• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB IV PERAN PEMERINTAH TERHADAP TENAGA KERJA INDONESIA (TKI) YANG MENGALAMI KEKERASAN DI MALAYSIA PADA ERA JOKO WIDODO

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB IV PERAN PEMERINTAH TERHADAP TENAGA KERJA INDONESIA (TKI) YANG MENGALAMI KEKERASAN DI MALAYSIA PADA ERA JOKO WIDODO"

Copied!
34
0
0

Teks penuh

(1)

21 BAB IV

PERAN PEMERINTAH TERHADAP TENAGA KERJA INDONESIA (TKI) YANG MENGALAMI KEKERASAN DI MALAYSIA PADA ERA JOKO WIDODO

4.1 Hubungan Bilateral Indonesia Dan Malaysia dalam Bidang Ketenagakerjaan

Perjalanan panjang kerjasama pengiriman tenaga kerja tercatat sebagai proses perkembangan perdagangan ekonomi dunia yang semakin berkembang dari tahun ke tahun. Migrasi tenaga kerja terjadi karena adanya perbedaan antarnegara, terutama dalam memperoleh kesempatan dibidang ekonomi. Migrasi internasional Indonesia dicirikan dengan tingkat pendidikan yang rendah, berumur antara 15-40 tahun. Banyak TKI mempunyai etos kerja yang rendah jika dibandingkan dengan tenaga kerja dari Thailand, Filipina, dan Korea Selatan. Rendahnya kualitas TKI berarti rendahnya pengetahuan mereka tentang hak-haknya.1

Perpindahan TKI antar pulau dan luar negeri tidak bisa dipisahkan dari masa orde lama dan orde baru bahkan sejak masa penjajahan di tahun 1887. Pada tahun tersebut, tenaga kerja dikirim ke beberapa daerah jajahan seperti Suriname, Kaledonia, dan Belanda.2 Selama periode 1875-1940 pekerja Indonesia sudah bekerja sebagai kuli kontrak di Suriname dan New Caledonia. Menurut catatan sensus 1930 jumlah pekerja Indonesia di Suriname sekitar 31.000 orang, di New Caledonia sekitar 6.000 orang. Migran internasional yang bekerja di Suriname dan New Caledonia pada waktu itu adalah migran paksaan atau kuli kontrak. Pada masa kolonial kebanyakan migrasi internasional bersifat paksaan (forced migration) dan cendrung permanen (mobilitas penduduk yang bersifat menetap).3

Dimulai pada abad ke 20, migrasi dari Indonesia ke Malaysia yang berlaku secara besar-besaran memerlukan tenaga kerja yang ramai di Malaysia. Sebagian orang Jawa datang untuk menjadi kuli kontrak pemodal Inggris. Pada masa yang sama ada juga

orang-1 M. Arif Nasution, Globalisasi dan Migrasi Antar Negara (Bandung: Kerjasama Yayasan Adikarya IKAPI dengan The Ford Foundation, 1999), hlm. 8.

2 Awani Irewati, Kebijakan Luar Negeri Indonesia Terhadap Masalah TKI ilegal di Negara ASEAN (Jakarta: Pusat Penelitian Politik LIPI, 2003), hlm. 34.

3 M. Arif Nasution, Globalisasi dan Migrasi antar Negara (Bandung: Kerjasama Yayasan Adikarya IKAPI dengan The Ford Foundation, 1999), hlm. 39.

(2)

22 orang Melayu dari Malaysia yang merantau ke Indonesia dan kemudian terus menetap di Indonesia.4

Di masa kolonial penggunaan buruh Indonesia di Malaysia dalam berbagai sektor tenyata menjadi tradisi dan adat merantau dalam kehidupan mereka dan menjadi suatu daya hidup yang positif dan dinamik. Pada masa kolonial baik di Indonesia maupun Malaysia pihak pemerintah telah merencanakan berbagai program dan proyek pembangunan, yang tentunya bertujuan untuk mencapai kepentingan paara koloni.5 Dalam jumlah kecil pekerja Indonesia ditemui di Siam dan Serawak. Pada saat itu pekerja Indonesia di Malaysia dan Singapura cukup besar tetapi belum dicatat sebagai migran. Akan tetapi pekerja di Malaysia dan Singapura sangat berbeda dengan pekerja di Suriname dan New Caledonia. Pekerja di Malaysia dan Singapura bekerja melalui kontrak perdagangan secara sukarela (voluntary migration).

Memasuki kemerdekaan Indonesia, orde lama, merupakan sejarah awal bagi Lembaga Kementrian perburuhan dalam era kemerdekaan Indonesia. Melalui Peraturan Pemerintah No.3 Tahun 1947 dibentuk lembaga yang mengurus masalah perburuhan di Indonesia dengan nama Kementrian Perburuhan.6 Pengiriman TKI mulai mengalami perkembangan di era orde dikepemimpinan Soeharto (1966-1998). Di tahun 1983, Pemerintah telah mencari kompensasi dengan memaksakan deregulasi yang ketat dalam kebijakan-kebijakan perekonomian sebagai usaha untuk membangkitkan pendapatan luar negeri sebagai kondisi menyusul harga minyak yang jatuh. Akhirnya, pemerintah membangun basis ekonomi yang beralaskan tenaga kerja murah didalam negeri untuk menarik penanaman modal luar negeri dan berangkat melalui sebuah program mengekspor tenaga kerja.7

Di masa awal Orde Baru Kementrian Perburuhan diganti menjadi Departemen Tenaga Kerja, Transmigrasi dan Koperasi sampai berakhirnya Kabinet Pembangunan III. Mulai Kabinet Pembangunan IV berubah menjadi Departemen Tenaga Kerja dan

4 M. Arif Nasution, Mereka yang ke Seberang (Medan: USU Press, 1997), hlm. 1. 5 Ibid., hlm. 21.

6Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia (BNP2TKI), “Sejarah Penempatan TKI hingga BNP2TKI”, dalam http://www.bnp2tki.go.id/berta-mainmenu-31/4054-sejarah-penempatan-tki-hingga-bnp2tki.html, diakses pada 18 Mei 2017.

(3)

23 Transmigrasi, sementara Koperasi membentuk kementriannya sendiri.8 Denpaker

kemudian berupaya mengurangi pengiriman tenaga kerja tidak terdidik dan sebaliknya berusaha meningkatkan pekerja yang terdidik. Hal ini dikarena banyaknya TKI Indonesia yang mengalami pelecehan seksual, kekerasan, penyiksaan, bahkan dipulangkan karena sampai meninggal dunia.

Pada dekade awal 80an, pemenuhan kebutuhan migran Indonesia di perkebunan dan proyek konstruksi di Malaysia berjalan tanpa campur tangan negara, maka sejak tahun 1984 pola tersebut berubah. Melalui Memorandum of Understanding (MoU) antara Indonesia dan Malaysia mengenai pengaturan aliran migrasi dari Indonesia ke Malaysia yang ditandatangani di Medan pada tanggal 12 Mei 1984 (hingga kemudian dikenal sebagai Medan Agreement), berlangsung penerapan pengaturan sekaligus pengawasan arus migrasi tenaga kerja dari Indonesia ke Malaysia.9 Kesepakatan ini ditindaklanjuti dengan Keputusan Menteri Tenaga Kerja No. 184/Men/1984 tentang Pemberian Wewenang Menerbitkan Surat Rekomendasi. Kepmen ini khusus untuk kantor wilayah Depnaker Provinsi Kalimantan Timur, Nusa Tenggara Timur dan Sulawesi Selatan untuk menerbitkan Surat Rekomendasi bagi Pengerah Tenaga Kerja atau bagi TKI yang akan bekerja di Malaysia. Kemudian Menteri Tenaga Kerja menerbitkan landasan yang lebih kokoh bagi penempatan buruh migran Indonesia ke Malaysia melalui Kepmenaker No.408/Men/1984 tentang Pengerahan dan Pengiriman Tenaga Kerja di Malaysia. Di Kepmen ini (Pasal 11) ditetapkan dua tempat pemberangkatan untuk penempatan buruh migran Indonesia ke Malaysia, yaitu untuk pengiriman ke Malaysia Barat dan Nunukan untuk pengiriman ke Malaysia Timur.10

Memasuki awal pemerintahan Megawati, kondisi migrasi Indonesia ditandai dengan satu peristiwa besar yaitu terkait tenaga kerja Indonesa, yaitu deportasi massal tenaga kerja Indonesia yang berada di Malaysia melalui Nunukan. Hal ini ditandai dengan adanya Akta Imigresen No.1154 Tahun 2002 yang diterapkan pada tanggal 1 Agustus 2002. Akte ini menggantikan akta Imigresen No.63 Tahun 1959. Peraturan baru tersebut

8 Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia (BNP2TKI), “Sejarah Penempatan TKI hingga BNP2TKI”, http://www.bnp2tki.go.id/berta-mainmenu-31/4054-sejarah-penempatan-tki-hingga-bnp2tki-html, diakses pada 18 Mei 2017.

9 Wahyu Susilo, dkk., Selusur Kebijakan (Minus) Perlindungan Buruh Migran Indonesia (Jakarta: Migrant CARE, 2013), hlm. 22.

(4)

24 memberlakukan denda 10.000 ringgit Malaysia, dihukum penjara paling lama 5 tahun dan enam kali hukuman cambuk bagi tiap TKI ilegal yang ditangkap polisi Malaysia.11

Hingga pada tahun 2004, Megawati mengeluarkan Undang-undang No. 39 Tahun 2004 Tentang Penempatan dan Perlindungan Tenga Kerja Indonesa di Luar Negeri (PPTKILN). Pembentukan PPTKILN adalah untuk mengantisipas terjadinya TKI ilegal dengan jumlah yang lebih besar. Hal ini dikarenakan banyaknya kerugian yang dirasakan Indonesia dengan dipulangkannya para TKI. Angka pengangguran yang terjadi akan semakin meningkat karena para TKI tentunya tidak bekerja lagi. Selain itu, sumber pendapatan ekspor nonmigas negara mengalami penuruanan karena berkurangnya pemasukan dari TKI yang dipulangkan.

Memasuki awal pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), masalah migran Indonesia di Malaysia menjadi masalah serius. Warisan TKI ilegal dari pemerintahan Megawati tidak dapat terhindarkan. Ditambah dengan semakin bertambahnya jumlah TKI yang mengadu nasib ke Malaysia, namun terkandung masalah yang serius. Beberapa kasus tentang pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) yang terjadi di Malaysia khususnya dengan buruh perempuan yaitu Pembantu Rumah Tangga (PRT) yang marak terjadi.12

Tingginya angka pengiriman TKI ke luar negeri yang berbanding lurus dengan semakin tingginya pengangguran di Indonesia adalah pertanda kondisi perekonomian Indonesia dalam membuka lapangan perkejaan baru belum terselesaikan. Besarnya jumlah migran yang bekerja di luar negeri khususnya Malaysia tidak dilengkapi dengan kebutuhan dari migran tersebut yaitu perlindungan dengan standar tertentu bagi migran yang sedang bekerja di negara tujuan.13

4.2 Kebijakan Pemerintah Indonesia dan Malaysia Terkait dengan Ketenagakerjaan Kebijakan penempatan TKI ke luar negeri diarahkan untuk memanfaatkan peluang kerja di luar negeri. Keberadaan TKI di luar negeri dapat menjadi asset dan sekaligus

11 Irfan Rusi Sadak, “Negara dan Pekerja Migran, Fakfor-faktor yang Mempengaruhi Kebijkaan Penanganan Negara terhadap Kasus Deportasi TKI di Kabupaten Nunukan pada Tahun 2002”, Tesis Hubungan Internasional, tidak diterbitkan, Universitas Indonesia, 2004, hlm. 1.

12 Ibid. 13 Ibid.

(5)

25 liability. Dalam hal asset, TKI mampu menyerap angkatan kerja dan menghasilkan remittance (remintansi). Keberadaan TKI di luar negeri mereka bisa memperoleh pengalaman. Sedangkan dalam hal liability, TKI di luar negeri sangat terkait dengan pencitraan negara. TKI di luar negeri rentan untuk dijadikan objek tindak pidana perdagangan orang lintas negara. Sehingga indonesia wajib mengupayakan perlindungan yang lebih tinggi, mengingat TKI bekerja di negara asing yang memiliki kultur budaya dan hukum yang berbeda dengan Indonesia.14

Kebijakan penempatan TKI ke Malaysia oleh pemerintah Indonesia secara massif dilakukan pada tahun 1980an. Kewenangan penempatan TKI ke luar negeri ketika itu dijalankan oleh Departemen Tenaga Kerja, Transmigrasi dan Koperasu dengan membuat peraturan penempatan TKI ke luar negeri melalui mekanisme perusahaan pengarah tenaga kerja (pihak swasta). Pertumbuhan dan perkembangan perusahaan perekrut TKI ke luar negeri pada saat itu berlangsung tanpa kontrol, kemudian melalui Memorandum of Understanding (MoU) antara Indonesia dan Malaysia mengenai pengaturan aliran migrasi dari Indonesia ke Malaysia yang ditandatangani di Medan pada tanggal 12 Mei 1984 (hingga kemudian dikenal sebagai Medan Agreement), berlangsung penerapan pengaturan sekaligus pengawasan arus migrasi tenaga kerja dari Indonesia ke Malaysia.15 Kesepakatan

ini ditindaklanjuti dengan Keputusan Menteri Tenaga Kerja No. 184/Men/1984 tentang Pemberian Wewenang Menerbitkan Surat Rekomendasi. Kemudian Menteri Tenaga Kerja menerbitkan landasan yang lebih kokoh bagi penempatan buruh migran Indonesia ke Malaysia melalui Kepmenaker No.408/Men/1984 tentang Pengerahan dan Pengiriman Tenaga Kerja di Malaysia.

Selain Keputusan Menteri, berdasarkan undang-undang No.39 tahun 2004, program penempatan dan perlindungan TKI saat ini berada di bawah otoritas Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia (BNP2TKI). Kemudian Peraturan Presidwen (Perpres) No.81 tahun 2006 mensyaratkan struktur kerja BNP2TKI melibatkan unsur-unsur instansi pemerintah pusat terkait pelayanan TKI, antara lain

14 Direktorat Perlindungan WNI dan Badan Hukum Indinesua Jemlu, TKI antara Asset dan Pencitraan Negara, dalam Tabloid Diplomasi No.47 Tahun IV Tanggal 15 September-14 Oktober 2011, hal.4

15 Wahyu Susilo, dkk., Selusur Kebijakan (Minus) Perlindungan Buruh Migran Indonesia (Jakarta: Migrant CARE, 2013), hlm. 22.

(6)

26 Kementerian Luar Negeri, Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi, Kementerian Koordinator Kesejahteraan Rakyat, Imigrasi (Kementerian Hukum dan HAM).16

Prinsip kebijakan penempatan TKI ke luar negeri adalah mengedepankan aspek perlindungan terhadap keselamatan dan kesehatan TKI pada saat sebelum keberangkatan, selama di negara tujuan, hinga tiba kembali ke Indonesia. Strategi yang dilakukan pemerintah Indonesia dalam penempatan dan perlindungan TKI di luar negeri dikelompokkan menjadi tiga bagian, yakni:17

1. Regulasi, dilakukan dengan menerbitkan undang-undang No.39 Tahun 2004 tentang Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia di luar negeri dan menyusun berbagai peraturan pelaksanaannya.

2. Kelembagaan, dilakukan dengan membagi kewenangan pusat dan daerah secara jelas di dalam sistem penempatan dan perlindungan TKI.

3. Tindakan, dilakukan dalam berbagai bentuk, antara lain:

a. Melaksanakan Intruksi Presiden No. 06 Tahun 2006 tentang Reformasi Kebijakan Sistem Penempatan dan Perlindungan TKI di luar negeri. b. Meningkatkan kualitas TKI melalui pelatihan keterampilan, kemampuan,

bahasa dan persiapan mental.

c. Memberikan perlindungan terhadap hak dan harta TKI melalui program asuransi TKI yang dilaksanakan oleh lima konsorsium asuransi.

d. Meningkatkan hubungan bilateral dengan negara penempatan TKI dalam bentuk penandatanganan Memorandum of Understanding (MoU).

e. Membentuk empat Sentra Pelayanan Penempatan dan Perlindungan TKI (SP3TKI) di Serang, Denpasar, Riau, dan Kuala Tungkal.

f. Membentuk Atase Ketenagakerjaan di negara penempatan yang belum memiliki Atase Ketenagakerjaan.

17Erman Suparno, Kebijakan dan Strategi Penempatan Tenaga Kerja Indonesia di Luar Negeri,27

Maret 2008, diakses melalui

http://www.setneg.go.id/index.php?option=com_content&task=view&id=1700&Itemid=195, pada tanggal 15 Juli 2018

(7)

27 g. Aktif dalam forum internasional yang diharapkan dapat meningkatkan perlindungan bagi TKI, seperti seperti International law Commission (ILC), sidang International Organization for Migration (IOM), dan pertemuan Convention on the Elimination of Discrimination Against Women (CEDAW).

h. Melakukan registrasi dan penerbitan SIPPTKIS (Surat Izin Pelaksana Penempatan Tenaga Kerja Indonesia Swasta).

i. Turut melaksanakan pemberantasan tindak pidana perdagangan orang, khususnya yang menyangkut TKI sebagaimana diamanatkan didalam Undang-Undang No. 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang melalui pencegahan dan penanganan.

j. Membina dan pemberdayaan TKI purna agar dapat memanfaatkan penghasilannya menjadi usaha ekonomi produktif dengan memberikan bimbingan wirausaha, pengembangan usaha,

k. Mendorong terbentuknya Asosiasi TKI purna yang dimaksudkan sebagai wadah integrasi dan konsultasi TKI purna dalam meningkatkan dan mengembangkan potensi dan usaha yang mereka miliki.

Sedangkan menurut North South Intiative (NSI), Malaysia sebagai negara tujuan TKI juga memiliki beberapa peraturan perundangan nasional terkait ketenagakerjaan, diantaranya adalah:

1. Social Security Organization (SOSCO), mengatur jaminan sosial bagi pekerja baik pekerja Malaysia maupun pekerja asing, salah satunya mengatur tentang jaminan kecelakaan di tempat kerja dan rawatan yang berkaitan yang

disebabkan oleh pekerjaan. 2. UU Ketenagakerjaan 1995

a. Anti deskriminasi pada pasal pokok, agar UU ini menjadi payung hukum bagi semua pekerja tanpa melihat ras, nasionalitas, agama dan gender.

b. Mengatur tentuan usulan cuti melahirkan bagi pekerja perempuan selama 98 hari.

(8)

28 d. Mengatur mengenai standar gaji dan juga perhitungan lembur

e. Mengatur tentang hubungan pekerja dan majikan dalam pasal khusus termasuk jika ada sengketa terjadi.

f. Mengatur tentang perlindungan “kekerasan seksual di tempat kerja” dan mekanisme hukumnya.

g. Perlindungan diberikan kepada pekerja tanpa batasan besaran gaji. 3. UU Mengenai Perumahan bagi Pekerja

Mengatur tentang kelayakan tempat tinggal atau akomodasi bagi pekerja baik lokal maupun pekerja asing.

4. UU Perserikatan Buruh

Mengatur tentang hak berserikat buruh, termasuk juga pekerja asing dari negara lain yang diusulkan untuk bisa membentuk serikat sendiri ataupun juga bisa menjadi pemimpin serikat.

4.3 Mekanisme Penempatan dan Perlindungan TKI di Luar Negeri

Tentunya perihal penempatan TKI ke luar negeri tidak jauh pula kaitannya dengan masalah migrasi internasional. Dalam migrasi ke luar negeri diperlukan adanya prosedur atau ketentuan- ketentuan yang mengatur pengawasan dan perlindungan migran. Penjelasan tersebut memberikan pemahaman bahwa penempatan dan perlindungan TKI di luar negeri merupakan suatu kegiatan yang dibatasi oleh rambu-rambu hukum, baik hukum nasional maupun hukum internasional. Dengan demikian, bagaimana mekanisme penempatan dan perlindungan dilakukan bagi TKI adalah suatu hal yang sangat penting, karena pada aturan mekanisme inilah nantinya dapat diuji apakah penempatan dan perlindungan TKI telah dilaksanakan dengan benar.

Berkenaan dengan hal tersebut diatas, berikut ini akan dijelaskan mekanisme penempatan dan perlindungan TKI di luar negeri dapat dilihat dalam UU No, 39 Tahun 2004, yang selanjutnya diatur lebih teknis dalam Permenakertrans No. 14 Tahun 2010.

1. Penempatan

Kebijaksanaan penempatan tenaga kerja ke luar negeri menjadi salah satu usaha nasional strategis untuk mengatasi kelangkaan kesempatan kerja dan pengangguran di dalan negeri. Kebijaksanaan ini didasarkan pada prospek peluang

(9)

29 kerja ke luar negeri yang terbuka luas dibeberapa negara pada beberapa 26 sektor diantaranya perkebunan, industri, kelautan, transportasi, perhotelan, konstruksi, pertambangan, migas dan kesehatan.

Dalam kerangka pembangunan, penempatan tenaga kerja Indonesia diselenggarakan secara tertib dan efisien untuk :

a. Meningkatkan perlindungan.

b. Meningkatkan kesejahteraan tenaga kerja. c. Perluasan lapangan kerja.

d. Meningkatkan kualitas tenaga kerja.

e. Peningkatan devisa Negara dengan memperhatikan harkat dan martabat manusia, bangsa dan Negara.

f. Meningkatkan upah dan kondisi kerja yang lebih baik bagi pekerja. g. Mengurangi biaya pengiriman.

h. Menyediakan jaring pengaman bagi pekerja dan keluarganya.

i. Mengurangi tenaga kerja Indonesia ilegal atau tenaga kerja Indonesia biaya dokumen yang syah.

j. Meningkatkan jumlah tenaga kerja Indonesia yang dikirim dan meningkatkan devisa negara tujuan penempatan.

k. Meningkatkan tingkat keterampilan tenaga kerja Indonesia secara gradual.

l. Penempatan TKI sebagai sarana untuk meningkatkan pengetahuan dan keterampilan untuk penggunaan tenaga kerja di dalam negeri dan masa depan.

Menurut kedua peraturan perundang-undangan tersebut di atas, terdapat setidaknya tiga kelompok besar tahapan yang harus dilaksanakan dalam proses penempatan, yakni: (1) persiapan, (2) perekrutan, dan (3) pemberangkatan.

a. Persiapan

Langkah pertama yang harus dilakukan oleh PPTKIS sebelum melakukan proses penempatan TKI ke luar negeri adalah memperoleh Surat Ijin Pengerahan (SIP) dari Menakertrans. Ada beberapa persyaratan yang harus dipenuhi oleh PPTKIS untuk memperoleh SIP termaksud, yakni:

1) Memiliki perjanjian kerjasama penempatan (recruitment agreement) yang sudah disetujui oleh KBRI atau Perwakilan RI di negara tujuan.

(10)

30 2) Memiliki surat permintaan tenaga kerja (job order/visa wakalah/demand letter) dari calon pengguna yang sudah disetujui oleh KBRI atau Perwakilan RI di negara tujuan.

3) Memiliki Rancangan Perjanjian Penempatan antara calon pengguna atau agency di luar negeri dengan PPTKIS.

4) Memiliki Rancangan Perjanjian Kerja antara calon pengguna dan calon TKI (CTKI) yang sudah memperoleh persetujuan dari Perwakilan RI di negara tujuan). Berdasarkan ketentuan ini, maka PPTKIS tidak diperkenankan melakukan penempatan TKI ke luar negeri tanpa memiliki SIP. PPTKIS yang melanggar ketentuan ini akan mendapat sanksi tegas berupa pencabutan SIPPTKI, yang berarti PPTKIS tersebut tidak boleh beroperasi lagi. Selanjutnya, sambil menunjukkan SIP yang telah diperoleh, PPTKIS menyampaikan maksudnya untuk merekrut CTKI kepada Dinas Ketenagakerjaan Kabupaten Kota dimana PPTKIS akan merekrut CTKI sambil menunjukkan SIP.

b. Perekrutan

Dengan telah memenuhi persyaratan tersebut di atas, maka PPTKIS sudah memiliki dasar hukum yang kuat untuk melakukan tahap perekrutan CTKI sebagai salah satu bagian dari proses penempatan TKI ke luar negeri. Langkah-langkah yang harus dilakukan oleh PPTKIS dalam tahapan perekrutan ini cukup banyak, dan bersifat sangat ketat karena kualitas TKI yang akan ditempatkan sangat tergantung pada tahapan ini. Demikian ketatnya persyaratan-persyaratan yang harus dipenuhi dalam setiap langkah yang tercakup dalam tahapan ini, sehingga ada beberapa diantaranya yang mengandung sanksi, mulai dari peringatan sampai pencabutan SIPPTKI.

1) Sosialisasi atau penyuluhan

Agar kesempatan kerja di luar negeri dapat diketahui oleh masyarakat luas, maka Dina Ketenagakerjaan Kabupaten/Kota bersama-sama dengan PPTKIS harus melakukan sosialisasi atau penyuluhan. Hal-hal yang perlu disampaikan dalam sosialisasi atau penyuluhan ini adalah: (1) persyaratan dan dokumen yang diperlukan untuk bekerja di luar negeri, (2) hak dan kewajiban CTKI/TKI;

(11)

31 (3) situasi, kondisi dan risiko di negara tujuan; dan (4) tata cara perlindungan bagi TKI.

Sosialisasi atau penyuluhan ini sangat penting karena ia dapat menjadi saringan pertama dalam tahapan perekrutan, dimana masyarakat yang merasa dirinya tidak memenuhi persyaratan tidak akan mendaftarkan dirinya ke Dinas Ketenagakerjaan setempat.

2) Pendaftaran CTKI yang berminat

Masyarakat yang berminat dan merasa dirinya telah memenuhi persyaratan awal untuk bekerja di luar negeri, mendatangi dan mendaftarkan dirinya ke Dinas Ketenagakerjaan Kabupaten/Kota setempat sebagai pencari kerja dengan prosedur dan persyaratan yang sama dengan pencari kerja biasa, yakni: Umur minimal 18 Tahun, atau 21 Tahun (bagi yang akan bekerja pada perorangan) yang dibuktikan dengan KTP dan Akte kelahiran./Surat Kenal Lahir. Memiliki Surat Keterangan Sehat dan lain-lain

3) Penseleksian CTKI

Dinas Ketenagakerjaan Kabupaten/Kota dan PPTKIS melakukan penseleksian CTKI dari daftar pencari kerja yang sudah tercatat di kantor Dinas Ketenagakerjaan Kabupaten/Kota. Dasar penseleksian adalah sebagaimana ditentukan dalam UU No. 39 Tahun 2004, yakni: (1) berusia sekurang-kurangnya 18 tahun, (2) sehat jasmani dan rohani, (3) berusia sekurangn-kurangnya 21 tahun bagi CTKI yang akan dipekerjakan pada pengguna perorangan, (4) tidak dalam keadaan hamil bagi perempuan, (5) sekurang-kurangnya lulus SLTP atau yang sederajat.

4) Penanda-tanganan Perjanjian Penempatan

CTKI yang sudah memenuhi persyaratan dan menyatakan bersedia untuk ditempatkan di luar negeri menandatangani Perjanjian Penempatan bersama-sama dengan PPTKIS, serta diketahui oleh Dinas Ketenagakerjaan setempat. 5) Pemberian rekomendasi Paspor

Selanjutnya, sebagai bahan pengurusan Paspor bagi CTKI, maka Dinas Ketenagakerjaan Kabupaten/Kota menerbitkan Rekomendasi Paspor.

(12)

32 6) Pemeriksaan kesehatan dan psikologi CTKI

Untuk menjamin kesehatan fisik dan psikologi setiap CTKI, maka mereka harus menjalani proses berikutnya yaitu pemeriksaan kesehatan dan psikologi (medical check-up) di lembaga yang ditunjuk pemerintah.

7) Memasukkan CTKI dalam penampungan/asrama

Khusus bagi CTKI yang akan ditempatkan pada pengguna perorangan, setelah lulus pemeriksaan kesehatan dan psikologi wajib masuk penampungan/asrama milik PPTKIS, dimana proses berikutnya akan dilaksanakan. (Ketentuan ini tidak berlaku bagi CTKI yang akan ditempatkan pada pengguna badan usaha).

8) Pelatihan

CTKI yang sudah memenuhi persyaratan sampai dengan langkah tersebut di atas dan akan ditempatkan pada pengguna perorangan, wajib mengikuti langkah berikutnya yaitu pelatihan keterampilan apabila belum memiliki kompetensi sesuai dengan jenis pekerjaan yang akan dijalankannya. Pelatihan ini dilakukan oleh PPTKIS sendiri atau oleh lembaga pelatihan yang telah memenuhi persyaratan. (Ketentuan ini tidak berlaku bagi CTKI yang sudah memiliki kompetensi sesuai dengan jenis pekerjaan yang akan dijalankannya dengan menunjukkan sertifikat kompetensi, dan bagi CTKI yang akan ditepatkan pada pengguna badan usaha.)

9) Uji kompetensi

Selanjutnya, setiap CTKI yang menjalani pelatihan wajib menjalani proses berikutnya yaitu uji kompetensi. Langkah ini dilakukan untuk memastikan apakah CTKI sudah dapat dianggap memenuhi kualifikasi keterampilan yang dibutuhkan untuk menjalankan pekerjaan yang akan dipegangnya di luar negeri. Oleh karena itu, UU No. 39 Tahun 2004 menentukan bahwa uji kompetensi hanya dapat dilakukan oleh lembaga yang ditunjuk oleh pemerintah.

Apabila dalam pengujian tersebut CTKI dinyatakan sudah memenuhi kompetensi untuk jenis pekerjaan yang akan dijalankannya, maka ia akan memperoleh sertifikat kompetensi. (Ketentuan ini tidak berlaku bagi CTKI

(13)

33 yang sudah memiliki kompetensi sesuai dengan jenis pekerjaan yang akan dijalankannya dengan menunjukkan sertifikat kompetensi, dan bagi CTKI yang akan ditepatkan pada pengguna badan usaha.)

10) Mengikut-sertakan CTKI dalam Asuransi CTKI

Langkah berikutnya dalam tahap perekrutan ini adalah pengikutsertaan CTKI dalam program Asuransi TKI pada Maskapai Asuransi yang sudah ditunjuk oleh pemerintah.

11) Pengurusan Paspor CTKI

Berdasarkan Rekomendasi Paspor yang diberikan oleh Dinas Ketenagakerjaan, CTKI atau PPTKIS mengurus penerbitan Paspor CTKI ke Kantor Imigrasi.

12) Pengurusan Visa Kerja CTKI

Setelah memperoleh Paspor, CTKI atau PPTKIS mengurus Visa Kerja CTKI ke Kantor Kedutaan atau Perwakilan Negara Tujuan, dengan membawa persyaratan untuk itu, termasuk Curriculum Vitae (CV) CTKI.

13) Pembayaran DP3TKI dan Asuransi TKI

Dengan diperolehnya Paspor dan Visa Kerja, kemungkinan bagi CTKI untuk bekerja di luar negeri sudah semakin terbuka. Untuk itu, CTKI diminta untuk memenuhi persyaratan berikutnya, yaitu membayar Dana Pembinaan, Penempatan, dan Perlindungan TKI (DP3TKI) sebagai Pendapatan Negara Bukan Pajak (akan tetapi, kewajiban ini sedang dalam pembahasan, dan kemungkinan akan ditiadakan pada tahun mendatang). Bersamaan dengan itu pula CTKI membayarkan premi Asuransi TKI pada Maskapai Asuransi yang ditunjuk oleh pemerintah.

14) Pembekalan Akhir Pemberangkatan (PAP)

Dengan selesainya langkah-langkah tersebut di atas, kini pemberangkatan TKI ke luar negeri tinggal menunggu saatnya. Namun masih ada satu langkah penting yang harus dilakukan untuk meyakinkan kesiapan CTKI melakukan pekerjaannya di luar negeri, yaitu Pembekalan Akhir Pemberangkatan (PAP).

Sebagaimana dinyatakan Pasal 69 ayat (1) UU No. 39 Tahun 2004, PPTKIS wajib mengikut sertakan tenaga kerja Indonesia yang akan diberangkatan ke

(14)

34 luar negeri dalam PAP. Dan Pasal 69 ayat (2) dinyatakan pula, bahwa untuk memberi pemahaman dan pendalaman terhadap: (1) Peraturan perundang-undangan di Negara tujuan dan (2)Materi/isi perjanjian kerja. Secara rinci, materi yang harus diberikan dalam PAP adalah:

a) Pembinaan Mental Kerohanian. b) Pembinaan Kesehatan Fisik

c) Pembinaan Mental dan Kepribadian

d) Bahaya Perdagangan Perempuan dan Anak.

e) Bahaya Perdagangan Narkoba, Obat Terlarang dan Tindak Kriminal Lainnya f) Sosialisasi Budaya, Adat Istiadat dan Kondisi Negara penempatan.

g) Peraturan Perundang-undangan Negara Tujuan Penempatan (1) Peraturan perundang-undangan negara tujuan.

(2) Peraturan mengenai ketenagakerjaan di negara tujuan penempatan. (3) Hukum yang berlaku di negara tujuan penempatan.

h) Tata Cara Keberangkatan dan Kedatangan di Bandara Negara Penempatan (1) Prosedur keberangkatan / kepulangan di bandara/ pelabuhan laut. (2) Ketentuan bepergian dengan pesawat terbang.

(3) Tata cara pengisian surat-surat keimigrasian. (4) Prosedur kedatangan di negara tujuan. i) Tata Cara Kepulangan ke Tanah Air

(1) Pulang karena cuti, perpanjangan perjanjian kerja dan selesai perjanjian kerja.

(2) Pulang karena bermasalah, PHK dan sakit.

(3) Cara menghindari calo dan modus-modus penipuan.

j) Peran Perwakilan RI dalam pembinaan dan perlindungan WNI / TKI di Luar Negeri

(1) Pembinaan dan perlindungan WNI / TKI di luar negeri. (2) Kewajiban tenaga kerja Indonesia sebagai WNI di luar negeri. (3) Penyelesaian perselisihan WNI / TKI di luar negeri.

k) Program Remittance Tabungan dan Asuransi Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia

(15)

35 (1) Tata cara menabung dan mengambil uang.

(2) Tata cara mengirim uang.

(3) Bank perwakilan di negara tujuan. (4) Tata cara klaim asuransi.

l) Perjanjian Penempatan Tenaga Kerja Indonesia dan Perjanjian Kerja (1) Penjelasan tentang hak dan kewajiban tenaga kerja Indonesia dan pengguna.

(2) Akibat hukum atas penyimpangan dan pelanggaran terhadap perjanjian penempatan dan perjanjian kerja.

(3) Jenis dan kegunaan dokumen tenaga kerja Indonesia. m) Pengetahuan Tentang Perjalanan Ke / Dari Luar Negeri

(1) Tiketing. (2) Fiskal (3) Airport tax. (4) Baggaje. (5) Baggake claim. (6) Situasi Bandar Udara. (7) Tata cara dalam pesawat. (8) Boarding pass.

(9) Pengenalan loket. (10) Taxi dan bus route. n) Dokumen Keimigrasian

(1) Paspor. (2) Visa

o) Pengetahuan Teknis Lainnya

(1) Uang asing dan pemeliharaannya. (2) Nilai tukat mata uang.

(3) Transfer uang dan tata caranya.

(4) Tabungan dan tata cara penyetoran/penarikan dengan atau tanpa penggunaan ATM.

(16)

36 (6) Tata cara pengambilan dan angsuran kredit.

(7) Materi teknis lainnya. 15) Penanda-tanganan Perjanjian Kerja

Apabila tidak ada lagi masalah sampai dengan langkah tersebut di atas, CTKI dan PPTKIS menanda-tangani Perjanjian Kerja, dengan diketahui oleh aparat yang berwenang pada Dinas Ketenagakerjaan setempat.

16) Pengurusan rekomendasi BFLN/KTKLN

Sebagai langkah terakhir dalam tahapan perekrutan ini adalah pengurusan Bebas Fiskal Luar Negeri (BFLN) ke Dinas Ketenagakerjaan Kabupaten/Kota. Berdasarkan BFLN inilah nantinya CTKI bebas dari kewajiban untuk membayar Fiskal di Bandara.

c. Pemberangkatan TKI

Setelah segala sesuatu hal yang berkenaan dengan persyaratan dan kesiapan pengguna sudah terpenuhi, adalah pemberangkatan. Apabila CTKI belum bisa diberangkatkan karena sesuatu hal, maka CTKI dapat ditampung di dalam asrama milik PPTKIS. Setelah CTKI dianggap dapat diberangkatkan, maka PPTKIS harus melaporkan keberangkatan tersebut kepada Dinas Ketenagakerjaan setempat. Kemudian, setelah TKI tiba di negara tujuan, PPTKIS wajib melaporkan kedatangan TKI tersebut kepada perwakilan RI.

4.4 Permasalahan TKI yang Mengalami Kekerasan di Malaysia

Menurut Pasal 1 bagian (1) Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2004 tentang Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia di Luar Negeri, TKI adalah setiap warga negara Indonesia yang memenuhi syarat untuk bekerja di luar negeri dalam hubungan kerja untuk jangka waktu tertentu dengan menerima upah. Sementara itu dalam Pasal 1 Kep. Manakertran RI No Kep 104A/Men/2002 tentang penempatan TKI keluar negeri disebutkan bahwa TKI adalah baik laki-laki maupun perempuan yang bekerja di luar negeri dalam jangka waktu tertentu berdasarkan perjanjian kerja melalui prosedur penempatan TKI. Prosedur penempatan TKI ini harus benar-benar diperhatikan oleh calon TKI yang ingin bekerja ke luar negeri tetapi jika tidak melalui prosedur yang benar dan sah

(17)

37 maka TKI tersebut nantinya akan menghadapi masalah di negara tempat ia bekerja karena TKI tersebut dikatakan TKI ilegal yang datang ke negata tujuan tanpa melalui prosedur penempatan TKI yang benar. Berdasarkan beberapa pengertian TKI tersebut, maka dapat dikemukakan bahwa TKI adalah setiap warga negara Indonesia yang memenuhi syarat untuk bekerja di luar negeri dalam jangka waktu tertentu berdasarkan perjanjian kerja melalui prosedur penempatan TKI dengan menerima upah.

Kedekatan wilayah geografis yang memudahkan perjalanan serta keimigrasian yang longgar menjadikan Malaysia sebagai negara tujuan terbesar calon TKI. Sementara itu, adanya kesamaan bahasa yang tidak terlalu jauh menjadikan hal tersebut sebagai daya tarik calon TKI untuk berangkat ke Malaysia.18 Berdasarkan data BNP2TKI, dari total keseluruhan TKI yang tersebar di seluruh dunia pada tahun 2019, Malaysia merupakan negara tujuan dengan jumlah TKI terbanyak, yakni mencapai 40.215 dari total keseluruhan 136.709 orang. Rincian selengkapnya dapat dilihat dalam tabel berikut.

Tabel 4.1 Penempatan PMI berdasarkan Negara Periode 2019

Sumber : Pusat Penelitian Pengembangan dan Informasi (Puslitfo) BNP2TKI

18 Teguh Wardoyo, “Diplomasi Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia di Luar Negeri,” dalam Jurnal Diplomasi, Vol.2 No.1 Maret 2010, hal. 45.

(18)

38 Berdasarkan data dari tabel 4.1, menunjukkan bahwa pada tahun 2019 Malaysia termasuk dalam 10 negara yang menjadi tujuan penempatan TKI dan bahkan menjadi negara penerima terbanyak TKI. Hal ini membuktikan bahwa Malaysia masih menjadi negara favorit tujuan TKI untuk mencari pekerjaan di negara lain, sekalipun telah banyak terjadi permasalahan yang menimpa TKI.

Berkaitan dengan permasalahan yang menimpa TKI, kondisi TKI di Malaysia tidak selamanya baik. Berbagai masalah terus dialami oleh para TKI di Malaysia dalam kaitan hubungan kerja, terutama bagi para TKI informal yang berkaitan langsung dengan majikannya. Berdasarkan media pengaduannya, pada tahun 2019 terdapat 4023 laporan yang masuk di Crisis Center baik secara langsung, surat, email maupun telepon. Dari data BNP2TKI pun, Malaysia menjadi negara dengan jumlah pengaduan terbanyak pada tahun 2019. Rincian data dapat dilihat di dalam tabel berikut.

Tabel 4.2 Jumlah Pengaduan PMI di Crisis Center Berdasarkan Media tahun 2019

(19)

39 Tabel 4.3 Jumlah Pengaduan PMI Berdasarkan Negara Penempatan Periode tahun 2019

Sumber : Pusat Penelitian Pengembangan dan Informasi (Puslitfo) BNP2TKI

Data di atas menunjukkan bahwa meskipun Malaysia menjadi negara terbanyak penerima TKI, namun tidak menutup kemungkinan bahwa semua TKI mendapat perlakuan yang layak selama mereka bekerja. Banyak pengaduan yang masuk ke pemerintah Indonesia, salah satunya adalah tindak kekerasan dari majikan. Berdasarkan kategorinya, sebenarnya banyak kasus kekerasan yang terjadi di Malaysia. Namun, kasus kekerasan oleh majikan menunjukkan bahwa selama tahun 2019 sebanyak 16 orang mengalami hal tersebut.

(20)

40 Tabel 4.4 Jumlah Pengaduan PMI di Malaysia Berdasarkan Jenis Masalah Periode tahun 2019

Sumber : Pusat Penelitian Pengembangan dan Informasi (Puslitfo) BNP2TKI

Untuk kasus tindak kekerasan oleh majikan ini paling tidak dua kali dalam sebulan selalu ada saja laporan dari TKI yang ke KBRI di Malaysia. Hal tersebut didukung langsung dari pernyataan dari Bapak Chaidir, Atase Kepolisian, KBRI di Malaysia.

“Sebenarnya banyak TKI yang data ke sini (KBRI) masuk dengan laporan kekerasan. Paling tidak sebulan dua kali. Namun, memang tidak semua kasus yang dilaporkan ditindaklanjuti oleh kami karena permintaan dari TKI itu sendiri. Hal itu terjadi karena TKI masih merasa trauma. TKI hanya meminta dipulangkan saja. Sehingga laporan tersebut memang hanya menjadi laporan biasa tanpa ada penindaklanjutan lebih”. (Wawancara dengan Bapak Chaidir, dari Atase

Kepolisian, KBRI di Malaysia)

Terdapat TKI yang mengaku bahwa dirinya mendapat perlakuan yang tidak layak dari majikannya sehingga dia melarikan diri dari rumah majikannya untuk mencari perlindungan di KBRI. Jumanin, berusia 37 tahun, yang masa kontrak kerjanya sudah hampir habis ingin berhenti dan pulang ke Indonesia, namun bukan ijin yang didapatkannya

(21)

41 tetapi tindakan kekerasan hingga dia harus melarikan diri untuk mencari perlindungan. Pernyataan tersebut di dukung melalui wawancara dengan Ibu Jumanim secara langsung.

“Saya sudah bekerja selama 1 tahun 11 bulan mbak. Kontrak saya sudah mau habis. Saya bilang ke majikan kalau saya mau berhenti tetapi malah saya mau diperkosa. Saya dorong dia, terus saya malah dipukuli. Waktu itu pas majikan tidak di rumah saya lari. Terus saya bertemu dengan orang Melayu. Saya mau dibantu (dipekerjakan), tapi tidak punya permit, makanya saya di antar ke KBRI”

(Wawancara dengan Jumanin,37 tahun, TKI asal Lombok)

Selanjutnya, pengakuan berbeda diungkapkan oleh Rohani 39 tahun, TKI asal Jawa Timur. Dia merasa selama 3 bulan dia bekerja dia selalu melakukan tugasnya dengan baik, namun anehnya selama 3 bulan majikannya tidak kunjung membayarkan gajinya. Pada akhirnya, dia memeberanikan diri untuk meminta haknya namun bukan gaji yang di dapatkannya tetapi kekerasan seksual yang didapatkannya. Pernyataan tersebut di dukung melalui wawancara dengan Ibu Rohani secara langsung.

“Saya sudah 3 bulan bekerja mbak. Saya kerjanya rajin. Tapi selama 3 bulan gaji saya tidak diberikan padahal saya juga perlu mengirim uang untuk keluarga di kampung. Pas saya minta gaji saya malah di perkosa mbak. Saya malu. Hati saya sakit sekali. Saya ke Malaysia untuk bekerja tapi malah diperlakukan seperti ini. Saya malu kalau bertemu suami saya nanti”. (Wawancara dengan Rohani, 39

tahun, TKI asal Jawa Timur)

Secara umun, berbagai permasalahan yang dialami TKI di Malaysia dalam kaitan hubungan kerja dikelompokkan dalam 3 (tiga) hal, yakni:

1. Permasalahan yang berasal dari sistem penempatan yang dilakukan oleh pelaku-pelaku penempatan, diantaranya :

a. Pelaksana Penempatan Tenaga Kerja Indonesia Swasta (PPTKIS) tidak memberikan pembekalan yang cukup atau tidak sesuai dengan profesi TKI yang akan dipekerjakan di Malaysia

b. PPTKIS menempatkan TKI tanpa melalui prosedur yang berlaku seperti tanpa melalui prosedur yang berlaku seperti

(22)

42 tanpa Perjanjian Kerja yang dilegalisasi oleh perwakilan RI

di Malaysia

c. PPTKIS tidak memonitor terhadap TKI yang ditempatkan di Malaysia

2. Permasalahan yang berasal dari individu karena tidak dapat menyelesaikan masa kontrak kerja (1 atau 2 tahun), atau belum selesai masa percobaan selama 3 bulan kemudian meminta pulang ke Indonesia atau melarikan diri. Hal ini disebabkan karena :

a. TKI tidak memiliki kesiapan mental untuk bekerja di Malaysia b. TKI mengalami culture shock.

c. TKI kurang memiliki ketrampilan baik bahasa maupun pekerjaan secara umum.

3. Permasalahan yang berasal dari pihak manajemen perusahaan sehingga tenaga kerja Indonesia merasa tidak betah dan melarikan diri. Hal ini disebabkan karena :

a. Pihak manajemen perusahaan tidak mempekerjakan TKI sesuai pekerjaan yang tercantum dalam visa atau Perjanjian Kerja (PK).

b. Pihak manajemen perusahaan tidak membawa TKI berobat jika sakit.

c. Pihak manajemen perusahaan tidak member jaminan akomodasi yang layak.

Pernyataan di atas di dukung melalui wawancara dengan Bapak Hapipi dari BNP2TKI secara langsung.

”Ada banyak sebab mbak mengapa terjadi banyak permasalahan kepada TKI di Malaysia. Seperti dari PPTKIS tidak memberikan pelatihan yang sesuai dengan pekerjaan TKI. Kalau tidak sesuai kan yang mengalami kesulitan para TKI. Kemudian, TKI tidak ditempatkan sesuai prosedur. Jadi sebenarnya banyak TKI yang ditempatkan tanpa ada perjanjian kerja yang dilegalisasi oleh pihak KBRI

(23)

43

atau KJRI setempat. Lalu, tidak adanya kontrol juga menjadi salah satu sebab. Karena percuma saja kalau penempatan TKI di luar negeri berhasil tapi kontrol tidak dilakukan, sama saja menelantarkan TKI juga. Selain itu, TKI yang tidak siap mental juga bisa jadi penyebab permasalahan TKI di luar negeri terjadi. Lalu, culture shock juga menjadi pemicu. Kalau ada TKI yang kaget dengan budaya disana, lalu mentalnya tidak siap, kemudian TKI yang bersangkutan ingin pulang kan juga menjadi permasalahan untuk majikannya misalnya. Bahasa juga bisa menjadi kendala. Komunikasi itu sangat penting, kalau komunikasi tidak lancar pekerjaan juga bisa menjadi tidak lancar juga. Dari hal tersebut biasanya yang harusnya kontrak kerjanya 3 tahum, tapi karena TKI tidak betah jadi baru satu tahun bekerja langsung ingin berhenti. Kemudian, terdapat penyebab permasalahan dari pihak menejemen, seperti tidak adanya akomodasi yang layak, tidak membawa TKI berobat ketika sakit dan juga tidak mempekerjakan TKI sesuai dengan perjanjian kerja. (Wawancara dengan Bapak Hapipi, Kasubag Publikasi

Dokumentasi dan Perpustakaan, BNP2TKI)

Sesuai dengan hasil wawancara, Atase Kepolisian KBRI di Malaysia, yang mana juga berinteraksi langsung dengan TKI korban kekerasan mengakui bahwa banyak hal yang mengakibatkan terjadinya kekerasan pada TKI. Pertama, adanya campur tangan calo atau agen yang memanfaatkan TKI untuk berstatus ilegal menjadi salah satu penyebab maraknya TKI mengalami kekerasan.

“Biasanya calo atau agen menjanjikan pekerjaan yang layak bagi calon TKI sehingga TKI tergiur untuk mengikuti ajakan tersebut. Dari status ilegal tersebut, majikan merasa boleh memperlakukan TKI yang bersangkutan sesuka hati karena mengingat majikan sudah mengeluarkan bayaran untuk mendapatkan TKI tersebut.” (Wawancara dengan Bapak

Chaidir, Atase Kepolisian, KBRI di Malaysia)

Kemudian, kurangnya pendidikan dan pelatihan kerja terhadap TKI juga menjadi satu dari beberapa penyebab.

“TKI kan seharusnya mendapatkan pendidikan dan pelatihan sesuai dengan pekerjaan yang akan dilakukan. Tapi banyak TKI yang melapor ke sini (KBRI) kalau di interogasi mereka bilangnya tidak mendapatkan pendidikan dan pelatihan. Padahal tujuan pendidikan dan pelatihan kan baik untuk TKI.” (Wawancara dengan Bapak Chaidir, Atase Kepolisian, KBRI

(24)

44 Selain itu, level pendidikan yang rendah juga mempengaruhi tindak kekerasan pada TKI. Hal ini juga di perjelas oleh Bapak Chaidir ketika wawancara sedang dilakukan.

“ Ada juga penyebab lain. Kebanyakan TKI yang bekerja merupakan lulusan pendidikannya rendah. Paling tidak mereka hanya lulusan SMP sisanya hanya lulusan SD”. (Wawancara dengan Bapak Chaidir, Atase Kepolisian, KBRI di Malaysia)

Tabel 4.5 Penempatan PMI berdasarkan Tingkat Pendidikan periode 2019

Sumber : Pusat Penelitian Pengembangan dan Informasi (Puslitfo) BNP2TKI

Data menunjukkan bahwa pada tahun 2019 hampir 98% dari 136.709 TKI yang bekerja di luar negeri hanya merupakan lulusan SD-SMU. Sedangkan, TKI yang bekerja sebagai pembantu rumah tangga (PRT) di Malaysia, mayoritas berasal dari TKI yang non-terdidik dan biasanya berasal dari kalangan pekerja rumah tangga yang kebanyakan kaum wanita.

Dari beberapa kasus kekerasan pada TKI menunjukkan bahwa TKI kita memiliki kualitas yang rendah ini menunjukan kesejahteraan di negara kita tercinta ini masih rendah yang menyebabkan warga negaranya harus pergi jauh-jauh ke negara orang lain untuk mencari nafkah. Selain itu, karena pendidikan para TKI masih sangat rendah sehingga kemampuan intlektualnya sangat kurang, dapat mengakibatkan TKI kita hanya dijadikan PRT yang dapat digaji semaunya dan tidak pernah dianggap sebagai pekerja yang profesional. Seperti kita ketahui kemiskinan itu terjadi karena kurangnya lapangan kerja di Indonesia ini, oleh karena itu banyak warga negara Indonesia yang tidak memiliki pekerjaan dan menjadi pengangguran. Sehingga banyak warga Negara Indonessia (WNI)

(25)

45 yang menjadi TKI di negara-negara maju. Akan tetapi bukan pekerjaan yang mereka dapat melainkan kekerasan fisik bahkan kekerasan seksual khususnya untuk kaum wanita.

4.5 Upaya Pemerintah Indonesia dalam Menangani Masalah Kekerasan TKI di Malaysia pada masa Pemerintahan Joko Widodo

Meskipun permasalahan TKI merupakan sesuatu yang kompleks karena banyaknya faktor yang saling terkait, namun tidak berarti bahwa Pemerintah boleh mengabaikan aspek perlindungan terhadap TKI. Kondisi bahwa negara lain membutuhkan TKI guna mendukung perekonomian mereka seharusnya dapat dimanfaatkan secara maksimal oleh Pemerintah Indonesia sebagai posisi tawar untuk menuntut jaminan perlindungan hukum dan perlakuan yang layak bagi TKI. Menjadi kewajiban Pemerintah untuk menjamin warganya diperlakukan secara adil dan manusiawi dimanapun dia berada dan apapun profesinya, termasuk mereka yang memilih menjadi TKI di luar negeri

a. Perlindungan Hukum dari Pemerintah Indonesia

Secara umum, pemerintah dalam hal ini Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI) merupakan badan yang bertanggung jawab secara langsung apabila terjadi permasalah terhadap TKI yang bekerja di luar negeri. Dalam pelaksanaannya terdapat 2 macam masalah dalam menyelasaikan kasus yang bersangkutan dengan TKI. Pertama, masalah litigasi dimana merupakan masalah dengan pelanggaran hukum, yang akan ditangani oleh penegak hukum yaitu Kepolisian maupun Kejaksaan. Kedua, masalah non ligitasi, yang bisa ditangani oleh BP3TKI. Masing-masing badan bekerja tentunya saling berkoordinasi antara satu dengan yang lain. Untuk TKI dengan kasus kekerasan tanpa ada masalah hukum, dalam hal ini korban merasa bahwa kasusnya tidak perlu dibawa hingga ke ranah hukum, maka korban hanya akan di data untuk administrasi. Pernyataan ini di dukung melalui wawancara dengan Bapak Chaidir selaku Atase Kepolisian.

“TKI yang melapor biasanya di bagi menjadi 2 macam. Pertama kalau yang bersangkutan bermasalah dengan hukum atau ligitasi, biasanya ditangani oleh saya langsung selaku perwakilan kepolisian Indonesia yang ada di Malaysia. Kemudian akan di

(26)

46

bantu dalam peradilan juga”. (Wawancara dengan Bapak Chaidir,

Atase Kepolisian, KBRI di Malaysia)

Namun, untuk kasus kekerasan TKI yang tidak dibawa ke jalur hukum, KBRI tidak semudah untuk mempercayai korban. Berdasarkan wawancara dengan Atase Kepolisian, pihak KBRI harus menginterogasi secara dalam apa yang menyebabkan korban mengalami kekerasan dari majikan. Karena dalam beberapa kasus, terdapat TKI korban kekerasan yang melaporkan diri ke KBRI, namun setelah diselidiki lebih dalam korban mendapat kekerasan karena tidak melakukan pekerjaannnya dengan baik. Sehingga, korban berani untuk melarikan diri dan meminta perlindungan ke KBRI agar dapat dipulangakan ke Indonesia. Pernyataan ini di dukung melalui wawancara dengan Bapak Chaidir selaku Atase Kepolisian.

“Kalau TKI yang permasalahannya tidak menyangkut hukum kami harus menginterogasinya lebih lagi. Seperti pernah ada TKI yang mengaku mengalami kekerasan dan meminta pulang ke Indonesia. Setelah kami selidiki lebih dalam lagi, ternyata yang bersangkutan mendapatkan kekerasan karena tidak bekerja dengan baik. Jadi mereka hanya memanfaatkan laporan mereka untuk dapat pulang ke Indonesia”. (Wawancara dengan Bapak Chaidir, Atase

Kepolisian, KBRI di Malaysia)

Seperti halnya dengan Jumanin (Lombok, 37 tahun) yang merupakan salah satu TKI korban kekerasan, namun tidak ingin masalahnya dibawa ke ranah hukum. Meskipun kekerasan yang dialaminya merupakan murni kesalahan majikannya, dia mengaku tidak ingin membawa masalahnya ke ranah hukum karena dia merasa trauma akibat kekersan yang dialaminya. Pada akhirnya, untuk sementara waktu Jumanim tinggal di shelter dan bekerja di kantin yang disediakan KBRI, selagi menunggu waktu kepulangannya tiba. Pernyataan ini di dukung melalui wawancara dengan Ibu Jumanim, TKI asal Lombok.

(27)

47

“Saya tidak mau mbak bertemu dia lagi (majikan). Cukup satu kali saya dia pukul saya. Saya tidak mau bertemu dia lagi. Yang penting saya disini aman. Saya bisa pulang ke Indonesia”. (Wawancara

dengan Jumanin,37 tahun, TKI asal Lombok)

Namun, Untuk kasus kekerasan yang melibatkan hukum, Atase Konsuler dan Atase Kepolisian dari KBRI yang tentunya bekerja sama dengan kepolisian Malaysia yang akan mengurus penyelesaian masalah korban. Pihak kepolisian Malaysia pun akan mendatangi rumah majikan dari korban untuk diinterogasi. Atase Konsuler juga akan menghubungi PJTKI atau agen yang sudah menyalurkan korban ke Malaysia. Selama proses hukum berjalan, korban harus tetap tinggal di shelter agar hukum tetap berjalan dengan adil. Akan ada pengacara yang mendampingi korban hingga proses hukum dapat berjalan dengan adil dan korban dapat pulang ke Indonesia.

“Beda lagi kalau TKI yang bersangkutan meminta haknya mbak. Berarti kami harus membantunya lewat jalur hukum. Ketika laporan masuk, dari Atase Konsuler dan Kepolisian pasti menginterogasi secara dalam terakait masalahnya. Kalau memang benar yang bersangkutan mengalami kekerasan maka kami akan melaporkannya kepada pihak kepolisian Malaysia. Kemudian pihak kepolisian Malaysia akan mendatangi rumah majikan untuk mendapatkan informasi juga. Jika benar adanya, proses hukum akan dilakukan. Tentunya dari pihak KBRI memberikan pengacara untuk membantu TKI yang bersangkutan menjalani proses hukumnya. Dan juga selama proses hukum berjalan TKI yang bersangkutan juga mendapatkan tempat untuk tinggal yaitu di shelter bersama TKI yang bermasalah lainnya”.

(Wawancara dengan Bapak Chaidir, Atase Kepolisian, KBRI di Malaysia)

Seperti kasus Rohani (Jawa Timur, 39 tahun), yang merupakan TKI korban kekerasan seksual. Rohani mengalami kekerasan karena dia meminta gaji yang

(28)

48 tidak kunjung oleh majikannya. Hingga sekarang, Rohani masih menjalani proses hukum, namun melalui proses hukum yang masih berjalan dia bisa mendapatkan gajinya sebanyak RM 19.000 selama 3 bulan dia bekerja. Pernyataan tersebut diakuinya melalui wawancara yang dilakukan secara langsung.

Saya sudah ikut beberapa kali sidang mbak. Dari sidang itu gaji saya sebanyak RM 19.000 dibayar oleh majikan saya. Tapi masih ada sidang lanjutan untuk putusan akhir.” (Wawancara dengan Ibu Rohani, 39 tahun, TKI asal Jawa Timur)

Sepanjang sejarah hubungan bilateral Indonesia-Malaysia, kedua negara telah menyaksikan berbagai permasalahan yang melanggar hak-hak asasi TKI. Penganiayaan TKI oleh majikan, pemerkosaan, penyekapan, pembunuhan, hingga tidak dibayarnya upah TKI, merupakan permasalahan-permasalahan yang berulang kali terjadi. Presiden Jokowi menjadikan perlindungan Warga Negara Indonesia (WNI) sebagai salah satu prioritas politik luar negeri. Langkah Presiden Jokowi memprioritaskan negara Malaysia patut diapresiasi karena pelayanan dan perlindungan WNI di Malaysia memang menjadi tantangan yang besar. Meskipun begitu, upaya pemerintah dalam melindungi TKI melalui jalur hukum merupakan bentuk perlindungan yang nyata. Dengan adanya tindak lanjut dari pemerintah kepada pemerintah Malaysia, hal tersebut menjadi bukti bahwa kerjasama tetap harus berjalan. Bantuan secara hukum membuktikkan bahwa pemerintah Indonesia terus berusaha melindungi warga negaranya tetapi dengan adanya respon dari pemerintah Malaysia menunjukkan bahwa keduanya berusaha untuk terus menjaga hubungan antara satu sama lain dengan menegakkan keadilan.

b. Mendorong Pembentukan Memorandum of Understanding (Nota Kesepahaman) dalam Bidang Penempatan dan Perlindungan TKI dengan Malaysia.

Dalam rangka mengatasi berbagai permasalahan yang salah satunya adalah kekerasan pada TKI, pemerintah kedua negara telah sepakat untuk mengadakan serangkaian perundingan guna membahas bentuk-bentuk perlindungan yang dapat diberikan kepada TKI di Malaysia, serta memberikan jaminan terpenuhinya

(29)

hak-49 hak buruh dan sipil. Perundingan ini mulai dirintis pada 2004 pada masa pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudoyono, yang dilanjutkan dengan perundingan pada 13 Desember 2005 di Malaysia. Kemudian ditindaklanjuti dengan perundingan antara Presiden Joko Widodo dengan Perdana Menteri Malaysia di Putrajaya, pada Mei 2016. Melalui perundingan tersebut, kedua negara menyepakati bahwa kerja sama perlindungan TKI akan dituangkan dalam bentuk nota kesepahaman/ Memorandtan of Understanding (MoU).19 Pernyataan tersebut oleh pernyataan Bapak Teguh Bachtiar selaku Pengatur Kerja Muda di Kementerian Keternagakerjaan.

“Tentunya pemerintah melakukan penanganan dan juga bisa dikatakan pencegahan agar angka kekerasan pada TKI berkurang. Pemerintah Indonesia dan Malaysia membuat kesepakatan melalui perundingan pada Mei 2016 mengenai perlindungan TKI yang dituangkan dalam bentuk Memorandtan of Understanding (MoU). Kesepakatan ditanda tangani oleh Menteri Keternagakerjaan Indonesia dan Menteri Sumber Manusia Malaysia”. (Wawancara dengan Bapak Teguh, selaku Pengatur Kerja Muda di Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi)

MoU tersebut secara garis besar meliputi 4 (empat) aspek, yaitu: penempatan TKI informal di Malaysia, penyalahgunaan visa kunjungan sosial oleh TKI untuk bekerja di Malaysia, pendidikan bagi anak-anak TKI, pelatihan mengenai kebudayaan, dan sebagainya. Beberapa ketentuan lainnya yang juga diatur oleh MoU ini terkait dengan perlindungan TKI adalah:

1. Baik majikan maupun TKI wajib memuat kontrak kerja yang mencantumkan secara jelas hak-hak dan kewajiban para pihak, termasuk jumlah gaji yang akan diterima TKI dan pelarangan niajikan serta pengerah TKI untuk melakukan pemotongan gaji;

2. Pengerah TKI wajib menyampaikan kopi kontrak kerja dan data majikan kepada pcrwakilan Indonesia di Malaysia;

(30)

50 3. Adanya mekanisme penyelesaian sengketa antara majikan dan TKI, dimana otoritas tenaga kerja Malaysia berhak melakukan intervensi. Majikan yang bemaksud membawa TKI ke luar Malaysia harus mendapatkan persetujuan perwakilan Indonesia di Malaysia;

4. Majikan bertanggung jawab atas pembayaran-pembayaran security deposit, biaya transportasi dan biaya pengurusan izin-izin, work pass, perneriksaan kesehatan, pajak tahunan, dan foreign workers card TKI. Majikan juga wajib memasukkan TKI ke dalam program jarninan sosial untuk tenaga kerja asing (foreign workers compensation scheme); 5. Struktur biaya calon TKI harus jelas dan transparan, baik untuk

mengurus dokumen, biaya transportasi, asuransi, biaya selama di penampungan, dan sebagainya.

Dari upaya ini menunjukkan bahwa pemerintah sendiri selalu ingin menjalin hubungan kerjasama yang baik dengan Malaysia. Di satu sisi Pemerintah Indonesia ingin melindung TKI dari tindak kekerasan, namun di sisi lainnya Pemerintah Indonesia tetap harus menjaga hubungan bilateralnya. Tenaga Kerja dari Indonesia selama ini memang sangat dibutuhkan di luar negeri. Malaysia yang menjadi negara penerima terbanyak TKI, membuktikan bahwa Malaysia juga memiliki kebutuhan yang tinggi akan tenaga kerja asing. Negara pun juga mendapat manfaat ekonomi karena mereka merupakan sumber devisa terbesar dan membantu perekonomian pemerintah Indonesia baik secara legal mapun ilegal. Remitansi yang dikirim oleh TKI dari luar negeri ke dalam negeri merupakan formulasi dari unsur pelayanan penempatan dan perlindungan TKI ke luar negeri.

(31)

51 Tabel 4.6 Remitansi Pekerja Migran Indonesia tahun 2014 s.d 2018

Sumber : Pusat Penelitian Pengembangan dan Informasi (Puslitfo) BNP2TKI

Dapat dilihat dari data di atas bahwa dari tahun 2014-2018 Malaysia menjadi negara dengan jumlah remitansi tertinggi. Masuknya remitansi mendorong kemampuan negara untuk membayar utang-utang luar negeri dan mengimpor barang-barang untuk menunjuang pembangunan nasional. Remitansi melalui pengiriman TKI merupakan devisa yang paling efisien, dibandingkan dengan devisa yang lainnya karena tidak membutuhkan modal yang terlalu besar.

Dalam proses kesepakatan upaya perlindungan TKI di Malaysia tersebut diketahui bahwa terdapat kepentingan kedua negara. Pemerintah Indonesia akan terus mengupayakan perlindungan bagi warga negaranya tetapi di sisi lain tetap harus menjaga hubungan kerjasamanya dengan Malaysia. Melalui MoU yang telah dibuat Indonesia dan Malaysia menunjukkan bahwa dengan memperbaiki kesepakatan yang sudah ada, Indonesia berharap proses perlindungan dan penempatan TKI menjadi semakin baik dan mengurangi angka kekerasan pada TKI. Karena jika berkurangnya akan kekerasan pada TKI di Malaysia, hal tersebut akan memperlancar proses kerjasama antara kedua belah pihak dalam bidang apapun.

Dari kedua upaya tersebut tentunya ada harapan bahwa upaya yang dilakukan berdampak atau memberikan hasil terkait permasalah yang terjadi. Berdasarkan data BNP2TKI sepanjang tahun 2017 jumlah TKI bermasalah yang dipulangkan oleh Satgas PTKIB (Pemulangan TKI Bermasalah) daerah di seluruh

(32)

52 Indonesia sebanyak 518.000 orang. Jumlah TKI yang dipulangkan dari Malaysia selama kurun waktu 2014 sampai dengan 2017 dapat dilihat pada tabel berikut. Tabel 4.7 Pemulangan TKI Bermasalah dan Keluarganya dari Malaysia Tahun 2014-2017

Sumber : Pusat Penelitian Pengembangan dan Informasi (Puslitfo) BNP2TKI

Berdasarkan data dari tabel 4.7 menunjukkan bahwa terdapat hasil dari upaya pemerintah dimana angka pemulangan TKI lebih banyak dari angka penempatan TKI dari tahun 2014-2017 di Malaysia. Hal tersebut juga membuktikan bahwa dari besarnya jumlah kepulangan dibandingkan jumlah penempatan menunjukkan bahwa kurang ketatnya jalur-jalur perbatasan yang digunakan oleh para TKI untuk dapat mencari lapangan pekerjaan di Malaysia. Meskipun demikian, usaha pemerintah dalam menangani kasus TKI yang bermasalah khususnya kasus kekerasan TKI oleh majikan di Malaysia dikatakan berhasil, melihat adanya angka pemulangan TKI yang tinggi yang mana menjadi bukti bahwa upaya yang dilakukan pemerintah juga memberikan hasil yang baik. 4.6 Hambatan-hambatan yang Dihadapi Pemerintah Indonesia

Dalam menangani kasus kekerasan yang ada, pemerintah tentu mendapati tantangan-tantangan yang menghambat upaya pemerintah dalam menagani kasus kekerasan pada TKI di Malaysia. Pada saat proses perlindungan hukum misalnya pemerintah mengalami hamabatan tersendiri ketika menangani kasus yang ada. Pertama, kurang kerjasamanya TKI bisa berdampak pada proses peradilan yang sedang berjalan. Beberapa TKI yang mengalami kasus kekerasan baik fisik maupun seksual mengalami

(33)

53 trauma atas pengalaman pahit atas pengalaman pahit yang dirasakannya. Hal ini diakui oleh Bapak Chaidir pada saat proses wawancara dilakukan.

“Kami sebenarnya sangat ingin membantu. Tetapi seperti yang saya katakan tadi bahwa ada TKI yang mengalami trauma mereka tidak ingin kasus mereka dibawa ke pengadilan. Namun, pernah terjadi beberapa kali ketika sidang pertama dilakukan TKI yang bersangkutan ./mau datang dalam sidang pengadilan, tetapi pada saat sidang kedua harus berjalan TKI yang bersangkutan menolak mengikuti sidang sehingga sidang harus di tunda. Kami sebenarnya paham betul apa yang dialami TKI tersebut, tapi ya seperti yang saya katakan tadi kalau sidang di tunda terus maka akan memperlambat penyelesaian kasus yang ada dan TKI yang bersangkutan juga semakin lama untuk dapat pulang ke kampung halaman” (Wawancara dengan Bapak Chaidir, Atase Kepolisian, KBRI di

Malaysia)

Selain TKI yang bersangkutan uring-uringan untuk menghadiri sidang yang berjalan, TKI yang tidak memberikan kesaksian secara konsisten juga menjadi kendala dalam proses penyelesaian kasus yang ada. Pada saat pertama kali membuat laporan Atase Konsuler dan Atase Kepolisian harus mendapatkan informasi atau gambaran bagaimana terjadinya kekerasan pada TKI yang bersangkutan untuk menjadi bukti atau laporan kepada pihak kepolisian Malaysia. Ketika pihak Malaysia sudah menerima laporan dan menyatakan bahwa kasus tersebut dapat dibawa ke pengadilan, TKI yang bersangkutan memberikan kesaksian yang berbeda dari apa yang dikatakannya ketika melaporkan dirinya ke KBRI. Hal ini dinyatakan oleh Bapak Chaidir melalui wawancara secara langsung.

“Ada juga kendala dari TKI yang tidak konsisten dalam memberikan informasi mbak. Ketika pertama melapor ke KBRI tentu kami proses sesuai prosedur dimana yang bersangkutan kami interogasi agar kami tahu pokok permasalahannya dimana. Kemudian setelah menurut kami kasus tersebut memang harus dibawa ke pengadilan dan yang bersangkutan menyetujuinya tentunya kami melanjutkan laporan yang ada ke pihak kepolisian Malaysia. Setelah dari pihak Malaysia menyetujui dan sidang sudah berlangsung, TKI yang bersangkutan memberikan kesaksian yang berbeda dari apa yang kami tanyakan ketika pertama kalinya dia melapor. Setelah kami tanyakan apa alasannya yang bersangkutan takut ketika bertemu dengan majikannya. Kami paham mbak

(34)

54

bagaimana kondisinya, namun jika ketika sidang yang bersangkutan tidak memberikan pembelaan maka akan merugikan yang bersangkutan”. (Wawancara

dengan Bapak Chaidir, Atase Kepolisian, KBRI di Malaysia)

Kendala juga dialami dalam pembentukan MoU (Memorandum of Understanding) Ketenagakerjaan antara pemerintah Indonesia dan Malaysia. Kurang adanya pembaharuan menjadi salah satu kendala bagi pemerintah Indonesia dalam menangani kasus kekerasan yang ada. Hal ini diakui Bapak Teguh selaku selaku Pengatur Kerja Muda di Kementerian Ketenagakerjaan.

“Memang benar pada masa pemerintahan Joko Widodo sudah ada pembentukan MoU dalam bidang penempatan dan perlindungan TKI dengan pemerintah Malaysia. Namun hingga saat ini belum ada pembaharuan, dimana kita tahu bahwa masalah-masalah atau kasus-kasus di Malaysia terkait TKI bersifat dinamis. (Wawancara dengan Bapak Teguh, selaku Pengantar Kerja Muda di

Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi)

Selain itu beliau juga mengakui bahwa selama ini pemerintah Indonesia dalam menangani

kasus TKI hanya berorientasi pada penyelesaian masalah bukan pada mencari akar penyebab masalah. Hal tersebut pula yang menjadi hambatan utama dalam menangani penyelesaian masalah TKI.

“Harusnya pemerintah mencari akar masalahnya, bukan hanya menyelesaikan

masalah saja. Kalau akar masalah belum dapat diselesaikan maka masalah-masalah TKI, terutama kasus kekerasan oleh majikan akan terus ada selama posisi tawar Indonesia lemah terhadap Malaysia. Oleh sebab itu, pemerintah Indonesia harus mengupayakan pengamanan yang lebih ketat melalui pembaharuan perjanjian bilateral dengan pemerintah Malaysia”. (Wawancara

dengan Bapak Teguh, selaku Pengantar Kerja Muda di Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi)

Gambar

Tabel 4.1 Penempatan PMI berdasarkan Negara Periode 2019
Tabel 4.2 Jumlah Pengaduan PMI di Crisis Center Berdasarkan Media tahun 2019
Tabel 4.5 Penempatan PMI berdasarkan Tingkat Pendidikan periode 2019
Tabel 4.7 Pemulangan TKI Bermasalah dan Keluarganya dari Malaysia Tahun 2014- 2014-2017

Referensi

Dokumen terkait

Hotel menu ini menunjukan beberapa hotel yang ada baik di kota Malang dan kota Batu, Data hotel yang ditampilkan juga sangat lengkap terdiri dari foto-foto hotel,

Skripsi yang berjudul Nilai Budi Pekerti dalam Cerita Rakyat Ki Ageng Wonolelo (Sebuah Kajian Resepsi Sastra) merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana

Hasil uji hiptesis F menunjukkan bahwa secara simultan tidak terdapat pengaruh antara variable kepemimpinan transaksional dan motivasi terhadap kinerja dengan ukuran F

yang membutuhkan logika seperti terdapat dalam function tidak perlu menuliskan ulang akan tetapi cukup.. memanggil

Pemegang saham yang kami hormati, Atas nama Dewan Komisaris PT Summarecon Agung Tbk, adalah sebuah kehormatan untuk menyampaikan Laporan Tahunan dan Laporan Keuangan Perusahaan

Indikator Eksternal ketiga adalah famil- iarity menunjukkan bahwa item pernyataan yang paling tinggi skornya adalah item EFM 2 dengan mean 4,37, dimana sebanyak 47,3 %

Penelitian ini bertujuan tuntuk mengetahui: 1). Modal kerja kelompok ternak mitra saluyu pagerageung-tasikmalaya dari tahun 2006-2015; 2) tingkat profitabilitas

surat keterangan bahwa pengunduran diri sedang diproses oleh pejabat yang berwenang bagi Bakal Calon yang berstatus Gubernur, Wakil Gubernur, Bupati, Wakil Bupati,