• Tidak ada hasil yang ditemukan

SRI BADUGA MAHARAJA ( ) Tokoh Sejarah yang Memitos dan Melegenda

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "SRI BADUGA MAHARAJA ( ) Tokoh Sejarah yang Memitos dan Melegenda"

Copied!
18
0
0

Teks penuh

(1)

SRI BADUGA MAHARAJA (1482-1521)

Tokoh Sejarah yang Memitos dan Melegenda

MAKALAH

Disampaikan dalam seminar

“Sri Baduga dalam Sejarah, Filologi, dan Sastra Lisan”

Diselenggarakan oleh Balai Pengelolaan Museum Negeri Sri Baduga 31 Oktober 2012 di Hotel Baltika, Jl. Gatot Subroto, Bandung

oleh:

Mumuh Muhsin Z.

JURUSAN SEJARAH FAKULTAS SASTRA

UNIVERSITAS PADJADJARAN

JATINANGOR

2012

(2)

2

SRI BADUGA MAHARAJA (1482-1521)

Tokoh Sejarah yang Memitos dan Melegenda1

oleh

Mumuh Muhsin Z.2

ABSTRAK

Sri Baduga Maharaja merupakan raja terbesar dan terakhir Kerajaan Sunda Pakuan Pajajaran. Dikatakan demikian karena raja-raja penggantinya merupakan raja-raja “kecil” dan “menghantarkan” kerajaan besar ini menuju pada keruntuhannya. Raja yang kemudian dikenal dengan nama Prabu Siliwangi ini, karena kebesarannya, sangat melegenda dan dimitoskan oleh sebagian masyarakat Sunda, bahkan hingga saat ini.

I. Pengantar

“Dalam rangka menelusuri bukti keberadaan tokoh Sri Baduga Maharaja dan Kerajaan Sunda/Pajajaran, Balai Pengelolaan Museum Negeri Sri Baduga akan mengadakan seminar berjudul ‘Sri Baduga dalam Sejarah, Filologi, dan Sastra Lisan’…”. Ini adalah kalimat pertama dari surat Kepala Balai Pengelolaan Museum Sri Baduga kepada para narasumber seminar. Kalimat ini secara implisit mengisyaratkan setidaknya dua hal. Pertama, munculnya dugaan masih ada orang (Ki Sunda) yang tidak percaya bahwa Sri Baduga dan Kerajaan Sunda/Pajajaran itu adalah sejarah (pernah ada dalam dunia nyata, aya dikieuna). Dengan seminar ini diharapkan, setelah ditunjukkan bukti keberadaannya (melalui sumber, data, fakta) orang yang semula tidak tidak percaya berubah menjadi percaya. Kedua, masih ada orang (Ki Sunda) yang ragu akan keberadaan Sri Baduga dan Kerajaan

1

Makalah disampaikan dalam seminar “Sri Baduga dalam Sejarah, Filologi, dan Sastra Lisan”; diselenggarakanoleh Balai Pengelolaan Museum Negeri Sri Baduga, 31 Oktober 2012 di Hotel Baltika, Jl. Gatot Subroto, Bandung.

2

(3)

3

Sunda/Pajajaran sebagai kenyataan sejarah. Melalui seminar ini diharapkan terjadi perubahan dari ragu menjadi yakin. Selebihnya, ada orang yang menganggap bahwa keberadaan Sri Baduga dan Kerajaan Sunda/Pajajaran sudah tamat dan tuntas, tidak perlu dibincangkan lagi. Kalaupun masih ada diskusi, bukan mendiskusikan ada atau tidak adanya, tapi “adanya seperti apa”. Tentu saja merekonstruksi sejarah Kerajaan Sunda dan Sejarah Sri Baduga secara komprehensif merupakan pekerjaan yang besar dan sangat serius; bahkan, bisa jadi, terlalu ambisius mengingat kurangnya sumber yang handal dan lengkap.

Berkait dengan dua issue ini (keberadaan Sri Baduga dan Kerajaan Sunda/Pajajaran) sebaiknya kita merujuk pada dalil: “ada sumber ada sejarah, tidak ada sumber tidak ada sejarah”. Pernyataan yang aksiomatik ini hampir tak terbantahkan lagi kebenarannya. Sekarang pertanyaannya adalah adakah sumber (sources, facts) yang menunjukkan eksistensi Sri Baduga dan Kerajaan Sunda/Pajajaran? Dalam makalah ini akan dibahas terlebih dahulu mengenai Kerajaan Sunda/Pajajaran, kemudian Sri Baduga.

Sumber yang berkaitan dengan Kerajaan Sunda/Pajajaran dan Sri Baduga ini bukan sekedar ada, tapi banyak. Oleh karena itu secara awal dapat dikatakan bahwa eksistensi Kerajaan Sunda/Pajajaran dan Sri Baduga tidak perlu diragukan. Kalau pun ada yang perlu didiskusikan, bukan lagi persoalan “apakah Kerajaan Sunda/Pajajaran dan Sri Baduga pernah ada atau tidak” dan “adakah bukti historis mengenai keberadaannya”, karena persoalan ini sudah sangat jelas dan sudah menjadi fakta keras (hard-fact). Akan tapi yang masih menarik didiskusikan adalah mengenai persoalan-persoalan lain seperti mana yang lebih tepat di antara tiga nama yang disebut dalam sumber: Pakuan Pajajaran, Pakuan, atau Pajajaran; apakah Pakuan Pajajaran itu nama keraton, nama (ibu) kota, atau nama kerajaan; siapa pendiri keraton Pakuan Pajajaran, tahun berapa kerajaan itu didirikan, di mana letaknya, dan sebagainya. Demikian juga dengan Sri Baduga; bagaimana kehidupan keluarganya, bagaimana perjalanan karir politiknya, kepercayaan (agama) apa yang dianutnya, dan sebagainya.

(4)

4 II. Pakuan Pajajaran

2.1 Nama Pakuan Pajajaran

Mengenai nama dan keberadaan “Pakuan Pajajaran” terdapat pada sejumlah sumber. Sumber-sumber yang memuat nama Pakuan Pajajaran bisa dikategorikan otentik, orisinal, dan sezaman. Sumber tersebut tidak kurang dari enam buah, terdiri atas lima lembar berupa prasasti tembaga (dari Desa Kebantenan, Bekasi, dikumpulkan oleh Raden Saleh)3 dan prasasti batu yang ada di lingkungan Batutulis. Prasasti tembaga Kebantenan yang lima itu memuat tiga hal, dua lembar berupa piteket4 dan tiga lembar berupa sakakala5 (Danasasmita, 2003: 44 - 45).

Bunyi sumber-sumber itu sebagai berikut:6

Piteket I:

“Pun, ini piteket nu séba ka Pajajaran”. Piteket II:

“Pun, ini piteket Sri Baduga Maharaja Ratu Haji di Pakuan Sri Sang Ratu

Déwata”.

Sakakala:

“Ong awignam astu, nihan sakakala Rahyang Niskala Wastu Kancana, maka

nguni ka Susuhunan di Pakuan Pajajaran pun”.

Prasasti Batutulis:

“Wangna pun, ini sakakala, Prebu Ratu purané pun, diwastu diya wingaran

Prebu Guru Déwataprana diwastu diya dingaran Sri Baduga Maharaja Ratu Haji di Pakwan Pajajaran Sri Sang Ratu Déwata pun ya nu nyusuk na

Pakwan …”.

3

Prasasti Kebantenan dibuat pada zaman Sri Baduga, tentu atas perintah Sri Baduga karena semuanya berupa piagam resmi.

4

Piteket berupa piagam langsung dari raja.

5

Sakakala berisi pengukuhan jasa atau aturan dari raja yang sudah wafat.

6

Semua kutipan naskah dan isi prasasti dalam makalah ini bersumber dari Saleh Danasamita (2003).

(5)

5

(Ini tanda peringatan, Prabu Ratu almarhum, dilantik beliau memakai nama Prabu Guru Dewataprana, dilantik (lagi) dengan nama Sri Baduga Maharaja Ratu Aji di Pakuan Pajajaran Sri Sang Ratu Dewata).

Sumber-sumber lain yang mejadi petunjuk keberadaan Pakuan Pajajaran adalah:

1) Carita Parahiyangan:

“Sang Susuktunggal, inyana nu nyieunna palangka sriman sriwacana Sri

Baduga Maharajadiraja Ratu Haji di Pakwan Pajajaran, nu mikadatwan Sri Bima (P) unta (Na) rajana Madura Suradipati, inyana pakwan Sanghiyang Sri Ratudéwata” (CP hal. 30 recto).

(Sang Susuktunggal, yaitu yang membuat tempat duduk bagi yang masyhur keindahan gelarnya Sri Baduga Maharaja Ratu Haji di Pakuan Pajajaran, yang tinggal di kedaton Sri Bima Punta Narayana Madura Suradipati, yaitu

pakuan Sanghiyang Sri Ratudéwata). (Danasamita, 2003: …; cf. Danasamita,

2006: 31).

2) Koropak 406 atau Fragmen Carita Parahiyangan:

“Datang ka Pakwan mangadeg di kadatwan Sri Bima Punta Narayana

Madura Suradipati. Anggeus ta pahi dieusian urut Sripara Pasela Parahiyangan ku Rakéyan Darmasiksa. Ti inya dibeukah kabwatan. Kacarita Rakéyan Darmasiksa heubeul siya ngadeg ratu di Pakwan saratus sapuluh taun. Heubeul siya adeg ratu di Pakwan Pajajaran pun. Telas sinurat bwana kapedem”.

(Tiba di Pakuan Ilalu bertahta ddi keraton Sri Bima Punta Narayana Madura Suradipati. Selesailah semua diisi bekas para leluhur penyelang oleh Rakéyan Darmasiksa. Kemudian diperluas sampai selesai. Diceritakan Rakéyan Darmasiksa lamanya berkuasa sebagau ratu di Pakuan 110 tahun. Beliau berkuasa lama sebagai ratu di Pakuan Pajajaran. Selesai ditulis pada tahun 30) (Danasamita, 2003: …; cf. Danasamita, 2006: 30 – 31 dan 61 – 62).

3) Naskah lontar MSA. Naskah lontar (sebetulnya nipah) ditemukan di

Kabuyutan Ciburuy oleh Brandes. Naskah ini disebut juga Naskah MSA. Pembukaan pada naskah ini berbunyi:

“Awignamastu. Nihan tembey sasakala Rahyang Banga masa siya nyusuk na Pakwan”.

(Semoga selamat. Begini permulaannya peringatan Rahiyang Banga waktu beliau nyusuk Pakwan).

(6)

6

“Sang Haliwungngan, inya Sang Susuktunggal nu munar na Pakuan”. (Sang Haliwungan, yaitu Sang Susuktunggal yang ngabaru di Pakuan).

5) Naskah 406:

“Di inya urut kadatwan. Ku bujangga Sédamanah ngaran Sri Kadatwan Bima Punta Narayana Madura Suradipati. Anggeus ta tuluy diprebokta ku

Maharaja Tarusbawa jeung bujangga Sédamanah. Disiar ka hulu Cipakancilan. Katimu Bagawat Sunda Majayajati ku bujangga Sédamanah, dibaan ka hareupeun Maharaja Tarusbawa”. (Danasamita, 2003: …; cf. Danasamita, 2006: 31).

(Di sana bekas keraton. Oleh bujangga Sédamanah diberi nama Sri Kadatwan Bima Punta Narayana Madura Suradipati. Selesai [dibangun] diberi berkah oleh Maharaja Tarusbawa dan bujangga Sédamanah. Dicari ke hulu Cipakancilan. Ketemu Bagawat Sunda Majayajati oleh bujangga Sédamanah, dibawa ke hadapan Maharaja Tarusbawa).

6) Prasati Kebantenan I:

“Pun ini piteket Sri Baduga Maharaja Ratu Haji di Pakuan Sri Sang

Ratudéwata”.

7) Prasasti Kabantenan II:

“Pun ini piteket Sri Baduga Maharaja Ratu Haji di Pakuan Sri Sang Ratudéwata”.

8) Piagem Kabantenan V:

“Pun, ini piketet nu seba ka Pajajaran, miteketan kabuyutan di Sunda

Sembawa .

9) Prasasti Kebantenan I – III:

“Ong Awignamastu nihan sakakala ra Rahyang Niskala Wastu Kancana,

maka nguni ka Susuhunan ayeuna di Pakuan Pajajaran”.

Dari sumber-sumber di atas ada tiga nama yang digunakan: Pakuan, Pajajaran, dan Pakuan Pajajaran. Ketiga nama itu menunjuk pada maksud yang

(7)

7

sama untuk identitas yang sama pula. Dengan demikian, Pakuan/Pajajaran/Pakuan Pajajaran sebagai nama diri atau nama identitas eksistensinya dapat dipertanggungjawabkan secara historis.

2.2 Kerajaan Pakuan Pajajaran

Dalam sumber-sumber di atas, memang, tidak ada yang secara eksplisit menyebutkan bahwa Pakuan/Pajajaran/Pakuan Pajajaran sebagai nama kerajaan. Bukti-bukti sejarah yang ada, hampir bisa dipastikan, semuanya menunjuk pada nama pusat kerajaan atau ibu kota.7 Kerajaannya sendiri dikenal dengan nama Kerajaan Sunda. Nama inilah yang digunakan terutama oleh “orang luar” ketika menyebut kerajaan yang ada di Tatar Sunda.

Namun demikian, harus diakui bahwa tidak jarang nama kerajaan lebih dikenal melalui nama ibu kotanya. Dalam hal ini, istilah “Kerajaan Pajajaran” berarti “Kerajaan Sunda yang ibu kotanya bernama Pajajaran”. Bahwa nama keraton kemudian meluas menjadi nama ibu kota dan nama kerajaan adalah hal yang biasa. Sebagai contoh, dalam prasasti Putih di Lampung, Kesultanan Banten dinamakan ‘Nagara Surasowan”, padahal Surasowan itu nama keraton Banten. Saunggalah adalah nama keraton, tapi kemudian menjadi nama kota. Yogyakarta pun sebenarnya nama keraton, Ngayogyakarta Hadiningrat, tapi kemudian jadi populer sebagai nama kesultanan/kerajaan (Danasasmita, 1975: 59). Dengan demikian, melalui konstruksi bernalar seperti itu Kerajaan Pajajaran sebagai sebuah eksistensi bisa diakui keberadaannya secara historis.

Tentang asal-usul dan arti kata Pakuan Pajajaran sendiri terdapat banyak pendapat (Sumadio, 1974: 383), yaitu:

7

Pajajaran sebagai nama kerajaan ditemukan terutama dalam naskah-naskah yang bernilai sastra, termasuk carita pantun. Dalam carita pantun bahkan disebutkan Pajajaran terbagi tiga wilayah: Pajajaran Timur, Pajajaran Tengah, dan Pajajaran Barat (Sumadio, 1974: 376).

(8)

8

1) Menghubungkan kata pakwan dengan paku (sejenis pohon, cycas circinalis),

sedangkan kata pajajaran diartikan sebagai tempat yang berjajar. Pakuan pajajaran diartikan sebagai tempat dengan pohon paku yang berjajar.

2) Menghubungkan kata pakwan dengan kata kuwu. Dengan menunjukkan bukti

bahwa sebutan pakuwan dan kuwu terdapat dalam Nagarakertagama.

3) Kata pakwan berasal dari kata paku (pasak). Kata paku dapat dihubungkan dengan lingga kerajaan yang terletak di samping prasasti Batutulis. Paku (lingga) berarti pusat atau poros dunia serta sangat erat hubungannya dengan kedudukan raja sebagai pusat jagat.

Ketiga pendapat di atas dibantah oleh Saleh Danasasmita (2003: 18-19).

Dengan berdasar pada Carita Parahiyangan8 dan Koropak 406 yang disebut juga

Fragmen Carita Parahiyangan9, beliau bersimpulan bahwa Pakuan Pajajaran berarti “keraton yang berjajar”. Dikatakan “berjajar” karena jumlah bangunan keratonnya ada lima yang masing-masing diberi nama: Bima, Punta, Narayana, Madura, dan Suradipati.

Kerajaan Sunda merupakan kerajaan yang berbentuk “federal” yang membawahi kerajaan-kerajaan kecil yang dipimpin oleh raja-raja “kecil”. Di antaranya adalah Sangiang, Saunggalah, Sindangkasih, Banten, Cirebon, Galuh, Kawali, dan Pakuan. Hanya tiga kerajaan yang disebut terakhir inilah yang pernah menjadi pusat atau ibu kota Kerajaan Sunda. Pusat atau ibu kota Kerajaan Sunda memang berpindah-pindah.

Mengenai kerjaan Pakuan Pajajaran sendiri sudah berdiri sejak awal abad ke-8. Pendirinya adalah Maharaja Tarusbawa (identik dengan nama Tohaan di Sunda)10. Keterangan ini didasarkan pada sejumlah sumber, yaitu Koropak 406, Carita Parahiyangan, Pransasti Canggal, dan naskal lontar MSA.

8

Sang Susuktunggal, inyana nu nyieunna palangka sriman sriwacana Sri Baduga Maharajadiraja Ratu Haji di Pakwan Pajajaran, nu mikadatwan Sri Bima (P) unta (Na) rajana Madura Suradipati, inyana pakwan Sanghiyang Sri Ratudéwata

9

Datang ka Pakwan mangadeg di kadatwan Sri Bima Punta Narayana Madura Suradipati. Anggeus ta pahi dieusian urut Sripara Pasela Parahiyangan ku Rakéyan Darmasiksa. Ti inya dibeukah kabwatan. Kacarita Rakéyan Darmasiksa heubeul siya ngadeg ratu di Pakwan saratus sapuluh taun. Heubeul siya adeg ratu di Pakwan Pajajaran pun. Telas sinurat bwana kapedem.

10

Tarusbawa diganti oleh mantunya bernama Maharaja Harisdarma (identik dengan Sanjaya). Harisdarma diganti oleh puteranya bernama Tamperan. Tamperan diganti oleh anaknya bernama

(9)

9 III. Sri Baduga Maharaja

3.1 Kehidupan dan Karir Politik

Sri Baduga Maharaja sebagai tokoh sejarah banyak disebutkan dalam beragam sumber, mulai dari sumber lisan, tulisan, hingga terpateri dalam prasasti. Dengan demikian, keberadaan Sri Baduga sebagai tokoh sejarah tidak perlu diragukan lagi. Bahkan keberadaan beliau di pangung sejarah kehidupan tidak sekedar “ada“ tapi merupakan sosok yang pinunjul, primus inter pares, raja terbesar di antara raja-raja Kerajaan Sunda Pakuan Pajajaran. Prestasi beliau dalam berbagai bidang disebutkan dalam banyak naskah dan kajian-kajian kontemporer. Salah satu di antara kajian kontemporer mengenai kepemimpinannya dilakukan oleh Prof. Edi S. Ekadjati (2005: 83-242) dan Saleh Danasasmita (2003). Malahan, Prof. Edi S. Ekadjati memberi judul babnya “Prabu Siliwangi: Pahlawan Kebudayaan Sunda“. Prabu Siliwangi adalah nama julukan untuk Sri Baduga Maharaja. Karena kebesaran dan prestasinya, tidak heran jika ketokohan Sri Baduga demikian melegenda dan banyak dimitoskan.

Sebelum nama Sri Baduga Maharaja dilekatkan pada raja Kerajaan Sunda Pakuan Pajajaran, beliau memiliki beberapa nama: Prabu Jayadewata, Ratudewata, dan Prebu Guru Dewataprana. Nama Sri Baduga Maharaja diberikan ketika beliau dilantik jadi Raja Agung Kerajaan Sunda Pakuan Pajajaran. Nama lengkap beliau adalah Sri Baduga Maharaja Ratu Aji di Pakwan Pajajaran Sri Sang Ratu Dewata. Hal tersebut diabadikan pada Prasasti Batu Tulis:

“Ini sasakala. Prebu Ratu purane pun diwastu diya wi ngaran Prebu Guru Dewataprana diwastu diya di ngaran Sri Baduga Maharaja Ratu Aji di Pakwan Pajajaran Sri Sang Ratu Dewata”.

Rahiyang Banga (Danasasmita, 2003: 23). Sanjaya bisa dipastikan berkuasa pada abad ke-8, karena beliau membuat Prasasti Canggal pada tahun 732 Masehi. Bila pada zaman Sanjaya Pakuan Pajajaran sudah ada maka dapat dipastikan Pakuan Pajajaran sudah ada setidaknya pada awal abad ke-8.

(10)

10

(Ini tanda peringatan, Prabu Ratu almarhum, beliau dilantik menggunakan nama Prabu Guru Dewataprana, dilantik lagi dengan nama Sri Baduga Maharaja Ratu Aji di Pakwan Pajajaran Sri Sang Ratu Dewata”).

Sri Baduga Maharaja sejak kecil ada dalam asuhan Niskala Wastu Kancana. Sri Baduga kemudian dibesarkan oleh kakeknya yang bernama Niskala Wastu Kancana ketika beliau menjadi raja Kerajaan Sunda yang memerintah selama 104 tahun, dari tahun 1371 sampai 1475. Keratonnya dikenal dengan sebutan Karaton Surawisesa yang terletak di pusat kerajaan yaitu Kawali. Kerajaan Sunda membawahi sejumlah kerajaan kecil di daerah-daerah, beberapa di antaranya adalah Kerajaan Sindangkasih (Majalengka), Kerajaan Saunggalah (Kuningan), Kerajaan Japura, Kerajaan Singapura (Cirebon), Kerajaan Pakuan (Bogor).

Muncul pertanyaan, apakah Niskala Wastu Kancana itu ayahya Sri Baduga? Kalau bukan, siapa ayahnya dan mengapa Sri Baduga tidak diasuh dan dibesarkan oleh ayahnya? Mengapa juga ayahnya tidak populer di antara jajaran daftar raja-raja Kerajaan Sunda?

Jawaban atas pertanyaan-pertanyaan itu demikian. Niskala Wastu Kancana memang bukan ayah Sri Baduga. Niskala Wastu Kancana adalah kakeknya. Ayah Sri Baduga sendiri bernama Dewa Niskala/Ningrat Kancana/Jayaningrat/Tohaan di Galuh. Beliau menjadi raja Kerajaan Sunda selama 7 tahun, dari 1475 sampai 1482. Pusat kerajaannya berada di Galuh. Dewa Niskala memang kurang populer dikarenakan beliau mendapat “sanksi adat“, karena “keuna ku kalawisaya“ (ngalakukeun gawe hianat) berupa menikahi istri larangan. Itulah sebabnya pengasuhan Sri Baduga diambil alih oleh kakeknya. Kebesaran Sri Baduga pada masa-masa selanjutnya adalah berkat asuhan dan didikan kakeknya, bahkan dalam beberapa hal, dalam menjalankan pemerintahannya, meniru kakeknya.

Karir politik Sri Baduga Maharaja diawali sebagai ratu di kerajaan-kerajaan kecil itu. Di antaranya Sri Baduga Maharaja pernah jadi ratu di Kerajaan Sindangkasih dan di Kerajaan Pakuan. Ketika berkuasa di Sindangkasih, Sri Baduga Maharaja menikah dengan Ambetkasih. Dari istri yang ini, Sri Baduga

(11)

11

Maharaja tidak diceritakan memiliki anak. Kemudian pada tahun 1422 Sri Baduga Maharaja menikah lagi dengan Subanglarang di Kerajaan Singapura.

Dari pernikahan dengan Subanglarang, Sri Baduga Maharaja dikaruniai tiga orang anak, yaitu Walangsungsang (lahir 1423), Larasantang (lahir 1426), jeung Rajasangara (lahir 1428). Walangsungsang dan Larasantang lahir di Singapura, sedangkan Rajasangara lahir di Pakuan.

Kepindahan Sri Baduga Maharaja ke Pakuan terjadi kira-kira tahun 1427. Di Pakuan Sri Baduga Maharaja diangkat sebagai ratu – mewarisi tahta dari uwa-nya, Susuktunggal – selama 55 tahun (1427—1482). Selanjutuwa-nya, dari tahun 1482 sampai 1521 Sri Baduga Maharaja menjadi maharaja Kerajaan Sunda. Pada saat Sri Baduga Maharaja inilah pusat kerajaan pindah dari Kawali (Ciamis) ke Pakuan Pajajaran (Bogor). Oleh karena itu, sejak itulah nama kerajaan dikenal dengan sebutan Kerajaan Sunda Pakuan Pajajaran. Di Pakuan Sri Baduga Maharaja punya istri lagi bernama Kentring Manik. Ia adalah anak Susuktunggal,

uwa-nya yang pernah jadi ratu Pakuan. Dari perkawinan ini Sri Baduga Maharaja

dikaruniai anak bernama Surawisesa.11

Berdasarkan sumber tradisional (cerita rakyat, cerita lisan) disebutkan istri Sri Baduga itu berjumlah saratus lima puluh punjul hiji. Akan tetapi yang terkenal dalam sejarah setidaknya disebut tiga saja, yaitu Ambetkasih (puteri raja Sindangkasih), Subanglarang (puteri raja Singapura, Ki Gedeng Tapa/Ki Jumanjan Jati), dan Kentring Manik (puteri Susuktunggal, ratu kerajaan Pakuan, pamannya Sri Baduga).

Hal yang kontroversial tentang Sri Baduga adalah wafatnya, kapan dan di mana kuburannya. Yang diketahui dengan jelas, wafatnya Sri Baduga adalah tahun 1521. Mengenai tanggal dan bulannya tidak ada catatannya. Adapun mengenai kuburannya banyak pihak yang mengklaim sehingga makamnya tersebar di banyak daerah di Tatar Sunda.

Untuk mengakomodasi kontroversi ini, sebagian pakar menggunakan dua istilah yang berbeda maknanya: makam dan kuburan. Makam mengacu pada

11

Dalam babad dikenal dengan sebutan Guru Gantangan; dalam sumber Portogis disebut Ratu Samiam, dalam cerita pantun disebut Munding Laya;, dan dalam Naskah Carita Parahiyangan disebut Surawisesa (Danasasmita, 2003: 108)..

(12)

12

pemahaman “tilem“, pernah menginjakkan kaki di sebuah daerah tertentu, atau meninggalkan benda pusaka di suatu daerah tertentu. Dengan pengertian seperti ini bisa dipahami bila “makam“ Sri Baduga itu banyak karena tempat yang pernah disinggahinya banyak. Adapun kuburan mengacu pada pengertian tempat jasad dikuburkan.

Oleh karena itu, kuburan Sri Baduga “harus“ satu, tidak bisa lebih. Dalam

Carita Parahiyangan disebutkan bahwa Sri Baduga (Prabu Siliwangi) dikuburkan di Rancamaya, Bogor. Dalam naskah itu dituturkan Sri Baduga sebagai Sang

mwakta ring Rancamaya (nu sumare di Rancamaya) (Danasasmita, 2003: 61-62).

3.2 Sri Baduga Maharaja Dijuluki Prabu Siliwangi

Saya beranggapan bahwa orang bersepakat (bulat) akan keberadaan Sri Baduga Maharaja sebagai tokoh sejarah. Berbeda halnya terhadap Prabu Siliwangi. Masih ada orang yang beranggapan bahwa Prabu Siliwangi adalah tokoh mitos. Bila saja orang bersepakat dengan penafsiran Saleh Danasasmita, misalnya, yang menyatakan bahwa julukan Prabu Siliwangi hanya mengacu pada satu tokoh, yaitu Sri Baduga Maharaja, kontroversi itu tidak akan ada.

Hal yang lebih menarik didiskusikan adalah mengapa Sri Baduga dijuluki Prabu Siliwangi? Mengapa juga tokoh Prabu Siliwangi ini demikian populer, bahkan banyak dimitoskan?

Siliwangi berasal dari kata asilih wewangi yang berarti ganti nama atau

ganti ngaran. Dalam bahasa Sunda (kuna), nama (ngaran) sering disebut juga

wawangi. Istilah wawangi hanya digunakan untuk seorang tokoh terkenal dan punya nama harum. Secara historis Prabu Jayadewata memang berganti nama (asilih wewangi, silihwangi, siliwangi). Pergantian nama ini terjadi ketika pelantikan yang kedua kalinya. Semula bernama Prebu Guru Dewataprana, ketika dilantik jadi Raja Agung Kerajaan Sunda Pakuan Pajajaran diganti lagi menjadi Sri Baduga Maharaja Ratu Aji di Pakwan Pajajaran Sri Sang Ratu Dewata. Pergantian nama ini diabadikan ada Prasasti Batu Tulis yang berbunyi:

(13)

13

“Ini sasakala. Prebu Ratu purane pun diwastu diya wi ngaran Prebu Guru Dewataprana diwastu diya di ngaran Sri Baduga Maharaja Ratu Aji di Pakwan Pajajaran Sri Sang Ratu Dewata”.

Keterangan Babad Siliwangi yang menyebutkan nama siliwangi berarti

asilih wewangi (mengganti nama) cocok dengan keterangan yang ada pada Prasasti Batutulis. Atas dasar alasan ganti nama atau ganti gelar itulah, Sri Baduga Maharaja menjadi terkenal dengan julukan Siliwangi (Danasasmita, 2003: 67).

Mengapa nama Sri Baduga atau nama Prabu Siliwangi demikian terkenal jauh melebihi nama-nama raja Kerajaan Sunda lainnya. Terkesan seolah-olah raja Sunda itu identik dengan Sri Baduga atau Prabu Siliwangi? Kenyataan ini bisa dipahami sebab raja Kerajaan Sunda Pakuan Pajajaran yang paling lama memerintah dan paling berhasil adalah Sri Baduga Maharaja. Raja-raja sesudahnya sangat menurun kualitasnya. Misalnya saja, setelah Sri Baduga meninggal, kedudukannya sebagai raja digantikan oleh anaknya, Surawisesa. Pada masa ia memerintah selama 14 tahun (1521 – 1535), tidak kurang dari 15 kali peperangan terjadi. Raja-raja setelah Surawisesa makin melorot lagi kualitasnya. Selanjunya kerajaan makin melemah karena perang hampir setengah abad terjadi, hingga akhirnya Kerajaan Sunda runtag pada masa Kerajaan Sunda dipimpin oleh Nursiya Mulya (1567-1579).

Sejak masa Surawisesa, Sri Baduga Maharaja atau Prabu Siliwangi sudah dipuji-puji jasa dan kebesarannya. Oleh generasi yang kemudian pujian kepada Sri Baduga atau Prabu Siliwangi makin besar bahkan banyak hal dari kehidupannya yang dimitoskan. Sebabnya adalah karena setelah periode Sri Baduga, Kerajaan Sunda tidak pernah bangkit lagi. Dengan demikian bisa dipahami jika segala kebanggaan dan harga diri kasundaan disandarkan kepada Sri Baduga Maharaja atau Prabu Siliwangi.

Nama Prabu Siliwangi disebut juga dalam beberapa sumber (naskah), di antaranya dalam Sanghyang Siksa Kandang Karesian (1518), Carita

Parahiyangan (akhir abad XVI), Naskah Wangsakerta (akhir abad XVII), Carita

(14)

14

Selain itu, ada semacam memory collective di kalangan masyarakat Tatar Sunda, yang turun-temurun, mengenai eksistensi tokoh Prabu Siliwangi. Oleh karena itu, Prabu Siliwangi menjadi semacam “accepted history”. Eksplisitas dalam naskah-naskah dan sikap-sikap kultural masyarakat turut mempengaruhi tumbuhnya memory collective itu dalam pikiran dan emosi manusia Sunda, yang pada akhirnya jadi fakta mental dan fakta sosial yang menguatkan sikap dan keyakinan akan eksistensi Prabu Siliwangi.

Begitu pula adanya catatan silsilah merupakan sumber lain yang makin menguatkan keyakinan bahwa Prabu Siliwangi itu ada. Silsilah rara-raja Cirebon, misalnya, selalu mengaitkan leluhurnya pada Prabu Siliwangi. Silsilah seperti itu bukan muncul baru-baru ini, tapi turun-temurun dari generasi yang paling tua. Kenyataan ini makin menguatkan sandaran pendapat bahwa Prabu Siliwangi itu ada sebagai tokoh sejarah.

IV. Simpulan

1. Kerajaan Sunda/Pajajaran adalah fakta sejarah. Demikian juga Sri Baduga

Maharaja, beliau adalah tokoh sejarah,bukan dongeng, bukan mitos. 2. Keberadaan keduanya didukung oleh banyak sumber, mulai dari sumber

lisan, sumber tulisan, hingga sumber prasasti.

(15)

15 Daftar Sumber

Asmar, Teguh et al. 1975.

Sejarah Jawa Barat dari Masa Pra-Sejarah hingga Masa Penyebaran Agama Islam. Bandung: Proyek Penunjang Peningkatan Kebudayaan Nasional Provinsi Jawa Barat

Ekadjati, Edi S. 2005.

Kebudayaan Sunda; Zaman Pajajaran. Jilid 2. Jakarta:Pustaka Jaya. ……. 2005.

Sunan Gunung Jati; Penyebar dan Penegak Islam di Tatar Sunda. Jakarta: Pustaka Jaya.

Danasasmita, Saleh. 2003.

Nyukcruk Sajarah Pakuan Pajajaran jeung Prabu Siliwangi. Bandung: Girimukti.

Iskandar, Yoseph. 2005.

Sejarah Jawa Barat (Yuganing Rajakawasa). Bandung: Geger Sunten. Muhsin Z., Mumuh. 2011.

“Eksistensi Kerajaan Pajajaran dan Prabu Siliwangi”, Makalah disampaikan dalam Seminar Prodi Ilmu Sejarah pada hari Senin 28 Maret 2011 di Fakultas Sastra Universitas Padjadjaran Jatinangor; hlm. 1 – 17. .

…….. 2011

“Prabu Siliwangi; Sejarah atau Dongeng?”, Makalah disampaikan dalam Dialog Interaktif “Revitalisasi Nilai-Nilai Budaya Masyarakat Tatar Sunda” (Nyusur Galur Mapay Raratan, Ngaguar Warisan Karuhun Urang); diselenggarakan oleh Bank Indonesia Kantor Regional Jabar-Banten bekerja sama dengan Yayasan Masyarakat Sejarawan Indonesia Cabang Jawa Barat dan JITUJI pada tanggal 20 Mei 2011, bertempat di Gedung BI Perwakilan Jawa Barat; hlm. 1 – 14.

…….. 2011.

“Prabu Siliwangi”, Cupumanik, No. 100-101/Nopember-Desember 2011; hlm. 90 – 93.

…….. 2012.

“Prabu Siliwangi; Kontroversi dan Misteri“, Makalah disampaikan dalam Seminar Nasional Prabu Siliwangi; diselenggarakan oleh Pemerintah Kota Sukabumi pada Kamis, 05 April 2012 di Gedung Juang 45, Jl. Veteran II Kota Sukabumi; hlm. 1 – 16.

(16)

16 ……. 2012.

“Pajajaran dan Siliwangi dalam Lirik Tembang Sunda”, Jurnal Seni dan

Budaya Panggung, Vol. 22, No. 2, April – Juni 2012; hlm. 139 – 146.

Rosidi, Ayip. 2011.

Kearifan Lokal dalam Perspektif Budaya Sunda. Bandung: Kiblat. Sumadio, Bambang (ed.). 1993.

“Jaman Kuna”, dalam Marwati Djoened Poesponegoro dan Nugroho Notosusanto. Sejaran Nasional Indonesia II. Edisi ke-4. Cetakan ke-8. Jakarta: Balai Pustaka.

(17)

17 Lampiran I:

RAJA-RAJA KERAJAAN SUNDA

ANTARA PERANG BUBAT SAMPAI RUNTUHNYA PAJAJARAN

NO. NAMA MASA

BERKUASA LAMANYA MEMERINTAH (TAHUN) LETAK IBU KOTA KERAJAAN 1 Bunisora/Linggabuana/ Prabu Maharaja 1357 - 1371 14 Kawali

2 Wastu Kancana 1371 - 1475 104 Kawali

3 Tohaan di Galuh 1475 - 1482 7 Galuh

4 Ratu Jayadewata/Sri

Baduga Maharaja

1482 – 1521 39 Pakuan Pajajaran

5 Surawisesa 1521 - 1535 14 Pakuan Pajajaran

6 Ratu Dewata 1535 – 1543 8 Pakuan Pajajaran

7 Ratu Saksi 1543 – 1551 8 Pakuan Pajajaran

8 Tohaan di Majaya 1551 – 1567 16 Pakuan Pajajaran

9 Nursiya Mulya 1567 - 1579 12 Pakuan Pajajaran

(18)

18

SILSILAH SRI BADUGA MAHARAJA

SRI BADUGA MAHARAJA (PRABU SILIWANGI) beristeri a.l.: AMBETKASIH (Sindangkasih) KETRINGMANIK (Pakuan) beranak: SURAWISESA SUBANGLARANG (Singapura/Cirebon) beranak: WALANGSUNGSANG LARASANTANG nikah dengan SULTAN BANI ISRAIL

beranak:

RAJASANGARA

SUNAN GUNUNG JATI nikah dengan:

KAUNG NGANTEN PUTERI TEPAS

Menurunkan raja-raja Cirebon Menurunkan raja-raja Banten

Referensi

Dokumen terkait

Musi Banyuasin Tahun Anggaran 2012, dengan kami ini minta kepada Saudara Direktur untuk hadir dalam melakukan Pembuktian Kualifikasi dengan membawa berkas asli data perusahaan pada

Upaya keluar dari keterpenjaraan oleh tokoh perempuan tidak dicapai tetapi, dalam masyarakat dengan nilai dan aturan yang cenderung berorientasi patriarki, keputusan untuk

Berdasarkan parameter kinerja yaitu efisiensi perbankan syariah tersebut, penulis tertarik mengambil judul “ Pengaruh Tingkat Inflasi Dan Produk Domestik Bruto (PDB)

Hal-hal baru dan/atau perubahan mendasar dalam ketentuan keuangan negara yang diatur dalam Undang- Undang Nomor 17 Tahun 2013 meliputi pengertian dan ruang lingkup

udara desain dan dengan program metode FAA memperhitungkan kerusakan akibat. lalulintas keberangkatan langsung dari

(b) Pemberian perlakuan atau treatment dalam pembelajaran menulis teks cerita pendek dengan menerapkan teknik teratai (terjun amati rangkai) dalam pembelajaran

Peraturan Menteri Perhubungan Republik Indonesia nomor 14 tahun 2006, tentang manajemen dan rekayasa lalu lintas di jalan.. 1999 Pembangunan Kota, tinjauan regional dan

Di Indonesia sendiri hanya beberapa penelitian tentang pergerakan amfibi yang telah dilakukan oleh Sholihat (2007) dan Susanto (2011), disamping itu data mengenai amfibi