• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN. Bab ini menguraikan tentang hal yang melatar-belakangi pengambilan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN. Bab ini menguraikan tentang hal yang melatar-belakangi pengambilan"

Copied!
55
0
0

Teks penuh

(1)

BAB I PENDAHULUAN

Bab ini menguraikan tentang hal yang melatar-belakangi pengambilan judul penelitian, rumusan masalah, serta tujuan penelitian, dan manfaat penelitian. Di dalam bab ini diungkapkan hal-hal yang menjadi alasan judul ini dipilih untuk penelitian.

1.1 Latar Belakang

Pencapaian kemajuan kebudayaan suatu bangsa tidak dapat dilepaskan dari peninggalan budaya dan sejarah bangsa sehingga mampu menjadi simbol identitas keberadaban. Pengalihan kewenangan pemeliharaan dan pelestarian kebudayaan pasca diberlakukannya otonomi daerah telah mengakibatkan beragamnya kualitas pemeliharaan kekayaan budaya bangsa, seperti situs, candi, museum dan taman budaya. Dengan demikian, upaya untuk meningkatkan kualitas pengelolaan kekayaan budaya menjadi suatu keniscayaan sehingga simbol identitas keberadaban dapat dialih-generasikan secara berkesinambungan. Terkait dengan hal tersebut, pemberdayaan seluruh komponen yang terlibat dalam pengelolaan kekayaan budaya menjadi suatu hal yang tidak dapat dikesampingkan dan mutlak untuk dilakukan.

Perhatian dunia internasional terhadap keberadaan situs-situs bernilai sejarah dan budaya tinggi telah mulai terlihat nyata. Sebagai salah satu bukti yaitu The World Cultural Heritage UNESCO telah menetapkan tiga situs di Bali sebagai nominator Warisan Budaya Dunia (WBD) yakni Daerah Aliran Sungai

(2)

(DAS) Pakerisan (Gianyar), persawahan Jatiluwih (Tabanan), dan Pura Taman Ayun di Mengwi, Badung (http://www.indoforum.org, 3 Desember 2008). Apa yang sudah dilakukan UNESCO tersebut menunjukkan komitmennya terhadap situs-situs penting yang menjadi cikal bakal lahirnya suatu peradaban. Namun hal tersebut akan mustahil untuk dilakukan apabila tidak didukung oleh partisipasi dari masyarakat serta pemerintah dalam perwujudannya. Perhatian dari salah satu organisasi dunia tersebut hendaknya diapresiasi demi kemajuan peradaban Indonesia umumnya dan Bali khususnya.

Arsitektur sebagai bagian dari sebuah peradaban bukan hanya perwujudan sesuatu dalam bentuk fisik. Namun di dalamnya terkandung pula nilai-nilai luhur yang menjiwai setiap bentuknya. Suatu karya arsitektur mempunyai spirit yang mencerminkan adanya idealisme dan kreativitas yang dimiliki sang arsitek. Perubahan jaman yang terjadi tentunya melahirkan suatu karya arsitektur yang berkembang dari masa ke masa. Setiap masa memiliki keterkaitan antara yang satu dengan yang lain; masa lampau, masa sekarang, dan masa yang akan datang. Keterkaitannya sangat erat karena ketiga masa tersebut saling berkesinambungan membentuk mata rantai peradaban. Suatu karya arsitektur tentunya menjadi tanda adanya sesuatu pada jaman tersebut.

Contoh hasil karya arsitektur yang menjadi peninggalan suatu jaman adalah benda cagar budaya sebagai salah satu bagian dalam warisan budaya. Keberadaan warisan budaya ini patut untuk dijaga dan dilestarikan, namun seringkali perhatian yang didapat dari pihak yang berwenang kurang optimal. Penanganan yang dilakukan hanya sebatas di awal obyek tersebut ditetapkan

(3)

sebagai cagar budaya, padahal warisan budaya merupakan kekayaan budaya (cultural capital) yang mempunyai nilai penting bagi pemahaman dan pengembangan sejarah, ilmu pengetahuan, dan kebudayaan dalam rangka memupuk kepribadian masyarakat dan bangsa. Dapat juga diartikan sebagai harta pusaka budaya dari masa lampau yang digunakan untuk kehidupan masyarakat sekarang dan kemudian diwariskan untuk generasi mendatang secara berkesinambungan (Wardi, 2008: 243).

Pemerintah sebagai pihak yang berwenang sesungguhnya telah berusaha melakukan perlindungan terhadap cagar budaya dengan mengeluarkan Undang-undang Nomor 5 Tahun 1992. Secara teori, ini cukup kuat keberadaannya sebagai pelindung cagar budaya terhadap ancaman kerusakan, namun kenyataan justru memperlihatkan kerusakan dan hilangnya banyak cagar budaya semakin parah. Meskipun Undang-undang tersebut juga telah menyebutkan batasan, hak, kewajiban, dan hukuman bagi orang yang melanggar, namun sampai sekarang realita menunjukkan masih banyak benda cagar budaya yang hilang atau rusak (http://setyodh.multiply.com/, 9 Januari 2011).

Pada Pasal 26 Undang-undang Nomor 5 Tahun 1992 disebutkan:

“barangsiapa dengan sengaja merusak benda cagar budaya dan situs serta lingkungannya atau membawa, memindahkan, mengambil, mengubah bentuk dan/atau warna, memugar, atau memisahkan benda cagar budaya tanpa izin dari Pemerintah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 ayat (1) dan ayat (2) dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya 10 (sepuluh) tahun dan/atau denda setinggi-tingginya Rp 100.000.000,00 (seratus juta rupiah)”.

Sanksi yang diajukan dalam Undang-undang Nomor 5 Tahun 1992 tersebut cukup jelas dan tegas, namun banyak kasus yang melanggar Undang-undang tersebut tapi tidak ada penyelesaian yang jelas.

(4)

Selain itu, ada pula pendapat lain yang menguatkan kenyataan ini dan dikemukakan oleh Eko Budihardjo (Konservasi Pusaka Budaya, 11 Mei 2010), yaitu sangat banyak bangunan-bangunan kuno bersejarah di segenap pelosok tanah air dibongkar untuk memberi tempat bagi pembangunan yang modern, late modern, new modern, post modern yang sering tidak kontekstual dan tidak berkarakter. Dalam era kekinian, terlihat kecenderungan bahwa para pemegang kebijakan sepertinya tidak memperhatikan keberadaan pusaka budaya di daerah masing-masing.

Perhatian para pemegang kebijakan terlalu tercurah pada pembangunan ekonomi dan sarana prasarana fisik yang berkaitan dengan peningkatan Pendapatan Asli Daerah (PAD). Undang-undang Benda Cagar Budaya yang disahkan tahun 1992, belum banyak dipahami atau dijadikan acuan dalam proses penataan ruang dan pembangunan daerah. Informasi yang perlu disebarkan ke berbagai pihak, bahwa konservasi pusaka budaya tidak hanya penting sebagai salah satu upaya menjaga lambang peradaban, cerminan jati diri (identitas) bangsa, menciptakan rasa kebanggaan (civic pride) namun juga berpotensi untuk menumbuhkan geliat perekonomian yang bertumpu pada budaya.

Bali sebagai salah satu daerah di Indonesia yang kaya akan karya arsitektur peninggalan masa lampau (dalam hal ini pura/tempat persembahyangan) sebenarnya telah memiliki Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala (BP3) yang juga mewilayahi Nusa Tenggara Barat dan Nusa Tenggara Timur. Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala (BP3) ini berada di bawah naungan Departemen Kebudayaan dan Pariwisata Direktorat Jenderal Sejarah dan

(5)

Purbakala. Tugas pokoknya adalah melaksanakan pemeliharaan, perlindungan, pemugaran, pendokumentasian, bimbingan, dan penyuluhan mengenai peninggalan sejarah dan purbakala beserta situs-situsnya. Namun tidak dapat dipungkiri kalau tugas ini belum berjalan secara maksimal dan tidak semua situs warisan budaya mendapat perhatian yang baik. Padahal perhatian inilah yang dibutuhkan untuk menjaga keberlangsungan keberadaan situs-situs penting (terutama yang sudah ditetapkan sebagai benda cagar budaya) ini di masa yang akan datang.

Pura merupakan salah satu hasil karya arsitektur yang masuk ke dalam kategori warisan budaya (cultural heritage) dalam bentuk living monument yang keberadaannya dalam jumlah besar terdapat di Bali. Cukup banyak diantaranya yang menjadi benda cagar budaya. Sebagai contoh adalah Pura Puseh dan Pura Desa Batuan Gianyar. Oleh karena itu, sebutan Bali sebagai Pulau Seribu Pura, bukanlah sesuatu yang berlebihan.

Berdasarkan perhitungan sederhana, jumlah desa pakraman, sebutan untuk desa adat di Bali, yang terdapat di Pemerintah Daerah Bali tercatat sejumlah 1433 dan masih ada sekitar 17 desa pakraman yang belum tercatat. Jika dijumlahkan akan menghasilkan 1450 desa pakraman. Dengan jumlah desa pakraman sebanyak itu, maka setidaknya Bali memiliki 4350 pura, karena setiap desa pakraman wajib memiliki pura kahyangan tiga yang terdiri atas: pura desa, pura puseh, dan pura dalem. Jumlah ini akan bertambah dengan pura di setiap banjar adat, pura keluarga, pura swagina, pura penyiwian, pura dang kahyangan, pura kahyangan jagat, dan pura lainnya (Meganada, 2008: 47).

(6)

Berdasarkan keterangan dalam Laporan Kerusakan Candi Rebah di Pura Maospahit Gerenceng, oleh Suaka Peninggalan Sejarah dan Purbakala Bali 1983, salah satu pura yang menjadi bagian dari warisan arsitektur masa lampau yang hingga kini masih kokoh berdiri dan bahkan menjadi salah satu cagar budaya nasional di Kota Denpasar adalah Pura Maospahit yang terletak di Jalan Sutomo, Br. Gerenceng-Denpasar. Dalam salah satu bagian laporan tersebut dinyatakan bahwa Pura Maospahit adalah cagar budaya nasional yang berciri kuno dan menampakkan pengaruh gaya arsitektur dari masa Kerajaan Majapahit (Jawa Timur) dari sekitar abad 13-15 Masehi.

Nama Maospahit mengingatkan pada nama Kerajaan Majapahit. Pura ini berstatus sebagai kahyangan jagat, artinya pura umum, tempat persembahyangan umat Hindu tanpa memandang soroh/klan. Pura ini juga memiliki pangemong, penanggung jawab utama, dari pihak Puri Pemecutan sebagai tanda hubungan antara pihak raja dan pihak masyarakat pada waktu itu yang diwariskan secara turun-temurun hingga kini. Ciri kuno pada pura ini dapat dilihat dari beberapa langgam bangunannya antara lain candi bentar, candi kurung, Gedong Maospahit, dan Gedong Majapahit.

Pura lain umumnya memiliki pembagian berdasarkan tri mandala, tiga areal/pelataran, namun pura ini memiliki pembagian berdasarkan catur mandala, yaitu dari Barat ke Timur; jaba sisi (halaman terluar), jaba tengah (halaman peralihan antara halaman terluar dengan halaman utama), jeroan (halaman utama), dan halaman akhir paling timur yang juga merupakan letak dari sebuah bangunan unik bernama bale kembar. Bale kembar ini terdiri atas dua bale yang saling

(7)

berhadapan, satu sebagai pemujaan terhadap leluhur di Kerajaan Majapahit/menghadap ke Barat dan satu bale lagi untuk memuja betara di Gunung Agung/menghadap ke Timur.

Sebagai salah satu cagar budaya yang telah ditetapkan oleh pemerintah, perlakuan terhadap pura ini untuk menjaga keberlangsungannya kurang maksimal. Tidak ada penanganan yang bersifat periodik/berkala terhadap pura ini. Kebersihan yang kurang, material pura yang mulai lapuk dimakan usia, potensi dan keunikan pura yang tidak diketahui secara optimal, dan tidak maksimalnya buku tamu bagi kunjungan wisatawan merupakan contoh permasalahan di pura ini. Perhatian dari pihak yang berwenang hanya didapat manakala kerusakan sudah sangat fatal. Seperti contoh pada tahun 1983 pada saat perbaikan atas kerusakan Candi Rebah.

Seringkali perhatian didapat saat sesuatu mulai rusak/hilang, bukankah menjaga dan merawat sesungguhnya lebih baik daripada menunggu sesuatu itu rusak untuk kemudian memperbaikinya? Apalagi dalam hal ini yang dibicarakan adalah sebuah pura/tempat suci. Namun keinginan ini hanya menjadi harapan semata dan terhenti sebatas wacana bagi para pangempon, keluarga juru pelihara yang bertanggung jawab terhadap keberadaan pura. Sesungguhnya mereka sudah sering melakukan pengaduan pada pihak BP3 Bali namun tidak mendapat tanggapan serius. Selain itu keterbatasan sumber daya/tenaga ahli dan sumber dana jelas menjadi suatu permasalahan yang perlu dipecahkan bersama (wawancara awal dengan Jero Mangku, pemuka agama, Pura Maospahit, 16 Desember 2009).

(8)

Apabila perhatian telah didapat dan wajah pura telah membaik, ini cukup mendukung program pemerintah Kota Denpasar mewujudkan Denpasar sebagai Kota Kreatif Berbasis Budaya Unggulan. Apalagi untuk Kota Denpasar, sasaran pembangunan kebudayaan untuk mewujudkan Denpasar menjadi seperti itu telah dijabarkan dengan empat kebijakan utama, yaitu (Pemerintah Kota Denpasar, 2010: 28):

1. Melestarikan, mengembangkan kesenian Bali, serta memberdayakan sekaa sanggar kesenian, seniman, dan budayawan;

2. Melestarikan dan memberdayakan lembaga-lembaga tradisional; 3. Melestarikan nilai-nilai peninggalan budaya, sejarah, kepahlawanan,

dan potensi warisan budaya yang hidup di masyarakat;

4. Menyelamatkan, mengkaji, merawat, mendokumentasikan, dan mengembangkan naskah budaya Bali.

Letaknya yang strategis di dekat pusat Kota Denpasar yang sudah ditetapkan pemerintah sebagai kawasan warisan/bersejarah (Kawasan Heritage) serta keunikan potensinya melalui arsitektur bangunan yang dipengaruhi masa kejayaan Majapahit, disertai tradisi upacara yang telah turun-temurun dilakukan pada Pura Maospahit ini juga menjadi suatu daya tarik mengapa pura ini layak untuk dijadikan sebagai topik penelitian.

Pura sebagai tempat persembahyangan yang juga sebagai living monument memerlukan penanganan yang serius karena keberadaannya akan terus dipakai sebagai media perantara penghubung antara manusia dengan Tuhan. Meskipun ada pula pura lainnya yang memiliki nama sama dan berlokasi di Tonja, namun Pura Maospahit Gerenceng ini terlihat memiliki masalah yang lebih penting untuk dipecahkan. Masalah itu adalah pengelolaan yang baik untuk memperpanjang usianya mengingat keadaannya kini yang cenderung kurang terawat.

(9)

Pura Maospahit sebagai salah satu warisan budaya berupa cagar budaya sudah pantas untuk mendapat perhatian dilihat dari permasalahan yang mengiringinya. Dengan cara melestarikan, menyelamatkan, mengkaji, merawat, dan mendokumentasikannya dengan baik. Tidak hanya dari sisi fisiknya sebagai warisan budaya berwujud/ragawi (tangible heritage), tetapi juga dari sisi nilai-nilai yang terkandung sebagai warisan budaya tak berwujud/tak ragawi (intangible heritage).

Misalnya terkait dengan peristiwa dan tradisi penting yang terjadi, kegiatan dan hubungan pelaku di dalamnya (wujud fisik bangunan dengan lingkungan sekitarnya), serta signifikansi budaya yang ada agar kelak mampu mendukung program Pemerintah Kota Denpasar. Pangemong, pangempon, dan masyarakat sekitarnya juga bisa mendapat imbas/pengaruh yang positif dari usaha pelestarian terhadap pura ini. Berdasarkan latar belakang itulah Pura Maospahit ini layak untuk segera dilestarikan sebaik mungkin dengan mengidentifikasi keadaannya, mengkaji signifikansi budayanya, dan menetapkan aplikasi konservasinya.

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian pada latar belakang diatas, dapat dirumuskan permasalahan yang dalam penelitian ini terbagi menjadi dua bagian yaitu rumusan masalah utama dan rumusan masalah pendukung. Permasalahan utama dalam penelitian ini adalah: Bagaimana cara melestarikan warisan budaya ragawi dan tak ragawi pada Pura Maospahit Denpasar dalam konteks manajemen konservasi.

(10)

Dari permasalahan utama tersebut dapat dirumuskan beberapa permasalahan pendukung, antara lain:

a. Bagaimana karakteristik fisik Pura Maospahit Denpasar?

b. Sejauhmana signifikansi dan potensi dari Pura Maospahit Denpasar yang perlu dipertahankan dan dilestarikan?

c. Bagaimana aplikasi yang telah dilakukan oleh berbagai pihak untuk melakukan pelestarian di Pura Maospahit Denpasar, baik dari segi warisan budaya ragawi maupun tak ragawi?

1.3 Tujuan Penelitian

Secara garis besar, tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini dapat dibagi menjadi dua, tujuan umum dan tujuan khusus antara lain:

a. Tujuan Umum

Penelitian ini memiliki tujuan umum untuk memahami bagaimana proses pelestarian warisan budaya ragawi dan tak ragawi pada Pura Maospahit Denpasar dalam konteks pengelolaan/manajemen konservasi.

b. Tujuan Khusus

Selain tujuan umum yang telah diuraikan di atas, penelitian ini juga memiliki tujuan khusus, yaitu: (1) mengidentifikasi karakteristik fisik Pura Maospahit Denpasar, baik dari segi pusaka budaya maupun pusaka alam, (2) memahami dan mengetahui signifikansi dan potensi budaya dari keberadaan Pura Maospahit Denpasar yang perlu dipertahankan dan dilestarikan, dan (3) mempelajari, memahami, dan mengetahui aplikasi yang telah dilakukan oleh

(11)

berbagai pihak untuk melakukan pelestarian di Pura Maospahit Denpasar, baik dari segi warisan budaya ragawi maupun tak ragawi.

1.4 Manfaat Penelitian

Manfaat dari penelitian ini dapat dibagi menjadi dua, yaitu manfaat akademis dan manfaat praktis.

a. Manfaat akademis: untuk memberikan sumbangan kepada ilmu pengetahuan serta menambah referensi pustaka bagi penelitian selanjutnya. Terutama terkait dengan ilmu konservasi menyangkut pelestarian dan pengelolaan. b. Manfaat praktis: diharapkan dapat memberikan pengetahuan mengenai

konservasi dan pentingnya pemahaman terhadap nilai budaya dan warisan leluhur yang adiluhung kepada praktisi, pengamat, serta masyarakat umum sehingga dapat menjadi suatu pertimbangan selanjutnya dalam melaksanakan kegiatan konservasi. Juga untuk menambah arsip tentang Pura Maospahit Denpasar sehingga selanjutnya dapat berguna bagi semua pihak yang berkepentingan terhadapnya.

(12)

BAB II

KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN MODEL PENELITIAN

Bab ini terdiri atas empat komponen yaitu kajian pustaka yang mengemukakan tentang penelitian-penelitian terdahulu yang terkait dengan penelitian yang akan dilakukan. Kedua, berupa konsep yang mengemukakan acuan-acuan yang dapat digunakan dalam memecahkan masalah dan penyamaan persepsi terhadap maksud yang ingin dicapai, Ketiga, berupa tinjauan terhadap landasan teori yang ada, dan keempat berupa model penelitian yang menjabarkan keseluruhan pelaksanaan penelitian.

2.1 Kajian Pustaka

Dalam Laporan Pemugaran Peninggalan Sejarah dan Purbakala Bali dan Nusa Tenggara Barat yang diterbitkan oleh Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Direktorat Jenderal Kebudayaan (1982: 10) dijelaskan tentang karakter dan keadaan Pura Maospahit Tonja dari segi lokasi dan lingkungan, struktur pura, bangunan-bangunan yang ada dalam kompleks pura, panyungsung, masyarakat yang bertanggung jawab terhadap pura, pelaksanaan pemugaran yang dilakukan pada saat itu, dan sarana dana serta tenaga yang digunakan dalam pemugaran pura tersebut pada waktu itu. Disebutkan pula bahwa candi/prasada yang ada pada pura ini memiliki bagian-bagian seperti kaki, badan, dan atap candi yang menyerupai candi-candi di Jawa Timur. Namun dalam laporan ini tidak dimuat secara pasti sejarah berdirinya pura dan keterkaitannya dengan pura lain yang memiliki nama sama.

(13)

Pada laporan penelitian lainnya, yaitu Laporan Kerusakan Candi Rebah di Pura Maospahit-Gerenceng-Denpasar oleh Sepur Seriarsa, dan kawan-kawan (1983: 9) disebutkan hanya mengenai perbaikan yang pernah dilakukan pada pura itu, yaitu pada tahun 1966 memugar candi bentar dan palinggih Gedong Raras Maospahit, kemudian tahun 1987 memugar kori agung, yaitu pintu masuk dari halaman tengah menuju halaman dalam. Selain itu juga memuat sedikit sejarah mengenai pura ini yang lebih terfokus pada pembangunan Gedong Raras Majapahit, bukan mengenai keseluruhan pura serta kemungkinan adanya pengaruh arsitektur bergaya Majapahit pada abad 14-15.

Adri (1991: 37) dalam laporan penelitiannya dengan judul Hubungan Antara Pura di Bali dengan Candi di Jawa Timur mengungkapkan beberapa contoh candi di Jawa Timur yang diperkirakan menginspirasi atau mempunyai hubungan dengan pura di Bali dalam konsepsinya maupun arsitektur serta reliefnya. Beberapa dari candi tersebut antara lain Candi Jago yang pada beberapa bagiannya terdapat relief yang sangat serupa dengan bangunan yang terdapat pada pura di Bali, yaitu: bale agung, piyasan, bale pelik, selain itu gapura Candi Jago juga mirip dengan candi bentar pada pura di Bali. Candi Jawi yang mempunyai bangunan serupa gedong, yaitu pasimpangan, tempat singgah, maupun palinggih, bangunan suci untuk pemujaan, pada pura di Bali. Candi Penataran yang susunannya sangat dekat dengan denah pura di Bali yaitu terbagi atas tiga halaman secara horisontal. Bagian atau halaman yang paling suci terletak pada bagian paling belakang Utara-Timur (kaja-kangin), yang di Bali disebut jeroan. Candi Tigawangi yang memuat relief Sudamala, erat kaitannya dengan upacara penglukatan, pembersihan dengan air suci,

(14)

di Bali, selain itu juga terdapat relief bangunan yang serupa dengan gedong palinggih Dewi Durga pada beberapa Pura Dalem di Bali. Candi Waringin Lawang yang bentuknya persis sama dengan candi bentar di Bali, berbahan batu bata yang umumnya juga dipakai sebagai bahan pokok candi bentar di Bali. Candi Bajang Ratu yang sama dengan candi kurung atau kori agung pada pura di Bali. Relief Trowulan yang terdapat pahatan serupa candi bentar, meru, prasada, gedong palinggih, bale pelik, piyasan, apit lawang, dan bale agung. Terakhir adalah keberadaan Candi Penanggungan yang berasal dari masa Majapahit akhir (abad ke 14 dan abad ke 15, pada masa pemerintahan Vikramavardhana). Menunjukkan persamaan dengan Pura Besakih dilihat dari tata letak, konsep dasar, altar sesaji yang berjajar tiga, maupun orientasi pemujaannya yang mengarah ke gunung. Tidak ada yang secara langsung menyinggung tentang keberadaan Pura Maospahit dan kaitannya dengan candi-candi di Jawa Timur pada laporan penelitian ini.

Karini (1993: 18) dalam Perbandingan Pola Hias Candi Bentar dan Candi Kurung di Pura Maospahit Gerenceng Dengan Pola Hias Candi Bentar dan Candi Kurung di Pura Uluwatu (Suatu Kajian Arkeologi) mengemukakan tentang struktur dan rupa dari candi bentar dan candi kurung di Pura Maospahit Gerenceng dan Pura Uluwatu. Mengenai Pura Maospahit, yang dijelaskan adalah tidak keseluruhan pura tetapi fokus pada candi bentar dan candi kurung sesuai dengan judul penelitian ini, penjabarannya cukup detail karena membahas bahan dan filosofi yang terkandung dalam pembuatan candi bentar dan candi kurung. Memang ada sedikit penjelasan awal mengenai tata letak bangunan pada Pura Maospahit Gerenceng, tetapi tidak mendetail menceritakan perletakan setiap bangunan di dalam pura.

(15)

Keempat penelitian di atas belum ada yang secara spesifik membahas keseluruhan Pura Maospahit Denpasar. Pembahasan yang dilakukan sebelumnya hanya membahas garis besar tanpa penjelasan dan dokumentasi detail. Dalam penelitian ini, akan dilakukan kajian mengenai upaya dan usaha pelestarian yang pernah dan berpotensi dilakukan terhadap pura demi keberlangsungannya di masa mendatang dengan rumusan masalah dan berupaya menyingkap fakta-fakta yang belum tersampaikan selama ini.

No Judul Penelitian Peneliti Hasil Penelitian Kontribusi Terhadap Penelitian Yang Diambil 1. Laporan Pemugaran Peninggalan Sejarah dan Purbakala Bali dan Nusa Tenggara Barat. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Direktorat Jenderal Kebudayaan (1982) Penjelasan Pura Maospahit Tonja dan keterkaitan antara candi/prasada pada pura ini yang mirip bagian-bagian seperti kaki, badan, dan atap candi-candi di Jawa Timur.

Kesamaan karakter dan penamaan antara bahan bangunan yang digunakan pada kedua pura, baik yang di Tonja maupun di Gerenceng. 2. Laporan Kerusakan Candi Rebah di Pura Maospahit- Gerenceng- Denpasar Sepur Seriarsa, dan kawan-kawan (1983) Perbaikan yang pernah dilakukan pada pura itu, tahun 1966 memugar candi bentar dan palinggih Gedong Maospahit, kemudian tahun 1987 memugar kori agung.

Studi pendahuluan sebagai data awal dan pelengkap untuk memulai penelitian dan mengetahui perbaikan yang pernah didokumentasikan. 3. Hubungan Antara Pura di Bali dengan Candi di Jawa Timur

Ida Ayu Putu Adri (1991)

Beberapa contoh candi di Jawa Timur yang diperkirakan menginspirasi atau mempunyai hubungan dengan pura di Bali dalam konsepsinya maupun arsitektur serta reliefnya.

Beberapa bagiannya memiliki kemiripan dalam hal bahan dan asal muasal wujud arsitektur pura.

(16)

4. Perbandingan Pola Hias Candi Bentar dan Candi Kurung di Pura Maospahit Gerenceng Dengan Pola Hias Candi Bentar dan Candi Kurung di Pura Uluwatu (Suatu Kajian Arkeologi) Ni Made Oka Karini (1993)

Struktur dan filosofi perwujudan candi bentar dan candi kurung Pura Maospahit Gerenceng serta sedikit mengenai perletakan bangunan di dalam Pura Maospahit Gerenceng.

Perletakan tata bangunan dan penamaan dari palinggih-palinggih yang ada.

2.2 Konsep

Konsep dalam usulan penelitian ini memaparkan sekilas tentang pura dalam arsitektur tradisional Bali (mengingat obyek penelitian adalah pura), sedangkan pengertian judul penelitian dibuat untuk menyamakan persepsi agar maksud yang ingin dicapai dapat diketahui karena telah berada dalam satu koridor pemikiran.

2.2.1 Konsep Parhyangan (tempat pemujaan) dalam Arsitektur Tradisional Bali. Arsitektur pura adalah suatu ungkapan baru yang kemudian populer karena adanya pendidikan formal khususnya di Bali. Kemunculannya dikarenakan mengglobalnya transformasi budaya dunia. Arsitek dalam praktek profesinya menghasilkan karya arsitektur yang menampilkan: sosok (figure), wujud (shape), bentuk (form), ruang (space), dan fungsi (function). Namun sesungguhnya pura itu dirancang oleh undagi/wundagi, sebutan untuk ”arsitek” bangunan tradisional Bali. Dengan demikian, seorang undagi dituntut untuk mampu menguasai keundagiannya secara lahir batin (Meganada, 2008: 49). Pura bukanlah tempat abadi para Dewa, melainkan hanya sebagai pasimpangan (tempat singgah).

(17)

Disamping sebagai pasimpangan para Dewa, pura juga merupakan tempat pertemuan para Dewa dengan umatNya (Rata, 1991: 78).

Pengelompokan Pura di Bali, dapat didasarkan atas beberapa hal yaitu: (1) falsafah dasar pengelompokan pura di Bali, yang dapat digolongkan menjadi (a) Tattwa Agama Hindu, (b) Prabawa Sang Hyang Widhi Wasa dan atau atma sidha dewata yang dipuja di pura tersebut, dan (c) panyiwi pura tersebut, jagat, dan warga (klan); (2) pengelompokan berdasarkan fungsi, yang dapat digolongkan menjadi (a) sebagai pura kahyangan jagat, yaitu pura yang berfungsi sebagai tempat suci untuk memuja Tuhan dalam segala manifestasiNya, (b) sebagai pura kawitan, yaitu pura yang berfungsi sebagai tempat suci untuk memuja roh leluhur, dan (3) pengelompokan berdasarkan karakteristik, terdiri atas (a) pura kahyangan jagat, seperti padma bhuwana, pura sad kahyangan, pura catur loka pala, pura kahyangan tiga jagat, pura rwa bhineda, dan pura jagat lainnya, (b) pura kahyangan desa, yang di-sungsung oleh seluruh masyarakat desa pakraman, (c) pura swagina (pura fungsional), (d) pura kawitan, yaitu pura yang panyiwi-nya ditentukan oleh ikatan ”wit” atau leluhur berdasarkan garis kelahiran, seperti sanggah/merajan, Ibu, panti, dadia, batur, penataran, dalem, padharman, dan sejenisnya, dan (e) palinggih penyawangan yang terdapat di kantor-kantor, sekolah-sekolah, dan sejenis dengan itu dapat dikelompokkan ke dalam pura jagat/umum.

Jenis-jenis bangunan pura di Bali dapat digolongkan menjadi tiga yaitu: (1) meru, bangunan yang denahnya berbentuk segi empat terbuat dari struktur rangka kayu dengan atap yang bertingkat mulai dari tingkat 1, 3, 5, 7, 9, dan 11.

(18)

Pada setiap tingkatnya didukung oleh struktur yang disebut titimamah ke arah horisontal, dan terdapat struktur yang disebut beti berupa tiang ke arah vertikal yang terletak di tengah ruangan meru. Berfungsi sebagai struktur penguat dan simbol penghubung dunia nyata dan tidak nyata. Fungsi meru menurut konsep Mpu Kuturan adalah tempat untuk memuja Tuhan dan juga roh suci leluhur, (2) padmasana, berasal dari kata padma dan asana. Padma berarti bunga teratai, dan asana berarti tempat duduk. Dengan demikian padmasana artinya tahta dari bunga teratai (Meganada, 2008: 61). Diciptakan oleh Dang Hyang Nirartha yang mengalami perkembangan dari waktu ke waktu. Struktur bangunannya masif dengan dasar persegi menggunakan hiasan ornamen binatang seperti kura-kura (bedawang nala), naga (naga ananta bhoga, naga basuki, dan naga taksaka), gajah (karang gajah), kala (karang tapel), burung (karang manuk, karang goak, garuda, dan angsa), serta tumbuh-tumbuhan, dan (3) gedong, yang pada prinsip tapak dasarnya adalah persegi atau persegi panjang. Berfungsi untuk menstanakan manifestasi Tuhan dan sebagai tempat menyimpan sesuatu yang disakralkan seperti pelawatan, pretima, pusaka, sehingga disebut gedong simpen, gedong parerepan, gedong agung, gedong sari, dan lainnya. Ciri suatu bangunan palinggih disebut gedong adalah adanya dinding penutup ruangan yang memiliki pintu. Bentuk bangunannya berdinding masif langsung sebagai pemikul, rangka atap kayu, dengan atap ijuk.

2.2.2 Pengertian Benda Cagar Budaya dan Warisan Budaya

Menurut Undang-undang Nomor 5 Tahun 1992 Pasal 1, benda cagar budaya adalah benda buatan manusia, bergerak atau tidak bergerak yang berupa

(19)

kesatuan atau kelompok, atau bagian-bagiannya atau sisa-sisanya, yang berumur sekurang-kurangnya 50 (lima puluh) tahun, atau mewakili masa gaya yang khas dan masa gaya sekurang-kurangnya 50 (tahun), serta dianggap mempunyai nilai penting bagi sejarah, ilmu pengetahuan, dan kebudayaan; benda alam yang dianggap mempunyai nilai penting bagi sejarah, ilmu pengetahuan, dan kebudayaan. Pada pasal 3 PP No 10 Tahun 1993 tentang pelaksanaan Undang-undang Nomor 5 Tahun 1992 tentang Benda Cagar Budaya ditegaskan secara lebih rinci, yaitu: Benda Cagar Budaya karena (a) nilainya yang sangat penting bagi ilmu sejarah dan kebudayaan bangsa Indonesia, dan (b) sifatnya yang memberikan corak khas dan unik; jumlah dan jenisnya sangat terbatas dan langka; berdasarkan ketentuan Undang-undang Nomor 5 Tahun 1992 tentang Benda Cagar Budaya dinyatakan menjadi milik negara.

Warisan budaya menurut Young dalam Wardi (2008: 244) adalah keseluruhan hasil budaya dari perilaku belajar atau berpola dari kelompok masyarakat tertentu yang diwarisi dari generasi sebelumnya dan kemudian ditambahkan (dimodifikasi), selanjutnya diwariskan ke generasi berikutnya. Warisan budaya dapat berwujud tangible culture (candi, prasada, bangunan pura, masjid, gereja, wihara/klenteng, goa hunian/pertapaan, patung, tekstil, alat musik, dan sebagainya), intangible culture berupa institusi sosial, subak, banjar, desa adat, pamaksan/pangemong pura, ritual, dan sebagainya. Serta abstract culture (sistem nilai, sistem norma, hukum adat, filsafat, ideologi, dan sebagainya).

Dalam hal ini Pura Maospahit Denpasar masuk dalam kategori warisan budaya berwujud tangible culture. Dalam usulan penelitian ini, meskipun

(20)

obyeknya berwujud tangible culture tetapi dalam melakukan penelitian di dalamnya juga dilakukan pendekatan secara intangible dalam artian mengungkap hal-hal yang tak terlihat dalam wujud fisik, dalam hal ini yaitu terkait dengan peristiwa dan tradisi penting yang terjadi dalam pura serta kegiatan dan hubungan pelaku di dalamnya (wujud fisik bangunan dengan lingkungan sekitarnya).

2.2.3 Pengertian Pusaka Budaya

Pusaka budaya adalah hasil cipta, rasa, karsa, dan karya yang istimewa dari lebih 500 suku bangsa di Indonesia, secara sendiri-sendiri, sebagai kesatuan bangsa Indonesia, dan dalam interaksinya dengan budaya lain sepanjang sejarah keberadaannya. Pusaka budaya mencakup pusaka berwujud (ragawi) dan pusaka tidak berwujud (tak ragawi). Dalam pusaka budaya ini bisa dilihat sebagai folklor. Folk sinonim dengan kata kolektif (collectivity). Menurut Alan Dundes, folk adalah sekelompok orang yang memiliki ciri-ciri pengenal fisik, sosial, dan kebudayaan, sehingga dapat dibedakan dari kelompok-kelompok lainnya. Ciri-ciri pengenal itu antara lain dapat berwujud: warna kulit, bentuk rambut, mata pencaharian, bahasa, taraf pendidikan, dan agama yang sama. Namun yang lebih penting lagi adalah bahwa mereka telah memiliki suatu tradisi, yakni kebudayaan yang telah mereka warisi turun temurun, sedikitnya dua generasi, yang dapat mereka akui sebagai milik bersama. Disamping itu, yang paling penting adalah bahwa mereka sadar akan identitas kelompok mereka sendiri. Sedangkan arti dari istilah lore, ialah sebagian kebudayaan tersebut diwariskan secara turun temurun secara lisan atau melalui suatu contoh yang disertai dengan gerak isyarat atau alat pembantu pengingat/mnemonic device (Danandjaja, 1986: 1-2).

(21)

Pusaka saujana adalah gabungan pusaka alam dan pusaka budaya dalam kesatuan ruang dan waktu. Pusaka saujana dikenal dengan pemahaman baru yaitu cultural landscape (saujana budaya), yakni menitikberatkan pada keterkaitan antara budaya dan alam dan merupakan fenomena kompleks dengan identitas yang berwujud dan tidak berwujud. Pusaka dari masa lalu jangan dibiarkan sebagai benda tak berguna yang harus disingkirkan di sudut ruang yang kotor dan gelap. Pusaka masa lalu harus dibawa ke dalam kehidupan masa kini, dan menjadi bagian yang bermakna dalam kehidupan itu.

Sesuatu yang sangat bernilai itu harus dapat dinikmati oleh masyarakat dan dipahami perannya sebagai bekal pengembangan kehidupan ke depan. Pusaka yang tidak mempunyai makna dan manfaat bagi kehidupan masa kini dan masa depan akan dilupakan dan ditinggalkan oleh masyarakatnya. Karena itu dalam upaya pelestarian aset dari masa lalu maka perlu dipahami dinamika kehidupan masa kini dan kerangka budaya yang menyeluruh. Maksud dari pemahaman kerangka pembangunan budaya yang menyeluruh itu agar dapat menempatkan upaya pelestarian sebagai bagian yang bermanfaat. Pelestarian adalah upaya pengelolaan pusaka melalui kegiatan penelitian, perencanaan, perlindungan, pemeliharaan, pemanfaatan, dan pengawasan. Pelestarian bisa juga mencakup pengembangan secara selektif untuk menjaga kesinambungan, keserasian, dan daya dukungnya dalam menjawab dinamika zaman.

2.2.4 Pengertian Signifikansi Budaya

Suatu benda/situs dalam prosesnya menjadi suatu obyek konservasi tentunya telah melalui suatu proses terlebih dahulu dalam penentuannya. Ada suatu kriteria

(22)

yang dipakai dalam menentukan bagaimana suatu benda/situs layak menjadi obyek konservasi. Kriteria sebuah benda/situs dijadikan sebuah obyek konservasi tergantung dari signifikansi yang dimiliki. Signifikansi sebuah benda/situs dapat dinilai berdasarkan tiga tolok ukur yaitu nilai sejarah yang terkandung/ melatarbelakangi obyek (misalnya proses pembangunan dan cerita yang terjadi seiring usianya), kondisi fisik/arsitektural yang mencakup keunikan dan kejamakan (sesuatu yang tidak dimiliki oleh benda/tempat lain), serta pada tradisi (budaya) yang berlaku dan dijalankan pada sebuah obyek/situs yang mungkin saja berbeda dengan tempat lain (Heuken, 2000: iii-viii).

Signifikansi budaya menurut Piagam Burra 1999 artinya adalah nilai estetis, historis, ilmiah, sosial, atau spiritual untuk generasi dahulu, kini, dan masa yang akan datang. Signifikansi budaya ini tersirat dalam tempat, bahan, tata letak, fungsi, asosiasi, makna, rekaman, tempat-tempat terkait, dan obyek-obyek terkait. Bahan artinya seluruh material fisik sebuah tempat, termasuk komponen, perbaikan, isi, dan obyek-obyek. Tata letak artinya kawasan yang mengitari sebuah tempat yang dapat mencakup jangkauan visual. Fungsi dalam hal ini mencakup pemanfaatan sebuah tempat, termasuk kegiatan yang bisa dilakukan di tempat tersebut. Asosiasi artinya ikatan khusus yang eksis antara orang dan sebuah tempat, asosiasi mencakup nilai sosial spiritual dan tanggung jawab budaya pada sebuah tempat. Makna menyatakan bagaimana sebuah tempat mengartikan, mengindikasikan, membangkitkan atau mengekspresikan sesuatu. Makna biasanya berhubungan dengan aspek kasat mata seperti sifat-sifat simbolik dan memori. Tempat terkait artinya sebuah tempat yang memberi kontribusi pada signifikansi budaya tempat yang lain.

(23)

Apabila signifikansi budaya sebuah tempat tidak tampak jelas, maka harus dijelaskan melalui interpretasi. Interpretasi berarti meningkatkan pemahaman dan kecintaan, juga kelayakan secara budaya. Signifikansi budaya sebuah tempat dan hal-hal lain yang berpengaruh terhadap masa depannya paling baik dipahami melalui serangkaian tahap pengumpulan dan analisis informasi sebelum membuat keputusan. Hal pertama adalah memahami signifikansi budayanya, kemudian membuat kebijakan, dan akhirnya mengelola tempat tersebut sesuai dengan kebijakan yang telah ditetapkan. Pembuatan kebijakan juga harus mempertimbangkan faktor-faktor lain yang berpengaruh terhadap masa depan sebuah tempat. Seperti kebutuhan pemilik, sumber daya, keterbatasan eksternal, dan kondisi fisik tempat tersebut. Jadi seluruh tahapan sebaiknya dipertimbangkan dan dipikirkan secara matang terlebih dahulu sebelum mengambil keputusan.

Untuk menyamakan persepsi antara penulis dengan pembaca terkait penelitian ini, maka penelitian ini dimaksudkan untuk menginventarisir nilai signifikan yang dimiliki oleh obyek. Dalam hal ini Pura Maospahit Denpasar dan usaha pelestarian serta pengelolaan yang pernah dan telah dilakukan sebelumnya di pura ini baik oleh pihak yang berwenang yaitu pemerintah melalui Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala Bali maupun yang dilakukan oleh pihak pangemong/pangempon/masyarakat yang diberikan tanggung jawab dan kepercayaan memelihara/mengelola keberlangsungan pura. Selain itu juga melakukan pendataan terhadap kondisi fisik bangunan, usaha dan penerapan/ aplikasi konservasi serta menemukan/mengusulkan usaha pengelolaan yang sesuai untuk kondisi terkini dari Pura Maospahit Denpasar sehingga ke depannya

(24)

menjadi sesuai dengan kapasitasnya sebagai benda cagar budaya terkait dengan konteks pusaka budaya.

2.3 Landasan Teori

Landasan teori digunakan sebagai alat serta acuan dalam mengupas permasalahan yang muncul dalam penelitian ini dan dipakai dalam penulisan laporan penelitian ini. Sejauh ini teori yang dianggap relevan dan memiliki kesesuaian dengan penelitian yang akan dilakukan adalah teori konservasi, teori pemugaran warisan budaya, dan teori warisan budaya tak ragawi.

2.3.1 Teori Konservasi

Ada banyak penjabaran dari teori konservasi terutama yang berasal dari luar Indonesia dan dalam pelaksanaannya belum tentu tepat diterapkan di Indonesia umumnya dan Bali pada khususnya. Namun dalam penelitian ini akan diambil beberapa hal yang dianggap memiliki keterkaitan dan bisa dijadikan tolok ukur dalam melakukan aktivitas konservasi terutama terkait dengan keberadaan suatu situs cagar budaya berupa pura.

2.3.1.1 Pengertian

Konservasi merupakan istilah induk dari semua kegiatan pelestarian sesuai dengan kesepakatan internasional yang telah dirumuskan dalam Piagam Burra tahun 1981 (Sidharta dan Budihardjo, 1989: 10). Dalam Piagam Burra yang lengkapnya bernama Icomos Charter for the Conservation of Places of Cultural Significance (The Burra Charter), termuat definisi:

Conservation means all the processes of looking after a place so as to retain its cultural significance. It includes maintenance and may according circumstance include preservation, restoration, reconstruction

(25)

and adaption and will be commonly a combination of more than one of these.

Atau dengan kata lain:

Konservasi berarti semua proses untuk memelihara suatu tempat dengan sedemikian rupa untuk menjaga makna kulturalnya. Di dalamnya termasuk memelihara sesuai dengan keadaannya meliputi preservasi, restorasi, rekonstruksi dan adaptasi dan bisa juga berupa kombinasi dari beberapa hal tersebut.

Konservasi berarti memelihara dan melindungi tempat-tempat yang berharga, agar tidak hancur atau berubah sampai batas-batas yang wajar. Menekankan pada penggunaan kembali bangunan lama, agar tidak terlantar. Apakah dengan menghidupkan kembali fungsi lama, ataukah dengan mengubah fungsi bangunan lama dengan fungsi baru yang dibutuhkan. Upaya perlindungan terhadap benda-benda cagar budaya yang dilakukan secara langsung dengan cara membersihkan, memelihara, memperbaiki, baik secara fisik maupun kimia secara langsung dari pengaruh berbagai faktor lingkungan yang merusak. Perlindungan benda-benda (dalam hal ini benda-benda peninggalan sejarah dan purbakala) dari kerusakan yang diakibatkan oleh alam, kimiawi dan mikro organisme.

2.3.1.2 Fungsi Konservasi

Fungsi konservasi bila ditinjau dari segi bentuk peninggalan purbakala atau arkeologi adalah tidak berbeda jauh dari fungsi peninggalan purbakala lain pada umumnya, yaitu seperti dikemukan oleh Ardana (1983: 14), sebagai berikut:

a) Sebagai bukti dan sumber sejarah peninggalan bangsa di masa lalu yang sangat penting, baik bagi generasi sekarang maupun bagi generasi yang akan datang. Sejarah bangsa Indonesia telah membuktikan bahwa kejayaan di masa lalu adalah suatu hasil sejarah yang telah berlangsung lama.

(26)

b) Sebagai sarana pendidikan seumur hidup, terutama bagi generasi muda yang akan memimpin bangsa di kemudian hari. Untuk dapat maju ke depan bersama bangsa-bangsa lainnya di dunia, maka generasi muda sangat perlu secara bersungguh-sungguh mempelajari kepribadian bangsanya sendiri melalui sejarah, supaya tidak mudah terpengaruh oleh berbagai macam pengaruh internasional yang bertentangan dengan kepribadian bangsa sendiri.

c) Sebagai sarana pendidikan nasional, karena itu kepada masyarakat luas diharapkan, bahwa dengan mempelajari kekunoan akan dapat meningkatkan apresiasi, kebanggaan dan tanggungjawab kepada kebudayaan nusantara. Dengan demikian, ketahanan kebudayaan bangsa akan menjadi semakin kuat di tengah-tengah pergaulan internasional yang semakin kompleks dengan ilmu pengetahuan dan teknologi yang sangat maju.

d) Sebagai land mark, yang dikemukakan oleh Budihardjo (1997) adalah fungsi penting lainnya. Kehadiran bangunan kuno yang merupakan warisan budaya dalam bentuk artefak itu memberikan apa yang disebut: "a sense of history" atau land mark yang akrab. Sejalan dengan hilangnya warisan budaya itu, maka penduduk kota akan semakin mudah merasa terasing, tidak berakar, bagaikan tercerabut asal muasal komunitasnya.

e) Fungsi tambahan lainnya yang diberikan, adalah sebagai menu jiwa. Suasana, atmosfir, kesan dan rasa yang ditimbulkan oleh suatu kawasan bersejarah merupakan menu bagi jiwa setiap masyarakat yang beradab.

(27)

Kecintaan terhadap bangunan kuno seyogyanya ditumbuhkan lebih daripada kecintaan terhadap benda antik, karena bangunan kuno masih bisa dimanfaatkan dan dihidupkan kembali, sedangkan benda antik hanya memukau untuk dilihat saja.

Dengan mensosialisasikan fungsi penting tersebut secara luas dan terbuka, kiranya akan dapat mengubah asumsi masyarakat bahwa bangunan dan kawasan yang memiliki nilai arti kesejarahan atau pun nilai seni arsitektur, pada dasarnya harus dilihat sebagai obyek cagar budaya. Karena obyek cagar budaya merupakan kekayaan budaya bangsa yang penting artinya bagi pemahaman dan pengembangan sejarah ilmu pengetahuan dan kebudayaan itu sendiri.

2.3.1.3 Ruang Lingkup

Seringkali terdengar pembicaraan/pembahasan atau termuat tulisan tentang konservasi dalam berbagai media, dan obyeknya terkadang alam (konservasi dalam bentuk hutan lindung, taman hutan raya, kebun raya dan sejenisnya) dan juga perlindungan terhadap hewan langka yang dikombinasikan dengan hutan seperti Taman Nasional Bali Barat, Taman Nasional Ujung Kulon (Banten) dan sebagainya.

Pada umumnya, dalam suatu lingkungan kota, obyek dan lingkup konservasi digolongkan ke dalam beberapa luasan (Kevin Lynch dalam Sidharta, 1989: 11) yaitu: satuan areal, satuan pandangan/visual/landscape dan satuan fisik. Adapun penjabarannya sebagai berikut:

a. Satuan areal: adalah suatu wilayah di kota, berupa sub kota, atau bahkan kota itu sendiri secara keseluruhan sebagai suatu sistem kehidupan.

(28)

Keadaan seperti ini bisa terjadi pada suatu kota yang mempunyai ciri-ciri atau nilai yang khas.

b. Satuan pandangan/visual/landscape: adalah suatu satuan berupa aspek visual, yang dapat memberi bayangan mental atau image yang khas tentang suatu lingkungan kota. Image ini mempunyai arti dan peran yang penting bagi suatu kota. Ada lima hal atau unsur pokok penting di sini, yaitu : (1) jalur (path), (2) tepian (edges), (3) kawasan (district), (4) pemusatan (node), dan (5) landmark. Dengan melihat kelima unsur tersebut, dapat diartikan bahwa termasuk juga jaringan rute bersejarah atau jalur angkutan tradisional.

c. Satuan fisik: adalah satuan yang berwujud bangunan, kelompok atau deretan bangunan-bangunan, rangkaian bangunan yang membentuk ruang umum atau dinding jalan, apabila dikehendaki lebih jauh hal ini bisa diperinci sampai kepada unsur-unsur bangunan, baik unsur fungsional, struktur atau estetis ornamental. Sedangkan secara umum, bentuk konservasi meliputi kota dan desa, distrik, lingkungan perumahan, garis cakrawala wajah jalan dan bangunan.

2.3.1.4 Pendekatan dalam Konservasi

Ada banyak penjabaran mengenai definisi serta istilah-istilah lain dan perluasan tindakan konservasi yang pada intinya memiliki pengertian yang kurang lebih sama, salah satunya adalah (Adishakti dalam Pranajaya dkk, 2010: 60) yang menyebutkan restorasi (dalam konteks yang lebih luas) ialah kegiatan mengembalikan bentukan fisik suatu tempat kepada kondisi sebelumnya, dengan

(29)

menghilangkan tambahan-tambahan atau merakit kembali komponen existing tanpa menggunakan material baru. Restorasi (dalam konteks terbatas) ialah kegiatan pemugaran untuk mengembalikan bangunan dan lingkungan cagar budaya semirip mungkin ke bentuk asalnya berdasarkan data pendukung tentang bentuk arsitektur dan struktur pada keadaan asal tersebut dan agar persyaratan teknis bangunan terpenuhi.

Preservasi (dalam konteks yang luas) ialah kegiatan pemeliharaan bentukan fisik suatu tempat dalam kondisi existing dan memperlambat bentukan fisik tersebut dari proses kerusakan, sedangkan preservasi (dalam konteks yang terbatas) ialah bagian dari perawatan dan pemeliharaan yang intinya adalah mempertahankan keadaan sekarang dari bangunan dan lingkungan cagar budaya agar keandalan kelaikan fungsinya terjaga baik. Konservasi (dalam konteks yang luas) ialah semua proses pengelolaan suatu tempat hingga terjaga signifikansi budayanya. Hal ini termasuk pemeliharaan dan mungkin (karena kondisinya) termasuk tindakan preservasi, restorasi, rekonstruksi, konsolidasi serta revitalisasi. Biasanya kegiatan ini merupakan kombinasi dari beberapa tindakan tersebut, sedangkan konservasi (dalam konteks terbatas) dari bangunan dan lingkungan ialah upaya perbaikan dalam rangka pemugaran yang menitikberatkan pada pembersihan dan pengawasan bahan yang digunakan sebagai konstruksi bangunan, agar persyaratan teknis bangunan terpenuhi.

Rekonstruksi adalah kegiatan pemugaran untuk membangun kembali dan memperbaiki bangunan dan lingkungan yang hancur akibat bencana alam, bencana lainnya, rusak akibat terbengkalai atau keharusan pindah lokasi karena salah satu

(30)

sebab yang darurat, dengan menggunakan bahan yang tersisa atau terselamatkan, dengan penambahan bahan bangunan baru dan menjadikan bangunan tersebut laik fungsi dan memenuhi persyaratan teknis. Konsolidasi ialah kegiatan pemugaran yang menitikberatkan pada pekerjaan memperkuat, memperkokoh struktur yang rusak atau melemah secara umum agar persyaratan teknis bangunan terpenuhi dan bangunan tetap laik fungsi. Konsolidasi bangunan dapat juga disebut dengan istilah stabilisasi kalau bagian struktur yang rusak atau melemah bersifat membahayakan terhadap kekuatan struktur.

Revitalisasi ialah pemugaran yang bersasaran untuk mendapatkan nilai tambah yang optimal secara ekonomi, sosial dan budaya dalam pemanfaatan bangunan dan lingkungan cagar budaya dan dapat sebagai bagian dari revitalisasi kawasan kota lama untuk mencegah hilangnya aset-aset kota yang bernilai sejarah karena kawasan tersebut mengalami penurunan produktivitas. Pemugaran adalah kegiatan memperbaiki atau memulihkan kembali bangunan gedung dan lingkungan cagar budaya ke bentuk aslinya dan dapat mencakup pekerjaan perbaikan struktur yang bisa dipertanggungjawabkan dari segi arkeologis, historis dan teknis. Kegiatan pemulihan arsitektur bangunan gedung dan lingkungan cagar budaya yang disamping perbaikan kondisi fisiknya juga demi pemanfaatannya secara fungsional yang memenuhi persyaratan keandalan bangunan.

Selain itu, disebutkan juga dalam sumber lain batasan pengertian tentang istilah-istilah dasar dalam konservasi. Salah satunya seperti yang disepakati dalam Piagam Burra, yang menjelaskan bahwa konservasi adalah segenap proses pengelolaan suatu tempat agar makna kultural yang dikandungnya terpelihara

(31)

dengan baik. Konservasi dapat meliputi seluruh kegiatan pemeliharaan serta sesuai dengan situasi dan kondisi setempat. Secara keseluruhan mencakup preservasi, restorasi, rekonstruksi, adaptasi, dan revitalisasi. Preservasi adalah pelestarian suatu tempat persis seperti keadaan aslinya saat ditemukan tanpa adanya upaya perubahan. Upaya yang dilakukan adalah upaya mencegah kehancuran.

Restorasi/rehabilitasi adalah mengembalikan suatu tempat pada keadaaan semula dengan menghilangkan tambahan-tambahan dan memasang komponen semula tanpa menggunakan bahan baru. Rekonstruksi adalah mengembalikan suatu tempat semirip mungkin dengan keadaan semula, dengan cara menggunakan bahan lama maupun bahan baru (bisa dikombinasikan). Adaptasi/revitalisasi adalah mengubah tempat supaya dapat digunakan untuk fungsi yang lebih sesuai (tidak menuntut perubahan drastis, atau hanya memerlukan sedikit dampak minimal), dan demolisi adalah penghancuran atau perombakan suatu bangunan yang sudah rusak atau membahayakan.

Ketika konservasi ini akan dilaksanakan sebaiknya diawali dengan suatu strategi yang mengacu pada pelestarian warisan budaya, sehingga konservasi yang akan dilakukan menjadi tepat guna dan tidak dilakukan sekedarnya saja (Salain, 2003: 42), seperti signifikansi yang diperoleh dari penilaian ”assessment” suatu obyek dalam suatu konteks apakah menyangkut sejarah, keindahan, pengetahuan, kebudayaan, maupun harganya. Kemudian tenaga ahli yang dimaksudkan sebagai suatu strategi tentang bagaimana kesiapan sekaligus meningkatkan keahlian sumber daya manusia yang ada dan yang akan diadakan. Setelah itu pengelolaan site, sebagai hal yang sangat penting dalam upaya pelestarian. Menyangkut

(32)

kepemilikan, pendanaan, pengoperasian, pengenalan, dan sebagainya. Lain dari itu adalah penelitian sebagai kegiatan terstruktur yang dilakukan terus menerus terhadap warisan arsitektur yang memiliki signifikansi tinggi.

Strategi lainnya adalah pencatatan melalui pengadaan sekaligus pemetaan sampai dengan pendokumentasian hal-hal yang sangat rinci dari suatu detail bangunan atau ruang. Kemasan hasil penelitian ini disertai dengan ramalan atas temuan lapangan atau kemungkinan perubahan karena pemekaran suatu wilayah oleh berbagai fungsi dalam suatu rekomendasi disajikan dalam MIS (Management Information System), dan peningkatan kepedulian yang dilakukan melalui berbagai upaya menumbuhkan kesadaran akan pentingnya penyelamatan warisan budaya arsitektur, tidak hanya kepada para ahli tetapi juga kepada seluruh masyarakat sebagai pelaku budaya melalui berbagai informasi. Penyampaian informasi inilah yang perlu diperhatikan. Bagaimana caranya agar informasi yang benar disampaikan oleh pihak yang benar dengan cara yang benar pula.

2.3.1.5 Motivasi dalam Melakukan Konservasi.

Melakukan kegiatan konservasi memerlukan dukungan motivasi yang kuat, supaya arah yang akan dituju dalam konservasi dapat dicapai dengan tepat sasaran. Motivasi juga diperlukan, mengingat bahwa kegiatan konservasi akan menghadapi tantangan atau kendala yang kompleks. Dengan motivasi yang jelas dan kuat, diharapkan setiap tantangan dapat diatasi. Pada umumnya, ada beberapa motivasi yang melandasi kegiatan konservasi, yaitu :

a. Motivasi untuk mempertahankan warisan budaya atau warisan sejarah. Motivasi ini didasari oleh keinginan untuk menghargai warisan budaya

(33)

atau sejarah, karena budaya dan atau sejarah mengandung bahan-bahan pelajaran yang sangat berharga. Nilai-nilai tersebut tidak hanya dari segi fisiknya, tetapi spirit dari segi non fisik juga mengandung nilai yang sangat mulia. Dari segi fisik akan dapat dipelajari nilai-nilai arsitektur yang meliputi fungsi, struktur dan estetika melalui perwujudan bentuknya. Dari segi non fisik dapat dipelajari banyak hal, mulai dari semangat saat proses pembangunan dilakukan, peristiwa-peristiwa penting yang terjadi sampai dengan nilai filosofis dari obyek tersebut.

b. Motivasi untuk menjamin terwujudnya variasi dalam bentuk-bentuk arsitektur kota dan lingkungan. Suatu lingkungan dengan bentuk-bentuk yang monoton akan terlihat membosankan, karena kurang dinamis. Oleh karena itu, maka pelestarian terhadap obyek-obyek yang spesifik akan memberikan variasi visual yang dinamis.

c. Motivasi ekonomis, yang bermakna ganda. Di satu sisi pelestarian akan menyebabkan nilai obyek itu akan meningkat karena terpelihara. Di sisi lain, obyek yang dikonservasi akan memiliki nilai komersial yang menjadi sumber pendapatan bagi banyak pihak.

d. Motivasi simbolis, dimana bangunan-bangunan merupakan gambaran fisik tentang identitas suatu lingkungan. Bangunan fisik yang fungsinya tidak lagi seperti semula (pada saat dibangun) tetapi kini masih terpelihara akan menjadi simbol bahwa di lokasi tersebut pernah tercatat sebagai tempat yang sangat penting.

(34)

Dari semua kemungkinan motivasi tersebut memang semuanya saling terkait, yang satu mendukung yang lainnya tergantung dari jenis obyeknya. Masalah yang biasanya dihadapi adalah bagaimana membangkitkan motivasi pihak-pihak untuk dapat bekerja sama dalam upaya pelestarian. Konservasi sebagai upaya pelestarian, perlindungan dan sejenisnya bertujuan untuk menjaga atau menciptakan suatu keadaan dimana obyek yang dikonservasi dapat tampil dengan makna kulturalnya.

Dengan demikian maka warisan karya yang adiluhung tersebut mampu memberikan manfaat yang dapat dipetik dari berbagai aspek. Manfaat yang paling nyata adalah sebagai catatan sejarah masa lalu, dimana para leluhur telah berhasil mewariskan sesuatu yang bernilai tinggi. Sedangkan manfaat praktisnya bagi masyarakat adalah sebagai obyek untuk dikunjungi (kegiatan rekreasi). Sebagai obyek rekreasi yang keberadaan fisiknya terus terpelihara akan memberikan efek berlipat bagi manfaat-manfaat berikutnya. Namun dalam hal ini mengingat obyek yang akan dikonservasi adalah sebuah pura, maka kegiatan rekreasi yang tepat dilakukan disini adalah rekreasi spiritual.

Pelestarian dalam lingkup bangunan dan lingkungan adalah semua proses untuk memelihara bangunan atau lingkungan sedemikian rupa sehingga makna kulturalnya yang berupa nilai keindahan, sejarah, keilmuan atau nilai sosial untuk generasi lampau, masa kini, dan masa yang akan datang akan dapat terpelihara. Pelestarian dipahami juga sebagai suatu upaya untuk melindungi/menjaga bangunan, monumen dan lingkungan dari kerusakan dan mencegah adanya proses kerusakan. Konservasi juga merupakan upaya untuk memelihara suatu tempat

(35)

yang dilakukan sedemikian rupa sehingga makna dari tempat tersebut dapat dipertahankan.

Kata pelestarian sudah dikenal umum baik di kalangan akademis, birokrat, dan masyarakat luas. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia menurunkan tiga arti untuk kata “lestari”: (1) seperti keadaan semula; (2) tidak berubah; (3) kekal. Ketiga arti kata ini mungkin masih tepat digunakan dalam pemahaman terhadap produksi budaya bersifat fisik/berwujud (tangible) seperti benda cagar budaya. Akan tetapi produk budaya yang bersifat non fisik/tak berwujud (intangible) seperti dalam bentuk seni dan tradisi (yang lebih menekankan dalam bentuk ide, konsep, norma) ketiga arti tersebut sangat berlawanan dengan sifat seni dan tradisi yang hidup. Bila arti kata lestari itu diterapkan kepada pelestarian seni maupun tradisi, maka kebudayaan suatu masyarakat akan berhenti di tengah jalan begitu saja, tidak hidup sejajar dengan perkembangan budayanya. Sebab kesenian maupun tradisi apapun tidak ada yang tidak mengalami perubahan.

Kamus Besar Bahasa Indonesia juga menurunkan tiga kata “melestarikan” yaitu: (1) menjadikan (membiarkan) tetap tidak berubah: (2) membiarkan tetap seperti keadaan semula: (3) mempertahankan kelangsungan (hidupnya). Arti yang pertama dan kedua menghentikan kreativitas seni, maupun tradisi. Sedangkan arti yang ketiga masih dapat ditafsirkan bagaimana kreativitas seni maupun tradisi berkiprah untuk melangsungkan hidup.

Bagi masyarakat yang mengartikan pelestarian sebagai usaha dalam membuat sesuatu tidak berubah, seperti keadaan semula, mungkin produk budaya harus seperti keadaan semula. Peninggalan budaya nenek moyang yang berupa

(36)

fisik (Benda Cagar Budaya) sajalah yang cocok diperlakukan seperti itu. Misalnya candi, pura, puri, rumah adat, keris, peralatan dari perunggu, atau emas dan perak dan lain sebagainya. Tetapi tidak untuk tari, sastra, musik, tata-cara, upacara dan lain sebagainya. Golongan yang kedua ini ada yang memang harus dijaga kelestariannya sedapat mungkin, tetap digunakan sebagai bahan baku karya seni baru. Artinya pelestarian yang dimaksudkan dalam hal ini adalah membuat sesuatu berkelanjutan.

2.3.1.6 Proses Konservasi

Arsitektur masa lampau seyogyanya tidak dilihat sebagai benda mati yang tidak berguna lagi, melainkan sebagai bagian yang tidak terpisah dari sejarah perkembangan arsitektur suatu kawasan. Membongkar bangunan bersejarah dengan semena-mena, sama artinya dengan menghapus bukti sejarah dalam arti fisik dan visual. Untuk menjaga kelestarian obyek cagar budaya (kawasan dan bangunan kuno/bersejarah), perlu langkah-langkah pengaturan bagi penguasaan, pemanfaatan dan pengawasannya. Karena peraturan dan Undang-undang memang merupakan alat kontrol bagi upaya pelestarian cagar budaya, namun tak dapat disangkal bahwa masyarakat selaku penerima tak dapat sepenuhnya take it for granted (menerima selaku kebenaran).

Landasan hukum dalam mewujudkan pelaksanaan upaya-upaya pelestarian tersebut di atas sebenarnya sudah ada sejak jaman pemerintahan kolonial Hindia Belanda yang dikenal dengan Monumenten Ordonantie No. 19 tahun 1931, kemudian menjadi Monumenten Ordonantie Stbl tahun 1934 (Staatsblad tahun 1934 No. 515). Setelah jaman kemerdekaan pemerintah Republik Indonesia telah

(37)

menyusun dan menerbitkan Undang-undang Nomor 5 Tahun 1992, tentang Benda Cagar Budaya sebagai pengganti Monumenten Ordonantie. Selain Monumenten Ordonantie Stbl tahun 1934 tersebut dan himpunan peraturan yang terkait dengan Undang-Undang tentang Benda Cagar Budaya di atas, landasan hukum lain yang dapat dijadikan pedoman pelaksanaan (Harastoeti, 1999: 23), adalah: a) Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 1993 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1992 tentang Benda Cagar Budaya; b) Keputusan menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia Nomor 087/P/1993 tentang Pendaftaran Benda Cagar Budaya; c) Keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia Nomor 062/U/1995 tentang Pemilikan, Penguasaan, Pengalihan, dan Penghapusan Benda Cagar Budaya; d) Keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia Nomor 063/U/1995 tentang Perlindungan dan Pemeliharaan Benda Cagar Budaya; dan, e) Keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia Nomor 064/U/1995 tentang Penelitian dan Penetapan Benda Cagar Budaya atau Situs.

Untuk menghindari keterlanjuran yang lebih jauh, maka perlu dilakukan langkah-langkah sebagai berikut: Pertama, sistem mekanisme dan prosedur pelestarian bangunan harus disusun dalam bentuk aturan pelaksanaan. Dengan demikian, peralihan peraturan pemilikan, perlakuan (pemeliharaan, perbaikan dan penambahan, serta pembongkaran), dan penggunaan bangunan mempunyai pedoman yang jelas; dan kedua, publikasi peraturan perlu dilaksanakan secara meluas, bila perlu dengan pemasangan plakat yang menyatakan bahwa bangunan bersangkutan termasuk dalam obyek cagar budaya dengan kategori tertentu.

(38)

Masyarakat dan setiap pihak yang mungkin terlibat dalam pembangunan, harus dijamin mengetahui semua bangunan yang harus dilestarikan.

Sebagaimana umumnya kegiatan yang menyangkut perlakuan terhadap bangunan, diperlukan proses sedemikian rupa sehingga tujuan yang ingin dicapai dapat ditempuh dengan benar. Dalam seluruh rangkaian kegiatan konservasi, proses-proses penting yang harus dilakukan adalah sebagai berikut:

a) Inventarisasi/pengumpulan data: data yang dikumpulkan tidak hanya berupa data fisik berupa bangunan yang wujudnya sudah terlihat, melainkan juga sangat penting adalah data non fisik berupa bukti-bukti atau catatan sejarah tentang obyek. Data ini sangat penting karena akan menjadi bahan penilaian kelayakan obyek untuk dilakukan kegiatan konservasi. Pengumpulan data dimulai dengan survey terhadap dokumen berupa surat-surat, laporan-laporan, sketsa-sketsa, foto-foto, peta-peta, dan kemudian survey-survey terhadap kondisi fisik, nilai-nilai fisik, dan bila perlu boleh dilakukan penggalian-penggalian atau pembongkaran guna memperoleh data yang diperlukan sebagai komponen dasar untuk menyusun kebijaksanaan dan membuat perencanaan. Sesudah itu dilakukan observasi dan wawancara di lapangan kepada semua pihak yang terkait. Keadaan semula harus direkam terlebih dahulu secara lengkap dan dianalisa, agar dapat disusun secara sistematis arti penting obyek tersebut, sampai dengan inventarisasi kelompok-kelompok bukti fisik dan menyusun urutan-urutan prioritas sesuai dengan artinya, kelangkaannya, kualitas dan sebagainya.

(39)

b) Penyusunan/pengolahan data dan analisis:pada tahap ini akan dilakukan pengolahan/penyusunan data secara sistematis untuk selanjutnya dilakukan analisis terhadap setiap obyek konservasi. Dari seluruh data yang diperoleh dilakukan kategorisasi atau klasifikasi jenis-jenis bangunan atau lingkungan yang diteliti, mulai dari skala yang paling luas/umum sampai kepada skala yang paling kecil/mikro. Dari klasifikasi tersebut diperoleh pengelompokan lingkungan bersejarah, taman/ruang terbuka dan arsitektur kuno yang semuanya memerlukan perhatian maksimal.

c) Pengkajian Makna Kultural: pada tahap ini dilakukan pengkajian makna kultural dengan tolok ukur estetika, kejamakan, kelangkaan, peranan sejarah, pengaruh terhadap lingkungan dan keistimewaan. Tidak tertutup pula kemungkinan untuk penggunaan tolok ukur lain seperti misalnya nilai-nilai sosial, nilai-nilai ilmiah, nilai komersial dan sebagainya.

d) Penentuan Prioritas dan Peringkat: dari hasil pengkajian makna kultural, dengan menggunakan pembobotan akan diperoleh prioritas dan peringkat dari setiap obyek penelitian. Hasil inilah yang akan dapat digunakan sebagai dasar untuk merumuskan kebijakan konservasi dan strategi untuk implementasinya (tahap kelima dan keenam). Dalam kebijakan itu nanti akan ada alternatif kebijakan meliputi konservasi, preservasi, restorasi/ rekonstruksi, adaptasi/revitalisasi, dan demolisi/penghancuran.

Sesudah keempat tahapan tersebut diatas dilakukan, maka langkah berikutnya adalah menyusun program dan perencanaan dan program pembiayaan dan pelaksanaan di lapangan.

(40)

2.3.1.7 Hal-hal lain Terkait Aktivitas Konservasi

Usaha pelestarian terhadap sebuah bangunan warisan budaya tidak dapat dipisahkan dari lingkungan pendukungnya termasuk lansekap. Sebenarnya harus diakui, kerusakan atau lebih parah lagi musnahnya bangunan tua dan lansekap bersejarah bukan semata-mata karena disebabkan keterbatasan pengelola kota secara administratif dan regulasi. Penyebab lain adalah adanya perbedaan aspirasi dan kepedulian masyarakat akan hakikat pelestarian warisan budaya berupa bangunan tua yang menjadikan bangunan konservasi tidak dihargai maknanya. Pada sisi lain, regulasi dan ketidak-pahaman terhadap masalah yang dihadapi pemilik bangunan terhadap tuntutan ekonomi tidak hanya menyebabkan disorientasi pembangunan fisik, tetapi juga penolakan untuk dilakukan konservasi. Dalam hal ini peran arsitek sangat penting untuk menjamin terpeliharanya bangunan dan kemampuan untuk membuka wawasan fungsi-fungsi baru.

Wawancara dengan Jayanti, 2009 menyebutkan bahwa dalam aktivitas konservasi, ada beberapa prisip dalam melakukan teknik konservasi yaitu: Pertama, conserve as found, yaitu struktur dan bangunan sebaiknya dikonservasi sesuai dengan saat ditemukan; Kedua, minimal intervention, yaitu perubahan dibuat dengan seminimal mungkin dengan teknik yang dipakai sudah teruji kemampuannya; Ketiga, like-for like repairs, yaitu material yang diganti sebisanya serupa dengan material asli, misalnya kayu diganti dengan kayu, tetapi dalam hal ini stabilitas struktur harus juga menjadi pertimbangan, bisa jadi kayu diganti dengan baja; Keempat, repairs should be reversible, yaitu perbaikan didesain sehingga ke depan bisa dikembalikan lagi/diulang/dihilangkan, dan

(41)

aktivitas ini yang paling sulit; dan Kelima, repairs should be sympathetic, yaitu perbaikan harus sesuai dengan karakter struktur/bangunan, dalam hal ini tidak harus terlihat kuno dan tidak harus meniru bentuk orisinil.

Dengan mengetahui dan memahami teori konservasi yang telah diketahui sebelumnya, maka akan dapat ditentukan strategi konservasi apa yang pantas dan tepat diterapkan pada Pura Maospahit sesuai dengan keadaannya sehingga penanganan yang nantinya dilakukan dapat tepat sasaran.

2.3.2 Teori Pemugaran Warisan Budaya

Bangunan kuno sebagai benda cagar budaya tidak bergerak umumnya dibuat dari beberapa jenis bahan seperti batu, kayu, bata dan lain-lain. Bangunan kuno dapat dikelompokkan atas dasar bahan yang dipakai misalnya bangunan batu, bangunan kayu, bangunan bata dan lainnya. Bangunan batu misalnya candi dan benteng. Bangunan kayu misalnya rumah tradisional dan masjid serta bangunan bata seperti candi dan pura, di Bali ditemukan beberapa bangunan bata yang pada umumnya masih difungsikan oleh masyarakat sebagai tempat pemujaan bagi umat Hindu.

Seperti halnya dengan bangunan kuno yang lainnya, bangunan bata yang ditemukan di Bali komponen strukturnya tidak lengkap. Sebagai bangunan living monument di Bali, maka aspek pemanfaatannya menuntut agar bangunan tersebut dapat dipugar kembali pada bentuk aslinya secara lengkap. Keutuhan bangunan ini berkaitan erat dengan persyaratan upacara ritual yang dilaksanakan sehingga bangunan dapat difungsikan lagi seperti fungsinya yang semula. Hal ini belum sepenuhnya sesuai dengan prinsip-prinsip keaslian dalam pemugaran yang

(42)

meliputi keaslian bentuk, bahan, tata letak dan teknik pengerjaan. Inilah yang merupakan permasalahan pokok yang dihadapi pada pemugaran bangunan living monument termasuk pemugaran bangunan bata di Bali. Untuk mengatasi permasalahan tersebut perlu dilakukan pendekatan aspek sosial lain terutama aspek religius, aspek budaya, aspek estetika dan aspek lainnya. Pendekatan yang dilakukan harus dapat mengakomodasikan tuntutan aspek pemanfaatan, tanpa bertentangan dengan prinsip-prinsip pemugaran sesuai dengan peraturan dan perundang-undangan yang ada dan harus dijabarkan secara lebih terinci agar dapat dijadikan pedoman atau acuan dalam pelaksanaan pemugaran khususnya bangunan living monument.

Pemugaran bangunan peninggalan sejarah dan purbakala adalah serangkaian kegiatan yang bertujuan untuk melestarikan keutuhan bangunan Cagar Budaya sebagai sebuah monumen sekaligus data sejarah (pasal 15 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1992 Tentang Benda Cagar Budaya), menyelamatkan warisan budaya bangsa, serta mengembangkan dan membangkitkan kembali gairah kebudayaan nasional untuk dapat dijadikan sumber inspirasi daya cipta kehidupan bangsa dan sekaligus menjadi tumpuan kesadaran, kesatuan, serta ketahanan nasional yang mantap dalam rangka memupuk, membina dan mengembangkan kepribadian bangsa.

Kegiatan pemugaran terhadap benda cagar budaya disesuaikan dengan prinsip pelestarian yang mencakup keaslian bentuk, tata letak, bahan, teknologi, warna, serta nilai sejarah dan pengamanannya. Pemugaran sebagai bagian dari pelestarian benda cagar budaya merupakan kegiatan yang bertujuan untuk

Gambar

Tabel 2.1 Hasil Penelitian Terdahulu
Gambar 3.1 Lokasi Pura Maospahit dan Posisinya di  Antara Obyek Penting Lain di Kota Denpasar  Sketsa dan gambar: www.google.com, pencarian tanggal

Referensi

Dokumen terkait

Pada tabel 4.3 bisa dilihat bahwa manajemen laba dan ukuran perusahaan memiliki nilai VIF yang sama yaitu 1,204 yang lebih kecil dari 10 sehingga kedua variabel independen dalam

Simpulan penelitian ini bahwa Pemberian makanan tambahan dengan konssep 4 bintang efektif menaikkan berat badan balita dengan gizi buruk di posyandu wilayah

Berfungsi mengatur dan mengendalikan kegiatan bagian pelayanan keperawatan sesuai dengan visi dan misi Rumah Sakit Roemani menuju terwujudnya pelayanan keperawatan yang prima.

Tim Kendali Mutu Kendali Biaya sebagai lembaga independen yang diberi mandat Tim Kendali Mutu Kendali Biaya sebagai lembaga independen yang diberi mandat untuk menjaga mutu dan

Pada kondisi adanya pilihan terbuka bagi para investor untuk menanamkan modalnya maka alih fungsi lahan pertanian pada daerah dengan infrastruktur yang baik dan sekaligus

Diceriterakan, konon, sudah lama beliau mengembara mencari putra beliau itu tidak juga dijumpai, sampai akhirnya tiba di kawasan Tohlangkir pengembaraan beliau Setibanya di

 Pemain yang ketahuan pertama adalah calon sebagai penjaga pada permainan selanjutnya, kalau dalam permainan tersebut tidak kebentengan (benteng atau pos jaga

Menyatakan dengan sesungguhnya bahwa tesis yang berjudul “PELAKSANAAN PENDAFTARAN HAK ATAS TANAH UNTUK MEMPEROLEH KEPASTIAN HUKUM MELALUI PROGRAM NASIONAL AGRARIA