• Tidak ada hasil yang ditemukan

Berita PUSAKA Edisi Agustus 2013

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Berita PUSAKA Edisi Agustus 2013"

Copied!
6
0
0

Teks penuh

(1)

Pusaka

BERITA

Kompleks Rawa Bambu I, Jl. B No. 6 B, Pasar Minggu, Jakarta Selatan, Indonesia. Telpon/Fax: 021 7892137

1

Perpanjangan Proyek KFCP Ditentang Warga

Desa Mantangai Hulu

Peserta Musyawarah Desa (Musdes) di Desa Mentangai Hulu, Keca-matan Mantangai, Kapuas, pada hari Sabtu siang (03 Agustus 2013), untuk membahas perpanjangan Perjanjian Desa proyek KFCP di Desa Mantangai Hulu, menyepakati menolak proyek KFCP. Musdes yang diselenggarakan oleh pemerintah desa bekerjasama dengan Tim Pengelolaan Kegiatan (TPK) dari KFCP, dihadiri oleh se-kitar 150 orang, terdiri dari: perangkat pemerintah desa, BPD, lembaga adat Mantir beserta anggota, BPD, Tim Pengawas (TP) Proyek KFCP, Fasilitator Desa KFCP (LC), tokoh masyarakat dan warga Desa Mantangai Hulu.

Dilaporkan Noerhadi, saat kegiatan Musdes berlangsung terjadi ketegangan dan perdebatan sengit antara pengelola proyek KFCP (TP dan TPK) dengan warga. Mantir menolak membacakan pedoman Perjanjian Desa KFCP. Akhirnya peserta sepakat menolak Proyek KFCP, alasannya tidak ada kejelasan status lahan masyarakat dalam kawasan KFCP. Proyek ini dianggap telah menimbulkan konflik anta-ra masyaanta-rakat, sehingga menganggu kemanan dan ketentanta-raman masyarakat.

Sebelumnya, terjadi keributan dan perobekan lembar rancangan Perjanjian Desa KFCP untuk kelanjutan program Livelihood pada f orum rapat di RT 02 Desa Mantangai Hulu, pada 31 Juli 2013. Salah seorang peserta pertemuan merobek draft Perjanjian Desa KFCP karena merasa tidak puas dengan proses pertemuan dan program KFCP. (Ank, Agst 2013)

Masyarakat Menduduki Kantor Perusahaan

Tebu PT. Mayora dan PT. Astra di Merauke

(Merauke, 12/8/2013) Sekitar 100 massa aksi dari Forum Intelektual Malind SSUMAWOMA dan tokoh masyarakat Marind dari Distrik Okaba, Tubang dan Ilwayab, melakukan aksi pendudukan kantor perusahaan PT. Mayora dan PT. Astra, di Jalan Ternate, Merauke. Aksi pendudukan dilakukan pada Jam 11.00 WIT. Aksi digerakkan oleh pemuda dan tokoh masyarakat Malind Muli-Woyu Maklew, Wamal, Dokib, Wambi, Dodalim, Woyu Maklew dan Kimam. Massa menuntut kedua grup perusahaan tersebut menghentikan kegiatan dan rencana investasi perkebunan tebu yang akan dilaku-kan di Distrik Okaba, Nguti, Tubang dan Ilwayab.

Beberapa waktu lalu, diinformasikan perusahaan menggunakan aparat Brimob dan stigma separatis untuk menekan dan memaksa masyarakat setempat menerima dan menandatangani perjanjian dengan perusahaan. Adalah Ambrosius Laku Kaize (Ketua Adat Yowid), Soter Gebze (Ketua Marga Gebze), Natalis Yolmen (Ketua Marga Yolmen), yang mendapat tekanan dan menandatangani surat persetujuan mengatasnamakan kampung-kampung di Distrik Tubang. (Ank, Agst 2013)

“Perusahaan menggunakan aparat Brimob

dan stigma separatis untuk menekan dan

memaksa masyarakat”

Orang Marind Sejati, tetap menjaga tanah, hutan dan mahluk hidup

Yan Mahuze, Kpg. Salor

Perusahaan Hanya Memiskinkan Orang Marind

Sekitar 50 an orang tokoh masyarakat adat Marind yang berasal dari Distrik Semangga, Animha, Malind, Tanah Miring dan Merauke, ber-musyawarah di Kampung Wendu, Distrik Semangga, pada 2-3 Agus-tus, sepakat meminta pemerintah menghentikan perusahaan-perusahaan yang melakukan pengrusakan hutan dan mengkerdilkan hak-hak Orang Marind Anim.

Yan Mahuze, tokoh adat dari Kampung Ivimahad mengatakan keka-yaan alam hutan kampung-kampung Marind dirampas, dibatasi dan dirusak sehingga membuat Orang Marind kehilangan sumber mata pencaharian dan sumber makanan, yang membuat mereka semakin miskin. Jika ini terus berkelanjutan maka Orang Marind akan kehila-ngan identitas adat yang asli atau diganti dekehila-ngan barang-barang ritual adat yang semuanya dibeli dari toko dan plastic, sehingga menjadi Orang Marind plastik. “Kami tidak mau jadi Orang Marind Plastik”, ungkap kebanyakan peserta.

Dalam Dialog dengan Ketua DPRD, Leo Mahuze, terungkap pula Peraturan Daerah tentang Perlindungan dan Pengelolaan Hak atas Tanah masih ditunda pembahasannya dan akan dikonsultasikan lebih luas dengan masyarakat.

Peserta juga meminta kepada Asisten I Pemda Merauke, Agust Joko dan Kepala Dinas Ketahanan Pangan, untuk memperhatikan dan memberdayakan hak-hak Orang Marind, termasuk menyelesaikan hak-hak atas tanah untuk program transmigrasi dan pembangunan infrastruktur. Hasil musyawarah Wendu dapat dilihat di:

http://pusaka.or.id/demo/assets/Keputusan-Wendu-Agustus-20131.pdf (Ank, Agst 2013)

DPR Mengsahkan RUU Pemberantasan

Perusakan Hutan yang Kontroversial

DPR-RI mengesahkan RUU Pemberantasan Perusakan Hutan (RUU P2H) menjadi undang-undang, pada Selasa, 9 Juli 2013. Padahal RUU P2H ini mendapat banyak penolakan dari warga dan organisasi mas-yarakat sipil menyangkut substansi RUU P2H. Koalisi Masmas-yarakat Sipil untuk Kelestarian Hutan dalam Surat Pernyataan Pers Bersama, menyampaikan isi RUU P2H cenderung untuk mengkriminalkan masyarakat adat dan masyarakat local disekitar dan dalam kawasan hutan. Padahal, yang mestinya diatur dan disasar adalah korporasi dan atau dalang (mastermind) yang selama ini kerap lolos dari ke-adilan hukum sehingga merajalela merusak hutan, baik di tempat yang sama maupun berpindah tempat atau berganti modus. RUU P2H dianggap kontraproduktif dengan usaha pemberantasan korupsi karena membuka peluang terjadinya korupsi atau penyalah-gunaan wewenang berkaitan dengan pemberian izin-izin di bidang kehutanan, karena diskresi yang berlebihan diberikan kepada peja-bat daerah.

Secara prosedural, pembentukan RUU P2H bermasalah karena tidak disertai dengan Naskah Akademik dan proses pembahasannya tidak terbuka, tidak membuka ruang partisipasi masyarakat dalam mem-berikan masukan.

Koalisi Masyarakat Sipil menyesalkan keputusan ini dan akan mengajukan Judicial Review kepada Mahkamah Konstitusi UU P2H tersebut. (Ank, Agst 2013)

Keluarga Besar PUSAKA mengucapkan

Selamat Hari Raya Idul Fitri 1 Syawal 1434 H

(2)

Jajak Pendapat Dampak Proyek KFCP

Proyek Demonstration Activities REDD+ di Kapuas yang dilaksanakan oleh KFCP sudah berakhir pada Juni 2013 lalu, sudah lima tahun sejak ditandatanganinya surat kerjasama antara pemerintah Indone-sia dan Australia, Juni 2008.

Warga 7 desa disekitar lokasi proyek kebanyakan tidak mendapatkan informasi yang memadai tentang kelanjutan dari proyek REDD+. Di media massa, terungkap proyek KFCP tidak akan dilanjutkan dan hanya akan melanjutkan proyek livelihood setahun saja. Banyak spe-kulasi dan opini yang muncul, proyek KFCP seperti juga proyek konservasi di lahan gambut sebelumnya, mereka datang dan akan pergi sesukanya.

Untuk mengetahui dampak proyek terhadap masyarakat sekitar lokasi proyek KFCP, sejumlah organisasi masyarakat sipil PUSAKA, HUMA, WALHI, SOLIDARITAS PEREMPUAN, WALHI Kalimantan Tengah, Yayasan Petak Danum, POKKER SHK Kalteng dan Serikat Tani Manta-ngai, bekerjasama dan mengkoordinasikan kegiatan “Jajak Pendapat” dengan menyebarkan angket sebanyak 600 lembar dan diskusi ke-lompok yang intinya meminta kesan dan pesan masyarakat terkait proyek KFCP mulai dari kehadiran awal hingga saat ini.

Jejak Pendapat ini telah dilakukan di Desa Mantangai Hulu, Katim-pun, Kalumpang dan Katunjung, pada akhir Juli hingga awal Agustus 2013. Sedangkan desa lainnya yang belum dilaksanakan karena ken-dala waktu dan adanya penangguhan dari Kepala Desa Petak Putih, Kecamatan Timpah. Fokus Jajak Pendapat pada penilaian empat Komponen Proyek KFCP, penerapan prinsip-prinsip proyek KFCP dan berdasarkan hak-hak masyarakat. Rencana hasil Jajak Pendapat ini akan dipublikasikan pada akhir September 2013. (Ank, Agst 2013)

FGD Masukan Masyarakat untuk Rancangan

Perda Kelembagaan Adat Dayak Kapuas

Guna mendukung masyarakat untuk memperjuangkan keberadaan kelembagaan adat dan hak-hak atas tanah, PUSAKA dan Yayasan Petak Danum (YPD) memfasilitasi perwakilan masyarakat Dayak di Kabupaten Kapuas untuk menyusun dan membahas rancangan peraturan daerah yang sudah disiapkan Pemda Kapuas, khususnya tentang Kelembagaan Adat Dayak di Kabupaten Kapuas.

Sudah dua kali dilakukan Diskusi Kelompok Terfokus (DKT) di Kota Kuala Kapuas, pada akhir Juli dan awal Agustus 2013, yang melibat-kan perwakilan Damang, Mantir, DAD dan tokoh masyarakat Dayak, serta mengundang nara sumber dari Biro Hukum Pemda Kapuas. Moeliyadi, Direktur YPD di Kapuas, melaporkan DKT sudah mengha-silkan masukan terhadap rancangan Perda Kelembagaan Adat, antara lain mengatur kewenangan Mantir dan Damang dalam mem-buat peraturan adat. Selain itu, DKT menggagas pengaturan tanah dan pengelolaan sumber daya alam melalui Peraturan Bupati. DKT dan dialog kebijakan masih akan dilakukan untuk mengkonsul-tasikan masukan masyarakat terhadap rancangan kebijakan tersebut, kata Moeliyadi. (Ank, Agst 2013)

Arogansi Pejabat Bupati Tojo Una-una, Sulawesi

Tengah

Yayasan Merah Putih (YMP) di Palu mengeluarkan Siaran Pers pada 23 Juli 2013, yang mengungkapkan arogansi Bupati Tojo Una-una yang mengeluarkan SK Bupati Nomor 188.45/Distamben/2012 ter-tanggal 3 April 2012, untuk perusahaan pertambangan biji besi PT. Arthaindo Jaya Abadi, seluas 5000 Ha yang beroperasi di Desa Podi, Kecamatan Tojo, Kabupaten Tojo Una-una.

Alasannya, SK Bupati tersebut bertentangan dengan kebijakan Gubernur Sulawesi Tengah Nomor 522/330/Dishutda - G.ST/2012, tertanggal 8 Mei 2012, tentang 5 (lima) Kabupaten Prioritas Lokasi Demonstration Activities (DA) REDD+ Sulawesi Tengah.

Masyarakat Desa Podi juga sudah berkali-kali melakukan aksi peno-lakan terhadap kehadiran perusahaan tambang biji besi PT. Arta hindo Jaya Abadi meminta pemerintah kabupaten menarik izin tersebut dengan berbagai alasan hukum dan kerentanan ekologi. Tapi Perusahaan tetap melakukan aktifitas.

“Kami meminta Gubernur Longki tegas terhadap para Bupati yang tidak mau berpartisipasi dalam penurunan emisi hutan dan lahan, sebab ini sudah mejadi kebijakan nasional”, kata Azmi Sirajudin dari YMP. (Ank, Jul 2013)

“harus tegas terhadap para Bupati

yang tidak mau berpartisipasi dalam

penurunan emisi hutan dan lahan”

Petani Mantangai Hulu Menduduki Lahan

Perusahaan Sawit PT. Handalan Usaha Perkasa

(Mantangai Hulu, 7/8/2013) sehari lagi lebaran, puluhan warga tani di Desa Mantangai Hulu melakukan aksi menduduki lahan perkebunan sawit PT. Handalan Usaha Perkasa (HUP). Warga mencabut puluhan bibit pohon sawit dan mengganti dengan tanaman karet. Aksi ini berulang lagi pada Senin, 12 Agustus 2013.

“Aksi ini merupakan bentuk protes warga terhadap kesewenang-wenangan perusahaan yang merampas dan menanami lahan kami di Sei Hambiye dan Sei Jangkit”, ungkap Basri, yang juga Ketua Serikat Tani Manggatang Tarung. Warga juga akan melayangkan surat protes kepada pihak pemerintah yang mengabaikan permasalahan ini. Buntut dari aksi protes tersebut, Kapolsek Mantangai melayangkan surat panggilan kepada Basri dan Dirman untuk diperiksa sebagai saksi dalam tindakan pidana pada Rabu, 14 Agustus 2013. Namun, warga kompak tidak peduli dengan surat panggilan tersebut. Jumat pagi, 50 puluh orang warga kompak mendatangi Kantor Kapol sek Mantangai dengan berjalan kaki sejauh 5 kilometer dan bertemu dengan Kapolsek Mantangai.

“Tanah ini milik kami, kami punya bukti-bukti tanaman dan surat keterangan tanah dan SKTA (Surat Keterangan Tanah Adat). Tapi, perusahaan datang ambil tanah masyarakat tanpa ijin”, ungkap Norhadi, tokoh masyarakat Mantangai Hulu.

Kapolsek menerima kesaksian warga dan memahami permasalahan yang diprotes warga. Bapak Kapolsek berjanji akan mempertemukan warga dengan perusahaan pada 19 Agustus, tapi sampai sekarang belum terjadi. (Ank, 2013)

2011

HUP mengumbar janji kepada warga untuk melepaskan tanah, tapi warga tidak mengizinkan.

HUP diam-diam melakukan land clearing dan penanaman di Sei Hambiye dan Sei Jangkit.

2012

Masyarakat melakukan survey dan pemetaan tanah di lahan Sei Hambiye dan Sei Jangkit untuk pembuatan SKTA dengan luas lahan 170 ha

2012

Sept

ember

Tokoh masyarakat dari berbagai desa di Kec. Mantangai meng-diskusikan Pokok-pokok Pikiran: Penyelamatan Hutan dan Gambut untuk Kesejahteraan Masyarakat Dayak Ngaju di Mantangai Hulu.

2012

18 Okt

ober

Masyarakat mengolah lahan untuk ladang padi, palawija dan kebun karet, berlokasi di Blok 3 Sei Hambiye dan Sei Jangkit.

2012

Okt

ober

Dialog di Hotel Permata Inn, Kapuas. Kasubid Hukum Kab. Kapuas, Sumadi SH, menjelaskan rencana pemda untuk mengevaluasi izin perusahaan besar swasta di karenakan banyak perusahaan beroperasi tanpa izin.

2013

8-9 Juli

Aksi petani Desa Mantangai Hulu mencabut bibit kelapa sawit HUP.

2013

7 A

gustus

Aksi petani Desa Mantangai Hulu berulang dan diikuti sekitar 75 orang.

2013

12 A

gustus

Kapolsek Mantangai memang-gil Basri dan Dirman, sebagai saksi dalam perkara tindak pidana pengrusakan.

Sekitar 50 orang warga Manta-ngai Hulu aksi berjalan kaki sejauh 5 Km menuju Kapolsek Mantangai dan kompak meng-ajukan diri sebagai saksi. Kapolsek Mantangai meminta warga kembali dan berjanji akan mempertemukan dengan HUP. Kronologis Aksi Tani Mantangai Melawan Perusahaan

Kebun Sawit PT. Handalan Usaha Perkasa

“Tanah ini milik kami,

(3)

3

Kenapa REDD Tidak Jadi

Pada tanggal 22 dan 23 Juni 2013 lalu, saya dan teman YRBI berkun-jung ke Mukim Sarah Raya (Pedalaman Teunom), sekarang masuk dalam Kecamatan Pasie Raya, dalam rangka pelaksanaan pelatihan lembaga adat Tuha Peut (semacam BPD).

Selama dua hari di sana, kita mendapatkan fakta lain tentang REDD, yaitu munculnya "harapan" yang berlebih terhadap jasa perdagangan karbon. Pertanyaannya sederhana saja, "kenapa REDD itu tidak jadi?". Menurut peserta pertemuan tersebut, dulu, ketika disampaikan kepada masyarakat seakan-akan jasa perdagangan karbon ("uang REDD", kata mereka) akan segera turun, tidak lama lagi.

Kita tentu saja tidak berkompeten untuk menjawab. Paling-paling menjelaskan perkembangan isue REDD saat ini dan kaitannya dengan hak masyarakat atas kawasan hutan.

Kabar lain, jembatan gantung yang menghubungkan Gampong Sarah Raya dengan Kampung lain di seberangnya tidak jadi-jadi, sehingga untuk menuju ke sana masih harus menggunakan rakitan penyeberangan. (Dari Sanusi Syarif – YRBI Aceh)

Rajawali Melanggar Hak Masyarakat

Perusahaan Rajawali di Kampung Kaliki, Distrik Kurik, Merauke, melakukan proses pelanggaran hak atas tanah dengan membayar ganti rugi atas tanah masyarakat Kaliki sebesar Rp. 25 per meter2 atau Rp. 2500 per hektar. (Dari Matheos Kaize, Warga Kampung Kaliki, Distrik Kurik, Merauke)

Mendesak Pemetaan Tanah di Papua Barat

Wakil Ketua MRP Papua Barat, Wolas Krenak, mengungkapkan renca-na program MRP mendokumentasikan keberadaan sejarah marga dan hak-hak atas tanah, hutan, air dan kekayaan alam lainnya, serta pemetaan tanah milik adat dan batas-batas penguasaan tanah marga/keret.

“Program pemetaan merupakan prioritas untuk perlindungan hak-hak orang asli Papua atas tanah”, ungkap Wolas Krenak dalam Loka karya Menggagas Kebijakan Perlindungan dan Penghormatan Hak-hak Masyarakat Adat Papua atas Tanah di Hotel Billi Jaya, Manokwari, Papua Barat, pada 5 dan 6 Agustus 2013. Peserta pertemuan men-dukung program MRP tersebut dan menjadi salah satu rekomendasi kegiatan.

Kegiatan Lokakarya dihadiri sekitar 45 orang utusan tokoh masya-rakat adat dari kampung di Kabupaten Manokwari, Teluk Wondama, Manokwari Selatan, Tambraw, Sorong, Sorong Selatan, Raja Ampat dan Fakfak, serta organisasi masyarakat sipil di Provinsi Papua Barat. Hasil rekomendasi kegiatan tersebut yakni peserta memandang perlu dan mendesak diupayakan aksi-aksi untuk memajukan kebera-daan dan hak-hak dasar Orang asli Papua, terdiri dari: (1) pembuatan peta tanah adat; (2) pembuatan Peraturan Daerah yang mengatur pengakuan keberadaan dan hak-hak atas tanah, hutan, air dan keka-yaan alam lainnya milik Orang asli Papua; (3) menerbitkan Peraturan Kampung tentang hak atas tanah dan mekanisme pengalihan hak atas tanah yang adil; (4) pertemuan yag menghadirkan tokoh-tokoh adat dari berbagai kampung di wilayah pemerintahan Provinsi Papua Barat untuk mendiskusikan dan membahas kelembagaan adat; (5) perlunya kerjasama antara masyarakat dan LSM. Lengkapnya rekomendasi pertemuan dapat dilihat di:

http://pusaka.or.id/demo/assets/Rekomendasi-Lokakarya-Manokwari-Agustus-2013.pdf (Ank, agst 2013)

Warga Yowid Dituduh Anggota OPM

Merauke, (2/8/2013), dilaporkan Forum Intelektual Masyarakat Woyu Maklew (FORMASI SSUMAWOMA) menegaskan bahwa PT. Mayora telah melanggar hak asasi masyarakat adat Marind sub suku Woyu Maklew. Ketua adat dan Kepala Kampung Yowid diancam dituding “OPM” dan dipaksa menandatangani surat penerimaan warga terha-dap aktivitas PT. Mayora di Kampung Yowit, Dokib, Wamal, Bibikem, Woboyu, Wanam dan Dodalim.

Menurut Ketua Adat Kampung Yowid, Ambrosius Laku Kaize, bahwa dirinya terpaksa ikut tanda tangan setelah mendapat tekanan dari staf PT. Mayora. “Saya terpaksa tanda tangan, karena warga Kampung Yowid dituduh anggota OPM (Organisasi Papua Merdeka)”, ungkap-nya. Lebih lanjut Kaize menegaskan bahwa surat yang disodorkan oleh staf PT. Mayora ini terpaksa ditandatangani oleh Kepala Kampu-ng Yowid, Ketua Marga Geb – Zami dan dirinya setelah pihak PT. Mayora menyatakan bahwa warga Kampung Yowid dianggap OPM jika tidak tandatangan surat dari PT. Mayora.

Dari hasil pemantauan FORMASI SSUMAWOMA umumnya warga masyarakat adat Marind di Kampung Yowid, Dokib, Wamal, Dodalim, Woboyu, Bibikem, Wanam dan Uliuli, tidak mendapatkan informasi yang baik dan benar terkait kebijakan investasi di wilayah adatnya, khususnya kehadiran PT. Mayora. Ini adalah indikasi bahwa proses investasi yang ada telah melanggar hak masyarakat adat Marind untuk mendapatkan informasi secara bebas sebelum investasi dija-lankan.

Selain itu, warga Marind sub suku Woyu Maklew telah menyatakan bahwa menolak segala jenis investasi di wilayah adat mereka, karena belum memiliki tenaga siap pakai di perusahan-perusahan, dan PT. Mayora telah menciptakan situasi tidak aman dalam kehidupan warga, seperti PT. Mayora berkunjung ke kampung-kampung dengan didampingi Brimob Polres Merauke yang bersenjatah lengkap dan mengasut beberapa warga kampung untuk menciptakan situasi tidak aman dengan menciptakan teror.

Kesaksian warga Kampung Yowid, Distrik Tubang, dapat dilihat di link video: https://www.youtube.com/watch?v=q5atFz8tZM0 (Ank, Agst 2013) Sumber: Email Sekretariat Forum SSUMAWOMA, 5 Agustus 2013

“Saya terpaksa tanda tangan

karena takut dituduh OPM”

Hari Bersejarah: International Day of The World’s

Indigenous People

Pada setiap tanggal 9 Agustus diperingati masyarakat adat sebagai Internasional Day of The World’s Indigenous People atau Hari Internasional Masyarakat Adat Sedunia. Hari ini diperingati untuk mempromosikan dan melindungi hak-hak masyarakat adat di dunia.

Penetapan tanggal dan hari bersejarah ini ditetapkan oleh Majelis Umum PBB dalam

Resolusi 49/214, tanggal 23 Desember 1994. Tanggal tersebut menandai hari pertemuan pertama Kelompok Kerja PBB untuk Masyarakat Adat pada sub komisi untuk promosi dan perlindungan Hak Asasi Manusia, pada tahun 1982.

(4)

Proyek MIFEE Mengancam Kelangsung Hidup

Orang Malind

25 Juli 2013, sebanyak 27 organisasi masyarakat sipil yang bekerja untuk memajukan hak asasi manusia dan hak atas lingkungan, berbasis di Indonesia, Inggris dan Jerman, mengajukan surat per-mohonan sebanyak 40 paragraf kepada Pemberantasan Diskriminasi dan Rasial (Convention on the Elimination of Racial Discrimination, CERD) di Geneva yang mendesak dan merekomendasikan kepada Komisi PBB untuk memperhatikan dan mempertimbangkan situasi Orang Malind dan masyarakat adat lainnya, yang ada di wilayah pemerintahan Kabupaten Merauke, Provinsi Papua, melalui prosedur Aksi Mendesak dan Peringatan Dini dari CERD ini.

Pemerintah Indonesia telah gagal mengambil langkah-langkah perbaikan dan situasi pun semakin memburuk dan mengancam keberlangsung hidup Orang Malind di Merauke, serta ancaman kerusakan lingkungan setempat, sehubungan dengan program nasional pembangunan pangan dan energy skala luas, MIFEE (Merauke Integrated Food and Energy Estate), yang sudah mencaplok kawasan hutan, padang, areal gambut dan rawa seluas 2,5 juta hektar. Semenjak tahun 2007 hingga 2013, pemerintah telah menerbitkan Ijin Lokasi dan Rekomendasi untuk akusisi lahan demi kepada 80 perusahaan untuk berbagai jenis bisnis dalam proyek MIFEE dan proyek besar pembangunan jalan, jembatan dan kanal-kanal irigasi untuk mendukung pergerakan barang dan sumber daya ke dan dari proyek MIFEE.

Perusahaan mengambil alih tanah-tanah masyarakat dengan cara curang manipulasi, dengan pemberian ganti rugi yang rendah sebesar Rp. 2000 hingga Rp. 300.000 per hektar untuk waktu selama 35 tahun. Perusahaan menggunakan aparat keamanan TNI/Polri yang melakukan tekanan dan tindakan kekerasan dalam proses negosiasi mendapatkan tanah, mengamankan dan memperlancar operasi perusahaan, menghadapi dan menghalangi protes warga. Mohammad Islah, pengkampanye Pangan dan Energi Walhi, menga-takan eksploitasi pembongkaran hutan dan rawa skala luas yang ekstrim, serta menggusur tempat penting Orang Malind telah menimbulkan dampak besar sangat berarti bagi perubahan relasi masyarakat dengan kawasan hidupnya, mengancam kelangsungan kehidupan social ekonomi dan budaya Orang Malind, menurunnya kwalitas dan daya dukung lingkungan alam. Tempat bernilai konser-vasi tinggi kawasan hutan dataran rendah yang spesifik dan perariran rawa luas tempat hidup flora dan fauna endemic tergusur sebelum diteliti dan diketahui manfaatnya bagi kehidupan manusia.

Hal ini menggambarkan situasi gawat yang “membutuhkan perhatian segera untuk mencegah atau membatasi besarnya atau jumlah pe-langgaran serius terhadap konvensi (CERD)” dan untuk mengurangi risiko diskriminasi rasial lebih lanjut. Iklim kekerasan yang meluas dan pelanggaran HAM terhadap masyarakat adat di Papua, termasuk diskriminasi yang mengakar di semua tingkat masyarakat, merupakan faktor yang memperburuk yang membuat situasi ini semakin men-desak dan ekstrim untuk melindungi masyarakat adat Papua, untuk mendapatkan perhatian dan pengawasan internasional.

Berdasarkan situasi tersebut, organisasi pemohon meminta dan merekomendasikan sebanyak delapan point kepada komisi CERD untuk melaksanakan prosedur tindakan peringatan dini dan men-desak, mencakup: mendesak kepada pemerintah Indonesia untuk menghentikan dengan segera setiap bagian proyek MIFEE yang mengancam kelangsung hidup masyarakat adat dan untuk segera memberikan dukungan kepada masyarakat adat yang terampas alat-alat bertahan hidupnya. Untuk mendesak pemerintah Indonesia menjamin kondisi kerja dalam proyek MIFEE untuk melaksanakan standard pekerja internasional, tidak diskriminatif, serta menghargai atas hak-hak teritorial masyarakat adat setempat.

Pemohon juga mengungkapkan keprihatinan mendalam atas pel-anggaran HAM di Papua dan untuk mendesak pemerintah Indonesia agar terlibat dalam dialog resmi dengan perwakilan masyarakat adat Papua untuk menyikapi konflik di Papua tanpa kekerasan dan dialog konstruktif. Merekomendasikan dan mendesak kepada pemerintah Indonesia, untuk menetapkan Pengadilan HAM dan Komisi Kebenar-an dKebenar-an Rekonsiliasi untuk Papua.

Mendesak Indonesia untuk mendukung secara aktif dan menerapkan Deklarasi Bali mengenai HAM dan Agribisnis bersama dengan Komnas HAM, organisasi-organisasi masyarakat adat, pihak bisnis dan LSM.

Merekomendasikan bahwa pemerintah Indonesia meminta atau mengabulkan permintaan untuk kunjungan lapangan dari Pelapor Khusus PBB tentang Hak-hak Masyarakat Adat dan Pelapor Khusus PBB tentang Hak-hak atas Pangan agar mendukung pemenuhan kewajiban internasional, termasuk yang terkait dengan hak-hak masyarakat adat di Papua; dan meminta bahwa prosedur-prosedur khusus tersebut di atas dilaporkan kepada Komisi atas setiap temuan atau kemajuan dalam pengaturan dan pelaksanaan kunjungan lapangan. (Ank, Agst 2013)

Proyek MIFEE Tetap Berjalan

Menteri Pertanian RI, Suswono, di Jakarta, mengatakan program MIFEE tetap berjalan meski terdapat desakan penghentian oleh koalisi LSM. Hal ini disampaikan Menteri Suswono dalam wawancara dengan koran-jakarta.com (29 Juli 2013), menyusul Surat Permohon-an 27 LSM kepada Komisi CERD yPermohon-ang meminta penghentiPermohon-an proyek MIFEE di Merauke.

Firman Subagyo, Wakil Komisi IV DPR RI, menilai desakan penghen-tian proyek MIFEE yang dilakukan LSM tidak beralasan kuat. Bahkan, dia mencurigai desakan tersebut sarat dengan kepentingan tertentu. "Saya khawatir desakan tersebut hanya menjadi alat dari kepenting-an asing untuk mendiskreditkkepenting-an proyek ketahkepenting-ankepenting-an pkepenting-angkepenting-an dkepenting-an energi Indonesia," ujarnya. Diberitakan oleh koran-jakarta.com bahwa DPR menilai pemerintah jangan mudah diintervensi untuk mengor-bankan proyek yang memiliki manfaat bagi program ketahanan pangan dan energy nasional.

sambungan: Proyek....

Pernyataan kepentingan ‘asing’ ini tidak jelas maksudnya, apakah maksudnya pihak luar wilayah pemerintah Indonesia? Padahal pro-yek MIFEE ini berorientasi dan dikendalikan oleh kepentingan korpo-rasi swasta, yang kebanyakan modalnya dikendalikan oleh perusah-aan multinasional dan tujuan produksi komoditi pangan dan energi untuk pasar komersial internasional.

Suswono, menyatakan proyek MIFEE sebagai salah satu andalan peningkatan ketahanan pangan dan energy. Proyek tersebut akan menyerap investasi sekitar Rp. 90 triliun yang bersumber dari dana swasta dan pemerintah. Sejumlah grup besar investor telah berminat masuk dalam proyek tersebut.

Menurut Kepala BKPM (Badan Koordinasi Penanaman Modal), Gita Wirjawan, pemerintah mengalokasikan dana Rp. 1 triliun untuk pembangunan infrastruktur pendukung bagi pengembangan food estate seluas 570 ribu hakter, yang lahannya dikembangkan untuk komoditas tebu, padi dan kedelai, yang diperkirakan selesai pada 2014. (Ank, Agst 2013)

Sumber:

http://koran-jakarta.com/index.php/detail/view01/125187

(5)

5

Bupati Kapuas Mengeluarkan Surat Penghentian

Kegiatan 13 Perusahaan Perkebunan Sawit

Bupati Kapuas, Ben Brahim, mengeluarkan Surat Bupati Kapuas No. 525.26/1460/Disbunhut/2013, tanggal 24 Juli 2013, tentang Penghen-tian Operasional Kegiatan PBS yang belum Clear and Clean. Surat ini ditujukan kepada Direktur Perusahaan Perkebunan Besar Swasta (PBS), yang berjumlah sebanyak 13 perusahaan.

Surat Bupati ini juga untuk menindak lanjuti Surat Gubernur Kaliman-tan Tengah Nomor 540/647/Ek, Kaliman-tanggal, 28 Juni 2013, perihal Peng-hentian Pengoperasian Kegiatan yang belum Clear and Clean. Bupati mengingatkan setiap kegiatan pembukaan kawasan hutan tanpa ijin dari Menteri Kehutanan merupakan suatu pelanggaran.

Dalam Surat Bupati yang menegaskan kepada 13 perusahaan perke-bunan sawit milik swasta untuk segera menghentikan kegiatan selu-ruh kegiatan perusahaan yang belum memiliki perizinan sesuai keten-tuan yang berlaku sejak diterima surat Bupati. Penyelesaian perizinan dimaksud termasuk penyelesaian sengketa dengan pemilik lahan. Ada 13 perusahaan perkebunan besar yang dianggap belum clear and clean, semuanya perkebunan kelapa sawit, yakni: PT. Agro Subur Permai (16.500 ha), PT. Dwie Warna Karya (12.500 ha), PT. Globalindo Agung Lestari (20.000 ha), PT. Hijau Pertiwi Indah Plantation (20.000 ha), PT. Kahayan Agro Lestari (20.000 ha), PT. Kalimantan Ria Sejahtera (17.000 ha), PT. Kapuas Maju Jaya (17.500 ha), PT. Lifere Agro Kapuas (20.310 ha), PT. Rezeki Alam Semesta Raya (20.000 ha), PT. Sepalar Yasa Kartika (14.000 ha), PT. Susantri Permai (15.000 ha), PT. Sakti Mait Jaya Langit (10.000 ha), PT. Wana Catur Jaya Utama (12.500 ha).

Dilapangan areal perkebunan sawit PT. Globalindo Agung Lestari (GAL), puluhan warga sekitar Mantangai dan Dadahup yang diorga-nisir oleh BATAMAD (Barisan Pertahanan Masyarakat Adat Dayak) mendatangi Kantor GAL di Desa Pulau Kaladan untuk menuntut pengembalian tanah adat mereka yang diambil oleh perusahaan. “Kami minta perusahaan menghentikan kegiatannya sebelum ada penyelesaian permasalahan dengan warga pemilik tanah”, kata Ewaldianson, Ketua BATAMAD Kab. Kapuas, yang berpendapat bahwa perusahaan telah melakukan pelanggaran merampas hak masyarakat dan menunjukkan Surat Bupati dan Surat Gubernur yang mendukung aksinya untuk menuntut pengembalian hak atas tanah dan penyele-saian sengketa dengan perusahaan.

Ancaman hukuman pidana terhadap pelanggaran surat bupati ini diancam dengan pidana penjara mulai dari satu tahun hingga 15 tahun dan denda mulai dari 10.000.000 rupiah hingga 10 milyar rupiah, berdasarkan UU No. 41 tahun 1999 tentang Kehutanan dan UU No. 18 tahun 2004 tentang Perkebunan. (Ank, 2013)

MK Tidak Progresif Berkenaan Pasal Bersyarat

Pengakuan Masyarakat Adat

Mahkamah Konstitusi (MK), dianggap tidak cukup progresif memu-tuskan hal-hal yang berkenaan dengan syarat-syarat pengakuan ter-hadap masyarakat adat. Ungkap Erasmus dalam Lokakarya di Manok-wari, Papua Barat, (5/8/2013). MK tidak lebih dari corong konstitusi. “MK hanya menyesuaikan syarat pengakuan dalam UU Kehutanan dengan syarat-syarat pengakuan dalam UUD 1945 sebagaimana putusannya terhadap pasal 4 ayat (3). Jika sebelumnya pasal tersebut berbunyi “Penguasaan hutan oleh negara tetap memperhatikan hak masyarakat hukum adat, sepanjang kenyataannya masih ada dan di-akui keberadaannya, serta tidak bertentangan dengan kepentingan nasional”. Oleh MK pasal tersebut disesuaikan dengan UUD 1945 sehingga menjadi “Penguasaan hutan oleh negara tetap memperha-tikan hak masyarakat hukum adat, sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia yang diatur dalam Undang-undang”, kata Erasmus. Pemerintah dan DPR RI juga terkesan masa bodoh dan tidak menang-gapi keputusan MK 35/2012 ini, menyusul disahkannya RUU Pence-gahan Pemberantasan Perusakan Hutan (UU P3H) menjadi UU pada tanggal 9 Juli 2013 dan juga diterbitkannya Surat Edaran Menteri Kehutanan terkait putusan MK, pada tanggal 16 Juli 2013. Surat edaran itu berupaya memelintir maksud dari putusan MK itu sendiri. “Dalam SE ini, tersirat kesan bahwa Kementerian Kehutanan melem-par tanggungjawab pelaksanaan putusan MK ke Pemerintah Daerah melalui peraturan Daerah. Hal ini adalah kekeliruan fatal mengingat UU Kehutanan itu sendiri menentukan bahwa penetapan hutan adat merupakan kewenangan Pemerintah (Kementerian Kehutanan) yang tata caranya perlu diatur dalam sebuah Peraturan Pemerintah”, kata Erasmus.

Menurut Erasmus, tantangan bagi masyarakat adat, mereka harus mampu membuktikan eksistensi dirinya karena keberadaannya akan sangat menentukan penguasaan mereka atas hutan adat. Hanya memang harus dikaji lebih jauh mengenai kriteria-kriteria keberada-an masyarakat adat itu sendiri. (Ank, Agst 2013)

Perubahan Pasal dalam UU Kehutanan 41 tahun 1999

yang Diuji Setelah Putusan Mahkamah Konstitusi

MK 35/2012

Sesuai dengan permohonan pengujian Undang-Undang Kehutanan oleh para pemohon yaitu terkait Pasal 1 angka 6, Pasal 4 ayat (3), Pasal 5 ayat (1) serta penjelasannya, Pasal 5 ayat (2) dan ayat (3), dan ayat (4) Pasal 67 ayat (1), (2) dan (3), dan pendapat hukum serta amar putusan MK terhadap pasal-pasal yang diuji tersebut, maka makna pasal-pasal yang diuji berubah menjadi sebagai berikut:

Sebelum Putusan Setelah Putusan

Pasal 1 angka 6: Hutan adat adalah hutan negara yang berada dalam wilayah masya-rakat hukum adat.

Pasal 4 ayat (3): Penguasaan hutan oleh Negara tetap memperhatikan hak masya-rakat hukum adat, sepanjang kenyataan-nya masih ada dan diakui keberadaankenyataan-nya, serta tidak bertentangan dengan kepen-tingan nasional.

Pasal 5 ayat (1): Hutan berdasarkan status-nya terdiri dari:

a. hutan negara, dan b. hutan hak.

Penjelasan Pasal 5 ayat (1): “Hutan negara dapat berupa hutan adat …”

Pasal 5 ayat (2): Hutan negara sebagaima-na dimaksud pada ayat (1) huruf a, dapat berupa hutan adat.

Pasal 5 ayat (3): Pemerintah menetapkan status hutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2); dan hutan adat dite-tapkan sepanjang menurut kenyataannya masyarakat hukum adat yang bersangku-tan masih ada dan diakui keberadaannya.

Pasal 5 ayat (4): Apabila dalam perkemba-ngannya masyarakat hukum adat yang ber-sangkutan tidak ada lagi, maka hak penge-lolaan hutan adat kembali kepada Pemerin-tah.

Pasal 67 ayat (1) Pasal 67 ayat (2) Pasal 67 ayat (3) Pasal 1 angka 6: Hutan adat adalah hutan

negara yang berada dalam wilayah masya-rakat hukum adat.

Pasal 4 ayat (3): Penguasaan hutan oleh Negara tetap memperhatikan hak masya-rakat hukum adat, sepanjang kenyataan-nya masih ada dan diakui keberadaankenyataan-nya, serta tidak bertentangan dengan kepen-tingan nasional.

sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia yang diatur dalam undang-undang.

Pasal 5 ayat (1): Hutan berdasarkan status-nya terdiri dari:

a. hutan negara, dan b. hutan hak terdiri dari: - hutan adat

- hutan perorangan/badan hukum. Penjelasan Pasal 5 ayat (1): “Hutan negara

dapat berupa tidak termasuk hutan adat..”

Pasal 5 ayat (2): Hutan negara sebagaima-na dimaksud pada ayat (1) huruf a, dapat berupa hutan adat.

Pasal 5 ayat (3): Pemerintah menetapkan status hutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2); dan hutan adat dite-tapkan sepanjang menurut kenyataannya masyarakat hukum adat yang bersangku-tan masih ada dan diakui keberadaannya.

Sebelum Putusan Setelah Putusan

Rumusan tetap, karena MK menolak permohonan untuk pasal 5 ayat (4).

Rumusan tetap, karena MK menolak permohonan untuk pasal 67 ayat (1), ayat (2) dan ayat (3).

(6)

Basri: Kompak Kunci Perjuangan Serikat Tani

Penguasa pemerintah hari ini cenderung mengutamakan kepentingan produksi dan reproduksi kapital para korporasi swasta, ketimbang ber-peran melayani dan melindungi kepentingan rakyat. Hukum hanya men-jadi alat penguasa untuk meloloskan kepentingan bisnisnya dan meng-hadang perlawanan dan sikap kritis rakyat.

Ditengah melemahnya peran negara, aksi kaum tani untuk memperta-hankan dan memperjuangkan hak hidup terus menguat bermodalkan solidaritas, persatuan dan kehendak untuk perubahan. Basri Ketua Seri-kat Tani Manggatang Tarung di Desa Mantangai Hulu, Kabupaten Kapuas, Kalimantan Tengah, menceritakan pengalaman mereka dalam memperjuangkan hak atas tanah, ditengah gagalnya negara melindungi dan menghormati hak-hak rakyat atas tanah.

Apa latar belakang didirikannya Serikat Tani Manggatang Tarung? Awalnya, kami tergabung dalam Sekolah Lapang untuk kegiatan pengo-lahan hasil karet hingga pemasaran, bersamaan dengan adanya proyek KFCP pada tahun 2010. Tapi proyek KFCP tidak memberi manfaat berarti karena hanya memfasilitasi kami untuk bertemu dengan pembeli dan tidak ada tanda untuk memberdayakan dan meningkatkan kesejahtera-an masyarakat. Kemudikesejahtera-an, kami secara mkesejahtera-andiri mengupayakkesejahtera-an modal dan pengembangan usaha karet dalam kelompok Serikat Tani Mangga-tang Tarung.

Tujuan Serikat Tani Manggatang Tarung?

Ketika itu, tahun 2011 kami sepakat tujuannya untuk mengembangkan kesejahteraan anggotanya melalui usaha tani karet, mulai dari pengola-han kebun, pengolapengola-han getah karet dan pemasaran. Usaha ini berjalan lancar secara mandiri. Tetapi ditengah jalan terjadi musibah, alat trans-portasi perahu kelotok ditabrak oleh getek kapal penyeberangan, perahu dan dua mesin tenggelam, muatannya beras 150 sak dengan isi 25 kilo persak, minyak bensin 7 drum, solar, minyak tanah 1 drum, lenyap ke dasar sungai, kerugian kami diperkirakan nilainya lebih dari 36 juta rupiah. Usaha serikat tani semakin terpuruk karena ambruknya harga karet dari harga Rp. 22.500 per kilo turun menjadi Rp. 4000 dan kadang Rp. 5000 per kilo di tingkat kampung. Ongkos produksi pengolahan karet lebih besar dibanding harga karet. Sehingga diputuskan untuk sementara Serikat Tani tidak mengolah karet.

Perkembangan selanjutnya, apakah tidak ada aktifitas lagi?

Kami juga terlibat dalam advokasi memperjuangkan hak atas tanah yang digunakan untuk proyek KFCP dan perusahaan perkebunan kelapa sawit PT. Usaha Handalan Perkasa yang merampas tanah masyarakat di Desa Mantangai. Tanah masyarakat semakin sempit dan dikurung oleh proyek konservasi dan perkebunan kelapa sawit. Kami berdiskusi dan bekerjasa-ma dengan LSM untuk menentang proyek KFCP yang tidak sesuai deng-an aspirasi masyarakat. Kami berbicara dalam pertemudeng-an di daerah Ka-puas dan provinsi hingga ke pemerintah pusat di Jakarta tentang masa-lah masa-lahan yang dikelola proyek KFCP dan perkebunan sawit. Tetapi, pe-merintah tidak punya perhatian serius untuk menangani dan memenuhi tuntutan masyarakat.

Bagaimana upaya untuk mendapatkan dan mengembalikan hak atas tanah?

Pada tahun 2012, kami bermusyawarah dan menyepakati untuk mendu-duki dan mengolah lahan yang dirampas oleh perusahaan kebun kelapa sawit PT. Usaha Handalan Perkasa di lahan Sei Hambiye. Pemilik handil

di Sei Hambiye mendukung Serikat Tani dan juga warga Mantangai Hulu. Lalu, kami melakukan perintisan lokasi dan mencabut patok yang sudah diukur oleh perusahaan. Kami juga melakukan pemetaan SKTA (Surat Keterangan Tanah Adat) dan membagi lahan kepada setiap anggota per KK (Kepala Keluarga) seluas satu hektar, serta memperjuangkan legalitas SKTA untuk masyarakat. Sebagian besar tanah tersebut digarap untuk ladang padi, kebun palawija dan kebun karet.

Apa hambatan dan tantangan Serikat Tani?

Pemerintah tidak menanggapi dan belum ada dukungan terhadap tun-tutan masyarakat, sehingga terjadi pengabaian. Misalnya, prosedur untuk memperoleh SKTA sudah dipemuhi dan mendapat pengesahan dari Mantir di desa, tetapi pengesahan dari Damang belum selesai dan pemerintah desa menolak menandatangani. Pemerintah Desa dan BPD melakukan rintisan diareal Sei Hambiye dan Sei Rangas dan mencaplok lahan yang telah di SKTA kan sekitar 300 meter.

Masyarakat tidak mengetahui tujuan pembuatan rintisan tersebut yang kemudian diketahui digunakan oleh perusahaan setelah ada kegiatan penebasan dan penebangan di daerah tersebut. Perusahaan juga tidak menghormati dan mengakui hak-hak masyarakat. Kami sudah memasa-ng patok disitu dememasa-ngan kayu yamemasa-ng timemasa-nggi dan di cat putih pada rintisan selebar dua meter, tetapi mereka tetap melewati dan menggarap lahan tersebut. Sewaktu masyarakat ingin berladang ternyata lahan tersebut sudah ditanami oleh perusahaan.

Karenanya, kami kembali bergerak melakukan protes dan perlawanan. Pada tanggal 7 dan 12 Agustus 2013, Serikat Tani bersama warga mela-kukan aksi mencabut tanaman bibit karet perusahaan yang berada di lahan Sei Jangkit dan Sei Hambiye. Kami lalu menanam karet local di lahan tersebut.

Bagaimana dengan surat panggilan Kapolsek Mantangai sebagai saksi kasus tindak pidana pengrusakan?

Saya dan Dirman dipanggil melalui Surat Panggilan Kapolsek Mantangai sebagai saksi dalam kasus tindak pidana pengrusakan pada 14 Agustus 2013. Tapi, saya tidak datang dan kami kompak bersama warga ke kantor Polsek Mantangai pada tanggal 16 Agustus 2013, sebanyak 50 orang berjalan kaki sejauh 5 kilometer menuju Kapolsek Mantangai.

Pihak polisi bingung menghadapi warga dan juga ada perempuan. Polisi menanyakan ada apa ini pak, kok datang banyak? Kami hadir disini kare-na ada panggilan dari bapak. Kami semua ingin memberi kesaksian atas tuduhan pengrusakan. Kami membawa dokumen aksi lapangan, jika belum puas kita ke lapangan untuk melihat apa yang kami lakukan. Polisi hanya mencatat keterangan dan keluhan masyarakat yang silih berganti berbicara. Pihak kepolisian tidak bisa menanggapi. Saya mena-nyakan siapa yang melaporkan tindakan pengrusakan kepada Kepolisi-an? Ternyata pihak perusahaan. Lalu warga meminta polisi memediasi mempertemukan kami dengan perusahaan PT. Usaha Handalan Perkasa. Warga meminta tidak terlalu lama karena ingin tahun penyelesaian ter-hadap perusahaan tetapi polisi tidak menentukan jadwalnya. Hanya meminta no telpon kami.

Kami minta pertemuannya tanggal 19, tempat pertemuannya di keca-matan atau di desa. Kapolsek meminta kami pulang dan sampai sekara-ng tidak ada tasekara-nggapan lagi dan lasekara-ngsusekara-ng diam saja permasalahan ini. Kami juga menyerahkan Surat Gubernur dan Surat Bupati (surat peng-hentian perusahaan PBS yang tidak clear and clean) kepada Humas perusahaan, bernama Arbani. Perlu bapak ketahui, berdasarkan ini kami menolak perusahaan tersebut dan tolong sampaikan omongan saya ini, sawit yang ditanam dilahan kami tolong diambil, karena tanah itu akan kami garap tahun ini. Kalo tidak diambil jangan salahkan kami.

Apa rencana serikat tani?

Berdasarkan musyawarah anggota, kami akan membuat parit sebagai batas tanah di lapangan. Batas tidak cukup hanya dengan menebas dan memasang patok, karena patok bisa busuk dan hilang, sedangkan tebas tidak bertahan karena tanaman akan tumbuh lagi. Sebagai batas hak kelola antara Sei Rangas, Sei hambiye dan Sei jangkit, yang mana Sei hambiye dan Sei jangkit satu pemilik handil.

Kami juga akan memetakan tanah didaerah ini hingga mencapai 1000 an hektar sesuai dengan surat pemilikan atas handil yang diterbitkan oleh Dinas Pertanian, yang mana saat ini masih 40 % yang sudah di peta-kan. Selanjutnya, melakukan perluasan kebun karet bibit local untuk anggota dan kelompok yang dikelola secara bersama. Dan hasil kebun karet kelompok bisa dipakai untuk mendukung perjuangan organisasi. Dalam waktu dekat, kami akan menanam lahan dengan padi lokal

Gambar

Gambar logo disamping dibuat oleh Rebang Dewan, merupakan logo

Referensi

Dokumen terkait

Istilah komunikasi atau dalam bahasa Inggris ”communication” berasal dari kata Latin ”communicatio”, dan bersumber dari kata communis yang berarti sama, sama disini

Perkembangan teknologi internet sebagai media promosi yang sangat murah dan menjadi peluang bisnis baru bagi suatu perusahanan untuk memperluas pemasaran dengan

Konsultan perencana diundang langsung oleh pemilik proyek (bouwer) dalam hal ini ada beberapa pertimbangan yang mendorong pemilik proyek  yang mengadakan kerjasama yaitu

beban kerja berat, diskriminasi gender, target harian yang tidak dapat dicapai dan pekerja anak.119 Seperti yang diuraikan dalam laporan Pelapor Khusus tentang pekerja pertanian

Pohon kurma merupakan salah satu tanaman yang paling banyak disebut dalam Al-Qur’an. Pohon kurma dapat mengatasi permasalahan-permasalahan dalam konservasi tanah dan

f). Konseling konseling tentang pemanfaatan pekarangan g). Konseling tentang gizi seimbang.. Pengukuran berat badan balita gizi kurang untuk mengetahui tingkat perkembangan

Penelitian tentang aplikasi asam humik telah banyak dilakukan dalam upaya untuk mengefisiensikan penggunaan pupuk P pada tanah-tanah yang bersifat menjerap (memfiksasi) P

Semua trader mengerti sekali kalau indikator hanyalah sebuah kalkulator yang digunakan untuk meng-kalkulasikan input (harga sebuah instrumen). Namun ironinya, coba saja di