• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA Pengertian Laporan Keuangan. prestasi historis dari suatu perusahaan dan memberikan dasar, bersama dengan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II TINJAUAN PUSTAKA Pengertian Laporan Keuangan. prestasi historis dari suatu perusahaan dan memberikan dasar, bersama dengan"

Copied!
29
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Konsep, Konstruk, Variable Penelitian 2.1.1 Pengertian Laporan Keuangan

Menurut Weston dan Copeland (1994:25), laporan keuangan melaporkan prestasi historis dari suatu perusahaan dan memberikan dasar, bersama dengan analisis bisnis dan ekonomi, untuk membuat proyeksi dan peramalan untuk masa depan.

Menurut Munawir (2004:5) mengemukakan sebagai berikut :

“Pada umumnya laporan keuangan itu terdiri dari Neraca dan perhitungan Laba Rugi serta Laporan Perubahan Modal, dimana neraca menunjukkan atau menggambarkan jumlah aktiva, hutang dan modal dari suatu perusahaan pada tanggal tertentu, sedangkan perhitungan (laporan) Laba-Rugi memperlihatkan hasil-hasil yang telah dicapai oleh perusahaan serta biaya yang terjadi selama periode tertentu dan Laporan Perubahan Modal menunjukkan sumber dan penggunaan atau alasan-alasan yang menyebabkan perubahan modal perusahaan.”

Menurut PSAK 1 (2009) laporan keuangan adalah :

“ Laporan keuangan adalah suatu penyajian terstruktur dari posisi keuangan dan kinerja keuangan suatu entitas.”

Berdasarkan pengertian diatas dapat disimpulkan bahwa laporan keuangan adalah laporan akuntansi utama yang mengkomunikasikan informasi keuangan

(2)

pada suatu periode akuntansi kepada pihak-pihak yang berkepentingan, yang dapat menggambarkan kinerja perusahaan tersebut.

2.1.1.2 Tujuan Laporan Keuangan

Menurut PSAK (2009) tujuan laporan keuangan adalah memberikan informasi mengenai posisi keuangan, kinerja keuangan, dan arus kas entitas yang bermanfaat bagi sebagian besar kalangan pengguna laporan dalam pembuatan keputusan ekonomi. Dalam rangka mencapai tujuan tersebut suatu laporan keuangan menyajikan informasi mengenai perusahaan meliputi:

a. Aset b. Liabilitas c. Ekuitas

d. Pendapatan dan beban termasuk keuntungan dan kerugian

e. Kontribusi dari dan distribusi kepada pemilik dalam kapasitasnya sebagai pemilik, dan

f. Arus kas

Informasi tersebut di atas beserta informasi lain yang terdapat dalam catatan laporan keuangan membantu pengguna laporan dalam memprediksi arus kas masa depan khususnya, dalam hal waktu dan kepastian diperoleh kas dan setara kas.

(3)

2.1.1.3 Komponen-komponen Laporan Keuangan

Laporan keuangan yang lengkap harus meliputi komponen-komponen berikut ini, menurut PSAK No.1 (2009) :

a) laporan posisi keuangan pada akhir periode;

b) laporan laba rugi komprehensif selama periode;

c) laporan perubahan ekuitas selama periode;

d) laporan arus kas selama periode;

e) catatan atas laporan keuangan, berisi ringkasan kebijakan akuntansi penting dan informasi penjelasan lain; dan

f) laporan posisi keuangan pada awal periode komparatif yang disajikan ketika entitas menerapkan suatu kebijakan akuntansi secara restrospektif atau membuat penyajian kembali pos-pos laporan keuangan, atau ketika entitas mereklasifikasi pos-pos dalam laporan keuangannya.

2.1.1.4 Pengguna Laporan Keuangan

Menurut Standar Akuntansi Keuangan (2007;2-3), pengguna laporan keuangan adalah sebagai berikut :

a) Investor. Penanam modal berisiko dan penasihat mereka berkepentingan dengan risiko yang melekat serta hasil pengembangan dari investasi yang

(4)

mereka lakukan. Mereka membutuhkan informasi untuk membantu menentukan apakah harus membeli, menahan, atau menjual investasi tersebut. Pemegang saham juga tertarik pada informasi yang memungkinkan mereka untuk menilai kemampuan perusahaan untuk membayar dividen.

b) Karyawan. Karyawan dan kelompok-kelompok yang mewakili mereka tertarik pada informasi mengenai stabilitas dan profitabilitas perusahaan. Mereka juga tertarik dengan informasi yang memungkinkan mereka untuk menilai kemampuan perusahaan dalam memberikan balas jasa, imbalan pascakerja, dan kesempatan kerja.

c) Pemberi pinjaman. Pemberi pinjaman tertarik dengan informasi keuangan yang memungkinkan mereka untuk memutuskan apakah pinjaman serta bunganya dapat dibayar pada saat jatuh tempo.

d) Pemasok dan kreditor usaha lainnya. Pemasok dan kreditor usaha lainnya tertarik dengan informasi yang memungkinkan mereka untuk memutuskan apakah jumlah yang terhutang akan dibayar pada saat jatuh tempo. Kreditor usaha berkepentingan pada perusahaan dalam tenggang waktu yang lebih pendek daripada pemberi pinjaman kecuali kalau sebagai pelanggan utama mereka bergantung pada kelangsungan hidup perusahaan.

(5)

e) Pelanggan. Para pelanggan berkepentingan dengan informasi mengenai kelangsungan hidup perusahaan, terutama kalau mereka terlibat dalam perjanjian jangka panjang dengan, atau tergantung pada perusahaan. f) Pemerintah. Pemerintah dan berbagai lembaga yang berada di bawah

kekuasaannya berkepentingan dengan alokasi sumber daya dan karena itu berkepentingan dengan aktivitas perusahaan. Mereka juga membutuhkan informasi untuk mengatur aktivitas perusahaan, menetapkan kebijakan pajak dan sebagai dasar untuk menyusun statistik pendapatan nasional dan statistik lainnya.

g) Masyarakat. Perusahaan memengaruhi anggota masyarakat dalam berbagai cara. Misalnya, perusahaan dapat memberikan kontribusi berarti pada perekonomian nasional, termasuk jumlah orang yang diperkerjakan dan perlindungan kepada penanam modal domestik. Laporan keuangan dapat membantu masyarakat dengan menyediakan informasi kecenderungan (trend) dan perkembangan terakhir kemakmuran perusahaan serta rangkaian aktivitasnya.

2.1.2 Teori Keagenan (agency theory)

Teori keagenan dapat dipandang sebagai suatu model kontraktual antara dua atau lebih orang (pihak), dimana salah satu pihak disebut agent dan pihak yang lain disebut principal. Principal mendelegasikan pertanggungjawaban atas decision making kepada agent, hal ini dapat pula dikatakan bahwa principal

(6)

memberikan suatu amanah kepada agent untuk melaksanakan tugas tertentu sesuai dengan kontrak kerja yang telah disepakati. Wewenang dan tanggungjawab agent maupun principal diatur dalam kontrak kerja atas persetujuan bersama.

Menurut Jensen dan Meckling (1976:5) teori agensi adalah :

“We define an agency relationship as a contract under which one or more persons (the principal(s)) engage another person (the agent) to perform some service on their behalf which involves delegating some decision making authority to the agent.”

Berdasarkan pernyataan tersebut menunjukkan bahwa teori agensi merupakan suatu kontrak dimana satu atau lebih orang (principal (s)) melibatkan orang lain (agen) untuk melakukan beberapa layanan atas nama mereka yang melibatkan beberapa mendelegasikan otoritas pengambilan keputusan kepada agen.”

Menurut Sunarto (2009), dalam model keagenan dirancang sebuah sistem yang melibatkan kedua belah pihak, sehingga diperlukan kontrak kerja antara pemilik (principal) dan manajemen (agent). Dalam kesepakatan tersebut diharapkan dapat memaksimumkan utilitas principal, dan dapat memuaskan serta menjamin agen untuk menerima reward dari hasil aktivitas pengelolaan perusahaan. Perbedaan kepentingan antara pemilik dan manajemen terletak pada maksimalisasi manfaat (utility) pemilik (principal) dengan kendala (constraint) manfaat (utility) dan insentif yang akan diterima oleh manajemen (agent). Karena kepentingan yang berbeda sering muncul konflik kepentingan antara pemegang saham/ pemilik (principal) dengan manajemen (agent).

(7)

Tetapi di satu sisi, agent memiliki informasi yang lebih banyak (ful information) dibanding dengan principal di sisi lain, sehingga menimbulkan adanya asimetry information. Informasi yang lebih banyak dimiliki oleh manajer dapat memicu untuk melakukan tindakan-tindakan sesuai dengan keinginan dan kepentingan untuk memaksimumkan utilitasnya. Sedangkan bagi pemilik modal dalam hal ini investor, akan sulit untuk mengontrol secara efektif tindakan yang dilakukan oleh manajemen karena hanya memiliki sedikit informasi yang ada. Oleh karena itu, terkadang kebijakan-kebijakan tertentu yang dilakukan oleh manajemen perusahaan tanpa sepengetahuan pihak pemilik modal atau investor.

Agency theory memiliki asumsi bahwa masing-masing individu semata-mata termotivasi oleh kepentingan diri sendiri sehingga menimbulkan konflik kepentingan antara principal dan agent. Pemegang saham sebagai pihak principal mengadakan kontrak untuk memaksimumkan kesejahteraan dirinya dengan profitabilitas yang selalu meningkat. Manajer sebagai agent termotivasi untuk memaksimalkan pemenuhan kebutuhan ekonomi dan psikologisnya antara lain dalam hal memperoleh investasi, pinjaman, maupun kontrak kompensasi. Masalah keagenan muncul karena adanya perilaku oportunistik dari agent, yaitu perilaku manajemen untuk memaksimumkan kesejahteraannya sendiri yang berlawanan dengan kepentingan principal. Manajer memiliki dorongan untuk memilih dan menerapkan metoda akuntansi yang dapat memperlihatkan kinerjanya yang baik untuk tujuan mendapatkan bonus dari principal.

(8)

“If both parties to the relationship are utility maximizers, there is good reason to believe that the agent will not always act in the best interests of the principal.”

Pernyataan tersebut dapat menjelaskan bahwa jika kedua kelompok (agent dan principal) tersebut adalah orang-orang yang berupaya memaksimalkan utilitasnya, maka alasan yang kuat untuk meyakini bahwa agen tidak akan selalu bertindak yang terbaik untuk kepentingan prinsipal.

Jensen dan Meckling (1976;7) mengidentifikasi kos keagenan menjadi tiga kelompok, yaitu:

1) the monitoring expenditure by the principal adalah kos pengawasan yang harus dikeluarkan oleh pemilik. Pemantauan mencakup lebih dari sekedar mengukur atau mengamati perilaku agen. Ini termasuk upaya pada bagian pokok untuk 'mengontrol' perilaku agen melalui pembatasan anggaran, kebijakan kompensasi, aturan operasi, dll

2) the bonding cost adalah kos yang harus dikeluarkan akibat pemonitoran yang harus dikeluarkan prinsipal kepada agen;

3) the residual loss adalah pengorbanan akibat berkurangnya kemakmuran prinsipal karena perbedaan keputusan antara prinsipal dan agen.

2.1.3 Asimetri Informasi

Asimetri informasi terjadi karena manajer lebih superior dalam menguasai informasi dibanding pihak lain (pemilik atau pemegang saham). Dengan asumsi bahwa individu-individu bertindak untuk memaksimalkan kepentingan diri

(9)

sendiri, maka dengan informasi asimetri yang dimilikinya akan mendorong agent untuk menyembunyikan beberapa informasi yang tidak diketahui principal sebagai pemilik. Sehingga dengan adanya asimetri antara manajemen (agent) dengan pemilik (principal) memberikan kesempatan kepada manajer untuk melakukan manajemen laba (earnings management) dalam rangka memaksimumkan utilitynya.

Asimetri informasi merupakan suatu keadaan dimana manajer memiliki akses informasi atas prospek perusahaan yang tidak dimiliki oleh pihak luar perusahaan. Agency Theory mengimplikasikan adanya asimetri informasi antara manajer (agent) dengan pemilik (prinsipal).

Menurut Hendriksen dan Breda (hal 222) mendefinisikan asimetri informasi sebagai:

“Ketika tidak semua keadaan diketahui oleh kedua belah pihak dan akibatnya, ketika konsekuensi-konsekuensi tertentu tidak dipertimbangkan oleh pihak-pihak yang bersangkutan.”

Para pengguna internal (para manajemen) memiliki kontak langsung dengan entitas atau perusahannya dan mengetahui peristiwa-peristiwa signifikan yang terjadi, sehingga tingkat ketergantungannya terhadap informasi akuntansi tidak sebesar para pengguna eksternal. Adanya publikasi laporan keuangan perusahaan diharapkan akan dapat mengurangi asimetri informasi, dimana semua investor mempunyai informasi yang sama dalam hal rasio-rasio keuangan suatu perusahaan. Dengan adanya kesamaan dalam mengakses informasi tersebut maka

(10)

diharapkan perbedaan harga antara permintaan dan penawaran (bid ask spread) menjadi lebih rendah. (Rahardjo,2004)

Situasi ini akan memicu munculnya suatu kondisi yang disebut sebagai asimetri informasi (information asymmetry). Yaitu suatu kondisi di mana ada ketidakseimbangan perolehan informasi antara pihak manajemen sebagai penyedia informasi (prepaper) dengan pihak pemegang saham dan stakeholder pada umumnya sebagai pengguna informasi (user).

Menurut Scott (2003;8), ada dua tipe asimetri informasi yaitu:

1. Adverse Selection

“Adverse selection is type of information asymmetry whereby one or more parties to a business transaction, or potential transaction have an information advantage over other parties.”

Pernyataan di atas apat kita simpulkan bahwa adverse selection adalah Adverse selection adalah jenis asimetri informasi dimana satu atau lebih pihak dalam suatu transaksi bisnis, atau transaksi potensial memiliki keunggulan informasi melalui pihak lain. bahwa para manajer serta orang-orang dalam lainnya biasanya mengetahui lebih banyak tentang keadaan dan prospek perusahaan dibandingkan investor pihak luar dan fakta yang mungkin dapat mempengaruhi keputusan yang akan diambil oleh pemegang saham tersebut tidak disampaikan informasinya kepada pemegang saham.

2. Moral Hazard

“Moral hazard is a type of information asymmetry whereby one or more parties to a business transaction, or potential transaction, can observe their actions in fulfillment of the transaction but other parties can not.”

(11)

Pernyataan di atas apat kita simpulkan bahwa moral hazard adalah jenis asimetri informasi dimana satu atau lebih pihak dalam suatu transaksi bisnis, atau transaksi potensial, dapat mengamati tindakan mereka dalam pemenuhan transaksi tetapi pihak lain tidak bisa. bahwa kegiatan yang dilakukan oleh seorang manajer tidak seluruhnya diketahui oleh pemegang saham maupun pemberi pinjaman. Sehingga manajer dapat melakukan tindakan diluar pengetahuan pemegang saham yang melanggar kontrak dan sebenarnya secara etika atau norma mungkin tidak layak dilakukan.

Adanya pemilihan kebijakan akuntansi dalam standar yang dapat digunakan tersebut membuat manajemen memiliki cukup keleluasaan untuk memanipulasi laporan keuangan tersebut. Pilihan metode akuntansi yang secara sengaja dipilih oleh manajemen untuk tujuan tertentu dikenal dengan sebutan manajemen laba. Asimetri informasi dapat diantisipasi dengan melakukan pengungkapan informasi yang lebih berkualitas.

2.1.4 Teori bid-ask spread

Menurut Listiana (2011), pengukuran tingkat asimetri informasi dapat dilakukan dengan menggunakan proksi bid-ask spreads. Istilah ask diasosiasikan dengan selling limit order, sedangkan bid diasosiasikan dengan buying limit order. Istilah bid-ask spreads diartikan dengan selisih harga beli tertinggi dari investor dengan harga jual yang diajukan oleh emiten atau penjual saham.

(12)

Bid-ask spread juga dapat diartikan sebagai selisih harga beli tertinggi dengan trader (pedagang saham) bersedia membeli suatu saham dengan harga jual terendah yang trader bersedia menjual saham tersebut. Secara konseptual bid-ask spread adalah kompensasi ekonomi yang diberikan kepada market maker atas pelayanan atau jasanya. Bid-ask spread merupakan faktor yang dipertimbangkan investor untuk mengambil keputusan apakah menahan atau menjual saham tersebut. Hal yang harus diperhatikan investor untuk memutuskan membeli atau menjual pada harga tertentu yaitu mengetahui seberapa besar perbedaan (spread) antara permintaan beli (bid) dan harga tawaran jual (ask). (Satiasari:2009)

Masalah keagenan dihadapi pula oleh partisipan pasar modal. Salah satu partisipan pasar modal adalah dealer atau market makers. Menurut Ambarwati (2008), dealer adalah pihak yang dalam pelaksanaan transaksi jual beli sekuritas atau saham, mempunyai andil yang besar dalam pasar modal. Ketidakpastian yang dihadapi dealer disebabkan karena adanya ketidakseimbangan informasi (information asymmetry). Untuk mengurangi ketidakpastian tersebut dealer membutuhkan informasi. Untuk mendapatkan informasi dibutuhkan biaya. Besarnya ketidakseimbangan informasi yang dihadapi dealer akan tercermin pada spread yang ditentukannya. Dealer selalu berusaha menentukan spread secara wajar dengan memperhatikan kejadian tertentu atau kondisi atau informasi apa saja yang memberikan sinyal mengenai surat berharga yang dimilikinya.

Literatur mikrostruktur dalam penelitian Rahmawati dkk (2006) mengenai bid-ask spread menyatakan bahwa terdapat suatu komponen spread yang turut

(13)

memberikan kontribusi terhadap kerugian yang dialami dealer ketika bertransaksi dengan pedagang terinformasi tersebut adalah sebagai berikut :

- Biaya pemrosesan pesanan (order processing cost), terdiri dari biaya yang dibebankan oleh pedagang sekuritas (efek) atas kesiapannya mempertemukan pesanan pembelian dan penjualan, dan kompensasi untuk waktu yang diluangkan oleh pedagang sekuritas guna menyelesaikan transaksi.

- Biaya penyimpanan persediaan (inventory holding cost), yaitu biaya yang ditanggung oleh pedagang sekuritas untuk membawa persediaan saham agar dapat diperdagangkan sesuai dengan permintaan.

- Adverse selection component, menggambarkan suatu upah (reward) yang diberikan kepada pedagang sekuritas untuk mengambil suatu risiko ketika berhadapan dengan investor yang memiliki informasi superior. Komponen ini terkait erat dengan arus informasi di pasar modal. Berkaitan dengan bid-ask spread, fokus perhatian akuntan adalah pada komponen adverse selection karena berhubungan dengan penyediaan informasi ke pasar modal.

2.15 Metode Pengukuran Asimetri Informasi

Pengukuran asimetri informasi didasarkan atas pendekatan teori microstructure dengan pendekatan bid ask spread. Bid ask spread merupakan salah satu ukuran yang banyak digunakan oleh penelitian terdahulu sebagai

(14)

pengukur asimetri informasi antara manajemen dan pemegang perusahaan (Lasniroha, 2008). Kaitannya dengan informasi asimetri berdasarkan bid ask spread digunakan tiga variabel proxy, yaitu (1) Quotes adalah merupakan rata-rata bid-ask price pada hari perdagangan terakhir untuk satu tahun tertentu (Stoll, 1978 dalam Novianty, 2008), (2) Volume penjualan merupakan jumlah penjualan perusahaan (Lasniroha, 2008), (3) Volatilitas return mencerminkan volatilitas pendapatan perusahaan dan didefinisikan sebagai koefisien variasi profit (Welker 1995 dalam Novianty, 2008).

2.1.5.1 Quates (Harga pasar saham)

Harga pasar adalah harga suatu saham pada pasar yang sedang berlangsung, jika bursa efek tutup maka harga pasarnya adalah harga penutupan (closing price). Harga berdasarkan pasar inilah yang menyatakan perubahan harga saham (Yuliastari, 2008). Menurut M. Samsul (1989) dalam Yuliastari (2008), harga saham adalah harga yang terbentuk di pasar jual beli saham.

Di pasar sekunder atau dalam aktivitas perdagangan saham sehari-hari di Bursa Efek ditunjukkan oleh semakin maraknya fluktuasi harga saham. Semakin meningkatnya harga saham merupakan kondisi ekonomi baik sehingga para pemodal menilai investasi dalam bentuk saham akan sangat menguntungkan, karena tidak menghadapi risiko (Satiari, 2009)

2.1.5.2 Volume Penjualan / Volume Perdagangan

Volume perdagangan menunjukkan besarnya tingkat perdagangan saham. Menurut Yuliastari (2008), total volume perdagangan suatu saham merupakan

(15)

suatu penjumlahan dari setiap transakasi perdagangan yang dilakukan oleh para pelaku pasar, dimana proses penjumlahan ini mencerminkan adanya perbedaan pandangan diantara investor mengenai nilai suatu saham.

Volume perdagangan saham merupakan jumlah lembar saham yang ditransaksikan oleh para investor atau pemodal di perdagangan saham. Semakin banyak dan semakin besar investor menginvestasikan modalnya pada saham akan menjadikan saham-saham yang diperdagangkan semakin likuid (Satiari, 2009).

Volume perdagangan saham yang besar menunjukkan bahwa saham tersebut sangat diminati banyak investor. Kecenderungan investor adalah tertarik pada saham yang memberikan return yang tinggi walau beresiko (Copeland, 1995 dalam Satiari, 2009). Sehingga saham yang fluktuatif dan memiliki kecenderungan harga yang meningkat maka saham tersebut akan diburu investor begitu juga sebaliknya. Berdasarkan hal itu antara harga saham dan volume perdagangan saham bersifat positif. Hubungan positif ini bias bersifat kausal, yaitu perubahan harga saham dapat disebabkan oleh perubahan permintaan saham/ volume perdagangan (Satiari, 2009).

2.1.5.3 Volatilitas Return

Return adalah pengembalian dari sejumlah dana yang diinvestasikan, misalnya bunga yang diperoleh dari tabungan atau deposito. Return dapat berupa return realisasi yang sudah terjadi atau return ekspektasi yang belum terjadi tetapi diharapkan akan terjadi di masa mendatang (Jogiyanto, 2001 dalam Chandra W.K., 2003).

(16)

Return saham merupakan salah satu keuntungan yang diharapkan oleh investor selain capital gain, sehingga saham-saham yang mempunyai return yang tinggi akan cenderung lebih disukai oleh investor (Abdul dan Nasuhi dalam Rahardjo, 2004). Volatilitas return saham merupakan fluktuasi dari return-return suatu saham dalam suatu periode waktu tertentu. Volatilitas return saham digunakan sebagai salah satu pengukur risiko (Rahardjo, 2004).

2.1.6 Manajemen Laba

2.1.6.1 Pengertian manajemen laba

Menurut Scott (2003:369) manajemen laba adalah :

“Earnings management is the choice by a manager of accounting policies so as to achieve some specific objective.”

Dari definisi tersebut manajemen dapat memlih kebijakan akuntansi dari berbagai pilihan kebijakan, maka wajar jika manajemen akan memilih kebijakan akuntansi untuk memaksimalkan utilitasnya untuk memaksimalkan nilai perusahaan.

Menurut Sulistyanto (2008;6) secara umum manajemen laba didefinisikan sebagai upaya manajer perusahaan untuk mengintervensi atau mempengaruhi informasi-informasi dalam laporan keuangan dengan tujuan untuk mengelabui stakeholder yang ingin mengetahui kinerja dan kondisi perusahaan.

Berdasarkan penjelasan diatas maka dapat disimpulkan bahwa manajemen laba adalah pengaruh manajemen terhadap laporan keuangan, berupa pilihan yang

(17)

dilakukan oleh manajemen terhadap kebijakan-kebijakan akuntansi, yang diperkenankan dalam proses pelaporan keuangan eksternal untuk mencapai tujuan atau maksud tertentu.

Ada dua perspektif penting yang dapat digunakan untuk menjelaskan mengapa manajemen laba dilakukan oleh manajer, yaitu perspektif informasi dan oportunis. Perspektif informasi merupakan pandangan yang menyarankan bahwa manajemen laba merupakan kebijakan manajerial untuk mengungkapkan harapan pribadi manajer tentang arus kas perusahaan dimasa depan. Upaya mempengaruhi informasi itu dilakukan dengan memanfaatkan kebebasan memilih, menggunakan, dan mengubah metode dan prosedur akuntansi. Perspektif oportunis merupakan pandangan yang menyatakan bahwa manajemen laba merupakan perilaku manajer untuk mengelabui investor dan memaksimalkan kesejahteraannya karena memiliki informasi lebih banyak dibandingkan pihak lain (Sulistyanto, 2008;10).

Manajemen perusahaan bisa memanfaatkan akuntansi akrual untuk alasan tertentu yang bersifat opportunistic, dengan demikian tindakan manajemen laba lebih ditujukan pada usaha untuk memperoleh bonus dan kompensasi lainnya, mempengaruhi keputusan pasar modal, menghindari pelanggaran perjanjian hutang dan menghindari biaya politik (Widyastuti, 2006).

2.1.6.2 Faktor-faktor pendorong manajemen laba

Positive accounting theory terdapat tiga hipotesis yang melatarbelakangi terjadinya manajemen laba (Watt dan Zimmerman, 1986), yaitu:

(18)

1) Bonus Plan Hypothesis (Watt dan Zimmerman, 1986;208)

“Managers of firm with bonus plans are more likely to choose accounting procedures that shift reported earnings from future periods to the current period”

Manajer perusahaan dengan rencana bonus lebih, cenderung memilih prosedur akuntansi yang menggeser laba yang dilaporkan dari periode mendatang untuk periode berjalan.

2) Debt Covenant Hypothesis (Watt dan Zimmerman, 1986;216)

“The larger a firm’s debt/equity rasio, the more likely the firm’s manager is to select accounting procedures that shift reported earnings from future periods to the current periods”

Utang atau ekuitas rasio yang lebih besar di suatu perusahaan, yang lebih mungkin dilakukan manajer perusahaan adalah untuk memilih prosedur akuntansi yang menggeser laba yang dilaporkan dari periode mendatang untuk periode kini. Hal ini untuk menjaga reputasi mereka dalam pandangan pihak eksternal.

3) Political Cost Hypothesis (Watt dan Zimmerman, 1986;354)

“The larger the firm, the more likely the manager selects procedures that decrease current earnings”

Semakin besar perusahaan, semakin besar pula kemungkinan perusahaan tersebut memilih metoda akuntansi yang menurunkan laba. Hal tersebut dikarenakan dengan laba yang tinggi pemerintah akan segera mengambil tindakan, misalnya : mengenakan peraturan antitrust, menaikkan pajak pendapatan perusahaan, dan lain-lain.

(19)

Scott (2000) mengemukakan beberapa motivasi terjadinya manajemen laba :

1) Bonus Purposes (Scott,2000;352)

“Managers have inside information of firm's net income before earnings management. Managers would opportunistically manage net income so as to maxmize their bonuses under their firms' compensation plans”

Manajer yang memiliki informasi orang dalam atas laba bersih perusahaan akan bertindak secara oportunistic untuk melakukan manajemen laba dengan memaksimalkan laba saat ini melalui program kompensasi perusahaan (Healy, 1985).

2) Political Motivations (Scott,2000;361)

“Accounting practices and procedures to minimize reported net income , particularly during periods of high prosperity. Otherwise, public pressure may arise for the government to step in with increased regulation or other means to lower profitability.”

Praktik akuntansi cenderung mengurangi laba yang dilaporkan karena adanya tekanan publik yang mengakibatkan pemerintah menetapkan peraturan yang lebih ketat.

3) Taxation Motivations (Scott,2000;361)

“Income taxation is perhaps the most obvious motivation for earnings management.”

Motivasi penghematan pajak menjadi motivasi manajemen laba yang paling nyata. Berbagai metoda akuntansi digunakan dengan tujuan penghematan pajak pendapatan.

4) Changes Of Chief Executive Officer(CEO) (Scott,2000;362)

“CEO approaching retirement would be particularly likely to engage in a strategy o€f income maximition, to increase their bonuses. Similarly CEO

(20)

of poorly performing firms may income-maximize to prevent, or postpone, being fired.”

CEO yang mendekati masa pensiun akan cenderung menaikkan pendapatan untuk meningkatkan bonus mereka. Demikian pula jika kinerja perusahaan buruk, mereka akan memaksimalkan pendapatan agar tidak diberhentikan. 5) Initital Public Offering (IPO) (Scott,2000;364)

“Firms making initial public offerings ( IPOs) do not have an established market price. this raises the possibility that managers of firms going public may manage the earnings reported in their prospectuses in the hope of receiving a higher price for their shares.”

Perusahaan yang akan go public belum memiliki nilai pasar, dan menyebabkan manajer perusahaan yang akan go public mengelola laba yang dilaporkan dalam prospektus mereka dengan harapan dapat menaikkan harga saham perusahaan.

6) To Communicate Information To Investors (Scott,2000;364)

“The use of earnings management to communicate information to investors may seem questionable in view of efficient securities market theory. investor will look through firms accounting policy choices when evaluating and comparing earnings performance.“

Pengguna manajemen laba, mengomunikasikan informasi kepada investor mungkin akan dipertanyakan. Investor akan melihat melalui pilihan-pilihan kebijakan akuntansi perusahaan ketika mengevaluasi dan membandingkan kinerja laba.

2.1.6.3 Pola manajemen laba

(21)

1) Taking a Bath

“This can take place during periods of organizational stress or reorganization, including the hiring of a new CEO. If a firm must report a loss, management may feel compelled to report a large one-it has little to lose at this point. This will enhance the probability of future reported profit.”

Pola ini terjadi pada saat reorganisasi termasuk pengangkatan CEO baru dengan melaporkan kerugian dalam jumlah besar. Tindakan ini diharapkan dapat meningkatkan laba di masa datang.

2) Income Minimization

“This is similar to taking a bath, but less extreme. Such a pattern may be chosen by a politically visible firm during periods of high profitability.” Hal ini mirip dengan mandi, tapi kurang ekstrim. Pola seperti itu dapat dipilih oleh perusahaan yang terlihat secara politik selama periode profitabilitas tinggi.

3) Income Maximization

“Managers may engage in a pattern of maximization of reported net income for bonus purposes. Firms that are close to debt covenant violations may also maximize income.”

Manajer dapat terlibat dalam pola memaksimalisasi laba bersih yang dilaporkan untuk tujuan bonus. Pola ini dilakukan oleh perusahaan yang melakukan pelanggaran perjanjian hutang.

4) Income Smoothing

“This is perhaps the most interesting earnings management pattern. The more volatile the stream of reported net income, the higher the probability that covenant violation will occur.”

(22)

Ini mungkin pola manajemen laba yang paling menarik. Semakin stabil aliran pendapatan bersih yang dilaporkan, semakin tinggi kemungkinan bahwa pelanggaran perjanjian akan terjadi.

2.1.7 Metode Perhitungan Manajemen Laba 2.1.7.1 Discretionary accruals

Discretionary accruals merupakan akrual yang dapat dikendalikan atau ditentukan oleh manajemen dimana manajemen dapat dengan bebas memilih kebijakan dalam hal pemilihan metode dan estimasi akuntansi yang akan digunakan. Menurut Sri Sulistyanto (2008;164), discretionary accrual merupakan komponen akrual hasil rekayasa manajerial dengan memanfaatkan kebebasan dan keleluasaan dalam estimasi dan pemakaian standar akuntansi.

Terdapat beberapa metode yang bisa dipakai manajer perusahaan untuk merekayasa besar kecilnya discretionary accrual ini sesuai dengan tujuan yang ingin dicapainya., misalkan kebebasan menentukan estimasi dan memilih metode depresiasi aktiva tetap, menentukan estimasi prosentase jumlah piutang tak tertagih, memilih metode penentuan jumlah persediaan, dan sebagainya. Discretionary accrual merupakan proksi atau ukuran dari manajemen laba yang selama ini dipakai secara luas.

2.1.7.2 Nondiscretionary accruals

Nondiscretionary accruals merupakan akrual yang tidak dapat dikendalikan atau ditentukan oleh manajemen, melainkan ditentukan berdasarkan kondisi

(23)

ekonomi. Hal ini dikarenakan nondiscretionary accruals terkait dengan level of business activity dan terkait dengan pihak ketiga atau adanya peraturan yang mengikat.

Menurut Sri Sulistyanto (2008;164), nondiscretionary accrual merupakan komponen akrual yang diperoleh secara alamiah dari dasar pencatatan akrual dengan mengikuti standar akuntansi yang diterima umum, misalkan metode depresiasi dan penentuan persediaan yang dipilih harus mengikuti metode yang diakui dalam prinsip akuntansi. Jadi, nondiscretionary accruals berbeda dengan discretionary accruals dimana manajemen memiliki fleksibilitas dalam meningkatkan utilitas nilai dari suatu perusahaan.

2.1.8 Asimetri Informasi dan Manajemen Laba

Informasi akuntansi yang berkualitas berguna bagi investor untuk menurunkan asimetri informasi. Asimetri informasi terjadi ketika terdapat ketidakseimbangan informasi yang dimiliki oleh satu pihak dengan pihak yang lain. Informasi yang lebih banyak dimiliki oleh manajer dapat memicu untuk melakukan tindakan-tindakan sesuai dengan keinginan manajer dan kepentingan untuk memaksimumkan utilitynya.

Teori keagenan (agency theory) mengimplikasikan adanya asimetri informasi antara manajer sebagai agen dan pemilik (pemegang saham) sebagai prinsipal. Pada satu sisi, pemilik menginginkan manajer bekerja keras untuk memaksimalkan utilitas pemilik. Namun disisi lain, manajer juga cenderung

(24)

berusaha keras memaksimumkan utilitasnya sendiri. Suatu ancaman bagi pemegang saham jika manajer bertindak untuk kepentingannya sendiri, bukan untuk kepentingan pemegang saham.

Keberadaan asimetri informasi dianggap sebagai penyebab adanya manajemen laba. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Richardson (1998) melakukan penelitian tentang hubungan asimetri informasi dengan manajemen laba yang dilakukan terhadap 355 perusahaan yang terdaftar di NYSE (New York Stock Exchange) periode 1988-1992. Hasil penelitiannya memberikan bukti hubungan positif antara asimetri informasi dan manajemen laba. Ketika asimetri informasi tinggi, stakeholder tidak memiliki sumber daya yang cukup, insentif, atau akses atas informasi yang relevan untuk memonitor tindakan manajer, dimana hal ini memberikan kesempatan atas praktek manajemen laba.

Menurut Veronica dan Bachtiar (2003), agar manajeman laba dapat dilakukan maka asumsi utamanya adalah adanya asimetri informasi sehingga ada komunikasi yang terhambat yang tidak dapat dihilangkan dengan mengubah perjanjian kontrak antara manajemen dan pemegang saham sekarang maupun calon investor. Hal ini terjadi karena pemegang saham tidak dapat mengamati secara sempurna kinerja dan prospek perusahaan karena informasi yang dimilikinya tidak selengkap yang dimiliki oleh manajemen.

Berdasarkan penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Vernon J Richardson (1998) hasilnya adalah :

(25)

“Test of the hypothesis provide evidence of the predicted positive relationship between information asymmetry and earnings management using two different measures of earnings management and two different measures of information asymmetry.”

Penelitian tersebut dilakukan terhadap 355 perusahaan yang terdaftar di NYSE (New York Stock Exchange) periode 1988-1992. Hasil penelian ini adalah uji hipotesis memberikan bukti hubungan positif diperkirakan antara asimetri informasi dan manajemen laba menggunakan dua ukuran yang berbeda manajemen laba dan dua ukuran yang berbeda dari asimetri informasi.

Penelitian mengenai asimetri informasi juga pernah dilakukan sebelumnya oleh Julia Halim, Carmel Meiden, dan Rudolf Lumban Tobing (2005) dengan objek penelitiannya, yaitu pada 34 perusahaan manufaktur yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia dan termasuk pada Indeks LQ-45 selama periode 2001- 2002. Hasil yang didapatkan melalui penelitian yang dilakukan adalah asimetri informasi berpengaruh signifikan terhadap manajemen laba.

Penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Irma Tyasari (2009) dengan objek penelitiannya, yaitu pada 51 perusahaan manufaktur yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia selama periode 2004-2007. Kesimpulan yang didapatkan melalui penelitian yang dilakukan adalah bahwa asimetri informasi berpengaruh terhadap praktik manajemen laba.

Jadi, berdasarkan penelitian-penelitian yang dilakukan sebelumnya menunjukkan bahwa asimetri informasi berpengaruh positif terhadap manajemen

(26)

laba. Artinya semakin tinggi asimetri informasi di suatu perusahaan maka semakin besar kesempatan manajer melakukan praktik manajemen laba.

Tabel 2.1 Penelitian Terdahulu

No Peneliti Judul Variabel Hasil Perbedaan

1. Vernon J Richardson (1998) Information Asymmetri And Earnings Management : Some Evidence Asimetri informasi dan Manajemen laba. Uji hipotesis memberikan bukti hubungan positif diperkirakan antara asimetri informasi dan manajemen laba menggunakan dua ukuran yang berbeda

manajemen laba dan dua ukuran yang berbeda dari asimetri informasi. Penelitian tersebut dilakukan terhadap 355 perusahaan yang terdaftar di NYSE (New York Stock Exchange) periode 1988-1992. 2. Julia Halim, Carmel Meiden dan Rudolf Lumban Tobing (2005) Pengaruh Manajemen Laba pada Tingkat Pengungkapa n Laporan Keuangan Pada Perusahaan Manufaktur yang Termasuk dalam Indeks LQ-45 Manajemen laba, Tingkat pengungkapa n laporan keuangan, Asimetri informasi, Kinerja masa kini, Kinerja masa mendatang, Leverage, Ukuran perusahaan, Return kumulatif dan Curent Ratio. Asimetri informasi berpengaruh signifikan terhadap manajemen laba. Penelitian tersebut dilakukan pada 34 perusahaan manufaktur yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia dan termasuk pada Indeks LQ-45 selama periode 2001- 2002.

(27)

2.2 Kerangka Pemikiran

Pada suatu perusahaan telah terjadi pemisahan fungsi yaitu fungsi kepemilikan dan fungsi pengendalian. Fungsi kepemilikan dipegang oleh pemegang saham, sedangkan fungsi pengendalian dipegang oleh manajer (agent) yang digaji dan dikontrak untuk menjalankan operasional perusahaan sesuai dengan tujuan pemegang saham. Pemisahan dua fungsi tersebut, merupakan awal penyebab terjadinya masalah agency antara pemegang saham dengan manajer,

3. Rahmawati, Yacob Suparno dan Nurul Qomariyah (2006) Pengaruh Asimetri Informasi Terhadap Praktik Manajemen Laba Pada Perusahaan Perbankan Publik yang Terdaftar di Bursa Efek Jakarta Asimetri informasi dan Manajemen Laba Variable independen asimetri informasi berpengaruh secara positif signifikan dan mampu menjelaskan variable dependen manajemen laba sebesar 18 %. Peneliti tersebut dilakukan pada 27 perusahaan perbankan publik yang terdaftar di BEJ periode 2000-2004 4. Irma Tyasari (2009) Asimetri Informasi dan Praktik Manajemen Laba pada Perusahaan Manufaktur di Bursa Efek Indonesia Asimetri informasi, Ukuran perusahaan dan Manajemen laba. Variable asimetri informasi berpengaruh terhadap praktik manajemen laba. Peneliti tersebut dilakukan pada 51 perusahaan manufaktur yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia selama periode 2004-2007

(28)

yaitu ketidaksejajaran kepentingan antara principal dengan agent dan perbedaan kepentingan tersebut menyebabkan terjadinya asimetri informasi, dimana keadaan ini memberikan peluang kepada manajer untuk melakukan manajemen laba guna mengoptimalkan utilitas pribadi.

Dengan memperlihatkan kinerja yang baik dalam menghasilkan nilai atau keuntungan maksimal bagi perusahaan merupakan motivasi manajemen, sehingga manajemen cenderung memilih dan menerapkan metode akuntansi yang dapat memberikan informasi laba lebih baik. Adanya asimetri informasi memungkinkan manajemen untuk melakukan manajemen laba. Keberadaan asimetri informasi dianggap sebagai penyebab manajemen laba.

Berdasarkan tinjauan pustaka yang telah dikemukakan sebelumnya, penelitian ini akan menganalisis pengaruh asimetri informasi terhadap praktik manajemen laba pada perusahaan yang termasuk dalam indeks LQ 45. Model penelitian yang diajukan dalam gambar berikut ini merupakan kerangka konseptual dan sebagai alur pemikiran dalam menguji hipotesis.

Gambar 2.1 Kerangka Pemikiran

Pengaruh Asimetri Informasi Terhadap Praktik Manajemen Laba

Ha Praktik Manajemen Laba

(Discretionary Accruals) Fenomena Asimetri Informasi

(Quates, Volume Penjualan,

(29)

2.3 Hipotesis Penelitian

Berdasarkan pemaparan diatas, maka penulis mengambil hipotesis dari penelitian sebagai berikut:

Ha : Asimetri informasi, yang terdiri dari quates, volume penjualan dan volatilitas return saham berpengaruh positif terhadap praktik manajemen laba.

Gambar

Tabel 2.1  Penelitian Terdahulu
Gambar 2.1  Kerangka Pemikiran

Referensi

Dokumen terkait

Untuk mencapai visi dan misi yang telah dijelaskan di awal, para santriwati diwajibkan untuk menghafal Al-Quran setiap hari (bagi yang telah menyelesaikan program tahsin).. Di

Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan proses, dampak, berbagai macam kendala dan solusi alternatif pengembangan karakter bersahabat dan peduli sosial

 Teori kekakuan harga: Teori kekakuan harga: penurunan tingkat harga yang tidak penurunan tingkat harga yang tidak diharapkan akan meninggalkan perusahaan dengan harga yang

Universitas Islam Negeri (UIN) Walisongo Semarang merupakan salah satu perguruan tinggi Islam yang menjunjung tinggi nilai-nilai pendidikan, tidak terkecuali dalam

Dengan teknologi Website dan dengan kecanggihan Smartphone saat ini bisa menjadi salah satu solusi untuk mencari Wedding Organizer di Kota Bandung dan Kota Cimahi sehingga

Berikut beberapa prinsip kerja Carey yang patut dicatat: 39 (1) Menganggap penyebaran Alkitab ke dalam sebanyak mungkin bahasa adalah salah satu azaz pokok pengabaran

Tidak seperti hepatitis B dan C, infeksi hepatitis A tidak menyebabkan penyakit hati kronis dan jarang berakibat fatal, tetapi dapat menyebabkan gejala yang

Dapat dilihat dari apa yang telah dilakukan oleh Apple hingga saat ini adalah perusahaan ini telah. melakukan berbagai aliansi stratejik, dan cukup banyak perusahaan dan