TINJAUAN PUSTAKA
Asam Humik
Asam humik adalah hasil dari bahan organik sekunder yang mencakup berbagai zat yang terbentuk melalui proses sintesis. Asam humik merupakan neoformasi (bentuk baru) dari senyawa gula (berasal dari dekomposisi karbohidrat), asam amino (berasal dari dari dekomposisi protein) dan quinol (dekomposisi lignin) (Notohadiprawiro, 1998).
Penelitian tentang aplikasi asam humik telah banyak dilakukan dalam upaya untuk mengefisiensikan penggunaan pupuk P pada tanah-tanah yang bersifat menjerap (memfiksasi) P dan menjadikan tanah bersifat masam, dan ketersediaan unsur hara P rendah karena P terikat dalam bentuk yang tidak tersedia bagi tanaman seperti Al-P dan Fe-P. Satu karakteristik yang paling khusus dari bahan humik adalah kemampuannya untuk berinteraksi dengan ion logam, oksida, hidroksida, mineral dan bahan organik, termasuk pencemar beracun. Unsur hara P yang terjerap oleh logam dan penjerapan P lainnya, dapat dibebaskan oleh asam humik sehingga P menjadi tersedia bagi tanaman. Di samping itu, asam humik dapat memperbaiki pertumbuhan tanaman melalui disagregasi liat, memungkinkan penetrasi air, transfer hara dan kemampuan memegang air, serta dapat merangsang populasi dan aktivitas mikroorganisme tanah (Patrick, 1983).
Manfaat asam humik (Humic acid) dalam interaksi tanah dengan tanaman diantaranya dapat mempermudah pertukaran ion dalam tanah. Asam humik juga meningkatkan pH tanah yang mempengaruhi ketersediaan hara. Tanah yang memiliki kandungan liat yang tinggi dengan kadar humus yang sangat rendah dapat menjadikan kondisi tanah yang terlalu asam dan tidak bagus untuk
pertumbuhan tanaman. Asam humik dapat berperan dalam meningkatkan kapasitas penyangga tanah dan menstabilkan pH tanah. Asam humik dan humus juga dapat membantu menciptakan ruang di dalam tanah untuk oksigen, sehingga oksigen dapat tersedia untuk tanaman (Sofie, 2010).
Asam humik mempunyai peranan dalam menyediakan unsur hara didalam tanah yang penting bagi pertumbuhan tanaman. Hasil penelitian Ayuso (1996)
dalam Fauziah (2009) membuktikan bahwa penambahan asam humik
meningkatkan kemampuan penyerapan unsur hara makro (N, P, K) tetapi banyaknya hara yang terserap berbeda untuk setiap unsurnya. Proses aplikasi asam humik di bidang kehutanan adalah rehabilitasi lahan pasca kebakaran, dan pembangunan hutan tanaman pada lahan marginal (lahan yang tidak dapat mendukung bagi pertumbuhan tanaman).
Pada tanah masam terdapat suatu mekanisme fiksasi fosfor, aluminium dapat ditukar bereaksi dengan monokalsium fosfor dan membentuk senyawa yang tidak larut [Al(OH)2H2PO4]. Pengaruh tidak langsung dari mekanisme ini adalah menurunnya ketersediaan P dalam tanah. Pengikatan kuat antara ion Al3+ dan aluminium oksida tanah masam terhadap ion H2PO4- dari pupuk membentuk senyawa Al-P yang tidak larut. Tingkat aluminium di dalam larutan tanah itu bergantung pula pada kandungan bahan organik tanah dan kandungan garamnya. Aluminium dalam larutan tanah itu menurun apabila bahan organik meningkat, karena bahan organik membentuk senyawa yang kompleks dengan aluminium (Sanchez, 1992).
Damanik et al (2010) menjelaskan bahwa pada tanah yang bereaksi masam, kelarutan atau konsentrasi ion-ion Al dan Fe sangat tinggi. Selanjutnya
ion Al dan Fe ini akan mengikat ion H2PO4 membentuk hidroksi fosfat yang tidak larut sehingga tidak tersedia bagai tanaman. Reaksinya sebagai berikut:
Al3+ + H2PO4- + 2H2O-↔ 2H+ + Al(OH)2H2PO4 (larut) (tidak larut)
Bila konsentrasi Al dan Fe dalam tanah lebih besar dari pada ion H2PO4-, maka reaksi bergerak ke kanan dan terjadi pembentukan senyawa aluminium fosfor yang tidak larut. Pada keadaan seperti itu, sangat sedikit sekali ion H2PO4- yang segera tersedia bagi tanaman (Selvi, 2010).
Asam humik memiliki peranan yang penting dalam memperbaiki kesuburan tanah dan pertumbuhan tanaman. Senyawa ini berperan dalam sejumlah reaksi tanah, hal ini dikarenakan asam humik memiliki kapasitas tukar kation (KTK) yang tinggi. Secara kimia, asam humik dapat berikatan dengan ion logam yang bersifat racun bagi tanah dan tanaman, sehingga ion logam dalam tanah tersebut menjadi larut dan tidak meracuni tanaman. Secara fisik, asam humik juga berpengaruh terhadap tanah, diantaranya memperbaiki struktur tanah, aerasi, permeabilitas dan daya ikat terhadap air (Tan, 1982).
Asam humik juga berperan langsung dalam pertumbuhan tanaman, diantaranya dapat merangsang pertumbuhan akar dan bagian atas tanaman. Berkaitan dengan hal ini, asam humik dapat digunakan sebagai perangsang pertumbuhan tanaman dan sebagai penunjang pertumbuhan serta produktifitas lahan. Asam humik bukanlah pupuk, tetapi merupakan bagian dari pupuk. Pupuk adalah sumber hara untuk tanaman dan mikroflora. Asam humik pada dasarnya membantu menggerakkan mikronutrien dari tanah ke tanaman (Fajri et al., 2008).
Aktivator Orgadec
Pengomposan merupakan suatu proses biologis oleh mikroorganisme yang mengubah sampah padat menjadi bahan stabil menyerupai humus yang memiliki manfaat utama sebagai penggembur tanah. Proses dekomposisi (penguraian) sampah padat organik dapat berlangsung secara aerobik maupun anaerobik, tergantung dari tersedianya oksigen (Tarigan, 2001).
Biodegradabilitas (penguraian/perombakan secara biologis) suatu senyawa ditentukan oleh sifat dan susunan bahan. Tetapi dalam kenyataanya, khususnya di lingkungan alami biodegradabilitas berjalan lambat dan ditentukan oleh banyak faktor, baik bersifat aerobik maupun anaerobik. Buangan berupa senyawa organik mempunyai kandungan senyawa yang berbeda sehingga biodegradabilitasnya menjadi beragam (Suriawiria, 1986 dalam Tarigan, 2001).
Proses biologis merupakan proses alami yang bersifat dinamis dan kontinu selama faktor-faktor yang berhubungan dengan kebutuhan hidup jasad renik yang satu dengan yang lain terpenuhi. Salah satu cara yang dapat dicoba dalam mempercepat waktu dalam proses pengomposan serta meningkatkan nilai atau hasil pengomposan adalah dengan menerapkan sistem simba. Sistem simba merupakan sistem simbiosa kehidupan yang memiliki dua atau lebih mikroba yang saling menguntungkan selama proses pengomposan berlangsung (Suriawiria, 1986 dalam Tarigan, 2001). Sistem simba ini mempunyai keunggulan diantaranya waktu pengomposan yang lebih cepat, hasil sampingan bersifat racun bagi suatu mikroba yang mungkin terbentuk juga dapat di minimalisir oleh mikroba yang lain, dan stabilitas bahan baku selama proses pengomposan menjadi lebih baik bila dibandingkan dengan sistem tunggal (Tarigan, 2001).
Inokulum Organic Decomposer (Orgadec) yang bersifat aerob merupakan jenis mikroorganisme yang bisa digunakan dalam sistem simba. Inokulan orgadec ini merupakan hasil pengembangan penelitian Unit Penelitian Bioteknologi Perkebunan (UPBP) Bogor. Didalam aktivator orgadec, mikroba yang digunakan adalah isolat khusus Trichoderma pseudokoningii dan Cytophaga sp. Kedua mikroba ini mengeluarkan sistem penghancur lignin dan selulosa secara bersamaan. Dengan hancurnya lignin dan selulosa, maka kadar karbon akan turun dan kadar nitrogen meningkat, sehingga rasio C/N menjadi kecil. Organic
Decomposer (Orgadec) mempunyai kemampuan untuk menghancurkan bahan
organik dalam waktu yang singkat dan bersifat antagonis terhadap beberapa penyakit akar (Tarigan, 2001).
Aktivator orgadec sangat berperan dalam proses penguraian bahan organik yang merupakan sumber energi organik bagi tanaman. Bahan organik tersebut larut dalam tanah dan dapat diserap oleh perakaran tanaman. Selain itu orgadec sesuai untuk kondisi tropis, menurunkan C/N secara cepat, dan mudah untuk diaplikasikan (Tarigan, 2001).
Dosis aktivator orgadec yang telah digunakan oleh pihak UPBP dalam pembuatan kompos yang berasal dari bahan organik keras adalah 12.5 kg/ton bahan, dan yang berasal dari bahan organik lunak adalah 5 kg/ton bahan (Unit Penelitian Bioteknologi Perkebunan, 1998 dalam Tarigan, 2001).
Deskripsi Toona sureni
Pemilihan jenis-jenis pohon/tanaman yang akan digunakan untuk memulihkan kondisi tanah yang rusak, disarankan untuk menggunakan jenis-jenis
yang dalam pertumbuhannya tidak memerlukan air yang terlalu banyak, evapotranspirasi rendah dan mempunyai sifat tahan terhadap kekeringan (Cendrawasi et al., 2000 dalam Rachman, 2000).
Secara lebih lengkap lagi Kartasapoetra dan Sutedjo (1999) menyebutkan bahwa jenis-jenis yang digunakan sebaiknya memenuhi persyaratan sebagai berikut :
• Termasuk jenis yang cepat tumbuh.
• Harus mampu menghasilkan serasah yang banyak. • Bertajuk lebat.
• Mampu hidup dengan baik di tempat tersebut.
• Sistem perakaran melebar, kuat, dalam, dan berakar serabut yang cukup banyak.
• Mudah ditanam dan tidak memerlukan pemeliharaan. • Tahan terhadap hama dan penyakit.
• Mampu memperbaiki tanah terutama untuk kandungan unsur nitrogen.
• Sedapat mungkin bernilai ekomis dan dalam jangka pendek dapat menghasilkan bahan makanan seperti buah-buahan, makanan ternak dan lain-lain.
Menurut Yassir dan Omon (2007) bahwa pemilihan jenis adalah tahap yang paling penting dalam upaya merestorasi lahan bekas tambang. Pemilihan ini bertujuan untuk memilih spesies tanaman yang disesuaikan dengan kondisi lahan yang akan direstorasi. Kunci utama keberhasilan revegetasi adalah pemilihan jenis pohon yang tepat. Pemilihan jenis pohon yang akan ditanam didasarkan pada adaptabilitas, cepat tumbuh, diketahui teknik silvikultur, ketersediaan bahan
tanam, dan dapat bersimbiosis dengan mikoriza. Ada beberapa kriteria yang harus dimiliki oleh jenis tumbuhan yang terpilih, antara lain :
1. Mempunyai kemampuan adaptasi yang tinggi
Pada tahap awal jenis tumbuhan yang dipilih hendaknya mampu berdaptasi dengan kondisi lingkungan setempat. Untuk lahan bekas tambang, kondisi lingkungan yang ekstrim seperti ketersediaan unsur hara yang rendah, suhu relatif tinggi, kamasaman tanah tinggi, drainase kurang baik, kelembaban rendah, salinitas tinggi, dan intensitas cahaya tinggi merupakan faktor-faktor lingkungan yang harus dipertimbangkan dalam memilih spesies yang akan digunakan untuk kegiatan restorasi. Hal ini dapat dilakukan dengan cara: a. Mengidentifikasi dan memilih jenis-jenis lokal potensial.
b. Mengevaluasi silvical characteristic jenis dengan kondisi lingkungan setempat.
c. Mengevaluasi jenis-jenis non-lokal yang telah tumbuh dilokasi setempat. d. Melakukan spesies trial dan uji provenance.
2. Cepat tumbuh
Kriteria ini penting karena akan terjadi penutupan yang cepat pada lahan terbuka untuk mengurangi laju aliran permukaan dan erosi. Oleh karena itu, jenis-jenis lokal yang pertumbuhannya cepat, sistem tajuknya melebar dan berlapis serta memiliki sistem perakaran yang dalam, sangat diutamakan menjadi tanaman dalam merestorasi lahan tersebut.
3. Teknik silvikultur diketahui
Untuk memudahkan pelaksanaan penanaman dan pemiliharaan lanjutan, maka teknik silvikultur jenis-jenis terpilih perlu diketahui, terutama yang
berhubungan dengan perlakuan biji, teknik persemaian, waktu pemindahan di lapangan, sensitifitas terhadap toksisitas logam berat, dosis pupuk yang diperlukan, toleransi terhadap cahaya, genangan air, dan hama penyakit. 4. Ketersediaan bahan tanaman
Kriteria ini perlu diperhatikan karena akan menentukan keberhasilan upaya dalam restorasi. Bahan tanaman berupa benih, harus tersedia dalam jumlah yang cukup dan berkualitas baik. Kelemahan utama dalam penggunaan jenis-jenis lokal adalah masalah kelangkaan benih.
5. Dapat bersimbiose dengan mikroba
Mengingat keadaan lahan kritis pada umumnya merupakan lahan marginal, maka jenis-jenis yang akan ditanam dipilih dari jenis-jenis yang dapat berasosiasi dengan bakteri penambat nitrogen atau bersimbiosis dengan cendawan mikoriza, sehingga kebutuhan akan nitrogen dan fosfat tidak sepenuhnya bergantung pada pemupukan (Yassir dan Omon, 2007).
Menurut Yassir dan Omon (2007) bahwa lahan bekas tambang dapat dikategorikan sebagai ekosistem dengan intensitas gangguan berat, berukuran besar, dan lama gangguan jangka panjang. Untuk itu upaya restorasi diperlukan untuk mencagah kerusakan lingkungan. Berdasarkan acuan tersebut maka dalam rangka merehabilitasi lahan bekas tambang emas di Desa Simpang Gambir akan digunakan tanaman suren (Toona sureni) karena tanaman suren memenuhi kriteria sebagai jenis lokal yang banyak terdapat di daerah tersebut, cepat tumbuh (fast
growing), bernilai ekonomi tinggi yang dapat diperoleh dari akar, kayu, kulit
Pohon suren tergolong pohon besar dengan bentuk batang lurus dan dapat mencapai tinggi 40-60 m dengan tinggi bebas cabang mencapai 25 m dan diameter sekitar 100 cm, bahkan di daerah pegunungan dapat mencapai diameter hingga 300 cm, pertumbuhannya tergolong cepat (fast growing). Permukaan kulit batang pecah-pecah seolah tumpang tindih seperti kulit buaya, berwarna coklat keabu-abuan hingga coklat gelap dan mengeluarkan aroma khas apabila dipotong. Suren (Toona sureni) memiliki taksonomi sebagai berikut :
Kingdom : Plantae Divisi : Magnoliophyta Kelas : Magnoliopsida Ordo : Sapindales Famili : Meliaceae Genus : Toona Species : Toona sureni
Suren menyebar dari daratan Asia mulai dari Nepal, India, Burma (Myanmar), Cina, Thailand, Malaysia, Sumatera, Jawa, dan Kalimantan. Suren juga memiliki banyak nama daerah sesuai dengan daerah penyebarannya, seperti suren, ingul, surian, surian amba (Sumatera), Surian wangi (Malaysia), danupra (Philippina), ye tama (Myanmar), surian (Thailand), dan nama dagangannya adalah Limpaga (Djam’an dan Ochsner, 2002).
Suren tumbuh baik dari dataran rendah hingga ketinggian 2.700 m diatas permukaan laut, namun tumbuh optimal pada ketinggian 600-2.000 m diatas permukaan laut dengan suhu udara sekitar 22oC (Djam’an dan Ochsner, 2002).
Suren memiliki banyak kegunaan dan manfaat yang dapat diperoleh mulai dari akar, batang, kulit, buah dan daun. Pohon suren sering ditanam sebagai tanaman pagar pemecah angin, naungan dan pelindung tanaman di bawahnya. Daunnya mengandung senyawa surenon, surenin, surenolakton yang terbukti efektif sebagai repellant (pengusir dan penolak) serangga, dan daunnya juga dapat diekstrak sebagai antibiotik dan bioinsektisida. Buahnya dapat disuling untuk menghasilkan minyak esensial (aromatik). Kulit dan akar suren dapat dimanfaatkan sebagai bahan baku obat diare karena mengandung senyawa diarrhoea. Kayu suren dapat dipergunakan sebagai kayu perkakas, peti kemas, kotak cerutu, kayu bangunan, plywood, kayu perkapalan, kayu ukiran, furniture, panel dekoratif, alat musik, finir dan lain-lain (Djam’an dan Ochsner, 2002).
Pertumbuhan Tanaman
Dalam perencanaan Penelitian pertumbuhan tanaman, penting untuk ditetapkan parameter apakah yang harus diamati, bagaimana cara atau metode pengamatannya, kapan sebaiknya pengamatan dilakukan, dan berapa besar sampel yang diperlukan (Sitompul dan Guritno, 1995). Penelitian ini, parameter yang diamati yaitu, tinggi tanaman, diameter tanaman, berat kering tanaman (biomassa) dan serapan P tanaman.
Tinggi tanaman merupakan ukuran tanaman yang sering diamati baik sebagai indikator pertumbuhan maupun sebagai parameter yang digunakan untuk mengukur pengaruh lingkungan aau perlakuan yang diterapkan. Ini didasarkan atas kenyataan bahwa tinggi tanaman merupakan ukuran pertumbuhan tanaman yang paling mudah dilihat (Sitompul dan Guritno, 1995).
Pengertian biomassa dapat diartikan dari asal katanya (bio + massa), sehingga biomassa tanaman adalah massa bagian hidup tanaman. Biomassa tanaman merupakan ukuran yang paling sering digunakan untuk menggambarkan dan mempelajari pertumbuhan tanaman. Ini didasarkan atas kenyataan bahwa taksiran biomassa (berat) tanaman mudah diukur dan merupakan integrasi dari hampir semua peristiwa yang dialami tanaman sebelumnya. Sehingga parameter ini merupakan indikator pertumbuhan yang paling representatif apabila tujuan utama adalah untuk mendapatkan penampilan keseluruhan pertumbuhan tanaman. Pengukuran biomassa tanaman dapat dilakukan melalui penimbangan bahan tanaman yang sudah dikeringkan. Pengeringan bahan, yang bertujuan untuk menghilangkan semua kandungan air bahan, dilaksanakan pada suhu yang relatif tinggi selama jangka waktu tertentu, maka cara yang banyak dilakukan adalah mengeringkan bahan selama 2 × 24 jam pada suhu 75-80o C (Sitompul dan Guritno, 1995).
Penyerapan hara oleh akar merupakan faktor penting yang menentukan efisiensi hara. Adaptasi morfologi perakaran terhadap defisien hara di antaranya yaitu pemanjangan akar, peningkatan kerapatan perakaran, maupun peningkatan jumlah dan panjang rambut akar (Gerloff, 1987). Selanjutnya Kant dan Kafkafi (2004) menjelaskan bahwa defisiensi hara tidak hanya terkait dengan kapasitas penyerapan hara oleh akar tetapi juga penggunaan hara tersebut oleh seluruh bagian tanaman. Tanaman yang ditumbuhkan pada larutan defisien hara, umumnya mempunyai akar yang lebih panjang dibandingkan tanaman pada kondisi hara standar. Akar yang panjang diharapkan mampu menjangkau lapisan tanah lebih dalam untuk memperoleh unsur hara. Pada kondisi defisien hara,
pertumbuhan akar di bagian atas dan tengah terhambat sehingga bobot keringnya mengalami penurunan. Menurut Marschner (1986) dalam kondisi defisien hara umumnya fotosintat akan lebih terkonsentrasi ke akar dibandingkan tajuk sehingga pertumbuhan tajuk akan lebih tertekan. Memang hubungan diantara tajuk dan akar dapat berubah pada keadaan lingkungan yang berbeda. Berat akar yang tinggi tidak selalu menghasilkan berat tajuk yang besar, konsep ini menekankan kepada fungsi akar menyerap unsur hara dan air untuk pertumbuhan tanaman yang optimum. Tanaman yang mempunyai nisbah tajuk/akar yang tinggi menunjukkan bahwa akar relatif sedikit cukup untuk mendukung pertumbuhan tanaman. Jika tanaman berada pada kondisi kekurangan air dan unsur hara, tanaman akan membentuk akar lebih banyak, yang mungkin ditujukan untuk menghasilkan nisbah tajuk/akar yang rendah (Sitompul dan Guritno, 1995)
Unsur hara Fosfor (P) diserap tanaman dalam bentuk H2PO4- dan HPO4+. Secara umum fungsi P dalam tanaman adalah dapat mempercepat pertumbuhan akar semai, mempercepat dan memperkuat pertumbuhan tanaman, mempercepat pembungaan dan pemasakan buah, dan meningkatkan produksi biji-bijian. Unsur P mudah diserap tanaman pada keasaman tanah (pH) 5,0 - 8,5, dan daya serap tanaman terhadap unsur hara yang optimal ditentukan juga oleh kemasaman tanah. Jadi terangkutnya unsur-unsur hara atau zat-zat mineral ketika panen berlangsung berarti menunjukkan banyaknya unsur hara yang diserap tanaman (Sutedjo, 2002).