LAPORAN KASUS ILMU PENYAKIT BEDAH
PASIEN LAKI-LAKI 55 TAHUN DENGAN ABSES PERIANAL
Oleh :
MUHAMAD PRAYOGA J510165065
Pembimbing :dr. Bakri B Hasbullah Sp. B FINACS
KEPANITERAAN KLINIK ILMU PENYAKIT BEDAH FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA
LAPORAN KASUS ILMU PENYAKIT BEDAH
PASIEN LAKI-LAKI USIA 55 TAHUN DENGAN ABSES PERIANAL
Diajukan oleh : MUHAMAD PRAYOGA
J510165065
Telah disetujui dan disahkan oleh Bagian Program Pendidikan Profesi Fakultas Kedokteran Universitas Muhammadiyah Surakarta pada hari …………, ………..
Pembimbing :
dr. Bakri B Hasbullah Sp. B FINACS (...)
Dipresentasikan di hadapan :
dr. Bakri B Hasbullah Sp. B FINACS (...)
Disahkan Ka. Program Profesi :
BAB I
LAPORAN KASUS
I. IDENTITAS
Nama pasien : Tn. S
Umur : 55 tahun
Jenis Kelamin : Laki-laki
Alamat : Perum GPI Papahan Kranganyar Pekerjaan : Swasta
Status Perkawinan : Menikah
Agama : Islam
Suku : Jawa
Berat Badan : 78 kg Tinggi badan : 172 cm
Tanggal masuk : 23 Oktober 2016
II. ANAMNESIS
A. Keluhan Utama
Benjolan di sekitar anus disertai nyeri B. Riwayat Penyakit Sekarang
Seorang pasien laki-laki berusia 55 tahun datang ke POLI Bedah RSUD Karanganyar diantar oleh istrinya dengan keluhan utama benjolan disekitar anus yang disertai rasa nyeri. Benjolan dirasakan sejak 7 yang lalu, awalnya berukuran sekitar 2x2 cm semakin hari semakin membesar hingga saat ini kira-kira 8x8 cm. Benjolan berwarna kemerahan, tidak sama dengan warna kulit sekitar, tidak terfiksir dan batasnya jelas. Pasien terakhir BAB 5 hari yang lalu, saat masuk rumah sakit masih belum bisa BAB karena kesakitan ketika mengejan. Benjolan mengganggu aktivitas sehari-hari, nyeri ketika duduk sehingga pasien hanya berbaring dan lebih nyaman dengan tidur miring.
Pasien mengatakan sebelumnya tidak pernah ada luka disekitar anus, tidak ada gangguan BAB, tidak ada sakit saat kencing, dan tidak ada demam. Keluhan Pusing sedikit (+), Mual (+), Muntah (-), dan Nyeri perut sedikit (+).
C. Riwayat Penyakit Dahulu
Riwayat sakit disangkal : disangkal
Riwayat Hipertensi : diakui ± 10 thn yll berobat kontrol, minum candesartan dan HCT.
Riwayat alergi makanan : disangkal Riwayat penyakit Asma : disangkal Riwayat DM : disangkal D. Riwayat Penyakit Keluarga
Riwayat sakit disangkal : disangkal Riwayat Hipertensi : disangkal Riwayat alergi makanan : disangkal Riwayat penyakit Asma : disangkal Riwayat DM : disangkal E. Riwayat Pribadi
Riwayat Merokok : diakui
Riwayat minum-minuman beralkohol : disangkal. Riwayat minum jamu : disangkal Riwarat sering menahan BAB : disangkal
F. Anamesis sistemik: a.Cerebrospinal
Penurunan kesadaran (-), nyeri kepala (-), demam (-), mual (-), muntah (-), kejang (-)
b. Kardivaskular
Nyeri dada (-), berdebar-debar (-) c.Respirasi
Batuk (-), pilek (-), sesak (-). d. Gastrointestinal
Kesulitan menelan (-), mual (+), muntah (-), diare (-). e.Muskuloskletal
Nyeri otot (-), kelemahan gerak (+). f. Integumentum
Bintik merah (-), gatal (-). g. Urogenital
III. Pemerikasaan Fisik A. Status Generalis
- Tekanan darah : 130/80mmHg - Nadi : 86 x/menit - Respiratory rate : 22 x/menit
- Suhu : 36,7 derajat celcius - TB : ±170 cm - BB : ± 78 kg - BMI : 26,9 (normoweight) B. Status Interna Kepala : - Bentuk normocephal
- Rambut : Rambut hitam lurus tidak mudah rontok. - Mata : konjungtiva anemis (-/-), sklera ikterik
(-/-), tidak ada luka, Edema palpebra (-/-).
- Hidung : Deformitas (-/-), secret (-/-) epistaksis (-/-), nafas cuping hidung (-), tidak ada luka.
- Telinga : Deformitas (-/-), keluar cairan (-/-), hiperemis (-/-), cerumen (-/-), nyeri tekan (-/-), tidak ada luka. - Mulut : Deformitas (-), stomatitis (-), sianosis (-), kering (-), lembab (-), gusi berdarah (-), papil lidah atrofi (-), tonsil T1/T1, pharyngitis (-), tidak ada luka baik dari mulut, gusi, gigi, dan lidah.
- Leher : pembesaran tiroid (-), pembesaran limfonodi (-), masa abnormal (-), kaku kuduk (-), deviasi trakea (-), tidak ada luka.
Thoraks : Jantung :
Inspeksi : ictus cordis tampak Palpasi : ictus cordis tak kuat angkat Perkusi : batas-batas jantung
atas : SIC II linea parasternalis sinistra – SIC III linea parasternalis dextra
kanan : SIC IV linea parasternalis dextra – SIC V linea parasternalis dextra
bawah : SIC V linea midclavicularis dextra – SIC V linea midclavicularis sinistra
kiri: ictur cordis di SIC V linea midclavicularis sinistra. Auskultasi : terdengar bunyi Jantung I, II murni regular, BJ
III (-), bising jantung (-), Heart rate :82x/menit Paru-paru :
Kanan Depan Kiri
Simetris , retraksi (-) Inspeksi Simetris, retraksi (-) Ketinggalan gerak (-),
fremitus (+) sama Palpasi
Ketinggalan gerak (-), fremitus (+) sama
Sonor Perkusi Sonor
Suara dasar vesikuler,
wheezing (-), rhonki (+) Auskultasi
Suara dasar vesikuler, wheezing (-), rhonki (+)
Kanan Belakang Kiri
Simetris Inspeksi Simetris Ketinggalan gerak (-),
fremitus (+) sama Palpasi
Ketinggalan gerak (-), fremitus (+) sama
Sonor Perkusi Sonor
Suara dasar vesikuler,
wheezing (-), rhonki (+) Auskultasi
Suara dasar vesikuler, wheezing (-), rhonki (+)
Abdomen
Inspeksi : Terlihat lebih tinggi dari pada dada, sikatrik (-), purpura (-), massa (-), terlihat distended (+)
Auskultasi : Peristaltik (+) 12 x/ menit, bunyi tambahan (-)
Perkusi : Timpani (+)
Palpasi : Nyeri tekan ( - ), distended (-), pekak beralih (-). Hepar : Tidak teraba
Lien : Tidak teraba Murphy sign : (-)
Nyeri kostovertebra (-)
Ekstremitas superior: edema (-/-), akral dingin (-), tonus (+/+). Ekstremitas inferior: edema (-/-), akral dingin (-), tonus (+/+).
C. Status Lokalis
Pemeriksaan diperianal
Inspeksi : Tampak Massa (Benjolan) disekitar anus, berwarna kemerahan tidak sama dengan kulit sekitar, terlihat meradang, benjolan tidak ada luka terbuka, tidak mengeluarkan darah atau pus.
Palpasi : Teraba massa lebih dari satu di regio perianal dengan ukuran ± 8x8 cm, bentuk asimetris, batas tegas, tidak terfiksir, konsistensi kistik, tidak mobile, nyeri tekan (+), hangat (+).
Perkusi : Tidak dilakukan Auskultasi : Tidak dilakukan
IV. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Laboratorium : 25-10-2016
HEMATOLOGI Hasil Nilai rujukan Satuan Hemoglobin 15 14.00-18.00 g/dL Hematokrit 45.5 42.00-52.00 % Leukosit 14.49 5-10 10^3/uL Trombosit 445 150-300 10^3/uL Eritrosit 4.19 4,00-5,00 10^3/uL MCV 94.5 82-92 fL MCH 30.8 27,0-31,0 Pg MCHC 32.6 32,0-37,0 g/Dl Gran% 81.2 50-70 % Limfosit% 10.8.8 25-40 % Monosit% 2.4 3-9 % Eosinofil% 2.1 0,5-5 % Basofil % 0.9 0-1 % KIMIA Gula darah Sewaktu 139 70-150 mg/100ml CT 03.30 2-8 Menit BT 01.30 1-3 Menit Ginjal Creatinin 1.17 0,5-0,9 mg/100ml Ureum 46 10-50 mg/dl Imuno-Serologi
Hbs Ag (rapid) Non
Reaktif Non Reaktif
V. Resume
Seorang laki-laki usia 55 tahun mengeluhkan muncul benjolan disekitar anus disertai nyeri, muncul sejak 7 hari SMRS tadinya kecil ± 2x2 cm semakin hari semakin membesar Benjolan dirasakan sejak 7 yang lalu, awalnya berukuran sekitar 2x2 cm semakin hari semakin membesar hingga saat ini kira-kira 8x8 cm. Benjolan berwarna kemerahan, tidak sama dengan warna kulit sekitar, tidak terfiksir dan batasnya jelas. Pasien terakhir BAB 5 hari yang lalu, saat masuk rumah sakit masih belum bisa BAB karena kesakitan ketika mengejan. Pasien tidak mengeluhkann pusing, mual, muntah, sesak, batuk, mudah lelah dan BAB dalam batas normal
Status Lokalis Tampak massa (Benjolan) disekitar anus, berwarna kemerahan tidak sama dengan kulit sekitar, terlihat meradang, benjolan tidak ada luka terbuka, tidak mengeluarkan darah atau pus. Massa teraba lebih dari satu dengan ukuran ± 8x8 cm, bentuk asimetris, batas tegas, tidak terfiksir, konsistensi kistik, tidak mobile, nyeri tekan (+), hangat (+).
Pemeriksaan Laboratorium AL : 14.49, AT: 445 Gran : 81.2 Limf : 10,2 hasil demikian menandakan adanya infeksi bakteri.
VI. Diagnosis banding
Abses perianal, Hemorroid Eksterna, Hemorroid interna, Tumor anorektar.
VII. Diagnosis Kerja Abses peianal VIII. Penatalaksanaan
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA A. DEFINISI
Abses perianal adalah infeksi pada ruang pararektal. Abses ini kebanyakan akan mengakibatkan fistula (Smeltzer dan Bare, 2001). Abses perianal merupakan infeksi pada jaringan lunak sekitar saluran anal, dengan pembentukan abses rongga diskrit. Tingkat keparahan dan kedalaman dari abses cukup variabel, dan rongga abses sering dikaitkan dengan pembentukan saluran fistulous
Abses perianal mudah diraba pada batas anus dengan kulit perianal, sebaliknya abses anorektal yang terletak lebih dalam dapat diraba melewati dinding rectum atau lebih lateral yaitu di bokong, dengan penyebaran dan pembesaran abses yang mengakibatkan abses mendekati permukaan kulit, nyeri yang dirasakan memburuk. Nyeri memburuk dengan mengedan, batuk atau bersin, terutama pada abses intersfingter. Dengan perjalanan abses, nyeri dapat mengganggu aktivitas seperti berjalan atau duduk.
B. ETIOLOGI
Abses perianal merupakan gangguan sekitar anus dan rectum, dimana sebagian besar timbul dari obstruksi kripta anal. Infeksi dan stasis dari kelenjar dan sekresi kelenjar menghasilkan supurasi dan pembentukan abses dalam kelenjar anal. Biasanya, abses terbentuk awal – awal dalam ruang intersfingterik dan kemudian ke ruang potensial yang berdekatan. Umumnya bakteri seperti stafilokokus dan Escherichia coli adalah penyebab paling umum. Infeksi jamur kadang-kadang menyebabkan abses. Masuknya bakteri ke daerah sekitar anus dan rektum (Prince dan Wilson, 2007).
Gambar 2. Tempat terjadinya abses Anorektal C. Patofisiologi
Abses perianal terbentuk akibat berkumpulnya nanah di jaringan bawah kulit daerah sekitar anus. Nanah terbentuk akibat infeksi kuman/bakteri karena kelenjar di daerah tersebut tersumbat. Bakteri yang biasanya menjadi penyebab adalah Escherichia coli dan spesies
Enterococcus. Kuman/bakteri yang berkembang biak di kelenjar yang tersumbat lama kelamaan akan memakan jaringan sehat di sekitarnya sehingga membentuk nanah. Nanah yang terbentuk makin lama makin banyak sehingga akan terasa bengkak dan nyeri, inilah yang disebut abses perianal. Pada beberapa orang dengan penurunan daya tubuh misalnya penderita diabetes militus, HIV/AIDS, dan penggunaan steroid (obat anti radang) dalam jangka waktu lama, ataupun dalam kemoterapi akibat kanker biasanya abses akan lebih mudah terjadi.
Kebanyakan abses perianal bersifat sekunder terhadap proses supuratif yang dimulai pada kelenjar anal. Teori ini menunjukan bahwa obstruksi dari saluran kelenjar tersebut oleh tinja, corpus alienum atau trauma akan menghasilkan stasis dan infeksi sekunder yang terletak di ruang intersfingterik. Dari sini proses infeksi dapat menyebar secara distal sepanjang otot longitudinal dan kemudian muncul di subkutis sebagai abses perianal, atau dapat menyebar secara lateral melewati otot longitudinal dan sfingter eksternal sehingga menjadi abses ischiorektal. Meskipun kebanyakan abses yang berasal dari kelenjar anal adalah perianal dan ischiorektal ,tetapi ruang lain dapat terinfeksi.
Pergerakan infeksi ke atas dapat menyebabkan abses intersfingterik tinggi dan kemudian dapat menerobos ke otot longitudinal lalu ruang supralevator sehingga menyebabkan sebuah abses supralevator. Setelah abses terdrainase, secara spontan maupun secara bedah, komplikasi abnormal antara lubang anus dan kulit perianal disebut fistula ani (Prince dan Wilson, 2007).
D. Manifestasi Klinis
Awalnya, pasien bisa merasakan nyeri yang tumpul, berdenyut yang memburuk sesaat sebelum defekasi yang membaik setelah defekasi tetapi pasien tetap tidak merasa nyaman. Rasa nyeri diperburuk oleh pergerakan dan pada saat menduduk. Abses dapat terjadi pada berbagai
ruang di dalam dan sekitar rektum. Seringkali mengandung sejumlah pus berbau menyengat dan nyeri. Apabila abses terletak superficial, maka akan tampak bengkak, kemerahan, dan nyeri tekan. Nyeri memburuk dengan mengedan, batuk atau bersin, terutama pada abses intersfingter. Dengan perjalanan abses, nyeri dapat mengganggu aktivitas seperti berjalan atau duduk (Sjamsuhidayat dan Jong, 2004)
Abses yang terletak lebih dalam memgakibatkan gejala toksik dan bahkan nyeri abdomen bawah, serta deman. Sebagian besar abses rectal akan mengakibatkan fistula (Smeltzer dan Bare, 2001). Abses di bawah kulit bisa membengkak, merah, lembut dan sangat nyeri. Abses yang terletak lebih tinggi di rektum, bisa saja tidak menyebabkan gejala, namun bisa menyebabkan demam dan nyeri di perut bagian bawah
E. Diagnosis dan Pemeriksaan Penunjang Diagnosis
Pemeriksaan colok dubur dibawah anestesi dapat membantu dalam kasus-kasus tertentu, karena ketidaknyamanan pasien yang signifikan dapat menghalangi penilaian terhadap pemeriksaan fisik yang menyeluruh. Contohnya, evaluasi terhadap asbeb ischiorektal yang optimal dapat dilakukan dengan hanya menggunakan pemeriksaan colok dubur. Dengan adanya obat anestesi, fistula dapat disuntikkan larutan peroksida untuk memfasilitasi visualisasi pembukaan fistula internal. Bukti menunjukkan bahwa penggunaan visualisasi endoskopik (transrektal dan transanal) adalah cara terbaik untuk mengevaluasi kasus yang kompleks abses perianal dan fistula.
Dengan teknik endoskopik, tingkat dan konfigurasi dari abses dan fistula dapat jelas divisualisasikan. Visualisasi endoskopi telah dilaporkan sama efektifnya seperti fistulografi. Jika ditangani dengan dokter yang berpengalaman, evaluasi secara endoskopik adalah prosedur diagnostik pilihan pada pasien dengan kelainan perirektal karena rendahnya risiko infeksi serta kenyamanan pasien tidak terganggu. Evaluasi secara
endoskopik setelah pembedahan efektif untuk memeriksa respon pasien terhadap terapi (Prince dan Wilson, 2007).
Pemeriksaan Laboratorium
Belum ada pemeriksaan laboratorium khusus yang dapat dilakukan untuk mengevaluasi pasien dengan abses perianal atau anorektal, kecuali pada pasien tertentu, seperti individu dengan diabetes dan pasien dengan imunitas tubuh yang rendah karena memiliki risiko tinggi terhadap terjadinya sepsis bakteremia yang dapat disebabkan dari abses anorektal. Dalam kasus tersebut, evaluasi laboratorium lengkap adalah penting (Mansjoer, 2000)
F. Penatalaksanaan
Abses perirektal harus diobati dengan drainase sesegera mungkin setelah diagnosis ditegakkan. Jika diagnosis masih diragukan, pemeriksaan di bawah anestesi sering merupakan cara yang paling tepat baik untuk mengkonfirmasi diagnosis serta mengobati. Pengobatan yang tertunda atau tidak memadai terkadang dapat menyebabkan perluasan abses dan dapat mengancam nyawa apabila terjadi nekrosis jaringan yang besar, atau bahkan septikemia. Antibiotik hanya diindikasikan jika terjadi selulitis luas atau apabila pasien immunocompromised, menderita diabetes mellitus, atau memiliki penyakit katub jantung. Namun pemberian antibiotik secara tunggal bukan merupaka penobatan yang efektif untuk mengobati abses perianal atau perirektal. Luka dibiarkan terbuka dan sitz bath dapat dimulai pada hari berikutnya (Sjamsuhidayat dan Jong, 2004).
Pada kebanyakan pasien dengan abses anorektal atau perianal, terapi medikamentosa dengan antibiotik biasanya tidak diperlukan. Namun, pada pasien dengan peradangan sistemik, diabetes, atau imunitas rendah, antibiotik wajib diberikan (Steele, 2011)
G. Komplikasi
Jika tidak diobati, fistula anus hampir pasti akan membentuk, menghubungkan rektum untuk kulit. Hal ini memerlukan operasi lebih intensif. Selanjutnya, setiap abses diobati dapat (dan kemungkinan besar
akan) terus berkembang, akhirnya menjadi infeksi sistemik yang serius. Hal yang paling ditakutkan pada abses perianal adalah terjadinya fistel perianal. Fistel perianal adalah saluran abnormal antara lubang anus/rektum dengan lubang bekas abses yang bermuara pada kulit sekitar anus. Muara pada kulit sekitar anus tampak sebagai luka bekas bisul yang tidak pernah menutup/sembuh dan tidak sakit.
Fistula anorektal terjadi pada 30-60% pasien dengan abses anorektal. Kelenjar intersfingterik terletak antara sfingter internal dan eksternal anus dan seringkali dikaitkan dengan pembentukan abses. Fistula anorektal timbul oleh karena obstruksi dari kelenjar dan/atau kripta anal, dimana ia dapat diidentifikasi dengan adanya sekresi purulen dari kanalis anal atau dari kulit perianal sekitarnya (Mansjoer, 2000).
BAB III KESIMPULAN
DAFTAR PUSTAKA
Mansjoer, Arif dkk. 2000. Kapita Selekta Kedokteran. Jakarta: Media Acus Calpius.
Prince SA dan Wilson LM, 2005. Patofisiologi konsep dasar penyakit edisi keenam. Jakarta : EGC.
Sjamsuhidayat R, Wim de Jong, 2004., Buku ajar ilmu Bedah. Edisi 2, Jakarta: EGC
Smeltzer C, Bare S, 2001. Buku aja Keperawatan Medika Bedah. Brunner & Suddarth, (edisi 8 vol 2). Alih bahasa Agung waluyo, Jakarta: EGC.
Steele SR, Kumar R, Feingold DL, Raferty JL, Buie D,. 2011. Practice Parameters for the Management of Perianal Abscess and Fistula-in-Ano. Diseases of the colon & rectum volume 54: 12 (2011)