1
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Penelitian ini hendak mengkaji dan merespons atau menanggapi Putusan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia (MKRI) Nomor 53/PUU-XV/2017. Penulis setuju dengan putusan MKRI tersebut, tetapi penulis memiliki pendapat konstitusional yang berbeda dengan MKRI atas isu konstitusionalitas ketentuan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum terkait dengan verifikasi faktual partai politik. MKRI mendasarkan pendapat konstitusionalnya pada Pasal 27 ayat (1) dan Pasal 28D ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 (UUD NRI 1945). Sebagai dasar putusan tentu putusan yang dihasilkan tersebut sudah pada tempatnya; tetapi yang hendak penulis kritisi adalah interpretasi MKRI terhadap pasal tersebut yang kurang substansial.
Melalui amar Putusan Nomor 53/PUU-XV/2017, MKRI menyatakan
bahwa Pasal 173 ayat (1) sepanjang frasa “telah ditetapkan” dan keseluruhan
Pasal 173 ayat (3) dalam UU 7/2017 tentang Pemilihan Umum bertentangan
dengan UUD NRI 19451 dan tidak mempunyai kekuatan hukum yang mengikat.
Dalam beberapa pertimbangannya, MKRI menekankan hal-hal yang berkaitan dengan, (1) Keadilan bagi Setiap Calon Peserta Pemilu, sebagaimana yang tercantum dalam Pasal 27 (1) dan Pasal 28D ayat (3) UUD NRI 1945; (2)
1 Ketentuan Pasal 173 ayat (1) dan ayat (3) tersebut mengamanatkan verifikasi faktual kepada
partai politik peserta pemilu tahun 2019, kepada partai-partai baru. Sebaliknya, partai politik peserta pemilu 2014 tidak perlu diverifikasi secara faktual.
2
Pemekaran Daerah dan Perkembangan Demografi. Faktanya bahwa jumlah provinsi dan kabupaten/kota terus mengalami pertambahan; (3) Partai Politik sebagai Badan Hukum yang Dinamis. Sebagai badan hukum, partai politik bukanlah benda mati yang bersifat statis, yang berkaitan dengan soal organisasi dan kebijakan serta adanya dinamika internal partai politik; (4) Verifikasi Menyeluruh Terhadap Keterpenuhan Syarat Peserta Pemilu. Syarat ini dimaksudkan untuk memperketat persyaratan partai politik menjadi peserta
pemilu.2
Bila ditilik dari sejarah keberadaan Pasal 173 ayat (3) UU No. 7/2017, dalam naskah awal belum ada ayat (3). Hal ini bisa dilihat dalam Laporan Ketua Panitia Khusus (Pansus) Rancangan Undang-Undang tentang Pemilihan Umum
Dalam Rapat Paripurna DPR RI, yang menyatakan, “Persyaratan verifikasi
Partai Politik menjadi Peserta Pemilihan Umum: Pansus bersepakat bahwa syarat-syarat tidak mengalami perubahan dan ditambahkan ayat (3) yang berbunyi Partai Politik yang telah lulus verifikasi tidak diverfikasi ulang dan ditetapkan sebagai Partai Politik Peserta Pemilihan Umum”3
Secara keseluruhan, bunyi Pasal 173 UU No. 7/2017 yaitu,
(1) Partai Politik Peserta Pemilu merupakan partai politik yang telah ditetapkan/lulus verifikasi oleh KPU.
(2) Partai politik dapat menjadi peserta pemilu setelah memenuhi persyaratan:
a. berstatus badan hukum sesuai dengan undang-undang tentang Partai Politik
b. memiliki kepengurusan di seluruh provinsi;
c. memiliki kepengurusan di 75% (tujuh puluh lima persen), jumlah kabupaten/kota di provinsi yang bersangkutan;
d. memiliki kepengurusan jumlah kecamatan 50% (lima puluh persen) kabupaten/kota yang bersangkutan;
2 Lihat Putusan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Putusan Nomor 53/PUU-XV/2017,
hlm. 113-120
3 Laporan Ketua Pansus Rancangan Undang-Undang tentang Pemilihan Umum Dalam Rapat
3
e. menyertakan paling sedikit 30% (tiga puluh persen) keterwakilan perempuan pada kepengurusan partai politik tingkat pusat;
f. memiliki anggota sekurang-kurangnya 1.000 (seribu) orang atau 1/1000 (satu perseribu) dari jumlah Penduduk pada kepengurusan partai politik sebagaimana dimaksud pada huruf c yang dibuktikan dengan kepemilikan kartu tanda anggota;
g. mempunyai kantor tetap untuk kepengurusan pada tingkatan pusat, provinsi, dan kabupaten/kota sampai tahapan terakhir Pemilu;
h. mengajukan nama, lambang, dan tanda gambar partai politik kepada KPU; dan
i. menyertakan nomor rekening dana Kampanye Pemilu atas nama partai politik kepada KPU
(3) Partai politik yang telah lulus verifikasi dengan syarat sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak diverifikasi ulang dan ditetapkan sebagai Partai Politik Peserta Pemilu.
Beberapa partai yang merasa (berpotensi) dirugikan secara konstitusional
mengajukan permohonan judicial review ke MKRI. Beberapa partai tersebut
diantaranya4, Partai Islam Damai Aman (IDAMAN), Partai Solidaritas Indonesia
(PSI), Partai Persatuan Indonesia (PERINDO), Partai Pengusaha dan Pekerja Indonesia (PPPI), Partai Indonesia Kerja (PIKA). Inti persoalannya bahwa Pasal 173 ayat (1) dan ayat (3) UU No. 7/2017 memberikan dua pilihan bagi partai politik untuk menjadi peserta pada pemilu tahun 2019. Bagi partai politik yang menjadi peserta pemilu tahun 2014 langsung ditetapkan sebagai peserta pemilu, sebaliknya partai politik yang baru berbadan hukum harus menjalani proses verifikasi sebelum ditetapkan sebagai peserta pemilu. Oleh beberapa partai,
4 Partai Idaman (Perkara Nomor 53/PUU-XV/2017); Partai Solidaritas Indonesia (Perkara Nomor
60/PUU-XV/2017); Partai Persatuan Indonesia (Perkara Nomor 62/PUU-XV/2017); Partai Pengusaha dan Pekerja Indonesia (Perkara Nomor 67/PUU-XV/2017); Partai Pekerja Indonesia (PIKA) (Perkara Nomor 73/PUU-XV/2017)
4
pilihan tersebut dianggap bersifat diskriminatif terhadap partai politik yang baru
saja berbadan hukum.5
Sebelum Pasal 173 ayat (1) dan ayat (3) UU 7/2017 di-judicial review oleh
beberapa parpol, penulis telah membuat analisa bahwa ketentuan tersebut bertentangan dengan UUD NRI 1945. Penulis beranggapan pembentuk undang-undang telah menghidupkan kembali norma yang telah dibatalkan oleh MKRI mengenai kewajiban verifikasi faktual kepada seluruh partai politik. Pembentuk undang-undang bersikukuh bahwa mereka tidak wajib untuk mengikuti verifikasi faktual partai politik, sebaliknya putusan MKRI telah menyatakan kewajiban bagi seluruh parpol peserta pemilu untuk diverifikasi faktual. Senada dengan putusan MKRI, penulis telah menyusun pendapat hukum yang pada intinya adalah tidak adil apabila verifikasi faktual Parpol hanya dibebankan kepada partai politik yang baru akan mengikuti pemilu 2019. Oleh karena itu, untuk menuntaskan analisa hukum terhadap keadilan dalam verifikasi faktual partai politik peserta pemilu 2019, penulis hendak menganalisa alasan atau pertimbangan hukum MKRI dalam menerapkan keadilan bagi seluruh parpol untuk mengikuti verifikasi faktual.
Dan, pada tanggal 11 Januari 2018, melalui Putusan Nomor 53/PUU-XV/2017, MKRI menyatakan bahwa Pasal 173 ayat (1) sepanjang frasa “telah ditetapkan” dan keseluruhan Pasal 173 ayat (3) UU 7/2017 tentang Pemilu bertentangan dengan UUD NRI 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. Oleh karena itu, seluruh partai politik yang hendak berkompetisi dalam pemilu 2019 harus mengikuti verifikasi faktual yang diselenggarakan oleh Komisi Pemilihan Umum Republik Indonesia (KPU RI).
5
Penulis sependapat dengan putusan MKRI bahwa verifikasi faktual partai politik peserta pemilu harus diberlakukan kepada seluruh partai politik yang hendak berpartisipasi dalam pemilu 2019. Pemberlakuan verifikasi faktual kepada seluruh partai politik peserta pemilu diharapkan akan mewujudkan paradigma keadilan
pemilu. Menurut International Institute for Democracy and Electoral Assistance
(International IDEA), dalam Huda dan Nasef, sistem keadilan pemilu berfungsi mencegah ketidakberesan yang dapat menimbulkan sengketa dan menjamin pemilu yang bebas, adil, dan jujur. Adapun tujuan berjalannya keadilan pemilu adalah untuk menjaga agar proses pemilu lebih kredibel dan memiliki legitimasi
tinggi.6
Senada dengan pandangan penulis, Anggraini mengemukakan bahwa putusan MKRI tersebut sejatinya tidaklah mengejutkan. Selain sudah ada preseden Putusan MK atas permasalahan serupa pada tahun 2012, sejak awal pengaturan Pasal 173 ayat (1) dan (2) ini mengandung masalah mendasar bila dikaitkan dengan keadilan kompetisi. Ketentuan tersebut dalam konteks universal
penyelenggaraan pemilu telah bertentangan dengan prinsip keadilan atau election
fairness.7 Oleh karena itu, menurut penulis, putusan MKRI yang mewajibkan verifikasi faktual bagi seluruh partai politik peserta pemilu telah tepat, tetapi pertimbangan hukumnya masih kurang memadai. MKRI lebih menekankan analisis formal atas konsep keadilan sebagai dasar bahwa semua partai politik peserta pemilu harus menjalani verifikasi faktual ketika menginterpretasi Pasal 27 ayat (1) dan Pasal 28D ayat (3) UUD NRI 1945 sebagai dasar pengujian. Tentu
6 Huda, Ni’matul dan Imam Nasef, 2017, Penataan Demokrasi dan Pemilu di Indonesia Pasca
Reformasi, Kencana, Jakarta., hlm. 201.
7 Anggraini, Titi, 2018, Keadilan Verifikasi Partai Politik, dalam Koran Sindo Edisi 12-1-2018,
diunduh dari
6
saja dengan titik tolak kritik yang demikian maka penulis akan melakukan hal sebaliknya dari MKRI yaitu menekankan analisis substantif atas konsep keadilan dalam menginterpretasi Pasal 27 ayat (1) dan Pasal 28D ayat (3) UUD NRI 1945 sebagai dasar pengujian untuk menyatakan bahwa Pasal 173 ayat (1) sepanjang
frasa “telah ditetapkan” dan ayat (3) UU No. 7/2017 tentang Pemilu bertentangan
dengan konstitusi atau inkonstitusional. Poin utama argumen keadilan yang lebih substantif sebagai prinsip interpretif Pasal 27 ayat (1) dan Pasal 28D ayat (3) UUD NRI 1945 adalah meskipun partai-partai politik peserta pemilu 2019 datang dengan latar belakang berbeda (baca: partai baru versus partai lama – peserta pemilu 2014 c.q. “partai Senayan”) tetapi perbedaan tersebut tidak memberikan hak kepada partai lama – peserta pemilu 2014 – untuk mendapat perlakuan berbeda dalam pengaturan, yaitu tidak perlu menjalani verifikasi faktual. Asas
atau prinsip keadilan di sini adalah keadilan sebagai fairness. Itu artinya, argumen
MKRI sangat tidak mencukupi ketika hanya melihat keadilan sebagai persamaan bahwa semua partai politik tersebut adalah sama-sama peserta pemilu 2019.
Sehingga MKRI hanya menginterpretasikan keadilan dalam arti persamaan
saja, padahal background keikutsertaan parpol dalam pemilu sangatlah berbeda.
“Parpol Senayan” telah mengikuti pemilu pada tahun 2014 dan memperoleh kursi DPR sehingga mereka beranggapan prestasinya layak dikonversi sebagai hak untuk dibebaskan dari kewajiban verifikasi faktual parpol peserta pemilu 2019. Menurut hemat penulis, prestasi itu tidak layak untuk dikonversi agar mereka dibebaskan dalam pelaksanaan verifikasi faktual parpol. Oleh karena itu, MKRI seharusnya tidak hanya mempertimbangkan putusannya untuk parpol yang akan
7
berkompetisi dalam pemilu 2019, tapi juga seyogianya mempertimbangkan keikutsertaan parpol yang telah berkompetisi di pemilu 2014.
Argumen ini menegasikan posisi awal yang jelas berbeda. Oleh karena itu, supaya argumen keadilan yang diberikan lebih substantif, tentu pertanyaannya adalah apakah partai lama berhak diperlakukan berbeda dengan partai baru sehingga tidak perlu menjalani verifikasi partai politik? Jawaban penulis adalah “TIDAK”, sehingga kesimpulannya, berdasarkan Pasal 27 ayat (1) dan Pasal 28D ayat (3) UUD NRI 1945, setelah dilakukan interpretasi berdasarkan prinsip
interpretif yang penulis usulkan, Pasal 173 ayat (1) sepanjang frasa “telah
ditetapkan” dan ayat (3) UU No. 7/2017 tentang Pemilu tersebut inkonstitusional.
Dengan demikian, posisi penulis adalah concurring opinion, yaitu penulis
sependapat dengan kesimpulan MKRI, tetapi penulis berbeda alasan atau pertimbangan hukum.
MKRI hanya menginterpretasikan keadilan dalam arti persamaan saja,
padahal background keikutsertaan parpol dalam pemilu sangatlah berbeda. MKRI
seharusnya tidak hanya mempertimbangkan putusannya untuk parpol yang akan berkompetisi dalam pemilu 2019, tapi seyogianya juga mempertimbangkan keikutsertaan parpol yang telah berkompetisi di pemilu 2014. Pertimbangan hukum tentang keadilan yang hanya menggunakan prinsip persamaan saja, menurut hemat penulis, itu kurang tepat. Oleh karena itu, seharusnya MKRI juga menambahkan argumentasi hukum tentang keadilan dengan menggunakan prinsip perbedaan.
8
Berdasarkan uraian di atas, rumusan masalah yang hendak dijadikan fokus dalam studi ini, yaitu “Apakah verifikasi faktual partai politik calon peserta pemilu 2019 kepada semua partai politik seperti tertuang dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 53/PUU-XV/2017, telah sesuai dengan konstitusi, khususnya Pasal 27 ayat (1) dan Pasal 28D ayat (3) UUD NRI 1945, dengan mengedepankan pertimbangan keadilan yang lebih substansial?”
C.
Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini yaitu untuk menanggapi ketentuan hukum verifikasi faktual partai politik peserta Pemilu 2019, dimana posisi penulis senada dengan Putusan MKRI Nomor 53/PUU-XV/2017 bahwa seluruh parai politik peserta Pemilu 2019 harus diverifikasi fakual. Meski senada dengan putusan tersebut, penulis hendak menyusun argumentasi yang kerangka konstitusionalitasnya lebih substantif. Atas dasar itu maka tujuan spesifik dari penelitian ini dapat dijabarkan
atau di-breakdown sebagai berikut:
1. Menjelaskan prinsip interpretif untuk interpretasi Pasal 27 ayat (1) dan Pasal
28D ayat (3) UUD NRI 1945 yang lebih mengedepankan pertimbangan keadilan yang substantif ketimbang formal (tujuan ini akan dituangkan menjadi Bab II penelitian ini).
2. Memberikan argumentasi yang lebih substansial atas keharusan verifikasi
faktual partai politik calon peserta pemilu 2019 kepada semua partai politik dan sekaligus kritik terhadap pertimbangan hukum Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 53/PUU-XV/2017 yang cenderung formal sesuai dengan prinsip interpretif Pasal 27 ayat (1) dan Pasal 28D ayat (3) UUD NRI 1945
9
yang telah diletakkan sebelumnya (tujuan ini akan dituangkan menjadi Bab III penelitian ini).
D.
Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini sangat diharapkan dapat bermanfaat bagi kepentingan akademis dan kepentingan praktis. Secara akademis, penelitian ini bisa memberikan masukan untuk pengembangan keilmuan, khususnya di bidang ilmu Hukum Tata Negara. Selain itu, penelitian ini juga berkontribusi memberikan masukan dalam pengaturan verifikasi partai politik peserta pemilu. Sedangkan untuk manfaat praktis, hasil penelitian ini bermanfaat bagi khalayak umum dan pihak-pihak yang terlibat dalam penyusunan peraturan perundang-undangan, terkhusus pemerintah dan DPR.
E.
Metode Penelitian
1. Jenis Penelitian
Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini yaitu penelitian hukum. Menurut Peter Mahmud Marzuki, “Penelitian hukum dilakukan untuk menghasilkan argumentasi, teori atau konsep baru sebagai preskripsi dalam
menyelesaikan masalah yang dihadapi.”8
Sesuai dengan karakterisitik perumusan masalah yang ditujukan untuk menjelaskan konstitusionalitas verifikasi faktual partai politik peserta pemilu 2019, maka jenis penelitian yang dilakukan adalah yuridis normatif dengan pertimbangan bahwa titik tolak penelitian analisis terhadap putusan MKRI Nomor
10
53/PUUXV/2017 mengenai inkonstitusionalnya Pasal 173 ayat (1) sepanjang
frasa “telah ditetapkan” dan ayat (3) UU 7/2017 tentang Pemilihan Umum.
Metode penelitian hukum normatif adalah suatu prosedur penelitian ilmiah untuk menemukan kebenaran berdasarkan logika keilmuan hukum dari sisi
normatifnya.9
2. Pendekatan
Dalam penelitian ini, penulis menggunakan pendekatan
perundang-undangan (statute approach), pendekatan kasus (case approach), dan pendekatan
konseptual (conceptual approach).10 Penggunaan pendekatan kasus dikarenakan
penulis hendak merujuk pada putusan MKRI terkait verifikasi faktual partai politik peserta pemilu 2019. Pendekatan konseptual digunakan karena penulis merujuk pada pandangan sarjana dan doktrin hukum. Kedua pendekatan hendak digunakan oleh penulis karena untuk memberikan penjelasan yang tepat mengenai pengaturan verifikasi partai politik peserta pemilu 2019 yang konstitusional.
3. Bahan Hukum
Bahan hukum yang hendak dikaji dalam penelitian ini meliputi beberapa
hal sebagai berikut:11
a. Bahan hukum primer yakni bahan hukum yang terdiri atas peraturan
perundang-undangan yang diurutkan berdasarkan hierarki Undang-Undang Dasar 1945, UU 7/2019 tentang Pemilu, Putusan Mahkamah Konstitusi
9 Ibrahim, Johny, 2008, Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif, Cetakan Keempat,
Bayumedia Publishing, Malang, hlm. 57
10 Ibid., hlm.294-322 11 Ibid., hlm.295
11
terkait dengan verifikasi faktual partai politik peserta pemilu 2019 (Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 53/PUU-XV/2017)
b. Bahan hukum sekunder adalah bahan hukum yang terdiri atas buku-buku
teks (textbook) yang ditulis para ahli hukum yang berpengaruh (de
herseende leer), jurnal-jurnal hukum, pendapat para sarjana, kasus-kasus hukum, yurisprudensi, dan hasil-hasil simposium mutakhir yang berkaitan dengan topik penelitian;
c. Bahan hukum tersier adalah bahan hukum yang memberikan petunjuk atau
penjelasan terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder seperti
kamus hukum, encyclopedia, dan lain-lain
4. Prosedur Pengumpulan Bahan Hukum
Bahan hukum berisi uraian logis prosedur pengumpulan bahan hukum primer, bahan hukum sekunder, dan bahan hukum tersier, serta bagaimana bahan hukum tersebut diinventarisasi dan diklasifikasi dengan menyesuaikan dengan masalah yang dibahas. Bahan hukum yang berhubungan dengan masalah yang
dibahas dipaparkan, disistematisasi, kemudian dianalisis untuk
mengintepretasikan hukum yang berlaku.12
Oleh karena itu, baik bahan hukum primer maupun bahan hukum sekunder dikumpulkan berdasarkan topik permasalahan yang telah dirumuskan berdasarkan sistem bola salju dan diklasifikasi menurut sumber dan hierarkinya untuk dikaji
secara komprehensif.13 Studi deskriptif dilakukan mulai dari penelitian terhadap
ketentuan UUD NRI 1945 dan putusan mahkamah konstitusi terkait dengan
12 Ibid., hlm.296 13 Ibid., hlm.392
12
verifikasi faktual parpol peserta pemilu serta peraturan-peraturan lain terkait dengan verifikasi faktual parpol.
5. Metode Analisa
Penelitian ini menggunakan metode analisis deskriptif kualitatif. Deskripsi atau pemaparan merupakan kegiatan menentukan isi aturan hukum setepat mungkin, sehingga kegiatan mendeskripsikan tersebut dengan sendirinya
mengandung kegiatan interpretasi.14 Dalam penelitian ini yang diinterpretasikan
yaitu mengenai putusan MKRI Nomor 53/PUU-XV/2017 yang terkait dengan verifikasi faktual partai politik calon peserta pemilu 2019.
6. Landasan Teori
Penulis hendak menggunakan teori keadilan untuk mengulas putusan
MKRI tersebut. Keadilan adalah asas hukum yang universal.15 Keadilan identik
dengan hukum.16 Keadilan merupakan salah satu tujuan hukum yang paling
banyak dibicarakan sepanjang perjalanan filsafat hukum.17 Kendatipun keadilan
bukan merupakan tujuan hukum satu-satunya akan tetapi tujuan hukum yang
paling substantif adalah keadilan.18 Ada berbagai macam teori mengenai keadilan,
salah satunya, teori keadilan sosial John Rawl dalam bukunya A Theory of
Justice.
14 Sidharta, Bernard Arief, 2000, Refleksi Tentang Struktur Ilmu Hukum, Mandar Maju, Bandung,
hlm. 149-150.
15 Darumurti, Krishna Djaya, 2016, Diskresi Kajian Teori Hukum, Genta Publishing, Yogyakarta,
hlm. 68
16 Ibid.
17 Busroh, Firman Freaddy, 2016, Teknik Perundang-undangan Suatu Pengantar, Cintya Press,
Jakarta., hlm. 57
13
Buku itu merupakan perluasan dari artikel Justice as Fairness yang ditulis
sebelumnya oleh Rawls pada 1957. Salah satu gagasan yang memantik
pentingnya rumusan teori keadilan adalah dominasi pendekatan utilitarian dalam filsafat politik yang diinspirasi oleh Jeremy Bentham (1748-1832) dan Henry
Sidgwick (1838-1900). Rawls merangkum pandangan mereka dengan
mengatakan bahwa sebuah tata kelola masyarakat dapat dikatakan baik ketika bisa meraih manfaat paling besar untuk jumlah individu paling banyak. Jika kebaikan dan kebenaran tindakan diukur dalam kerangka utilitarian, maka hak dan kebebasan individu yang berjumlah kecil bisa terancam. Atas nama kepentingan yang lebih besar, para pemangku kebijakan bisa mengorbankan hak dan kebebasan sebagian kecil kelompok dalam masyarakat. Karenanya, Rawls sebagaimana juga etika kewajiban Kant, menolak tindakan yang dapat mengorbankan hak dan kebebasan individu atau kelompok yang lebih kecil, meski
tindakan tersebut memiliki manfaat yang besar untuk kebanyakan orang.19 Secara
spesifik, Rawls mengungkapkan,
My aim is to work out a theory of justice that represents an alternative to utilitarian thought generally and so to all of these different versions of it. I believe that the contrast between the contract view and utilitarianism remains essentially the same in all these cases. Therefore I shall compare justice as fairness with familiar variants of intuitionism, perfectionism, and utilitarianism in order to bring out the underlying differences in the simplest way. With this end in mind, the kind of utilitarianism I shall describe here is the strict classical doctrine which receives perhaps its clearest and most accessible formulation in Sidgwick. The main idea is that society is rightly ordered, and therefore just, when its major institutions are arranged so as to achieve the greatest net balance of satisfaction summed over all the individuals belonging to it.20
Rawls merumuskan isi konsepsi keadilan politik yang ia anggap paling
fair dalam dua prinsip keadilan yang akan menata kerjasama sosial. Prinsip
19 Sunaryo, 2018, Amartya Sen tentang Teori Keadilan John Rawls: Kritik Pendekatan Komparatif
atas Pendekatan Institusionalisme, dalam RESPONS volume 23 no. 01 (2018): 11-38, PPE-Unika Atma Jaya, Jakarta, hlm. 12.
20 Rawls, John, 1999, A Theory of Justice, Revised Edition, Cambridge Massachusetts: The Belknap Press of Harvard University Press, hlm. 20
14
keadilan ini menjamin kebebasan yang setara bagi semua pihak dan memberikan
perlindungan maksimal kepada mereka yang paling tidak beruntung (the greatest
for the least-advantaged).21 Rawls menyatakan,
“(a) Each person has the same indefeasible claim to a fully adequate scheme of equal basic liberties, which scheme is compatible with the same scheme of liberties for all; and (b) Social and economic inequalities are to satisfy two conditions: first, they are to be attached to offices and positions open to all under conditions of fair equality of opportunity; and second, they are to be to the greatest benefit of the least-advantaged member of society (the difference principle).”22
F.
Sistematika Penulisan
Sistematika penulisan ini dibagi menjadi 4 (empat) Bab, yaitu:
Bab I menguraikan latar belakang masalah berupa gambaran permasalahan penelitian yang berkaitan dengan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 53/PUU-XV/2017 yang terkait dengan verifikasi faktual partai politik calon peserta Pemilu 2019 yang membatalkan Pasal 173 ayat (3) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum; rumusan masalah; tujuan dan manfaat penelitian; metode penelitian; kerangka teori; dan sistematika penulisan.
Bab II akan menjelaskan prinsip interpretif Pasal 27 ayat (1) dan Pasal 28D ayat (3) UUD NRI 1945 yang posisinya adalah sebagai dasar pengujian untuk konstitusionalitas pengaturan tentang verifikasi faktual partai politik peserta pemilu 2019 dalam UU Pemilu. Untuk memberikan interpretasi yang lebih substantif Pasal 27 ayat (1) dan Pasal 28D ayat (3) UUD NRI 1945 digunakan
tentang Teori Keadilan yang dikemukakan oleh John Rawls, yaitu justice as
fairness. Teori Keadilan Rawls diposisikan sebagai prinsip interpretif tersebut untuk menjelaskan pada poin mana subjek-subjek hukum (dalam kasus ini
21 Sunaryo, Op.Cit., hlm. 15
22 Rawls, John, 2001, Justice as Fairness: A Restatement. Massachusetts: The Belknap Press of
15
khususnya adalah partai-partai politik peserta pemilu 2019) harus mendapatkan persamaan perlakuan dan kapan boleh mendapatkan perlakuan berbeda secara hukum.
Bab III akan menyajikan argumentasi yang lebih substansial atas keharusan verifikasi faktual partai politik calon peserta pemilu 2019 kepada semua partai politik dan sekaligus kritik terhadap pertimbangan hukum Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 53/PUU-XV/2017 yang cenderung formal sesuai dengan prinsip interpretif Pasal 27 ayat (1) dan Pasal 28D ayat (3) UUD NRI 1945 yang telah diletakkan sebelumnya pada Bab II. Bab ini sekaligus menjawab secara spesifik isu hukum penelitian di mana poin utama argumentasi penulis adalah pada tiadanya hak untuk partai-partai lama (peserta pemilu 2014) untuk mendapatkan perlakuan berbeda dari partai-partai politik baru, yaitu untuk tidak menjalani verifikasi faktual. Seperti telah dinyatakan sebelumnya, poin utama penelitian ini, sebagaimana nampak dalam uraian Bab III adalah meskipun kesimpulan penulis sama dengan MKRI (Putusan Nomor 53/PUU-XV/2017), namun alasan penulis berbeda dengan MKRI (walaupun dengan dasar pengujian yang sama yaitu Pasal 27 ayat (1) dan Pasal 28D ayat (3) UUD NRI 1945. Perbedaan utamanya di sini adalah dalam penerapan prinsip interpretif terhadap Pasal 27 ayat (1) dan Pasal 28D ayat (3) UUD NRI 1945 untuk kemudian
diterapkan sebagai dasar pengujian Pasal 173 ayat (1) sepanjang frasa “telah
ditetapkan” dan ayat (3) UU No. 7/2017 tentang Pemilu.
Bab IV akan memberikan kesimpulan akhir hasil penelitian ini bahwa putusan MKRI telah tepat dengan memerintahkan verifikasi faktual kepada seluruh parpol calon peserta pemilu 2019. Tapi penulis juga memberikan
16
kesimpulan bahwa MKRI tidak memberikan argumentasi prinsip perbedaan (the
difference principle) dalam membahas keadilan dalam verifikasi parpol. Selain itu, Penulis juga memberikan beberapa saran, baik untuk kepentingan akademis maupun kepentingan praktis.