• Tidak ada hasil yang ditemukan

PENOLAKAN KEPERCAYAAN LAMA DI GEREJA BATAK KARO PROTESTAN (GBKP) KAJIAN SOSIO TEOLOGIS. Oleh. Esterlita Br Meliala TUGAS AKHIR

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "PENOLAKAN KEPERCAYAAN LAMA DI GEREJA BATAK KARO PROTESTAN (GBKP) KAJIAN SOSIO TEOLOGIS. Oleh. Esterlita Br Meliala TUGAS AKHIR"

Copied!
41
0
0

Teks penuh

(1)

PENOLAKAN KEPERCAYAAN LAMA DI GEREJA BATAK KARO PROTESTAN (GBKP)

KAJIAN SOSIO TEOLOGIS

Oleh

Esterlita Br Meliala 712015065

TUGAS AKHIR

Diajukan kepada Program Studi: Ilmu Teologi, Fakultas: Teologi guna memenuhi sebagian dari persyaratan untuk mencapai gelar Sarjana.

Program Studi Ilmu Teologi

FAKULTAS TEOLOGI

UNIVERSITAS KRISTEN SATYA WACANA SALATIGA

(2)
(3)
(4)
(5)
(6)

v

KATA PENGANTAR

Dalam penulisan tugas akhir ini, pastinya ada suka dan duka yang dialami oleh penulis. Namun penulis mengucapkan puji dan syukur ke hadirat Tuhan Yesus Kristus yang telah memberikan berkat dan curahan kasih sayangNya serta penyertaanNya penulisan Tugas Akhir ini dapat diselesaikan. Tujuan dari penulisan Tugas Akhir ini adalah untuk memenuhi sebagian dari persyaratan untuk mencapai gerlah Sarja Sains Teologi (S.Si-Teol). Selain itu, adapun dukungan yang diberikan kepada penulis dari orang-orang yang telah banyak mendukung serta memberikan semangat dalam penulisan Tugas Akhir ini. Oleh karena itu ijinkan penulis mengucapkan terimakasih kepada:

1. Terimakasih untuk Tuhan Yesus yang memberikan pertolongan sehingga penulis dapat menyelesaikan Tugas Akhir ini dengan baik.

2. Pdt. Dr. Tony Tampake, M.Si. selaku dosen pembimbing tunggal yang telah membantu dan dengan sabar membimbing sehingga penulis dapat menyelesaikan Tugas Akhir.

3. Keluarga di tanah Karo, terkhususnya buat bapak (Jaya Meliala), mamak (Ida Royani Br Barus) dan adik (Enjel Margaretha Br Meliala dan Eorlando Isura Meliala). Kedua orang tua yang sudah membantu penulis bisa belajar di fakultas Teologi UKSW, serta memberi dukungan yang sangat luar biasa kepada penulis.

4. Kepada Novrado Alfandy Barus, sebagai teman yang senantiasa mengerti pergumulan penulis. Penulis merasakan perhatian, kasih sayang dan dukungan semangat yang diberikan selama ini.

5. Pdt. Dr. Rama Tulus Pilakoannu sebagai dosen wali study, sebagai ayah di Salatiga yang selalu memberikan semangat, dan membimbing penulis. 6. Kepada teman-teman angkatan 2015 fakultas Teologi UKSW yang

menjadi keluarga ke dua di Salatiga, yang selalu memberi warna-warni selama kurang lebih empat tahun. Dari mereka saya banyak belajar bagaimana cara menghargai perbedaan, karena kami datang dari latarbelakang suku yang berbeda.

(7)

vi

7. Kepada teman-teman kos Wisma Shinta yang selalu memberi dukungan serta teman curhat penulis selama mengerjakan Tugas Akhir.

8. Kepada seluruh Dosen serta Staf di Fakultas Teologi UKSW yang telah memberikan ilmu selama kurang lebih empat tahun dan pengalaman yang tak terlupakan.

Akhir kata semoga Tugas Akhir ini dapat bermanfaat bagi banyak pihak dan dapat membuka wawasan kita mengenai kepercayaan lama di tanah Karo.

Salatiga, 7 Agustus 2019

Esterlita Br Meliala

(8)

vii

ABSTRAK

Tulisan ini dilatarbelakangi oleh gejala bangkitnya kepercayaan lama di masyarakat Karo. Bangkitnya kepercayaan lama ini berkaitan dengan keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 97/PUU-XIV/2016 tentang kearifan lokal. Menanggapi kedua hal diatas, maka Gereja Batak Karo Protestan (GBKP) melalui Konpen Pendeta GBKP tahun 2016 No.14 butir ke-2 memutuskan menolak kepercayaan lama suku Karo. Berdasarkan latarbelakang tersebut maka tulisan ini difokuskan pada masalah apa saja kepercayaan-kepercayaan lama yang ditolak oleh Konpen Pendeta GBKP yang dilaksanakan pada tahun 2016. Untuk mendapatkan jawaban atas pertanyaan penelitian itu, maka penelitian ini dilakukan dengan metode kualitatif pendekatan deskriptif dan melalui pengumpulan data dengan wawancara dan observasi. Penelitian ini dilakukan di GBKP yang terletak di Kabupaten Karo Provinsi Sumatra Utara. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kepercayaan lama yang ditolak adalah cawir bulung, niktik wari udan, nengget, petalayoken, dan begu jabu. Alasan penolakan GBKP adalah kerena kepercayaan-kepercayaan lama tersebut dianggap bertentangan dengan iman Kristen.

Kata Kunci: GBKP, Kepercayaan Karo, Hubungan Agama dan Kepercayaan Suku.

(9)

1

1. Pendahuluan

Gereja Batak Karo Protestan (GBKP) adalah gereja Kristen yang berpusat di tanah Karo. Sebuah suku tidak bisa terlepas dari unsur kebudayaan. Kebudayaan masyarakat Karo semakin surut sejak masuknya agama Kristen Protestan yang dibawa Nederlands Zendeling Genootschap (NZG) melalui Pdt H.C Kruyt tahun 1890, Katolik dibawa Pastor Elpedius van Duynhoven tahun 1939 dan Islam. Sebelum masuknya ketiga agama tersebut ke tanah Karo, agama tradisonal Karo adalah agama pemena/perbegu.1 Masyarakat tradisional Karo sesungguhnya lebih mengenal istilah perbegu. Agama pemena/perbegu erat kaitannya dengan budaya masyarakat Karo. Dikatakan sebagai agama pemena/perbegu karena masyarakat Karo percaya roh leluhur.

Pada tahun 1906-1940 Cooley menggambarkan pendekatan misionaris penanaman dan penggarapan di tanah Karo. 2 Ia memperlihatkan adanya pemisahan yang tajam antara kekristenan dengan komunitas masyarakat Karo. Salah satu siasat gereja yang dijalankan secara keras kepada seorang raja bernama Pa Mbelgah Purba di Kabanjahe.3 Saat berada di Kabanjahe seorang misionaris bernama Pdt.Van den Berg datang dan bertutur dengan Raja Pa Mbelgah Purba sampai ia sendiri diterima dalam marga Purba. Melalui raja dapat dikumpulkan orang-orang untuk berbicara dan bertukar pikiran mengenai agama hingga pada akhirnya raja dan para pengikutnya dibaptis menjadi Kristen. Tidak lama setelah dibaptis Raja Pa Mbelgah Purba bertanya kepada Pdt.Van den Berg apakah orang Kristen dapat menggunakan gendang Karo (alat musik tradisional Karo). Pdt Van den Berg tidak mengizinkan pemakaian gendang Karo, tetapi karena dalam melakukan tugasnya sebagai raja Pa Mbelgah Purba tetap menggunakan gendang Karo. Raja Pa Mbelgah Purba dikeluarkan dari Gereja karena pendeta menganggap gendang Karo suatu unsur kekafiran yang tidak bisa dipadukan dengan agama Kristen.

Penginjilan di dunia ketiga termasuk Asia yang mencapai puncaknya pada abad ke-19 terajut dalam superioritas pihak kolonial dan corak teologi Barat yang

1https://joeybangun.com/category/budaya-karo/. (diakses 23 Mei 2017).

2 Cooley, Benih yang Tumbuh IV, edisi revisi (Jakarta: Lembaga Penelitian dan Dewan Studi

Gereja-gereja di Indonesia, 1976), 1.

3

(10)

2

menyebabkan pengabaian bahkan penolakan kebudayaan lokal.4 Hal tersebut terjadi dalam pertumbuhan kekristenan di tanah Karo. Misionaris melakukan berbagai usaha hingga tahun 1940 jumlah orang Karo yang dibaptis hanya mencapai 5.000 orang.5 Cooley menyebutkan bahwa pengabaian dan penolakan terhadap kebudayaan lokal menjadi salah satu penyebab lambatnya pertumbuhan kekristenan di tanah Karo dalam 70 tahun pertama.6 Pdt.A.Ginting Suka (Ketua Modramen GBKP Periode 1966-1989) sependapat bahwa sikap gereja yang kurang menghargai kebudayaan lokal menjadi penyebab lambatnya pertumbuhan kekristenan di GBKP.7

Pendapat tersebut tampaknya menjadi semakin kuat melihat banyak jemaat GBKP yang meninggalkan gereja.8 Jemaat GBKP yang keluar bergabung dengan organisasi Balai Pustaka Adat Merga Si Lima (BPAMSL) pada tahun 1967, 9 karena BPAMSL mempertahankan kebudayaan Karo. Pada tahun 1972 BPAMSL bertransformasikan menjadi Parisada Agama Hindu Karo (PAHK) anggotanya di bawah agama Hindu jumlah pengikutnya mencapai 50.000 orang hingga tahun 1984.10 PAHK mengkampanyekan slogan Hinduisme dan pemena/perbegu adalah sama yang hendak mengatakan untuk menjadi seorang Hindu orang Karo tidak perlu meninggalkan identitas Karonya. Realitas semakin memperlihatkan bahwa orang Karo sulit dilepaskan dari kebudayaannya. Berdasarkan data tampaknya tidak berlebihan jika putusan Mahkamah Konstitusi (MK) menjadi ancaman bagi GBKP. Jika tetap berpendapat pada keputusan Konferensi Pendeta (Konpen) tahun 2016 maka tidak menutup kemungkinan anggota GBKP akan memutuskan keluar dari gereja.

Pada tahun 2016 beberapa orang di antara penghayat kepercayaan mengajukan pengujian Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan diubah dengan UU Nomor 24 Tahun 2013 kepada MK terkait dengan pengosongan kolom agama dalam kartu identitas. Para

4 Van den End, Sejarah Gereja (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2011), 283 5 Cooley, Benih yang Tumbuh IV, 9.

6 Cooley, Benih yang Tumbuh IV, 4. 7

Cooley, Benih yang Tumbuh IV, 7.

8 Antara tahun 1965-1968 terjadi peningkatan jumlah jemaat GBKP yang signifikan. Peningkatan

tersebut berkaitan dengan peristiwa G30S/PKI. Selengkapnya akan disajikan dalam bab 2.

9 Cooley, Benih yang Tumbuh IV edisi revisi, 76-77. 10

(11)

3

penghayat kepercayaan masih kesulitan untuk memperoleh hak sebagai warga negara sehingga mereka mengajukan pengujian kembali terhadap UU.11 Pada tanggal 7 November 2017 MK melalui putusan Nomor 97/PUU-XIV/2016 akhirnya menjatuhkan keputusan terhadap perkara pengujian UU dengan menetapkan status kepercayaan dapat dicantumkan dalam Kartu Keluarga (KK) dan Kartu Tanda Penduduk (KTP) tanpa harus merinci aliran kepercayaan. Dengan keputusan tersebut pemerintah mengakui dan menjamin hak penghayat kepercayaan setara dengan enam agama resmi yang diakui pemerintah sehingga pemerintah akan memenuhi hak sipil para penghayat kepercayaan.

Penghayat kepercayaan yang dimaksud adalah para penganut kepercayaan lokal.12 Penganut kepercayaan lokal diartikan sebagai masyarakat adat yang telah eksis sebelum Indonesia mardeka bahkan sebelum istilah agama dikenal.13 Namun dalam dinamika politik agama di Indonesia mereka menerima tindakan yang diskriminatif sejak UU No.1/PNPS/1965 diterbitkan pemerintah hanya mengakui ada enam agama yaitu: Islam, Katolik, Protestan, Buddha, Hindu dan Konghucu.14 Sedangkan kepercayaan lokal bukanlah agama melainkan aliran kepercayaan yang penganutnya diklaim sebagai kelompok yang mengancam ketertiban umum dan negara. 15 Peristiwa G30S/PKI 16 semakin mempersulit status penghayat kepercayaan karena pemerintah mewajibkan seluruh warga negara untuk menganut agama resmi, mereka yang tidak menganut agama resmi disebut sebagai “tidak beragama” yang diklaim sama dengan komunis atau anggota PKI. Para penghayat kepercayaan yang kepercayaannya telah dibudayakan tidak memiliki pilihan lain kecuali pindah agama atau berafiliasi. Banyak kepercayaan yang

11 https://mkri.id/public/content/persidangan/putusan/97_PUU-XIV_2016.pdf, (diakses pada

tanggal 12 Maret 2018).

12

Samsul Maarif, Pasang Surut Rekognisi Agama Leluhur dalam Politik Agama di Indonesia (Yogyakarta: CRCS, 2018), 3.

13 Samsul Maarif, Pasang Surut Rekognisi Agama Leluhur dalam Politik Agama di Indonesia, 4. 14 Instruksi Presiden Nomor 14 Tahun 1967. Namun Konghucu diakui kembali berdasarkan

Keputusan Presiden Nomor 6 Tahun 2000 tentang Pencabutan Instruksi Presiden Nomor 14 Tahun 1967.

15Maarif, Pasang Surut Rekognisi Agama Leluhur dalam Politik Agama di Indonesia, 35.

16 Nugroho Notosusanto Ismail Saleh, Tragedi Nasional Percobaan KUP G 30 S/PKI di Indonesia

(12)

4

berafiliasi dengan agama resmi atau para penghayat kepercayaan pindah ke agama resmi untuk menghindari tuduhan sebagai komunis.17

Melalui putusan MK Nomor 97/PUU-XIV/2016 para penghayat kepercayaan tidak hanya mendapat pelayanan hak sipil tetapi dapat menjalankan kepercayaanya secara bebas. Kepercayaan sendiri di identik dengan kearifan lokal.18 Salah satunya dapat dilihat dalam konferensi nasional kearifan lokal yang diselanggarakan Kementerian Sosial (Kemensos) pada November 2017. Konferensi diberi tema “Memperkuat kearifan lokal dalam menjaga persatuan dan kesatuan menuju Indonesia damai dan sejahtera”. Dalam siaran pers tanggal 29 November 2017 menteri sosial dijabat oleh Khofifah Indar Parawansa menjelaskan berbagai isu kebangsaan seperti radikalisme, konflik sosial, eksklusivitas, intoleransi dan terorisme dapat diminimalisasi melalui penguatan peran tokoh agama dan budaya dalam mengusung kearifan lokal.19

Melalui penyataan semakin terlihat ruang untuk mengusung kembali kearifan lokal semakin terbuka lebar. Tetapi yang menjadi permasalahan adalah upaya untuk mengusung kembali kearifan lokal tidak di ikuti oleh kalangan lainya seperti organisasi keagamaan di Indonesia. Misalnya GBKP yang tampaknya masih mengabaikan bahkan menolak sebagian kearifan lokal dalam masyarakat Karo dapat lihat dari keputusan Konpen GBKP tahun 2016 No.14 poin ke-2. Perihal kearifan lokal yang menyatakan:“Tentang kepercayaan-kepercayaan lama yang sudah menjadi tradisi dalam masyarakat Karo dan bertentangan dengan iman Kristen tetap ditolak dan tidak perlu dikaji ulang. 20 Ketika upaya untuk melestarikan kearifan lokal sangat terbuka lebar GBKP justru mengabaikan bahkan menolak kebudayaan lokal yang telah lama menyebabkan krisis identitas dalam masyarakat Karo.21 Pengabaian terhadap kebudayaan lokal dapat menjadi ancaman bagi GBKP. Dengan demikian, sikap GBKP semacam menekan upaya mengusung kearifan lokal.

17 Mufid, Dinamika Perkembangan Sistem Kepercayaan Lokal di Indonesia (Jakarta: Puslitbang

Kementrian Agama RI, 2012), 207-210.

18 Maarif, Pasang Surut Rekognisi Agama Leluhurdalam Politik Agama di Indonesia, 3. 19

https://www.republika.co.id/berita/nasional/politik/17/11/30/p07t5t319-mensos-dorongpengembangan-kearifan-lokal (diakses 28 April 2018).

20http://gbkp.or.id/2016/11/keputusan-konpengbkp-2016/ (diakses 12 Maret 2018).

21 Mindawati Perangin-Angin, Gereja Diantara Identitas dan Schizophrenia. http://mindawatiperanginangin.blogspot.co.id/ (diakses 10 April 2018).

(13)

5

Putusan MK memberikan ruang bagi kebangkitan kepercayaan lokal. Hal ini pernah terjadi ketika BPAMSL muncul dan tidak menutup kemungkinan akan terjadi kembali pasca putusan MK jika GBKP tidak menyikapinya dengan baik. Belum lagi melihat data GBKP yang menyebutkan hanya sekitar 40% jemaat GBKP yang aktif dalam beribadah.22 Ada kemungkinan bahwa di antara 60% jemaat GBKP yang tidak aktif beribadah adalah mereka yang selama ini hanya bersembunyi dalam GBKP.

Penghayat kepercayaan demikian menurut penulis sejalan dengan teori Lee. Ia menjelaskan bahwa sebelum kekristenan datang orang telah dibentuk oleh nilai-nilai dan aturan kultur tradisional mereka. Tradisi ini satu aspek memiliki ajaran moral yang terwujud dalam literatur, bahasa, kebiasaan, mitologi dan legenda.23 Sedangkan di aspek lain tradisi memiliki pemahaman keagamaan yang mendalam serta membentuk perspektif keagamaan terhadap kehidupan dan alam semesta. Tetapi kekristenan datang menawarkan hal yang “asing” bahkan menolak kebudayaan lokal. Manusia adalah makhluk budaya (cultural being).24 A.C.Kruyt juga berpendapat bahwa sebelum datangnya agama-agama seperti Hindu, Buddha, Islam dan Kristen ke Indonesia, masyarakat Indonesia asli adalah penganut agama suku. Setiap suku yang ada di Indonesia mempunyai agamanya sendiri dan satu sama lain sangat berlainan menurut corak dan bentuk karakter masing-masing.25

Dalam tulisan ini penulis hendak mengkaji sikap penolakan GBKP terhadap kearifan lokal masyarakat Karo yang disebut “begu jabu”. Begu jabu adalah salah satu kearifan lokal yang sangat berpengaruh bagi masyarakat Karo tradisional tetapi telah ditolak dan tidak perlu dikaji kembali berdasarkan keputusan Konpen tahun 2016. Secara tegas tidak terdapat kata “begu jabu” dalam hasil konpen. Tetapi frasa kepercayaan-kepercayaan lama menunjuk kepada “begu jabu”. Kepercayaan lama masyarakat Karo tradisional dikenal sebagai

22http://gbkp.or.id/2016/07/koinonia-sebagai-tatanan-hidup-keluarga-allah/ (diakses 1 Juni 2018)

.

23 Archie Lee,. “Biblical Interpretation in Asia Perspective” Asia Journal of Theology. 1993. 30. 24 Rafael Raga Maran, Manusia & Kebudayaan: Dalam Perspektif Ilmu Budaya Dasar (Jakarta:

Rineka Cipta, 2000),15.

25 A.C. Kruyt, Keluar dari Agama Suku Masuk ke Agama Kristen (Jakarta: Gunung Mulia,

(14)

6

pemena/perbegu termasuk “begu jabu”. Dalam hasil Konpen tertulis bahwa “begu jabu.” Sudah jelas bahwa “begu jabu” telah ditolak oleh GBKP. Penolakan tersebut diidentifikasi dalam memaknai “begu jabu” karena itu penting untuk mengkaji kembali “begu jabu” sebagai kearifan lokal yang sangat berpengaruh dalam masyarakat Karo tradisional serta mengandung nilai luhur yang tinggi.“Begu jabu” dianggap sebagai roh pelindung atau penolong dalam keluarga. Seseorang yang meyakini begu jabu tidak harus meninggalkan identitas kulturnya ketika ingin menjadi warga GBKP atau dalam konteks pasca putusan MK. Dengan demikian, seseorang tidak harus meninggalkan gereja untuk menemukan identitas kulturnya.

Berdasarkan latar belakang tersebut maka rumususan masalah Tugas Akhir ini adalah “Apa saja kepercayaan-kepercayaan lama dalam masyarakat karo yang dianggap bertentangan dengan iman Kristen dan di tolak dalam Konferensi Pendeta (Konpen) tahun 2016”.

Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan kepercayaan-kepercayaan lama dalam masyarakat Karo yang ditolak oleh Konferensi Pendeta (Konpen) tahun 2016.

Manfaat penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat secara teoritis dan praktis. 1) Manfaat teoritis, penelitian ini akan memberi sumbangan terhadap pemikiran-pemikiran teoritis tentang hubungan antara injil dengan kebudayaan. 2) Manfaat praktis, penelitian ini akan menjadi pembacaan kreatif bagi GBKP yang saat ini masih merupakan sikap anti kearifan lokal sesuai dengan keputusan Konpen GBKP pada tahun 2016.

Metode yang digunakan penulis dalam penelitian ini adalah penelitian kualitatif dengan pendekatan deskriptif. Pendekatan deskriptif adalah sebagai prosedur pemecahan masalah yang diselidiki dengan menggambarkan keadaan subjek atau objek dalam penelitian dapat berupa orang, lembaga, masyarakat dan lainnya yang pada saat sekarang berdasarkan fakta-fakta yang tampak atau apa adanya.26 Adapun teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini; 1) Wawancara. Metode wawancara adalah suatu teknik pengumpulan data untuk mendapatkan informasi yang digali dari sumber data langsung melalui percakapan

26

(15)

7

atau tanya jawab.27 Dalam penelitian wawancara dilakukan secara mendalam (In-depth Interview) dengan cara memberikan pertanyaan langsung kepada sejumlah pihak terkait yang didasarkan pada percakapan intensif dengan suatu tujuan untuk memperoleh informasi yang dibutuhkan. Informan yang dilibatkan meliputi pinpinan sinode GBKP. 2) Dokumen. Dokumen merupakan teknik pengumpulan data yang tidak langsung ditunjukkan kepada subjek penelitian. Dokumen dapat dibedakan menjadi dokumen primer, dokumen ini ditulis oleh orang yang langsung mengalami suatu peristiwa; dan dokumen skunder, peristiwa dilaporkan orang lain dan selanjutnya ditulis oleh orang lain. Dokumen dapat berupa catatan pribadi, transkrip, buku, surat kabar, majalah, prasasti, notulen rapat, agenda, data yang tersimpan di website dan sebagainya.28 Dokumen yang dilakukan adalah dengan pengumpulan dokumen kepercayaan-kepercayaan lama dan kearifan lokal di Karo.

Dalam tulisan ini penulis membagi sistematika penulisan menjadi lima bagian, yaitu bagian pertama pendahuluan yang berisikan latar belakang, rumusan masalah penelitian, tujuan penelitian, manfaat penelitian, metode penelitian dan sistematika penulisan Bagian kedua penulis akan membahas landasan teori sebagai dasar untuk mendeskripsikan konsep penelitian. Teori yang digunakan adalah teori hubungan antara injil dan kebudayaan oleh Lee dan A.C. Kruyt. Bagian ketiga penulis akan mendeskripsikan gambaran umum kepercayaan-kepercayan lama dalam masyarakat Karo yang dianggap bertentangan dengan iman Kristen. Bagian keempat penulis akan manganalisis kepercayaan-kepercayaan lama dalam masyarakat Karo yang dianggap bertentangan dengan iman Kristen dan menganalisa sosio teologis penolakan GBKP. Bagian kelima yaitu kesimpulan dan saran.

2. PERSPEKTIF TEORI TERHADAP POKOK PENULISAN

2.1 Pendekatan Misionaris Terhadap Kebudayaan Lokal di Tanah Karo

Cooley menggambarkan pendekatan misionaris khususnya pada periode penanaman dan pengarapan (1906-1940) di tanah Karo. Seperti yang telah penulis uraikan dalam latar belakang tentang penginjilan yang dilakukan Pdt.Van den Berg. Memperlihatkan adanya sikap pengabaian bahkan penolakan terhadap

27 Aan Komariah, Metodologi Penelitian Kualitatif (Bandung: Alfabeta, 2010), 130. 28

(16)

8

kebudayaan dalam periode penginjilan di tanah Karo. Kruyt sebagai misionaris pertama datang pada tahun 1890 hanya bertahan selama dua tahun tanpa berhasil membaptis seorang pun. Kruyt kemudian digantikan oleh Pendeta Wijngaarden yang berhasil melakukan pembaptisan pertama pada tanggal 21 September 1893 sebanyak enam orang. Tidak lama setelah itu Wijngaarden meninggal dunia. Untuk beberapa lama istrinya menggantikan pelayanannya hingga pada 1899 datanglah Pdt.Guillaume dan seorang guru Injil bernama Martin Siregar. Hingga tahun 1900 hanya sekitar 25 orang yang dibaptis. Setelah tahun 1900 para misionaris datang bergantian ke tanah Karo ikut terlibat tidak hanya dalam bidang kerohanian tetapi dalam bidang kesehatan, pertanian, perdagangan dan pendidikan.29 Meskipun misionaris sudah melakukan berbagai usaha hingga tahun 1940 jumlah orang Karo yang dibaptis hanya mencapai sekitar 5.000 orang.

Dalam tulisan yang dikutip oleh Cooley Pdt A.Ginting Suka menyebutkan salah satu penyebab lambatnya pertumbuhan kekristenan di tanah Karo karena kekakuan dan sifat legalistis yang menandai peraturan Gereja dan sikap pemimpin gereja (para misionaris) berlatar belakang teologi pietis.30 Peraturan serta sikap tersebut menimbulkan ketakutan terhadap warisan kebudayaan tradisional Karo dalam implikasinya menyebabkan orang Karo yang menjadi Kristen menjauhkan diri dari persekutuan hidup orang Karo pada umumnya dan menjadi semacam minoritas yang bersifat individualistis. Dengan demikian dapat dilihat bahwa salah satu penyebab lambatnya pertumbuhan kekristenan di tanah Karo dalam 50 tahun pertama dikarenakan adanya sikap pengabaian bahkan penolakan terhadap kebudayan Karo.

Jika diperhatikan setelah menjadi gereja mandiri GBKP masih mewarisi sikap pengabaian dan penolakan terhadap kebudayaan.31 Cooley menyebutkan gereja kesulitan bahkan menganggap tidak mungkin untuk memisahkan adat dari agama atau kepercayaan lokal.32 Sedangkan kepercayaan lokal telah di identifikasi sebagai kepercayaan kafir semenjak era penginjilan. Jemaat seringkali meminta

29 Cooley, Benih yang Tumbuh IV, 2-5. 30 Cooley, Benih yang Tumbuh IV, 7. 31 Cooley, Benih yang Tumbuh, 9. 32

(17)

9

gereja untuk menyelesaikan persoalan atau ketegangan yang timbul dengan adat. Cooley mencatat ada beberapa sikap yang diberikan GBKP yaitu; 1) memberi pengajaran pada waktu katekisasi dan pada waktu persoalan adat terjadi bila perlu memberi larangan kepada orang Kristen; 2) berusaha mengalihkan hubungan yang berkaitan dengan “bukan Allah” (dewa-dewa dan roh-roh kepada Allah yang benar); 3) Mengadakan perubahan dalam upacara adat bila diperlukan tetapi lebih penting mengubah isi dan pengarahannya; 4) menghapus atau meninggalkan adat tertentu. Prinsip pokok yang dilakukan GBKP ialah adat yang memiliki nilai positif dalam kehidupan bersama dipupuk sedangkan adat yang berhubungan dengan kepercayaan terhadap dewa-dewa, roh-roh nenek moyang dilawan oleh gereja.33

Meskipun ada upaya untuk memelihara adat yang memiliki nilai positif Cooley mengatakan bahwa permasalahan tersebut belum secara teratur dan menyeluruh hanya dibahas jika muncul persoalan. GBKP pernah melaksanakan seminar adat Karo pada tahun 1973. Pertemuan hanya sebatas memecahkan soal-soal praktis yang timbul dalam jemaat. Cooley menyebutkan pertemuan yang dilangsungkan belum begitu mendalam karena kurang berlangsung secara teoritis, teologis, melainkan lebih bersifat praktis.34 Lebih dari itu kebudayaan yang dianggap berhubungan dengan kepercayaan lokal dihapus.

2.2 Kepercayaan Lama di Tanah Karo

Menurut Rachmat Subagya pada dasarnya setiap suku bangsa di Nusantara memiliki kerohanian khas yang timbul dan tumbuh secara spontan bersama suku bangsa itu sendiri yang Ia sebut sebagai agama asli.35 Dalam konteks Indonesia yang terdiri atas berbagai suku bangsa lebih dari 1.300 suku bangsa maka seharusnya ada lebih dari 1.300 agama.36 Begitu pula di tanah Karo agama asli adalah agama pemena/perbegu. Agama pemena ditetapkan sebagai agama asli Karo. Masyarakat tradisional Karo sesungguhnya lebih mengenal istilah perbegu.

33

Cooley, Benih yang Tumbuh, 124.

34 Cooley, Benih yang Tumbuh,136.

35 Rachmat Subagya, Agama Asli Indonesia (Jakarta: Sinar Harapan, 1981), 1.

36IraIndrawardanahttps://sains.kompas.com/read/2017/11/22/124500723/sebetulnya-berapa-jumlah

(18)

10

Perubahan kata pemena menjadi perbegu yang dilakukan oleh para pengetua adat dan guru mbelin bertujuan untuk meninggalkan stigma negatif yang ditujukan terhadap pemena semenjak era kolonial. 37 Meskipun dikatakan sebagai kepercayaan asli masyarakat Karo tradisional perbegu tidak terlepas dari pengaruh agama lainnya. Brahma Putro menyimpulkan bahwa kepercayaan Karo sangat dipengaruhi oleh Hinduisme yang berasal dari India. Karena itu ia menyebut kepercayaan Karo dengan sebutan Hindu perbegu diduga sudah ada semenjak abad pertama ketika raja Pa Lagan dari Kerajaan Haru pada waktu itu daerah Karo termasuk dalam Kerajaan Haru menyambut pahlawan wanita Hindu bernama Manimegelai.38

Pengaruh agama Hindu terhadap masyarakat Karo diperkirakan mencapai puncaknya ketika kedatangan suku Hindu Padang dan Hindu Tamil pada penghujung abad ke 12 M dan permulaan abad 13 M. Brahma Putro menyebutkan bahwa pada saat itu kebudayaan masyarakat Haru lebih tinggi. Adapun ajaran Hindu yang memengaruhi kepercayaan Karo adalah ajaran Bhagavat Brgu (Sekte Ciwa) yang mengajarkan agama Hindu sekte ciwa ke Nusantara termasuk ke masyarakat di tanah Karo.39 Tampaknya telah terjadi penyatuan yang baik antara Hinduisme dengan kepercayaan asli masyarakat Karo. Rachmat Subagya menjelaskan ada dua jenis pengaruh agama luar terhadap agama asli yakni: alokhton (paham keagamaan yang asalnya dari lain daerah) dan heterokhton (tidak dapat meluruskan agama asli).40 Jika agama yang masih murni bertemu dengan agama luar lalu menerima dan menghargainya maka yang terjadi adalah penyempurnaan tetapi jika agama dari luar dianggap bertentangan maka agama luar tidak dapat meluruskan agama asli.41

Masyarakat Karo tradisional tampaknya dapat menerima dan menghargai agama Hindu. Salah satu contohnya mengenai roh. Penghargaan terhadap roh merupakan suatu hal yang paling esensial dalam kepercayaan masyarakat Karo. Kepercayaan Karo memahami bahwa manusia terdiri atas tubuh dan jiwa (tendi)

37

Brahma Putro, Sejarah Karo dari Zaman ke Zaman, (Medan:Ulih Saber, 1995), 32.

38 Brahma Putro, Sejarah Karo dari Zaman ke Zaman, 28. 39 Brahma Putro, Sejarah Karo dari Zaman ke Zaman, 26. 40 Rachmat Subagya, Agama Asli Indonesia, 5.

41

(19)

11

di mana tendi akan berubah menjadi roh setelah ia meninggal. Roh tersebut yang disebut orang Karo dengan begu.42 Kata begu tersebut diambil dari nama Bhagavant Brgu karena dianggap memiliki keluhuran yang tinggi (roh atau jiwa yang kekal).43 Dari sini dapat dilihat bagaimana agama Hindu tampaknya tidak merusak keyakinan masyarakat Karo tradisional akan roh sehingga tidak keberatan mengadopsi nama Brgu untuk menyebut roh orang yang sudah meninggal.44

Orang Karo mengartikan begu adalah sebagai roh manusia yang sudah meninggal, sedangkan roh manusia yang masih hidup disebut tendi.45 Kata begu berdampak pula pada pemaknaan “begu jabu”. Frasa “begu jabu” terdiri atas kata begu dan jabu (rumah). Adat menghubungkan orang-orang hidup yang kelihatan dengan orang-orang mati, yang hidup tidak kelihatan.46 Para penulis Karo seperti Henry Guntur Tarigan dan Payung Bangun sepakat bahwa “begu jabu” adalah roh leluhur yang disegani dan dihormati oleh masyarakat Karo tradisional. 47 Berdasarkan penjelasan para ahli Karo “begu jabu” diartikan sebagai roh leluhur. Tetapi yang paling utama adalah menemukan makna atau gagasan yang terkandung dalam “begu jabu”. “Begu jabu” salah satu kearifan lokal dalam masyarakat Karo tradisional yang terus bertahan hingga saat ini.

2.3 Teori Hubungan Antara Injil dan Kebudayaan

Lee merupakan salah satu teolog yang menaruh perhatian terhadap masalah injil dan kebudayaan.48 Manusia tidak dapat hidup di luar ruang lingkup kebudayaannya. Ketika seseorang dibawa hidup dalam sebuah tradisi lain yang bertentangan dengan tradisi aslinya maka orang tersebut akan hidup dalam dua tradisi. Seseorang di satu sisi akan hidup dalam tradisi kekristenan dan di sisi lain hidup dalam tradisi lokal yang tidak dapat ia tinggalkan. Lee sendiri pernah

42 Brahma Putro, Sejarah Karo dari Zaman ke Zaman, 34-35. 43 Brahma Putro, Sejarah Karo dari Zaman ke Zaman, 27.

44 Mindawati Perangin-Angin, Gereja Diantara Identitas dan Schizophrenia.

http://mindawatiperanginangin.blogspot.co.id/ (diakses 10 April 2018)

45

Kalvinsius Jawak, Teologi Agama-agama Gereja Batak Karo Protestan (GBKP) (Salatiga: Universitas Kristen Satya Wacana, 2014), 161.

46 P.S. Naipospos, Adat dan Injil: perjumpaan adat dengan iman Kristen di Tanah Batak (Jakarta:

BPK Gunung Mulia, 2003), 217.

47 Sarjani Tarigan, Kepercayaan Orang Karo Tempoe Doeloe (Medan: BABKI, 2011), 28.

(20)

12

menyaksikan dikotomi yang dialami komunitas Kristen pada saat ia menjadi pendeta jemaat lokal Hongkong. Ia menyaksikan pada saat kelahiran, pernikahan, dan kematian, jemaat kembali pada nilai-nilai kebiasaan kepercayaan dan jiwa tradisional. Lee menganggap bahwa hal tersebut merupakan sebuah permasalahan yang harus segera diselesaikan.

Sejauh pengamatan penulis situasinya tidak jauh berbeda dengan masyarakat Karo. Kembali pada hasil keputusan Konpen GBKP masih menolak beberapa kearifan lokal yang menjadi adat dan kebudayaan masyarakat Karo. Dengan sikap penolakan tersebut GBKP telah menempatkan jemaatnya dalam dua identitas yakni identitas sebagai masyarakat berkebudayaan Karo dan identitas sebagai jemaat GBKP. Masalah identitas tersebut sesungguhnya menjadi perhatian Pdt.Mindawati Perangin-angin, Ph.D (Kabid Personalia dan SDM GBKP periode 2005-2010) dalam tulisannya berjudul “Gereja di antara Identitas dan Schizophrenia.49 Dalam tulisan tersebut ia mengutip percakapan dengan Pdt.A.Ginting Suka Ketua Moderamen GBKP periode 1966-1989) mengakui bahwa jiwanya adalah Karo tetapi tubuh dan bajunya Kristen.50 Penulis menyakini bahwa hal yang sama juga pasti dialami oleh sebagian besar jemaat GBKP.

Menurut Suh Sung Min hubungan antara injil dan kebudayaan tidak jauh berbeda dengan yang dikemukakan oleh Lee bahwa manusia adalah makhluk budaya, manusia tidak dapat hidup di luar ruang lingkup kebudayaannya. Karena kebudayaan sudah turun-temurun dari kebudayaan nenek moyang. Dengan demikian ketika seseorang dibawa hidup dalam sebuah tradisi lain yang bertentangan dengan tradisi aslinya maka orang tersebut akan hidup dalam dua tradisi. Suh Sung Min mengusulkan satu model yaitu kontekstualisasi. 51 Kontekstualisasi digunakan dari segi respon injil terhadap kebudayaan tradisional. Kontekstualisasi sifatnya dinamis dan terbuka. Kontekstualisasi tidak memisahkan antara manusia atau kebudayaan. Kontekstualisasi memerlukan suatu pedoman

49 Perangin-Angin, Gereja Diantara Identitas dan Schizophrenia. http://mindawatiperanginangin.blogspot.co.id/ (diakses 10 April 2018).

50 Perangin-Angin, Gereja Diantara Identitas dan Schizophrenia. http://mindawatiperanginangin.blogspot.co.id/ (diakses 10 April 2018).

51 Suh Sung Min, Injil dan Penyembahan Nenek Moyang (Yogyakarta: Media Pressindo, 2001),

(21)

13

yaitu; Alkitab. Perioritas kontekstualisasi adalah pemberitaan injil kepada orang-orang yang tinggal di dalam lingkungan kebudayaan yang lain tanpa merubah hakikat injil.52

Menurut A.C.Kruyt masyarakat Indonesia asli adalah penganut agama suku. Setiap suku yang ada di Indonesia mempunyai agamanya tersendiri dan satu sama lain sangat berlainan menurut corak dan bentuk karakter masing-masing. Kruyt adalah orang yang begitu menghargai agama suku. Keberhasilan Kruyt dalam menanamkan injil disebabkan karena Ia sudah mempunyai sikap yang lebih terbuka kepada budaya dan agama asli suku. Dalam pendekatannya terhadap masyarakat yang dijadikan sebagai pusat penginjilan Ia tidak menyerang agama asli suku secara langsung. Bagi Kruyt perlu lebih dulu mengenal lingkungan masyarakat tersebut Ia ingin pesan injil yang disampaikan menembus ke dalam hati orang-orang dan membawa mereka ke dalam pertobatan pribadi. Kruyt mengerti untuk menyentuh bagian terdalam harus mengetahui pola yang berlaku dalam pemikiran mereka. Kruyt tidak ingin orang Kristen yang keluar dari agama suku hanya untuk mendapat identitas diri tetapi belum menjadi orang Kristen “Injili”.53

Ia ingin orang yang sudah keluar dari agama suku harus menjadi orang Kristen yang telah berjalan bersama Yesus Kristus pengharapan dan kasih bertanggung jawab atas saudaranya yang masih kurang maju. Mereka terpanggil membimbing saudara itu di jalan yang telah mereka lalui sendiri. H Richard Niebuhr memetakan empat hubungan injil dan kebudayaan yakni:54

a. Kristus Lawan Kebudayaan (Konflik)

Kristus lawan kebudayaan adalah tidak mengenal kompromi dalam memegang teguh otoritas Kristus diatas orang Kristen dan dengan tegas menolak tuntutan kebudayaan untuk kesetiaan.55 Kristus terhadap kebudayaan menolak segala hal yang diyakini oleh budaya. Bagi kelompok ini setia pada Kristus berarti menolak kebudayaan. Orang Kristen diharuskan memilih satu di antara dua, Kristen atau

52 Suh Sung Min, Injil dan Penyembahan Nenek Moyang, 379. 53 A.C. Kruyt, Keluar dari Agama Suku Masuk ke Agama Kristen, 19.

54 H. Richard Niebuhr, Kristus dan Kebudayaan (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1946), 44. 55

(22)

14

Kebudayaan. Sikap ini didasarkan pada petunjuk Alkitab yang memperlihatkan pertentangan antara Kristus dengan dunia.

b. Kristus dari Kebudayaan (Akomodasi)

Kristus dari Kebudayaan menyatakan bahwa didalam setiap kebudayaan yang didatangi Injil selalu ada orang-orang yang meninggikan Yesus sebagai Mesias dari masyarakat mereka. Tipologi ini menafsirkan kebudayaan melalui Kristus atau Kristus melalui kebudayaan (mengkombinasikan Kristus dan kebudayaan).

c. Kristus Di atas Kebudayaan (Sintesis)

Tipologi ini menekankan bahwa Kristus yang berada di atas segala budaya yang membentuk dan mengijinkannya untuk terjadi, maka dari itu budaya tidak bisa dikatakan buruk tapi juga tidak bisa dikatakan baik. Ketika seorang manusia melakukan dosa lalu kemudian mengekspresikan pemberontakannya kepada Tuhan merupakan suatu yang buruk. Mereka mengatakan bahwa budaya ada karena Kristus yang menciptakannya secara penuh dan mereka melihat bahwa keselarasaan antara Kristus dan budaya adalah sebuah jawaban yang tepat untuk menjawab semua pertanyaan.

d. Kristus dan Kebudayaan dalam Paradoks

Dalam pandangan ini iman dan kebudayaan dipisahkan. Orang beriman berada dalam dua suasana, yaitu berada dalam kebudayaan dan sekaligus berada dalam kemuliaan Allah. Bahwa seseorang dapat hidup berdasarkan imannya pada lingkungan rohani dan pada pihak lain ia hidup menurut aturan dunia dalam lingkungan dunia.

e. Kristus Pembaharu Kebudayaan (Dialog)

Kristus pengubah kebudayaan adalah tipologi yang menyatakan bahwa di dalam setiap kebudayaan Kristus datang sebagai pengubah dan pembaharuan dari kebudayaan. Paham yang paling disarankan oleh Niebuhr dimana secara teologis pandangan ini memiliki tiga garis besar yaitu; menlihat Tuhan sebagai pencipta, menyadari bahwa kejatuhan manusia dari sesuatu yang baik dan memandang

(23)

15

bahwa kita merasakan intraksi antara Tuhan dengan manusia dalam perjalanan hidup manusia yang historis. F.D. Maurice menegaskan bahwa Kristus adalah Raja manusia harus memperhitungkan dia saja sehingga Maurice berpendapat bahwa tidak ada satupun kebudayaan yang tidak diubah oleh Kristus.

3. HASIL PENELITIAN

3.1 Sejarah Singkat Masyarakat Karo

Kata Karo berasal dari kata haru dari kerajaan raja bernama Pa Lagan yang dulu diperkirakan berada di Sumatra Utara yang identik dengan suku Karo.56 Menurut Brahmana pengucapan kata haru berubah menjadi Karo sebagai awal terbentuknya nama Karo. Raja memiliki tujuh orang anak. Anak sulung hingga anak keenam semuanya perempuan yaitu: Corah, Unjuk, Tekang, Girik, Pagit, Jile dan anak ketujuh seorang anak Laki-laki yang diberi nama Meherga yang berarti mehaga (penting) sebagai penerus keturunan.57 Dari sinilah akhirnya lahir merga bagi orang Karo yang berasal dari Ayah, sedangkan bagi anak diberu (Perempuan) disebut beru. Merga akhirnya menikah dengan Cimata yang berasal dari India Selatan. Dari Merga dan Cimata lahir lima orang anak dilaki (Laki-laki) dan namanya merupakan lima induk merga etnis Karo yaitu58: 1) Karo-karo, diberi nama Karo tujuannya bila nanti kakeknya telah tiada Karo sebagai gantinya sebagai ingatan sehingga nama leluhurnya tidak hilang; 2) Ginting, Anak kedua; 3) Sembiring, diberi nama Mbiring (hitam) karena dia merupakan yang paling hitam dari saudaranya; 4) Perangin-angin, diberi nama perangin-angin karena ketika dia lahir perangin-angin berhembus kencang; 5) Tarigan, anak bungsu. Masyarakat Karo yang menetap di Kabupaten Karo atau sering disebut Tanah Karo Simalem merupakan salah satu Kabupaten dari 33 Kabupaten di wilayah Provinsi Sumatra Utara. Secara administratif Kabupaten Karo mencangkup 17 Kecamatan yaitu: 1) Kabanjahe; 2) Berastagi; 3) Tigapanah; 4) Dolat Rayat; 5) Merek; 6) Barusjahe; 7) Simpang Empat; 8) Naman Teran; 9) Merdeka; 10) Payung; 11) Tiganderket; 12) Kutabuluh; 13) Munte; 14) Juhar; 15) Tigabinanga; 16) Lau Baleng; 17) Mardinding.

56 Brahmana, Budaya Karo (Medan: Ulih Saber, 2004), 9

57 Sempa Sitepu, Sejarah Pijer Podi: Adat Nggeluh Suku Karo Indonesia (Medan: Ulih Saber,

2010), 20.

58

(24)

16

Masyarakat Karo tradisional membagi wilayah aslinya kepada dua wilayah budaya. Pertama adalah wilayah budaya yang disebut Karo Gugung. Merujuk kepada pengertian wilayah budaya etnik Karo yang berada di Pegunungan Bukit Barisan di tanah Karo di mana orang-orangnya berada di dataran tinggi tanah Karo. Yang kedua adalah orang-orang Karo yang wilayah budayanya yang ada di Pesisir Sumatra Utara seperti: Langkat, Deli Serdang dan lainnya.Mereka disebut Karo Jahe karena berada di wilayah Pesisir Timur Sumatra Utara. Di wilayah ini tidak hanya dihuni suku Karo tetapi juga orang Melayu dan orang Jawa.59

Bahasa merupakan salah satu identitas penting dalam sebuah suku karena dari bahasa yang digunakan untuk berintraksi di dalam kehidupan sehari-hari dapat diketahui identitas seseorang. Masyarakat Karo memiliki bahasa sendiri yang disebut Bahasa Karo dan memiliki salam khas yaitu Mejuah-juah. Bahasa Karo merupakan bahasa daerah yang biasa digunakan masyarakat Karo untuk berkomunikasi dengan sesama masyarakat Karo di dalam kehidupan sehari-hari. Masyarakat Karo memiliki ciri khas pada logat berbicara dan pada umumnya masyarakat Karo ada yang memiliki warna kulit kuning, gelap kehitaman dan coklat.

Sementara pakaian adat suku Karo didominasi dengan warna merah serta hitam dan penuh dengan perhiasan emas. Ciri khas rumah adat suku Karo atau yang biasa dikenal dengan nama Rumah Si Waluh Jabu yang berarti rumah untuk delapan keluarga yang terdiri dari delapan bilik yang masing-masih bilik dihuni oleh satu keluarga. 60 Mata pencarian masyarakat Karo sebagian besar mengandalkan pertanian karena curah hujan yang tinggi sehingga cocok dengan usaha pertanian..

Sistem kemasyarakatan di tanah Karo diikat oleh kesatuan etnis sedangkan sistem kekerabatan diikat oleh perkawinan dan kelahiran.61 Kedua sistem tersebut merupakan identitas yang pada umumnya ditemukan di dalam masyarakat Karo yang paling kuat ikatannya. Secara garis besar sistem kekerabatan di dalam masyarakat Karo terdiri dari senina, anak beru dan kalibubu. Penjelasan menurut

59https://joeybangun.com/category/budaya-karo/. (diakses 23 Mei 2017). 60 Sempa Sitepu, Sejarah Pijer Podi: Adat Nggeluh Suku Karo Indonesia, 34. 61

(25)

17

rizal yaitu:62 senina merupakan orang-orang yang satu dalam permusyawaratan, misalnya masih satu kakek; anak beru merupakan kelompok yang mengambil istri dari keluarga (merga) tertentu; kalibubu merupakan kelompok pemberi dara bagi keluarga (merga) misalnya orang tua dan keluarga dari istri yang diambil.

3.2 Sejarah Singkat GBKP

Gereja Batak Karo Protestan (GBKP) adalah gereja Protestan yang berdiri di Tanah Karo Sumatra Utara. GBKP adalah gereja Kristen yang beraliran Calvinis63 yaitu berpusat kepada Kristus di mana pengetahuan hanya dapat ditemukan di dalam Yesus Gereja hendaklah berpusat kepada keteladanan yang dilakukan Kristus semasa hidupnya. Pekabaran injil Nederlands Zendeling Genootschap (NSG) yakni di mulai pada tahun 1890 di Buluh Awar. Permulaan usaha perkebaran Injil ke daerah Karo bukan karena tugas rohani. Usaha dimulai karena permohonan J.T. Craemers, seorang pemimpin perkebunan di Sumatra Timur, agar orang Karo tidak lagi mengganggu kelancaran usaha perkebunam mereka. Ini merupakan salah satu sebab mengapa pertumbuhan di GBKP sangat lambat. Sejarah GBKP dapat dibagi atas tujuh periode yaitu:64

a. Tahun-tahun permulaan (1890-1906)

Periode ini di mulai pada tanggal 18 April 1890 di Buluh Awar pekebaran ijil pertama di bawa oleh Pdt.H.C.Kruyt dari Tomohon (Minahasa) dan empat orang penginjil lain pada tahun berikutnya. Pada tahun 1892 Pdt.H.C.Kruyt pulang ke negerinya tanpa berhasil membaptis seorang pun. Ia digantikan oleh Pdt.J.K.Wijngaarden dari pulau Sawu dekat pulau Timor Ia tinggal di Buluh Awar bersama istrinya. Ia berhasil melakukan pembabtisan pertama pada suku Karo pada tanggal 20 Agustus 1893 di Buluh Awar. Pada saat itu ada enam orang yang dibaptis yaitu: Sampe, Ngurupi, Pengarapen, Nuah, Tala dan Tabar. Pada tanggal 21 September 1894 Pdt.Wijngaarden meninggal dan digantikan oleh Pdt.J.H.Neumen yang menerjemahkan Alkitab dan katekisasi dalam bahasa Karo.

62 Farizal Nasution, Jejak Sejarah dan Budaya Karo,39.

63 Moderamen GBKP, Tata Gereja GBKP Edisis Sinode 2010, 55. 64

(26)

18

b. Masa Penanaman dan penggarapan (1906-1940)

Kedatangan Pdt.J.H.Neumen membawa pengharapan baru perkabaran Injil di Karo ketika Pdt.J.H.Neumen membuka pos PI di Sibolangit. Ia mengadakan pendekatan multi aspek melalui kegiatan pelayanan dibidang kesehatan, pertanian, perdagangan dan pendidikan. Program pendidikan yang bertujuan untuk menghasilkan guru sekolah dan mendukung pekerjaan perkabaran Injil ternyata tidak berjalan lancar pada akhirnya ditutup pada tahun 1920. Tenaga pengajarnya kemudian dialihkan menjadi penginjil ke desa-desa. Pada tahun 1940 jemaat-jemaat mulai berdiri dan diangkatlah panatua-panatua menjadi anggota majelis jemaat. Pelaksanaan perkabaran Injil yang dilakukan Pdt.J.H.Neumen terus berlanjut. Setelah masa perkabaran Injil mencapai kurang lebih 50 tahun jumlah orang kristen di tanah Karo baru mencapai 5.000 orang dengan tenaga pekerja dari NZG 6 orang guru Injil 38 orang dan 2 orang calon pendeta suku Karo.

c. GBKP berdiri sendiri (1941-1949

Periode ini sebagai periode kemandirian GBKP karena pada periode ini kepemimpinan GBKP beralih dari orang Belanda kepada orang Karo. Pada tanggal 23 Juli 1941 diadakan sidang Sinode GBKP di Sibolangit dan ditahbiskan pendeta pertama GBKP yaitu: Pdt.Th.Sibero dan Pdt.P.Sitepu. Pada sidang sinode dipilih pengurus sinode pertama GBKP yang dinamai Moderamen yang diketuai Pdt.J.Van Muylwijk.65 Pada saat itu GBKP diharapkan menjadi gereja mandiri. Pada tahun 1942 perang dunia ke II mengakibatkan GBKP harus segera menangani sendiri seluruh kegiatan pelayanan, organisasi maupun keuangannya. Pada tahun 1947 Belanda kembali memasuki daerah Karo tetapi pemimpin GBKP mengambil sikap aktif berjuang mempertahankan kemardekaan. Dalam masa sulit kehidupan orang kristen Karo sangat mengesankan bagi orang lain karena memiliki kepercayaan yang teguh dan pengharapan yang kuat untuk bertahan.

d. Masa membangun kembali (1950-1960)

Periode ini disebut sebagai periode pembangunan kembali GBKP. Pada tanggal 4-5 April 1950 diadakan Sidang Sinode GBKP dalam sidang dibahas

65

(27)

19

supaya GBKP mendirikan sekolah bagi guru-guru agama. Pengalaman tahun 1949-1953 semakin membuka mata orang Karo terhadap Injil. Banyak pemuda-pemudi Karo menjadi pusat kegiatan GBKP untuk membantu pekabaran Injil untuk perkembangan GBKP.

e. Masa pertumbuhan pesat (1961-1968)

Pada tahun 1961-1965 GBKP mengalami tekanan dari partai Komunis Indonesia dan oraganisasi orde baru. Mereka menyusup gereja dengan memasukkan tokoh-tokohnya ke dalam organisasi GBKP. Pada tahun 1963 mulai nampak perkembangan pesat GBKP banyak orang Karo yang datang meminta pengajaran katekisasi dan pembabtisan. Pada tahun 1965 perkembangan jumlah GBKP mencapai kurang lebih 75.000 orang sedangkan 15 tahun sebelumnya hanya berjumlah 5.000 orang. Pada tahun 1966 terjadilah babtisan masal di Kabupaten Karo, Langkat, dan Deli Serdang sehingga GBKP harus meminta bantuan dari gereja tetangga yaitu: gereja Minahasa (GMIM ) dan gereja Maluku (GPM). Pertumbuhan pesat GBKP mendorong untuk segera menambah tenaga pendeta, baik melalui program pendidikan akademis maupun dengan kursus pendeta bagi guru agama yang dianggap memenuhi syarat.

f. Tantangan membangun kedalam dan keluar (1969-1990)

Pada tahun 1972, anggota GBKP mencapai 100.000 orang dari keseluruhan orang Karo sebanyak 445.000 jiwa, yang 5% diantaranya beragama Islam, 13% anggota gereja dan 82% masih menganut agama Perbegu.66 GBKP mulai memberikan perhatian pada bidang pembinaan warga gereja disamping pembinaan kedalam dan penginjilan keluar.

g. Persiapan Menuju Jemaat Missioner (1990- …)

Periode ini diawali dengan kegiatan Jubileum 100 tahun GBKP pada tanggal 18 April 1990 yang dihadiri kurang lebih 100.000 orang yang dipandang sebagai suatu momen untuk lebih mempersiapkan diri menghadapi tantangan masa depan. GBKP memanfaatkan pesta Jubileum sebagai media penjemaatan

66

(28)

20

pemahaman jemaat missioner dengan cara memotivasi warganya agar berperan aktif dalam seluruh pelayanan GBKP.67

Untuk membantu perekonomian jemaat GBKP mendirikan Bank Perkreditan Rakyat (BPR). Pada tanggal 11 Januari 1993 Pijerpodi Kekelengen diresmikan di Suka Makmur oleh Moderamen GBKP modal pertama pada saat itu RP.72.000,00. Pada tanggal 26 Agustus 1995 diadakan Musyawarah Pelayanan Kaum Bapak (Mamre) GBKP.68 Pada tanggal 10-17 April 2005 diadakan Sidang Sinode di Retreat Center Sukamakmur untuk menetapkan Visi GBKP yaitu:69 1) meningkatkan Spiritualitas; 2)menghargai kemanusiaan; 3)melakukan keadilan, kebenaran, kejujuran dan kasih; 4) mewujudkan warga yang dapat dipercaya; 5) meningkatkan perekonomian jemaat. Pada periode ini GBKP mulai mencari jati dirinya dan melaksanakan Tri Tugas Gereja yaitu: Koinonia (Bersekutu), Marturia (Bersaksi) dan Diakonia (Melayani).

3.3 Kepercayaan Asli Suku Karo

Sebelum agama masuk ke tanah Karo masyarakat sudah mengenal kepercayaan tradisional yakni agama pemena/perbegu. Agama Pemena ditetapkan sebagai salah satu kepercayaan penganut Ketuhanaan Yang Maha Esa oleh MPR Republik Indonesia.70 Menurut Pertua Mulia Perangin-angin, SE71 agama pemena/perbegu yang diyakini masyarakat Karo adalah bahwa roh nenek moyang (leluhur) yang disembah akan memberikan keselamatan dan kesuksesan pada setiap usaha yang dilakukan. Biasanya masyarakat Karo melakukan ritual dengan cara meletakkan sesajen pada tempat yang dianggap sakral dan memiliki kekuatan magis seperti: Sungai, Batu besar, Gua, dan Pohon. Masyarakat Karo juga memiliki orang yang dituakan yang dianggap memiliki kemampuan untuk menghubungkan manusia dengan roh para leluhur. Menurut Diaken Khristiani Br

67 Panitia Jubileum, Ini Aku Utuslah Aku (Medan: Sekretariat Panitia Jubileum, 1990), 5.

68 P.Sinuraya, Sejarah Penginjilan Kepada Masyarakat Karo (Jakarta: Lembaga Penelitian dan

Dewan Studi Gereja-gereja di Indonesia, 2011), 238.

69 Moderamen GBKP,Tata Gereja GBKP Tahun 2005-2015, 48. 70 Brahma Putro, Sejarah Karo dari Zaman ke Zaman, 32-33.

71 Wawancara dengan Pertua Mulia Perangin-angin SE (Bendahara Umum Moderamen GBKP),

(29)

21

Ginting72 roh leluhur adalah roh kerabat pihak Ayah dan pihak Ibu yang dianggap sebagai roh pelindung. Hubungan dengan para roh harus dijaga baik melalui upacara atau sesajen.

Zaman dulu masyarakat Karo memuja terhadap roh (Jiwa orang mati) dan menyakini sejumlah Dewa. Menurut Pendeta Kongsi Kaban, S.Th73 selain pemena/perbegu orang Karo mengenal dua konsep lain yaitu: tendi (jiwa orang hidup) dan sumangat (kekuatan gaib). Menyakini Dewa tertinggi yang mereka sebut Dibata Kaci-kaci (Tuhan yang Satu). Selain itu Pendeta Kongsi Kaban74 juga menyebutkan ada tiga tokoh Dewa yang dianggap menguasai ketiga lapisan dunia masayarakat Karo yaitu: 1) Guru Butara/Dibata Datas (Tuhan yang menguasai dunia lapisan atas) pemahaman orang Karo disini Dewa yang memberkati tanaman yang berbuah atas contohnya seperti: tualah (kelapa); 2) Dibata Paduka Ni Aji/Dibata Tengah (Tuhan yang menguasai dunia lapisan tengah) artinya Dewa yang memberkati tanaman berbuah tengah seperti: jong (jagung); 3) Dibata Banua Koling/Dibata Teruh (Tuhan yang menguasai dunia lapisan bawah) Dewa yang memberkati tanaman berbuah bawah seperti: gadong (ubi). Serta roh yang paling dekat dengan kehidupan masyarakat Karo adalah begu jabu (Roh nenek moyang dalam keluarga). Di samping itu menurut Pertua Jetra Sembiring, ST75 ada juga Nini Mataniari (Penguasa matahari) dan Beru Dayang (Penguasa bulan serta pelangi). Upacara pemujaan dipinpin seorang Wanita yang disebut Guru Si Baso.

Menurut Pendeta Agustinus Pengarapen Purba, S.Th, MA76 begu jabu adalah salah satu kearifan lokal dalam masyarakat Karo yang terus bertahan hingga pada saat ini di daerah-daerah tertentu seperti: Tigabinanga, Lau baling, Langkat, Lau Mulgap dll. begu jabu berasal dari begu keluarga dekat atau begu

72 Wawancara dengan Diaken Khristiani Br Ginting (Ketua Bidang Dana dan Usaha Moderamen

GBKP), Minggu, 19 Mei 2019, pukul 17:25 WIB.

73 Wawancara dengan Pendeta Kongsi Kaban, S.Th (Ketua Bidang Marturia Moderamen GBKP),

Selasa, 21 Mei 2019, pukul 07:15 WIB.

74 Wawancara dengan Pendeta Kongsi Kaban, S.Th (Ketua Bidang Marturia Moderamen GBKP),

Selasa, 21 Mei 2019, pukul 07:15 WIB.

75 Wawancara dengan Pertua Jetra Sembiring (Wakil Sekretaris Moderamen GBKP), Selasa, 21

Mei 2019, pukul 13:45 WIB.

76 Wawancara dengan Pendeta Agustinus Pengarapen Purba,S.Th, MA (Ketua Moderamen

(30)

22

leluhur (Nini opung). Namun menurut Pendeta Kongsi Kaban, S.Th tidak semua

Begu leluhur akan menjadi “begu jabu” melainkan ada beberapa syarat yaitu:77

1)Begu Batara Guru atau bayi yang meninggal dalam kandungan; 2) Begu Bicara Guru atau anak yang meninggal ketika belum tumbuh giginya; 3) Begu Si Mate Sada Wari atau seseorang yang meninggal dalam satu hari, yakni meninggal bukan karena sakit tetapi meninggal karena sesuatu misalnya: meninggal karena kecelakaan, meninggal saat berperang dan sebagainya; 4) Begu Tungkup atau wanita yang meninggal sebelum menikah (Perawan); 5) Begu Sintua atau orang yang meninggal dalam usia tua.78

Menurut Pendeta Kongsi Kaban, S.Th salah satu ritual yang berkaitan dengan begu jabu adalah perumah begu.79 Perumah begu dapat diartikan sebagai upacara memanggil Begu Jabu. Masyarakat tradisional Karo dalam pelaksanaan Perumah Begu dilaksanakan setiap satu tahun sekali. Tujuannya untuk acara

Purpur Sage artinya mendamaikan pihak yang memiliki konflik.80 Tetapi seiring

berjalannya waktu ritual perumah begu setidaknya digunakan untuk tiga tujuan yakni: 1) mengetahui penyebab kematian seseorang jika tidak ada orang lain yang mengetahui penyebab kematian; 2) untuk acara ucapan syukur; 3) untuk acara ngampeken tulan-tulan ku geriten (mengangkat tulang-tulang seseorang yang telah dikubur dalam waktu lama dan dipindahkan ke tempat yang baru).81 Dalam pelaksanaan ritual perumah begu dipinpin oleh Guru Sibaso (dukun wanita).

Di samping itu ada beberapa bahan yang harus disiapkan untuk keperluan ritual dan juga hadiah bagi Guru Sibaso yakni: telu manuk sangkep (tiga ekor ayam masing-masing berwarna merah, putih dan kuning); sedangkan bahan lainya sesui dengan permintaan Guru Sibaso atau kesanggupan tuan rumah.82 Berdasarkan gambaran di atas ada dua simbol yang berkaitan erat dengan Begu

77 Wawancara dengan Pendeta Kongsi Kaban, S.Th (Ketua Bidang Marturia Moderamen GBKP),

Selasa, 21 Mei 2019, pukul 07:15 WIB.

78 Sarjani Tarigan, Adat Istiadat Karo (Medan: BABKI, 2011), 85. 79

Wawancara dengan Pendeta Kongsi Kaban, S.Th (Ketua Bidang Marturia Moderamen GBKP), Selasa, 21 Mei 2019, pukul 07:15 WIB.

80 Sarjani Tarigan, Kepercayaan Orang Karo Tempoe Doeloe, 30. 81 Sarjani Tarigan, Kepercayaan Orang Karo Tempoe Doeloe, 32-33. 82

(31)

23

Jabu yakni: lima syarat untuk menjadi begu jabu (begu batara, begu bicara guru, begu si mate sada wari, begu tungkup dan begu sintua) dan ritual perumah begu. Namun salah satu bangunan Karo yang disebut geriten juga memiliki keterkaitan dengan begu jabu sehingga di ikutsertakan sebagai simbol yang berkaitan dengan begu jabu.

3.4 Sikap GBKP Terhadap Suku Karo

Dalam hasil Konferensi Pendeta (Konpen) GBKP menolak kearifan lokal yang menyatakan:Tentang kepercayaan-kepercayaan lama yang sudah menjadi tradisi dalam masyarakat Karo dan bertentangan dengan iman Kristen ditolak. Dapat dilihat hasil konpen tahun 2016 No.14 poin ke-2 dan tidak perlu dikaji ulang (mengacu pada kepetusan sidang sinode sebelumya BPL 2002 seperti: cawir bulung, niktik wari, ndilo wari udan, nengget, petalayoken, begu jabu sebagai hasil konpen). Menurut Pendeta Kongsi Kaban, S.Th pengertian dari cawir bulung, niktik wari, ndilo wari udan, nengget, petalayoken, begu jabu yaitu:83

a. Cawir bulung adalah upacara yang dilakukan masyarakat Karo untuk menghindari malapetaka yang mengincar sang anak. Hal ini dapat diketahui dari mimpi buruk yang dialami oleh orangtua dan kondisi anak yang sering sakit-sakitan. Pelaksanaan upacara cawir bulung ini dilaksanakan atas permintaan orangtua anak yang sering sakit-sakitan. Sebelum melaksanakan upacara cawir bulung kedua anak akan di osei (seperangkat pakaian). Dalam upacara anak laki-laki menggunakan beka buluh dan anak perempuan menggunakan uis nipes.

b. Niktik Wari adalah menentukan hari yang tepat untuk memanggil hujan. c. Ndilo wari udan adalah memanggil hujan pada hari yang telah ditentukan saat

musim kemarau panjang. Dalam upacara dilakukan tarian Gundala-gundala yang menggunakan topeng kayu.

d. Nengget adalah upacara yang dilakukan dengan mengejutkan seorang wanita yang tidak memiliki keturunan. Dari upacara nengget diharapkan sang wanita akan terkejut dan memiliki keturunan.

83 Wawancara dengan Pendeta Kongsi Kaban, S.Th (Ketua Bidang Marturia Moderamen GBKP),

(32)

24

e. Petalayoken adalah memandikan anak yang baru lahir oleh Mama (saudara laki-laki dari ibu anak yang akan dimandikan) supaya anak sehat dan panjang umur.

f. Begu jabu adalah ritual yang bertujuan untuk memanggil kembali roh orang yang telah meninggal dalam keluarga. Bagi orang yang baru saja meninggal dunia dilakukan pada malam pertama setelah mayat dikebumikan. Selama proses ritual guru Si Baso memainkan dua peran penting, yaitu: pemimpin utama ritual dan juga berperan sebagai pencerita kembali kisah hidup dari orang yang baru meninggal.

Berdasarkan hasil wawancara dengan pengurus Moderamen GBKP 2015-2020 sebagian besar menjelaskan bahwa penolakan terhadap kepercayaan lama dalam masyarakat Karo sebenarnya hanya fokus terhadap kepercayaan tradisional yakni agama pemena/perbegu. Menurut mereka agama pemena/perbegu sangat bertentangan dengan agama Kristen. Karena keselamatan hanya ada pada Yesus Kristus, bukan kepada dunia dan mengandalkan kekuatannya sendiri. Seperti yang dikatakan Pendeta Kongsi Kaban, S.Th84 tertulis dalam Yeremia 17:5-8.

Menurut Pendeta Yunus Bangun, M.Th85 jemaat GBKP masih ada yang menganut kepercayaan lama agama pemena/perbegu, tetapi tidak seperti dulu lagi hanya terdapat di daerah-daerah tertentu. Menururut Pendeta Yunus Bangun, M.Th upaya GBKP mengatasi jemaat yang masih menganut agama pemena/perbegu biasanya dilakukan kunjungan pastoral yang dilakukan Pendeta setempat. Setelah beberapa kali melakukan perkunjungan dan percakapan kalau masih terus menerus seperti itu tindakan yang akan di ambil oleh GBKP adalah pengembalaan Khusus menurut tata Gereja. Jemaat tidak langsung dikeluarkan dari gereja. Menurut Pendeta Yunus Bangun M.Th86 orang yang seperti itu sangat butuh pengembalaan yang paling utama agar ada perubahan yang tumbuh dalam hatinya. Tetapi kalau terus tidak berubah masih melakukan hal yang sama masih

84 Wawancara dengan Pendeta Kongsi Kaban, S.Th (Ketua Bidang Marturia Moderamen GBKP),

Selasa, 21 Mei 2019, pukul 07:15 WIB.

85 Wawancara dengan Pendeta Yunus Bangun, M.Th (Ketua Bidang Pembinaan Moderamen

GBKP), Rabu, 22 Mei 2019, pukul 08:10 WIB.

86 Wawancara dengan Pendeta Yunus Bangun, M.Th (Ketua Bidang Pembinaan Moderamen

(33)

25

menjadi batu antuken (Batu sandungan) tentu dibuat pengembalaan khusus. Dalam pengembalaan khusus tidak berubah dalam waktu paling lama enam (6) bulan jemaat tersebut dikeluarkan dari gereja. Sesuai dengan tata gereja GBKP tahun 2015-2025 Pasal 52 poin tiga (3) dan empat (4) tertulis sebagai berikut:87 a. Poin tiga (3) tertulis: Jika dalam waktu paling lama enam (6) bulan.

b. Poin empat (4) tertulis: Jika yang bersangkutan tetap tidak bertobat, yang bersangkutan dikeluarkan dari kewargaan GBKP dan yang bersangkutan tetap didoakan.

4. ANALISIS PEMAHAMAN KONPEN PENDETA TENTANG HUBUNGAN INJIL DAN AGAMA SUKU DI KARO

4.1 Hubungan Injil dan Agama Suku di Karo

Orang Karo sejak zaman pra-historis percaya adanya Dibata (Tuhan) yakni Dibata Kaci-kaci sebagai pencipta bumi dan jagad raya. Ia mempunyai beberapa nama untuk mengungkapkan kehadiranya menurut kosmologis masyarakat Karo ada dunia atas, tengah, dan dunia bawah. Ketiga bagian dunia ini menjadi tempat kedudukan Dewa atau Dibata Kaci-kaci. Kepercayaan orang Karo kepada Tuhan dalam beberapa bentuk politeisme dan bukan juga bentuk monoteisme dan bersifat trasnsenden dan imanen yaitu Dibata La Idah (Tuhan yang tidak kelihatan) yang biasa disebut juga Dibata Kaci-kaci dan Dibata Ni Idah (Tuhan yang kelihatan) yang keduanya memiliki tiga wilayah kekuasaan yaitu dunia atas, tengah dan bawah.

Dalam kepercayaan orang Karo di setiap kekuasaan itu diperintahkan oleh seorang Dibata (Tuhan) maka itu mereka mengakui bahwa ada tiga Tuhan yang merupakan kesatuan dalam masyarakat Karo. Tiga unsur Tuhan Trinitas pada masyarakat Karo bukan menekankan keterbagian tapi untuk mengungkapkan kemahakuasaan dan kehadiran Dibata Kaci-kaci di setiap tempat dalam konsep kosmologi. Konsep ini menjadi jalan masuknya injil ke tanah Karo. Kemiripan konsep Allah Tritunggal di dalam kekristenan dengan ketritunggalan versi pemena mengakibatkan diterimanya injil di tanah Karo. Injil diberitakan di tengah-tengah masyarakat Karo yang kental dengan kebudayaan.Dalam pertemuan injil dan kebudayaan terdapat unsur kebudayaan universal terdiri dari:

87

(34)

26

sistem dan organisasi masyarakat, sistem pengetahuan, sistem bahasa, sistem kesenian, dan sistem mata pencarian. Tetapi kekristenan datang menawarkan hal yang “asing” bahkan menolak kebudayaan lokal sebagaimana yang telah dijelaskan di atas. Bagi Lee hal tersebut dapat menyebabkan krisis identitas. Penulis sependapat dengan pernyataan Lee bahwa manusia tidak dapat hidup di luar ruang lingkup kebudayaannya.

Dalam konteks kekristenan di masyarakat Karo seseorang di satu sisi akan hidup dalam tradisi kekristenan dan satu sisi hidup dalam tradisi lokal yang tidak dapat ia tinggalkan. Berdasarkan hasil wawancara ditemukan beberapa anggota jemaat yang aktif sebagai jemaat GBKP tetapi masih terlibat pula dalam ritual penyembahan roh nenek moyang. Penulis melihat krisis identitas akan semakin parah jika tamu terus memaksa menjadi tuan rumah. Yang penulis maksudkan adalah jika kekristenan yang merupakan tamu tapi memaksa menjadi tuan rumah dengan menolak kebudayaan asli Karo yang adalah tuan rumah.

Dalam buku Christ and Culture, H. Richard Niebuhr mengelompokkan lima tipologi hubungan injil dan kebudayaan; pertama, Kristus lawan kebudayaan (konflik). Konflik ini terjadi dari dulu sampai sekarang dalam masyarakat Karo. Gereja memandang budaya di bawah kekuasaan jahat sebagai kerajaan kegelapan. Sikap menentang kebudayaan ini menimbulkan konflik-konflik orang percaya bukan dengan alam tetapi dengan kebudayaan. Gereja harus menentukan sikap terhadap kebudayaan yang di hadapinya. Kedua, Kristus dan kebudayaan dalam paradoks. Iman dan kebudayaan dipisahkan. Sebagian orang Kristen masyarakat Karo berada dalam dua suasana yaitu: berada dalam kebudayaan dan berada dalam anugrah Allah. Oleh sebab itu orang beriman dihempit oleh dua suasana hidup dalam kebudayaan dan hidup dalam iman Kristus.

Penulis pun, melihat masalah dalam konteks Kristus lawan kebudayaan (konflik) gereja memandang budaya merupakan aliran sesat yang masih menyembah roh nenek moyang dan tidak sejalan dengan iman Kristen harus di pisahkan atau di tolak. Karena keselamatan yang kekal hanya ada dalam Yesus Kristus. Penulis sependapat dengan model yang diusulkan oleh Suh Sung Min yaitu model kontekstualisasi. Kontekstualisasi sifatnya dinamis dan terbuka, tidak memisahkan antara manusia-manusia atau kebudayaan-kebudayaan. Model

(35)

27

ini bisa dilakukan oleh GBKP usaha untuk menanggulangi masalah penyembahan roh nenek moyang. Salah satu contoh yang bisa GBKP lakukan di masyarakat Karo adalah di hari paskah. Karena di hari paskah masih ada sebagian masyarakat Karo yang melakukan ritual di kuburan. GBKP bisa mengambil alih melaksanakan acara yang berkaitan dengan orang yang telah mati „pesta paskah‟. Di hari paskah GBKP mengadakan kebaktian di kuburan. Tujuan kebaktian ini adalah untuk menanamkan pengajaran tentang imam kebangkitan dalam hati jemaat. Pada umumnya penekanan firman yang disampaikan adalah tentang kebangkitan Yesus dan kebangkitan orang Kristen. Menurut penulis pelaksanaan pesta paskah adalah suatu usaha kontektualisasi yang bisa GBKP laksanakan, yang mengandung nilai positif karena dalam acara tidak ada unsur penyembahan.

4.2 Pandangan Konpen Pendeta GBKP Terhadap Kepercayaan Lama

Kepercayaan lama menurut pandangan Konpen pendeta GBKP adalah kepercayaan yang tidak memiliki arti atau makna keselamatan. Karena menurut mereka keselamatan hanya ada pada Yesus Kristus bukan kepada dunia atau mengandalkan kekuatannya sendiri. Penolakan terhadap kepercayaan lama karena bertentangan dengan iman Kristen. Akibat dari penolakan kepercayaan lama ada beberapa jemaat GBKP yang hidup dalam dua tradisi. Di satu sisi hidup dalam tradisi kekristenan dan di sisi lain hidup dalam tradisi lokal yang tidak dapat mereka tinggalkan.

Kepercayaan lama yang ditolak dalam hasil Konpen pendeta 2016 ada empat tapi ada satu kepercayaan yang sangat mengikat dan menjadi alasan utama gereja menolak kepercayaan tersebut adalah “begu jabu”. Sebelumnya penulis telah menyebutkan syarat-syarat untuk menjadi “begu jabu”. Menurut penulis syarat untuk menjadi “begu jabu” seperti yang telah diuraikan sebelumnya memiliki alasan tertentu. Makna alasan di balik penetapan syarat tersebut hendak menginformasikan untuk menjadi “begu jabu” seseorang harus memiliki nilai luhur semasa hidupnya.

Syarat pertama adalah begu si mate sada wari. Begu si mate sada wari dikatakan berasal dari seseorang yang meninggal dalam satu hari tanpa disebabkan suatu penyakit. Kematian yang demikian dianggap sebuah

(36)

28

keistimewaan karena tidak mengalami penderitaan sakit penyakit. Contoh misalnya seseorang yang terbunuh pada saat berperang melawan musuh, maka orang tersebut dikenang sebagai orang pemberani, pejuang dan pahlawan. Demikian orang yang dibunuh karena mempertahankan sebuah kebenaran, maka orang tersebut dapat dipandang sebagai seseorang yang berani mempertahankan kebenaran hingga akhir hidupnya. Dengan demikian ada nilai leluhur yang dapat diingat dari seseorang yang meninggal dalam satu hari.

Berdasarkan uraian tersebut dapat dilihat orang yang meninggal dalam satu hari merupakan orang yang dipandang memiliki nilai luhur selama hidupnya, karena keberanian dan kepahlawanan. Namun bukan berarti begu jabu lainya seperti bayi yang meninggal dalam kandungan, anak yang meninggal ketika belum tumbuh giginya, seorang wanita yang meninggal ketika masih perawan tidak memiliki arti sama sekali. Justru ketiga begu jabu tersebut semakin melengkapi gagasan keluhuran dalam begu jabu. Bayi yang meninggal dalam kandungan dan anak yang meninggal ketika belum tumbuh giginya dapat dikatakan sebagai simbol orang-orang yang tidak “bernoda”. Demikian pula wanita perawan yang meninggal dapat dikatakan sebagai orang suci yang dapat menjaga kehormatanya semalama hidupnya. Dengan demikian penulis menyimpulkan makna di dalam persyaratan begu jabu hendak menunjukkan agar seseorang hidup memiliki nilai luhur selama hidupnya.

Penulis melihat begu jabu sebagai media untuk mengikatkatkan kembali teladan hidup leluhur. Gagasan yang terkandung di dalamnya berkaitan dengan keteladanan dimana seseorang dituntut untuk dapat menjadi teladan selama hidupnya sehingga ketika kisah hidupnya diceritakan kembali setelah ia meninggal dapat diingat dan ditiru oleh mereka yang masih hidup.Dengan mengingat kembali keteladanan leluhur baik ajaran, nasihat, tindakan dan nilai leluhur lainnya selama ia hidup lalu kemudian menerapkannya dalam kehidupan masa kini akan melindungi dan menuntun sebuah keluarga menuju damai sejahtera. Seperti yang telah penulis jelaskan sebelumnya acara purpur sage yang artinya mendamaikan keluarga yang memiliki konflik. Syarat-syarat bagu jabu tersebut dihadirkan bukan dengan cara memanggil roh/setan, tetapi dengan mengikat dan meniru teladan leluhur tersebut.

Referensi

Dokumen terkait

Analisis Pengaruh Kualitas Produk, Kualitas Layanan, dan Citra Merek terhadap Loyalitas Pelanggan melalui Kepuasan Pelanggan sebagai Variabel Intervening (Studi pada

Namun, perjuangan bisa dilakukan dengan cara apapun agar bangsa kita lebih bermartabat, dihargai bangsa lain, dan menjadi bangsa yang semakin berpengaruh di dunia.. Mari kita

Meskipun koefisien harga karet Amerika Serikat mempunyai tanda negatif, sesuai dengan yang diharapkan dan secara statistik t hitung berpengaruh nyata pada taraf α = 1 persen,

Puji dan syukur kami kepada Tuhan YME atas berkat, kekuatan, semangat, dan inspirasi yang memampukan penulis menyelesaikan penulisan skripsi tepat pada waktunya untuk memenuhi

kandungan C organik tanah meningkat pula secara konsisten demikian halnya dengan kehalusan biochar, makin halus biochar makin tinggi kandungan C organik tanah, hal

Serangan ini membuat Rangga jadi kerepotan sesaat Namun ketika Pendekar Rajawali Sakti teringat kalau pernah bertarung melawan seseorang yang juga menggunakan senjata

Hasil penelitian ini sesuai dengan yang diharapkan, yaitu terdapat interaksi positif antara kedua resiko tersebut, dimana ketika resiko manipulasi earnings

Beberapa faktor yang dapat mempengaruhi proses pembelian adalah banyaknya merek pesaing yang tersedia.Gerai oleh-oleh pada umumnya tidak hanya menjual satu merek