• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Kebumen merupakan Kabupaten yang berada di Jawa Tengah. Kebumen

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Kebumen merupakan Kabupaten yang berada di Jawa Tengah. Kebumen"

Copied!
19
0
0

Teks penuh

(1)

1 BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang 1. Permasalahan

Kebumen merupakan Kabupaten yang berada di Jawa Tengah. Kebumen terdiri atas 26 kecamatan, 449 desa, dan 11 kelurahan yang memiliki pusat pemerintahan di kecamatan Kebumen. Kebumen secara geografis merupakan daerah perbukitan, sebagian daerah merupakan daerah pantai, dan sebagian merupakan dataran rendah. Kebumen merupakan daerah yang masih berupa pedesaan. Batas Kebumen dengan yang lainnya meliputi, sebelah timur berbatasan dengan Kabupaten Purworejo, sebelah utara berbatasan dengan Kabupaten Banjarnegara, sebelah barat berbatasan dengan Kabupaten Banyumas dan Kabupaten Cilacap, dan sebelah selatan Samudera Indonesia (Asa, 2012: 41).

Kebumen berasal dari kata Bumi, yang merupakan nama dari Bumidirja yang mendapat awalan ke dan an yang menyatakan tempat. Kebumen ada juga yang menyebutkan berasal dari kata kebumian yang berarti sebagai tempat tinggal Kyai Bumi setelah dijadikan pelarian Pangeran Bumidirja atau pangeran Mangkubumi (Asa, 2012: 38). Kebumen pada dasarnya memiliki beraneka ragam cerita sejarah asal usul terbentuknya Kebumen, tetapi cerita yang paling kuat terdengar yaitu cerita adanya Pangeran Bumidirja. Keanekaragaman cerita sejarah di Kebumen sangat mempengaruhi kebudayaan lokal di Kebumen. Ebleg merupakan salah satu hasil kebudayaan di Kebumen yang berupa tarian.

(2)

Ebleg tergolong dalam tarian rakyat, karena menurut Tim Dosen Estetika dalam Metode Pengembangan Seni (Pekerti dkk, 2008: 5.9) tarian rakyat adalah tarian yang hidup dan berkembang di kalangan masyarakat kebanyakan biasanya di pedesaan. Ebleg merupakan tarian rakyat yang mirip dengan Jathilan, Kuda Lumping, Jaranan dan sebagainya. Kesenian dengan menggunakan kuda-kudaan seperti Ebleg atau sering disebut dengan Kuda Lumping (nama umum untuk tarian yang menggunakan alat peraga berbentuk kuda-kudaan yang terbuat dari anyaman bambu) dapat ditemui hampir di seluruh Jawa.

Ebleg dalam bahasa Jawa merujuk pada kata bilik/tutup/tabag atau anyaman bambu lainnya. Hal tersebut terlihat dalam penggunaan peralatan yang berupa kuda-kudaan yang terbuat dari anyaman bambu. Tidak ada bukti yang pasti terkait asal mula terbentuknya Ebleg di Kebumen. Ebleg di Kebumen ada melalui cerita verbal. Tarian ini sangat diminati karena memiliki unsur magis, hal tersebut sesuai dengan sifat masyarakat Jawa yang senang dengan hal mistik.

Ebleg merupakan salah satu tarian yang ada sejak zamanSultan Agung Hayangkrakusuma saat berada di Panjer. Tarian Ebleg merupakan tarian yang memadukan antara tarian dan mistik, hal tersebut yang mampu menarik perhatian penulis untuk meneliti mengenai Ebleg. Alat musik merupakan suatu hal yang penting selain unsur tari dan mistik. Alat musik yang digunakan berupa 2 kendang, gong, kempul, kenong, demung, peking. Ebleg dalam setiap pertunjukannya terdiri dari 12 pemain kuda, 2 pemain barongan, 1 penthul (pemain cepet yang memiliki karakter lucu dan sebagai simbol penasehat), penabuh gamelan, dan penimbul (orang yang bertugas untuk mengatur jalannya

(3)

permainan, memanggil dan mengembalikan roh, atau yang sering disebut dengan dukun).

Ebleg adalah suatu bentuk tarian rakyat yang masuk dalam tarian tradisi yang di dalamnya terdapat unsur spiritual, filosofis, ideologis, moral, sejarah, dan patriotisme. Hal tersebut karena awal berdirinya tarian Ebleg sebagai strategi perang yang dilakukan olehSultan Agung Hayangkrakusuma untuk melawan penjajah. Ebleg selain sebagai strategi perang juga memiliki fungsi lain, diantaranya sebagai ritual, kegiatan sosial dan juga dapat digunakan sebagai sarana pendidikan.

Ebleg dalam perkembangannya menggunakan bentuk tarian yang sudah dimodifikasi sehingga sudah tidak lagi sesuai dengan pakem (gerakan yang sesuai aslinya yang tidak boleh diubah). Hal tersebut terjadi karena ada gesekan budaya dan para seniman ingin supaya tarian Ebleg selalu diminati oleh warga. Penari wanita dalam tarian Ebleg merupakan salah satu bentuk modifikasi paling terlihat dalam setiap penampilan.

Nilai merupakan bagian yang tidak dapat ditinggalkan oleh manusia. Manusia seringkali memberikan penilaian terhadap suatu hal yang menyangkut dengan dirinya. Nilai (value) termasuk dalam pokok pembahasan penting dalam filsafat. Nilai merujuk pada kata benda atau abstrak, yang dapat diartikan sebagai keberhargaan atau kebaikan (Darji dan Shidarta, 2006: 233). Nilai merupakan sesuatu yang berharga yang dipandang penting dalam kehidupan manusia. Nilai merupakan sesuatu yang biasanya dijadikan patokan untuk baik dan buruknya perilaku di dalam bermasyarakat.

(4)

Max Scheler merupakan filsuf kelahiran Jerman yang mendapat pengaruh dari Husserl. Hal itu yang menjadikan Scheler meneruskan metode Husserl yaitu metode fenomenologi. Adapun demikian, metode fenomenologi Scheler berbeda dengan metode Husserl, Scheler memandang fenomenologi merupakan metode tentang “pemikiran hakikat” yang diterapkan dalam bidang teori pengenalan, etika, filsafat kebudayaan, kebudayaan, dan nilai (Hadiwijono, 2011: 145). Hal tersebut dapat membuktikan kontribusi Scheler dalam bidang nilai sangat besar, karena masuk dalam seluruh aspek kehidupan manusia.

Scheler berpendapat bahwa nilai adalah suatu hal yang dituju oleh manusia, yang mewujudkan a priori emosi (Hadiwijono, 2011: 145). Nilai merupakan sesuatu yang konkret yang dapat dialami dan dirasakan oleh manusia. Scheler mendapatkan hal tersebut dari setiap pengalaman hidupnya. Scheler berpendapat bahwa dalam nilai terdapat susunan atau tingkatan, mulai dari tingkat terendah yaitu nilai kesenangan hingga nilai tertinggi nilai kesucian (Wahana, 2008: 59).

Nilai yang disajikan Scheler memiliki kualitas atau kekhasan dimensi tersendiri (Suseno, 2006:40). Tarian rakyat Ebleg merupakan tarian yang merakyat dan memiliki fungsi sebagai alat perjuangan dan ritual, sehingga dalam tarian rakyat Ebleg sarat akan nilai. Nilai-nilai yang terkandung dalam tarian rakyat Ebleg memiliki keunikan nilai yang meliputi nilai terendah hingga nilai ketuhanan, meskipun sudah mengalami perubahan fungsi.

2. Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian latar belakang di atas, maka dapat disusun beberapa pokok rumusan masalah yang akan diteliti.

(5)

a. Apa hakikat nilai menurut Max Scheler? b. Apa tarian rakyat Ebleg Kebumen?

c. Apa hakikat nilai tarian rakyat Ebleg Kebumen dalam perspektif hierarki nilai Max Scheler?

3. Keaslian Penelitian

Sejauh pengamatan yang dilakukan, peneliti belum pernah menemukan penelitian yang membahas secara rinci mengenai hierarki nilai Max Scheler terhadap tarian rakyat Ebleg Kebumen. Sejauh ini penelitian yang berhubungan dengan objek material:

a. Muhammad Fatkhur Rohman, 2008, “Dimensi Estetis dalam Seni Tari Jaranan Tulungagung”, skripsi Fakultas Filsafat UGM. Skripsi ini bertujuan untuk menunjukan perubahan fungsi dalam seni tari jaranan Tulungagung dan menunjukan perwujudan nilai estetis dalam seni tari jaranan Tulungagung.

b. Adi Asa, 2012, “Persepsi Masyarakat Terhadap Penari Kuda Lumping Wanita Gup Muncar Di Desa Karangrejo, Kecamatan Karanggayam, Kabupaten Kebumen”, skripsi Fakultas Ilmu Sosial UNY. Skripsi ini bertujuan untuk mendeskripsikan persepsi dari masyarakat tentang adanya penari Kuda Lumping wanita di desa Karangrejo, kecamatan Karanggayam, Kabupaten Kebumen.

c. Lesa Paranti, 2014, “Perkembangan Kesenian Kuda Lumping Di Desa Wisata Keji Kabupaten Semarang”, tesis Sekolah Pascasarjana UGM. Tesis ini bertujuan untuk melihat perkembangan kesenian Kuda

(6)

Lumping terutama dalam bentuk penyajiannya serta melihat faktor yang mempengaruhi kesenian Kuda Lumping di desa wisata Keji.

d. Taqwin, 2012, “Makna Keberagaman Hidup Pelaku Kesenian Jathilan”, skripsi Fakultas Ilmu Sosial dan Humaniora UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. Skripsi ini bertujuan untuk mengetahui keberagaman hidup pelaku kesenian Jathilan.

e. Yasser Tahura Putra, 2013, “Jathilan Di Perempatan Lampu Lalulintas Kentungan, Kabupaten Sleman, Yogyakarta, skripsi Fakultas Ilmu Budaya UGM. Skripsi ini bertujuan untuk mengetahui proses interaksi pemain Jathilan dengan profesi lain yang ada di perempatan lampu merah Kentungan yaitu, aktivitas untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari.

f. Dete Hudini Santika dkk, 2015, “Persepsi Masyarakat Terhadap Tari

Ebleg Singamataram Di Kelurahan Panjer Kecamatan Kebumen

Kabupaten Kebumen”, jurnal penelitian pendidikan seni tari. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui sejarah asal usul tari Ebleg Singamataram, persepsi masyarakat terhadap tari Ebleg Singamataram, dan upaya masyarakat dalam melestarikan tari Ebleg Singamataram. Berdasarkan hasil temuan, penelitian Adi Asa dan Dete Hudin Santika, Kuswarsantyo, dan Yuli Sectio Rini yang memiliki kesamaan daerah dengan penelitian yang hendak peneliti lakukan. Peneliti berusaha menekankan pada hierarki nilai Max Scheler yang terkandung dalam tarian rakyat Ebleg, mulai dari persiapan sebelum tarian hingga setelah tarian. Ebleg merupakan objek material

(7)

yang akan dikaji dalam penelitian ini. Penelitian ini menekankan pada keseluruhan nilai yang ada dalam tarian rakyat Ebleg. Berbeda dengan penelitian sebelumnya yaitu penelitian Asa yang membahas mengenai “Persepsi Masyarakat Terhadap Penari Kuda Lumping Wanita Grup Muncar Di Desa Karangrejo, Kecamatan Karanggayam, Kabupaten Kebumen” pada tahun 2012. Asa menekankan penelitian pada pandangan masyarakat terhadap penari wanita. Asa dalam penelitian menggunakan penyebutan Kuda Lumping, penyebutan tersebut merupakan penyebutan yang umum digunakan oleh masyarakat.

Dete Hudini Santika, Kuswarsantyo, dan Yuli Sectio Rini juga memiliki penyebutan yang sama dengan penelitian yang akan peneliti lakukan. Santika dkk melakukan penelitian dengan judul Persepsi Masyarakat Terhadap Tari Ebleg Singamataram Di Kelurahan Panjer Kecamatan Kebumen Kabupaten Kebumen. Adapun demikian, penelitian Santika dkk memiliki tujuan yang berbeda dengan peneliti, Santika hampir sama dengan penelitian Asa yang menekankan pada persepsi masyarakat. Namun, Santika dkk melihat bahwa persepsi yang ditimbulkan lebih pada sikap religi. Persepsi dalam penelitian Santika dkk, warga masyarakat menganggap bahwa tari Ebleg Singamataram di kelurahan Panjer kecamatan Kebumen Kabupaten Kebumen musyrik dan syirik.

4. Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat bagi khalayak baik secara langsung maupun tidak langsung dan sebagai sumbangsih bagi perkembangan kebudayaaan dan dunia pendidikan. Adapun manfaat yang diharapkan dari penelitian ini adalah:

(8)

a. Bagi Masyarakat

Penelitian ini diharapkan mampu memberikan pengetahuan, pemahaman, serta memberikan kesadaran bagi masyarakat untuk peduli terhadap budaya. Khususnya untuk masyarakat Kabupaten Kebumen dan sekitarnya agar memahami kembali makna yang terkandung dalam tarian rakyat Ebleg.

b. Bagi Filsafat

Penelitian ini diharapkan sebagai kontribusi di dalam perkembangan Ilmu Filsafat. Filsafat Nilai khususnya dengan pembahasan mengenai hierarki nilai Max Scheler dalam tarian rakyat Ebleg, dapat memperkaya ilmu pada umumnya.

c. Bagi Peneliti

Hasil penelitian memiliki manfaat bagi peneliti yakni, penelitian ini sebagai aktualisasi pemikiran filsafat untuk dipakai sebagai kerangka analisis terhadap persoalan nilai budaya yang ada dalam hubungannya dengan manusia.

B. Tujuan Penelitian Tujuan penelitian adalah:

1. Menjelaskan hakikat nilai Max Scheler. 2. Menjelaskan tarian rakyat Ebleg.

3. Menjelaskan hakikat nilai tarian rakyat Ebleg Kebumen dengan perspektif hierarki nilai Max Scheler.

(9)

C. Tinjauan Pustaka

Kepustakaan yang dirancang oleh peneliti terdahulu seputar objek material berupa tarian adalah skripsi yang ditulis oleh Muhammad Fatkhur Rohman mahasiswa Fakultas Filsafat Universitas Gadjah Mada dengan judul “Dimensi Estetis dalam Seni Tari Jaranan Tulungagung Nilai Estetis”. Skripsi ini secara umum mirip dengan penelitian yang akan diteliti, namun ketika ditelusuri lebih lanjut terdapat perbedaan, perbedaan tersebut terlihat dari keadaan geografis antara Kebumen dan juga Tulungagung, sehingga makna yang disampaikan berbeda. Seni tari jaranan merupakan suatu bentuk karya cipta manusia sebagai ungkapan ataupun ekspresi jiwa yang ditampilkan melalui gerak olah tubuh secara ritmis sehingga mendapat suatu bentuk gerakan yang indah namun memiliki sisi agresif, berbeda dengan seni tari yang ada di Kraton (Rohman, 2008: 62).

Rohman menyatakan bahwa seni tari merupakan suatu hasil dari budaya manusia serta suatu bentuk hasil pengungkapan keindahan. Seni dan tari merupakan dua kata yang tidak dapat dipisahkan. Seni secara etimologi berasal dari kata “sani” dalam bahasa Sansekerta yang berarti halus atau suci yang dipergunakan untuk mencurahkan gambaran batin pada pemujaan, kesenangan, memberi dan menerima sesuatu. Tari dalam bahasa Inggris disebut dengan dance merupakan suatu wujud dari karya manusia. Tari dalam bentuknya terwujud dalam bentuk gerakan yang selaras, mulai dari gerak kepala hingga gerak kaki (Rohman, 2008: 60-61).

Penelitian Adi Asa mahasiswa Fakultas Ilmu Sosial Universitas Negeri Yogyakarta dengan judul “Persepsi Masyarakat Terhadap Penari Kuda Lumping

(10)

Wanita Gup Muncar Di Desa Karangrejo, Kecamatan Karanggayam, Kabupaten Kebumen” pada tahun 2012. Penelitian Asa menjelaskan bahwa tari Kuda Lumping merupakan suatu bentuk seni pertunjukan tradisional Jawa yang memiliki unsur seni dan religi. Ciri khas kesenian ini menggunakan kuda yang terbuat dari anyaman bambu sebagai perlengkapan pertunjukan dan terdapat peristiwa kesurupan. Kuda Lumping merupakan kesenian rakyat yang bersifat ritual warisan masa purba. Hal ini dapat terlihat sebagai sarana upacara ritual, gerakan yang dimainkan sangat sederhana, mengandung unsur magis, bersifat spontan (Asa, 2012: 21-22).

Kuda Lumping dalam perkembangannya saat ini menggunakan penari wanita. Penari wanita pada Kuda Lumping di grup muncar di desa Karangrejo telah merubah aturan dan tampilan kesenian Kuda Lumping. Hal tersebut menimbulkan berbagai persepsi di masyarakat desa Karangrejo, ada persepsi positif dan juga persepsi negatif. Persepsi positif untuk penari wanita terlihat dengan adanya daya tarik tersendiri dan juga dapat dijadikan sebagai penyemangat untuk tetap eksis. Persepsi negatif yang dapat dilihat yaitu rawannya pelecehan seksual, karena ketika seorang penari ndadi maka akan terjadi kontak fisik antara penari dan penimbul yang kebanyakan laki-laki. Penari wanita pada seni tari Kuda Lumping juga akan menghilangkan tujuan awal didirikannya kesenian ini dan juga adanya labeling yang ditujukan pada penari wanita (Asa, 2012: 90-94).

Penelitian selanjutnya oleh Lesa Paranti dengan judul “Perkembangan Kesenian Kuda Lumping Di Desa Wisata Keji Kabupaten Semarang”. Penelitian

(11)

Paranti menyatakan bahwa Kuda Lumping merupakan kesenian yang dikenal sebagai peninggalan masa prasejarah ternyata tetap dapat dinikmati meskipun mengalami perubahan fungsi yang tadinya berfungsi sebagai ritual saat ini hanya menjadi hiburan bahkan sebagai wisata.

Kuda Lumping dalam perkembangannya memiliki beraneka bentuk yaitu diawali dengan bentuk penyajian Gejawan yang dilatarbelakangi oleh fungsi ritual, kemudian muncul Panoragan dan kuda Debog yang dilatarbelakangi oleh fungsi wisata. Pola penyajian baru dalam Kuda Lumping yang saat ini memiliki komponen yang berbeda, namun ciri khas dalam Kuda Lumping masih dipertahankan yaitu gerak kaki yang menirukan gerakan kuda (Paranti, 2015: 147).

Penelitian Taqwin dengan judul “Makna Keberagaman Hidup Pelaku Kesenian Jathilan” tahun 2012. Penelitian ini menyatakan bahwa kesenian Jathilan merupakan kesenian tari yang banyak dijumpai di daerah Jawa, khususnya Jawa Tengah dan wilayah Yogyakarta. Jathilan berasal dari kata jathil yang berarti melonjak sebagai ungkapan kebahagiaan, di dalam Jathilan memiliki gambaran mengenai cerita Panji Asmara Bangun dengan Dewi Skartaji. Tarian Jathilan biasanya diakhiri dengan prosesi kesurupan (Taqwin, 2012: 3).

Jathilan saat ini hampir kehilangan peminatnya. Taqwin dalam

penelitiannya menemukan bahwa kebermaknaan hidup pelaku kesenian Jathilan, dari berbagai sumber dapat diambil kesimpulan, bahwa pelaku kesenian Jathilan berusaha untuk melestarikan warisan kebudayaan dalam bentuk kesenian Jathilan,

(12)

terdapat kebermaknaan hidup dalam menjalani kehidupan sebagai pelaku kesenian Jathilan (Taqwin, 2012: 122).

Penelitian Yasser Tahura Putra dengan judul “Jathilan Di Perempatan Lampu Lalulintas Kentunhan, Kabupaten Sleman, Yogyakarta” pada tahun 2013. Putra menyatakan bahwa keberadaan reog Ponorogo tidak dapat dipisahkan dengan keberadaan gemblak. Gemblak merupakan penari Jathilan laki-laki dalam kesenian reog. Penari Jathilan laki-laki seiring berkembangnya waktu sudah mulai berkurang, bukan hanya itu saja, tari Jathilan pun saat ini sudah terpisah dengan rangkaian kegiatan reog Ponorogo (Putra, 2013: 3)

Penari Jathilan dalam mengungkapkan ekspresi menggunakan gerak tubuh. Gerak tari Jathilan dapat digali dari gerak tari yang sudah ada, tetapi disesuaikan dengan gerakan dan iringannya. Pakaian yang digunakan melambangkan sosok prajurit. Secara keseluruhan pakaian yang digunakan meliputi: celana kepanken cinde, baju hem lengan panjang, gulon ter, kalung kace, srempang, cakep, iket, binggel. Properti yang digunakan oleh penari Jathilan adalah Ebleg atau jaranan yang dikenakan penari sebagai alat bantu waktu menari. Bentuk tata rias menggunakan tatarias wajah putra alus lanyap sesuai dengan bentuk prajurit. Bentuk iringan musik menggunakan gending obyog dengan iringan pembuka gending panaragan, tetapi saat ini iringan musiknya hanya menggunakan iringan tiga gending, yaitu gending sampak dan gending obyog dengan iringan pembuka gending panaragan (Putra, 2013: 3-4).

Penelitian selanjutnya adalah penelitian Dete Hudin Santika, Kuswarsantyo, dan Yuli Sectio Rini dengan judul penelitian “Persepsi Masyarakat Terhadap

(13)

Tari Ebleg Singamataram Di Kelurahan Panjer Kecamatan Kebumen Kabupaten Kebumen” penelitian ini merupakan jurnal penelitian pendidikan seni tari yang dilakukan pada tahun 2015. Penelitian ini menyatakan bahwa tari ebeg merupakan tari rakyat yang berkembang di daerah Banyumas, namun di kebumen lebih dikenal dengan sebutan Ebleg. Tarian ini merupakan varian kuda kepang yang juga digunakan sebagai properti tari dan kerasukan roh (trance) sebagai puncak tarian. Tarian Ebleg Singamataram berbeda dengan tarian Ebleg lainnya di kabupaten Kebumen, yaitu terlihat dalam bentuk barongannya yang terbuat dari kulit macan. Tarian Ebleg Singamataram tidak pernah melakukan latihan, para penarinya merupakan keturunan dari penari sebelumnya dan mereka hanya menirukan tarian-tarian para seniornya, namun saat ini para generasi penerus sudah tidak mau meneruskan dengan alasan kesenian tersebut kuno (Santika dkk, 2015: 3-4).

Ebleg merupakan kesenian yang ada sejak zamanSultan Agung

Hayangkrakusuma. Panjer adalah nama Kabupaten Kebumen di masa lampau, yang menjadi lumbung padi Mataram saat memerangi Belanda. Saat Sultan Agung Hayangkrakusuma memimpin perang melawan Belanda pada tahun 1600an, Ebleg muncul di daerah Panjer. Ebleg Singamataram pada zaman dahulu lebih dikenal dengan sendratari perang Yudha Cakrakusuman, namun sejak perubahan properti Ebleg yang digunakan sudah lapuk, kesenian ini lebih dikenal dengan Ebleg Singamataram (Santika dkk, 2015: 10).

(14)

D. Landasan Teori

Nilai secara etimologis dapat dikatakan sebagai harga, sesuatu yang berharga pasti memiliki nilai. Filsafat nilai atau aksiologi merupakan salah satu cabang filsafat, karena membahas mengenai kehidupan manusia yang selalu berhubungan dengan nilai. Kata aksiologi atau dalam kata Inggris axiology, berasal dari kata Yunani axios (layak, pantas) dan logos (ilmu, studi mengenai). Aksiologi merupakan studi yang menyangkut teori umum tentang nilai atau suatu studi yang menyangkut segala yang bernilai (Bagus, 2005: 33). Nilai adalah segala sesuatu yang menarik bagi manusia sebagai subjek. Manusia merupakan pemeran utama dalam sesuatu hal, sehingga manusia memiliki perasaan untuk selalu diakui dalam lingkungan, akibatnya manusia memerlukan penilaiannya terhadap sesuatu hal yang berpengaruh dalam hidupnya. Eksistensi manusia dapat diakui apabila manusia mampu menerapkan nilai-nilai yang sesuai dengan lingkungannya. Nilai bersangkutan dengan segala sesuatu tentang yang baik dan yang buruk. Hal tersebut dapat terlihat dalam kehidupan sehari-hari terutama ketika berperilaku.

Max Scheler merupakan filsuf Jerman yang sangat berpengaruh dalam bidang fenomenologi. Perkembangan pemikiran Scheler memusatkan pada bidang nilai. Scheler menyatakan bahwa ada fakta fenomenologis, fakta fenomenologis adalah yang secara pasti dalam persepsi sentimental tentang sebuah nilai yang di sana nampak bahwa nilai yang persis sama, sebagai yang dibedakan dengan persepsinya semua itu valid dalam kasus yang memungkinkan melibatkan sebuah persepsi sentimental dan akibatnya, hilangnya persepsi sentimental tidaklah

(15)

mencabut (menghilangkan) hakikat nilai (Frondizi, 2011: 118). Hal itu berarti bahwa nilai tidak diketahui atau dipikirkan, melainkan “dirasakan” (Suseno, 2006: 36).

Scheler tidak hanya membahas mengenai fakta fenomenologi ataupun hakikat nilai, tetapi hal yang paling khas dalam pemikiran Scheler adalah pandangannya mengenai hierarki nilai. Scheler percaya bahwa nilai itu tersusun dalam tingkatan-tingkatan yang oleh Scheler disebut dengan hierarki yang a priori. Hierarki bagi Scheler dapat ditemukan dalam hakikat nilai itu sendiri, bahkan berlaku bagi nilai yang tidak diketahui.

Terdapat empat tingkatan nilai menurut Scheler, yaitu: 1) Nilai kenikmatan dan ketidaknikmatan atau dapat disebut sebagai nilai kesenangan, merupakan tingkatan nilai terendah. 2) Nilai vitalitas atau kehidupan, merupakan nilai yang tidak tergantung dan tidak dapat direduksi dengan kenikmatan dan ketidaknikmatan. Hal ini berkaitan dengan kesehatan, kelelahan, kesakitan, usia tua dan kematian. 3) Nilai spiritual merupakan tingkatan ketiga dalam hierarki nilai Scheler, dalam hal ini nilai kesenangan dan nilai vitalias harus dikorbankan. 4) Nilai tertinggi, yakni nilai kesucian dan keprofanan. Nilai religius tidak dapat direduksi menjadi nilai spritual, dan memiliki keberadaan khas yang menyatakan diri kepada kita dalam beberapa objek yang hadir sebagai yang mutlak. Scheler menyatakan bahwa nilai religius independen. (Frondizi, 2001: 138).

(16)

E. Metode Penelitian 1. Jenis Penelitian

Penelitian ini merupakan penelitian filsafat. Objek material yang dibahas adalah tarian rakyat Ebleg Kebumen. Objek formal yang digunakan untuk menganalisis persoalan nilai dalam tarian rakyat Ebleg Kebumen adalah Filsafat Nilai Max Scheler.

Penelitian ini bersifat kualitatif dengan menggunakan model penelitian masalah aktual dilakukan melalui wawancara dan observasi lapangan yang dilakukan di Kebumen serta lingkungan sekitar yang mendukung kelangsungan penelitian mengenai tarian rakyat Ebleg sebagai objek material. Penelitian pustaka dilakukan untuk mencari sumber-sumber terkait dengan objek formal yaitu filsafat nilai Max Scheler.

2. Bahan Penelitian

Bahan penelitian menyesuaikan dengan jenis penelitian. Penelitian ini bersifat kualitatif, maka akan dipetakan menjadi data primer dan data skunder.

a. Data Primer

Data primer yang dimaksud dalam penelitian ini adalah hasil observasi di lapangan berupa pengamatan langsung dan wawancara dengan orang-orang yang berkompeten dalam tarian rakyat Ebleg, serta buku-buku yang berkaitan dengan dengan objek formal. Sumber terkait antara lain:

1) Data Dinas Kebudayaan dan Pariwisata di kabupaten Kebumen tentang sejarah Kabupaten Kebumen dan tarian rakyat Ebleg. 2) Data wawancara kelompok Ebleg di kabupaten Kebumen. 3) dokumentasi kelompok Ebleg di kabupaten Kebumen.

(17)

4) Frondizi, Risieri. 1963. What Is Value?, diterjemahkan oleh Cuk Ananta Wijaya, 2001. Pengantar Filsafat Nilai, Pustaka Pelajar: Yogyakarta.

5) Wahana, Paulus. 2004. Nilai Etika Aksiologis Max Scheler. Kanisius: Yogyakarta.

b. Data Sekunder

Data sekunder digunakan sebagai referensi atau rujukan di samping pustaka primer. Pustaka sekunder berfungsi untuk mendukung kelengkapan penelitian.

1) Hadiwijono, Harun. 2011. Sari Sejarah Filsafat Barat 2. Kanisius: Yogyakarta.

2) Pekerti, Widia, dkk. 2008. Metode Pengembangan Seni. Universitas Terbuka: Jakarta.

3) Rachmi, Tetty, dkk. 2008. Keterampilan Musik dan Tari. Universitas Terbuka: Jakarta.

4) Shidarta dan Darji Darmodiharjo. 2006. Pokok-Pokok Filsafat Hukum: Apa dan Bagaimana Hukum Indonesia. Gramedia Pustaka Utama: Jakarta.

3. Alur Penelitian

a. Inventarisasi bahan penelitian: penelitian dilakukan dengan mengumpulkan data yang beragam untuk menjelaskan objek material tentang tarian rakyat Ebleg, serta objek formal tentang Filsafat Nilai Max Scheler.

b. Klasifikasi data: referensi yang telah diperoleh akan dijadikan bahan penelitian, sehingga akan diklasifikasikan menjadi sumber primer dan sumber sekunder.

c. Analisis-sintetis: menganalisis data, baik yang berasal dari data primer maupun data skunder. Data yang didapatkan akan diolah dan disistematisasi berdasarkan kerangka berpikir.

(18)

4. Analisis Hasil

Dalam melakukan analisis terhadap data, penelitian ini menggunakan metode penelitian filsafat berdasarkan buku Metodologi Penelitian Filsafat karya Anton Bakker dan Achmad Charris Zubair (1990). Adapun unsur-unsur metodis sebagai berikut:

a. Deskripsi: yakni memberikan gambaran tentang nilai-nilai yang terkandung dalam tarian rakyat Ebleg dan memberikan pokok-pokok pemikiran Filsafat Nilai Max Scheler.

b. Interpretasi: yakni menafsirkan makna yang terkandung dalam tarian rakyat Ebleg dan literatur-literatur tentang Filsafat Nilai Max Scheler sehingga dapat menangkap maksud yang diinginkan.

c. Kesinambungan Historis: yakni melihat tarian rakyat Ebleg sesuai dengan perkembangannya.

d. Koheren internal: yakni menemukan keterkaitan logis antara tarian rakyat Ebleg dengan Filsafat Nilai Max Scheler.

F. Hasil yang Dicapai

1. Hakikat nilai menurut Max Scheler. 2. Pengertian tarian rakyat ebeleg.

3. Deskripsi nilai-nilai tarian rakyat Ebleg dalam perspektif hierarki nilai Max Scheler.

(19)

G. Sistematika Penulisan

BAB I : Menguraikan pendahuluan, yang memuat: latar belakang masalah yang terdiri atas permasalahan, rumusan masalah, keaslian penelitian, manfaat penelitian; tujuan penelitian; tinjauan pustaka; landasan teori; metode penelitian; yang terdiri dari jenis, bahan, alur dan analisis hasil penelitian; hasil yang dicapai; serta sistematika penulisan skripsi. BAB II : menguraikan filsafat nilai Max Scheler, dimulai dari pengertian

filsafat nilai, riwayat Max Scheler, dan nilai menurut Max Scheler. BAB III : menguraikan deskripsi tentang seluk-beluk Ebleg Kebumen yang

menjadi objek materi penelitian, terdiri atas sejarah Kabupaten kebumen, tarian rakyat, sejarah tarian rakyat Ebleg, dan Ebleg sebagai tarian rakyta.

BAB IV : menguraikan hasil analisis pembahasan studi kasus yang diteliti yaitu memaparkan secara kritis nilai-nilai yang terkandung dalam tarian rakyat Ebleg, nilai-nilai tarian rakyat Ebleg ditinjau dari perspektif hierarki nilai Max Scheler.

BAB V : menyimpulkan hasil penelitian yang berisi jawaban dari rumusan masalah yang telah diteliti. Pada bab penutup terdiri dari kesimpulan dan saran yang terkait penelitian.

Referensi

Dokumen terkait

Information Strategy System bertujuan untuk mengkonstruksi arsitektur informasi dan strategi yang mendukung tujuan dan kebutuhan organisasi secara menyeluruh, menyangkut

Input data, yaitu: data Sumber PLN, Trafo, Saluran, dan beban yang diperoleh dari sistem yang terkait dengan catu daya Kawasan GI PUSPIPTEK dalam hal ini menggunakan catu

Dari hasil pengujian hipotesis tersebut dapat dinyatakan bahwa ada pengaruh positif dari penggunaan model pembelajaran kooperatif tipe STAD berbatuan macromedia flash

Pada akhirnya kondisi tersebut berdampak pada anak-anak, yaitu anak tumbuh dan berkembang dengan kurang memiliki jiwa sosial terutama sikap toleransi terhadap

Hipertensi adalah gangguan dalam pembuluh darah yang menyebapkan suplai oksigen dan nutrisi yang akan disalurkan terhambat disertai dengan peningkatan tekana

Keempat: Perbuatan ini akan mengakibatkan menyia-nyiakan waktu. Dan waktu ini adalah salah satu perkara yang akan dipertanggung jawabkan oleh seorang hamba pada hari

Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa persentase larutan kapur sirih terbaik untuk bahan perendaman pada pembuatan keripik talas ketan adalah 20% dan lama