• Tidak ada hasil yang ditemukan

STRATEGI PENGELOLAAN SUMBER DAYA GENETIK UNTUK PERBAIKAN PRODUKTIVITAS TERNAK

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "STRATEGI PENGELOLAAN SUMBER DAYA GENETIK UNTUK PERBAIKAN PRODUKTIVITAS TERNAK"

Copied!
6
0
0

Teks penuh

(1)

STRATEGI PENGELOLAAN SUMBER DAYA GENETIK

UNTUK PERBAIKAN PRODUKTIVITAS TERNAK

JAFENDI H. PURBA SIDADOLOG Bagian Produksi Ternak, Fakultas Peternakan

Universitas Gadjah Mada Jl. Agro Karangmalang, Yogyakarta 55281

ABSTRAK

Keanekaragaman ternak lokal di Indonesia merupakan kekayaan sumberdaya genetik yang seharusnya dapat digunakan untuk meningkatkan produksi dalam berbagai kondisi lingkungan tropis, terutama perbaikan genetik dengan memanfaatkan kecepatan adaptasi terhadap lingkungan untuk tujuan breeding yang berkelanjutan. Efisiensi produksi dari berbagai spesies ternak yang ada sangat erat kaitannya dengan keanekaragaman tipe genetik yang dimiliki, tetapi uniformitas genetik yang besar dibutuhkan dalam pengembangan setiap spesies ternak secara intensif. Keberadaan Indonesia sebagai bagian tempat asal usul ayam piaraan memiliki keanekaragaman genetik yang sangat besar dan telah banyak dimanfaatkan negara maju untuk tujuan breeding ternak komersil penghasil daging dan telur. Di Indonesia sendiri keberadaannya masih tetap sebagai ayam kampung yang sebagian besar belum terjamah program breeding yang terarah dan berkelanjutan. Ternak sapi, kerbau, kambing, domba dan ternak lainnya banyak diandalkan sebagai ternak kerja dan potong, tetapi masih dipelihara secara tradisional dan belum mendapatkan perhatian untuk dikembangkan melalui program breeding berkelanjutan. Dampaknya sangat nyata, sejalan dengan kebutuhan daging, terjadi kecenderungan penurunan populasi, bahkan apabila impor ternak tidak dilakukan untuk mengimbangi peningkatan kebutuhan ini dapat dibayangkan bagaimana keberadaan ternak lokal dimasa yang akan datang. Oleh sebab itu sekarang ini diperlukan penanganan yang tepat dan terarah terutama melalui program breeding berkelanjutan, agar keanekaragaman genetik ternak lokal dapat dimanfaatkan secara optimal.

Kata kunci: Sumberdaya genetik, program breeding, perbaikan mutu genetik

PENDAHULUAN

Sumberdaya genetik ternak adalah kekayaan alam yang dianugerahkan Tuhan kepada manusia sebagai dasar sumber keamanan dan ketahanan pangan protein hewani. Ternak lokal di Indonesia dari sejak jaman dahulu kala sudah dinyatakan sebagai ”raja kaya” yang berarti dapat meningkatkan status seseorang karena kepemilikannya akan ternak. Simbol ini menjadi hilang sejalan dengan status seseorang yang memiliki ternak adalah petani, yang kehidupannya sangat tergantung dari lahan yang semakin lama semakin terbatas.

Kondisi ternak lokal sebagai sumberdaya genetik di Indonesia pada saat ini sangat mengkhawatirkan. Berbagai rumpun (bangsa) ternak lokal spesifik lokasi yang sudah dikenal umum maupun yang belum dikenal dapat ditemukan di setiap daerah atau propinsi dengan jumlah serta potensi yang belum

diketahui. Sebenarnya banyak ternak lokal yang memiliki keunggulan komparatif dibandingkan dengan ternak impor, antara lain daya adaptasi yang baik terhadap lingkungan tropis dan sifat reproduksi yang baik sebagai akibat seleksi alam yang dialami.

Ternak impor yang dinyatakan sebagai ternak unggul di negara asalnya merupakan hasil perakitan dari bahan plasma nutfah melalui program pemuliaan dengan mengkom-binasikan genotipe beberapa rumpun atau galur unggul melalui sistem breeding. Daya produksi ternak eksotik yang sangat baik ini mampu menjadi daya tarik sehingga banyak diimpor dan menyebar hampir disemua negara. Ternak unggul ini akan memenangkan persaingan dan mendominasi serta menekan populasi ternak lokal yang kurang memiliki nilai ekonomis. Kegunaan sumberdaya genetik dari ternak lokal sampai saat ini sulit dipahami apabila dikaitkan dengan usaha pembibitan. Akibatnya banyak ternak lokal yang dipersilangkan secara

(2)

liar dengan ternak produktif bangsa eksotik tanpa memperhitungkan dampak yang terjadi terhadap ternak lokal itu sendiri. Akibatnya terjadi pencemaran gen-gen ternak lokal yang dengan nyata menurunkan populasi ternak lokal dan akhirnya dapat mencapai kepunahan.

KETAHANAN PANGAN DAN POPULASI TERNAK LOKAL

Menurut RAO (2004) pada tahun 2020 jumlah penduduk dunia diperkirakan akan mencapai 8 millyard dan kebutuhan pangan berasal dari produksi biji-bijian diharapkan dapat mencapai dua kali lipat dari produksi sekarang sebesar lima milyard ton per tahun. Agar ketahanan dan keamanan pangan dapat berlangsung secara berkelanjutan maka

kebutuhan ini juga harus ditunjang oleh produksi ternak yang cukup banyak, dan salah satu jalan yang dapat dilakukan adalah dengan meningkatkan pemanfaatan keanekaragaman genetik ternak. Termasuk di dalamnya adalah keanekaragaman ternak lokal yang mungkin selama ini masih jauh tertinggal. Pemanfaatan dengan penggunaan tehnologi modern dan bioteknologi seharusnya dapat dilakukan meningkatkan produksi dan efisiensi produksi ternak lokal.

Kenyataan yang dihadapi, menurut ASTUTI et al. (2006a) adalah semakin banyak sumber daya genetik dari populasi ternak lokal yang semakin menurun dan bahkan beberapa diantaranya telah menghadapi jumlah populasi tidak aman (jumlah betina dewasa kurang dari 10.000 ekor).

Tabel 1. Status populasi pada berbagai spesies ternak

Status populasi Sapi (ekor) Kambing/Domba (ekor) Babi (ekor) Populasi terancam

Populasi menurun apabila Jumlah betina dewasa Jumlah jantan dewasa

1000 – 5000 < 1000 < 20 500 – 1000 < 500 < 20 200 – 500 < 200 < 20 Sumber: ASTUTIet al. (2006a)

Secara alami pada populasi yang besar dapat juga terjadi penurunan populasi karena terjadi kekeringan, wabah penyakit dan isolasi geografis. Disamping itu perlu dicermati pengaruh yang dapat merubah komposisi genetik dari populasi tersebut, seperti persilangan dengan inseminasi buatan, transfer embrio dan seleksi. Berdasarkan besarnya risiko penurunan populasi maka oleh Board on Agriculture National Research Council, 1993 dinyatakan bahwa ukuran populasi 5000 – 10.000 ekor dikatagorikan dalam status populasi rentan (vulnerable), ukuran populasi 1000 – 5000 ekor dikatagorikan dalam status populasi terancam (endangered) dan populasi dengan ukuran 100 – 1000 ekor dikatagorikan sebagai populasi kritis (critical).

Berdasarkan data survai peta potensi plasma nutfah ternak nasional yang dilaksanakan oleh ASTUTI et al. (2006b), ada beberapa rumpun atau bangsa ternak lokal yang menunjukkan status populasi tidak aman. Dari bangsa sapi adalah sapi Hissar di

Sumbawa dan Sumatera Utara, sapi Sahiwal Cross di Sulawesi Utara, Kalimantan Selatan dan Aceh.

Bangsa sapi perah yang tidak aman adalah sapi perah Grati di Jawa Timur (Pasuruan) yang memiliki keunggulan daya adaptasi terhadap lingkungan tropis dan lembab, pakan yang rendah mutunya, pengelolaan tradisional, reproduksi lebih baik dari sapi perah LH, tetapi produksi susu lebih rendah.

Pada bangsa kerbau walaupun belum banyak ditangani secara baik, namun karena masyarakat secara tradisionil memelihara dengan ikatan budaya, populasinya masih dinyatakan status aman. Namun demikian belum banyak diketahui tentang perbedaan genetik yang unik diantara kerbau lokal yang ada. Kerbau Tedong di Sulawesi Selatan ada yang memiliki pola warna belang tubuh sebagai ciri-ciri yang unik, tetapi belum banyak diketahui arti dan manfaat keunikannya. Hal ini memerlukan perhatian dan penelitian bagi pemuliaan pewarisan pola

(3)

warna serta keunikan genetik yang dimiliki dibandingkan dengan kerbau rawa lainnya.

Ternak kambing yang berstatus tidak aman adalah kambing Gembrong di Bali, kambing Kosta dan kambing Saanen di Jawa Barat, serta kambing Angora di Pulau Jawa. Kambing Gembrong memiliki sifat genetik yang unik, terutama pada kelebatan bulunya yang sering digunakan untuk umpan pancing. Ternak domba dan rusa (sebagai ternak harapan), berdasarkan survai masih banyak belum dapat datanya. Ternak lokal ini juga perlu menjadi perhatian untuk penelitian sabagai sumberdaya genetik ternak di masa yang akan datang.

Ternak unggas terutama ayam ternyata juga memiliki jenis dan rumpun yang cukup banyak. Ada beberapa jenis rumpun ayam yang pada saat ini termasuk pada status ukuran populasi tidak aman, yaitu ayam Nunukan di Kalimantan Timur, ayam Tukong di Kalimantan Barat dan ayam Ayunai di Papua. Ayam tersebut memiliki ciri-ciri dan keunikan tersendiri, sehingga oleh masyarakat dibedakan dengan ayam kampung lainnya. Keunikan tersebut dapat terjadi akibat seleksi alam, persilangan dengan bangsa ayam lain dimasa lalu atau karena seleksi yang dilakukan oleh masyarakat setempat yang ditujukan untuk pemenuhan fungsi sosial budaya.

PEMANFAATAN SUMBERDAYA GENETIK TERNAK

Pembicaraan tentang kebutuhan dan keuntungan memperbaiki manajemen nasional dan global sumberdaya genetik ternak dimulai di Amerika Serikat pada tahun 1984 (CAST, 1984; OTA, 1987 dan NRC, 1993). Diskusi pada umumnya difokuskan terhadap strategi perlindungan pada bangsa atau rumpun yang jarang ditemukan. Pembicaraan ini semakin berkembang dan berlanjut untuk memikirkan masa depan dan pelestarian dan penyebaran dari keanekaragaman bangsa ternak (NOTTER, 1999).

Pemanfaatan dan pengembangan sumber daya genetik ternak lokal, pada awalnya kebanyakan ditujukan untuk memenuhi kebutuhan pokok dasar ketahanan pangan yang berkelanjutan untuk mengintensifkan produksi pangan. Tujuan utama adalah untuk meningkatkan produksi pangan dan

memper-baiki produktivitas dan efisensi ternak secara ekonomi dan berkelanjutan dalam sistem produksi pangan.

Sistem produksi tradisional menunjukkan bahwa pemanfaatan sumberdaya genetik ternak dilakukan secara luas oleh para petani/ peternak. Adaptasi bangsa ternak lokal di satu daerah dan sistem perkawinannya sangat ditentukan oleh para petani dan kelompok ternak itu sendiri, sehingga dapat mem-pengaruhi keanekaragaman dalam bangsa dan rumpun (NOTTER, 2004). Breeding dan kegiatan pengembangan ternak lokal tersebut merupakan kegiatan parsipatory (FAO, 1998) yang berarti bahwa keputusan pemilihan ternak breeding dilakukan oleh petani/peternak dan bukan oleh breeder profesional. Namun demikian secara nyata intensifikasi pertanian sangat banyak didukung oleh perubahan dalam penggunaan sumberdaya genetik dan perkembangannya. Menurut NOTTER, (2004) bahwa intensifikasi produksi ternak secara umum baru terjadi apabila secara intensif produksi pertanian telah mantap, dan kebutuhan perkembangannya mulai berkurang. Akan tetapi produksi telah memenuhi persyaratan untuk berkembang secara ekonomi. Dengan demikian ternak sebagai pengguna pakan biji-bijian dan hasil ikutannya secara otamatis mendapat dukungan untuk berkembang. Keikutsertaan petani dalam menghasilkan dan menggunakan biji-bijian sebagai pakan ternak adalah mutlak, dan penggunaan sumberdaya genetik ternak akan ikut berkembang dengan pesat.

PERBAIKAN GENETIK TERNAK UNGGAS

Proses perbaikan genetik ternak pada sektor komersial digambarkan oleh NOTTER, (2004) dalam bentuk piramida. Dengan mengenal perbaikan genetik bentuk piramida ini ditujukan untuk menekankan kelompok yang berbeda di dalam proses. Ternak elit pada puncak piramida dan ternak perbanyakan (multiplier) diletakkan langsung dibawahnya, digambarkan analoginya sebagai sektor penghasil bibit ”seedstock sector” pada tanaman pertanian, tetapi kurang terkonsolidasi dibandingkan dengan seed sector pada pertanian. Kebutuhan multiplier dalam

(4)

pengembangan sumberdaya genetik ternak adalah karena kecepatan reproduksi pada ternak jauh lebih rendah, sedangkan ternak elit yang dinyatakan sebagai sumberdaya genetik yang dikembangkan oleh institusi atau perusahaan adalah dalam jumlah terbatas. Oleh karena itu kelompok multiplier dibutuhkan untuk memperbanyak ternak yang sudah mengalami perbaikan dan perkembangan mutu genetik, agar jumlah ternak komersial yang akan dipelihara oleh petani komersial dapat mencukupi. Model seperti ini telah berkembang pada usaha peternakan unggas secara intensif dan bahkan juga pada usaha peternakan semi intensif. Para peternak komersil tidak dipusingkan lagi dengan program pemanfaatan sumberdaya genetik dan perbaikan mutu genetik ternak, karena bibit ayam telah disediakan oleh multipliernya.

PERBAIKAN GENETIK TERNAK RUMINANSIA

Pada ternak ruminansia besar penggunaan sumberdaya genetik dilakukan bersamaan dengan program pemeliharaan ternak betina, yang perkawinannya diatur melalui sumberdaya genetik dari ternak breeding jantan (biasanya melalui IB), sebagai agen perbaikan mutu genetik. Semua keturunannya biasanya setelah besar dapat dijual sebagai bakalan, dan sebagian dari keturunan betina dipertahankan untuk pengganti ternak breeding betina yang sudah tua dan tidak produktif lagi. Ternak breeding betina dan keturunannya yang akan dijual dipelihara bersama dalam satu unit farm paling tidak sebagian dari siklus produksi, sehingga perhitungan biaya dan pendapatan usaha, keduanya mempengaruhi keuntungan perusahaan. Ternak breeding betina pada umumnya dipertahankan dalam usaha peternakan selama beberapa tahun, yaitu selama potensinya sebagai sumberdaya genetik dalam perbaikan mutu masih diperlukan. Penggantian ternak breeding betina sekaligus tidak lazim dilakukan, sehingga pengaturan dan replacement ternak breeding harus diprogramkan dengan baik.

NILAI EKONOMI PERBAIKAN SUMBERDAYA GENETIK

Menurut laporan dari Jerman untuk FAO (ANONIMUS, 2004), nilai ekonomi sumberdaya genetik didefinisikan sebagai nilai nyata dan nilai potensi yang dimiliki. Nilai ekonomi sumberdaya genetik yang sesungguhnya diperoleh dari nilai sebelum (misalnya program breeding) dan nilai sesudah (processing, dagang) sektor pemasaran. Pada rumpun yang kecil dan terancam (endangered), biasanya mempunyai nilai langsung apabila rumpun tersebut memiliki sumberdaya genetik spesifik unik terhadap program breeding yang membutuhkan. Khususnya di Jerman terhadap sifat genetik unik untuk resistensi (trypanotolerance in African N’Dama cattle), perbaikan kedudukan kaki dan resistensi terhadap endoparasit pada bangsa domba lokal (Landschaf), kualitas daging (kandungan lemak intramuskular pada babi Duroc) atau untuk persilangan yang menguntungkan (antara babi Hampshire dengan babi Petrain untuk menghasilkan babi jantan fertil).

APA YANG DAPAT DILAKUKAN DI INDONESIA

Indonesia memiliki sumberdaya genetik ternak lokal yang cukup banyak, dan oleh masyarakat telah dimulai pemeliharaannya melalui tradisi dan budaya daerah, sehingga pemberian nama untuk setiap sumberdaya genetik lokal dapat terjadi. Dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, masyarakat terbawa arus terhadap pemenuhan kebutuhan yang cepat dan mudah didapatkan, maka beberapa ternak warisan tersebut tertinggal dan sebagian berada pada kondisi status populasi tidak aman dan kritis. Bahkan kemungkinan besar sudah banyak yang hilang dan tinggal nama saja, misalnya ayam Kinantan di Sumatera Utara, sapi Jawa di Pulau Jawa dan mungkin masih banyak lagi yang lain.

(5)

SISTEM PEMANFAATAN SUMBERDAYA GENETIK TERNAK

Bertitik tolak dengan telaah pemanfaatan sumberdaya genetik ternak yang telah dilakukan di berbagai negara maju, maka tentunya di Indonesia juga hal yang sama harus segera dapat dirintis perencanaan dan pelaksanaannya. Beberapa pemikiran yang berkaitan dengan aspek pemanfaatan dan pengembangan sumberdaya genetik yang berkelanjutan dari ternak lokal dan ternak pada umumnya adalah:

1. Adanya peraturan perundang-undangan yang mengatur pemeliharaan dan perkembangbiakan (breeding) ternak untuk tujuan perbaikan dan peningkatan produksi ternak

2. Pemberdayaan lembaga, balai pembibitan dan penelitian untuk melakukan fungsinya secara terarah terhadap pemberdayaan dan pengembangan sumberdaya genetik ternak.

3. Penataan organisasi peternak dan pemuliabiakan ternak yang benar-benar mendukung dan memperhatikan konservasi dan pendayagunaan potensi sumberdaya genetik ternak yang ada. 4. Mengembangkan Rencana Manajemen

Nasional (National Management Plan) untuk Pelestarian dan Pemanfaatan Sumberdaya Genetik Ternak yang berkelanjutan dengan tujuan yang jelas dan terarah.

5. Memanfaatkan perkembangan ilmu pengetahuan dan bioteknologi dengan tetap memanfaatkan pendekatan tradisional (pencatatan dan persilngan) untuk mendukung tercapainya tujuan program breeding yaitu pelestarian dan pengembangan sumberdaya genetik ternak.

Salah satu kelemahan penanganan sumberdaya genetik di Indonesia terletak pada ketidak adaan buku ternak yang menjelaskan tentang keberadaan asal-usul setiap ternak yang ada. Hampir boleh dikatakan bahwa setiap ternak tidak mengenal bapak-ibu apalagi nenek moyangnya. Akibatnya potensi genetik individu ternak tidak dapat diramalkan sebelumnya, sehingga dapat merugikan peternak sendiri. Pengenalan ternak melalui

silsilah sangat mendukung untuk mengetahui peramalan potensi ternak tersebut secara genetik. Sangat disayangkan apabila seorang peternak yang memiliki seekor sapi betina yang dikawinkan secara IB tidak mengenal asal-usul sperma yang diinseminasi, sehingga setelah anaknya lahir tidak jelas asal-usulnya. Apabila situasi seperti ini berlangsung secara terus menerus, maka secara tidak langsung yang terjadi adalah pencemaran sumberdaya genetik ternak dalam populasi tersebut (terjadinya persilangan atau peningkatan koefisien inbreeding). Kelemahan seperti ini harus segera diatasi dengan pencatatan dalam buku ternak (herdbook) yang diatur secara lokal maupun nasional, sehingga potensi genetik yang dimiliki populasi sumberdaya genetik tersebut dapat diketahui dengan pasti dan berkelanjutan. Penanganan seperti ini dapat terlaksana dengan baik apabila semua instansi yang terkait, seperti Balai Inseminasi Buatan (yang memproduksi sperma) pelaksana IB di lapang dan Dinas Peternakan serta kelompok peternak breeding dapat bekerja-sama mendukung program pengembangan pendayagunaan sumberdaya genetik ternak.

Kerjasama di antara peternak breeding dan peternak komersial perlu dijalin untuk saling percaya dalam pemeliharaan ternak, sehingga peternak breeding dapat meningkatkan mutu genetik ternak yang dihasilkan. Perlu juga dijelaskan bahwa nilai ekonomi peternak breeding adalah lebih tinggi dibanding dengan peternak komersial (pendapatannya berdasar-kan ADG dan lama pemeliharaan), apabila perhitungan usaha dilakukan berdasarkan perhitungan tahunan dengan penggunaan ternak breeding betina lebih dari 4 tahun (diperkirakan 3 kali beranak). Pengetahuan tentang manajemen usaha peternakan breeding perlu menjadi perhatian agar penjualan sapi betina produktif dapat dicegah.

Dari beberapa pemikiran dan contoh diatas kiranya strategi pemanfaatan sumberdaya genetik ternak lokal di Indonesia dapat ditata ulang, baik secara institusi, kelompok peternak dan peneliti, sehingga wajah peternakan Indonesia pada masa yang akan datang semakin cerah. Menghasilkan ternak untuk memenuhi kebutuhan dan keamanan pangan adalah lebih baik dibanding dengan pemenuhan kebutuhan melalui impor.

(6)

KESIMPULAN

Keanekaragaman ternak lokal perlu segera ditangani secara terpadu agar pemanfaatan sumberdaya genetik dapat dilakukan secara optimal dalam mendukung keamanan dan ketahanan pangan di Indonesia. Kebijakan pemerintah melalui peraturan perundang-undangan terutama mengenai penanganan sumberdaya genetik melalui pemeliharaan dan perkembangbiakan (breeding) sangat dibutuh-kan agar perencanaan dan penanganan-nya dapat dilakukan secara sinergis dan terpadu. Nilai ekonomi usaha peternkan breeding akan lebih tinggi dibandingkan dengan pemeliharaan ternak komersil apabila diperhitungkan dalam jangka waktu yang lebih lama sesuai dengan siklus pemeliharaan ternak breeding betina.

DAFTAR PUSTAKA

ANONIMUS. 2004. Germany: National Report, A Contributing Paper to FAO. Report on the State of the World’s Animal Genetic Resources and National Management Plan for the Conservation and Sustainable Use of Animal Genetic Resources in Germany.

http://www.genres.de/tgr/national-programme

/pdf_version/nfp-tgr-gesamttext_english.pdf. ASTUTI, M.J., A. AGUS, G.S.B. SATRIA, L.M.

YUSIATI, B. ARYADI dan M. ANGGRIANI. 2006a. Pedoman Pelestarian dan Pemanfaatan Plasma Nutfah Ternak. Laporan Kerjasama Direktur Perbibitan, Dit-Jen. Peternakan, Deptan. dengan Fakultas Peternakan UGM, Yogyakarta.

ASTUTI, M.J., A. AGUS, G.S.B. SATRIA, L.M. YUSIATI, B. ARYADI dan M. ANGGRIANI. 2006b. Peta Potensi Plasma Nutfah Ternak Nasional. Laporan Kerjasama Direktur Perbibitan, Dit-Jen. Peternakan, Deptan. dengan Fak. Peternakan UGM, Yogyakarta. BOARD on AGRICULTURE NATIONAL RESEARCH

COUNCIL. 1993. Managing Global Genetic Resources. Livestock Committee on Managing Global Genetic Resources: Agicultural Imperatives. National academic Press. Washington, D.C., USA.

CAST. 1984. Animal Germplasma Preservation and Utilization in Agriculture. Rep. No. 101. Council for Agricultural Science and Technology, Ames. IA.

FAO. 1998. The State of the World’s Plant Genetic Resources for Food and Agriculture. Rome. NOTTER, D. R. 1999. The Importance of Genetic

Diversity in Livestock Population of the Future. J. Anim. Sci., 77 : 61 – 69.

NOTTER, D. R. 2004. Conservation Strategies for Animal Genetic Resources. Background Study Paper No. 22, Oktober 2004. FAO, Rome. NRC. 1993. Managing Global Genetic Resources:

Livestock. National Academy Press, Washington, DC.

OTA. 1987. Technologies to Maintain Biological Diversity. U.S. Congress Office of Tech-nology Assessment. Washington, DC.

RAO, N. K. 2004. Plant Genetic Resources: Advancing Conservation and use Through Biotechnology. African J. Biotech. Vol. 3 (2), 136 – 145. Online at http://www. Academic journals.org/AJB.

Gambar

Tabel 1. Status populasi pada berbagai spesies ternak

Referensi

Dokumen terkait

Rebus beras, air, daging ayam giling dan tempe sampai menjadi bubur, masukkan wortel dan tomat hingga matang.. masukkan mentega

Sehingga, semakin tinggi tingkat intensitas aktivitas fisik, energi yang dibutuhkan akan semakin banyak, dan semakin banyak pula oksigen yang diperlukan untuk memproduksi

Pada Gambar 2 menunjukkan bahwa ukuran granula pada tepung porang kasar (sampel) maupun optimasi tepung porang hasil ekstraksi metode maserasi dan maserasi ultrasonik

Budi Mulia sudah lepas dari dermaga dan pukul 18.30 WITA jangkar sudah berada diatas air, kapal maju pelan menuju Buoy hijau untuk bertemu dengan motor pandu,

1) Laba Bersih berpengaruh positif terhadap Harga Saham Pada Perusahaan Konstruksi dan Pembangunan yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia Periode 2013 – 2017 ,

Berdasarkan pemaparan konsep-konsep kunci Difusi Inovasi dan dari hasil pemetaan proses tahapan inovasi-keputussan kedua belah pihak sebagaimana yang terlihat dalam Gambar 1

Setelah berhasil memasang sistem operasi raspbian pada raspberry pi board , berikutnya mengkonfigurasi manual IP pada raspberry pi board untuk dapat dikenali oleh server,

Nilai d yang terkecil pada suatu (a,d)-PTSAA adalah d = 0 yang disebut juga pelabelan total simpul ajaib (vertex magic total labeling) dan dapat disingkat PTSA. Pelabelan