• Tidak ada hasil yang ditemukan

PERGESERAN PERAN PANGAN BERBAHAN BAKU LOKAL PADA POLA KONSUMSI RUMAH TANGGA DI INDONESIA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "PERGESERAN PERAN PANGAN BERBAHAN BAKU LOKAL PADA POLA KONSUMSI RUMAH TANGGA DI INDONESIA"

Copied!
18
0
0

Teks penuh

(1)

PERGESERAN PERAN PANGAN BERBAHAN BAKU LOKAL

PADA POLA KONSUMSI RUMAH TANGGA DI INDONESIA

Shifting Role of Local Food Household Consumption Patterns in

Indonesia

Tri Bastuti Purwantini dan Sri Hery Susilowati Pusat Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian

Jl. A. Yani No. 70 Bogor 16161 E-mail: tribastuti_p@yahoo.co.id

ABSTRACT

Household rice consumption in Indonesia has continued to decline for 15 years. The decline is not balanced with an increase in the consumption of local food (tubers), it increased wheat consumption which is not a local food. This paper objectives to look at the dynamics and shifting patterns of local food consumption and its substitution – imported food, seen from the diversification of food consumption by society. This study uses data from the National Economy Social Survey (NSES) BPS from various years (1996-2011), the analysis done is descriptive. The result showed that the consumption of staple food in Indonesia is still biased to the rice. During 1996-2011, the average consumption in households in Indonesia continues to decline, the rate of decline in the cities (-5.0%/year) is higher than in rural areas (-3.8%/year). Conversely, the consumption of wheat and its derivatives increased by 13.4 percent/year, consumption of wheat in rural areas (19.7%/year) is higher than in the cities (8.7%/year). Tubers consumption is decreased in both cities and rural areas, but for sweet potato and sago consumption is likely to increase in rural areas. The expenditure share of food commodity is directly proportional to the level of consumption. The consumption of instant noodles is increased in the form of noodles consumed in the household and also in the form of cooked food. PPH scores of food grains (rice, corn, and wheat, including derivatives) are still dominant and exceed the ideal standard. PPH score of tubers is still under ideal standard and so is for vegetables and fruits. Given that wheat is imported food, it is advised to increase the consumption of local food (especially tubers) that can be processed into starchy flour substitution as well as reducing the consumption of rice. It is also to improve the quality of consumption and also to support self-sufficiency by utilizing local resources including the utilization of the house yard to plant food commodity.

Keywords : role, local food, consumption, household

ABSTRAK

Konsumsi beras rumah tangga di Indonesia terus menurun selama 15 tahun. Penurunan tersebut tidak diimbangi dengan peningkatan konsumsi pangan lokal (umbi-umbian), justru konsumsi terigu meningkat, bukan merupakan pangan lokal. Tulisan ini bertujuan melihat dinamika dan pergeseran pola konsumsi pangan pokok berbasis pangan lokal dan pangan substitusi impor, melihat penganekaragaman konsumsi pangan masyarakat. Kajian ini menggunakan data utama dari Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) BPS berbagai tahun (1996-2011), analisis yang digunakan adalah

(2)

deskriptif. Hasil kajian menunjukkan bahwa konsumsi pangan pokok di Indonesia masih cenderung bias ke beras, selama 1996-2011 konsumsi beras per kapita dalam rumah tangga di Indonesia terus menurun, tingkat penurunan di kota (-5,0%/tahun) lebih tinggi daripada di perdesaan (-3,8%/tahun). Sebaliknya konsumsi terigu dan produk turunannya meningkat 13,4 persen/tahun, konsumsi terigu di perdesaan (19,7%/tahun) lebih tinggi daripada di kota (8,7%/tahun). Kelompok pangan umbi-umbian menurun baik di kota maupun di perdesaan, khusus untuk konsumsi ubi jalar dan sagu di perdesaan cenderung meningkat. Pangsa pengeluaran komoditas tersebut berbanding lurus dengan tingkat konsumsi komoditas/kelompok pangan yang bersangkutan. Konsumsi mie instan meningkat baik berupa mie yang dikonsumsi dalam rumah tangga maupun sudah berbentuk makanan jadi. Skor PPH pangan padi-padian (beras, jagung dan terigu termasuk produk turunannya) masih dominan dan melebihi standar ideal, kelompok umbi-umbian masih dibawah ideal demikian untuk kelompok sayur dan buah. Mengingat terigu merupakan pangan impor, disarankan untuk meningkatkan konsumsi pangan lokal (terutama umbi-umbian) yang bisa diolah menjadi tepung-tepungan sebagai substitusi terigu sekaligus mengurangi konsumsi beras, selain untuk meningkatkan kualitas konsumsi juga mendukung kemandirian pangan dengan memanfaatkan sumberdaya lokal diantaranya adalah pemanfaatan pekarangan sebagai sumber pangan keluarga.

Kata kunci : peran, pangan lokal, konsumsi, rumah tangga

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Dalam Undang-undang no 18 tahun 2012 tentang Pangan disebutkan bahwa “Pangan” merupakan kebutuhan dasar manusia yang paling utama dan pemenuhannya merupakan bagian dari hak asasi manusia yang dijamin di dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sebagai komponen dasar untuk mewujudkan sumber daya manusia yang berkualitas. Pangan dalam hal ini merupakan kebutuhan pokok, sekaligus menjadi esensi kehidupan manusia, karenanya hak atas pangan menjadi bagian sangat penting dari hak azasi manusia. Sementara pangan pokok adalah pangan yang diperuntukkan sebagai makanan utama sehari-hari sesuai dengan potensi sumber daya dan kearifan lokal.

Sebagian besar penduduk Indonesia, pangan pokok utamanya adalah beras, bahkan tingkat konsumsi beras penduduk Indonesia menduduki peringkat pertama di dunia, walaupun konsumsi beras semakin menurun tetapi tingkat konsumsi rata-rata masyarakat Indonesia tergolong tinggi, bahkan tertinggi di dunia. Disisi lain Indonesia memiliki sumber daya alam dan sumber pangan yang beragam, maka Indonesia berpotensi dalam pengembangan untuk memproduksi pangan yang beragam. Untuk itu pemerintah seharusnya melakukan reorientasi program yang berbasis kemandirian pangan untuk meningkatkan ketahanan pangan.

Pembangunan ketahanan pangan menuju kemandirian pangan diarahkan untuk menopang kekuatan ekonomi domestik sehingga mampu menyediakan pangan yang cukup secara berkelanjutan bagi seluruh penduduk terutama dari

(3)

produksi dalam negeri, dalam jumlah dan keragaman yang cukup, aman dan terjangkau dari waktu ke waktu (Ariani, 2010). Dalam pemenuhan konsumsi masyarakat, Indonesia menghadapi tantangan besar karena jumlah penduduknya yang cukup besar, sehubungan dengan itu pemerintah berkewajiban menyediakan pangan yang cukup. Bila mengacu konsep kemandirian pangan adalah kemampuan produksi pangan yang beraneka ragam dari dalam negeri yang dapat menjamin pemenuhan kebutuhan pangan yang cukup sampai ke individu, baik jumlah, mutu, keamanan, maupun harga yang terjangkau yang sesuai dengan potensi dan kearifan lokal (Undang-undang nomor 41 tahun 2009). Oleh karena itu penting untuk mengetahui pemanfaatan pangan basis pangan lokal untuk konsumsi penduduk. Hal ini dilatarbelakangi bahwa awalnya masyarakat Indonesia banyak mengkonsumsi pangan pokok yang beragam, seperti ubi-ubian, sagu dan jagung (pangan lokal), kemudian dalam perkembangannya bergeser ke beras, belakangan justru mengarah ke pangan berbasis terigu, terutama untuk masyarakat perkotaan (Saliem dan Suryani, 2008), oleh karena itu pangsa energi dari padi-padian relatif tetap walaupun konsumsi beras menurun (Hardinsyah et al., 2012)

Peranan beras sebagai sumber karbohidrat makin tergeser, penurunan konsumsi beras memang sangat dianjurkan, sesuai target program percepatan diversifikasi pangan, salah satu sasaran dan tujuannya adalah penurunan tingkat konsumsi beras 1,5 persen/tahun. Selain itu juga bertujuan untuk memperbaiki kualitas konsumsi pangan masyarakat yang beragam dan bergizi seimbang yang ditunjukkan dengan peningkatan skor Pola Pangan Harapan (PPH) dari tahun ke tahun. Diharapkan penurunan konsumsi beras dapat diimbangi dengan konsumsi pangan lokal, untuk itu perlu melihat perkembangan peran pangan lokal terhadap pola konsumsi pangan masyarakat.

Tujuan

Tujuan penelitian secara umum adalah menganalisis dinamika dan pergeseran konsumsi pangan pokok penduduk, adapun tujuan khususnya adalah :

1. Menganalisis perkembangan pangsa pengeluaran pangan dan pangan pokok.

2. Menganalisis perkembangan tingkat konsumsi pangan pokok berbasis pangan lokal vs pangan asal impor.

3. Menganalisis perkembangan kualitas konsumsi pangan penduduk.

METODOLOGI PENELITIAN

Jenis dan Sumber Data

Bahasan dalam makalah ini menggunakan data utama yang bersumber dari Survey Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) berbagai tahun (1996, 1999, 2002,

(4)

2005, 2008 dan 2011) yang dikumpulkan serta dipublikasikan oleh Badan Pusat Statistik (BPS). Pangan pokok dalam bahasan ini dibatasi pada pangan utama sumber karbohidrat. Data konsumsi yang dianalisis adalah konsumsi pangan pokok terutama sumber karbohidrat. Pengelompokan pangan sumber karbohidrat disini dibedakan antara pangan lokal yang dominan hasil produksi dalam negeri (beras, umbi-umbian dan sagu) serta pangan impor dalam hal ini terigu dan turunannya.

Analisis Data

Data dasar penelitian ini terutama berasal dari data Susenas yang sudah dipublikasikan dalam media cetak (buku). Data yang tersedia, dianalisis secara deskriptif kualitatif dengan menggunakan tabel-tabel dan grafik, selain itu juga dilakukan penghitungan trend untuk melihat kecenderungan dan pergeseran konsumsi. Analisis dibedakan menurut agregat nasional, wilayah (perkotaan dan pedesaan), dan kelompok pengeluaran. Untuk melihat capaian diversifikasi dan kualitas konsumsi pangan digunakan konsep Pola Pangan Harapan (PPH) dengan indikator skor PPH. Sejauh ini indikator diversifikasi konsumsi pangan tingkat kelompok atau daerah yang paling cocok adalah indikator skor mutu konsumsi pangan dengan pendekatan pola pangan harapan (PPH) karena mencakup aspek kuantitas dan kualitas konsumsi pangan (Suyatno, 2008; Tejasari, 2003)

HASIL DAN PEMBAHASAN

Perkembangan Pangsa Pengeluaran Pangan

Informasi tentang struktur pengeluaran rumah tangga diperlukan untuk melihat sejauh mana rumah tangga tersebut mengalokasikan pendapatannya untuk konsumsi. Kebutuhan konsumsi rumah tangga dapat dikelompokkan ke dalam dua kategori besar, yaitu konsumsi akan pangan dan bukan pangan. Dengan demikian, pada tingkat pendapatan tertentu, rumah tangga akan mengalokasikan pendapatannya untuk memenuhi kedua kebutuhan tersebut. Secara alamiah kuantitas pangan yang dibutuhkan seseorang akan mencapai titik jenuh sementara kebutuhan bukan pangan, termasuk kualitas pangan tidak terbatasi dengan cara yang sama. Oleh karena itu, besaran pendapatan (yang diproksi dengan pengeluaran total) yang dibelanjakan untuk pangan dari suatu rumah tangga dapat digunakan sebagai indikator tingkat kesejahteraan rumah tangga tersebut. Pengeluaran pangan >60 persen menunjukkan bahwa rumah tangga tersebut tergolong miskin (Ariani dan Mauludiyani, 2012). Lebih lanjut dikemukakan bahwa pengeluaran rumah tangga cenderung mengalami perubahan pada jangka waktu tertentu. Pangsa pengeluaran pangan juga dapat dijadikan salah satu indikator ketahanan pangan rumah tangga, semakin tinggi pangsa pengeluaran pangan rumah tangga berarti semakin tidak tahan pangan (Suhardjo dan Martianto, 1996 dalam Saliem et al., 2001).

(5)

Pada Tabel 1. menyajikan pangsa pengeluaran pangan per kapita menurut wilayah di Indonesia (1996-2011). Selama 15 tahun pangsa pengeluaran pangan cenderung menurun baik di kota maupun perdesaan, namun pangsa pengeluaran pangan di perdesaan lebih tinggi dibanding kota, pola demikian ditemukan pada setiap tahun. Hal ini mengindikasikan bahwa kesejahteraan di kota lebih baik dibanding di perdesaan. Secara agregat nasional pangsa pengeluaran tersebut sudah dibawah 60 persen, dapat dikatakan bahwa dari indikator pengeluaran pangan (<60%) rata-rata penduduk berarti tergolong tidak miskin, namun demikian dibeberapa wilayah masih ditemukan rumahtangga rawan pangan, karena walaupun kondisi ketahanan pangan wilayah tergolong aman, tidak menjamin kondisi ketahanan pangan rumah tangga/individu di wilayah tersebut (Saliem el al., 2001).

Dibanding dengan pangsa pengeluaran pangan rata-rata di negara lain di Asia Tenggara, pangsa pengeluaran pangan di Indonesia masih tergolong tinggi. Pada tahun 1999 terjadi kriisis ekonomi di Indonesia, tampak pada saat itu pangsa pengeluaran justru meningkat dibanding tahun 1996, peningkatan ini antara lain karena terjadinya peningkatan harga-harga pangan. Pada waktu krisis ekonomi, pola konsumsi pangan masyarakat mengalami perubahan yaitu penurunan konsumsi pangan yang harganya mahal dan peningkatan konsumsi pangan yang harganya murah (Martianto dan Ariani ,2004)

Tabel 1. Pangsa Pengeluaran Pangan Menurut Wilayah, 1996-2011 (%) Tahun Kota Desa Kota+desa

1996 47,97 63,10 55,27 1999 56,17 70,17 62,94 2002 52,82 66,56 58,47 2005 48,20 62,50 53,90 2008 44,96 58,67 50,17 2011 43,94 55,78 48,46

Sumber: Susenas (BPS, terbitan beberapa tahun, diolah)

Nurmanaf et al. (2000) mengemukakan bahwa secara umum tingkat pendapatan mempengaruhi pola dan tingkat pengeluaran. Makin tinggi pendapatan, pangsa pengeluaran pangan semakin kecil. Namun pola tersebut tidak sepenuhnya konsisten, hal ini dapat dijelaskan bahwa peningkatan pendapatan masih sebagian besar diperuntukkan untuk belanja pangan. Selain itu karena preferensi rumah tangga berpengaruh dalam memilih dan mengkonsumsi pangan baik kuantitas maupun kualitas tidak semata-mata hanya pertimbangan pendapatan tetapi juga selera dan sosial budaya setempat.

Gambar 1. menunjukkan bahwa semakin tinggi pendapatan (proksi total pengeluaran) maka semakin rendah pangsa pengeluaran pangan rumah tangga. Pada kelompok pendapatan III ke kelompok IV ada peningkatan pangsa pengeluaran, pada kelompok pendapatan menengah ini tingginya pangsa pengeluaran lebih disebabkan karena adanya peningkatan kualitas pangan yang dikonsumsi ke pangan yang relatif lebih mahal. Pada dasarnya semakin tinggi

(6)

pendapatan, rumah tangga/individu akan merubah pola konsumsi pangan, yang semula berusaha untuk memenuhi kebutuhan pangan (kebutuhan dasar). Setelah kebutuhan pangan terpenuhi, seseorang akan berusaha untuk dapat memenuhi kebutuhan bukan pangan seperti sandang, kesehatan, pendidikan dan lainnya.

Gambar 1. Pangsa Pengeluaran Pangan Menurut Kelompok Pengeluaran (%)

Secara umum pembangunan di Indonesia bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakatnya, pemerintah terus berusaha untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat melalui berbagai program yang dilaksanakan setiap tahunnya. Usaha ini membawa hasil yang ditunjukkan dengan semakin rendahnya pangsa pengeluaran pangan. Namun pembangunan perekonomian, tampaknya masih belum merata, masih ada kesenjangan antara masyarakat perkotaan dan perdesaan, sehingga kesejahteraan masyarakat kota lebih baik dibandingkan masyarakat pedesaan. Oleh karena itu, pembangunan perekonomian ke depan lebih memprioritaskan pada masyarakat perdesaan, yang dominasi masyarakatnya adalah petani. Kebijakan pembangunan pertanian nasional yang dituangkan dalam Rencana Strategis Kementerian Pertanian Tahun 2010-2014, diarahkan untuk mencapai empat target sukses, yaitu: (1) Pencapaian Swasembada untuk komoditas kedelai, daging, gula dan Swasembada Berkelanjutan untuk komoditas beras dan jagung; (2) Peningkatan Diversifikasi Pangan; (3) Peningkatan Nilai Tambah, Daya Saing, dan Ekspor. (4) Peningkatan Kesejahteraan Petani. Pencapaian kesejahteraan masyarakat merupakan resultante dari semua target pembangunan.

Pada awalnya pangsa pengeluaran padi-padian dominan, namun terus menurun, dalam perkembangannya makanan jadi merupakan terbesar dibanding kelompok pangan lainnya, selama 1996-2011 pangsa makanan jadi terus meningkat (rata-rata meningkat 9,6%/tahun). Sementara itu pangsa pengeluaran

0 10 20 30 40 50 60 70 80 90

I II III IV V VI VII VIII

Kelompok Pengeluaran

pengeluaran pangan (%)

(7)

pangan lainnya cenderung menurun, pangsa pengeluaran kelompok umbi-umbian sangat kecil dan terus menurun (Tabel 2). Tingginya pengeluaran makanan jadi, antara lain karena semakin banyak makanan jadi tersedia, mudah diperoleh dan harga terjangkau, selain itu semakin banyaknya perempuan yang bekerja menuntut untuk kepraktisan dalam pemanfaatan makanan untuk konsumsi, sehingga mereka cenderung mengkonsumsi makanan jadi.

Tabel 2. Pangsa Pengeluaran Pangan menurut Kelompok Pangan, 1996-2011

Tahun Kelompok Pangan Padi-padian Umbi-umbian Asal

ternak Ikan Sayuran Buah

Makanan jadi 1996 21,46 1,42 8,55 9,37 8,84 3,92 17,39 1999 26,66 1,24 8,26 8,87 9,91 3,29 15,07 2002 21,32 1,10 10,50 8,85 8,08 4,86 16,59 2005 17,82 1,28 10,45 8,97 7,98 5,12 19,30 2008 19,07 1,05 9,88 7,90 8,02 4,53 22,80 2011 17,28 0,98 5,11 8,51 7,68 4,25 24,37 Trend (%/Thn) -2,7 -5,9 -2,5 -1,2 -3,9 -1,7 9,6 Sumber: Susenas (BPS, terbitan beberapa tahun, diolah)

Di dalam kelompok pangan padi-padian sendiri, pangsa pengeluaran untuk beras semakin menurun sebaliknya konsumsi terigu yang merupakan pangan asal impor, justru pangsa pengeluarannya makin besar. Kontradiktif dalam hal konsumsi pangan sumber karbohidrat, sementara konsumsi pangan lokal dalam hal ini umbi-umbian semakin ditinggalkan, tetapi justru beralih ke terigu dan produk olahannya. Hal ini tercermin dari semakin tingginya pangsa pengeluaran untuk komoditas tersebut. Selain terigu, pangan populer asal terigu adalah mie instan, produk pangan ini relatif murah dan mudah dijangkau, tidak hanya di perkotaan saja, pola yang sama juga banyak ditemukan di perdesaan di berbagai agroekosistem (Susilowati et al., 2012). Dengan berbagai kebijakan pemerintah terkait terigu, selama ini harga terigu dinilai murah dibanding dengan tepung-tepungan berbasis bahan baku lokal. Sehingga selama harga terigu dinilai murah, sementara produk tepung (basis umbi-umbian) lokal lebih mahal, maka produk lokal tersebut kurang berkembang dan tidak dapat bersaing, oleh karena itu diperlukan kebijakan yang mendukung terkait hal itu.

(8)

Tabel 3. Pangsa Pengeluaran Terigu dan Produk Turunannya terhadap Pengeluaran Pangan 1996-2011

Tahun

Terigu dan turunannya

Terigu Mi instan Mi basah Macaroni/ mie kering Mi instan (makanan jadi) 1996 1,55 1,40 0,04 0,03 0,16 1999 2,34 1,38 0,04 0,03 0,10 2002 3,09 1,50 0,04 0,03 0,12 2005 3,72 1,81 0,04 0,04 0,12 2008 3,19 2,07 0,02 0,03 0,14 2011 1,55 1,81 0,01 0,03 0,51 Trend (%/thn) 7,55 5,95 -20,00 -1,27 1,26 Sumber: Susenas (BPS, terbitan beberapa tahun, diolah)

Perkembangan dan Pergeseran Konsumsi Pangan Pokok Sumber Karbohidrat

Dalam UU pangan 2012 disebutkan bahwa pangan pokok adalah pangan yang diperuntukkan sebagai makanan utama sehari-hari sesuai dengan potensi sumber daya dan kearifan lokal. Kata kunci kearifan lokal disini mengandung makna bahwa pangan pokok yang dikonsumsi penduduk di suatu wilayah sebaiknya berasal dari produksi dalam wilayah tersebut, dalam arti lain mendukung kemandirian pangan. Menurut Ariani (2010) sangat penting bagi Indonesia untuk mampu mewujudkan ketahanan pangan nasional, wilayah, rumah tangga dan individu yang berbasiskan kemandirian penyediaan pangan domestik.

Pangan sebagai sumber zat gizi (karbohidrat, lemak, protein, vitamin, mineral dan air) menjadi landasan utama manusia untuk mencapai kesehatan dan kesejahteraan sepanjang siklus kehidupan (Karsin, 2004). Hardinsyah dan Martianto (1992) mendefinisikan konsumsi pangan adalah informasi tentang jenis dan jumlah pangan (tunggal/beragam) yang dimakan atau dikonsumsi seseorang atau kelompok orang dengan tujuan tertentu pada waktu tertentu.

Data BPS menunjukkan bahwa pada tahun 1996 secara agregat, pola konsumsi pangan pokok di Indonesia didominasi oleh beras, bahkan di perdesaan beras telah menjadi pola pangan pokok tunggal. Dalam perkembangannya konsumsi beras semakin menurun. Tabel 4 menyajikan perkembangan tingkat konsumsi beras, umbi-umbian, sagu dan terigu pada rumah tangga di Indonesia menurut wilayah. Selama 1996-2011 konsumsi beras per kapita dalam rumah tangga di Indonesia secara konsisten menurun, tingkat penurunan konsumsi beras selama kurun waktu tersebut lebih tinggi di kota (-5,0%/tahun) dibanding di perdesaan (-3.8%/tahun). Konsumsi beras dalam hal ini beras dan produk turunannya (kumulatif) setara beras, yang meliputi beras, ketan, tepung beras dan

(9)

bihun belum termasuk makanan matang yang dikonsumsi oleh penduduk/rumah tangga.

Penurunan konsumsi beras rupanya tidak berarti konsumsi pangan lokal meningkat, justru sebaliknya konsumsi pangan lokal seperti ubi kayu, ubi jalar dan umbi lainnya secara agregat menurun. Sementara konsumsi sagu dan ubi jalar perkembangannya masih positif di perdesaan, meningkatnya konsumsi ubi jalar terutama di beberapa wilayah seperti Papua, konsumsi ubi jalar relatif tinggi sebagai makanan pokoknya. Selain itu ubijalar sebagai pangan fungsional yang semakin diminati masyarakat. Konsumsi sagu semakin meningkat, awalnya sagu merupakan tanaman liar, akhir-akhir ini sagu semakin banyak dibudidayakan, bahkan di beberapa daerah seperti di Kalimantan Barat, tanaman sagu sebagai pohon penghijauan yang ditanam di bantaran sungai.

Tabel 4. Tingkat Konsumsi Beras, Umbi-umbian, Sagu dan Terigu Menurut Wilayah, 1996-2011

(Kg/kap/th) Kelompok

Pangan Beras Ubikayu Ubijalar

Umbi lainnya Sagu Terigu dan turunannya Kota 1996 102,3 4,7 2,0 2,9 0,2 2,4 1999 93,5 6,2 2,1 1,6 0,1 2,1 2002 89,8 5,6 2,2 2,6 0,1 2,9 2005 86,3 4,8 2,2 2,6 0,1 3,4 2008 83,3 5,6 1,6 2,5 0,1 4,0 2011 79,1 3,0 1,1 2,0 0,1 3,4 Laju Perub. (%) -5,0 -4.4 -9.8 -1.2 -10.0 8,7 Desa 1996 116,8 16,2 3,5 2,3 0,8 1,4 1999 111,2 17,7 3,3 6,1 0,2 1,2 2002 109,7 16,3 3,1 8,1 0,4 1,9 2005 106,8 13,5 3,1 1,1 0,9 2,8 2008 103,7 13,7 3,6 1,8 0,9 3,4 2011 96,0 8,8 3,9 1,2 0,7 3,0 Laju Perub. (%) -3,8 -10,0 2,5 -21,4 9,2 19,4 Kota+Desa 1996 111,6 13,3 3,0 2,5 0,6 2,0 1999 103,8 12,7 2,8 1,3 0,1 1,6 2002 100,8 11,7 2,7 1,9 0,3 2,3 2005 97,9 9,9 3,1 2,2 0,6 3,1 2008 93,9 9,9 2,7 1,7 0,5 2,3 2011 87,6 6,1 2,5 1,6 0,4 3,2 Laju Perub. (%) -4,7 -13,2 -3,1 -2,9 -8,6 13,4 Sumber : Susenas, BPS, beberapa tahun (diolah)

(10)

Bila dikaitkan dengan pendapatan (proksi dari pengeluaran), masing-masing komoditas mempunyai pola yang berbeda. Konsumsi beras awalnya meningkat sampai dengan kelompok pengeluaran V (Rp 300,000 – 499,999 per kapita per bulan), setelah itu semakin tinggi pendapatan konsumsi beras semakin menurun (Gambar 2). Sebaliknya konsumsi terigu dan produk turunannya, semakin tinggi pendapatan maka konsumsi terigu juga semakin tinggi, komoditas ini belum termasuk makanan jadi (bahan baku terigu) seperti roti tawar, roti manis, biskuit dan lain-lain diduga juga semakin tinggi (Gambar 3). Sementara itu konsumsi umbi-umbian dan sagu, menunjukkan bahwa semakin tinggi pendapatan maka konsumsi komoditi tersebut semakin berkurang, kecuali untuk komoditas umbi lainnya (seperti kenntang, talas, dan sebagainya) justru sebaliknya semakin tinggi pendapatan konsumsi komoditas tersebut semakin besar (Gambar 4). Fenomena tersebut menunjukkan bahwa diversifikasi pangan pokok pada kelompok pendapatan menengah ke atas cenderung ke pangan non beras dan mengarah ke pangan asal terigu. Sementara untuk masyarakat berpenghasilan rendah masih tetap mengkonsumsi pangan lokal non beras seperti umbi-umbian, namun mengingat terigu dan produk turunannya harganya relatif terjangkau maka masyakat berpenghasilan rendah juga cenderung akan mengkonsumsi produk tersebut. Selama harga terigu murah maka tepung-tepungan dari pangan lokal akan cenderung semakin terdesak, oleh karena itu kebijakan terigu murah perlu dikaji ulang agar produk tepung-tepungan substitusi terigu dapat berkembang.

Gambar 2. Konsumsi Beras pada Rumah Tangga Indonesia menurut Kelompok Pengeluaran (2011) 0 10 20 30 40 50 60 70 80 90 100

I II III IV V VI VII VIII

Kelompok Pengeluaran

(11)

Gambar 3. Konsumsi Terigu dan Produk Turunannya pada Rumah Tangga Indonesia menurut Kelompok Pengeluaran (2011)

Gambar 4. Konsumsi Ubikayu, Ubijalar, Sagu dan Umbi Lainnya pada Rumah Tangga Indonesia menurut Kelompok Pengeluaran (2011)

Perkembangan Konsumsi Energi dan Protein

Pangan sebagai sumber zat gizi, maka secara kuantitas konsumsi pangan dapat diukur dari konsumsi zat gizi tersebut. Pada dasarnya energi dan protein merupakan zat gizi makro, sampai saat ini gangguan kurang energi dan protein merupakan masalah gizi di negara berkembang termasuk Indonesia. Data tentang kuantitas konsumsi penduduk dapat digunakan untuk memantau apakah kesejahteraan penduduk diukur dengan konsumsi pangan meningkat atau tidak.

0 0,51 1,52 2,53 3,54 4,55

I II III IV V VI VII VIII

Kelompok Pengeluaran Terigu dan turunanya 0 5 10 15 20

I II III IV V VI VII VIII

Kelompok Pengeluaran

Ubikayu Ubijalar Sagu

(12)

Tingkat konsumsi energi masyarakat Indonesia selama 1996-2011 berfluktuasi, bila mengacu standar kecukupan (2000 Kkal) secara agregat masih belum tercukupi. Untuk konsumsi energi penduduk di perdesaan relatif lebih tinggi dibanding di perkotaan. Sebaliknya untuk konsumsi protein umumnya di kota lebih baik dibanding di wilayah perdesaan.

Pada tahun 1999 tingkat konsumsi energi dan protein, rata-rata dibawah standar kecukupan, penyebab utamanya adalah pada waktu itu terjadi krisis ekonomi yang mempengaruhi daya beli masyarakat. Konsumsi protein secara agregat sudah mencapai standar kecukupan, namun di perdesaan masih dibawah standar kecukupan. Pada umumnya konsumsi protein masih didominasi dari protein nabati, pangsa protein hewani secara agregat sesuai dengan patokan (pangsa protein hewani minimal 25%). Perkembangan konsumsi energi dan protein disajikan pada Tabel 5.

Tabel 5. Tingkat Konsumsi Energi dan Protein Menurut Wilayah,1996-2011

Tahun 1996 1999 2002 2005 2008 2011 Energi (Kal/kap/hari) Kota 1984 1802 1954 1923 1621 1822 Desa 2040 1880 2013 2060 2096 1884 Kota+Desa 2020 1849 1987 1996 2038 1853 Protein (gram/kap/hari) Kota 55,9 49,3 56,0 58,3 58,2 54,4 Desa 53,7 48,2 53,2 55,2 56,9 51,9 Kota+Desa 54,5 48,7 54,5 56,6 57,5 53,1 Pangsa Protein Hewani (%)

Kota 25,4 18,0 23,0 28,9 25,2 26,7

Desa 18,6 16,7 18,9 22,1 21,5 23,2

Kota+Desa 21,6 18,1 21,7 25,2 23,3 25,4 Sumber : Susenas, BPS, beberapa tahun (diolah)

Keterangan : Standar kecukupan energi : 2000 Kalori; Protein : 52 gram (WNPG, 2004)

Sesuai dengan fungsi pangan pokok, selain sebagai sumber karbohidrat juga sebagai sumber energi. Selama 1996-2011 pangsa energi dari padi-padian dan umbi-umbian cenderung menurun. Mengingat energi merupakan turunan dari tingkat konsumsi (asupan) pangan komoditas yang bersangkutan, maka terdapat pola bahwa semakin tinggi pangan yang dikonsumsi, konsumsi energi dari komoditas tersebut semakin besar. Temuan ini juga mendukung hasil kajian Hardinsyah et al. (2012), dimana pangsa energi yang berasal dari kelompok padi-padian (termasuk hal ini adalah beras) dan umbi-umbian makin menurun, baik di kota maupun di perdesaan (Tabel 6).

(13)

Tabel 6. Pangsa Energi Kelompok Padi-padian dan Umbi-umbian Menurut Wilayah (%)

Tahun

Kota Desa Kota+Desa

Padi-padian Umbi-umbian Padi-padian Umbi-umbian Padi-padian Umbi-umbian 1996 51,8 1,5 60,0 3,6 57,1 2,9 1999 52,3 1,9 61,0 9,5 57,7 3,3 2002 46,6 1,7 56,8 3,6 52,3 2,8 2005 44,6 1,5 54,5 3,8 50,3 2,8 2008 42,9 1,6 51,6 3,5 47,5 2,6 2011 44,0 1,0 52,3 2,8 48,2 1,9 Laju perubahan (%) -3,1 -6,4 -2,7 -4,5 -3,2 -7,1 Sumber : Susenas, BPS, beberapa tahun (diolah)

Bila dikaitkan dengan tingkat pendapatan, tampak bahwa penurunan pangsa energi dari padi-padian makin menurun. Secara rinci pangsa energi dari beberapa kelompok pangan disajikan pada tabel 7. Penurunan pangsa padi-padian pada rumah tangga yang berpenghasilan tinggi, disubstitusi dari konsumsi makanan jadi. Sesuai dengan bahasan sebelumnya bahwa pangsa pengeluaran untuk makanan jadi makin besar seiring dengan meningkatnya pendapatan. Ini menunjukkan bahwa adanya perubahan selera dan gaya hidup terutama pada rumah tangga yang berpendapatan tinggi. Pangsa energi umbi-umbian dinominasi oleh rumah tangga berpendapatan rendah, jadi pangan lokal tersebut masih dianggap sebagai inferior, sehingga penduduk berpendapatan menengah ke atas relatif kecil sumbangan energinya. Konsumsi energi dari pangan asal ternak, secara konsisten makin tinggi pendapatan, pangsa energi dari pangan hewani (asal ternak dan ikan) semakin tinggi, demikian halnya untuk buah-buahan.

Tabel 7. Pangsa Energi Beberapa Kelompok Pangan Menurut Kelompok Pengeluaran, 2011 (%) Kelompok Pengeluaran Padi-padian Umbi-umbian Asal

ternak Ikan Sayuran

Buah-buahan Makanan Jadi I 58,0 14,0 0,8 1,5 2,1 1,8 7,5 II 62,8 8,5 1,0 1,8 2,4 1,3 5,3 III 60,9 4,6 1,7 0,4 2,2 1,4 7,8 IV 56,7 3,0 2,6 2,1 2,2 1,4 10,2 V 51,4 1,8 4,0 2,4 2,1 1,3 12,7 VI 45,7 1,5 5,9 2,7 2,0 1,9 15,2 VII 41,0 1,2 7,5 2,8 1,9 2,2 17,6 VIII 34,9 0,9 9,8 2,7 1,8 2,6 22,1 Sumber : Susenas, BPS, beberapa tahun (diolah)

Keterangan : I = Kel. pengeluaran terendah, X = Kel. pengeluaran tertinggi

Diversifikasi dan Kualitas Konsumsi Pangan

Program penganekaragaman atau diversifikasi pangan sebenarnya sudah dirintis sejak awal dasawarsa 1960-an, pemerintah menyadari pentingnya

(14)

diversifikasi pangan, karena ketergantungan salah satu komoditas pangan menyebabkan ketahanan pangan mudah rapuh, bila ketersediaan pangan tersebut terganggu. Pada tahun 1974, pemerintah mencanangkan kebijaksanaan diversifikasi pangan melalui Instruksi Presiden (INPRES) No, 14 tahun 1974 tentang Perbaikan Menu Makanan Rakyat (UPMMR). Maksud dari instruksi tersebut adalah untuk lebih menganekaragamkan jenis pangan dan meningkatkan mutu gizi makanan rakyat baik secara kualitas maupun kuantitas sebagai usaha untuk meningkatkan kualitas sumberdaya manusia. Namun demikian program tersebut tidak berkelanjutan, baru pada tahun 1991 muncul program diversifikasi pangan. Program ini dilaksanakan oleh Kementerian Pertanian dengan nama Program Diversifikasi Pangan dan Gizi (DPG), yang dalam pelaksanaannya dalam bentuk program pemanfaatan lahan pekarangan, dalam implementasi di lapang banyak ditemui kendala, sehingga tidak berlanjut.

Terkait dengan pentingnya diversifikasi, pada akhir 2009 keluar Peraturan Presiden (Perpres) No, 22, tentang Kebijakan Percepatan Penganekaragaman Konsumsi Pangan Berbasis Sumber Daya Lokal. Tujuan kebijakan ini adalah memfasilitasi dan mendorong terwujudnya pola konsumsi pangan yang beragam, bergizi seimbang dan aman yang diindikasikan oleh skor PPH 95 pada tahun 2015. Dalam pelaksanaan Perpres tersebut, Menteri Pertanian menindaklanjuti dengan mengeluarkan peraturan No,43/permentan/OT,140/2009 tentang Gerakan Percepatan Penganekaragaman Konsumsi Pangan Berbasis Sumber Daya Loka. Ini juga tercermin bahwa Diversifikasi pangan merupakan salah satu target sukses Kementerian Pertanian 2010-2014. Untuk mencapai tujuan tersebut, Badan Ketahanan pangan (BKP), Kementerian Pertanian melaksanakan kegiatan gerakan Percepatan Diversifikasi Konsumsi Pangan (P2KP) yang dimulai sejak tahun 2010. Tujuan umum program P2KP adalah menfasilitasi dan mendorong terwujudnya pola konsumsi pangan beragam, bergizi seimbang dan aman yang diindikasikan dengan skor PPH dengan indikator outcome adalah meningkatnya skor PPH dari tahun ke tahun dan menurunnya konsumsi beras 1,5 persen per tahun (BKP, 2012).

Keanekaragaman konsumsi pangan merupakan pencerminan dari mutu/kualitas pangan (Widiasih, 2009). Penilaian kualitas pangan berdasarkan keragaman dan keseimbangan komposisi energi dapat dilakukan dengan menggunakan konsep Pola Pangan Harapan (PPH). Dalam konsep PPH, setiap kelompok pangan dalam bentuk energi mempunyai pembobot yang berbeda tergantung dari peranan pangan dari masing-masing kelompok terhadap pertumbuhan dan perkembangan manusia. Sebagai contoh, pembobot pada kelompok padi-padian, umbi-umbian dan gula hanya 0,5 karena pangan tersebut hanya sebagai sumber energi untuk pertumbuhan manusia, sebaliknya pangan hewani dan kacang-kacangan sebagai sumber protein yang berfungsi sebagai pertumbuhan dan perkembangan manusia mempunyai pembobot 2 dan sayur+buah sebagai sumber vitamin dan mineral, serat, dan lain-lain mempunyai pembobot 5. Dengan mengkalikan proporsi energi dengan masing-masing pembobotnya, maka dalam konsep PPH akan diperoleh skor sebesar 100. Semakin tinggi nilai skor PPH mendekati 100 maka akan semakin baik, dalam arti diversifikasi konsumsi pangan sesuai konsep PPH harus mempunyai skor 100.

(15)

Gambar 5 menunjukkan perkembangan pencapaian diversifikasi konsumsi pangan yang diukur dengan PPH.

Gambar 5. Perkembangan Pola Konsumsi Pangan menurut PPH (2002-2011)

Sumber : Hardinsyah, 2012 (diolah)

Dalam kurun waktu 2002-2011, skor PPH sebenarnya meningkat, bahkan pada tahun 2007-2008 mencapai lebih dari 80, namun tahun berikutnya mengalami penurunan. Berdasarkan data Susenas menunjukkan bahwa tingkat kesejahteraan dengan indikator pangsa pengeluaran pangan semakin baik, sementara skor PPH tidak demikian halnya. Ini menunjukkan bahwa selain pendapatan faktor lain seperti pengetahuan tentang gizi, selera atau kesadaran tentang pangan yang berkualitas dan kualitas sumberdaya manusia itu sendiri. Namun demikian secara umum hasil kajian Hardinsyah et al. (2012) menunjukkan bahwa PPH pada rumah tangga di perkotaan relatif lebih baik dibanding dengan rumah tangga di perdesaan. Bila dikaitkan dengan pendapatan, maka semakin tinggi pendapatan rumah tangga cenderung pola konsumsi pangannya mendekati PPH.

Pola Pangan Harapan merupakan kumpulan beragam jenis dan jumlah kelompok pangan utama yang dianjurkan untuk memenuhi kebutuhan energi dan zat gizi pada komposisi yang seimbang (Widiasih, 2009). Tabel 8, pola konsumsi pangan masyarakat berdasarkan PPH yang dicapai (aktual) dan PPH yang semestinya (harapan). Tampak bahwa pola konsumsi masyarakat belum mengacu pada pedoman PPH.

Pola konsumsi pangan masyarakat masih dominan pada kelompok padi-padian, untuk kelompok pangan tersebut sudah melebihi (39,4 gram/kapita/hari), demikian halnya kelompok minyak dan lemak (2,6 gram/kapita/hari). Defisit sangat

68,00 70,00 72,00 74,00 76,00 78,00 80,00 82,00 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 Tahun Skor PPH

(16)

besar untuk kelompok umbi-umbian (-61,2 gram/kapita/hari), pangan hewani (-57,8 gram/kapita/hari) dan kelompok sayur serta buah yang mencapai 38,6 gram/kapita/hari.

Tabel 8. Pola Konsumsi Pangan : Harapan dan Kenyataan (gram/kap/hari)

Kelompok Pangan Bobot Aktual Harapan Selisih

Padi-padian 0.5 310.0 275 39.4 Umbi-umbian 0.5 38.8 100 - (61.2) Pangan hewani 2.0 92.2 150 -(57.8) Minyak +lemak 0.5 22.6 20 2.6 Kacang-kacangan 2.0 22.1 35 -(12.9) Gula 0.5 23.1 30 -(6.9) Sayur+Buah 5.0 211.4 250 -(38.6)

Sumber : Hardinsyah et al. (2012)

Sesuai dengan uraian sebelumnya bahwa program percepatan diversifikasi pangan Kementerian Pertanian yang mentargetkan konsumsi beras turun 1,5 persen/tahun, dan memacu peningkatan konsumsi umbi-umbian, pangan asal ternak, sayur dan buah. Terkait dengan pangan pokok sumber karbohidrat yang berbasis pangan lokal, maka kelompok umbi-umbian berpeluang untuk ditingkatkan. Dalam kajian Saliem dan Suryani (2008) menyarankan bahwa dalam rangka upaya mendorong konsumsi pangan lokal (umbi-umbian) sebagai sumber karbohidrat perlu dilakukan secara sinergis penanganan disisi produksi dan ketersediaan pangan lokal dan sisi permintaan melalui sosialisasi, edukasi dan advokasi tentang pentingnya konsumsi beragam, seimbang dengan mempromosikan keunggulan pengembangan pangan lokal. Selain itu untuk mendongkrak dalam meningkatkan nilai skor PPH, maka konsumsi buah dan sayur harus ditingkatkan, kedua kelompok pangan tersebut mempunyai bobot 5, sehingga meningkatnya konsumsi kelompok tersebut akan signifikan terhadap peningkatan skor PPH. Sebenarnya kelompok sayuran berpeluang besar untuk ditingkatkan, karena pangan tersebut relatif murah dan mudah terjangkau, sehingga diperlukan penyuluhan untuk ke arah itu, sementara buah harganya relatif lebih mahal.

Berbagai program pemanfaatan pekarangan dapat memberikan sumbangan untuk konsumsi rumah tangga, salah satu program Litbang Pertanian yakni melalui kegiatan Kawasan Pangan Lestari (KRPL) dimana kegiatan utamanya adalah intensifikasi pemanfaatan pekarangan. Kasus yang ditemui di Desa Kayen (Pacitan), menunjukkan bahwa KRPL berdampak positif terhadap konsumsi pangan rumah tangga, antara lain dapat mengurangi pengeluaran untuk pangan dan meningkatkan kualitas konsumsi rumah tangga dengan indikasi meningkatnya skor PPH. Mengingat rataan luas pekarangan relatif sempit, dan jenis komoditas yang diusahakan relatif terbatas, maka produksi hasil pekarangan masih dominan untuk konsumsi rumah tangga. Kondisi ini mendukung untuk penguatan ketahanan pangan rumah tangga (Purwantini et al., 2012). Oleh karena itu intensifikasi

(17)

pekarangan dapat terus digalakkan, mengingat pekarangan potensial sebagai sumber pangan keluarga.

KESIMPULAN DAN SARAN.

Kesimpulan

Konsumsi pangan pokok masih cenderung bias ke beras, walaupun selama 1996-2011 konsumsi beras per kapita dalam rumah tangga di Indonesia terus menurun. Penurunan konsumsi beras diikuti juga menurunnya konsumsi pangan lokal (umbi-umbian). Sebaliknya konsumsi terigu dan produk turunannya makin meningkat, semakin tinggi pendapatan (proksi dari pengeluaran), konsumsi terigu dan produk turunannya makin meningkat. Produk dominan yang dikonsumsi masyarakat adalah mie instan.

Tingkat konsumsi untuk kelompok pangan umbi-umbian menunjukkan penurunan baik dikota maupun di perdesaan, khusus untuk konsumsi ubi jalar dan sagu di perdesaan masih cenderung meningkat. Demikian halnya untuk konsumsi energi. Secara agregat tingkat kecukupan energi masih dibawah standar kecukupan sedangkan konsumsi protein mendekati kecukupan, namun konsumsi protein masih didominasi dengan protein nabati.

Bila dikaitkan dengan PPH, maka pangan padi-padian (beras, jagung dan terigu termasuk produk turunannya) masih dominan dan melebihi standar ideal, sementara kelompok umbi-umbian masih dibawah ideal demikian halnya untuk kelompok sayur dan buah. PPH di kota lebih baik dibanding dengan di perdesaan, semakin tinggi pendapatan PPHnya cenderung semakin baik.

Saran

Mengingat terigu merupakan pangan impor, maka disarankan untuk meningkatkan konsumsi pangan lokal (terutama umbi-umbian) yang bisa diolah penjadi tepung-tepungan sebagai substitusi terigu sekaligus mengurangi konsumsi beras. Konsumsi produk terigu yang banyak dikonsumsi adalah dalam bentuk mie instan, sehingga perlu dicari solusi untuk substitusi bahan baku mie instan, sehiggga untuk mengurangi impor terigu secara bertahap, dibarengi dengan teknologi tepat guna dalam memproduksi mie instan dengan bahan baku non terigu. Mengingat rata-rata harga terigu di pasaran relatif murah, sementara konsumsi komoditi tersebut banyak ditemukan pada masyarakat berpendapatan menengah ke atas, kebijakan terigu murah perlu dikaji ulang agar produk tepung-tepungan substitusi terigu dapat berkembang.

Pangsa energi dari umbi-umbian masih kurang, sehingga untuk meningkatkan konsumsi tersebut harus sinergi dengan penyediaan komoditas tersebut dalam arti produksi dan teknologi pascapanen maupun pengolahan serta penyuluhan dan advokasi dalam mendukung hal tersebut. Selain untuk meningkatkan kualitas konsumsi juga mendukung kemandirian pangan dengan

(18)

memanfaatkan sumberdaya lokal diantaranya adalah pemanfaatan pekarangan sebagai sumber pangan keluarga.

DAFTAR PUSTAKA

Ariani, M. 2010. Analisis Konsumsi Pangan Tingkat Masyarakat Mendukung Pencapaian Diversifikasi Pangan. Gizi Indonesia,33(1), hal 20-28.

Badan Pusat Statistik. Beberapa tahun. Konsumsi Kalori dan Protein Penduduk Indonesia dan Propinsi. BPS, Jakarta

Badan Pusat Statistik. Beberapa tahun. Pengeluaran untuk Penduduk Penduduk Indonesia, BPS, Jakarta

Hardinsyah dan Martianto. 1992. Gizi Terapan. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi. PAU Pangan dan Gizi, IPB. Bogor.

Hardinsyah, G.K. Rana ,M. Ariani, dan A. Gantina. 2012. Analisis Konsumsi Pangan dan Target Pola Pangan Harapan (PPH). Makalah dipresentasikan pada Widyakarya Pangan dan Gizi X. LIPI. Jakarta, 20-21 November 2012.

Nurmanaf, A,R, dan SH Susilowati. 2000. Struktur Kesempatan Kerja dan Kaitannya dengan Pendapatan dan Pengeluaran Rumah Tangga Pedesaan (Editor: IW, Rusastra dkk). Prosiding Perspektif Pembangunan Pertanian dan Pedesaan dalam Era Otonomi Daerah, hal 88-93.

Purwantini, T.B, Saptana, S.Suharyono. 2012. Program Kawasan Rumah Pangan Lestari(KRPL) di Kabupaten Pacitan: Analisis Dampak dan Antisipasi ke Dean. AKP, Vol. 10 No.2 hal. 239-256

Saliem, H.P. dan E. Suryani. 2008. Perubahan Pola Konsumsi Pangan Sumber Karbihidrat di Perdesaan. Majalah Pangan. No.52/XVII/10/2008.

Saliem, H.P., E.M.Lokollo, M. Ariani, T.B.Purwantini dan Y. Marisa. 2001. Analisis Ketahanan Pangan Rumah Tangga dan Regional. Laporan Penelitian Puslitbang Sosek Pertanian, Badan Litbang Pertanian, Departemen Pertanian.

Susilowati, S, T.B. Purwantini, D. Hidayat, M Maulana, Ahmad Makky Ar-Rozi dan R. D. Yofa. 2012. Panel Petani Nasional : Dinamika Indikator Pembangunan Pertanian dan Perdesaan di Wilayah Agroekosistem Lahan Kering Berbasis Perkebunan. Laporan Penelitian. Pusat Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian . Bogor.

Suyatno. 2008. Survei Konsumsi sebagai Indikator Status Gizi. Universitas Diponegoro, Semarang. http://suyatno.blog.undip.ac.id/files/2009/11/psg-survei-konsumsi.pdf, (7 Desember 2009)

Tejasari. 2003. Diversifikasi Konsumsi Pangan Berdasarkan Pendekatan Pola Pangan Harapan (PPH) di daerah Rawan Gizi. Media Gizi & Keluarga, Juli 2003, 27 (l) 146 -53

Gambar

Tabel 1. Pangsa Pengeluaran Pangan Menurut Wilayah, 1996-2011 (%)
Gambar 1.  Pangsa Pengeluaran Pangan Menurut Kelompok Pengeluaran (%)
Tabel 2.  Pangsa Pengeluaran Pangan menurut Kelompok Pangan, 1996-2011
Tabel 3.  Pangsa Pengeluaran Terigu dan Produk  Turunannya terhadap Pengeluaran  Pangan 1996-2011
+7

Referensi

Dokumen terkait

Partisipasi aktif para sejawat dan dukungan pihak terkait-lainnya yang akan menjadi penentu suksesnya KONAS XIII dan Annual Meeting PERNEFRI 2017 Malang..

Dalam situasi ini, pemilihan matapelajaran yang terkandung dalam Dalam situasi ini, pemilihan matapelajaran yang terkandung dalam KBSR dan KBSM seperti matapelajaran Bahasa

Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan di atas, mka perumusan masalah dalam penelitian ini adalah seberapa erat hubungan antara persepsi terhadap peran teman

Saat kemudian iklan tidak terbatas dibuat untuk korporasi, melainkan juga dibuat untuk kepentingan-kepentingan politik, maka semakin lama muncullah ketergantungan

dimaksud dalam huruf a dan huruf b, perlu menetapkan Keputusan Kepala Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) tentang Penetapan Status Penggunaan Barang Milik Negara pada

Dari data LSD yang didapat, perlakuan betadine salep (kontrol positif) dibandingkan dengan SEDN 5%, SEDN 10% dan SEDN 15% terdapat perbedaan tidak bermakna

Pada tatarn praktek, sejumlah diplomasi yang telah dilaksanakan banyak terkait dengan upaya mengurai konflik baik intra-agama islam (antar sunni- syiah), konflik

Sebelumnya, pada tahun 1989, American Library Association (ALA) memaparkan bahwa untuk menjadi seseorang yang literat dalam informasi, seseorang perlu mengetahui