• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN. Bahasa merupakan objek kajian lingustik. Menurut Kridalaksana (1983)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN. Bahasa merupakan objek kajian lingustik. Menurut Kridalaksana (1983)"

Copied!
18
0
0

Teks penuh

(1)

1 1.1 Latar Belakang Masalah

Bahasa merupakan objek kajian lingustik. Menurut Kridalaksana (1983) bahasa adalah sistem lambang bunyi yang arbiter yang digunakan oleh para anggota kelompok sosial untuk bekerja sama, berkomunikasi, dan mengidentifikasi diri.

Elemen bahasa terdiri dari 2 macam, yakni elemen bentuk dan elemen makna. Bentuk merupakan elemen fisik tuturan yang berwujud bunyi, suku kata, morfem, kata, frasa, klausa, kalimat, paragraf, dan wacana. Bentuk kebahasaan memiliki hubugan dengan konsep dalam pikiran manusia yang disebut makna (sense), dan konsep ini lazimnya berhubungan dengan sesuatu atau hal yang ada diluar bahasa yang disebut dengan referen (referent).

Setiap kata memiliki makna yang berbeda dengan kata yang lain. Tidak pernah dijumpai makna yang persis sama antara dua buah kata. Setiap kata memiliki elemen-elemen makna yang berbeda dengan kata yang lain. Elemen makna yang menyusun sebuah kata di dalam ilmu semantik disebut komponen makna. Menurut Wijana dan Rohmadi (2008) usaha untuk mengurai komponen-komponen makna yang dimiliki oleh sebuah kata dan membandingkannya dengan komponen-komponen makna yang dimiliki oleh kata yang lain disebut dengan analisis komponensial. Misal dalam bahasa Indonesia terdapat kata yang bermakna generik „memasak‟, seperti menggoreng dan menumis. Kata-kata

(2)

tersebut berkomponen makna berkaitan dengan bahan yang digunakan untuk memasak (minyak) jumlah bahan (banyak atau sedikit) dan cara memasak (objek jauh atau dekat dengan api) dan seterusnya.

Perbedaan budaya mempengaruhi cara masyarakat untuk mengolah bahan makanan. Keanekaragaman kuliner dan cara pengolahan bahan masakan yang berbeda di berbagai negara, terkadang membuat penerjemah kesulitan mengetahui maksud dari makna tersebut. Umpamanya, karena masyarakat Inggris tidak berbudaya makan ‟nasi‟ maka dalam bahasa Inggris tidak ada kata untuk menyatakan padi, gabah, beras, dan nasi. Dalam bahasa Inggris hanya ada kata

rice untuk keempat konsep itu. Selain itu, dalam bahasa Korea frasa bokkeum bab

(볶음 밥) diartikan ke dalam bahasa Indonesia menjadi ‟nasi goreng‟. Padahal

makna kata bokkta (볶다) terdapat perbedaan dengan makna ‟goreng‟. bokkta

(볶다) memiliki makna menumis, menggongseng, menyangrai, menggoreng (http://iddic.naver.com/#search/볶다).

Berdasarkan uraian diatas penulis mencoba meneliti mengenai “Makna Verba Kuliner Bahasa Korea”. Verba merupakan kata yang menggambarkan proses, perbuatan, atau keadaan; kata kerja (http://kbbi.web.id/verba). Sedangkan Kuliner adalah hal-hal yang berkaitan dengan kegiatan memasak. Jadi verba kuliner merupakan kata kerja yang berkaitan dengan kegiatan memasak. Penulis mencoba menggali lebih dalam makna suatu kata kerja kuliner bahasa Korea melalui analisis komponensial. Penelitian ini diharapkan mempermudah para pembelajar bahasa asing terutama bahasa Korea untuk memahami makna setiap kata melalui komponen makna dan hubungan makna kata tersebut.

(3)

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas, maka rumusan masalah dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :

1. Apa saja komponen makna verba kuliner bahasa Korea berdasarkan klasifikasinya?

2. Apa saja persamaan dan perbedaan makna kata pada tiap klasifikasinya?

1.3 Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan komponen makna verba kuliner yang ada dalam bahasa Korea berdasarkan klasifikasinya. Selanjutnya, mengetahui persamaan dan perbedaan makna kata menggunakan matriks komponen makna dan diagram Venn untuk hubungan makna dari masing-masing verba pada tiap klasifikasinya.

1.4 Manfaat Penelitian

Penelitian ini memiliki manfaat dari segi teoritis dan praktis. Secara teoritis penelitian diharapkan dapat memberikan manfaat di bidang linguistik, terutama dalam kajian semantik dan analisis komponensial bahasa Korea. Selain itu, memberikan manfaat praktis untuk menambah pengetahuan pembelajar bahasa Korea serta sebagai acuan penelitian-penelitian lanjutan mengenai semantik, terutama dalam analisis komponensial bahasa Korea.

(4)

1.5 Ruang Lingkup Penelitaan

Dalam penelitian ini data yang digunakan berupa verba kuliner bahasa Korea dalam kamus, buku resep, dan resep-resep masakan Korea dalam „Ensiklopedia Naver‟ pada situs www.naver.com. Batasan objek penelitian ini adalah verba yang aktivitasnya dilakukan diatas api. Dalam hal ini „api‟ yang dimaksud tidak hanya terbatas pada nyala api, namun mencakup materi yang dapat mengalirkan panas, termasuk aliran listrik. Jadi verba yang diteliti mencakup yang dilakukan diatas tungku, kompor, oven, microwave dan semacamnya.

1.6 Tinjuan Pustaka

Penelitian ini tentu saja tidak terlepas dari penelitian-penelitian sebelumnya. Di bawah ini terdapat beberapa penelitian yang berkaitan dan menjadi rujukan dalam penelitian ini.

Dalam penelitian yang ditulis oleh Sri Mulyani tahun 2006 yang berjudul “Studi Kontrastif Makna Verba Kuliner Dalam Bahasa Indonesia dan Bahasa Jepang” , membahas mengenai persamaan dan perbedaan makna antara verba kuliner bahasa Jepang dan bahasa Indonesia. Analisisnya menggunakan teori Komponen Makna dan teori Hubungan Makna Nida. Data dalam skripsi tersebut dibagi ke dalam 4 kategori, yaitu : (1) objek dipanaskan dengan minyak, (2) objek dipanaskan dengan air, (3) objek dipanaskan dengan uap, (4) objek dipanaskan langsung. Kemudian mendaftarkan komponen makna verba yang didapatkan dari definisi-definisi dalam kamus, dan dari contoh-contoh penggunaannya dalam resep makanan. Daftar komponen makna dari masing-masing verba kemudian

(5)

disimpulkan persamaan dan perbedaan makna antara verba kuliner bahasa Jepang dan bahasa Indonesia. Selanjutnya, menggambarkan hasil analisis ke dalam matriks komponen makna dan diagram Venn hubungan makna. Penelitian ini menunjukkan bahwa verba kuliner bahasa Jepang dapat dipadankan dengan verba kuliner bahasa Indonesia, namun terdapat perbedaan diantara keduanya. Misal dalam jenis objek, faktor alat, volume minyak dan lain-lain.

Selain itu terdapat pula penelitian mengenai Yori Dongsa (요리 동사) yang

ditulis oleh Kim In Ho (2011). Penelitian tersebut membahas mengenai perbandingan antara seluruh verba yang berhubungan dengan kegiatan memasak dalam bahasa Korea. Peneliti menguraikan satu persatu makna kata yang ditemukan, kemudian mencari persamaan dan perbedaan antar verba menggunakan teori analisis komponensial Eugene Nida.

Berikutnya penelitian yang dilakukan oleh Dita Oktamaya (2013) yang berjudul Makna Kata “Langit” Pada Peribahasa Korea yang menggunakan kajian Semantik. Penelitian tersebut bertujuan untuk mendeskripsikan makna kata langit berdasarkan konsep simbol pada teori semantik. Analisis dilakukan dengan cara mengklasifikasikan data berdasarkan maknanya. Selanjutnya data tersebut diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia, lalu dituliskan sebagai bentuk penggunaan peribahasa sesuai dengan kehidupan masyarakat Korea.

Penelitian-penelitian diatas menunjukkan bahwa penelitian yang membahas makna verba kuliner dalam Bahasa Korea menggunakan analisis komponensial dan hunbungan antar makna belum pernah dilakukan sebelumnya.

(6)

1.7 Metodologi dan Teknik Penelitian

Penelitian ini dilakukan 3 metode, yaitu metode penjaringan data, metode analisis data, dan metode penyajian data.

1.7.1 Metode Penjaringan Data

Penelitian ini dimulai dengan tahap penyediaan data menggunakan metode simak (Sudaryanto, 1993:133-136) yang dilakukan dengan cara menyimak definisi masing-masing verba dari berbagai macam kamus dan menyimak penggunaan bahasa dalam buku-buku resep masakan baik yang berbahasa Korea dan beberapa situs internet.

Pada praktiknya, metode simak tersebut diwujudkan dengan teknik dasar dan teknik lanjutan. Teknik dasarnya adalah teknik sadap, yaitu menyadap penggunaan bahasa berupa tulisan. Teknik lanjutannya adalah teknik catat. Teknik catat adalah teknik menjaring data dengan mencatat hasil penyimakan data pada kartu data (Kesuma, 2007: 45).

1.7.2 Metode Analisis Data

Analisis data menggunakan metode padan. Menurut Sudaryanto (1993:13), yang dimaksud dengan metode padan adalah metode yang menggunakan alat penentu di luar, terlepas, dan tidak menjadi bagian dari bahasa (langue) yang bersangkutan.

Sesuai dengan metodenya, teknik yang diterapkan dalam menganalisis data adalah teknik pilah unsur penentu sebagai teknik dasarn. Teknik pilah unsur

(7)

penentu adalah teknik analisis data dengan memilah-milah satuan kebahasaan yang dianalisis dengan alat penentu yang berupa daya pilah yang bersifat mental yang dimiliki oleh penelitinya (lih. Sudaryanto, 1993:1).

Kemudian menggunakan daya pilah referensial sesuai dengan jenis penentunya. Daya pilah referensial adalah daya pilah yang menggunakan referen atau sosok yang diacu oleh satuan kebahasaan sebagai alat penentu. Bentuknya dapat berupa benda, tempat, kerja, sifat, dan keadaan yang diacu oleh satuan kebahasaan yang diidentifikasi.

1.7.3 Metode Penyajian Data

Penyajian hasil analisis data dipaparkan secara deskriptif dengan menggunakan metode informal. Penyajian hasil analisis data secara informal adalah penyajian hasil analisis data dengan menggunakan kata-kata biasa (lih. Sudaryanto, 1993: 145).

1.8 Landasan Teori 1.8.1 Semantik

Chaer (2009 : 2) menyatakan bahwa, kata semantik dalam bahasa Indonesia (Inggris : semantics) berasal dari bahasa Yunani sema (kata benda yang berarti “tanda” atau “lambang”. Kata kerjanya adalah semaino yang berarti “menandai atau “melambangkan”. Yang dimaksud dengan tanda atau lambang di sini sebagai padanan kata sema itu adalah tanda linguistik (Perancis : signe linguistique) seperti yang dikemukakan oleh Ferdinand de Saussure (1996), yaitu yang terdiri

(8)

dari (1) komponen yang mengartikan, yang berwujud bentuk-bentuk bunyi bahasa dan (2) komponen yang diartikan atau makna dari komponen yang pertama itu. Kedua komponen ini merupakan tanda atau lambang, sedangkan yang ditandai atau dilambanganya adalah sesuatu yang berada di luar bahasa yang lazim disebut referen atau hal yang ditunjuk.

Menurut Wijana (2010:16) Tanda Linguistik adalah tanda-tanda yang dibentuk dari kata-kata yang mengandung makna yang digabung-gabungkan berdasarkan kaidah bahasa tertentu dengan kata atau elemen-elemen kemaknaan (morfem terikat) yang lain untuk membentuk satuan-satuan yang lebih kompleks pula. Dalam berkomunikasi, untuk memahami pesan yang dikirimkan, seseorang harus mampu mempersepsikan, mengidentifikasi, dan menafsirkan.

Jadi, setiap tanda linguistik terdiri dari unsur bunyi dan makna. Keduanya merupakan unsur dalam bahasa (intralingual) yang merujuk pada hal-hal di luar bahasa (ekstralingual).

1.8.2 Analisis Komponensial

A. Hakekat Analisis Komponen Makna

Komponen makna atau komponen semantik (semantic feature, semantic

property, atau semantic marker) mengajarkan bahwa setiap kata atau unsur

leksikal terdiri dari satu atau beberapa unsur yang bersama-sama membentuk makna kata atau makna unsur leksikal tersebut. Analisis ini mengandaikan setiap unsur leksikal memiliki atau tidak memiliki suatu ciri yang membedakannya dengan unsur lain (Chaer, 2009:115). Pengertian komponen menurut Palmer ialah

(9)

keseluruhan makna dari suatu kata, terdiri atas sejumlah elemen, yang antara elemen yang satu dengan yang lain memiliki ciri yang berbeda-beda (Aminuddin, 2008:128).

B. Analisis Komponen Makna Kata

Berkaitan dengan analisis komponen makna terdapat beberapa hal yang perlu diperhatikan, yakni:

(1) Pembeda makna dan hubungan antarkomponen makna (2) Langkah analisis komponen makna

(3) Hambatan analisis komponen makna (4) Prosedur analisis komponen makna

B.1 Pembeda Makna dan Hubungan antarkomponen Makna

Untuk dapat menganalisi komponen makna seseorang perlu mengetahui hubungan-hubungan makna yang ada di dalam kata-kata. Komponen pembeda makna akan jelas apabila diketahui komponen makna. Komponen makna diperlukan untuk mengetahui seberapa jauh kedekatan, kemiripan, kesamaan, dan ketidaksamaan suatu makna kata.

Berdasarkan hal tersebut di atas pembeda makna akan terjadi karena beberapa hal berikut ini.

(1) Perbedaan bentuk akan melahirkan perbedaan makna; dan (2) Perubahan bentuk akan melahirkan hubungan makna.

(10)

B.2 Langkah Analisis Komponen Makna

Menganalisis komponen makna memerlukan langkah-langkah tertentu. Nida (dalam Sudaryat, 2009:57) menyebutkan enam langkah untuk menganalisis komponen makna.

a. Menyeleksi sementara makna yang muncul dari sejumlah komponen yang umum dengan pengertian makna yang dipilih masih berada di dalam makna tersebut. Misalnya, dalam kriteria ‟marah‟ terdapat leksem „mendongkol‟, „menggerutu‟, „mencaci maki‟, dan ‟mengoceh‟.

b. Mendaftar semua ciri spesifik yang dimiliki oleh rujukannya. Misalnya, untuk kata ‟ayah‟ terdapat ciri spesifik antara: [+insan], [+jantan], [+kawin], dan [+anak].

c. Menentukan komponen yang dapat digunakan untuk kata yang lain. Misalnya, ciri „kelamin perempuan‟ dapat digunakan untuk kata ‟ibu‟, ‟kakak perempuan‟, ‟adik perempuan‟, ‟bibi dan nenek‟.

d. Menentukan komponen diagnostik yang dapat digunakan untuk setiap kata. Misalnya untuk kata ayah terdapat komponen diagnostik „jantan‟, satu turunan di atas ego.

e. Mengecek data yang dilakukan pada langkah pertama.

(11)

B.3 Hambatan Analisis Komponen Makna

Abdul Chaer (2009:118) menambahkan bahwa terhadap data unsur-unsur leksikal ada tiga hal yang perlu dikemukakan berkenaan dengan analisis komponen makna.

1) Ada pasangan kata yang salah satu daripadanya lebih bersifat netral atau umum sedangkan yang lain lebih bersifat khusus. Misalnya pasangan kata ‟mahasiswa‟ dan ‟mahasiswi‟. Kata ‟mahasiswa‟ lebih bersifat umum dan netral karena dapat termasuk pria dan wanita sedangkan kata ‟mahasiswi‟ lebih bersifat khusus karena hanya mengenai wanita. Unsur leksikal yang bersifat umum seperti kata tersebut dikenal sebagai anggota yang tidak bertanda dari pasangan itu. Dalam diagram anggota yang tidak bertanda ini diberi tanda 0 atau ±.

2) Ada kata atau unsur leksikal yang sukar dicari pasangannya karena memang mungkin tidak ada, tetapi ada juga yang mempunyai pasangan lebih dari satu. Contoh yang sukar dicari pasangannya antara lain kata-kata yang berkenaan dengan warna.

3) Seringkali kita sukar mengatur ciri-ciri semantik itu secara bertingkat, mana yang lebih bersifat umum dan mana yang lebih bersifat khusus. Umpamanya ciri [jantan] dan [dewasa] mana yang lebih bersifat umum. Keduanya dapat ditempatkan sebagai unsur yang lebih tinggi dalam diagram yang berlainan. Ciri-ciri semantik ini dikenal sebagai ciri-ciri penggolongan silang.

(12)

B.4 Prosedur Analisis Komponen Makna

Untuk menganalisis makna dapat digunakan berbagai prosedur. Nida (1975:64) menyebutkan empat teknik dalam menganalisis komponen makna yakni penamaan, parafrasis, pendefinisian dan pengklasifikasian (dalam Surayat, 2009:38).

1) Penamaan (Penyebutan)

Proses penamaan berkaitan dengan acuannya. Penamaan bersifat konvensional dan arbitrer. Konvensional berdasarkan kebiasaan masyarakat pemakainya sedangkan arbitrer berdasarkan kemauan masyarakatnya. Misalnya, leksem ‟rumah‟ mengacu ke „benda yang beratap, berdinding, berpintu, berjendela, dan biasa digunakan manusia untuk beristirahat‟.

Ada beberapa cara dalam proses penamaan, antara lain: (1) peniruan bunyi, (2) penyebutan bagian, (3) penyebutan sifat khas, (4) penyebutan apelativa, (5) penyebutan tempat asal, (6) penyebutan bahan, (7) penyebutan keserupaan, (8) penyebutan pemendekan, (9) penyebutan penemuan baru, dan (10) penyebutan pengistilahan.

2) Parafrasis

Parafrasis merupakan deskripsi lain dari suatu leksem, misalnya: 1. „Paman‟ dapat diparafrasis menjadi:

(a) adik laki-laki ayah (b) adik laki-laki ibu

(13)

(a) berdarmawisata (b) berjalan-jalan (c) bertamasya (d) makan angin (e) pesiar 3) Pengklasifikasian

Pengklasifikasian adalah cara memberikan pengertian pada suatu kata dengan cara menghubungkan kata yang satu dengan kata yang lain. Klasifikasi atau taksonomi merupakan suatu proses yang bersifat alamiah untuk menampilkan pengelompokan sesuai dengan pengalaman manusia. Klasifikasi dibedakan atas

klasifikasi dikotomis yaitu klasifikasi yang terdiri atas dua anggota kelas atau

subkelas saja dan klasifikasi kompleks yaitu klasifikasi yang memiliki lebih dari dua subkelas.

4) Pendefinisian

Pendefinisian adalah suatu proses memberi pengertian pada sebuah kata dengan menyampaikan seperangkat ciri pada kata tersebut supaya dapat dibedakan dari kata-kata lainnya sehingga dapat ditempatkan dengan tepat dan sesuai dengan konteks.

(14)

C. Manfaat Analisis Komponen Makna

Pemahaman komponen semantis berperanan dalam memproduksi kalimat-kalimat baru sehingga berbagai struktur sintaktik dan fonologis dapat dikembangkan dan diwujudkan. Pengembangan struktur sintaktik yang dilatari penguasaan komponen semantis yang dalam semantik interpretif, disebutkan memiliki hubungan erat dengan penguasaan makna kata seperti yang terdapat dalam kamus (Aminuddin, 2008). Selain itu Chaer (2009:116-117) juga memperinci manfaat analisis komponen makna sebagai berikut.

1) Digunakan untuk membedakan makna suatu kata dengan kata yang lain.

Misalnya kata ayah dan ibu dapat dibedakan berdasarkan ada atau tidak adanya ciri jantan.

Ciri Pembeda Ayah Ibu

1. manusia 2. dewasa 3. kawin 4. jantan + + + + + + + -

2) Perumusan di dalam kamus.

Menurut Wunderlich (dalam Pateda, 2001) untuk mendefinisi sesuatu dapat digunakan definisi berdasarkan genus proximum (mengacu kepada rincian secara umum) dan differentia specifica (mengacu kepada spesifikasi sesuatu yang didefinisikan). Jadi ciri „binatang menyusui, berkuku satu, dan biasa dipiara orang‟

(15)

adalah yang menjadi ciri umum dan ciri makna „kendaraan‟ menjadi ciri khusus yang membedakannya dengan „sapi‟ dan „kambing‟.

Ciri Pembeda Kuda Sapi Kambing

1. menyusui 2. berkuku satu 3. dipiara 4. kendaraaan + + + + + + + - + + + -

3) Dapat menggolong-golongkan kata atau unsur leksikal seperti dalam teori medan makna.

4) Dapat digunakan untuk mencari perbedaan kata-kata yang bersinonim

Kata-kata bersinonim seperti ‟kandang, pondok, rumah, istana, keraton, dan wisma‟. Kata tersebut dianggap bersinonim dengan makna dasar „tempat tinggal‟. Kata ‟kandang‟ dapat dibedakan dari kelima kata lain berdasarkan ciri [+manusia] dan [-manusia].

(16)

1.8.3 Hubungan Makna

Menurut Nida (1979) ada empat cara utama untuk mengetahui hubungan antar unit semantik yang memiliki makna berbeda, yaitu inklusi (penyertaan),

overlapping (tumpang tindih), komplementasi (pelengkapan), dan kontiguitas

(kontak atau persentuhan). Salah satu fitur yang paling jelas dari hubungan makna adalah kecendurungan untuk overlapping atau tumpang tindih, contoh dalam bahasa Inggris ada kata give/bestow, ill/sick, posseses/own dan answer/reply. Setiap pasang kata tersebut umumnya disebut sinonim, namun hampir tidak pernah disubtitusikan satu kata dengan kata yang lain dalam semua konteks. Artinya tidak ada makna yang identik, tetapi saling tumpang tidih (overlapp). Kata tersebut dapat saling disubtitusi satu dengan yang lain dalam konteks tertentu tanpa perubahan signifikan dalam konsep isi sebuah ujaran. Kebanyakan orang akan merespon penggunaan dalam suatu waktu kepada orang lain dengan menyatakan, ”Dia hanya mengatakan suatu hal yang sama tapi menggunakan kata yang berbeda”. Hal itu bukanlah aturan dari perbedaan gaya tertentu dalam penggunaan kata pada jangka waktu tertentu sebagai perlawanan terhadap kata lain. Sebagai contoh, kata ‟bestow’ lebih jarang dipakai daripada ‟give’ dan kata ‟give’ lebih menyiratkan ekspresi formalitas. Hubungan tumpang tindih (overlapping) bisa digambarkan dalam diagram berikut.

Diagram tumpang tindih (overlapping)

(17)

1.8.4 Operasi Himpunan dan Diagram Venn

Himpunan adalah kumpulan benda atau objek-objek atau lambang-lambang yang mempunyai arti yang dapat didefinisikan dengan jelas mana yang merupakan anggota himpunan dan mana bukan anggota himpunan. Di dalam kehidupan sehari-hari, kata himpunan ini dipadankan dengan kumpulan, kelompok, grup, gerombolan. Antar himpunan tersebut dapat dioperasikan satu sama lain. Salah satunya diantarnya adalah Irisan (intersection). Contoh operasi himpunan Irisan adalah sebagai berikut.

A adalah himpunan bilangan ganjil antara 0 sampai 10 B adalah himpunan bilangan prima antara 0 sampai 10.

1. Kedua himpunan itu adalah:

A = {1, 3, 5, 7, 9} B = {2, 3, 5, 7}

2. Untuk melihat apakah ada anggota himpunan A yang sama dengan anggota himpunan B dapat dilakukan dengan membandingkan satu persatu, apakah elemen A ada pasangannya yang sama pada B dan sebaliknya. Kita dapat merancang prosedur sistematis untuk melakukan ini sebagai berikut.

a. Ambil elemen pertama A, bandingkan dengan elemen B. Apabila ada pasangan yang anggotanya sama.

b. Ambil elemen kedua, ketiga, dan seterusnya dari A, bandingkan dengan elemen B, ulangi hal yang sama sampai semua elemen A habis.

c. Bila setelah semua elemen A habis diproses, tulislah semua elemen yang menjadi anggota himpunan A dan sekaligus menjadi angota himpunan B.

(18)

3. Anggota himpunan A dan B adalah anggota himpunan A sekaligus menjadi anggota himpunan B= {3, 5, 7}. Anggota himpunan A yang sekaligus menjadi anggota himpunan B disebut anggota persekutuan dari A dan B. Anggota persekutuan dua himpunan disebut irisan dua himpunan, dinotasikan dengan ( dibaca : irisan atau interseksi). Jadi, A ∩ B = {3, 5, 7}.

Suatu himpunan dapat dinyatakan dengan cara menuliskan anggotanya dalam suatu gambar (diagram) yang dinamakan diagram Venn. Berikut contoh diagram Venn untuk operasi himpunan Irisan.

1.9 Sistematika Penyajian

Penelitian ini terdiri dari empat bab. Bab I terdiri dari latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, ruang lingkup penelitian, tinjauan pustaka, landasan teori, metode penelitian, dan sistematika penulisan. Bab II berisi analisis klasifikasi verba yang akan diteliti. . Bab III berisi perbandingan komponen makna pada tiap verba berdasarkan masing-masing klasifikasi. Bab IV berisi simpulan dari seluruh pembahasan dan saran.

Referensi

Dokumen terkait

Dilibatkannya software dalam konsep ERP adalah semata-mata karena perangkat teknologi tersebut dapat memberikan nilai tambah berupa penghapusan proses yang tidak

sebagai tersangka pada tanggal 22 Februari 2013, Kompas memuat beberapa berita terkait Hambalang, namun sepanjang periode itu Kompas belum menyebut-nyebut nama Anas se-

Propagasi line of sight, disebut dengan propagasi dengan gelombang langsung (direct wave), karena gelombang yang terpancar dari antena pemancar langsung berpropagasi menuju

Dalam proses pengolahan penggunaan bahan tambahan pangan (BTP) dan bahan penolong digunakan seminimum mungkin. Sistem pengendalian hama, penyakit dan gulma selama proses

Dalam hal perasaan mampu, subjek pertama dan kedua merasa sudah cukup mampu dalam memenuhi kebutuhan rumah tangga sehari-hari serta membangun dan mengatasi masalah rumah tangga,

Menurut Xu tong qiang 徐通锵 (2001), bahasa adalah perkataan orang yang sering keluar melalui suara yang dikeluarkan agar tersampaikan kepada pendengar, pendengar “mendengar”

Rumusan masalah dalam penelitian kali ini yaitu bagaiamana kemampuan komunikasi matematis siswa pada materi operasi hitung bentuk aljabar melalui pendekatan PMRI

Hasil penelitian menunjukkan bahwa restoran fast food lokal terbaik di Yogyakarta menurut konsumen dari 7 kriteria yang digunakan meliputi aspek pelayanan, dan aspek kenyamanan