• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN - Representasi Citra Perempuan Dalam Iklan Televisi (Analisis Semiotika Representasi Citra Perempuan Dalam Iklan Wrp Diet To Go Di Televisi Swasta) Medan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN - Representasi Citra Perempuan Dalam Iklan Televisi (Analisis Semiotika Representasi Citra Perempuan Dalam Iklan Wrp Diet To Go Di Televisi Swasta) Medan"

Copied!
19
0
0

Teks penuh

(1)

BAB I

PENDAHULUAN

I.1 Latar Belakang Masalah

Pesatnya perkembangan teknologi, meningkatkan arus informasi dan

telekomunikasi serta meningkatnya pengetahuan dan tingkat kesadaran

masyarakat akan pentingnya sebuah informasi. Hal ini memungkinkan manusia

diterpa oleh berbagai informasi setiap saat. Perkembangan yang sangat pesat ini

juga merambah pada perkembangan media massa. Oleh karena adanya

perkembangan media massa tersebut maka banyak sekali masyarakat yang

menggunakan media massa sebagai media penyampai pesan atau informasi ke

masyarakat luas.

Media massa sudah menjadi bagian yang tak terpisahkan dari komunikasi

manusia. Media massa kini telah menjadi salah satu alat yang penting sebagai

media penyampai pesan atau informasi kepada masyarakat. Pada hakikatnya,

media adalah perpanjangan lidah dan tangan yang berjasa meningkatkan kapasitas

manusia untuk mengembangkan struktur sosialnya (Rivers, 2008: 128). Media

massa melibatkan jumlah penerima pesan dalam jumlah banyak, serta tersebar

dalam area geografis yang luas, namun mempunyai perhatian minat dan isu yang

sama. Karena itu, agar pesan yang disampaikan dapat diterima serentak pada satu

waktu yang sama, maka digunakan media elektronik seperti televisi dan radio

serta media cetak seperti surat kabar dan majalah.

Pada media elektronik, televisi merupakan media yang paling dominan

(2)

visual, yaitu selain suara dapat didengar juga menampilkan gambar dalam waktu

yang bersamaan. Televisi dikatakan sebagai fenomena aktual masyarakat modern,

dalam arti televisi dipersepsikan sebagai karakter khas masyarakat “modern” yang

sering kali mengedepankan logika dan rasionalitas. Berkat kehadiran televisi,

jarak kultural peradaban dapat teratasi. Masyarakat dari belahan manapun, akan

segera mengetahui kondisi aktual ke tempat yang berbeda (Sucipto, 1998: 28).

Televisi cenderung menjadi hiburan, berita dan layanan. Sehingga acap kali media

televisi ini disebut media keluarga.

Seperti yang telah diuraikan diatas bahwa televisi cenderung menjadi

hiburan. Ini dikarenakan televisi menyajikan program-program hiburan seperti

sinetron, film, kartun, musik, serta iklan. Iklan merupakan salah satu unsur

penting dalam televisi, ini dikarenakan iklan adalah sarana komunikasi. Iklan

merupakan sarana untuk mempromosikan, memberikan informasi dan

mengingatkan atau membangun persuasi tentang keberadaan suatu produk, jasa,

ide, citra dan bahkan orang. Iklan adalah segala bentuk penyajian informasi dan

promosi secara tidak langsung yang dilakukan oleh sponsor untuk menawarkan

ide, barang, atau jasa (Keegan (1995) dalam Mahfoedz, 2010: 139). Secara umum,

Periklanan diartikan sebagai kegiatan komunikasi yang dilakukan pembuat

barang, atau pemasok jasa dengan masyarakat banyak atau sekelompok orang

tertentu yang bertujuan untuk menunjang upaya pemasaran. Komunikasi yang

dilakukan dengan menggunakan gambar, suara atau kata-kata, gerak atau bau

yang disalurkan melalui media atau secara langsung.

Mahmoed Mahfoedz (2010:50) menyatakan bahwa salah satu kekuatan

(3)

lebih tinggi daripada iklan yang disampaikan melalui media lain. Dalam beberapa

segi, kredibilitas dan status produk dapat dinilai penting karena ditayangkan

melalui televisi. Daya jangkauan terhadap audiens dan sasaran yang luas

menjadikan iklan televisi dipandang efisien. Selain itu, iklan di televisi memiliki

kelebihan unik dibandingkan dengan iklan di media cetak. Kelebihan iklan

televisi memungkinkan diterimanya tiga kekuatan generator makna sekaligus,

yakni narasi, suara dan visual. Ketiganya membentuk sebuah sistem pertandaan

yang bekerja untuk mempengaruhi penontonnya. Dari ketiganya, iklan televisi

bekerja efektif karena menghadirkan pesan dalam bentuk verbal dan nonverbal

sekaligus. Sebagai sistem pertandaan, maka iklan sekaligus menjadi sebuah

bangunan representasi. Iklan tidak semata-mata merefleksikan realitas tentang

manfaat produk yang ditawarkan, namun seringkali menjadi representasi gagasan

yang terpendam di balik penciptanya.

Di Indonesia, istilah iklan sering disebut dengan istilah advertensi dan

reklame. Kedua istilah tersebut diambil dari bahasa Belanda yaitu “advertensi”

dan bahasa Prancis yaitu “reclame”. Namun pada tahun 1951, istilah periklanan

pertama kali diperkenalkan oleh seorang tokoh pers Indonesia, Soedarjo

Tjokrosisworo, untuk menggantikan istilah reklame atau advertensi yang ke

belanda-belandaan.

Awal permunculan iklan di Indonesia lebih banyak berupa iklan pribadi

daripada iklan perusahaan. Perkembangan iklan di Indonesia mengikuti model

sejarah perkembangan iklan pada umumnya, yaitu seirama dengan perkembangan

media massa. Awal masyarakat Indonesia mengenal iklan modern dari surat

(4)

iklan radio, dan kemudian di saat masyarakat mengenal televisi lahir iklan televisi

(Bungin, 2011: 77)

Tahun 1970-an juga ditandai dengan tampilan selebritis Indonesia sebagai

bintang iklan. Sabun Lux produksi Unilever merupakan trendsetter di bidang itu.

Sejak tahun 1950-an, Lux sudah memakai slogan ”dipakai oleh 9 dari 10

bintang-bintang film”. Lux diidentifikasikan dengan bintang-bintang-bintang-bintang film rupawan

berkelas dunia, antara lain: Sophia Loren. Beberapa bintang film papan atas pun

silih berganti tampil sebagai ”The Lux Lady”. Berbagai merk internasional pun

mulai bermunculan di Indonesia dan berupaya meraup pangsa pasar

sebesar-sebesarnya. Coca cola, Toyota, Mitsubishi, Fuji Film, American Express, Citibank

adalah sebagian dari nama-nama besar yang mulai membanjiri pasar Indonesia

Secara umum, iklan dibagi atas dua jenis yaitu iklan komersial dan iklan

tidak komersial. Iklan komersial merupakan iklan yang bertujuan untuk

mendapatkan keuntungan, sedangkan iklan tidak komersial merupakan iklan yang

bertujuan untuk tidak mendapatkan keuntungan, seperti iklan layanan masyarakat.

Periklanan sebagai sarana penunjang aktivitas pemasaran, sangat tepat

dilakukan agar tujuan-tujuan yang diharapkan dapat tercapai. Dengan

berkomunikasi melalui iklan, masyarakat akan mengenal produk-produk yang

dipromosikan dan akan menumbuhkan kesadaran masyarakat terhadap produk

tersebut. Lebih lanjut, dengan dipromosikannya produk melalui iklan khalayak

akan mengetahui produk tersebut, manfaat, kegunaan, cara penggunaan bahkan

tempat penjualan produk tersebut. Selain itu, iklan juga akan menguatkan ingatan

(5)

nonverbal membuat pesan-pesannya sepersuasif mungkin, iklan sudah masuk

dalam kategori pengintegrasi dalam tatanan signifikasi zaman modern yang

dirancang untuk mempengaruhi sikap dan perilaku gaya hidup dengan secara

sembunyi-sembunyi menganjurkan kepada bagaimana kita bisa memuaskan

dorongan dan aspirasi terdalam melalui konsumsi (Danesi, 2010: 221).

Salah satu bentuk iklan yang paling menarik di televisi saat ini adalah

iklan yang menggambarkan atau merepresentasikan tentang perempuan. Terdapat

banyak nilai yang ditanam oleh pengiklan produk melalui tayangan iklan tersebut.

Nilai tentang tubuh ideal misalnya, sering dijumpai pada iklan kosmetik,

makanan, minuman, alat kesehatan, ataupun iklan suplemen dan obat kesehatan

lainnya.

Iklan-iklan tersebut banyak memasukkan konsep tentang performa tubuh

ideal. Nilai-nilai tentang tubuh ideal ataupun kecantikan versi iklan televisi

merupakan citra bagi khalayak yang dipaksakan menjadi konsep bagi masyarakat

tersebut tanpa menyadari bagaimana sebenarnya konsep tersebut. Maka menjadi

lumrah jika dalam iklan masa kini, citra utama perempuan cantik senantiasa

bertubuh langsing, berkulit putih, berambut lurus dan sebagainya. Padahal, tidak

semua perempuan terlahir berkulit putih, setidaknya tidak semua perempuan

berbakat putih, berpostur langsing, berambut lurus dan sebagainya. Tampilnya

perempuan dalam iklan, merupakan elemen yang sangat menjual. Bagi produk

pria, kehadiran perempuan merupakan salah satu syarat penting bagi

kemapanannya. Sementara bila target-market nya perempuan, kehadiran

(6)

WRP versi Diet To Go merupakan salah satu iklan yang

merepresentasikan tentang tubuh ideal perempuan. Iklan WRP versi Diet To Go

hadir di tengah masyarakat dengan slogannya “Sure You Can Do”. Melalui iklan,

pemirsa televisi dapat lebih mengenal WRP versi Diet To Go sebagai sebuah

produk yang dapat membantu para perempuan untuk membentuk tubuh ideal

seperti yang diharapkan perempuan masa kini.

Visualisasi dalam iklan tersebut nampak jelas yaitu tiga perempuan yang

memiliki tubuh ideal. Perempuan pertama sedang melakukan olah raga,

perempuan kedua berjalan sambil meminum WRP Diet To Go, dan perempuan

ketiga sedang berada dalam lokasi syuting sambil meminum WRP Diet To Go.

Dalam iklan tersebut digambarkan bahwa ketiga perempuan tersebut merupakan

sahabat dekat yang berbeda profesi dan berbeda karakter. Ini terlihat dari tampilan

ketiga wanita dalam iklan tersebut. Tayangan iklan WRP Diet To Go juga

menayangkan bahwa ketiga perempuan tersebut menolak makanan yang

ditawarkan. Ini merupakan penjelasan bahwa mereka mempertahankan tubuh

mereka dengan berolah raga, tidak memilih sembarangan makanan dan memilih

WRP Diet To Go sebagai makanan pengganti. Pada akhir tayangan, digambarkan

dua orang pria yang bertabrakan satu sama lain karena terpukau dengan ketiga

perempuan tersebut. Ini menjelaskan bahwa tubuh ideal yang dimiliki oleh ketiga

perempuan tersebut sangat disukai oleh para lawan jenisnya.

Dalam iklan WRP Diet To Go jelas digambarkan bahwa konsep

perempuan yaitu bertubuh langsing, cantik, wanita karir dan mempunyai peran

(7)

konsep perempuan secara sempurna, yaitu konsep yang diinginkan oleh

perempuan masa kini.

Iklan tidak selamanya bercerita tentang bagaimana produk bisa segera

dibeli konsumen. Namun, beberapa di antaranya juga ingin menyampaikan citra

kuat mengenai apa dan bagaimana kiprah produk dan menceritakan makna dalam

iklan tersebut. Setelah menyaksikan iklan ini, peneliti merasa tertarik untuk dapat

menganalisis representasi citra perempuan dalam iklan WRP Diet To Go.

I.2 Perumusan Masalah

Berdasarkan uraian latar belakang di atas, maka perumusan masalah dalam

penelitian ini adalah: “Bagaimanakah representasi citra perempuan yang terdapat

dalam iklan WRP versi Diet to Go di media televisi?”

I.3 Pembatasan Masalah

Untuk menghindari ruang lingkup penelitian terlalu luas sehingga dapat

mengaburkan penelitian, maka peneliti membatasi masalah yang akan diteliti.

Adapun pembatasan masalah yang diteliti adalah:

1. Penelitian ini menggunakan metode penelitian kualitatif.

2. Perangkat analisis yang digunakan adalah semiologi Roland Barthes

signifikasi dua tahap (two order of significations); denotasi, konotasi dan

mitologi.

(8)

I.4 Tujuan Penelitian

Adapun yang menjadi tujuan penelitian ini adalah

1. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui sistem signifikasi makna yaitu

makna denotatif dan makna konotatif serta mitologi dalam iklan WRP

versi Diet To Go.

2. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui representasi citra perempuan

dalam iklan WRP versi Diet To Go di media televisi.

I.5 Manfaat Penelitian

Adapun yang menjadi manfaat penelitian ini adalah:

1. Secara akademis, penelitian ini diharapkan dapat menambah pengetahuan

dan memperkaya bahan penelitian dan sumber bacaan bagi mahasiswa

FISIP USU khususnya Departemen Ilmu Komunikasi.

2. Secara teoritis, penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi di

bidang Ilmu Komunikasi, khususnya tentang analisis semiotika dalam

iklan.

3. Secara praktis, penelitian ini diharapkan dapat menambah pengetahuan

bagi pembaca mengenai representasi citra perempuan dalam iklan.

I.6 Tinjauan Pustaka

Sebelum melakukan penelitian, peneliti perlu untuk menyusun suatu

tinjauan pustaka yang berfungsi untuk menjelaskan, menjabarkan, dan

memberikan pandangan terhadap suatu penelitian. Tinjauan pustaka yang

(9)

I.6.1 Komunikasi Massa

Konsep komunikasi massa pada satu sisi mengandung pengertian suatu

proses di mana organisasi media memproduksi dan menyebarkan pesan kepada

publik secara luas dan pada sisi lain merupakan proses di mana pesan tersebut

dicari, digunakan dan dikonsumsi oleh audiens (Rohim, 2009:160). Komunikasi

massa merupakan salah satu proses komunikasi yang berlangsung pada peringkat

masyarakat luas yang identifikasinya ditentukan oleh ciri khas institusionalnya

(McQuail, 1996: 7). Komunikasi massa diartikan sebagai jenis komunikasi yang

ditujukan kepada sejumlah khalayak yang tersebar, heterogen dan anonim melalui

media cetak atau elektronik sehingga pesan yang sama dapat diterima secara

serentak dan sesaat (Rakhmat, 2005: 189).

Dari sekian banyak definisi mengenai komunikasi massa, ada benang

merah kesamaan definisi satu sama lain. Pada dasarnya komunikasi massa adalah

komunikasi melalui media massa (media cetak dan elektronik) (Nurudin, 2004: 2).

I.6.2 Semiotika

Semiotika adalah suatu ilmu atau metode analisis untuk mengkaji tanda.

Tanda-tanda adalah perangkat yang kita pakai dalam upaya berusaha mencari

jalan di dunia ini, di tengah-tengah manusia dan bersama-sama manusia.

Semiotika, pada dasarnya hendak mempelajari bagaimana kemanusiaan

(humanity) memaknai hal-hal (things) (Barthes dan Kurniawan dalam Sobur,

(10)

menjelaskan esensi, ciri-ciri dan bentuk suatu tanda, serta proses signifikasi yang

menyertainya.

Menurut Morissan, semiotika merupakan studi mengenai tanda (signs) dan

simbol yang merupakan tradisi penting dalam pemikiran tradisi komunikasi.

Tradisi semiotika mencakup teori utama mengenai bagaimana tanda mewakili

objek, ide, situasi, keadaan, perasaan dan sebagainya yang berada di luar diri

(Morissan, 2009: 27). Segers mendefinisikan semiotika sebagai suatu disiplin

yang meneliti semua bentuk komunikasi antar makna yang didasarkan pada sistem

tanda (Sugihastuti, 2000: 26).

Di dalam semiotika, ada dua aliran utama yaitu semiotika yang

menggunakan konsep Pierce dan yang menggunakan konsep Saussure. Dalam

konsep Pierce, Pierce membagi tanda atas icon (ikon), index (indeks) dan symbol

(simbol). Ikon adalah tanda yang hubungan antara penanda dan petandanya

bersifat bersamaan bentuk alamiah atau bersifat kemiripan, indeks adalah tanda

yang menunjukkan adanya hubungan alamiah antara tanda dan petanda yang

bersifat kausal, sementara simbol adalah tanda yang menunjukkan hubungan

alamiah antara penanda dengan petandanya dan hubungan diantaranya bersifat

arbitrer atau semena (Sobur, 2004: 41). Pierce mendefinisikan semiotika sebagai

suatu hubungan antara tanda, objek dan makna (Morissan, 2009: 28). Sedangkan

Saussure memasukkan semiotika sebagai hal-hal yang berkaitan dengan

kehidupan langsung. Saussure mengemukakan bahwa seseorang menggunakan

tanda untuk mengirim makna tentang objek dan orang lain akan

menginterpretasikan tanda tersebut. Selain itu, ada konsep lain tentang semiotika

(11)

pemaknaan tanda atas signifikasi dua tahap (two order signification), yaitu

denotatif dan konotatif. Semiotik mengacu pada hubungan antara dua istilah yaitu

penanda (significant) dan petanda (signifie); petanda adalah konsep sedangkan

penanda adalah imaji bunyi (yang bersifat psikis) (Sugihastuti. 2000:28).

Doede Nauta membedakan tiga tingkatan hubungan semiotika (Sobur,

2004: 19), yaitu:

1. Semantik, yaitu bagaimana tanda berhubungan dengan referennya, atau

apa yang diwakili suatu tanda.

2. Sintaktik, yaitu mengacu pada cara tanda disusun atau diorganisir dengan

tanda lainnya di dalam sistem.

3. Pragmatik, yaitu mengacu pada efek atau perilaku yang ditunjukkan oleh

tanda.

I.6.3 Semiotika Iklan

Media komunikasi yang paling popular dan paling digemari saat ini adalah

televisi. Dalam dunia pertelevisian, sistem teknologi telah menguasai jalan pikiran

masyarakat dengan apa yang diistilahkan dengan theater of mind. Sebagaimana

gambaran realitas dalam iklan televisi (Bungin, 2011: 119). Televisi merupakan

media kontemporer yang paling efektif dalam mengirimkan pencitraan produk.

Iklan televisi memberikan pemaknaan bagi para pemirsanya. Giacardi

berpendapat bahwa iklan adalah acuan artinya iklan adalah diskursus tentang

realitas yang menggambarkan, memproyeksikan dan menstimulasi suatu dunia

(12)

realitas namun realitas iklan sendiri selalu berbeda dari realitas nyata yang ada di

masyarakat (Wibowo, 2011: 128).

Untuk mengkaji iklan dalam perspektif semiotika, kita bisa mengkajinya

lewat sistem tanda dalam iklan. Iklan menggunakan sistem tanda yang terdiri atas

lambang baik yang verbal maupun yang berupa ikon. Pada dasarnya lambang atau

simbol yang digunakan dalam iklan terdiri atas dua jenis, yaitu verbal dan

nonverbal. Lambang verbal adalah bahasa yang kita kenal, lambang nonverbal

adalah bentuk dan warna yang disajikan dalam iklan, yang tidak secara khusus

meniru rupa atas bentuk realitas. Ikon adalah bentuk dan warna yang serupa atau

mirip dengan keadaan sebenarnya (Sobur, 2004: 116). Sistem tanda bahasa juga

digunakan secara maksimal dalam iklan televisi. Iklan televisi yang umumnya

berdurasi beberapa detik, memanfaatkan sistem tanda untuk memperjelas makna

citra pada iklan tersebut.

Dalam upaya menciptakan kepribadian untuk sebuah produk, pembuat

iklan membuat sistem signifikasi. Yang pertama dan terutama ini dibuat dengan

memberinya nama merek dan kemudian bila dimungkinkan membuat simbol

visual untuknya yang dikenal dengan nama logo. Ketika sebuah produk diberi

nama maka, seperti seorang pribadi, produk itu bisa dikenali dengan kaitannya

dengan namanya itu (Danesi, 2010: 229).

Sistem penandaan yang tertanam di dalam nama merek dan logonya

secara kreatif dipindahkan ke dalam teks iklan. Tekstualisasi iklan bisa

didefinisikan sebagai pembentukan iklan dan komersial berdasarkan pada sistem

signifikasi khusus yang secara sengaja ditanamkan ke dalam produk. Dalam iklan

(13)

verbal (jingle, slogan dan sebagainya) dipakai juga untuk mengirimkan sistem

signifikasi sebuah produk.

Iklan televisi merupakan iklan yang paling banyak ditonton oleh semua

kalangan masyarakat. Ada semacam argumentasi dalam masyarakat bahwa iklan

televisi merupakan iklan yang memberikan pesan-pesan secara realistis dengan

menggunakan pilihan iklan agar dapat mempengaruhi pemirsanya.

1.6.4 Semiotika Roland Barthes

Roland Barthes dikenal sebagai salah seorang pemikir strukturalis yang

getol mempraktikkan model linguistik dan semiologi Saussurean. Barthes

mengartikan semiotika atau dalam istilah Barthes sendiri dikenal dengan

semiologi sebagai tanda yang berada di sekitar kita dan sangat dekat dengan

keseharian kita.

Barthes membagi analisisnya menjadi dua tingkatan yaitu tingkatan

denotasi dan tingkatan konotasi. Tingkatan denotasi merupakan pemaknaan

secaraa langsung, yang berarti menunjukkan makna yang tampak atau makna

yang sebenarnya. Tingkatan konotasi merupakan pemaknaan secara tidak

langsung, yang berarti adanya makna yang menggambarkan interaksi yang terjadi

ketika tanda bertemu dengan perasaan atau emosi, serta nilai-nilai dari

kebudayaannya (Wibowo, 2011: 17).

Barthes juga melihat makna yang lebih dalam tingkatannya, akan tetapi

bersifat konvensional, yakni makna yang berkaitan dengan mitos. Mitos dalam

(14)

dan berfungsi untuk mengungkapkan dan memberikan pembenaran bagi nilai-nilai

dominan yang berlaku dalam suatu periode tertentu.

I.6.5 Representasi

Representasi berarti menggunakan bahasa untuk menyatakan sesuatu

secara bermakna, atau dapat dikatakan memaknai sesuatu terhadap orang lain.

Konsep representasi digunakan untuk menggambarkan ekspresi hubungan antara

teks iklan (media) dengan realitas. Representasi merupakan kegiatan dari tanda.

Marcel Danesi mendefinisikannya sebagai berikut:

“proses merekam ide, pengetahuan atau pesan, dalam beberapa cara fisik disebut

representasi. Ini dapat didefinisikan lebih tepat sebagai kegunaan dari tanda yaitu

untuk menyambungkan, melukiskan, meniru sesuatu yang dirasa, dimengerti,

diimajinasikan atau dirasakan dalam beberapa bentuk fisik” (Wibowo, 2011:122).

Representasi bekerja pada hubungan tanda dan makna. Konsep

representasi bisa berubah-ubah. Representasi bukan suatu proses yang statis tetapi

dinamis yang terus berkembang seiring dengan kemampuan dan kebutuhan para

pengguna tanda yaitu manusia sendiri yang juga terus berubah. Menurut Nuraini

Julianti, representasi berubah-ubah akibat makna yang juga berubah-ubah. Setiap

waktu terjadi proses negosiasi dalam proses pemaknaan (Wibowo, 2011: 123).

I.6.6 Feminisme

Kaum perempuan adalah mitra kaum pria yang diciptakan dengan

kemampuan-kemampuan mental yang setara. Kaum perempuan memiliki hak

(15)

sekecil-kecilnya. Kaum perempuan juga memiliki hak atas kemerdekaan dan

kebebasan yang sama seperti yang dimiliki kaum pria. Kaum perempuan berhak

untuk memperoleh tempat tertinggi dalam ruang aktivitas yang dia lakukan,

sebagaimana kaum pria dalam ruang aktivitasnya (Gandhi, 2002: 5).

Dalam arti leksikal, feminisme ialah gerakan wanita yang menuntut

persamaan hak sepenuhnya antara kaum wanita dan pria (Moeliono dalam

Sugihastuti, 2000: 37). Pengertian lain dikemukakan oleh Goefe, feminisme

adalah teori tentang persamaan antara laki-laki dan perempuan di bidang politik,

ekonomi dan sosial; atau kegiatan terorganisasi yang memperjuangkan hak-hak

serta kepentingan perempuan (Goefe dalam Sugihastuti, 2007: 93).

Sofia dan Sugihastuti menyimpulkan bahwa munculnya ide-ide feminis

berangkat dari kenyataan bahwa konstruksi sosial gender yang ada mendorong

citra perempuan masih belum dapat memenuhi cita-cita persamaan hak antara

laki-laki dan perempuan. Kesadaran akan ketimpangan struktur, sistem dan tradisi

dalam masyarakat kemudian melahirkan kritik feminis yang termanifestasikan

dalam berbagai wujud ekspresi, baik melalui sikap, penulisan artikel, novel

maupun melalui media lain (Sugihastuti, 2007: 99).

Dalam media massa, perempuan sering digambarkan menjadi objek.

Dalam berbagai iklan televisi, perempuan digambarkan secara bebas, di mana ia

harus tampil cantik secara fisik dan tetap awet muda bila ingin sukses, mampu

mengurus semua keperluan rumah tangga, serta sebagai objek seks. Tomagola

menyatakan bahwa dalam banyak iklan terjadi penekanan terhadap pentingnya

perempuan untuk selalu tampil memikat dengan mempertegas sifat kewanitaannya

(16)

panjang dan lainnya. Pencitraan perempuan semacam ini ditekankan lagi dengan

menebar isu natural anatomy bahwa umur perempuan, ketuaan perempuan,

sebagai momok yang tidak bisa dihindari dalam kehidupan perempuan

(www.google.com). Iklan juga menghidupkan stereotip lama tentang perempuan,

bahwa sejauh-jauh perempuan pergi, akhirnya kembali ke dapur juga (Bungin,

2011: 114).

Haris Wijaya dalam artikel Feminist Film Theory mengemukakan bahwa:

In order for women to be equally represented in the workplace (and of course in film as a media that can represent reality or construct reality), women must be portrayed as men are: as lacking sexual objectification. This is the idea behind Laura Mulvey’s Visual Pleasure and Narrative Cinema that has become interesting subject since it was published in 1975. Many feminist film theory discuss her idea and relate it with the other theory and also with the present situation in order to analyze a film.

More and more films that produce recently, seeing women not just as men’s sexual desire object, but also plays important role in film’s narrative. Women stand as important as men, in several films sometimes they stand even higher than men. But the feminist film theory thinks that even now the situation still stand on men’s side rather than women’s side. More effort needed to change this situation, until women (or other sexual tendencies) can get what they want in order to stand equally with men. This process can be late or fast, it’s depends on the good willing of all individual working in this area.

“Agar perempuan dapat diperlakukan sama dalam lapangan pekerjaan (dalam hal film sebagai media yang dapat merepresentasikan realitas atau konstruksi realitas), perempuan harus digambarkan sama seperti pria; tidak membedakan gender. Ini adalah ide di balik “Visual Pleasure dan Narrative Cinema” oleh Laura Mulvey yang telah menjadi subjek yang menarik sejak buku tersebut dipublikasikan pada tahun 1975. Banyak teori feminis Film mendiskusikan ide Laura Mulvey dan hubungannya dengan teori lain dan juga dengan situasi dan kondisi saat ini dalam hal menganalisa sebuah film.

(17)

memiliki peranan yang lebih penting daripada pria. Tapi Teori Feminis Film berpikir bahwa bahkan situasi saat ini masih berpihak pada sisi pria daripada sisi perempuan. Banyak usaha yang diperlukan untuk mengubah situasi ini, sampai perempuan (kecenderungan seksual) bisa memperoleh apa yang mereka inginkan dalam hal kesetaraan dengan pria. Proses ini bisa lambat ataupun cepat, tergantung pada kemauan setiap individu yang berusaha di lingkup area ini.”

Menurut Kasiyan (dalam Sugihastuti, 2007: 96), feminisme sebagai

gerakan perempuan muncul dalam karakteristik yang berbeda-beda yang

disebabkan perbedaan asumsi dasar yang memandang persoalan-persoalan yang

menyebabkan ketimpangan gender. Beberapa aliran yang dikenal dalam gerakan

ini antara lain:

1. Feminisme Liberal

2. Feminisme Radikal

3. Feminisme Sosialis

4. Feminisme Postmodern

5. Feminisme Anarkis

6. Feminisme Eksistensialis

I.7 Definisi Konsep

Definisi konsep merupakan hasil pemikiran yang rasional dalam

menguraikan rumusan hipotesis yang merupakan jawaban sementara dari masalah

yang diuji. Konsep dipakai untuk menggambarkan secara abstrak suatu fenomena

sosial atau fenomena alami. Bungin mengartikan konsep sebagai generalisasi dari

sekelompok fenomena tertentu yang dapat dipakai untuk menggambarkan

(18)

Adapun yang menjadi konsep dalam penelitian ini adalah menggunakan

analisis semiologi Roland Barthes siginifikasi dua tahap (two order signification);

denotasi dan konotasi, di mana dalam semiologi Roland Barthes ini denotasi

merupakan sistem signifikasi tingkat pertama, sementara konotasi merupakan

tingkat kedua (Sobur, 2004: 70). Semiologi Roland Barthes ini dipilih karena

mampu memaknai tanda untuk merepresentasikan citra perempuan pada iklan

WRP versi Diet To Go.

Konsep yang akan dirumuskan dalam penelitian ini adalah:

1. Tanda

Tanda merupakan keseluruhan yang dihasilkan antara penanda atau

petanda. Tanda harus memiliki baik signifier dan signified. Tanda

adalah juga parole yang membawa pesan. Parole dapat berbentuk lisan,

tulisan atau representasi lain, misalnya wacana tulis, iklan foto, film,

sport, tontonan dan lain-lain (Christomy, 2004: 269). Tanda

merupakan sesuatu yang berbentuk fisik yang dapat ditangkap oleh

panca indera manusia dan merupakan sesuatu yang merujuk

(merepresentasikan) hal lain di luar tanda itu sendiri (Kriyantono,

2008: 265).

2. Denotasi

Denotasi merupakan makna yang paling nyata, atau makna yang secara

langsung tersirat. Denotasi adalah apa yang digambarkan tanda

terhadap sebuah objek atau yang disebut sebagai gambaran petanda.

(19)

Konotasi merupakan pemaknaan secara tidak langsung atau

pemaknaan yang didasarkan atas perasaan dan pikiran yang

ditimbulkan pada pemirsanya. Dalam kerangka Barthes, konotasi

identik dengan operasi ideologi yang disebutnya sebagai ‘mitos’, dan

berfungsi untuk mengungkapkan dan memberikan pembenaran bagi

nilai-nilai dominan yang berlaku dalam suatu periode tertentu

(Budiman dalam Sobur, 2004: 71). Konotasi mempunyai makna yang

subjektif atau paling tidak intersubjektif. Makna konotasi adalah

bagaimana cara menggambarkan sebuah tanda.

4. Mitos

Dalam semiologi Barthes, mitos adalah juga suatu sistem pemaknaan

tataran kedua. Mitos adalah bagaimana kebudayaan menjelaskan atau

memahami beberapa aspek tentang realitas atau gejala alam. Mitos

adalah suatu wahana di mana suatu ideologi berwujud. Mitos dapat

berangkai menjadi mitologi yang memainkan peranan penting dalam

Referensi

Dokumen terkait

Melalui apa yang diucapkannya, “al-lisan mizan al-insan” (lisan adalah ukuran seorang manusia), begitu ungkapan Ali bin Abi Thalib. Tubb dan sylvia Moss, Humman communication,

20 Tahun 1982 tentang Pokok-pokok Pertahanan Keamanan Negara pasal 1 ayat (2) yaitu “Tekad, sikap dan tindakan warga negara yang teratur, menyeluruh,

Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat menambah wawasan dan pengetahuan bagi peneliti tentang pentingnya media internal dalam suatu organisasi serta mengetahui

Analysis of sensitivity on the fattening beef cattle with coffee bran is required to see the extent of fattening cattle sensitivity to changes (deductions

Tujuan penelitian ini adalah untuk menganalisis pengaruh kesadaran wajib pajak, sosialisasi perpajakan, dan pengetahuan perpajakan terhadap kemauan wajib pajak orang

BPRS Saka Dana Mulia Ini merupakan salah satu lembaga keuangan alternatif yang bernafaskan Islam yang sesuai dengan visinya yakni menjadi BPRS yang sehat dan

pembelajaran pair check dan peningkatan kemandirian belajar siswa. Berkenaan dengan bagaimana proses dari penerapan metode pembelajaran. pair check dalam meningkatkan

aspek kehidupan manusia khususnya dalam bidang pelayanan jasa.. pengiriman paket barang atau