BAB I
PENDAHULUAN
I.1 Latar Belakang Masalah
Pesatnya perkembangan teknologi, meningkatkan arus informasi dan
telekomunikasi serta meningkatnya pengetahuan dan tingkat kesadaran
masyarakat akan pentingnya sebuah informasi. Hal ini memungkinkan manusia
diterpa oleh berbagai informasi setiap saat. Perkembangan yang sangat pesat ini
juga merambah pada perkembangan media massa. Oleh karena adanya
perkembangan media massa tersebut maka banyak sekali masyarakat yang
menggunakan media massa sebagai media penyampai pesan atau informasi ke
masyarakat luas.
Media massa sudah menjadi bagian yang tak terpisahkan dari komunikasi
manusia. Media massa kini telah menjadi salah satu alat yang penting sebagai
media penyampai pesan atau informasi kepada masyarakat. Pada hakikatnya,
media adalah perpanjangan lidah dan tangan yang berjasa meningkatkan kapasitas
manusia untuk mengembangkan struktur sosialnya (Rivers, 2008: 128). Media
massa melibatkan jumlah penerima pesan dalam jumlah banyak, serta tersebar
dalam area geografis yang luas, namun mempunyai perhatian minat dan isu yang
sama. Karena itu, agar pesan yang disampaikan dapat diterima serentak pada satu
waktu yang sama, maka digunakan media elektronik seperti televisi dan radio
serta media cetak seperti surat kabar dan majalah.
Pada media elektronik, televisi merupakan media yang paling dominan
visual, yaitu selain suara dapat didengar juga menampilkan gambar dalam waktu
yang bersamaan. Televisi dikatakan sebagai fenomena aktual masyarakat modern,
dalam arti televisi dipersepsikan sebagai karakter khas masyarakat “modern” yang
sering kali mengedepankan logika dan rasionalitas. Berkat kehadiran televisi,
jarak kultural peradaban dapat teratasi. Masyarakat dari belahan manapun, akan
segera mengetahui kondisi aktual ke tempat yang berbeda (Sucipto, 1998: 28).
Televisi cenderung menjadi hiburan, berita dan layanan. Sehingga acap kali media
televisi ini disebut media keluarga.
Seperti yang telah diuraikan diatas bahwa televisi cenderung menjadi
hiburan. Ini dikarenakan televisi menyajikan program-program hiburan seperti
sinetron, film, kartun, musik, serta iklan. Iklan merupakan salah satu unsur
penting dalam televisi, ini dikarenakan iklan adalah sarana komunikasi. Iklan
merupakan sarana untuk mempromosikan, memberikan informasi dan
mengingatkan atau membangun persuasi tentang keberadaan suatu produk, jasa,
ide, citra dan bahkan orang. Iklan adalah segala bentuk penyajian informasi dan
promosi secara tidak langsung yang dilakukan oleh sponsor untuk menawarkan
ide, barang, atau jasa (Keegan (1995) dalam Mahfoedz, 2010: 139). Secara umum,
Periklanan diartikan sebagai kegiatan komunikasi yang dilakukan pembuat
barang, atau pemasok jasa dengan masyarakat banyak atau sekelompok orang
tertentu yang bertujuan untuk menunjang upaya pemasaran. Komunikasi yang
dilakukan dengan menggunakan gambar, suara atau kata-kata, gerak atau bau
yang disalurkan melalui media atau secara langsung.
Mahmoed Mahfoedz (2010:50) menyatakan bahwa salah satu kekuatan
lebih tinggi daripada iklan yang disampaikan melalui media lain. Dalam beberapa
segi, kredibilitas dan status produk dapat dinilai penting karena ditayangkan
melalui televisi. Daya jangkauan terhadap audiens dan sasaran yang luas
menjadikan iklan televisi dipandang efisien. Selain itu, iklan di televisi memiliki
kelebihan unik dibandingkan dengan iklan di media cetak. Kelebihan iklan
televisi memungkinkan diterimanya tiga kekuatan generator makna sekaligus,
yakni narasi, suara dan visual. Ketiganya membentuk sebuah sistem pertandaan
yang bekerja untuk mempengaruhi penontonnya. Dari ketiganya, iklan televisi
bekerja efektif karena menghadirkan pesan dalam bentuk verbal dan nonverbal
sekaligus. Sebagai sistem pertandaan, maka iklan sekaligus menjadi sebuah
bangunan representasi. Iklan tidak semata-mata merefleksikan realitas tentang
manfaat produk yang ditawarkan, namun seringkali menjadi representasi gagasan
yang terpendam di balik penciptanya.
Di Indonesia, istilah iklan sering disebut dengan istilah advertensi dan
reklame. Kedua istilah tersebut diambil dari bahasa Belanda yaitu “advertensi”
dan bahasa Prancis yaitu “reclame”. Namun pada tahun 1951, istilah periklanan
pertama kali diperkenalkan oleh seorang tokoh pers Indonesia, Soedarjo
Tjokrosisworo, untuk menggantikan istilah reklame atau advertensi yang ke
belanda-belandaan.
Awal permunculan iklan di Indonesia lebih banyak berupa iklan pribadi
daripada iklan perusahaan. Perkembangan iklan di Indonesia mengikuti model
sejarah perkembangan iklan pada umumnya, yaitu seirama dengan perkembangan
media massa. Awal masyarakat Indonesia mengenal iklan modern dari surat
iklan radio, dan kemudian di saat masyarakat mengenal televisi lahir iklan televisi
(Bungin, 2011: 77)
Tahun 1970-an juga ditandai dengan tampilan selebritis Indonesia sebagai
bintang iklan. Sabun Lux produksi Unilever merupakan trendsetter di bidang itu.
Sejak tahun 1950-an, Lux sudah memakai slogan ”dipakai oleh 9 dari 10
bintang-bintang film”. Lux diidentifikasikan dengan bintang-bintang-bintang-bintang film rupawan
berkelas dunia, antara lain: Sophia Loren. Beberapa bintang film papan atas pun
silih berganti tampil sebagai ”The Lux Lady”. Berbagai merk internasional pun
mulai bermunculan di Indonesia dan berupaya meraup pangsa pasar
sebesar-sebesarnya. Coca cola, Toyota, Mitsubishi, Fuji Film, American Express, Citibank
adalah sebagian dari nama-nama besar yang mulai membanjiri pasar Indonesia
Secara umum, iklan dibagi atas dua jenis yaitu iklan komersial dan iklan
tidak komersial. Iklan komersial merupakan iklan yang bertujuan untuk
mendapatkan keuntungan, sedangkan iklan tidak komersial merupakan iklan yang
bertujuan untuk tidak mendapatkan keuntungan, seperti iklan layanan masyarakat.
Periklanan sebagai sarana penunjang aktivitas pemasaran, sangat tepat
dilakukan agar tujuan-tujuan yang diharapkan dapat tercapai. Dengan
berkomunikasi melalui iklan, masyarakat akan mengenal produk-produk yang
dipromosikan dan akan menumbuhkan kesadaran masyarakat terhadap produk
tersebut. Lebih lanjut, dengan dipromosikannya produk melalui iklan khalayak
akan mengetahui produk tersebut, manfaat, kegunaan, cara penggunaan bahkan
tempat penjualan produk tersebut. Selain itu, iklan juga akan menguatkan ingatan
nonverbal membuat pesan-pesannya sepersuasif mungkin, iklan sudah masuk
dalam kategori pengintegrasi dalam tatanan signifikasi zaman modern yang
dirancang untuk mempengaruhi sikap dan perilaku gaya hidup dengan secara
sembunyi-sembunyi menganjurkan kepada bagaimana kita bisa memuaskan
dorongan dan aspirasi terdalam melalui konsumsi (Danesi, 2010: 221).
Salah satu bentuk iklan yang paling menarik di televisi saat ini adalah
iklan yang menggambarkan atau merepresentasikan tentang perempuan. Terdapat
banyak nilai yang ditanam oleh pengiklan produk melalui tayangan iklan tersebut.
Nilai tentang tubuh ideal misalnya, sering dijumpai pada iklan kosmetik,
makanan, minuman, alat kesehatan, ataupun iklan suplemen dan obat kesehatan
lainnya.
Iklan-iklan tersebut banyak memasukkan konsep tentang performa tubuh
ideal. Nilai-nilai tentang tubuh ideal ataupun kecantikan versi iklan televisi
merupakan citra bagi khalayak yang dipaksakan menjadi konsep bagi masyarakat
tersebut tanpa menyadari bagaimana sebenarnya konsep tersebut. Maka menjadi
lumrah jika dalam iklan masa kini, citra utama perempuan cantik senantiasa
bertubuh langsing, berkulit putih, berambut lurus dan sebagainya. Padahal, tidak
semua perempuan terlahir berkulit putih, setidaknya tidak semua perempuan
berbakat putih, berpostur langsing, berambut lurus dan sebagainya. Tampilnya
perempuan dalam iklan, merupakan elemen yang sangat menjual. Bagi produk
pria, kehadiran perempuan merupakan salah satu syarat penting bagi
kemapanannya. Sementara bila target-market nya perempuan, kehadiran
WRP versi Diet To Go merupakan salah satu iklan yang
merepresentasikan tentang tubuh ideal perempuan. Iklan WRP versi Diet To Go
hadir di tengah masyarakat dengan slogannya “Sure You Can Do”. Melalui iklan,
pemirsa televisi dapat lebih mengenal WRP versi Diet To Go sebagai sebuah
produk yang dapat membantu para perempuan untuk membentuk tubuh ideal
seperti yang diharapkan perempuan masa kini.
Visualisasi dalam iklan tersebut nampak jelas yaitu tiga perempuan yang
memiliki tubuh ideal. Perempuan pertama sedang melakukan olah raga,
perempuan kedua berjalan sambil meminum WRP Diet To Go, dan perempuan
ketiga sedang berada dalam lokasi syuting sambil meminum WRP Diet To Go.
Dalam iklan tersebut digambarkan bahwa ketiga perempuan tersebut merupakan
sahabat dekat yang berbeda profesi dan berbeda karakter. Ini terlihat dari tampilan
ketiga wanita dalam iklan tersebut. Tayangan iklan WRP Diet To Go juga
menayangkan bahwa ketiga perempuan tersebut menolak makanan yang
ditawarkan. Ini merupakan penjelasan bahwa mereka mempertahankan tubuh
mereka dengan berolah raga, tidak memilih sembarangan makanan dan memilih
WRP Diet To Go sebagai makanan pengganti. Pada akhir tayangan, digambarkan
dua orang pria yang bertabrakan satu sama lain karena terpukau dengan ketiga
perempuan tersebut. Ini menjelaskan bahwa tubuh ideal yang dimiliki oleh ketiga
perempuan tersebut sangat disukai oleh para lawan jenisnya.
Dalam iklan WRP Diet To Go jelas digambarkan bahwa konsep
perempuan yaitu bertubuh langsing, cantik, wanita karir dan mempunyai peran
konsep perempuan secara sempurna, yaitu konsep yang diinginkan oleh
perempuan masa kini.
Iklan tidak selamanya bercerita tentang bagaimana produk bisa segera
dibeli konsumen. Namun, beberapa di antaranya juga ingin menyampaikan citra
kuat mengenai apa dan bagaimana kiprah produk dan menceritakan makna dalam
iklan tersebut. Setelah menyaksikan iklan ini, peneliti merasa tertarik untuk dapat
menganalisis representasi citra perempuan dalam iklan WRP Diet To Go.
I.2 Perumusan Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang di atas, maka perumusan masalah dalam
penelitian ini adalah: “Bagaimanakah representasi citra perempuan yang terdapat
dalam iklan WRP versi Diet to Go di media televisi?”
I.3 Pembatasan Masalah
Untuk menghindari ruang lingkup penelitian terlalu luas sehingga dapat
mengaburkan penelitian, maka peneliti membatasi masalah yang akan diteliti.
Adapun pembatasan masalah yang diteliti adalah:
1. Penelitian ini menggunakan metode penelitian kualitatif.
2. Perangkat analisis yang digunakan adalah semiologi Roland Barthes
signifikasi dua tahap (two order of significations); denotasi, konotasi dan
mitologi.
I.4 Tujuan Penelitian
Adapun yang menjadi tujuan penelitian ini adalah
1. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui sistem signifikasi makna yaitu
makna denotatif dan makna konotatif serta mitologi dalam iklan WRP
versi Diet To Go.
2. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui representasi citra perempuan
dalam iklan WRP versi Diet To Go di media televisi.
I.5 Manfaat Penelitian
Adapun yang menjadi manfaat penelitian ini adalah:
1. Secara akademis, penelitian ini diharapkan dapat menambah pengetahuan
dan memperkaya bahan penelitian dan sumber bacaan bagi mahasiswa
FISIP USU khususnya Departemen Ilmu Komunikasi.
2. Secara teoritis, penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi di
bidang Ilmu Komunikasi, khususnya tentang analisis semiotika dalam
iklan.
3. Secara praktis, penelitian ini diharapkan dapat menambah pengetahuan
bagi pembaca mengenai representasi citra perempuan dalam iklan.
I.6 Tinjauan Pustaka
Sebelum melakukan penelitian, peneliti perlu untuk menyusun suatu
tinjauan pustaka yang berfungsi untuk menjelaskan, menjabarkan, dan
memberikan pandangan terhadap suatu penelitian. Tinjauan pustaka yang
I.6.1 Komunikasi Massa
Konsep komunikasi massa pada satu sisi mengandung pengertian suatu
proses di mana organisasi media memproduksi dan menyebarkan pesan kepada
publik secara luas dan pada sisi lain merupakan proses di mana pesan tersebut
dicari, digunakan dan dikonsumsi oleh audiens (Rohim, 2009:160). Komunikasi
massa merupakan salah satu proses komunikasi yang berlangsung pada peringkat
masyarakat luas yang identifikasinya ditentukan oleh ciri khas institusionalnya
(McQuail, 1996: 7). Komunikasi massa diartikan sebagai jenis komunikasi yang
ditujukan kepada sejumlah khalayak yang tersebar, heterogen dan anonim melalui
media cetak atau elektronik sehingga pesan yang sama dapat diterima secara
serentak dan sesaat (Rakhmat, 2005: 189).
Dari sekian banyak definisi mengenai komunikasi massa, ada benang
merah kesamaan definisi satu sama lain. Pada dasarnya komunikasi massa adalah
komunikasi melalui media massa (media cetak dan elektronik) (Nurudin, 2004: 2).
I.6.2 Semiotika
Semiotika adalah suatu ilmu atau metode analisis untuk mengkaji tanda.
Tanda-tanda adalah perangkat yang kita pakai dalam upaya berusaha mencari
jalan di dunia ini, di tengah-tengah manusia dan bersama-sama manusia.
Semiotika, pada dasarnya hendak mempelajari bagaimana kemanusiaan
(humanity) memaknai hal-hal (things) (Barthes dan Kurniawan dalam Sobur,
menjelaskan esensi, ciri-ciri dan bentuk suatu tanda, serta proses signifikasi yang
menyertainya.
Menurut Morissan, semiotika merupakan studi mengenai tanda (signs) dan
simbol yang merupakan tradisi penting dalam pemikiran tradisi komunikasi.
Tradisi semiotika mencakup teori utama mengenai bagaimana tanda mewakili
objek, ide, situasi, keadaan, perasaan dan sebagainya yang berada di luar diri
(Morissan, 2009: 27). Segers mendefinisikan semiotika sebagai suatu disiplin
yang meneliti semua bentuk komunikasi antar makna yang didasarkan pada sistem
tanda (Sugihastuti, 2000: 26).
Di dalam semiotika, ada dua aliran utama yaitu semiotika yang
menggunakan konsep Pierce dan yang menggunakan konsep Saussure. Dalam
konsep Pierce, Pierce membagi tanda atas icon (ikon), index (indeks) dan symbol
(simbol). Ikon adalah tanda yang hubungan antara penanda dan petandanya
bersifat bersamaan bentuk alamiah atau bersifat kemiripan, indeks adalah tanda
yang menunjukkan adanya hubungan alamiah antara tanda dan petanda yang
bersifat kausal, sementara simbol adalah tanda yang menunjukkan hubungan
alamiah antara penanda dengan petandanya dan hubungan diantaranya bersifat
arbitrer atau semena (Sobur, 2004: 41). Pierce mendefinisikan semiotika sebagai
suatu hubungan antara tanda, objek dan makna (Morissan, 2009: 28). Sedangkan
Saussure memasukkan semiotika sebagai hal-hal yang berkaitan dengan
kehidupan langsung. Saussure mengemukakan bahwa seseorang menggunakan
tanda untuk mengirim makna tentang objek dan orang lain akan
menginterpretasikan tanda tersebut. Selain itu, ada konsep lain tentang semiotika
pemaknaan tanda atas signifikasi dua tahap (two order signification), yaitu
denotatif dan konotatif. Semiotik mengacu pada hubungan antara dua istilah yaitu
penanda (significant) dan petanda (signifie); petanda adalah konsep sedangkan
penanda adalah imaji bunyi (yang bersifat psikis) (Sugihastuti. 2000:28).
Doede Nauta membedakan tiga tingkatan hubungan semiotika (Sobur,
2004: 19), yaitu:
1. Semantik, yaitu bagaimana tanda berhubungan dengan referennya, atau
apa yang diwakili suatu tanda.
2. Sintaktik, yaitu mengacu pada cara tanda disusun atau diorganisir dengan
tanda lainnya di dalam sistem.
3. Pragmatik, yaitu mengacu pada efek atau perilaku yang ditunjukkan oleh
tanda.
I.6.3 Semiotika Iklan
Media komunikasi yang paling popular dan paling digemari saat ini adalah
televisi. Dalam dunia pertelevisian, sistem teknologi telah menguasai jalan pikiran
masyarakat dengan apa yang diistilahkan dengan theater of mind. Sebagaimana
gambaran realitas dalam iklan televisi (Bungin, 2011: 119). Televisi merupakan
media kontemporer yang paling efektif dalam mengirimkan pencitraan produk.
Iklan televisi memberikan pemaknaan bagi para pemirsanya. Giacardi
berpendapat bahwa iklan adalah acuan artinya iklan adalah diskursus tentang
realitas yang menggambarkan, memproyeksikan dan menstimulasi suatu dunia
realitas namun realitas iklan sendiri selalu berbeda dari realitas nyata yang ada di
masyarakat (Wibowo, 2011: 128).
Untuk mengkaji iklan dalam perspektif semiotika, kita bisa mengkajinya
lewat sistem tanda dalam iklan. Iklan menggunakan sistem tanda yang terdiri atas
lambang baik yang verbal maupun yang berupa ikon. Pada dasarnya lambang atau
simbol yang digunakan dalam iklan terdiri atas dua jenis, yaitu verbal dan
nonverbal. Lambang verbal adalah bahasa yang kita kenal, lambang nonverbal
adalah bentuk dan warna yang disajikan dalam iklan, yang tidak secara khusus
meniru rupa atas bentuk realitas. Ikon adalah bentuk dan warna yang serupa atau
mirip dengan keadaan sebenarnya (Sobur, 2004: 116). Sistem tanda bahasa juga
digunakan secara maksimal dalam iklan televisi. Iklan televisi yang umumnya
berdurasi beberapa detik, memanfaatkan sistem tanda untuk memperjelas makna
citra pada iklan tersebut.
Dalam upaya menciptakan kepribadian untuk sebuah produk, pembuat
iklan membuat sistem signifikasi. Yang pertama dan terutama ini dibuat dengan
memberinya nama merek dan kemudian bila dimungkinkan membuat simbol
visual untuknya yang dikenal dengan nama logo. Ketika sebuah produk diberi
nama maka, seperti seorang pribadi, produk itu bisa dikenali dengan kaitannya
dengan namanya itu (Danesi, 2010: 229).
Sistem penandaan yang tertanam di dalam nama merek dan logonya
secara kreatif dipindahkan ke dalam teks iklan. Tekstualisasi iklan bisa
didefinisikan sebagai pembentukan iklan dan komersial berdasarkan pada sistem
signifikasi khusus yang secara sengaja ditanamkan ke dalam produk. Dalam iklan
verbal (jingle, slogan dan sebagainya) dipakai juga untuk mengirimkan sistem
signifikasi sebuah produk.
Iklan televisi merupakan iklan yang paling banyak ditonton oleh semua
kalangan masyarakat. Ada semacam argumentasi dalam masyarakat bahwa iklan
televisi merupakan iklan yang memberikan pesan-pesan secara realistis dengan
menggunakan pilihan iklan agar dapat mempengaruhi pemirsanya.
1.6.4 Semiotika Roland Barthes
Roland Barthes dikenal sebagai salah seorang pemikir strukturalis yang
getol mempraktikkan model linguistik dan semiologi Saussurean. Barthes
mengartikan semiotika atau dalam istilah Barthes sendiri dikenal dengan
semiologi sebagai tanda yang berada di sekitar kita dan sangat dekat dengan
keseharian kita.
Barthes membagi analisisnya menjadi dua tingkatan yaitu tingkatan
denotasi dan tingkatan konotasi. Tingkatan denotasi merupakan pemaknaan
secaraa langsung, yang berarti menunjukkan makna yang tampak atau makna
yang sebenarnya. Tingkatan konotasi merupakan pemaknaan secara tidak
langsung, yang berarti adanya makna yang menggambarkan interaksi yang terjadi
ketika tanda bertemu dengan perasaan atau emosi, serta nilai-nilai dari
kebudayaannya (Wibowo, 2011: 17).
Barthes juga melihat makna yang lebih dalam tingkatannya, akan tetapi
bersifat konvensional, yakni makna yang berkaitan dengan mitos. Mitos dalam
dan berfungsi untuk mengungkapkan dan memberikan pembenaran bagi nilai-nilai
dominan yang berlaku dalam suatu periode tertentu.
I.6.5 Representasi
Representasi berarti menggunakan bahasa untuk menyatakan sesuatu
secara bermakna, atau dapat dikatakan memaknai sesuatu terhadap orang lain.
Konsep representasi digunakan untuk menggambarkan ekspresi hubungan antara
teks iklan (media) dengan realitas. Representasi merupakan kegiatan dari tanda.
Marcel Danesi mendefinisikannya sebagai berikut:
“proses merekam ide, pengetahuan atau pesan, dalam beberapa cara fisik disebut
representasi. Ini dapat didefinisikan lebih tepat sebagai kegunaan dari tanda yaitu
untuk menyambungkan, melukiskan, meniru sesuatu yang dirasa, dimengerti,
diimajinasikan atau dirasakan dalam beberapa bentuk fisik” (Wibowo, 2011:122).
Representasi bekerja pada hubungan tanda dan makna. Konsep
representasi bisa berubah-ubah. Representasi bukan suatu proses yang statis tetapi
dinamis yang terus berkembang seiring dengan kemampuan dan kebutuhan para
pengguna tanda yaitu manusia sendiri yang juga terus berubah. Menurut Nuraini
Julianti, representasi berubah-ubah akibat makna yang juga berubah-ubah. Setiap
waktu terjadi proses negosiasi dalam proses pemaknaan (Wibowo, 2011: 123).
I.6.6 Feminisme
Kaum perempuan adalah mitra kaum pria yang diciptakan dengan
kemampuan-kemampuan mental yang setara. Kaum perempuan memiliki hak
sekecil-kecilnya. Kaum perempuan juga memiliki hak atas kemerdekaan dan
kebebasan yang sama seperti yang dimiliki kaum pria. Kaum perempuan berhak
untuk memperoleh tempat tertinggi dalam ruang aktivitas yang dia lakukan,
sebagaimana kaum pria dalam ruang aktivitasnya (Gandhi, 2002: 5).
Dalam arti leksikal, feminisme ialah gerakan wanita yang menuntut
persamaan hak sepenuhnya antara kaum wanita dan pria (Moeliono dalam
Sugihastuti, 2000: 37). Pengertian lain dikemukakan oleh Goefe, feminisme
adalah teori tentang persamaan antara laki-laki dan perempuan di bidang politik,
ekonomi dan sosial; atau kegiatan terorganisasi yang memperjuangkan hak-hak
serta kepentingan perempuan (Goefe dalam Sugihastuti, 2007: 93).
Sofia dan Sugihastuti menyimpulkan bahwa munculnya ide-ide feminis
berangkat dari kenyataan bahwa konstruksi sosial gender yang ada mendorong
citra perempuan masih belum dapat memenuhi cita-cita persamaan hak antara
laki-laki dan perempuan. Kesadaran akan ketimpangan struktur, sistem dan tradisi
dalam masyarakat kemudian melahirkan kritik feminis yang termanifestasikan
dalam berbagai wujud ekspresi, baik melalui sikap, penulisan artikel, novel
maupun melalui media lain (Sugihastuti, 2007: 99).
Dalam media massa, perempuan sering digambarkan menjadi objek.
Dalam berbagai iklan televisi, perempuan digambarkan secara bebas, di mana ia
harus tampil cantik secara fisik dan tetap awet muda bila ingin sukses, mampu
mengurus semua keperluan rumah tangga, serta sebagai objek seks. Tomagola
menyatakan bahwa dalam banyak iklan terjadi penekanan terhadap pentingnya
perempuan untuk selalu tampil memikat dengan mempertegas sifat kewanitaannya
panjang dan lainnya. Pencitraan perempuan semacam ini ditekankan lagi dengan
menebar isu natural anatomy bahwa umur perempuan, ketuaan perempuan,
sebagai momok yang tidak bisa dihindari dalam kehidupan perempuan
(www.google.com). Iklan juga menghidupkan stereotip lama tentang perempuan,
bahwa sejauh-jauh perempuan pergi, akhirnya kembali ke dapur juga (Bungin,
2011: 114).
Haris Wijaya dalam artikel Feminist Film Theory mengemukakan bahwa:
In order for women to be equally represented in the workplace (and of course in film as a media that can represent reality or construct reality), women must be portrayed as men are: as lacking sexual objectification. This is the idea behind Laura Mulvey’s Visual Pleasure and Narrative Cinema that has become interesting subject since it was published in 1975. Many feminist film theory discuss her idea and relate it with the other theory and also with the present situation in order to analyze a film.
More and more films that produce recently, seeing women not just as men’s sexual desire object, but also plays important role in film’s narrative. Women stand as important as men, in several films sometimes they stand even higher than men. But the feminist film theory thinks that even now the situation still stand on men’s side rather than women’s side. More effort needed to change this situation, until women (or other sexual tendencies) can get what they want in order to stand equally with men. This process can be late or fast, it’s depends on the good willing of all individual working in this area.
“Agar perempuan dapat diperlakukan sama dalam lapangan pekerjaan (dalam hal film sebagai media yang dapat merepresentasikan realitas atau konstruksi realitas), perempuan harus digambarkan sama seperti pria; tidak membedakan gender. Ini adalah ide di balik “Visual Pleasure dan Narrative Cinema” oleh Laura Mulvey yang telah menjadi subjek yang menarik sejak buku tersebut dipublikasikan pada tahun 1975. Banyak teori feminis Film mendiskusikan ide Laura Mulvey dan hubungannya dengan teori lain dan juga dengan situasi dan kondisi saat ini dalam hal menganalisa sebuah film.
memiliki peranan yang lebih penting daripada pria. Tapi Teori Feminis Film berpikir bahwa bahkan situasi saat ini masih berpihak pada sisi pria daripada sisi perempuan. Banyak usaha yang diperlukan untuk mengubah situasi ini, sampai perempuan (kecenderungan seksual) bisa memperoleh apa yang mereka inginkan dalam hal kesetaraan dengan pria. Proses ini bisa lambat ataupun cepat, tergantung pada kemauan setiap individu yang berusaha di lingkup area ini.”
Menurut Kasiyan (dalam Sugihastuti, 2007: 96), feminisme sebagai
gerakan perempuan muncul dalam karakteristik yang berbeda-beda yang
disebabkan perbedaan asumsi dasar yang memandang persoalan-persoalan yang
menyebabkan ketimpangan gender. Beberapa aliran yang dikenal dalam gerakan
ini antara lain:
1. Feminisme Liberal
2. Feminisme Radikal
3. Feminisme Sosialis
4. Feminisme Postmodern
5. Feminisme Anarkis
6. Feminisme Eksistensialis
I.7 Definisi Konsep
Definisi konsep merupakan hasil pemikiran yang rasional dalam
menguraikan rumusan hipotesis yang merupakan jawaban sementara dari masalah
yang diuji. Konsep dipakai untuk menggambarkan secara abstrak suatu fenomena
sosial atau fenomena alami. Bungin mengartikan konsep sebagai generalisasi dari
sekelompok fenomena tertentu yang dapat dipakai untuk menggambarkan
Adapun yang menjadi konsep dalam penelitian ini adalah menggunakan
analisis semiologi Roland Barthes siginifikasi dua tahap (two order signification);
denotasi dan konotasi, di mana dalam semiologi Roland Barthes ini denotasi
merupakan sistem signifikasi tingkat pertama, sementara konotasi merupakan
tingkat kedua (Sobur, 2004: 70). Semiologi Roland Barthes ini dipilih karena
mampu memaknai tanda untuk merepresentasikan citra perempuan pada iklan
WRP versi Diet To Go.
Konsep yang akan dirumuskan dalam penelitian ini adalah:
1. Tanda
Tanda merupakan keseluruhan yang dihasilkan antara penanda atau
petanda. Tanda harus memiliki baik signifier dan signified. Tanda
adalah juga parole yang membawa pesan. Parole dapat berbentuk lisan,
tulisan atau representasi lain, misalnya wacana tulis, iklan foto, film,
sport, tontonan dan lain-lain (Christomy, 2004: 269). Tanda
merupakan sesuatu yang berbentuk fisik yang dapat ditangkap oleh
panca indera manusia dan merupakan sesuatu yang merujuk
(merepresentasikan) hal lain di luar tanda itu sendiri (Kriyantono,
2008: 265).
2. Denotasi
Denotasi merupakan makna yang paling nyata, atau makna yang secara
langsung tersirat. Denotasi adalah apa yang digambarkan tanda
terhadap sebuah objek atau yang disebut sebagai gambaran petanda.
Konotasi merupakan pemaknaan secara tidak langsung atau
pemaknaan yang didasarkan atas perasaan dan pikiran yang
ditimbulkan pada pemirsanya. Dalam kerangka Barthes, konotasi
identik dengan operasi ideologi yang disebutnya sebagai ‘mitos’, dan
berfungsi untuk mengungkapkan dan memberikan pembenaran bagi
nilai-nilai dominan yang berlaku dalam suatu periode tertentu
(Budiman dalam Sobur, 2004: 71). Konotasi mempunyai makna yang
subjektif atau paling tidak intersubjektif. Makna konotasi adalah
bagaimana cara menggambarkan sebuah tanda.
4. Mitos
Dalam semiologi Barthes, mitos adalah juga suatu sistem pemaknaan
tataran kedua. Mitos adalah bagaimana kebudayaan menjelaskan atau
memahami beberapa aspek tentang realitas atau gejala alam. Mitos
adalah suatu wahana di mana suatu ideologi berwujud. Mitos dapat
berangkai menjadi mitologi yang memainkan peranan penting dalam