BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Citra Merek
2.1.1 Pengertian Citra Merek.
Citra Merek menurut Setiadi (2003:180) dalam penelitian terdahulu, “Citra Merek merupakan representasi dari keseluruhan persepsi terhadap merek dan dibentuk dari informasi dan pengalaman masa lalu terhadap merek itu. Citra terhadap merek berhubungan dengan sikap yang berupa keyakinan dan preferensi terhadap suatu merek. Konsumen yang memiliki citra yang positif terhadap suatu merek, akan lebih memungkinkan untuk melakukan pembelian.”
Sedangkan Aaker dalam Roslina (2010:334) menyatakan bahwa
“citra merek merupakan kumpulan asosiasi yang diorganisir menjadi suatu yang berarti. Citra merek berdasarkan memori konsumen tentang suatu produk, sebagai akibat dari apa yang dirasakan oleh seseorang terhadap merek tersebut. Perasaan yang menyenangkan atau tidak menyenangkan terhadap suatu merek akan membentuk citra tersebut dan akan tersimpan dalam memori konsumen. Citra merek merupakan asosiasi yang muncul dalam benak konsumen ketika mengingat suatu merek tertentu. Asosiasi tersebut secara sederhana dapat muncul dalam bentuk pemikiran dan citra tertentu yang dikaitkan dengan suatu merek”.
Aaker dalam Roslina (2010:334) menjelaskan bahwa
Menurut Tjiptono (2011:112), brand image atau brand description yakni deskrispi tentang asosiasi dan keyakinan konsumen terhadap merek tertentu. Sejumlah teknik kuantitatif dan kualitatif telah dikembangkan untuk membantu mengungkap presepsi dan asosiasi konsumen terhadap sebuah merek tertentu, diantaranya multi-dimensional scaling,
projection techniques, dan sebagainya. .
Keller (1993:3) menyatakan bahwa “ brand image is perceptions about brand as reflected by the brand association held in consumen memory”, bahwa asosiasi merek berlaku sebagai pusat informasi yang terhubung ke memori otak dan mengandung arti dari merek tersebut untuk konsumen.
Berdasarkan pendapat para ahli diatas, brand image atau citra merek adalah persepsi konsumen tentang suatu merek dimana berdasarkan memori konsumen tentang suatu produk, sebagai akibat dari apa yang dirasakan oleh seseorang terhadap merek tersebut.
2.1.2 Proses Pengembangan Citra Merek.
Dalam proses pengembangan citra merek, harus diketahui bahwa merek yang kuat memiliki identitas yang jelas. Konsumen umumnya menginginkan sesuatu yang unik dan khas yang berhubungan dengan merek. Ketidakcocokan citra merek dengan harapan konsumen akan memberikan kesempatan kepada pesaing (Roslina.2010:338)
Kapferer dalam Roslina (2010:338) menyatakan bahwa “konsumen membentuk citra melalui sintesis dari semua sinyal atau asosiasi yang dihasilkan merek, seperti nama merek, simbol visual, produk, periklanan, sponsorship, artikel yang kemudian dikembangkan dan diinterpretasikan oleh konsumen”.
Sending Media Receiving
Brand identity
Signal Brand
transmitted Image
Other sources of inspiration: - Mimicry
Competition And - Opportunism
- Idealism Noise
Sumber: Kapferer (1992:38)
Gambar 2.1 Identitas dan Citra
Menurut Surachman dalam Roslina (2010:339) “Identitas merek adalah sekumpulan asosiasi merek yang menjadi tujuan atau cita-cita dari strategi merek itu sendiri untuk menciptakan atau mempertahankan kelangsungan sebuah merek di pasar identitas merek harus berbeda dari pesaing dan dikembangkan secara komprehensif untuk konsumen”.
2.1.3 Unsur-unsur Pembentuk Citra Merek
Menurut (Keller, 1993:8), Brand image yang kuat di benak pelanggan dibentuk dari 3
unsur, yaitu: keungulan asosiasi merek (Favorability of brand association), kekuatan asosiasi merek (strength of brand association) dan keunikan asosiasi merek (uniqueness of brand association). Ketiga unsur brand image tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut:
1. Keunggulan asosiasi merek (favorability of brand association)
Keunggulan asosiasi merek dapat membuat konsumen percaya bahwa atribut dan manfaat
yang diberikan oleh suatu merek dapat memuaskan kebutuhan dan keinginan konsumen sehingga menciptakan sikap yang positif terhadap merek tersebut. Tujuan akhir dari setiap konsumsi yang dilakukan oleh konsumen adalah mendapatkan kepuasan akan kebutuhan
harapan, maka konsumen akan puas, dan demikian juga sebaliknya. Dapat disimpulkan bahwa keunggulan asosiasi merek terdapat pada manfaat produk, tersedianya banyak pilihan
untuk memenuhi kebutuhan dan keinginan, harga yang ditawarkan bersaing, dan kemudahan mendapatkan produk yang dibutuhkan serta nama prusahaan yang bonafit juga mampu
menjadi pendukung merek tersebut.
2. Kekuatan asosiasi merek (strenght of brand association)
Kekuatan asosiasi merek, tergantung pada bagaimana informasi masuk dalam ingatan
konsumen dan bagaimana informasi tersebut dikelola oleh data sensoris di otak sebagai bagian dari brand image. Ketika konsumen secara aktif memikirkan dan menguraikan arti informasi pada suatu produk atau jasa maka akan tercipta asosiasi yang semakin kuat
pada ingatan konsumen. Konsumen memandang suatu objek stimuli melalui sensasi-sensasi yang mengalir lewat kelima indera: mata, telinga, hidung, kulit, dan lidah. Namun demikian, setiap konsumen mengikuti, mengatur, dan mengiterprestasikan data sensoris ini
menurut cara masing-masing. Persepsi tidak hanya tergantung pada stimulasi fisik tetapi juga pada stimulasi yang berhubungan dengan lingkungan sekitar dan keadaan individu
tersebut. Perbedaan pandangan pelanggan atas sesuatu objek (merek) akan menciptakan proses persepsi dalam prilaku pembelian yang berbeda.
3. Keunikan asosiasi merek (uniqueness of brand association)
Sebuah merek haruslah unik dan menarik sehingga produk tersebut memiliki ciri khas dan sulit untuk ditiru oleh para produsen pesaing. Melalui keunikan suatu produk maka akan
memberi kesan yang cukup membekas terhadap ingatan pelanggan akan keunikan brand
atau merek produk tersebut yang membedakannya dengan produk sejenis lainnya. Sebuah
menciptakan motivasi pelanggan untuk mulai mengkonsumsi produk bermerek tersebut. Merek juga hendaknya mampu menciptakan kesan yang baik bagi pelanggan yang
mengkonsumsi produk dengan merek tersebut.
2.2 Kesediaan Membayar Mahal
2.2.1 Pengertian Kesediaan membayar mahal
Srinivasan dan Chan Su Park (dalam Simamora, 2003:55) menilai, ”harga premium sebagai perbedaan harga maksimal antara merek yang paling disukai dengan merek yang paling tidak disukai, yang dapat diterima konsumen”.
”Sebagai gambaran, konsumen rela membeli air mineral merek Aqua dengan harga lebih tinggi dibandingkan harga air mineral bermerek Ades, Dua Tang, Vit, dan lain-lain, padahal bila merek produk tersebut ditanggalkan dan berbagai merek air mineral tersebut disajikan dalam gelas yang seragam, konsumen sulit membedakan produk-produk tersebut. Kesediaan konsumen untuk membayar dengan harga lebih tinggi untuk merek Aqua menunjukkan penghargaan mereka yang “lebih” kepada merek Aqua tersebut dibandingkan kepada para pesaingnya” (Simamora 2003:55).
”Harga premium dapat menjadi satu-satunya pengukuran ekuitas merek yang tersedia, karena
pengukuran ini langsung menangkap konsumen yang loyal dengan cara yang relevan. Jika konsumen loyal, secara logis mereka akan bersedia untuk membayar lebih tinggi (harga
premium). Jika mereka tidak bersedia membayar lebih tinggi, tingkat loyalitas mereka rendah ” (Durianto, 2004:19).
Studi yang meneliti tentang kesediaan membayar harga mahal menemukan bahwa
konsumen akan bersedia membayar harga mahal apabila produk yang ditawarkan mempunyai kualitas yang bagus (Skuras&Vakrou, 2001). Rio, Vazquez dan Iglesias (2001)
premium. Rio et al. (2001) menemukan bahwa semakin positif persepsi dari produk yang bergaransi maka semakin bersedia para konsumen tersebut membayar harga premium.
Nia dan Zaichkowsky (2000) berpendapat bahwa sebuah merek bisa mengenakan harga yang premium melalui kualitas yang tinggi, kemasan dan lokasi toko yang eksklusif, promosi yang mewah dan nama merek. Argumen ini di konfirmasi oleh Skuras and Vakrou
(2001) yang menemukan bahwa konsumen dari Yunani bersedia membayar harga premium atas sebuah merek anggur yang terkenal dari Arcadia, Penelope. Konsumen dari Yunani
tersebut bersedia karena anggur tersebut mempunyai fitur seperti kualitas yang tinggi dan produk yang autentik.
Konsumen akan bersedia membayar harga mahal untuk sebuah merek tertentu karena
mereka menerima nilai yang tinggi dari merek tersebut (Broekhuizen & Alsem, 2002) dan juga dalam rangka untuk mengurangi resiko karena kurangnya pengetahuan terhadap merek
tersebut (Rao & Monroe, 1996). Sama halnya, Hutton (1997) berpendapat bahwa reputasi dari penjual pun mempunyai pengaruh yang penting terhadap kesediaan konsumen membayar harga mahal. Observasi ini sudah dibuktikan oleh Yongseog (2005) dalam situasi lelang
elektronik. Konsumen membayar harga premium kepada penjual yang mempunyai reputasi yang bagus dan menjual produk-produk yang berkualitas.
Hasil penelitan (Laroche, Berger on, & Barbaro-Forleo, 2001) menunjukkan bahwa sikap positif terhadap produk yang berwawasan lingkungan akan mempengaruhi konsumen untuk bersedia membayar harga lebih mahal untuk produk tersebut. Produk yang
berwawasan lingkungan atau produk yang “hijau” biasanya lebih mahal dibandingkan dengan produk konvensional yang sejenis. Seorang individu yang mempunyai sikap positif yang
2.2.2 Persepsi Harga
Perilaku konsumen sangat mempengaruhi evaluasi dan penilaian terhadap harga dari
suatu produk yang dilakukan oleh konsumen. Perilaku pembelian konsumen dipengaruhi oleh empat aspek utama (Suharno dan Sutarso, 2010:83), yaitu: ”faktor budaya (kebudayaan dan kelas sosial), faktor sosial (kelompok, keluarga, peran dan status), faktor pribadi (usia
dan tahapan dalam siklus hidup, pekerjaan, keadaan ekonomi, gaya hidup dan kepribadian serta konsep diri), dan faktor psikologis (motivasi, persepsi, pembelajaran, keyakinan dan
sikap)”. Sedangkan pengertian persepsi adalah “proses yang digunakan oleh seorang individu untuk memilih, mengorganisasi, dan menginterpretasi masukan-masukan informasi guna menciptakan gambaran dunia yang memiliki arti ”(Sunarto, 2006:94). Penilaian terhadap
harga suatu produk dikatakan mahal, murah atau biasa saja dari setiap individu tidaklah harus sama, karena tergantung dari persepsi individu yang dilatarbelakangi oleh lingkungan
kehidupan dan kondisi individu.
Menurut (Alma 2010:178), adakalanya konsumen tidak peka atau tidak peduli dengan perbedaan harga yang dilancarkan oleh produsen, walaupun harga mahal namun konsumen
tetap bersedia membayarnya. Hal ini terjadi karena berbagai alasan seperti:
1. Barangnya unik, langka, bergengsi mempunyai nilai seni tertentu yang diminati oleh
orang-orang tertentu pula.
2. Produk tersebut tidak ada penggantinya.
3. Konsumennya adalah orang-orang berpenghasilan tinggi atau dalam membeli produk
tersebut akan menciptakan suatu prestise.
4. Harga beli barang tersebut dibayarkan oleh orang lain, sehingga konsumen dapat
membeli barang-barang yang harganya mahal.
2.2.3 Persepsi Harga Terhadap Kualitas
Harga mempunyai kontribusi terhadap kualitas sehingga harga dan persepsi kualitas mempunyai hubungan yang positif, yaitu semakin mahal harga suatu produk tersebut maka akan mencerminkan kualitas produk.
Konsumen menggunakan harga sebagai indikator kualitas (Nagle dan Holden, dalam Usahawan No. 10 Th XXXI Oktober 2002), sebagai berikut:
1. Konsumen percaya ada perbedaan kualitas di antara berbagai merek dalam suatu produk kategori.
2. Konsumen percaya kualitas yang rendah dapat membawa resiko yang lebih besar.
3. Konsumen tidak memiliki informasi lain kecuali merek terkenal sebagai referensi dalam mengevaluasi kualitas sebelum melakukan pembelian.
2.2.4 Persepsi Harga Terhadap Nilai
“Persepsi nilai adalah evaluasi menyeluruh dari kegunaan suatu produk yang didasari oleh persepsi konsumen terhadap sejumlah manfaat yang akan diterima dibandingkan dengan
pengorbanan yang dilakukan atau secara umum di pikiran konsumen value dikenal dengan istilah “value for money”, “best value”, dan “you get what you pay for” (Morris dalam Usahawan No. 10 Th XXXI Oktober 2002).
Menurut Zeithaml dan Bitner (dalam Usahawan No. 10 Th XXXI Oktober 2002), pengertian harga terhadap nilai dari sisi konsumen dapat dikelompokkan menjadi empat,
yaitu:
Kelompok konsumen yang menganggap bahwa harga murah merupakan value yang paling penting buat mereka sedangkan kualitas sebagai value dengan tingkat kepentingan
yang lebih rendah. Strategi harga yang harus dilakukan adalah: a. Odd Pricing
Adalah menggunakan harga yang tidak biasa digunakan umum, misal diskon 81%.
b. Synchro Pricing
adalah memberikan harga dengan faktor-faktor pembeda yang menyebabkan
sensitivitas harga meningkat, misal: place, timing, quantity.
c. Penetration Pricing
adalah menetapkan harga rendah terutama pada saat memperkenalkan produk untuk menstimulasi konsumen melakukan trial.
d. Discounting Discounting
adalah memberikan potongan harga untuk menciptakan sensitivitas terhadap harga sehingga tercipta pembelian.
2. Value is whatever I want in a product or services
Bagi konsumen dalam kelompok ini, value diartikan sebagai manfaat, kualitas yang
diterima bukan semata harga saja atau value adalah sesuatu yang dapat memuaskan keinginan. Strategi harga yang dapat dilakukan:
a. Prestige Pricing
Prestige Pricing merupakan penetapan harga premium untuk menjaga image sebagai produk dengan kualitas yang sangat baik dan memberikan image yang berbeda bagi
Skimming Pricing adalah menetapkan harga yang lebih tinggi dari rata-rata kesediaan untuk membayar, umumnya pada saat produk tersebut dalam tahap perkenalan.
Produk tersebut mempunyai nilai lebih dibandingkan produk sebelumnya serta didukung dengan biaya promosi yang tinggi.
3. Value is the quality I get for the price I pay
Konsumen pada kelompok ini mempertimbangkan value adalah sesuatu manfaat atau
kualitas yang diterima sesuai dengan besaran harga yang dibayarkan. Adapun pendekatan harga yang dapat dilakukan adalah:
a. Value Pricing
Value Pricing adalah menciptakan value lebih dari aspek manfaat atau besaran yang dapat dibandingkan dengan harga itu sendiri, biasanya dengan strategi bundling.
b. Market Segmentation Pricing
Market Segmentation Pricing adalah memberikan harga berbeda-beda sesuai dengan segmen yang didasari value yang diterima.
4. Value is what I get what I give
Konsumen menilai value berdasarkan besarnya manfaat yang diterima dibandingkan
dengan pengorbanan yang dikeluarkan baik dalam bentuk besarnya uang yang dikeluarkan, waktu dan usahanya. Pendekatan harga yang dapat dilakukan:
a. Price Framing
Price Framing adalah memberikan tarif yang berbeda-beda sesuai dengan pembagian kelompok berdasarkan besarnya manfaat yang diterima.
b. Price Bundling
Menurut Kotler (dalam Usahawan No. 10 Th XXXI Oktober 2002) menyimpulkan bahwa konsumen dalam menerima suatu value atau nilai dari suatu harga sangat dipengaruhi
oleh:
1. Konteks kesediaan konsumen untuk berkorban dengan membayar harga yang lebih mahal, dibandingkan kehilangan nilai lain yang lebih penting pada saat itu, sehingga
dapat dikatakan value produk tersebut sangat tinggi. 2. Ketersediaan Informasi
Konsumen akan mendapatkan value atas produk karena memiliki infomasi yang banyak dan lengkap.
3. Asosiasi
Upaya peningkatan value dari suatu produk dengan cara menaikkan harga, produsen harus memperhatikan asosiasi konsumen terhadap pengalaman yang dimiliki selama ini.
2.3 Penelitian Terdahulu
Tabel 2.1
Tinjauan Penelitian Terdahulu No Peneliti Jurnal
Penelitian
Jenis
Penelitian Variabel Hasil Penelitian 1 Antonio
Asosiatif Citra Merek(X) terdapat hubungan yang signifikan antara
2 Winda
Asosiatif Ekuitas merek (X) terdapat hubungan yang cukup erat antara variabel ekuitas merek sebesar 47,4%, dengan adjusted R square
sebesar 18,8%
Deskriptif studies how
According to the survey data from 22,623 respondents from 23 countries in Asia, Europe, and the Americas across, on average, 63 consumer packaged goods
categories per country,. These effects are
mediated by consumer perceptions of the quality and several managerial factors. In countries in which PLs are more mature, the route to success is to go back to manufacturing basics. In PL
development countries, there is a stronger role for marketing to enhance the
willingness to pay for NBs
Asosiatif customer loyalty and commitme
(2009) customer limitations of the study are also explored in terms of the
generalisation of the study, with the implications of the study further identified
Sumber: Antonio Nalau (2012) Winda Sembiring (2011), Jan-Benedict E.M. Steenkamp,
Harald J. Van Heerde, Inge Geyskens (2010)
2.4 Pengertian Kerangka Konseptual
Kerangka konseptual menurut Sugiono (2010:60) merupakan “sintesa tentang hubungan antara variabel yang diteliti dari berbagai teori yang telah dideskripsikan dan yang
membuahkan kesimpulan yang berupa hipotesis”. Variabel yang akan diteliti antara lain kesediaan membayar mahal sebagai variabel terikat, citra mereksebagai variabel bebas.
Citra merek berpengaruh terhadap kesediaan membayar mahal. Dengan adanya citra
merek, konsumen akan mengetahui dan percaya bahwa produk yang dikonsumsi bermanfaat dalam memenuhi kebutuhan sehingga konsumen akan bersedia membayar mahal terhadap produk tersebut.
Kesediaan membayar mahal menunjukan prilaku konsumen yang terjadi setelah konsumen mempunyai pengalaman dengan produk maupun perusahaan. Konsumen akan
bersedia membayar lebih mahal apabila produk yang ditawarkan mempunyai kualitas yang tinggi, kemasan dan lokasi toko yang eksklusif, promosi yang mewah, nama merek, reputasi perusahaan. Berdasarkan pernyataan diatas maka kerangka konseptual dalam penelitian ini
dapat dilihat pada Gambar 2.2 berikut ini :
Citra Merek (Brand Image) (X)
Sumber:(Keller, 1993:8), (Skuras&Vakrou, (Hutton:1997) (Nia dan Zaichkowsky: 2000), diolah
Gambar 2.2 Kerangka Konseptual
2.5Hipotesis
Dari perumusan masalah yang telah ditetapkan, maka hipotesis atas penelitian ini adalah: “ Citra Merek (Brand Image) J.CO Donuts & Coffee cabang Plaza Medan Fair