• Tidak ada hasil yang ditemukan

International Conference on Global Education V Global Education, Common Wealth, and Cultural Diversity

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "International Conference on Global Education V Global Education, Common Wealth, and Cultural Diversity"

Copied!
16
0
0

Teks penuh

(1)

REALITAS VIRTUAL 3D SEBAGAI MEDIA PEMBELAJARAN DALAM MENGATASI KESULITAN BELAJAR DI PERGURUAN TINGGI

Nuraeni Dahri

daumpimariorita@gmail.com

Program Studi Diploma III Manajemen Informatika dan Komputer, Fakultas Ekonomi, Universitas Ekasakti Padang, Jl. Veteran Dalam No. 26B, Padang, Indonesia

Abstrak

Pendidikan di Indonesia dihadapkan pada tuntutan untuk melakukan restorasi dalam memajukan kualitas dan mengatasi kesenjangan yang terjadi pada pendidikan tinggi dalam menghasilkan

sumberdaya manusia yang mumpuni dan mampu bersaing dalam kancah global.Perguruan

tinggi swasta (PTS) dihadapkan pada kenyataan bahwa kualitas input yang dimiliki relatif buruk

sehingga memicu terjadinya kesulitan belajar mahasiswa pada pembelajaran yang diselenggarakan PTS. Salah satu solusi atas permasalahan tersebut adalah melakukan

pengembangan pembelajaran yang berbasis realitas virtual (VR 3D) dalam mengatasi kesulitan belajar. Peningkatan dan inovasi mutu pendidikan melalui sistem pembelajaran berbasis ICT merupakan salah satu upaya memperbaiki kualitas pembelajaran dan pengajaran.

Kata kunci : Kesulitan Belajar, Realitas Virtual, Pembelajaran, Perguruan Tinggi

F. Latar Belakang

Dalam era globalisasi saat ini dunia pendidikan di Indonesia dihadapkan pada tuntutan untuk melakukan restorasi dalam berbagai aspek demi memajukan kualitas dan mengatasi kesenjangan yang terjadi pada semua jenjang pendidikan agar dapat menghasilkan sumberdaya manusia yang mumpuni dan mampu bersaing dalam kancah global.

Harapan tersebut selaras dengan ungkapan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) Muhadjir Effendy menyatakan bahwa Kemdikbud terus berusaha melakukan pengembangan dalam pendidikan dan kebudayaan yang merujuk pada Nawacita yang sudah tertuang dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2015–2019 yaitu untuk meningkatkan kualitas hidup, revolusi karakter bangsa, meningkatkan produktivitas rakyat, serta daya saing di pasar internasional. Penekanannya pada upaya peningkatan kualitas pembelajaran di semua jenjang dan jalur pendidikan, baik negeri maupun swasta, dengan kesenjangan kualitas yang semakin kecil.

(2)

Penekanan pada upaya peningkatan kualitas pembelajaran oleh Kemendikbud tersebut haruslah disikapi dengan tindakan nyata oleh seluruh perguruan tinggi yang ada agar dapat segera melakukan inovasi-inovasi pendidikan khususnya inovasi pada sistem pembelajaran yang diterapkan. Salah satu upaya efektif dalam mencapai tujuan tersebut adalah dengan pemanfaatan ICT (Information and Communication Technology) sebagai usaha perubahan dan inovasi dalam peningkatan mutu pendidikan dalam berbagai aspek seperti aspek Sumber Daya Manusia (SDM) dan aspek sistem pembelajaran berbasis Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK). Menciptakan SDM yang berkualitas dan mampu bersaing dalam dunia usaha (DU) atau dunia industri (DI) yang dimaksud adalah bukan sekedar menciptakan lulusan-lulusan yang memenuhi standar kompetensi akademik, tetapi lulusan yang memiliki kemampuan mengkonstruksi pengetahuan dan memiliki kemampuan problem solving yang handal serta berkarakter.

Peningkatan dan inovasi mutu pendidikan melalui sistem pembelajaran berbasis ICT merupakan salah satu upaya memperbaiki kualitas pembelajaran dan pengajaran. Cheng (2005) yang dikutip ulang Putu Wijaya (2011), menjelaskan bahwa Transformasi global terhadap ekonomi berbasis pengetahuan, industri kreatif, tuntutan yang kuat untuk pengembangan kualitas masyarakat, kompetisi internasional dan regional telah mendorong perubahan pola penyelenggaraan pendidikan vokasi di berbagai belahan dunia. Putu Wijaya melanjutkan bahwa setiap sistem pendidikan berbasis dunia kerja yang efektif harus memenuhi kebutuhan peserta didik yang dilayaninya (Hiniker & Putnam, 2009). Menurut Rusman dkk (2013), pengembangan pembelajaran berbasis Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK) yang terintegrasi dalam kegiatan pembelajaran, merupakan salah satu alternatif dalam meningkatkan dan mengatasi masalah-masalah dalam sistem pendidikan.

Tuntutan kompetensi tersebut sejalan dengan pemikiran filosofi John Dewey yang dikenal dengan pendidikan pragmatisme yang menjadi landasan filosofi pendidikan vokasi yang utama. Pendidikan pragmatis mencoba menyiapkan siswa dapat memecahkan masalah-masalah nyata secara logis dan rasional, terbuka mencari dan menemukan alternatif-alternatif solusi serta siap melakukan eksperimen. Miller (1985) dikutip Strom (1996) menganjurkan bahwa filosofi pragmatisme adalah filosofi terefektif untuk pendidikan dunia kerja (education-for-work).

Mark O Webba dkk (2015), mengatakan bahwa tujuan utama dari pendidikan tinggi adalah memanusiakan manusia. Tugas yang paling penting dari pendidikan tinggi

(3)

adalah terbentuknya pribadi yang berpendidikan tinggi, memiliki kompetensi umum dan profesional, pembentukan pemikiran kreatif dan kemampuan sistem untuk memastikan keberadaan manusia yang berkelanjutan dalam hal kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi. Tujuan pendidikan untuk memanusiakan manusia sebagai refleksi filosofi pendidikan pragmatis sangat tepat dijadikan sebagai landasan oleh perguruan tinggi khususnya perguruan tinggi swasta (PTS) yang dihadapkan pada kenyataan bahwa kualitas input yang dimiliki relatif buruk. Umumnya, mahasiswa yang masuk PTS adalah tidak hanya mereka yang tidak lolos seleksi pada perguruan tinggi negeri (PTN) dan umumnya memiliki nilai rata-rata akademik dibawah standar, namun juga tidak sedikit kualitas input buruk dipengaruhi oleh latarbelakang kehidupan sosial dan lingkungan masyarakat yang kurang sehat.

Fenomena tersebut menunjukkan bahwa perguruan tinggi sebagai masyarakat ilmiah terutama pada PTS dituntut untuk dapat berperan aktif dan nyata dalam mengatasi persoalan kualitas input yang dihadapi untuk dapat melakukan transformasi secara sistematis agar kualitas input yang buruk dapat menjadi output/outcome yang berkualitas dan profesional, berkepribadian tangguh, cerdas, dan kreatif sehingga mampu bersaing dalam kancah globalisasi sebagai wujud nyata dalam upaya memanusiakan manusia.

Dampak dari kualitas input yang buruk tersebut berpengaruh pada kelancaran dan keberhasilan pembelajaran yang dilaksanakan. Mahasiswa atau peserta didik yang berkemampuan akademik atau tingkat inteligensi yang rata-rata normal bahkan rendah umumnya akan mengalami kesulitan belajar di kelas akibatnya mereka sulit mencapai hasil belajar yang memuaskan.

G. Kesulitan Belajar dan Faktor Penyebabnya

Seorang pendidik atau guru perlu memahami hakikat kesulitan belajar sebelum melakukan pengkajian mendalam tentang penanggulangannya. Kekeliruan banyak pendidik dalam membedakan antara kesulitan belajar, lambat belajar dan tuna grahita menyebabkan kesulitan pula menentukan jumlah anak berkesulitan belajar sehingga akan sulit dalam membuat kebijakan pendidikan bagi mereka dan akan sulit juga melakukan usaha-usaha prefentiv maupun kuratif. M Abdurrahman (2012)

(4)

hambatan ataupun gangguan dalam belajar. Faktor penyebab kesulitan belajar dapat ditinjau dari sudut intern dan ekstern anak didik. Faktor intern bersifat : 1) kognitif (ranah cipta) seperti rendahnya kapasitas intelektual/inteligensi, 2) afektif (ranah rasa), seperti labilnya emosi dan sikap, dan 3) psikomotor (ranah karsa), seperti terganggunya indra penglihatan dan pendengaran. Sedangkan faktor ekstern meliputi semua situasi dan kondisi lingkungan sekitar yang tidak mendukung aktivitas belajar anak didik, seperti 1) lingkungan keluarga, seperti ketidakharmonisan hubungan orang tua dan rendahnya kehidupan ekonomi keluarga, 2) lingkungan masyarakat, seperti wilayah perkampungan kumuh dan teman sepermainan yang nakal, dan 3) lingkungan sekolah, seperti kondisi dan letak gedung sekolah yang buruk, kondisi guru serta alat-alat belajar yang berkualitas rendah.

Lebih lanjut Djamarah memaparkan bahwa kesulitan belajar dapat juga disebabkan oleh faktor khusus yakni sindrom psikologis yang dikenal dengan learning disability (ketidakmampuan belajar) seperti disleksia (dyslexia) yaitu ketidakmampuan membaca, disgrafia (dysgraphia) yaitu ketidakmampuan belajar menulis, diskalkulia (dyscalculia) yaitu ketidakmampuan belajar matematika. Anak didik yang memiliki sindrom-sindrome tersebut umumnya memiliki IQ normal bahkan di atas rata-rata, karena mungkin sindrom-sindrom tersebut hanya disebabkan gangguan ringan pada otak (brain dysfunction).

M Dalyono (2012:229) menegaskan bahwa kesulitan belajar tidak selalu disebabkan karena faktor intelegensi yang rendah (kelainan mental) akan tetapi dapat juga disebabkan oleh faktor-faktor non inteligensi. Dengan demikian IQ yang tinggi belum tentu menjamin keberhasilan belajar.

Mengetahui bahwa IQ bukanlah penyebab utama terjadinya kesulitan belajar pada anak didik, maka dapat dikatakan bahwa setiap anak yang mengalami kesulitan belajar mempunyai peluang yang sama besarnya dalam meraih keberhasilan atau prestasi belajar yang memuaskan. Dengan kata lain bahwa anak yang memiliki IQ tinggi juga berkemungkinan dapat mengalami kesulitan belajar.

Beberapa gejala sebagai indikator adanya kesulitan belajar pada anak didik, dapat mengacu pada petunjuk-petunjuk sebagai berikut: SB Djamarah (2011:246)

1. Menunjukkan prestasi belajar yang rendah, di bawah rata-rata nilai yang dicapai oleh kelompok anak didik di kelas.

(5)

2. Hasil belajar yag dicapai tidak seimbang dengan usaha yang dilakukan. Ia berusaha keras tetapi nilainya selalu rendah.

3. Lambat dalam mengerjakan tugas-tugas belajar. Ia selalu tertinggal dengan dengan kawan-kawannya dalam segala hal, misalnya dalam mengerjakan soal-soal dan tugas-tugas dalam waktu lama dan selalu menunda waktu.

4. Menunjukkan sikap yang kurang wajar, seperti acuh tak acuh, berpura-pura, berdusta, mudah tersinggung, dan sebagainya.

5. Menunjukkan tingkah laku yang tidak seperti biasanya ditunjukkan kepada orang lain. Misalnya, menjadi pemurung, pemarah, selalu bingung, selalu bersedih, kurang gembira, atau mengasingkan diri dari kawan-kawannya.

6. Anak didik yang tergolong memiliki IQ tinggi, yang secara potensial mereka seharusnya meraih prestasi belajar yang tinggi, tetapi kenyataannya mereka mendapatkan prestasi rendah.

7. Anak didik yang selalu menunjukkan prestasi belajar yang tinggi untuk sebagian besar mata pelajaran, tetapi di lain waktu prestasi belajarnya menurun drastis. Ketujuh indikator di atas sudah cukup dapat dijadikan acuan adanya gejala kesulitan belajar pada anak didik dalam pembelajaran. Gejala-gejala tersebut sering terlihat di kelas pada beberapa peserta didik. Ada yang mengalami gejala yang tetap dan beberapa terlihat menunjukkan gejala yang berubah atau tidak tetap serta beberapa terlihat kembali bersikap seperti biasa/normal seiring berjalannya waktu pembelajaran selama satu semester pada pembelajaran sistem database I.

M Abdurrahman (2012:6) menegaskan bahwa membuat klasifikasi kesulitan belajar tidak mudah karena kesulitan belajar merupakan kelompok kesulitan yang heterogen. Namun demikian klasifikasi sangat perlu dilakukan karena bermanfaat untuk menentukan strategi pembelajaran. Secara garis besar kesulitan belajar diklasifikasikan dalam dua kelompok, yaitu :

1. Kesulitan belajar yang berhubungan dengan perkembangan (developmental learning disabilities), yakni kesulitan belajar yang berhubungan dengan gangguan perkembangan motorik dan persepsi, kesulitan belajar bahasa dan komunikasi, serta kesulitan belajar dalam penyesuaian perilaku sosial.

2. Kesulitan belajar akademik (academic learning disabilities), yakni kesulitan belajar yang menunjukkan adanya kegagalan-kegagalan pencapaian prestasi

(6)

akademik yang sesuai dengan kapasitas. Kegagalan-kegagalan tersebut mencakup penguasaan keterampilan dalam membaca, menulis, dan/matematika.

Kesulitan belajar akademik dapat diketahui ketika anak gagal menampilkan salah satu atau beberapa kemampuan akademik. Sebaliknya, kesulitan belajar yang bersifat pengembangan umumnya sukar diketahui karena tidak ada pengukuran-pengukuran yang sistematik. Namun demikian beberapa kesulitan belajar yang berhubungan dengan perkembangan sering berkaitan dengan kegagalan pencapaian prestasi akademik. Seperti misalnya ada anak yang gagal dalam belajar membaca yang menunjukkan ketidakmampuan dalam fungsi-fungsi perseptual motor, tetapi ada pula yang dapat belajar membaca meskipun memiliki ketidakmampuan dalam fungsi-fungsi perceptual motor. Artinya bahwa, terlepas dari jenis kesulitan belajar yang dialami oleh seorang anak didik, hasil akhir suatu prestasi akademik dapat dijadikan indikator bahwa seorang anak mengalami kesulitan belajar atau tidak, dan hasil akademik tersebut dapat dijadikan dasar untuk melakukan perbaikan dan pengembangan pembelajaran yang ada. Lucia Vera dkk (2007) menjelaskan bahwa orang-orang dengan kesulitan belajar menunjukkan defisit dalam perhatian, persepsi, memori dan kurangnya minat dalam isi pendidikan. Mereka sulit mengatasi konsep-konsep abstrak, menggeneralisasi dan menerapkan pengetahuan yang diperoleh dengan lingkungan lainnya, memiliki gaya kognitif dan strategi yang berbeda. Lebih lanjut Lucia Vera menjelaskan bahwa orang dengan berkesulitan belajar sering mengalami masalah dalam memahami orang lain dan diri mereka sendiri. Mereka kesulitan menerima ide-ide kognitif dalam situasi kehidupan nyata sehingga kemampuan interaksi sosialnya menjadi rendah.

Mulyono (2012:7) menjelaskan bahwa kesulitan belajar diklasifikasikan ke dalam dua kelompok, yakni kesulitan belajar berhubungan dengan perkembangan (developmental learning disabilities), dan kesulitan belajar akademik (academic learning disabilities). Kesulitan belajar yang berhubungan dengan perkembangan mencakup gangguan motorik dan persepsi, bahasa dan komunikasi, dan kesulitan belajar dalam perilaku sosial. Kesulitan belajar akademik menunjuk pada adanya kegagalan-kegagalan pencapaian prestasi akademik yang sesuai dengan kapasitas akademik yang diharapkan. Sedangkan Syaiful Bahri Djamarah (2011:234) dalam bukunya berjudul ”Psikologi Belajar” berpendapat bahwa kesulitan belajar dikelompokkan menjadi empat macam, yang dilihat dari :1) jenis kesulitan belajar; berat

(7)

atau sedang, 2) mata pelajaran yang dipelajari; sebagian mata pelajaran atau sifatnya sementara, 3) sifat kesulitannya; menetap atau sementara, dan 4) faktor penyebabnya; faktor inteligensi atau non-intelegensi.

Selanjutnya Syaiful Bahri memperluas sudut pandang penyebab kesulitan belajar pada aspek lainnya, bahwa faktor kesulitan belajar dipengaruhi oleh faktor internal meliputi gangguan psiko-fisik dan faktor eksternal meliputi faktor anak didik, sekolah, keluarga dan masyarakat sekitar. Senada dengan Mulyono mengemukakan bahwa kesulitan belajar (learning disabilities) dipengaruhi faktor internal, yaitu adanya disfungsi neurologis; dan faktor eksternal, berupa strategi pembelajaran yang keliru, pengelolaan kegiatan belajar yang tidak membangkitkan motivasi belajar anak, dan pemberian ulangan penguatan (reinforcement) yang tidak tepat. Faktor eksternal inilah yang diindikasikan menjadi penyebab utama problem belajar (learning problems).

Ali Maharus (2013), mengemukakan bahwa perlunya diadadakan diagnosa belajar karena berbagai hal. Pertama, setiap siswa hendaknya mendapat kesempatan dan pelayanan untuk berkembang secara maksimal. Kedua, adanya perbedaan kemampuan, kecerdasan, bakat, minat dan latar belakang lingkungan masing-masing siswa. Ketiga, sistem pengajaran seharusnya memberikan kesempatan pada mahasiswa untuk maju sesuai dengan kemampuannya. Keempat, perlu adanya konseling secara intensif dalam menangani mahasiswa dengan menambah pengetahuan, sikap yang terbuka dan mengasah keterampilan dalam mengidentifikasi kesulitan belajar mahasiswa. Selanjutnya, terdapat dua cara dalam mendiagnosis aktivitas belajar, yaitu : diagnosis untuk mengerti masalah secara menyeluruh dan diagnosis yang mengklasifikasikan masalah berdasarkan ragam dan sifatnya seperti golongan masalah yang sifatnya vokasional, pendidikan, keuangan, kesehatan, keluarga dan kepribadian.

Dari hasil diagnosa faktor-faktor yang diduga menjadi penyebab kesulitan belajar yakni faktor akademik dan faktor eksternal lainnya maka treatment yang efektif dilakukan berorientasi pada aspek pembelajaran dengan menginternalisasikan aspek psikologis dalam pembelajaran. Aspek pembelajaran tersebut mencakup media pembelajaran, kualitas pengajar, kurikulum, sarana dan prasarana, ruang kelas yang nyaman, lingkungan perguruan tinggi dan suasana pembelajaran yang nyaman yang dapat meningkatkan motivasi dan semangat belajar serta metode pembelajaran dan pengelolaan pembelajaran yang efektif serta yang tidak kalah pentingnya adalah sikap

(8)

pengajar/dosen yang menyenangkan bagi para mahasiswa selama di kelas untuk meminimalisir dampak dari kesulitan belajar tersebut.

Dalam hal kurikulum, Aspek kerealitasan pembelajaran melalui internalisasi realitas ke dalam kurikulum belum tampak nyata. Ilman Soleh (2008) mengutip pernyataan Prof. Dr.Musa Asy’arie yang mengkritisi pelaksanaan pendidikan di negeri ini yang selama ini bak menara gading, jauh dari realitas yang ada di sekitarnya, sehingga tidak bisa menyerap realitas kehidupan secara kreatif dan visioner. Pendidikan kita kurang memberi ilmu sebagai suatu proses, tetapi hanya produk, yakni dengan memindahkan teori-teori para ilmuwan ke pikiran anak didik untuk dihafalkan. Pendidikan kita masih menekankan pada penguasaan fakta temuan pakar terdahulu, bukan pada keterampilan penemuan fakta baru. Hal ini dapat dilihat dari kurikulum dari tingkat dasar sampai perguruan tinggi yang hanya menuntut penguasaan teori, bukan penerapan untuk pemecahan masalah. Dalam filsafat kuno, peserta didik diberikan ikan, bukan kail.

H. Pembelajaran Berbasis Realitas Virtual dalam Mengatasi Kesulitan Belajar

Pembelajaran berbasis realitas virtual (RV) pada hakekatnya merupakan pembelajaran yang memanfaatkan penggunan teknologi komputer grafis dalam penyajian materi belajar dengan dimensi yang real time sehingga memberikan mahasiswa pengalaman belajar dalam lingkungan realitas hidup. Menurut Carol Gaunther Mohr dkk dalam the ASTD Handbook of Training Design and Delivery (2000) menyatakan Realitas Virtual adalah representasi realitas hidup, tiga dimensi dengan computer grafik yang menggambarkan fungsionalitas obyek lengkap atau lingkungan dan memungkinkan seseorang bergerak di dalam lingkungan tersebut; tanggapan interaktif, serta merta dan realistic terhadap aksi penggunanya; membawa, melibatkan dalam proses fisik dan mendapatkannya pada pusat pengalaman pengguna. RV memberikan masukan multi sensor yang memungkinkan pengguna dapat melihat, mendengar, menampilkan kegiatan/aksi, menangkap akibat aksi melalui umpan balik yang serta merta, realistis (secara visual dan auditif), serta dalam beberapa kasus pengalaman umpan balik secara real time (senyatanya). Teknologi RV dapat diterapkan secara sendiri sebagai lingkungan virtual atau terintegrasi dengan aplikasi multimedia seperti animasi video dan teks. Realitas Virtual tidak terlepas dari suatu pengalaman mandiri dan kecepatan diri. Seorang pengguna (siswa) ”membenamkan diri” dalam

(9)

suatu lingkungan virtual, berinteraksi dengan obyek disekitarnya dan mengalami hasil/akibat dari aksi tersebut dalam bentuk visual, aural dan kadangkala umpan balik stimulus rasa (taktile).

RV berbasis program dengan kecepatan diri (pengguna) adalah yang paling efektif untuk pengajaran kognitif atau keterampilan prosedural. Program ini dapat didesain untuk pembelajaran pengenalan, penyegaran atau remedial, untuk praktik dan latihan keterampilan. Pengajaran dengan instruktur di kelas dan laboratorium menggunakan program RV, bertujuan untuk memberikan ilustrasi peralatan yang kompleks atau tentang prosedur yang efisien, mendemonstrasikan kondisi atau lingkungan sekitar yang tidak biasa, dan memperkenalkan penggunaan pelatihan berbasis RV. RV dapat diintegrasikan dengan metode lain seperti pelatihan nyata/hidup yang menjadikan integrasi keduanya sebagai strategi efektif untuk meningkatkan keterampilan kognitif dan keterampilan motorik siswa.

Dengan demikian penggunaan teknologi komputer realitas virtual 3D memiliki kemampuan untuk peningkatan relevansi pembelajaran dalam arti realitas kehidupan dapat dites, dimanipulasi, dievaluasi serealitas mungkin sehingga memberikan pengalaman belajar yang sangat berharga. http://Pustekkom.depdiknas.go.id

Pemanfaatan media pembelajaran berkaitan erat dengan peningkatan kualitas pembelajaran yang diharapkan. Pemanfaatan media pembelajaran oleh pengajar diharapkan dapat menciptakan pengalaman belajar yang lebih bermakna, memfasilitasi proses interaksi antara peserta didik dengan pengajar yang releven dimana saja, serta memperkaya pengalaman belajar peserta didik. Hal ini dipercaya mampu mengubah suasana belajar yang pasif menjadi aktif dan lebih interaktif. Peserta didik aktif berdiskusi dan mencari melalui beragam sumber belajar yang tersedia, sementara pengajar berperan menjadi fasilitator yang sama-sama terlibat dalam proses belajar. Ketersediaan akan keanekaragaman media dan teknologi pembelajaran dapat membantu peserta didik secara luwes untuk mencapai tujuan belajarnya. Pengembangan media interaktif sangat penting untuk mengatasi kekurangan dan keterbatasan persediaan media yang ada. Media yang dikembangkan sendiri oleh pengajar dapat mengoptimalkan penguasaan materi oleh peserta ajar. Lebih dari itu, juga dapat meningkatkan kreativitas dan kemampuan inovasi para pengajar sehingga dihasilkan profesionalitas pengajar. (Baharuddin, 2012)

(10)

Dalam hal media, dibutuhkan kreativitas pendidik mendesain produk aplikasi yang dapat secara efektif dan efisien meningkatkan kemampuan mahasiswa dalam mencapai kompetensi pembelajaran sistem database. Pembelajaran berbasis virtual realitas (VR) merupakan trend pembelajaran terbilang baru dan popular pada dekade terakhir. Chou dkk (2013) mengemukakan bahwa universitas dan lembaga pendidikan baru-baru ini mulai mempelajari potensi menggunakan dunia virtual untuk mengajar dan belajar.

Banyak sekolah dan universitas di berbagai benua telah menawarkan berbagai program pembelajaran virtual 3D dalam sebuah secondlife. Potkonjak V dkk (2016) dalam artikel mereka mengatakan bahwa telah banyak institusi yang bereputasi bergabung dalam organisasi dan jaringan penelitian untuk menggali dan menerapkan ide-ide baru pembelajaran virtual sebagai konsep menantang untuk masa depan pendidikan dalam berbagai disiplin ilmu khususnya Science, Technology, dan Engineering (STE).

Dalam berbagai literature diketahui bahwa, banyak peneliti yang menerapkan pembelajaran RV 3D secara offline dengan format virtual classroom (VC) ataupun virtual laboratorium (VL). Secara online RV juga sangat memungkinkan untuk diterapkan dengan menggunakan internet dan website sebagai platformnya. Adapun konten dari model pembelajaran RV didesain dalam bentuk game, animasi dan video multimedia, aplikasi simulasi yang dibuat dengan teknologi komputer grafis 3 dimensi (3D) realtime.

Pada sebuah makalah yang dipublikasikan oleh pustekkom depdiknas mengkaji suatu realitas baru dalam kehidupan manusia termasuk masyarakat kita yang dikenal dengan Realitas Virtual (RV). RV merupakan suatu bahasa baru untuk pembelajaran yang berbasis teknologi komputer yang mengetengahkan suatu pengalaman realitik 3D, interaktif sehingga dapat dijadikan alat pendorong daya belajar dengan memberi peluang siswa mengungkapkan kemampuannya dalam suatu realitas simulatif tentang suatu lingkungan hidup yang realistis.

Julian Cheng Chiang Chen (2016) mengemukakan bahwa Teknologi RV telah mengubah cara belajar dan mengajar konvensional melalui sebuah inovasi pembelajaran dengan menciptakan second life (SL) bagi peserta ajar. Pada second life yang merupakan sebagai inovasi dan teknologi immersive, siswa dibenamkan dalam dunia realitas seolah berada dalam dunia nyata. Dengan belajar secara mendalam siswa dapat memperdalam pemahaman mereka tentang materi pembelajaran, mentransfer

(11)

pengetahuan untuk konteks dunia nyata, dan mengembangkan kemampuan kerja sama dan pembangunan masyarakat virtual. Chen menambahkan bahwa terdapat korelasi positif antara pembelajaran di second life dengan hasil belajar siswa, dan memiliki implikasi pendidikan pedagogis yang dibuktikan dengan fakta bahwa peserta didik dan institusi telah memeluk paradigma pembelajaran virtual 3D.

RV dapat meningkatkan motivasi, daya retensi keterampilan siswa dan mengurangi tingkat kesalahan. Dengan demikian RV dapat dimanfaatkan untuk pembelajaran sebagai solusi terhadap relevansi pembelajaran, dan kini telah banyak digunakan dalam berbagai organisasi untuk menyampaikan pemecahan masalah belajar berbasis prestasi. Oliver dkk (2014) merancang aplikasi RV 3D yang diberi nama crowd simulator untuk mengamati dan meneliti perilaku orang banyak. Selanjutnya oliver mengemukakan bahwa RV merupakan alat umum untuk melakukan eksperimen pada sosio-psikologi, spasial-kognisi, kontrol gerakan dll.

Gonzales dan Zarko (2014) merancang dan menerapkan metodologi pembelajaran baru dan sumber daya yang untuk memajukan pengembangan dan penilaian kompetensi berpikir kritis dan motivasi belajar. Passig D dkk (2016) melakukan penelitian untuk membuktikan kemanjuran asesmen dinamis (DA/Dynamic Assesment) dalam meningkatkan kognitif anak-anak menggunakan RV Immersive (RVI), dimana hasilnya menunjukkan bahwa pengajaran dalam lingkungan 3D RVI berkontribusi terhadap peningkatan kognitif anak-anak lebih tinggi yang belajar dalam lingkungan RVI. Selanjutnya J.L. Tan dkk (2016) juga mengemukakan bahwa pembelajaran game berbasis web dapat meningkatkan keterampilan sosial peserta didik di kelas dan memiliki pengaruh yang signifikan pada penerimaan oleh user.

Lucia Vera dkk (2007) mengemukakan bahwa aplikasi grafis real time yakni realitas virtual 3D sebagai alat pendidikan, bekerja khusus untuk orang-orang yang memiliki kesulitan belajar tertentu, studi vera berfokus pada sudut pandang gangguan psikologis keterbelakangan mental yang disebabkan oleh faktor-faktor social lingkungan. Michael Chau dkk (2013) dalam penelitian mereka mengevaluasi bagaimana lingkungan virtual 3D dapat memfasilitasi siswa dalam mencapai hasil belajar dan hasilnya memang bisa memfasilitasi siswa dalam mencapai hasil belajar melalui pembelajaran konstruktivis.

Selanjutnya Lucia Vera juga mengemukakan bahwa virtual reality cocok digunakan untuk siswa yang mengalami kesulitan belajar. Virtual reality, seperti halnya

(12)

fasilitas yang menawarkan struktur, memungkinkan untuk pengulangan, keterlibatan afektif (emosional), dan sebagai tambahan adalah kontrol pembelajaran lingkungan hidup. Keuntungan lain dari VR adalah hasilnya dapat digeneralisasi untuk pengaturan dunia nyata dalam bentuk simulasi. Lebih lanjut Lucia Vera dkk menjelaskan bahwa dari segi aspek pedagogis, VR menawarkan beberapa keuntungan bagi siswa yang berkesulitan belajar, dalam hal :

1. Pemahaman lingkungan, yang mencakup: pemahaman konsep tata ruang, pemahaman konsep kuantitas, dan adaptasi terhadap profil dan konsep visual. 2. Keharfiahan simbolisme: manipulasi realitas sederhana dengan memasukkan lebih

banyak isu yang bersifat simbolik yang natural ke dalam game pembelajaran sehingga anak terbiasa dan akrab dengan bahasa non-literal. Siswa diberikan game dengan objek realistis (nyata) kemudian diperkenalkan permainan serupa dalam bentuk virtual. Hal tersebut berguna khususnya bagi anak yang berkesulitan membedakan objek yang sifatnya imitasi.

3. Kemampuan sosial: Orang dengan kesulitan belajar sering mengalami masalah dalam memahami orang lain dan diri mereka sendiri, apa yang dipikirkan atau perasaan orang lain dan ekspresi emosi mereka. Sulit untuk mengisolasi dan mengajarkan semua ide-ide kognitif dalam situasi kehidupan nyata dan stimulasi membingungkan dari konteks sosial dan lingkungan. Pada kenyataannya, segala sesuatu yang terjadi sangat cepat, sehingga sulit untuk menyorot rincian halus yang relevan yang mengarahkan individu untuk berperilaku dengan cara tertentu. Pemanfaatan VR (game virtual) memungkinkan untuk mengintegrasikan konsep materi dari dunia nyata ke dalam game VR, kemudian pengajar menjelaskan semua variabel yang sulit dipahami atau dikelola oleh siswa secara sosial.

Selain dari ketiga manfaat penggunaan virtual reality sebagai alat bantu dalam pembelajaran khususnya bagi yang mengalami kesulitan belajar adalah siswa menjadi dekat dan terbiasa menggunakan computer dan perangkat teknologi yang mendukung, aplikasi grafis real time yang menyajikan kontrol penuh atas apa yang disajikan lingkungan, dan memfasilitasi konsep-konsep abstrak yang sulit diwakili dunia nyata sehingga harus dijelaskan secara visual dan intuitif.

(13)

I. Kesimpulan

Kesulitan belajar pada mahasiswa di perguruan tinggi terbagi atas beberapa kelompok dan faktor penyebabnya. Kesulitan belajar yang terkait dengan faktor eksternal peserta didik dan faktor akademik inilah yang umum dan menjadi penyebab utama terjadinya learning disabilities dan menjadi persoalan krusial pada perguruan tinggi swasta (PTS) dalam menghasilkan output/outcome yang berkualitas. Persoalan kualitas input sebagai penyebab utama terjadinya kesulitan belajar pada PTS harus disikapi dengan mengupayakan treatment yang efektif untuk melakukan transformasi sumber daya berdasarkan hasil diagnosa terhadap beberapa gejala kesulitan belajar yang dialami mahasiswa dalam belajar. Dalam hal kurikulum, Aspek kerealitasan pembelajaran melalui internalisasi realitas ke dalam kurikulum belum tampak nyata. Pendidikan kita kurang memberi ilmu sebagai suatu proses, tetapi hanya produk, yakni dengan memindahkan teori-teori para ilmuwan ke pikiran anak didik untuk dihafalkan. Pendidikan kita masih menekankan pada penguasaan fakta temuan pakar terdahulu, bukan pada keterampilan penemuan fakta baru. Hal ini dapat dilihat dari kurikulum dari tingkat dasar sampai perguruan tinggi yang hanya menuntut penguasaan teori, bukan penerapan untuk pemecahan masalah.

Hasil kajian beberapa artikel menunjukkan bahwa teknologi RV 3D dapat dijadikan alat belajar yang efektif untuk mencapai tujuan dan kompetensi pembelajaran akademik yang mencakup aspek psikologi, sosiologi dan fisiologi. Dengan demikian, pengembangan media pembelajaran yang berbasis realitas virtual (virtual reality/VR) diharapkan dapat secara efektif dan efisien mengatasi kesulitan belajar khususnya dalam hal menjadikan mahasiswa mampu mengkonstruktivis pengetahuannya, mampu berpikir kritis, inovatif, meningkatkan motivasi belajar kelompok maupun individu, mampu mengembangkan kepribadian positif dan kemampuan interaksi sosial serta meningkatkan kualitas proses pembelajaran, baik bagi pengajar maupun bagi mahasiswa sendiri.

J. Daftar Pustaka

Ali Maharus (2013). Mengatasi Kesulitan Belajar Melalui Klinik Pembelajaran. Konseling Religi: Jurnal Bimbingan Konseling Islam. Volume 4, No.2

Anne Helene Olivier dkk (2014). A Virtual Reality platform to study crowd behaviors. The Conference on Pedestrian and Evacuation Dynamics 2014 (PED2014). Transportation Research Procedia 2 (2014) 114 – 122at www.sciencedirect.com

(14)

Baharuddin (2012). Pengembangan Sumber Belajar Berbasis Multimedia Interaktif Pada Mata Diklat Pemasangan Memasang Instalasi Penerangan Listrik. Jurnal teknologi pendidikan vol.5 no 2, oktober 2012, ISSN: 1979-6692, hal. 219-227 source:

http://digilib.unimed.ac.id/pengembangan-sumber-belajar-berbasis-multimedia-interaktif-pada-mata-diklat-memasang-instalasi-penerangan-listrik-25769.html

Basleman dan Mappa (2012). Teori Belajar Orang Dewasa. PT Remaja Rosdakarya, Bandung.

Hsiu-Mei Huang dkk (2010). Investigating learners’ attitudes toward virtual reality learning environments: Based on a constructivist approach. Computers & Education 55 (2010) 1171–1182

Hamzah B Uno. (2012). Orientasi Baru Dalam Psikologi Pembelajaran. Bumi Aksara, Jakarta.

Hamdanah Said. (2014). Pengembangan Model Pembelajaran Virtual Untuk Meningkatkan Efektivitas Pembelajaran Pada Madrasah Negeri Di Kota Pare-pare. Lentera Pendidikan. Jurnal Ilmu Tarbiyah dan Keguruan. ISSN : 1412-4491. http//:journal.uin-alauddin.ac.id

Inés González dan Zarco (2014). Using learning methodologies and resources in the development of critical thinking competency: An exploratory study in a virtual learning environment. Computers in Human Behavior xxx (2014) xxx–xxx.

Javier Fombona Cadaviecoa dkk (2012). Using Augmented Reality and m-learning to optimize students performance in Higher Education. Procedia - Social and Behavioral Sciences 46 ( 2012 ) 2970 – 2977. Available online at www.sciencedirect.com

J.L. Tan dkk (2016). Learning efficacy and user acceptance of a game-based social skills learning environment. PII: S2212-8689(16)30067-8 DOI: http://dx.doi.org/10.1016/j.ijcci.2016.09.001

Julian Cheng Chiang Chen (2016). The crossroads of English language learners, task-based instruction, and 3D multiuser virtual learning in Second Life. Computers & Education S0360-1315(16)30147-6. DOI: 10.1016/j.compedu.2016.08.004 Lies Sudibyo, Peranan dan Dampak Teknologi Dalam Dunia Pendidikan Di Indonesia.

Widyatama No 2/Volume 2/2011

Lucia Vera dkk. (2007). Computer graphics applications in the education process of people with learning difficulties. scienceDirect. Computers and & Graphics 31 (2007) 648-658

Mehmet Firat (2010). Learning in 3D virtual worlds and current situation in Turkey. Procedia Social and Behavioral Sciences 9 (2010) 249–254. Available online at www.sciencedirect.com

Michael Chau dkk (2013). Using 3D virtual environments to facilitate students in constructivist learning. Decision Support Systems 56 (2013) 115–121. www.sciencedirect.com

Muijs & Reynolds (2008). Effective Teaching Teori dan Aplikasi Edisi Kedua. Penerbit Pustaka Pelajar, Yogyakarta.

(15)

M Firman Karim (2013). Pembelajaran Entreupreneurship Melalui Online Berdasarkan Connectivism. Prosiding Seminar > Seminar Nasional FISIP-UT 2013. http://repository.ut.ac.id/2308/

M Abdurrahman (2012). Anak Berkesulitan Belajar. Teori, Diagnosis, dan Remediasinya. Rineka Cipta, Jakarta.

M. Dalyono (2012). Psikologi Pendidikan. Rineka Cipta, Jakarta

Michael Chau dkk (2013). Using 3D virtual environments to facilitate students in constructivist learning. Decision Support Systems 56 (2013) 115–121, Elsevier journal

Passig D dkk (2016). Improving children's cognitive modifiability by dynamic assessment in 3D Immersive Virtual Reality environments, Computers & Education (2016), doi:10.1016/j.compedu.2016.01.009

Pattanasith dkk (2015). The development model of learning though virtual learning environments (VLEs) for graduated students, department of educational technology, faculty of education, Kasetsart University. Procedia - Social and Behavioral Sciences 176 ( 2015 ) 60 – 64. Available online at www.sciencedirect.com

Putu Sudira (2011). Pendidikan Vokasi dan Pengembangan Bakat. http://staff.uny.ac.id/sites/default/files/131655274/PENDIDIKAN%20VOKASI %20MENGEMBANGKAN%20BAKAT.pdf

Putu Sudira, M.P. (2011). Kurikulum dan Pembelajaran Pendidikan dan Pelatihan Vokasi Menyongsong Skill Masa Depan. Makalah Pengembangan Kurikulum Politeknik Negeri Bali, Oktober 2011.

Putu Sudira, M.P. (2011). Pendidikan Vokasi dan Pengembangan Bakat. http://staff.uny.ac.id/sites/default/files/131655274/PENDIDIKAN%20VOKASI %20MENGEMBANGKAN%20BAKAT.pdf

Pustekkom depdiknas. Realitas Virtual: Suatu Bahasa Baru Untuk Pembelajaran. http://physicsmaster.orgfree.com/ArtikelIlmiah2016

Rusman dkk (2013). Pembelajaran Berbasis Teknologi Informasi dan Komunikasi. PT Rajagrafindo Persada, Jakarta.

Sugiyono (2014). Cara Mudah Menyusun Skripsi, Tesis, dan Disertasi. Alfabeta Bandung.

S. Tretsiakova-McNally dkk, 2016. Mixed E-Learning and virtual reality pedagogical approach for innovative hydrogen safety training of first responders. International Journal of Hydrogen Energy xxx (2016) 2-9, http://dx.doi.org/10.1016/j.ijhydence.2016.03.175 .

Tien-Chi Huang dkk (2016).Animating eco-education: To see, feel, and discover in an augmented reality-based experiential learning environment. Computers & Education 96 (2016) 72e82.www.elsevier.com/locate/compedu

Tretsiakova McNally dkk. (2016). Mixed e-learning and virtual reality pedagogical approach for innovative hydrogen safety training of first responders ScienceDirect. I n t e rna t i o n a l journa l o f hydrogen energy xxx (2 0 1 6 ) 1-9.

(16)

Zahira Merchant dkk (2014). Effectiveness of virtual reality-based instruction on students’ learning outcomes in K-12 and higher education: A meta-analysis. Computers & Education 70 (2014) 29–40

Referensi

Dokumen terkait

Metodologi yang digunakan menerapkan teknik terbaru dalam pembuatan program sehingga diharapkan dapat lebih baik dalam menganalisis kebijaksanaan, mengkaji dampak lingkungan dan

Diantaranya dari rancangan tahap compress file zip untuk prototyping sistem operasi sama halnya dengan compress file system , lau tahap persiapan dan memasuki

memberi pelayanan kesehatan yang aman, bermutu, antidiskriminasi, dan efektif dengan mengutamakan kepentingan pasien sesuai dengan standar pelayanan Puskesmas;.. memberikan

Dengan membuat short movie yang mengangkat fenomena orang tua yang selalu marah kepada anaknya yang mendapat nilai ulangan yang tidak bagus, diharapkan orang tua

Dengan menggunakan metode FMEA maka dapat diperoleh dan dipilih 3 faktor penyebab cacat yang memiliki nilai RPN terbesar dari setiap cacat dominan, sehingga dapat

Perbedaan antara penelitian kedua dengan penelitian yang akan dilakukan adalah pada penelitian kedua lebih di fokuskan pada tindakan monopoli yang mengganggu

MAKMAL NO. AMALI PENYELARAS/ PENGAJAR BIL. KOD PROGRAM/ MAJOR/ KLASIFIKASI/ KUOTA BIL. ) JURIDAH BINTI MD RASHID ( PUAN ) JURIDAH BINTI MD RASHID ( PUAN ) JURIDAH BINTI MD RASHID (

Prota disusun oleh guru kelas dengan menjabarkan alokasi waktu untuk merancang dan memanajemen waktu berdasarkan kalender pendidikan yang telah disesuaikan oleh sekolah sehingga