• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I KAJIAN TEORI. morph yang berarti bentuk atau logos yang berarti ilmu. Jadi secara harfiah

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB I KAJIAN TEORI. morph yang berarti bentuk atau logos yang berarti ilmu. Jadi secara harfiah"

Copied!
21
0
0

Teks penuh

(1)

1

BAB I

KAJIAN TEORI

Morfologi 1.1

Secara etimologi kata morfologi berasal dari bahasa yunani yaitu kata morph yang berarti „bentuk‟ atau logos yang berarti „ilmu‟. Jadi secara harfiah kata morfologi berarti „ilmu mengenai bentuk‟. Di dalam kajian linguistik, morfologi berarti „ilmu mengenai bentuk-bentuk dan pembentukan kata‟. Pembicaraan mengenai pembentukan kata akan melibatkan pembicaraan mengenai komponen atau unsur pembentukan kata itu, yaitu morfem, baik morfem dasar maupun morfem afiks, dengan berbagai alat proses pembentukan kata itu, yaitu afiks daam proses pembentukan kata melalui proses afiksasi, duplikasi ataupun pengulangan dalam proses pembentukan kata melalui proses komposisi, dan sebagainya (Chaer, 2008:3).

Morfologi ialah bagian dari ilmu bahasa yang membicarakan atau yang mempelajari seluk-beluk kata serta pengaruh perubahan-perubahan bentuk kata terhadap golongan dan arti kata, atau dengan kata lain dapat dikatakan bahwa morfologi mempelajari seluk-beluk kata serta fungsi-fungsi perubahan-perubahan bentuk kata itu, baik fungsi gramatik maupun fungsi semantik (Ramlan, 2012:21).

Menurut Djajasudarma (2013), morologi adalah ilmu yang mempelajari morfem dan bagaimana morfem-morfem tersebut dibentuk menjadi kata atau morfem kompleks. Morfem sendiri merupakan satuan bunyi bahasa yang terkecil yang mengandung arti atau ikut mendukung arti.

(2)

Struktur Kata 1.2

Secara tradisional pembagian kelas/jenis kata di dalam bahasa-bahasa yang besar di dunia, termasuk bahasa Indonesia, umumnya terdiri atas sepuluh jenis kata. Yaitu, kata benda (nomina), kata kerja (verba), kata sifat (adjektiva), kata ganti (pronominal), kata keterangan (adverbia), kata bilangan (numeralia), kata sambung (konjungsi), kata sandang (artikula), kata seru (interjeksi), dan kata depan (preposisi).

Kelas kata atau dalam bahasa Inggris part of speech berdasarkan hasil proses morfemis menghasikan terdiri atas (i) infleksional dan (ii) derivasional. Proses tersebut menunjukan ada kelas kata sebagai hasil: yang terbuka opert/open class dan yang tertutup atau covert class.

Kelas kata dalam bahasa sunda terdiri atas verba, nomina, adjektiva, dan adverbia. Masing-masing mempunyai ciri tersendiri.

Verba 1.2.1

Secara sintaksis sebuah satuan gramatikaldapat diketahui berkategori verba dari perilakunya dalam satuan yang lebih besar, jadi sebuah kata dapat dikatakan berkategori verba hanya dari perilakunya dalam fase, yakni dalam hal kemungkinannya satuan itu didampingi partikel tidak (dalam bahasa sunda henteu) dalam konstruksi dan dalam hal tidak dapat didampinginya satuan itu dengan partikel di (di), ke (ka), dari atau dengan partikel seperti sangat (konfiks pang-/-na), lebih (leuwih), atau agak (rada). (Kridalaksana, 2007:51).

(3)

Bentuk verba bahasa sunda secara garis besar diklarifikasi berdasarkan dua jenis yaitu verba besar dan verba turunan, dibawah ini dipaparkan lebih jelas tentang bentuk verba (Djajasudarma, 2013).

Verba dasar merupakan verba yang bermorfem bebas, tanpa mengalami proses morfemis apapun (Djajasudarma, 2013), seperti: diuk „duduk‟, seuri „ketawa‟, lumpat „lari‟.

Verba turunan merupakan verba yang telah mengalami proses morfemis, baik dari bentuk dasar verba itu maupun dari bentuk dasar lain. Verba turunan ini terbagi atas dua proses, yaitu: 1. hasil afiksasi, dan 2. hasil reduplikasi. Seperti diuk „duduk‟, menjadi kadiukan „terduduki‟, seuri „tertawa‟ menjadi sareuri „tertawa (jamak)‟, lumpat „lari‟ menjadi lalumpatan „berlari-lari‟. Verba turunan adalah verba yang terjadi dari penambahan afiks pada kata atau kelompok kata (Muslich, 1990:36).

Nomina 1.2.2

Nomina adalah suatu jenis kata yang menandai atau menamai suatu benda yang dapat berdiri sendiri di dalam kalimat dan tidak bergantung pada jenis kata lain seperti orang, benda kualitas, atau tindakan (Djajasudarma, 2013). Penanda sintaksis dari nomina bahasa sunda adalah dapat didahului oleh bentuk ingkar ‘lain’ misalnya lain buku. Adapun penanda morfologisnya adalah dengan bentuk dwilingga, misalnya buku „buku‟ menjadi buku-buku „buku-buku‟. Penanda morfologis pada nomina hanya terbatas pada nomina kongkrit saja dan tidak berlaku untuk nomina abstrak.

(4)

Nomina bahsa sunda dapat dibentuk selain dari bentuk dasar kelas nomina itu sendiri, juga dapat dibentuk dari kelas kata bukan nomina, misalnya pagawe „pegawai‟, bodona „bodohnya‟, tarikna „kerasnya‟. Pagawe berasal dari gawe „kerja‟ (verba), bodona berasal dari bodo „bodoh‟ (adjektiva), dan tarikna berasal dari tarik „keras‟ (adverbia). Bentuk pagawe, bodona, dan tarikna lazim dikenal dengan istilah nomina (Djajasudarma, 2013).

Adjektiva 1.2.3

D.K Ardiwinata (1984:14) menyatakan bahwa adjektiva adalah kata yang menjadi ciri suatu benda, atau kata yang menjawab pertanyaan bagaimana. Sifat yang pertama adalah berkenan dengan ruap, rasa, dan bau, yaitu sesuatu yang terpahami oleh pancaindera. Djajasudarma (1994:123) mengemukakan bahwa adjektiva memiliki ciri-ciri morfologis dan sintakis.

Ciri morfologis adjektiva yaitu secara infleksi dapat bergabung dengan; 1. Infiks –ar-/-al-. Contoh laleutik, haraseum; 2. Bergabung dengan sufiks –eun contoh eraeun, pohoeun; 3. Bergabung dengan prefiks pang- dan sufiks –na, contoh pangalusna, panglucuna (Djajasudarma, 2013).

Adverbia 1.2.4

Semua kata yang menerangkan verba, adjektiva, numeralia, nomina predikat, atau kalimat disebut adverbia. Adverbia merupakan bentuk-bentuk yang merupakan verba, adjektiva, adverbia, dan unsur lainnya (proposisi) (Djajasudarma, 2013). Ciri adverbia memiliki ciri morfologis yang sama dengan adjektiva, yaitu dapat bergabung dengan simufiks pang-na yang bermakna

(5)

„paling‟ (ter-) dalam komporatif, dan ciri sintakis, yaitu dapat bergabung dengan proposisi tingkat, modalitas, dan proposisi subordinatif (Djajasudarma, 2013).

Morfem 1.2.5

Menurut Chaer (2008:13), morfem adalah satuan gramatikal terkecil yang memiliki makna. Dengan kata terkecil berarti “satuan” itu tidak dapat dianalisis menjadi lebih kecil lagi tanpa merusak maknanya. Menurut Djajasudarma (2013:25), morfem adalah kesatuan bunyi bahasa terkecil yang mengandung arti atau ikut menduung arti.

Morfem Bebas 1.2.5.1

Morfem bebas adalah morfem yang dapat berdiri sendiri dan dapat langsung dimengerti bila dikatakan dalam kehidupan sehari-hari.Ada morfem bebas yang sama dengan kata, mislnya : aya „ada‟, diuk „duduk‟.

Morfem Terikat 1.2.5.2

Morfem terikat tidak dapat beridiri sendiri, karena itu tidak dimengerti bila dikatakan tersendiri daam kehidupan sehari-hari. Morfem terikat ini dapat berupa afik (imbuhan), yang berfungsi mendukung arti. Misalnya kata gayabag, tajong,

dan dupakdengan memberikan prefiksnga-, di-, ka- menjadi ngagayabag,

(6)

Morfem Unik 1.2.5.3

Morfem unik tak pernah muncul tersendiri, selalu terikat oleh morfem lainnya (frasa). Misalnya kata renta (yang hanya muncul dalam tua renta), kerontang (yang muncul dal kering kerontang), dan kuyup (yang hanya muncul dalam basah kuyup).

Morfem terikat secara morfologis (MTM) dan Morfem terikat 1.2.5.4

secara sintaksis (MTS)

Contoh:

gidig tidak pernah muncul tersendiri tetapi muncul dalam ngagidig “ berjalan cepat dengan sungguh-sungguh” (MTM)

Sufiks -na (MTS) dalam sawah jeung imahna ...‟ sawah dan rumahnya ...‟ (-na adalah MTM, terikat pada sawah dan imah ‟rumah‟).

Proses Morfemis 1.2.6

Menurut Chaer (2008) proses morfemis pada dasarnya adalah proses pembentukan kata dari sebuah bentuk dasar melalui pembubuhan afiks (dalam proses afiksasi), pengulangan (dalam proses reduplikasi), penggabungan (dalam proses komposisi), pemendekan (dalam proses akronimisasi), dan pengulangan status (dalam proses konversi). Prosedur ini berbeda dengan analisis morfologi yang mencerai-ceraikan kata (sebagai satuan sintaksis) menjadi bagian-bagian atau satuan-satuan kecil. Proses mofremis mencoba menyusun dari komponen-komponen kecil menjadi sebuah bentuk yang lebih beasar yang berupa kata

(7)

komfleks atau kata yang polimorfemis. Proses morfemis berbeda dengan analisis morfologi. Misalnya kata dasar pakai diberi sufiks -an menjadi pakaian.

Afiksasi 1.2.6.1

Afiksasi menurut Ramlan (2012) mempunyai fungsi gramatik, ialah fungsi yang berhubungan dengan ketatabahasaan. Djajasudarma (2013) menyatakan bahwa berdasarkan posisi (tempatnya) afiksasi dapat berupa prefik (awalan), infiks (sisipan), dan sufiks (akhiran).

Prefiksasi 1.2.6.2

Prefiksasi ditempatkan didepan kata dasar / morfem dalam proses prefiksasi. Bahasa sunda memiliki prefiks lebih banyak bila dibandingkan dengan jumlah sufiks atau infiks. Prefiks tersebut antara lain : ba-, barang-, di-, ka-, mang-, mi-, nga-, nyang-, pa-, pada-, pang-, para-, per-, pi-, pra-, pri-, sa-, si-, silih-, ti-, ting- (pating), a-, ma-, pari-, dan N- (Nasal). Misalnya prefiks sa-, pada sakola (Nomina) menjadi sasakola „satu sekolah‟.

Infiksasi 1.2.6.3

Infiksasi (penyisipan) terjadi dengan menyisipkan infiks kedalam morfem dasar. Bahasa sunda memiliki infiks –ar- dengan alomorf ra- dan al- ; infiks -um, dan infiks –in. Misalnya lumpat „lari‟ + -al- menjadi lalumpat „pada lari‟, budak „anak‟ + -ar- menjadi barudak „anak-anak‟.

(8)

Sufiksasi 1.2.6.4

Sufiks atau akhiran posisinya berada dibelakang morfem dasar. Sufiks yang ada dalam bahasa sunda adalah –an, -eun, -ing, -keun, -na, -ning, -a, dan –i. Misalnya ukur ‘ukur’ + -an menjadi ukuran ‘ukuran’, wadah ‘wadah’ + -an menjadi wadahan „pakai wadah‟.

Simulfiks 1.2.6.5

Simulfiks adalah afiks yang muncul serempak bergabung dengan morfem dasar, kedua afiks tersebut saling mensyaratkan satu sama lain, biasanya terjadi simulfiks antara prefiks dan sufiks atau antara prefiks dan infiks. Bahasa sunda memiliki simulfiks seperti : pi- + -ean, pang- (mang-) + -keun, dan membentuk makna bitransitif. Misalnya bapa „bapak‟ + pi- + -keun, menjadi pibapaeun „calon bapak‟.

Kata Ulang (Reduplikasi) 1.3

Djajasudarma (2013) menyatakan reduplikasi adalah kata yang diulang, baik sebagian maupun seluruhnya. Bahasa sunda memiliki pengulangan dua kali dan pengulangan tiga kali. Pengulangan yang ada di dalam bahasa Sunda sebagai berikut :

1. Dwilingga, yaitu seluruh bentuk dasar diulang. Misalnya, korsi „kursi‟ menjadi

korsi-korsi „kursi-kursi‟.

2. Dwipurwa, yaitu pengulangan yang terjadipada sebagian bentuk dasar, (silabe inisial diulang). Misalnya, bodo „bodoh‟ menjadi bobodo „pura-pura‟.

(9)

3. Trilinggaatau trireka, yaitu pengulangan bentuk dasar dengan perubahan bunyi dan pengulangan tiga kali. Misalnya : pak-pik-pek „sibuk‟.

4. Pegulangan semu, bentuk ulang semu adalah bentuk yang tidak memiliki makna bia tidak diulang, bentuk ulang semu pada bahasa sunda dapat berupa dwilingga semu, dwipura semu, dan dwiwasana (pengulangan silabe akhir) semu. Misalnya cika-cika „kunang-kunang‟.

Komposisi 1.4

Komposisi di dalam sistem gramatika Sunda dikenal dengan istilah kecap kantenan (kata majemuk). Komposisi memiliki ciri antara lain dua unsur yang tidak dapat disisipi apa-apa dan dalam pengucapan tidak ada jeda (unsur henti). Komposisi di dalam bahasa sunda dapat dibentuk dengan :

1. Kaida DM (Diterangkan-Menerangkan), dan disebut kata majemuk sintaksis, seperti pada ;

Indung kesan „biang keringat‟

Kotok bongkok „anak ayam yang mati di dalam telur‟ Sambel goang „sambel goreng‟

Pait peuheur „kesulitan‟

2. Kaidah MD (Menerangkan-Diterangkan), seperti pada : Amis mata (nama sejenis buah, kecil-keci merah, manis) Beureum panon (nama sejenis ikan)

Hampang birit „cetakan‟

(10)

Makna 1.5

Berdasarkan teori yang dikemukakan oleh Ferdinand de Saussure mengenai tanda linguistik (sign linguistique) yang menyatakan bahwa setiap tandalinguistik terdiri dari dua unsur yaitu (1) unsur yang diartikan (signifie atau signifed) dan (2) unsur yang mengartikan (signifiant atau signifer). Yang diartikan (signifie atau signifed) tidak lain dari konsep atau makna dari suatu tanda bunyi. Sedangkan yang mengartikan (signifiant atau signifer) itu adalah tidak lain dari pada bunyi-bunyi itu, yang terbentuk dari fonem-fonem bahasa yang bersangkutan. Jadi, dengan kata lain setiap tanda linguistik terdiri dari unsur bunyi dan unsur makna. Kedua unsur ini adalah unsur dalam bahasa (intralingual) yang biasanya mengacu kepada sseuatu referen yang merupakan unsur luar bahasa (ekstralingual) atau yang ditunjuk (Chaer, 2009). Umpamanya tanda linguistik yang dieja <meja>. Tanda ini terdiri dari unsur makna yang diartikan ‘meja’ dalam wujud runtunan fonem [m,e,j,a]. Lalu tanda <meja> ini, yang dalam hal ini terdiri dari unsur makna dan unsur bunyinya mengacu pada suatu referen yang berada diluar bahasa yaitu sebuah meja, sebagai salah satu perabot rumah tangga.

Makna sebagai penghubung bahasa dengan dunia luar sesuai dengan kesepakatan para pemakainya sehingga dapat saling mengerti. Maka memiliki tiga tingkat keberadaan, yakni: (1) makna menjadi suatu bentuk kebahasaan, (2) menjadi isi kebahasaan, (3) menjadi komunikasi yang mampu membuahkan informasi tertentu. Pada tingkat pertama dan kedua makna dilihat dari segi hubungannya dengan penutur. Sedangkan pada tingkat ketiga makna lebih ditekankan pada makna dalam komunikasi.

Makna dapat ditinjau dari pendekatan analitik atau refensial, yakni pendekatan yang mencari esensi makna dengan cara menguraikannya atas

(11)

unsur-unsur utama. Pendekatan tersebut berbeda dengan pendekatan operasional, yang mempelajari kata dalam penggunaannya, menekankan bagaimana kata secara operasional (bandingkan dengan makna gramatikal). (Djajasudarma, 2013).

Jenis Makna 1.5.1

Jenis makna yang dapat kita lihat dari berbagai buku semantik, antara lain Djajasudarma (2013), Chaer (2009), Alwasilah (1993); dan dari kamus, antara lain Kridalaksana (2010), atau dari Ullman (2007). Kita ketahui bahwa kata memiliki makna kognitif (detonatif, deskriptif), makna konotatif, dan emotif. Kata dengan makna kognitif ditemukan dalam kehidupan sehari-hari, dan kata kognitif ini sering dipakai dibidang teknik. Kata konotatif di dalam bahasa indonesia cenderung bermakna negatif, sedangkan kata emotif memiliki makna positif, (Djajasudarma, 2013:7-8).

Djajasudarma (2013:8) membagi makna ke dalam beberapa macam. Yaitu: makna sempit, makna luas, makna kognitif, makna konotatif dan emotif, makna referensial, makna konstruksi, makna leksikal, dan makna gramatikal, makna idesional, makna proposisi, makna pusat, makna piktorial, dan makna idiomatik.

Makna Sempit 1.5.1.1

Djajasudarma (2013) mengembangkan bahwa makna sempit (narrowed meaning) adalah makna yang lebih sempit dari keseluruhan ujaran. Makna yang asalnya lebih luasdapat menyempit, karena dibatasi. Bloomfield mengemukakan adanyamakna sempit (narrowed meaning; spesialized meaning) dan makna luas

(12)

(widened meaning; extended meaning) di dalam perubahanmakna ujaran. (Djajasudarma, 2013:8).

Makna luas dapat menyempit, atau suku kata yang asalnya memiliki makna luas (generik) dapat menjadi memiliki makna sempit (spesifik) karena dibatasi, antara lain: di dalam bahasa inggris Lama mate bermakna food (makanan) menyeempit menjadi meat bermakna edible flesh (daging yang dimakan).

Kata-kata bermakna luas di dalam bahasa indonesia disebut juga makna umum (generik) digunakan untuk mengungkapkan gagasan atau ide yang umum. Gagasan atau ide yang umum bila dibubuhi rincian gagasan atau ide, maka maknanya akan menyempit (memiliki makna sempit). Misalnya „pakaian‟ dengan „pakaian wanita‟. (Djajasudarma, 2013:9-10).

Makna Luas 1.5.1.2

Makna luas (widened meaning atau extended meaning di dalam bahasa Inggris) adalah makna yang terkandung pada sebuah kata lebih luas dari yang diperkirakan. Kata-kata yang berkonsep memiliki makna luas dapat muncul dari makna yang sempit. Misalnya dalam bahasa inggris pertengahan Bridde maknannya young birdling meluas menjadi bird (burung), dan dalam bahasa indonesia „kursi roda‟ dengan „kursi‟. (Djajasudarma, 2013:10).

Kata-kata yang memiliki makna luas digunakan untuk mengungkapkan gagasan atau ide yang umum, sedangkan makna sempit adalah kata-kata yang bermakna khusus atau kata-kata yang bermakna luasdengan unsur pembatas.

(13)

Kata-kata bermakna sempit digunakan untuk menyatakan seluk-beluk atau rincian gagasan (ide) yang bersifat umum. (Djajasudarma, 2013:11).

Makna Kognitif 1.5.1.3

Menurut Djajasudarma (2013:11) makna kognitif disebut juga makna deskriptif atau denotatif adalah makna yang menunjukan adanya hubungan antara konsep dengan dunia kenyataan (bandingkanlah dengan makna konotatif dan emotif). Makna kognitif adalah makna lugas, makna apa adanya. Makna kognitif tidak hanya memiliki kata-kata yang menunjuk benda-benda nyata, tetapi mengacu pula pada bentuk-bentuk yang makna kognitifnya khusus, antara lain itu, ini, ke sana, ke sini; numeralia, antara lain satu, dua, tiga, dst.; dan termasuk pula partikel yang memiliki makna relasional, antara lain dan (aditif), atau (alternatif), tetapi (kontrastif), dst..

Makna Konotatif dan Emotif 1.5.1.4

Makna konotatif adalah makna yang muncul dari makna kognitif (lewat makna kognitif), ke dalam makna kognitif tersebut ditambahkan komponen makna lain. Bandingkanlah ekpresi berikut:

(1) Prempuan itu ibu saya. (2) Ah, dasar perempuan.

Makna kognitif tentu kita dapatkan pada contoh (1) sedangkan pada ekpresi (2) kata perempuan selain bermakna kogniti, dan yang ditambahkan memiliki makna konotatif, antara lain secara psikologis perempuan mengandung makna suka bersolek, suka pamer, egoistis. Sedangkan pada (1) makna

(14)

perempuan mengandung sifat keibuan, kasih sayang, lemah lembut, berhati manis. (Djajasudarma, 2013:12).

Makna emotif (bahasa inggris emotive meaning) menurut Djajasudarma (2013:13) adalah makna yang melibatkan perasaan pembicara dan pendengar; penulis dan pembaca) ke arah yang postif. Makna ini berbeda dengan makna kognitif (denotatif) yang menunjukan adanyahubungan antara dunia konsep (reference) dengan kenyataan, maka emotif menunjuk sesuatu yang lain yang tidak sepenuhnya sama dengan yang terdapat dalam dunia kenyataan.

Makna emotif di dalam bahasa indonesia cenderung berbeda dengan makna konotatif; makna emotif cenderungmengacu epada hal-hal (makna) yang positif, sedangkan makna konotatif cenderung mengacu kepada hal-hal (makna) yang negatif. Misalnya, „mereka kelak akan menjadi bunga bangsa negara kita’, kata bunga bangsa bermakna positif.

Makna Referensial 1.5.1.5

Makna referensial adalah makna yang berhubungan langsung dengan kenyataan atau referent (acuan), makna referensial disebut juga makna kognitif, karena memiliki acuan. Makna referensial memiliki hubungan dengan konsep tentang sesuatu yang telah disepakati bersama (oleh masyarakat bahasa), seperti terlihat di dalam hubungan antara konsep (reference) dengan acuan (referent) pada segi tiga di bawah ini:

(b) konsep

(c) (a)

(15)

Kata Acuan

Hubunganyang terjalin anatara sebuah bentuk kata dengan barang, hal, atau kegiatan (peristiwa) di luar bahasa tidak langsung, ada media yang terletak di antaranya. Kata merupakan lambang (simbol) yang menghubungkan konsep dengan acuan. Misalnya pada kalimat (1) Orang itu menampar orang. (2) Orang itu menampar dirinya. Pada (1) orang1 dibedakan maknanya dari orang2 karena

orang1 sebagai pelaku (agnetif) dan orang2 sebagai pengalaman (yang

mengalami makna yang diungkapkan verba), hal tersebut menunjukan makna kategori yang berbeda, tetapi makna referensial mengacu kepada konsep yang sama (orang = manusia). Pada (2) orangmemiliki makna referensial yang sama dengan orang1 dan orang2 pada (1) dan pada (2) orang dengan makna kategori yang sama dengan orang1 (agnetif). (Djajasudarma, 2013:14-15).

Makna Leksikal dan Makna Gramatikal 1.5.1.6

Makna leksikal (bhs. Inggris: lexical meaning, semantic meaning, external meaning) adalah makna unsur-unsur bahasa sebagai lambang benda, peristiwa, dan lain-lain. Makna leksikal ini dimiliki unsur-unsur bahasa secara tersndiri, lepas dari konteks. Misalnya, kata culture (bhs. Inggris) budaya di dalam kamus Shadily & Echols disebutkan sebagai nomina (kb) dan artinya: kesopanan, kebudayaan (1); pemeliharaan biakan(biologi) (2). Didalam Kamus Bahasa Indonesia I (p38), budaya adalaha nomina, dan maknanya: 1. Pikiran, akal budi; 2. kebudayaan; 3. yang mengenai kebudayaan; yang sudah berkembang(beradab,

(16)

maju). Semua makna (baik bentuk dasar maupun bentuk turunan) yang ada dalam kamus disebut makna leksial.

Makna gramatikal dalam (bhs. Inggris: gramatical meaning; funetionalmeaning; structural meaning; internal meaning) adalah makna yang menyangkut hubungan intra bahasa, atau makna yang muncul sebagai akibat berfungsinya sebuahkata di dalam kalimat. Di dalam semantik makna gramatikal di bedakan dari makna leksikal. Sejalan dengan pemahaman makna (bhs. Inggris meaning [arti]). Makna merupakan pertautanyang ada antara satuan bahasa, dapat dihubungkan dengan makna gramatikal, sedangkan arti adalah pengertian satuan kata sebagai unsur yang dihubungkan.

Makna leksikal dapat berubah ke dalam makna gramatikal secara operasional. Sebagai contoh dapat kita pahami makna leksikal kata belenggu adalah (1) alat pengikat kaki atau tangan; borgol; atau (2) sesuatu yang mengikat (sehingga tidak bebas lagi). Sebagaimana makna gramatikal perhatikanlah ekpresi berikut:

(1) Polisi memasang belenggu pada kaki dan tangan pencuri yang baru tertangkap itu.

(2) Mereka terlepas dari belenggu penjajahan.

Perubahan makna leksikal ke arah makna gramatikal dapat kita perhatikan ekpresi berikut:

(1) Hei, mana matamu!

Mata -alat; cara melihat.

(17)

Mata (makna leksikal) adalah alat tubuh manusia, berfungsi untuk melihat. Bandingkan dengan:

(2) Anak itu ingin telur mata sapi

Makna pada (1) mata sebagai gramatikal yang masih berhubungan erat dengan makna leksikal “berfungsi untuk melihat”; sedangkan makna pada (2) mata benar-benar sebagai makna gramatikal, yakni “goreng telor” mungkin rupanya mirip mata sapi – mata milik sapi?). (Djajasudarma, 2013:16-17).

Makna Idesional 1.5.1.7

Makna idesional (bhs. Inggris: ideational meaning) adalah makna yang muncul sebagai akibat penggunaan kata yang berkonsep. Kata yang dapat dicari konsepnya atau ide yang terkandung di dalam satuan kata-kata, baik bentuk dasar maupun turunan (Djajasudarma, 2013:18).

Makna Pusat 1.5.1.8

Makna pusat (bhs. Inggris: central meaning) adalah makna yang dimiliki setiap kata yang menjadi inti ujaran. Setiap ujaran (klausa, kalimat, wacana) memiliki makna yang menjadi pusat (inti) pembicaraan. Makna pusat disebut juga makna tak berciri. Makna pusat dapat hadir pada konteksnya atau tidak hadir pada konteks. Seorang yang berdialog dapat komunikatif tentang inti suatu pembicaraan dan kawan bicara akan memahami makna pusat suatu dialog karena penalaran yang kuat.

(18)

Makna Idiomatik 1.5.1.9

Makna idiomatik adalah makna leksikal terbentuk dari beberapa kata. Kata-kata yang disusun dengan kombinasi kata lain dapat pula menghasilkan makna yang berlainan. Sebagian idiom merupakan bentuk beku (tidak berubah), artinya kombinasi kata-kata dalam idiom dalam bentuk tetap. Bentuk tersebut tidak dapat diubah berdasarkan kaidah sintaksisyang berlaku dalam suatu bahasa.

Makna idiomatik didapatakan di dalam ungkapan dan peribahasa. Misalnya „Ia bekerja membanting tulangbertahun-tahun‟, „Seperti ayam mati kelaparan atas tumpukan padi‟. (Djajasudarma, 2013:20-21).

Tipe Makna 1.5.2

Tipe makna (bahasa. Inggris: type of meaning) adalah kajian makna berdasarkan tipenya. Tipe adalah pengelompokan sesuatu berdasarkan kesamaan objek, kesamaan ciri atau sifat yang dimiliki benda, hal, peristiwa atau aktivitas lainnya, Tipe-tipe makna di kemukakan oleh Leech (1974).

Makna konseptual ini bersifat logis, kognitif, atau denotatif. Makna asosiatif yang dibagi lagi atas makna konotatif yakni makna yang muncul di balik makna kognitif. Makna stilistika adalah makna yang melibatkan situasi sosial misalnya lafal akhiran-kan di dalam bahasa Indonesia, atau daripada sebagai pengganti posesif.

Toponimi 1.6

Cerita asal-usul tempat, yang dalam keilmuan disebut dengan toponimi, menjadi bagian dari budaya pemilik tempat tersebut. Dalam toponimi terkandung

(19)

berbagai informasi penting, baik yang menyangkut budaya maupun karakter alam. Oleh karena itu, toponimi dapat bermanfaat untuk pelestarian warisan budaya yang tak ternilai. (Sobarna, dkk, 2016:21).

Menurut ayatrohaedi dalam sudaryat (2009:9) pengetahuan mengenai nama sering disebut onomastika yang di bagi menjadi dua cabang yaitu

antroponim dan toponimi. Antroponim yaitu pengetahuan yang mengkaji riwayat

dan asal-usul nama orang atau yang diorangkan dan toponimi adalah pengetahuan yang mengkaji riwayat atau asal-usul tempat. Secara etimologis, toponimi berasal dari bahasa yunani yaitu topoi „tempat‟ dan onama „nama‟. Jadi secara harfiah toponimi bermakna „nama tempat‟. Dalam hal ini, toponimi diartikan sebagai nama-nama tempat.

Di samping sebagai bagian dari onomastika, penamaan tempat atau toponimi juga termasuk ke dalam teori penamaan (naming theory). Nida (1975) dalam sudaryat (2009:9) menyebutkan bahwa proses penamaan berkaitan dengan acuan. Penamaan bersifat konvensional dan arbitrer. Dikatakan konvensional karena disusun berdasarkan kebiasaan masyarakat pemakaiannya, sedangkan dikatakan arbitrer karena tercipta berdasarkan kemauan masyarakatnya. Misalnya, kata Ciamis sebagai nama tempat pada awalnya mengacu kepada dua hal, yakni (1) air yang berbau amis atau anyir, dan (2) air yang memiliki rasa manis.

Anholt (2010) dan kostanski (2011) dalam Sobarna, dkk.. (2016:77) masalah tata nama tempat menjadi isu yang penting dibahas mengingat bahwa pada nama tempat, atau yang juga dikenal dengan nama toponimi, terkandung pandangan dan pemahaman terhadap ekosistemnya, terutama mencerminkan identitas masyrakatnya, atau sebagai bentuk branding dari tempat tersebut, bahkan branding suatu negara. Jika memerhatikan kompleksitastersebut,

(20)

pengkajian mengenai toponimi memerlukan pendekatan yang komprehensif. Sebagaimana telah disebutkan, toponimi menjadi bagian penting dalam kehidupan manusia sebagai bagian dari proses pembentukan identitas diri.

Toponimi di wilayah sunda sebenarnya telah dilakukan sejak zaman Kolonial Belanda. Para peneliti asing menaruh minat besar terhadap nilai-nilai budaya sunda. Oleh sebab itu, sebenarnya pemaknaan toponimi sunda, sudah tumbuh dan berkembang selama berabad-abad. Artinya, toponimi sunda telah mencapai tingkat klasik. Keklasikan ini tidak saja berkaitan dengan proses perjalanan waktu, tetapi juga berhubungan dengan kualitas kandungan nilai dan fungsi serta perannya dalam kehidupan budaya masyrakat Sunda. (Sobarna, dkk,

(21)

Referensi

Dokumen terkait

Sodelujoči so pokazali nizko stopnjo tolerance tako za laţje kot teţje oblike nasilja, vendar so ţenske v primerjavi z moškimi bile nekoliko bolj tolerantne in prav toleranca

Kuda digunakan sebagai tenaga kerja dan alat angkut yang praktis, selain itu dijadikan sumber ekonomi bagi masyarakat Sumba Timur salah satunya dengan mengikuti event pacuan

Kanker batang dan bercak daun hanyalah dua dari 21 penyakit paling berbahaya yang terdata menyerang durian: akar, batang, daun, dan buah.. Angka ini belum termasuk

Perlu dibahas element-element penting untuk mendukung implementasi rantai peringatan seperti : Back up Posko 24/7 BPBD ditingkat Provinsi, Kapasitas Staff Posko, Soft

Motivasi petani menanam cabe di Kecamatan Lembah Gumanti kabupaten Solok ini disebabkan oleh petani cabe supaya cabenya lebih bagus dan menghasilkan produksi cabe yang

Ketika nilai wajar pada saat pengakuan awal berbeda dari harga transaksinya, Perusahaan mencatat berdasarkan nilai wajar hanya apabila nilai wajar tersebut mencerminkan harga

Integrasi dari perangkat keras, perangkat lunak, dan proses keputusan tersebut menghasilkan Sistem Pendukung Keputusan (SPK) yang memungkinkan pengguna untuk

Arsitektur ini telah beradaptasi dengan iklim tropis di Indonesia, guna menyesuaikan dengan lingkungan setempat Dalam penelitian penerapan arsitektur tropis pada