• Tidak ada hasil yang ditemukan

Sains dalam Al Qur an: Studi Transformasi Teologi dari Mistisisme Menuju Kritisisme Dalam Fenomena Bencana Alam

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Sains dalam Al Qur an: Studi Transformasi Teologi dari Mistisisme Menuju Kritisisme Dalam Fenomena Bencana Alam"

Copied!
6
0
0

Teks penuh

(1)

Halaman: 17-22

Sains dalam Al Qur’an:

Studi Transformasi Teologi dari Mistisisme Menuju Kritisisme

Dalam Fenomena Bencana Alam

Mochammad Sidqi Awaliya Rahman

Program Studi Ilmu Al-Qur’an dan Tafsir (IAT) Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Purwokerto Jl. A. Yani No. 40-A Purwokerto; Telp. 0281-635624; Fax. 0281-636553 - Indonesia

Email: [email protected]

Abstrak. Tulisan ini berusaha mengkaji fenomena bencana alam dalam tinjauan ayat suci al-Qur’an. Fenomena bencana alam di Indonesia khususunya, sedang menjadi perhatian pemerintah dalam kapasitasnya sebagai pengelola urusan negara. Bagaimana tidak, dari data yang dirilis Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) menyatakan bahwa dalam rentan waktu 9 bulan terakhir telah terjadi 2.190 kejadian bencana alam, dengan korban jiwa mencapai 445 orang. Ketika terjadi bencana alam, setidaknya terdapat tiga tipologi analisis yang diajukan berdasarkan interpretasi ayat-ayat Al-Qur’an dan Hadits untuk mencari sebab terjadinya bencana tersebut, antara lain, sebagai azab dari Allah SWT atas dosa-dosa manusia, sebagai ujian dari-Nya dan sebagai bentuk campur tangan manusia. Berangkat dari pemahaman inilah, maka kemudian fenomena bencana alam bukanlah secara murni terjadi sebagai suatu ‘hadiah’ dari Tuhan yang bersifat mutlak, melainkan peran manusia sangat memungkinkan dalam mencegah terjadinya bencana alam. Metode penelitian yang digunakan adalah studi literasi atau dengan mengumpulkan data-data yang ada dari kajian jurnal, buku, serta sumber lain yang relevan terhadap permasalahan. Dari kajian yang telah dilakukan, diperoleh hasil bahwa dengan transformasi teologi seperti ini, yakni dari teologi mistisisme menjadi kritisisme maka paradigma teosentris (Tuhan pusat segala sesuatu) yang meniadakan potensi usaha atas manusia, akan berubah menjadi kesadaran antrhoposentris (manusia pusat segala sesuatu) yang berguna baginya melakukan kalkulasi dan perhitungan cermat sebagai upaya mengantisipasi terjadinya bencana alam.

Kata Kunci: Al-Qur’an; Antrhoposentris; Bencana Alam; Teosentris

PENDAHULUAN

Salah satu persoalan yang sedang menjadi perhatian pemerintah sekaligus publik dalam beberapa waktu terakhir ini adalah terjadinya fenomena bencana alam yang sering melanda wilayah di Indonesia. Tercatat oleh BNPB RI (Badan Nasional Penanggulangan Bencana), telah terjadi 2.190 kejadian bencana alam dengan korban jiwa mencapai 445 orang dalam kurun waktu 9 bulan terakhir. Terlebih dengan rusaknya 39.879 rumah warga dan 1.359 fasilitas umum, menimbulkan perasaan sedih dan susah bagi masyarakat yang mengalami dampaknya secara langsung. Pemerintah dalam kapasitasnya sebagai pengelola negara pun tiada henti melakukan penanganan dan upaya pemberian pelayanan dengan berbagai bentuk bantuan kepada masyarakat.

Kemudian muncul komentar masyarakat yang beragam dalam kaitannya memberikan tanggapan atas bencana alam yang terjadi. Ada yang menganggap bahwa bencana alam merupakan sebuah kutukan dari Tuhan, kemarahan Tuhan, disebabkan karena dosa dan kesalahan manusia. Ada pula yang memberikan komentar bahwa bencana alam merupakan ujian dari-Nya, seperti halnya ujian bagi para Nabi Allah SWT yang hakikatnya ditujukan untuk meningkatkan derajat ketaqwaan disisi-Nya (Mustaqim, 2015). Sedangkan yang lain menganggap bahwa bencana alam merupakan

sebuah fenomena alam yang biasa terjadi, tanpa adanya campur tangan Tuhan sama sekali.

Singkatnya, kesadaran teologis (agamis) yang bersifat mistisisme sebagai sebuah konstruksi berfikir masih mengakar di lingkungan masyarakat. Teologi yang cenderung metafisis-spekulatif dan mengindikasikan bahwa semua hal yang terjadi adalah

one way (satu arah) dari Tuhan, dengan menghilangkan

potensi manusia dalam melakukan usaha dan perbuatan (Syafi’i, 2012). Konsekuensinya, masyarakat akan bersikap acuh, pesimis, dan sinis ketika dihadapkan pada situasi bencana alam. Oleh karena itu, peneliti merasa perlu untuk merujuk kembali pandangan Al-Qur’an terkait dengan sebab-sebab terjadinya bencana alam. Disamping bahwa Al-Qur’an diyakini sebagai sebuah petunjuk dan pegangan hidup manusia, sekaligus memberikan solusi yang terbaik atas persoalan-persoalan yang dihadapi manusia.

Hal tersebut menjadi penting, disebabkan karena komentar dan pandangan masyarakat terkait bencana alam di atas agaknya tidak seluruhnya mendapatkan afirmasi dalam Al-Qur’an (Mustaqim, 2015). Terkait dengan bencana alam, Al-Qur’an dalam beberapa ayat mengisyaratkan bahwa bencana alam juga disebabkan karena ulang tangan oknum manusia. Dari situlah setidaknya, kemudian upaya preventif dan usaha yang dilakukan manusia mendapatkan porsi yang tepat dalam melihat bencana alam, yakni tidak terpaku pada

(2)

kesadaran teosentris, tetapi mampu berkontribusi melalui transformasi teologi menjadi kesadaran antrhoposentris.

Transformasi teologis merupakan salah satu solusi dalam memberikan penanganan bencana alam. Kesalahan dalam memahami konsep teologi, akan berdampak pada pembelengguan pribadi dan pemerosotan harkat martabat manusia (Munawir, 2016). Sebaliknya, teologi yang mengisyaratkan terhadap sikap optimisme, konstruktif, dan sebagai pendorong perilaku yang bersifat praktis kemudian akan terlihat baik dalam upaya melakukan pencegahan terhadap bencana alam maupun rekonstruksi setelah bencana terjadi. Pola baru teologi dalam memahami konstruksi bencana alam memberikan isyarat tentang pentingnya sains dalam tata-kelola kehidupan sosial, baik dalam kapasitasnya sebagai masyarakat maupun instansi pemerintahan.

Tulisan ini berusaha mengkaji fenomena bencana alam dalam pandangan al Qur’an terkait sebab-sebab terjadinya. Mengkaji pula solusi yang ditawarkan Al-Qur’an atas interpretasi terhadapnya, yakni transformasi teologi mistisisme menuju teologi kritisisme.

METODE PENELITIAN

Metode yang digunakan dalam penelitian ini menggunakan metode penelitian studi literasi. Hasil penelitian disusun secara naratif berdasarkan proses kajian dari berbagai sumber jurnal, buku serta sumber lain yang sesuai dengan permasalahan dan terkait dengan topik yang ada.

PEMBAHASAN

Al-Qur’an sebagai Obyek Memahami

Al-Qur’an adalah Firman Allah SWT yang disampaikan oleh Malaikat Jibril dengan redaksi langsung dari-Nya, kepada Nabi Muhammad SAW dan diterima oleh umat Islam dari generasi ke generasi tanpa ada perubahan (Anshori, 2013). Sebagai upaya dari penerimaan ayat-ayat Al-Qur’an, umat Islam mencoba memberikan pembacaan atas ayat tersebut, disertai dengan memahami dan menafsirkannya berdasarkan metodologi yang disusun oleh para ulama. Upaya ini dilakukan sebagai bagian dari usaha manusia terkait kompleksitas persoalan-persoalan yang dihadapi agar sesuai dengan kehendak-Nya.

Al-Qur’an dalam fungsinya sebagai hudan (petunjuk) mengandung pelajaran sekaligus penawaran solusi yang dapat digunakan oleh manusia ketika dihadapkan pada berbagai persoalan. Menurut pandangan Al-Qur’an seperti yang tersirat pada QS Al ‘Alaq 1-5 ilmu (yang mengandung pelajaran) secara umum dikonsepsikan dalam 2 bentuk. Pertama, ilmu yang didapatkan tanpa upaya manusia, disebut dengan ilmu laduni. Kedua, ilmu yang didapatkan karena usaha dari manusia, disebut dengan ilmu kasbi. Namun secara umum,

ayat-ayat Al-Qur’an tentang ilmu kasbi mendapatkan porsi yang lebih besar daripada ilmu laduni (Estuningsih, 2018).

Pada poin pertama, beberapa ayat Al-Qur’an menginsyaratkan tentang adanya obyek ilmu berupa non-material dan non-fenomena. Hal ini didasarkan pada pandangan Al-Qur’an yang mengungkapkan adanya hal-hal yang ‘ada’ tetapi tidak diketahui melalui upaya manusia itu sendiri, sebagaimana ditegaskan berkali-kali dalam ayat Al-Qur’an (QS al Haqqah ayat 38-39). Sebaliknya, pada poin kedua mengandung isyarat bahwa di dalam Al-Qur’an terdapat pula ilmu yang menjadikan material dan fenomena sebagai obyeknya, tidak hanya berputar dalam persoalan agama melainkan di dalamnya juga terdapat ilmu pengetahuan (Estuningsih, 2018). Dengan potensi akal yang dimiliki manusia, maka proyeksi pemahaman terhadap ilmu pengetahuan di dalam Al-Qur’an akan terbuka. Hal tersebut setidaknya membantu manusia dalam tanggung jawabnya sebagai khalifah fillardli (pemimpin di bumi) dalam upayanya menjaga kelestarian alam.

Selain itu, terdapat beberapa hal lain yang menjadikan umat Islam penting dalam menjadikan Al-Qur’an sebagai obyek memahami, antara lain:

1. Memahami Al-Qur’an sebuah Tanggung Jawab Seorang Muslim.

Seorang muslim tidak hanya dituntut untuk mampu membaca ayat Al-Qur’an, tetapi juga memahaminya untuk selanjutnya diaktualisasikan dalam kehidupan. Pemahaman terhadap Al-Qur’an awalnya hanya didasarkan pada interpretasi mutlak dari Nabi Muhammad Saw ketika ayat al Quram masih turun (Prayetno, 2018). Namun seiring berkembangnya waktu, pemahaman terhadap Al-Qur’an menjadi tuntutan yang semakin luas sejalan dengan problematika yang muncul semakin banyak. Dalam menyesuaikan hal tersebut, tidak ada cara lain kecuali memberikan interpretasi terhadap ayat Al-Qur’an dan dalil-dalil syar’i untuk memberikan penetapan hukum, mengingat salah satu sifat Al-Qur’an yakni Shalihun likulii zaman wamakan (relevan pada setiap masa dan tempat). Oleh karena itu, dalam tradisi intelektual Islam upaya memahami Al-Qur’an tidak mengenal kata berhenti (Rohmah, 2013).

Dalam melakukan upaya memahami Al-Qur’an, Allah SWT secara tegas memberikan tugas penjagaan terhadap Al-Qur’an kepada umat Islam, baik dari segi makna maupun lafadznya. Hal tersebut termaktub dalam QS al Hijr: 9 yang berbunyi:

َحَل ۥُهَل اَّنِإ َو َر ۡكِ ذلٱ اَنۡل َّزَن ُن ۡحَن اَّنِإ

وُظِف

َن

Artinya: “Sesungguhnya Kami-lah yang menurunkan

Al-Qur’an, dan sesungguhnya Kami benar-benar memeliharanya”

Al-Qur’an, melalui ayat tersebut mengisyaratkan tentang kewajiban umat Islam dalam memahami Al-Qur’an. Pada ayat tersebut, terdapat dhomir mutakalim

(3)

pembicara yang berjumlah banyak) yang bermakna ‘kami’. Di dalam kaidah bahasa arab, dhomir tersebut digunakan untuk menunjuk pada pelaku yang berjumlah lebih dari 2. Oleh karna itu, kewajiban menjaga (memelihara) Al-Qur’an tidak hanya bertumpu pada sudut vertikal (Allah SWT) tetapi juga mengindikasikan terdapat peran manusia yang turut andil dalam proses penjagaan itu, salah satunya dengan cara memahami kandungan Al-Qur’an.

2. Al-Qur’an sebagai Sumber Kesejahteraan

Kesejahteraan merupakan rumusan tujuan atas berbagai upaya yang dilakukan manusia dalam melakukan berbagai tindakan dalam sehar-hari. Kesejahteraan tidak dapat diraih melainkan berdasarkan tingkat keilmuan dan pemahaman individu maupun kolektif. Salah satu sumber keilmuan dan pengetahuan terdapat dalam pemahaman terhadap ayat Al-Qur’an.

Fazlur Rahman menjelaskan bahwa Al-Qur’an secara umum dipandang oleh masyarakat menjadi 2 bentuk. Pertama, Al-Qur’an sebagai kitab undang-undang yang berusaha menjelaskan pasal demi pasal atas berbagai problematika yang dihadapi umat manusia, baik dalam lingkup politik, ekonomi, budaya maupun sosial. Kedua, Al-Qur’an dipandang sebagai landasan religius seluruh aspek kehidupan (Prayetno, 2018). Singkatnya, Al-Qur’an dipandang manusia sebagai sumber inspirasi kehidupan yang mengarah pada kebenaran dan kebaikan, memberikan ide moral pada seluruh aspek kehidupan manusia, sehingga tercipta suatu kesejahteraan yang menyeluruh (Mustaqimah, 2015)

Tipologi Analisis Bencana Alam dalam Al-Qur’an

Al Qur’an secara jelas menguraikan fenomena bencana –dalam berbagai turunan kata yang berbeda—baik yang berkaitan dengan alam maupun bencana yang berkaitan langsung dengan manusia (Prayetno, 2018). Khusus untuk bencana yang berkaitan dengan alam, studi interpretasi atas ayat Al-Qur’an secara umum membaginya ke dalam 3 bentuk bencana berdasarkan pada sebab-sebab terjadinya, antara lain:

1. Bencana alam disebabkan azab dari Allah SWT atas dosa manusia.

Bentuk bencana alam yang disebabkan karena dosa-dosa manusia setidaknya mengandung 2 sebab. Pertama, sebagai hukuman dari Allah SWT yang bersifat mutlak.

Kedua, disebabkan karena tingkah laku manusia yang

melampaui batas norma agama dan kemanusiaan. Hal ini seperti yang difirmankan Allah SWT dalam QS Al Isra’ ayat 16, yakni:

ُم اَن ۡرَمَأ ًةَي ۡرَق َكِل ۡهُّن نَأ ٓاَنۡد َرَأ ٓاَذِإ َو

ِف َرۡت

َفَف اَهي

َف اَهيِف ْاوُقَس

اَهۡيَلَع َّقَح

ا ٗريِمۡدَت اَه َن ۡرَّمَدَف ُل ۡوَقۡلٱ

Artinya: “Dan jika Kami hendak membinasakan

suatu negeri, maka Kami perintahkan kepada orang-orang yang hidup mewah di negeri itu (supaya mentaati

Allah) tetapi mereka melakukan kedurhakaan dalam negeri itu, maka sudah sepantasnya berlaku terhadapnya perkataan (ketentuan Kami), kemudian Kami hancurkan negeri itu sehancur-hancurnya.”

Allah SWT dan Rasul-Nya melarang manusia untuk hidup berlebihan, baik dalam hal kebaikan maupun keburukan (Prayetno, 2018). Berlebihan merupakan sifat setan yang harus dihindari. Dalam melakukan berbagai hal, manusia dituntut untuk senantiasa bersikap sederhana dan penuh rasa syukur. Larangan Allah SWT bukan tanpa sebab, sifat berlebihan akan menimbulkan masalah baru, seperti ketimpangan sosial, yang disebabkan perilaku berlebihan sebagian orang dalam menggunakan harta dan jabatannya. Dalam hal ini, Allah SWT kemudian memberikan gambaran tentang bencana yang akan menimpa bagi orang yang berlebihan, seperti kekeringan dll. Bencana alam dalam bentuk ini, dampaknya tidak hanya untuk dirinya sendiri melainkan pada wilayah yang ia tempati. Seperti yang tertulis dalam Firman Allah SWT, QS An Nahl ayat 122, yaitu:

َم ۡطُّم ٗةَنِماَء ۡتَناَك ٗةَي ۡرَق ۡتَلِمَع اَّم ٖسۡفَن

َّنِئ

ِتۡأَي ٗة

َغ َر اَهُق ۡز ِر اَهي

اٗد

َذَأَف ِ َّللَّٱ ِمُعۡنَأِب ۡت َرَفَكَف ٖناَكَم ِ لُك نِ م

َهَق

َُّللَّٱ ا

َساَبِل

َو ِعوُجۡلٱ

ِف ۡوَخ ۡلٱ

َنوُعَن ۡصَي ْاوُناَك اَمِب

Artinya: “Dan Allah telah membuat suatu

perumpamaan (dengan) sebuah negeri yang dahulunya aman lagi tenteram, rezekinya datang kepadanya melimpah ruah dari segenap tempat, tetapi (penduduk)nya mengingkari nikmat-nikmat Allah; karena itu Allah merasakan kepada mereka pakaian kelaparan dan ketakutan, disebabkan apa yang selalu mereka perbuat.”

2. Bencana alam disebabkan ujian dari Allah SWT untuk meningkatkan Taqwa.

Pada bentuk ini, bencana alam semata-mata kejadiannya ditentukan oleh Allah SWT dan tidak terkait dengan selain-Nya. Bencana alam menjadi sebuah ‘tanda’ kemahakuasaan-Nya, sehingga apa yang terjadi murni kehendak-Nya. Manusia sebagai ‘bagian’ dari bencana tersebut tidak mempunyai pengaruh sedikitpun, dan kejadiannya tidak dapat dihindarkan meskipun dengan usaha sebesar apapun. Namun, bencana ini ditujukan agar manusia menjadi lebih bertaqwa, dengan syarat ia harus bersabar atas apa yang Allah SWT takdirkan kepadanya. Hal ini diisyaratkan dalam firman Allah SWT dalam QS Al Mulk ayat 2:

ۡمُك َوُلۡبَيِل َة وَيَحۡلٱ َو َت ۡوَمۡلٱ َقَلَخ يِذَّلٱ

َأ

ُكُّي

َس ۡحَأ ۡم

َوُه َو ۚ ٗلَٗمَع ُن

ُروُفَغۡلٱ ُزي ِزَعۡلٱ

Artinya: “Yang menjadikan mati dan hidup, supaya

Dia menguji kamu, siapa di antara kamu yang lebih baik amalnya. Dan Dia Maha Perkasa lagi Maha Pengampun”

(4)

Dari ayat tersebut dapat dipahami bahwa Allah SWT mencipta, memurkai dan menghukum berdasarkan sifat kasih sayang-Nya. Oleh sebab itu, terkadang sifat kasih-sayang Allah SWT mengalahkan kemurkaan-Nya, meskipun pada bentuk yang terkesan menyulitkan. Akan tetapi, bukan berarti manusia dapat berbuat tanpa batas. Melainkan dengan sifat Allah SWT ini, manusia harus lebih berhati-hati dalam melakukan tindakan apapun.

3. Bencana alam disebabkan ulah tangan manusia. Manusia sebagai makhluk Allah SWT diberikan kewenangan untuk mengatur kehidupannya sendiri, meskipun tetap atas dasar pengetahuan-Nya (Qadha). Termasuk dalam memandang eksistensi alam, manusia mempunyai pengaruh yang tidak kecil. Bencana alam yang disebabkan oleh ulah tangan manusia ini terdapat hubungan sebab akibat terkait perilaku manusia dengan kondisi alam, seperti banjir, tanah longsor, dll. Allah SWT berfirman dalam QS Asy-Syuro ayat 30, yakni

ۡيَأ ۡتَبَسَك اَمِبَف ٖةَبي ِصُّم نِ م مُكَب َصَأ ٓاَم َو

ُكيِد

ۡعَي َو ۡم

ٖريِثَك نَع ْاوُف

Artinya: “Dan apa saja musibah yang menimpa

kamu maka adalah disebabkan oleh perbuatan tanganmu sendiri, dan Allah memaafkan sebagian besar (dari kesalahan-kesalahanmu)”

Dari ayat tersebut dapat dipahami bahwa perilaku manusia turut serta memberikan dampak pada eksistensi alam, tidak hanya disebabkan karena kehendak Allah SWT secara teologis (agamis). Manusia mempunyai andil besar terkait terjadinya bencana alam. Sebaliknya, manusia juga mempunyai andil besar dalam kaitanya dengan pencegahan bencana alam.

Perilaku manusia yang menjadi sebab terjadinya bencana alam yakni perbuatan manusia secara fisik. Contoh dari bentuk bencana ini seperti banjir, yang disebabkan karena penebangan pohon secara brutal tanpa dilakukan reboisasi ulang (Prayetno, 2018). Hal ini tersurat dalam firman-Nya pada QS Ar Ruum ayat 41

ۡلٱ يِف ُداَسَفۡلٱ َرَهَظ

َبَسَك اَمِب ِر ۡحَبۡلٱ َو ِ رَب

َأ ۡت

َّنلٱ يِد ۡي

مُهَقيِذُيِل ِسا

َنوُع ِج ۡرَي ۡمُهَّلَعَل ْاوُلِمَع يِذَّلٱ َضۡعَب

Artinya: “Telah nampak kerusakan di darat dan di

laut disebabkan karena perbuatan tangan manusi, supaya Allah merasakan kepada mereka sebahagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar).”

Transformasi Teologi: Mistisme (Teosentris)

Menuju Kritisme (Antroposentris) dalam Bencana Alam

Dalam sejarahnya, Islam tidak mengenal istilah ‘teologi’ sebagai sebuah istilah. Setidaknya untuk merujuk pada istilah tersebut, Islam menggunakan term Tauhid dan ilmu Kalam. Tidak berbeda jauh, teologi merupakan sebuah disiplin ilmu yang mempelajari tentang Tuhan dan hubungannya dengan manusia. Baik berdasarkan

kebenaran agama (wahyu) ataupun berdasarkan penelitian akal murni (Syafi’i, 2012). Bedanya dengan ilmu Tauhid, jika teologi tidak hanya bertumpu pada pembahasan yang bersifat pikiran tentang agama (the

intelectual expression of religion) tetapi juga uraian

yang bercorak agama (filosophycal theologi).

Term theologi mendapat tempat dalam dialektika pemikiran umat Islam tidak dapat disebut baru. Hal itu dibuktikan dengan adanya transformasi keilmuan dalam Islam pada dekade awal, dengan muncul berbagai terjemahan terhadap karya-karya Yunani yang tidak terlepas dengan pembahasan ketuhanan (Abbas, 2015). Kemudian berkembangnya waktu, penggunaan term theologi mulai digunakan untuk menggantikan term kalam, meskipun pada sisi-sisi tertentu terdapat perbedaan. Berkaitan dengan ini, Prof. Amin Abdulloh mengatakan, telah terjadi akulturasi dan inkulturasi (pergeseran pemikiran keagaaman) yang terlihat jelas (Abdulloh, 2009).

Dari fakta sejarah tersebut, maka secara umum term theologi terbagi menjadi 2 macam; tehologi klasik dan modern. Theologi klasik sebagai sebuah warisan theologi masa lalu mempunyai ciri apologitatik (perdebatan pada wilayah dosa besar, eskatologi, syurga-neraka, dan keqadiman Al-Qur’an). Sedangkan theologi modern lebih condong pada upaya memfungsikan nilai-nilai Islam dalam mengatasi persoalan sosial seperti kebodohan, kemiskinan, dan ketimpangan sosial (Abbas, 2015). Perbedaan mendasar itu itu kemudian mendapatkan respon yang beragam dikalangan umat Islam; penolakan, atau pengkompromian.

Dalam perkembangannya, kritik terhadap theologi klasik sebagai bagian dari penolakan pemikiran yang dianggap out of the date menjadi santer disuarakan. Hal itu didasarkan pada kesadaran bahwa theologi klasik tidak lagi mampu memberikan jembatan antara turats (yang menghasilkan sebuah kesadaran mistis), dengan kompleksitas problematika masyarakat modern (Syafi’i, 2012). Oleh karena itu, perlu adanya transformasi paradigma theologi klasik yang bercorak theosentris (Tuhan sebagai pusat kekuatan, manusia tidak mempunyai peran dalam kehidupannya, segala sesuatu bersifat mistis) menuju theologi modern yang bercorak antrhoposentris (manusia sebagai pusat orientasinya, memotivasi sikap kritis atas suatu hal) sebagai upaya memenuhi kebutuhan empiris masyarakat modern. Walaupun, dalam upaya itu perlu kehati-hatian karena pembicaraan tidak hanya pada wilayah fisik, tetapi terkadang masuk pada wilayah transendental seperti aqidah dan ibadah (Abbas, 2015).

Berkaitan dengan fenomena bencana alam, seperti yang telah dipaparkan di atas, bahwa tipologi yang dibangun untuk menganalisa sebab terjadinya bencana alam ada 3. Pertama, bencana alam yang disebabkan murka-Nya atas dosa dan kesalahan manusia (QS Al Isra’: 16). Bencana alam ini lebih disebabkan karena ‘Afal-Nya sebagai Pengatur alam semesta, termasuk dalam kapasitasnya sebagai Penguasa manusia. Kedua,

(5)

bencana alam yang disebabkan ujian dari-Nya untuk meningkatkan taqwa manusia (QS Al Mulk: 2). Model bencana ini mengamsumsikan takdir Tuhan yang bersifat mutlak, tanpa adanya peran manusia. Ketiga, bencana alam yang disebabkan ulah tangan manusia (Asy Syuro:30). Bencana alam inilah yang mengisyaratkan bahwa manusia dalam posisinya sebagai pelestari alam semesta (khalifah fil ardi) mempunyai hubungan erat dengan kondisi lingkungannya, di mana apa yang dilakukannya akan menjadi sebab timbulnya kejadian tertentu, termasuk bencana alam.

Dalam praktiknya, pemahaman manusia dengan menggunakan analisa tipologi diatas merupakan sebuah

takhyir (pilihan). Pemahaman bahwa bencana alam

merupakan taqdir Tuhan yang tidak pantas mendapatkan kritikan, ataupun pemahaman yang mengisyaratkan manusia mempunyai peran dalam upaya menjagaan alam dan perbaikan. Namun dalam pilihan tersebut, bukan hanya mensyaratkan adanya pemahaman yang sesuai dengan Al-Qur’an, melainkan diperlukan pemahaman theologi yang dianggap mampu menumbuhkan sikap optimisme, konstruktif, dan sekaligus menjadi pendorong perilaku yang bersifat praktis-solutif (Munawir, 2016). Pertimbangan inilah yang kemudian juga menjadi alasan rumusan theologi perlu ditransformasi dengan menumbuhkan kesadaran kritis, bahwa manusia tidak hanya terpaku menerima ‘taqdir Tuhan’ dan menyalahkan diri sendiri, melainkan ia mempunyai peran dalam mencegah bencana alam dan upaya recovery pasca bencana. Rumusan theologi yang tidak hanya berupa sekumpulan konsep tentang ketuhan yang ‘diam, melainkan ia ‘hidup’ dalam persoalan kemanusiaan, termasuk bagaimana memandang dan menyikapi bencana alam (Mustaqim, 2015).

Proses transformasi theologi teosentris sebagai sebuah kesadaran tentu tidak menjadikannya terlepas mutlak dari hukum dan taqdir Allah SWT. Pemamahan bahwa segala hal merupakan taqdir-Nya menjadi keniscayaan, tetapi bukan berarti menjadikan segala sesuatu itu bersifat mutlak sebagai ‘hadiah’ dari-Nya yang harus diterima apa adanya. Tetapi, manusia juga dapat berperan aktif dalam upaya pencegahan bencana alam.

Salah satu cara dalam memahami pencegahan bencana alam yakni menggunakan analisa lingkungan. Hal itu setidaknya telah diformulasikan dalam dunia modern dalam ilmu sains. Upaya pencegahan bencana alam dengan menggunakan analisa sains bukanlah suatu pertentangan terhadap taqdir Tuhan. Sebaliknya, ia merupakan upaya untuk mengganti taqdir-Nya dengan taqdir-Nya yang lain (Munawir, 2016). Maka, inilah kemudian kesadaran theologi yang harus menjadi pegangan dalam mengahadapi problematika kehidupan, termasuk dalam memandang bencan alam.

KESIMPULAN

Theologi diartikan dengan sebuah disiplin ilmu yang mempelajari tentang Tuhan dan hubungannya dengan manusia. Dalam sejarahnya, theologi dalam Islam bukanlah hal yang baru, melainkan sudah dimunculkan sejak permulaan transformasi intelektual umat Islam yang ditandai dengan usaha menerjemahkan buku-buku Yunani. Maka, term theologi dalam Islam kemudian dibagi menjadi 2; klasik dan modern. Theologi klasik dipahami sebagai metode pejelasan hubungan Tuhan dan manusia dengan corak teosentris. Sedangkan theologi modern mewakili hubungan yang lebih mengupayakan fungsi nilai-nilai Islam dalam mengatasi persoalan sosial seperti kebodohan, kemiskinan, dan ketimpangan sosial

Fenomena bencana alam di dalam Al-Qur’an, ditinjau dari sebab terjadinya dibagi menjadi 3; bencana alam disebabkan karena azab dari-Nya atas dosa manusia, bencana alam disebabkan ujian dari Allah SWT untuk menguji manusia, dan bencana alam disebabkan karena ulah tangan manusia. Untuk memahami term bencana alam dalam Al-Qur’an, jika merujuk pada theologi klasik, maka akan muncul kesadaran mistis bahwa segala hal merupakan taqdir-Nya tanpa ada sesuatu yang dapat diperbuat manusia. Hal itu berakibat pada ketidakproduktifan usaha manusia, baik dalam upaya pencegahan bencana alam maupun recovery pasca bencana. Maka diperlukan formula theologi baru sebagai sebuah kesadaran yang tetap berpegang pada prinsip Islam.

Transformasi theologi menuju kesadaran kritis bahwa manusia sebagai pusat orientasinya (antroposentris) sungguh tepat. Sebuah theologi yang tidak hanya ‘diam’ menerima taqdir Tuhan, tetapi berupaya ‘menghidupakan’ nilai kemanusia dengan usaha yang cermat. Kemudian muncullah suatu pengamatan atas alam sebagai konsekuensi dari kesadaran kritis yang dikenal dengan ilmu sains. Sebuah cabang ilmu yang mendapatkan isyarat dalam Al-Qur’an.

DAFTAR PUSTAKA

Estuningsih, Retna Dwi. 2018. Ilmu Dalam Perspektif Al-Qur’an. Jurnal QOF, Vol. 2, No. 2

Mustaqimah. 2015. Urgensi Tafsir Kontekstual dalam Penafsiran al-Qur’an, Journal IAIN Gorontalo, Vol. 12, No. 1

Munawir. 2016. Fenomena Bencana dalam Al-Qur’an. Al Maghza, Vol. 1, No. 2

Mustaqim, Abdul. 2015. Teologi Bencana dalam Perspektif Al-Qur’an. Nuun, Vol. 1, No. 1

Prayetno, Eko. 2018. Kajian Al-Qur’an dan Sains tentang Kerusakan Lingkungan. Adz-Dzikra, Vol. 12, No. 1 Abbas. 2015. Paradigma dan Corak Pemikiran Teologi Islam

(6)

Syafi’i. 2012. Dari Ilmu Tauhid/Ilmu Kalam ke Teologi: Analisis Epistimologis. Teologia, Vol. 23, No. 1

Rohman, Nihayatur. 2013. Al Qur’an di Era Kekinian: Relasi antara Teks dan Realitas. Al Mabsut, Vol. 6, No. 1

Anshori. 2013. Ulumuul Quran. Jakarta: Rajawali Press. Abdulloh, Amin. 2009. Falsafah Kalam di Era

Referensi

Dokumen terkait

bahan baku kelapa optimal yang dibutuhkan PT. 2) Untuk menganalisis total biaya persediaan bahan baku kelapa PT. Royal Coconut sebelum dan sesudah menggunakan

Predator yang termasuk ke dalam kelompok aphidophaga dan coccidophaga didominasi oleh Ordo Coleoptera sebanyak 72,73% dan 87,5% di dalamnya didominasi oleh

Hasil penelitian menunjukkan bahwa (1) Kota Jambi menempati peringkat pertama dalam kinerja pembangunan secara keseluruhan, diikuti oleh dari Tanjab Barat dan

Gambar 6 Penerapan teknologi sel photovoltaik sebagai sumber energi kincir aerator. Gambar 7 Penerapan teknologi sel photovoltaik untuk penerangan... Teknologi ini

Kondisi optimum yang dibutuhkan komposit besi oksida kitosan untuk mengadsorpsi ion logam Pb(II) pada pH 5,5, waktu kontak 40 menit dan konsentrasi awal 50 ppm

Ekstrak etanol kulit batang rambutan (Nephelium lappaceum L.) memiliki aktivitas antijamur terhadap Candida albicans dan peningkatan konsentrasi 10%, 20%, 40% dan 80%

Dengan mengetahui karakteristik penghindaran jamur terhadap sistem imun host, diharapkan dapat dikembangkan terapi spesifik berdasarkan respon imun tubuh yang

Setiap daerah provinsi, daerah kabupaten, dan daerah kota mempunyai pemerintahan daerah yang diatur dengan undang-undang.Pemerintahan Daerah adalah penyelenggaraan urusan