelajaran IPA telah diatur dalam Permendiknas RI nomor 22 Tahun 2006 yang meliputi : 1) Memperoleh keyakinan terhadap kebesaran Tuhan Yang Maha Esa berdasarkan keberadaan, keindahan, dan keteraturan alam ciptaan-Nya. 2)

(14)

sekitar, memecahkan masalah, dan membuat keputusan. 5) Meningkatkan kesadaran untuk berperan serta dalam memelihara, menjaga, dan melestarikan lingkungan alam. 6) Meningkatkan kesadaran untuk menghargai alam dan segala keteraturannya sebagai salah satu ciptaan Tuhan. 7) Memperoleh bekal pengetahuan, konsep dan keterampilan IPA sebagai dasar untuk melanjutkan pendidikan ke SMP/MTS.

2.3.2 Ruang Lingkup Pembelajaran Ilmu Pengetahuan Alam di SD

Untuk mencapai tujuan pembelajaran tersebut, perlu ada materi yang

dibahas. Materi itu dibatasi oleh ruang lingkupnya yang tertera dalam Permendiknas RI Nomor 22 tahun 2006 yang meliputi aspek- aspek sebagai berikut: 1) Makhluk hidup dan proses kehidupan, yaitu manusia, hewan, tumbuhan dan interaksinya dengan lingkungan, serta kesehatan. 2) Benda/materi, sifat-sifat dan kegunaannya meliputi benda cair, padat dan gas. 3) Energi dan perubahannya meliputi gaya, bunyi, panas, magnet, listrik, cahaya, dan pesawat sederhana. 4) Bumi dan alam semesta meliputi tanah, bumi, tata surya, dan benda-benda langit lainnya. 5) Sains, lingkungan, teknologi, dan masyarakat yang merupakan penerapan konsep sains dan saling keterkaitannya dengan lingkungan, teknologi dan masyarakat melalui pembuatan suatu karya teknologi sederhana termasuk merancang dan membuat.

2.3.3 Standar Kompetensi dan Kompetensi Dasar IPA

Ruang lingkup yang dipelajari dalam IPA dalam rangka untuk mencapai Standar untuk mengetahui tercapainya tujuan pembelajaran dapat ditetapkan melalui SK dan KD. BNSP telah melakukan penyusunan Standar Isi yang kemudian dituangkan dalam Peraturan Menteri Pendidikan Nasional (Permendiknas) nomor 22 tahun 2006 yang mencakup komponen:

1. Standar Kompetensi (SK), merupakan ukuran kemampuan minimal yang mencakup pengetahuan, keterampilan dan sikap yang harus dicapai, diketahui, dan mahir dilakukan oleh peserta didik pada setiap tingkatan dari suatu materi yang diajarkan. 2. Kompetensi Dasar (KD), merupakan penjabaran SK peserta

(15)

Pencapaian SK dan KD didasarkan pada pemberdayaan siswa untuk membangun kemampuan, bekerja ilmiah, dan pengetahuan sendiri yang difasilitasi oleh guru. Sebagai upaya meningkatkan hasil belajar siswa SDN 5 Sindurejo, maka akan dilakukan penelitian dengan menggunakan model Problem Based Learning pada mata pelajaran IPA tentang Sumber Daya Alam (SDA). Adapun perincian Standar Kompetensi dan Kompetensi Dasar yang digunakan sebagai materi dalam pelaksanaan proposal penelitian kelas 4 semester II sebagai berikut ini (KTSP 2006).

Tabel 2

Standar Kompetensi dan Kompetensi Dasar Mata pelajaran Ilmu Pengetahuan Alam (IPA)

11.1. Menjelaskan hubungan antara sumber daya alam dengan lingkungan.

11.2. Menjelaskan hubungan antara sumber daya alam dengan teknologi yang

2.4.1 Pengertian Hasil Belajar

Hasil belajar merupakan suatu indikator untuk mengukur keberhasilan siswa dalam proses pembelajaran yang telah dilaksanakan. Oleh karena itu, berhasil atau tidaknya suatu proses pembelajaran dapat dilihat melalui hasil belajar setelah dilakukan evaluasi. Pengertian hasil belajar itu sendiri menurut Nana Sudjana (2010:22) adalah kemampuan yang dimiliki siswa setelah siswa menerima pengalaman belajarnya. Pengalaman belajar ini akan menghasilkan kemampuan yang menurut Horwart Kinggsley dalam buku Nana Sudjana (2010:22) dibedakan menjadi tiga macam kemampuan (hasil belajar) yaitu: (1) Keterampilan dan kebiasaan, (2) Pengetahuan dan pengarahan, (3) Sikap dan

(16)

Sementara menurut Lindgren (Agus Suprijono, 2011:7) hasil pembelajaran meliputi kecakapan, informasi, pengertian, dan sikap. Hal yang sama juga dikemukakan oleh Gagne (Agus Suprijono, 2011:5-6) bahwa hasil belajar itu berupa informasi verbal, keterampilan intelektual, strategi kognitif, keterampilan motorik, dan sikap. Sedangkan Susanto (2013:5) hasil belajar adalah kemampuan siswa yang diperoleh setelah melalui kegiatan belajar. Karena belajar sendiri merupakan suatu proses dari seseorang yang berusaha untuk memperoleh suatu bentuk perubahan perubahan perilaku yang relatif menetap.

Menurut Dimyati dan Mudjiono (2009:17) hasil belajar merupakan “hal

yang dapat dipandang dari dua sisi yaitu sisi siswa dan dari sisi guru”. Dari sisi

siswa, hasil belajar merupakan tingkat perkembangan mental yang lebih baik bila dibandingkan pada saat sebelum belajar.Tingkat perkembangan mental tersebut terwujud pada jenis-jenis ranah kognitif, afektif, dan psikomotor. Sedangkan dari sisi guru, hasil belajar merupakan saat terselesaikannya bahan pelajaran..

Menurut Nasution (2006:36) hasil belajar adalah hasil dari suatu interaksi tindak belajar mengajar dan biasanya ditunjukkan dengan nilai tes yang diberikan guru. Pendapat lain tentang hasil belajar dikemukaakan oleh Briggs (Taruh, 2003: 17) yang menyatakan bahwa hasil belajar adalah keseluruhan kecakapan dan hasil yang dicapai melalui proses belajar mengajar di sekolah yang dinyatakan dengan angka-angka atau nilai-nilai berdasarkan tes hasil belajar. Hal ini senada dengan Rasyid (2008:9) yang berpendapat bahwa jika ditinjau dari segi proses pengukuranya, kemampuan seseorang dapat dinyatakan dengan angka.

Dari beberapa pendapat di atas, maka dapat disimpulkan bahwa hasil belajar adalah meningkatnya kemampuan pengetahuan, sikap, dan keterampilan yang diperoleh siswa dan terbentuknya konsep baru setelah siswa menerima perlakuan yang diberikan oleh guru sehingga dengan pengalaman belajarnya

siswa dapat mengkonstruksikan pengetahuan yang diperoleh untuk dapat digunakan dalam kehidupan sehari-hari.

2.4.2 Faktor yang Mempengaruhi Hasil Belajar

(17)

faktor yang datang dari luar diri siswa atau lingkungan. Faktor yang datang dari dalam diri siswa terutama kemampuan yang dimilikinya besar pengaruhnya terhadap hasil belajar yang dicapai.

Menurut Slameto (2010:54) faktor-faktor yang mempengaruhi belajar digolongkan menjadi 2 yaitu faktor intern dan faktor ekstern. Dimana faktor intern adalah faktor yang ada dalam diri individu yang sedang belajar dan faktor ekstern adalah faktor yang ada di luar individu. Dalam faktor intern terdapat faktor jasmaniah yang meliputi kesehatan, cacat tubuh, kemudian faktor psikologis yang

meliputi inteligensi, perhatian, minat, bakat, motif, kematangan, kesiapan dan yang terakhir adalah faktor kelelahan. Selain faktor intern juga terdapat faktor eksternal diantaranya adalah faktor keluarga, sekolah dan masyarakat. Faktor sekolah yang meliputi metode mengajar, kurikulum, relasi guru dengan siswa, relasi siswa dengan siswa, disiplin sekolah, alat pelajaran, waktu sekolah, standar pelajaran di atas ukuran, keadaan gedung, metode belajar, dan tugas rumah.

Menurut Baharudin dan Wahyuni (2010:19) faktor yang mempengaruhi hasil belajar dibedakan atas dua kategori yaitu faktor internal dan faktor eksternal. Faktor internal meliputi faktor fisiologis yang terdiri dari keadaan tonus jasmani, dan keadaan fungsi jasmani, serta faktor psikologis seperti motivasi, minat, sikap dan bakat. Sedangkan faktor eksternal dibagi menjadi dua golongan yaitu faktor lingkungan sosial berupa lingkungan sekolah, masyarakat, keluargga, dan faktor lingkungan non sosial berupa lingkungan alamiah dan faktor instrumental atau perangkat belajar. Bloom (Sudjana, 2011:40) menyatakan bahwa ada 3 variabel utama dalam teori belajar disekolah, yakni karakteristik individu, kualitas pengajaran dan hasil belajar. Hasil belajar siswa dipengaruhi oleh kemampuan siswa dan kualaitas pengajaran

Dari beberapa pendapat para ahli diatas dapat disimpulkan bahwa bahwa

(18)

berinteraksi dengan lingkungan (belajar) dan tingkah laku yang dimaksud merupakan perubahan ke arah positif.

2.4.3 Jenis-Jenis Hasil Belajar

Menurut Bloom (Sudjana, 2005) membagi hasil belajar dalam tiga ranah yaitu ranah kognitif, afektif dan psikomotorik. Dalam hubungannya dengan satuan pelajaran, ranah kognitif memegang tempat utama terutama dalam tujuan pengajaran di SD didukung ranah afektif yang menunjukan sikap siswa saat mengikuti kegiatan pembelajaran. Ranah kognitif berkenaan dengan hasil belajar

intelektual yang terdiri dari 6 aspek, yaitu: (a) Pengetahuan (knowledge), dalam jenjang ini siswa dituntut untuk dapat mengenali atau mengetahui adanya suatu konsep, fakta atau istilah tanpa harus mengerti atau dapat menggunakannya. (b) Pemahaman (comprehension), kemampuan ini menuntut siswa untuk memahami atau mengerti apa yang diajarkan, mengetahui apa yang sedang dikomunikasikan dan dapat memanfaatkan isinya tanpa harus menghubungkannya dengan hal-hal lain. (c) Penerapan (application), jenjang kognitif yang menuntut kesanggupan menggunakan ide-ide umum, tata cara ataupun metode-metode, prinsip-prinsip, serta teori-teori dalam situasi yang baru dan konkrit. (d) Analisis (analysis), tingkat kemampuan yang menuntut siswa untuk dapat menguraikan suatu situasi atau keadaan tertentu ke dalam unsur-unsur atau komponen pembentuknya. (e) Sintesis (synthesis), jenjang ini menuntut seseorang untuk dapat menghasilkan sesuatu yang baru dengan cara menggabungkan berbagai faktor dan hasil yang diperoleh dapat berupa tulisan, rencana atau mekanisme. (f) Evaluasi (evaluation), jenjang yang menuntut siswa untuk dapat menilai suatu situasi, keadaan, pernyataan, atau konsep berdasarkan suatu kriteria tertentu.

Menurut Mawardi (2010:5) ranah afektif diartikan sebagai internalisasi sikap yang menunjuk kearah pertumbuhan batiniah yang terjadi bila individu

(19)

kemampuan untuk menerima dan memperhatikan. (b) Menjawab (responding), maksudnya adalah siswa diharapkan tidak hanya peka pada suatu fenomena, tetapi juga bereaksi terhadap salah satu cara. Penekanannya pada kemauan siswa untuk menjawab secara sukarela, membaca tanpa ditugaskan. (c) Menilai (valuing), siswa diharapkan dapat menilai suatu objek, fenomena atau tingkah laku tertentu dengan cukup konsisten. (d) Organisasi (organisation), tingkat ini berhubungan dengan menyatukan nilai-nilai yang berbeda, menyelesaikan masalah, membentuk suatu sistem nilai.

Salah satu ranah afektif adalah sikap keaktifan. Menurut Sudjana (2004:61) sikap keaktifan siswa dapat dilihat dari (a) turut serta dalam melaksanakan tugas belajarnya, (b) terlibat dalam pemecahan masalah, (c) bertanya kepada siswa lain atau guru apabila tidak memahami persoalan yang dihadapinya, (d) berusaha mencari berbagai informasi yang diperlukan untuk pemecahan masalah, (e) melaksanakan diskusi kelompok sesuai petunjuk guru, (f) menilai kemampuan dirinya dan hasil-hasil yang diperoleh, dan (g) melatih diri dalam memecahkan soal atau masalah yang sejenis.

Bertanya adalah cara untuk mengungkapkan rasa keingintahuan akan jawaban yang tidak atau belum diketahui. Pertanyaan itu sendiri menurut Brown (Nurajijah, 2012) menyatakan, berdasarkan jenjang kognitif taksonomi Bloom pertanyaan dibagi menjadi dua jenis yaitu pertanyaan kognitif tingkat rendah dan pertanyaan kognitif tingkat tinggi. Keberanian bertanya siswa diukur dari frekuensi atau banyaknya siswa yang bertanya pada setiap siklus.

Sebuah diskusi yang baik harus memperhatikan beberapa hal. Dipojojo (1984:67) mengemukakan beberapa ketentuan diskusi yang baik, yakni: (1) sikap tiap anggota, dalam sebuah diskusi setiap anggota bebas mengemukakan pendapat namun juga harus menghargai pendapat anggota lain; (2) diskusi harus dilakukan

(20)

peserta saling bertanggung jawab dan saling menghormati; (e) pemimpin diskusi hendaknya orang yang berwibawa dan dihormati peserta diskusi.

Untuk mengevaluasi kemampuan diskusi siswa diperlukan format penilaian diskusi. Berikut ini aspek penilaian diskusi menurut Arsyad (2005: 87-87) yang terdiri dari aspek kebahasaan dan nonkebahasaan yang telah dimodifikasi. Adapun aspek yang dinilai dalam diskusi meliputi: a) keberanian/ semangat, b) kelancaran penggunaan bahasa, c) kejelasan ucapan, d) penguasaan masalah, dan e) aspek pendapat.

2.4.4 Cara Mengukur Hasil Belajar

Pengukuran dapat diartikan sebagai pemberian angka kepada suatu atribut atau karakterisitik yang didasarkan pada aturan atau formulasi yang jelas menurut Zaenul (Jihad dan Haris, 2013:54). Menurut Arikunto dan Jabar (2009:8) menyatakan pengertian pengukuran (measurement) sebagai kegiatan membandingkan suatu hal dengan satuan ukuran tertentu sehingga sifatnya menjadi kuantitatif. Jadi pengukuran memiliki arti suatu kegiatan yang dilakukan dengan cara membandingkan sesuatu dengan satuan ukuran tertentu sehingga data yang dihasilkan adalah data kuantitatif. Untuk menetapkan angka dalam pengukuran, perlu sebuah alat ukur yang disebut dengan instrumen. Dalam dunia pendidikan instrumen yang sering digunakan untuk mengukur kemampuan siswa seperti tes, lembar observasi, panduan wawancara, skala sikap, dan angket.

Dari pengertian pengukuran yang telah dipaparkan untuk mengukur hasil belajar peserta didik digunakanlah alat penilaian hasil belajar. Menurut Sudjana (2011:113) agar guru mengetahui dan terampil dalam mengadakan penilaian maka asesmen pembelajaran dapat diukur melalui 2 tehnik yaitu melalui tes dan nontes. Tes adalah prosedur pengukuran yang sengaja dirancang secara sistematis untuk mengukur indikator tertentu dengan pemberian angka yang jelas dan

(21)

sendiri, tes ini belum distandarisasi, sebab dibuat oleh guru untuk tujuan tertentu dan untuk siswa tertentu pula. Meskipun demikian, tes buatan guru harus mempertimbangkan faktor validitas dan faktor reliabiltasnya. Tes ini terdiri dari tiga bentuk yakni a) tes lisan. b) tes tertulis dan c) tes tindakan. Jenis tes tertulis adalah jenis tes yang paling sering digunakan. Tes tertulis adalah tes yang soalnya harus dijawab peserta didik dengan memberikan jawaban tertulis. Salah satu jenis tes tertulis adalah tes objektif pilihan ganda.

Teknik yang kedua yaitu non tes, yang digunakan untuk menilai aspek

tingkah laku, seperti menilai aspek sikap keberanian bertanya siswa ketika kegiatan pembelajaran berlangsung dan sikap siswa ketika melakukan diskusi. Ada berbagai macam alat evaluasi jenis non-tes salah satunya ialah observasi. Obeservasi yakni pengamatan kepada tingkah laku pada suatu situasi tertentu. Observasi bisa dalam situasi yang sebenarnya atau observasi langsung dan bisa pula dalam situasi buatan atau observasi tidak langsung.

Ketercapaian tujuan pembelajaran dalam penelitian ini akan diketahui melalui teknik atau cara pengukuran yang sistematis melalui tes dan observasi. Alat yang dipergunakan untuk mengukur ketercapaian tujuan pembelajaran dinamakan dengan instrumen. Instrumen sendiri terdiri atas instrumen butir-butir soal apabila cara pengukuran dilakukan dengan menggunakan tes, tetapi apabila pengukuran dilakukan dengan cara mengamati atau mengobservasi dapat menggunakan instrumen lembar pengamatan atau skala sikap yang berisi butir-butir pernyataan yang setiap peenyataan memiliki nilai dari ujung yang negatif sampai kepada ujung yang positif, sehingga penilai tinggal membubuhi tanda centang (√) pada skala tersebut. Instrumen sebagai alat yang digunakan untuk mengukur ketercapaian tujuan pembelajaran maupun kompetensi yang dimiliki peserta didik haruslah valid, maksudnya adalah instrumen tersebut dapat

mengukur apa yang seharusnya diukur.

(22)

proses dan hasil belajar yang hasilnya digunakan sebagai dasar untuk menentukan perlakuan selanjutnya. Hal ini berarti penilaian tidak hanya untuk mencapai target sesaat atau aspek saja, melainkan menyeluruh dan mencakup aspek kognitif, afektif, dan psikomotor.

Dengan demikian, inti dari penilaian adalah proses memberikan atau menentukkan terhadap hasil belajar yang berupa tes dan non tes berdasarkan suatu kriteria atau satuan ukuran tertentu.

2.5 Hasil Penelitian Relevan

Hasil penelitian yang relevan atau hampir sama dengan penelitian ini

adalah “Peningkatan Hasil Belajar IPA melalui Metode Problem Based Learning (PBL) Materi Gaya pada Siswa Kelas 4 SD Negeri Begalon 1 No 240 Surakarta Tahun Pelajaran 2011/2012” oleh Annisa Septiana Mulyasari pada tahun 2011. Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan oleh peneliti diperoleh kesimpulan bahwa penerapan pembelajaran Problem Based Learning (PBL) dapat meningkatkan hasil belajar IPA siswa kelas 4 SD N Begalon 1 Surakarta Tahun Pelajaran 2011/2012. Hal ini terbukti dari pada kondisi awal sebelum dilaksanakan tindakan nilai rata-rata siswa 28,89%, siklus I nilai rata-rata kelas 67,33% dengan persentase ketuntasan sebesar 53,33%, kemudian pada siklus II nilai rata-rata kelas meningkat lagi menjadi 73,33% dengan persentase ketuntasan sebesar 82,22%.

Penelitian yang sama juga dilakukan oleh Tomi Iswandi pada tahun 2013 yang berjudul “Penerapan Model Problem Based Learning (PBL) Untuk Meningkatkan Aktivitas Pembelajaran dan Hasil Belajar Siswa pada Pembelajaran

IPA Kelas VB Sekolah Dasar Negeri 03 Kota Bengkulu”. Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan oleh peneliti diperoleh kesimpulan bahwa

penerapan pembelajaran Problem Based Learning (PBL) dapat meningkatkan kualitas proses pembelajaran dan hasil belajar siswa pada mata pelajaran IPA di kelas 5 SDN 03 Kota Bengkulu. Hal ini terbukti dengan diperoleh nilai rata-rata

observasi aktivitas guru siklus I 29,25 dengan kriteria “cukup” dan meningkat

(23)

siswa pada siklus I diperoleh nilai rata-rata sebesar 29,5 dengan kriteria cukup dan meningkat menjadi 2,53 pada siklus II. Hasil analisis data penilaian psikomotorik pada siklus I rata-rata 2,36 dan meningkat menjadi 2,61 pada siklus II. Hasil analisis ketuntasan belajar secara klasikal pada siklus I sebesar 58,8% dengan nilai rata 67,07 dan meningkat pada siklus II menjadi 85,29 dengan nilai rata-rata sebesar 78,82.

Berdasarkan hasil penelitian yang telah diuraikan, penggunaan model

Problem Based Learning dapat meningkatkan hasil belajar siswa secara berkala karena dengan menggunakan model Problem Based Learning siswa tampak lebih aktif dan termotivasi dalam mengikuti pembelajaran karena konsep-konsep yang disampaikan realistik dengan kehidupan siswa. Hal ini menunjukkan adanya perubahan pada hasil belajar siswa dan tingkat ketuntasan belajar siswa.

Persamaan penelitian yang dilakukan oleh Annisa Septiana Mulyasari dan Tomi Iswandi dengan penelitian yang dilakukan peneliti adalah sama-sama menggunakan model Problem Based Learning untuk meningkatkan hasil belajar IPA. Perbedaannya terletak pada pengukuran tingkat keberhasilan penelitian yang dilakukan, pemanfaatan media dalam proses pembelajaran, dan hasil belajar yang ditingkatkan. Penelitian yang dilakuka oleh Annisa Septiana Mulyasari dan Tomi Iswandi cara pengukuran tingkat keberhasilannya menggunakan perbandingan perolehan skor rata-rata antar siklus, sedangkan dalam penelitian ini pengukuran tingkat keberhasilannya menggunakan perbandingan persentase ketuntasan hasil belajar antar siklus. Dalam penelitian yang dilakukan sebelumnya belum memanfaatkan media dalam proses pembelajaran sedangkan dalam penelitian ini sudah memanfaatkan media berupa video. Jika dalam penelitian Annisa Septiana Mulyasari hasil belajar yang ditingkatkan hanya aspek kognitif, maka dalam penelitian ini hasil belajar yang ditingkatkan adalah aspek kognitif dan afektif,

(24)

2.6 Kerangka Pikir

Pembelajaran yang berlangsug selama ini masih menggunakan satu sumber buku sebagai pegangan materi, penggunaan media masih kurang, siswa kurang mampu menyampaikan pendatnya, siswa tidak terbiasa berpikir kritis serta siswa masih kesulitan berinteraksi dengan siswa lain. Padahal dalam karakteristik IPA itu sendiri, pembelajaran IPA seharusnya tidak hanya berupa penguasaan pengetahuan seperti fakta, konsep, atau prinsip saja, tetapi juga merupakan suatu proses penemuan dengan berbagai penelusuran ilmiah yang relevan yang

dilakukan oleh siswa sendiri. Kondisi ini berimbas pada hasil belajar siswa yang memperoleh hasil belajar dengan skor di bawah Kriteria Ketuntasan Minimal yaitu 70.

Suatu pembelajaran akan efektif bila siswa aktif berpartisipasi atau melibatkan diri secara langsung dalam proses pembelajaran. Sehingga siswa memperoleh pengetahuannya sendiri dengan terbiasa untuk selalu ingin tahu, berpikir kritis, kreatif, dan analitis terhadap materi yang sedang dipelajari. Dari beberapa masalah yang telah diuraikan di atas, maka perlu kiranya diterapkan sebuah alternatif sebagai solusi pemecahan masalah yang selama ini sering terjadi dalam kegiatan pembelajaran.

Alternatif pemecahan masalah yang sering terjadi ini dapat diatasi melalui pelaksanaan penelitian tindakan kelas. Dengan adanya sebuah penelitian, maka akan membantu para guru khususnya dalam mencari solusi yang tepat untuk meningkatkan hasil belajar siswa melalui penggunaan pembelajaran yang inovatif. Hal ini dimaksudkan agar siswa dapat merasa tertantang dan tertarik mengikuti kegiatan belajar mengajar sehingga siswa dapat lebih memahami pembelajaran yang diberikan karena siswa mengalami atau menemukan sendiri pengetahuan yang mereka pelajari.

(25)

adalah jawaban mengenai fakta-fakta maka model dengan langkah-langkah tersebut dikatakan sangat erat dengan metode ilmiah. Model Problem Based Learning adalah model pembelajaran yang menghadapkan siswa pada masalah nyata (real world) untuk memulai pembelajaran dan merupakan salah satu model pembelajaran inovatif yang dapat memberikan kondisi belajar aktif kepada siswa sehingga siswa dapat belajar untuk berpikir kritis, kreatif, dan analitis dalam mencari solusi pemecahannya secara berkelompok. Penggunaan media video berarti materi pembelajaran disertai dengan video sebagai alat bantu penyampaian

materi pembelajaran atau masalah yang akan dipecahkan. Pembelajaran yang menggunakan kegiatan seperti ini diharapkan seluruh siswa memperoleh pengalaman belajar yang lebih kongkrit khusunya dalam mata pelajaran IPA sehingga pemahaman siswa semakin meningkat. Penerapan model Problem Based Learning berbantuan video di pembelajaran IPA SD diharapkan proses pembelajaran dilakukan secara sistematik.

Tahap-tahap pembelajaran yang diantaranya meliputi : orientasi tentang masalah, mengorganisasikan siswa untuk mandiri, membantu investigasi mandiri dan kelompok, mengembangkan dan mempresentasikan hasil, menganalisis dan mengevaluasi proses pemecahan masalah. Jadi, model Problem Based Learning ini sesuai dengan karakteristik IPA karena sama-sama bertujuan agar para siswa terbiasa melakukan sebuah penemuan secara ilmiah. Dari kebiasaan menemukan inilah, yang pada akhirnya membuat rasa keingintahuan siswa menjadi semakin meningkat, dan tingkat kemampuan berpikir kritis siswa juga menjadi semakin terasah, sehingga mengakibatkan siswa menjadi semakin terampil dan tidak merasa kesulitan dalam menghadapi atau memecahkan suatu permasalahan baik dalam bentuk tes formatif sebagai tahap awal ataupun permasalahan yang lebih kompleks seperti permasalahan yang sering terjadi dikehidupan sehari-hari siswa.

(26)

melakukan sebuah penelitian. Adapun skema itu terdapat pada gambar 1 berikut ini.

Gambar 1. Kerangka Berpikir Peningkatan Hasil Belajar IPA melalui

Problem Based Learning Berbantuan Video

Tindakan 70 hal ini terbukti hanya 33% siswa yang tuntas dan 67% Leraning berbantuan video, PBM dengan proses yaitu:

- Keberanian bertanya siswa dalam proses pembelajaran meningkat >80%

- Kemampuan berdiskusi siswa meningkat >80%

- Nilai ketuntasan hasil belajar IPA siswa secara klasikal ≥80%

Hasil

(27)

2.7 Hipotesis Penelitian

Berdasarkan landasan teori dan kerangka pikir yang telah diuraikan, maka dapat dirumuskan hipotesis penelitian tindakan kelas sebagai berikut:

Gambar

Tabel 2 Standar Kompetensi dan Kompetensi Dasar Mata pelajaran
Gambar 1.   Kerangka Berpikir Peningkatan Hasil Belajar IPA melalui

Referensi

Dokumen terkait

Adapun indikator yang digunakan untuk mengukur variabel tersebut adalah : Melakukan pembelian teratur merupakan persepsi pelanggan AHA sebagai responden yang selalu

Pada percobaan yang dilakukan oleh kelompok 2, dapat diketahui bahwa presentase berat kuning telur burung puyuh dari berat keseluruhan adalah sebesar 38,145% dan presentase berat

Pembelajaran matematika yang diharapkan dalam praktek pembelajaran di kelas adalah (1) pembelajaran berpusat pada aktivitas siswa, (2) siswa diberi kebebasan berpikir

No. a) Klaster pertama terdiri dari Kabupaten Lampung Barat, Tanggamus, Way Kanan, Pringsewu, dan Pesisir Barat. b) Klaster kedua beranggotakan Kabupaten Lampung Selatan,

Maksud dari percobaan ini adalah untuk menentukan hubungan antara kadar air dan kepadatan (berat volume kering) tanah bila dipadatkan dengan alat pemadatan tertentu

To measure the determinants of banking efficiency in ASEAN 5 countries to face ABIF,.. this research conducted ordinal

Bahasan: Reformasi ketatanegaraan yang dilakukan oleh pemerintah pada lembaga tertinggi negara bertujuan menegakkan kembali demokrasi yang bertumpu pada rakyat, yaitu rakyat tidak

Peningkatan Hb pada WUS belum menikah dalam penelitian ini juga lebih rendah dibandingkan dengan hasil peneliti lain pada WUS yang juga belum menikah namun tidak